Anda di halaman 1dari 3

Nasehat Imam Al-Muhasibi,

Muhasabah Amal, Riya’ dan Suara-suara di Kepala


Menurut Imam Al-Muhasibi, amal baik memiliki porsi dan proporsi, memiliki urutan dan skala
prioritas. Karena itu muhasabah harus dilakukan atas pengetahuan tentang amal dan ketaatan:
perbuatan apa yang harus didahulukan, ditunda atau diakhirkan. Setan senang membuat orang-
orang merugi tanpa mereka sadari, yakni ketika mereka mendahulukan hal-hal yang seharusnya
ditunda atau diakhirkan.
Shalat duha dan bekerja adalah sama-sama ibadah. Menurut kalian, mana yang harus dilakukan
lebih dahulu? Semisal kalian buka toko. Ketika masuk waktunya shalat duha ternyata ramai,
banyak pelanggan. Lalu, kalian menutup toko dan pergi shalat duha. Yang seperti itu benar apa
salah? Dengan begitu barangkali kalian akan mendapat puji-pujian, mendapat predikat sebagai
ahli ibadah yang tidak silau pada dunia.
Lebih parah lagi ada orang-orang yang prioritasnya terbalik: yang sunah dikerjakan dan yang
wajib ditinggal. Contoh, saking semangatnya shalat tahajud, karena punya misi, sampai-sampai
kecapekan, ngantuk, terus tidur, dan shalat subuhnya dikerjakan di waktu duha. Puasa Ramadhan
dianggap formalitas, dan biasa-biasa saja menjalankannya. Namun, selesai Ramadhan puasa
sunnah justru dikuatkan.
Kebingungan dalam prioritas itu adalah salah satu godaan setan. Ia membolak-balik urutan
pelaksanaan amal, membisikkan hal-hal yang membuat manusia merasa asyik dengan ibadah-
ibadah sunah, sehingga keteteran dan bahkan lupa mengerjakan yang wajib.
Oleh karena itulah kita harus memiliki ilmunya, memahami rumus-rumusnya, mengetahui kapan
sebuah kebaikan hendaknya dilaksanakan dan dalam situasi apa sebaiknya ia ditinggalkan atau
ditunda pelaksanaannya. Jadi, tidak cukup bagi kita hanya sekedar mengetahui jenis-jenis ibadah
dan melaksanakannya secara membabi-buta. Kita harus tahu pula skala prioritasnya, sehingga
kita tidak sampai jatuh pada kerugian: merebut cemilan dan mengesampingkan makanan pokok.
Imam Al-Muhasibi, dalam kitabnya, menyebutkan tiga akhlak utama yang harus dimiliki seorang
hamba ketika mencoba membangun hubungan dengan Allah Swt, yaitu tobat, khauf-raja’, dan
muraqabah. Begitu kita merasakan kehadiran Allah Swt, maka tiga hal itu harus kita hidupkan:
memohon ampun kepada Allah Swt atas segala dosa, baik yang kita sadari maupun tidak;
menghidupkan, di dalam hati kita, khauf dan raja’ –takut terhadap ancaman dan hukuman Allah
Swt sembari berpengharapan untuk mendapatkan rahmat dan anugerah-Nya; bermuroqobah,
mawas diri, dan merasakan kehadiran dan kedekatan Allah Swt dengan dirinya.
Dari ketiga akhlak utama itu, Imam Al-Muhasibi menggaris bawahi kata muroqobah,
menambahkan keterangan bahwa ada tiga ciri yang menandai keberhasilan muroqobah
seseorang: malu kepada Allah Swt, selalu mengagungkan-Nya, dan mengutamakan-Nya dari
apapun. Jika seseorang merasakan kehadiran dan kedekatan Allah Swt dengan dirinya, secara
otomatis, ia akan merasa malu untuk melakukan kemaksiatan, dan jangankan melakukan,
memikirkannya saja tidak akan berani. Sebab, ia berada dalam kesadaran penuh bahwa Allah
Swt hadir di dekatnya, melihatnya, mendengar suara-suara di hati dan kepalanya. Bayangkan
seandainya kalian terpergok orang lain tengah melakukan kejelekan, pasti kalian akan merasa
malu. Apalagi yang memergoki kalian adalah Allah Swt. Rasulullah Saw bersabda:

َ َ‫ ق‬،‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬


: ُ‫واإلمْث‬،‫ الرِب ُّ ُح ْس ُن اخلُلُ ِق‬: ‫ال‬ ِّ ‫ع ِن الن‬،
َ ‫َّيب‬
ِ ِ ِ ‫َع ِن الن ََّو‬
َ ُ‫اس بْ ِن مَسْ َعان َرض َي اهللُ َعْنه‬
ِ َِّ َ ‫اك يف َن ْف ِس‬
)‫مسلم‬
ٌ ُ‫(ر َواه‬ َ .‫َّاس‬ َ ‫ و َك ِر ْه‬، ‫ك‬
ُ ‫ت أ ْن يَطل َع َعلَْيه الن‬ َ ‫َما َح‬
Dari Nawwas bin Sam’an radhiallahuanhu, dari Rasulullah shallallahu`alaihi wa sallam beliau
bersabda: “Kebaikan adalah akhlak yang baik, dan dosa adalah apa yang terasa mengganggu
jiwamu dan engkau tidak suka jika diketahui manusia. (H.R. Muslim)
Selanjutnya, Imam Al-Muhasibi menjelaskan tentang riya’, yaitu memamerkan keutamaan dan
keunggulan diri sendiri dalam bentuk ibadah. Ada dua macam riya’: riya’ besar dan riya’ kecil.
Disebut riya’besar ketika ibadah yang dilakukan sama sekali tidak diniatkan untuk mendapat
pahal atau rida dari Allah Swt, semata untuk mendapatkan pujian dan sekedar pengakuan dari
sesama manusia. Sedangkan disebut riya’ kecil ketika masih ada harapan dan tujuan untuk
mendapatkan pahala dari Allah Swt, di samping pujian orang.
Manusia sangat mudah jatuh dan terjangkit penyakit riya’. Sebab, setiap manusia memiliki
kecenderungan untuk menjadi narsistik, suka dipuji dan tidak suka dicaci. Kadang-kadang riya’
bisa muncul dalam prilaku yang seolah-olah merendahkan diri sendiri, padahal dengan itu yang
bersangkutan sesungguhnya ingin menunjukkan bahwa dirinya sudah berubah.
Riya’ tidak selalu muncul dalam niat di awal perbuatan, bisa juga di pertengahan atau di akhir.
Niatnya ikhlas membuat pengajian di masjid. Awalnya semangat. Lalu ketika ternyata tidak ada
yang mengapresiasi, tiba-tiba hilang semangatnya. Itu tanda-tanda riya’.
Yang lebih parah lagi ialah orang yang meninggalkan ibadah karena takut dianggap riya’. Justru
itulah sebenar-benarnya riya’. Malah yang seperti itu kesalahannya dobel: kesalahan pertama
karena meninggalkan ibadah, dan kesalahan kedua karena berprasangka buruk kepada orang lain.
Apa benar teman-teman kalian akan menganggap kalian riya’ saat beribadah di hadapan mereka?
Apakah mereka seburuk itu?
Dalam persoalan riya’, motif menjadi kuncinya. Ketika melakukan atau meninggalkan sesuatu,
selalu pertanyakan pada diri kalian sendiri, apa motifnya? Jika motifnya adalah pujian dan cacian
dari sesama manusia, maka itulah riya’.
Lebih lanjut, Imam Al-Muhasibi mengingatkan kepada kita agar berhati-hati terhadap lintasan
pemikiran di dalam kepala. Jika kita mendengar ada bisikan, maka kita harus bisa memastikan,
apakah itu godaan nafsu, tipu daya syetan, ataukah petunjuk dari Allah Swt?
Bisikan nafsu biasanya akan mengajak kita untuk bersenang-senang. Tidak semuanya salah dan
menjurus pada kemaksiatan. Manusia membuatuhkan nafsu untuk memelihara dirinya,
melangsungkan kehidupannya, seperti makan, minum, dan berkembang biak. Yang terpenting
dalam menanggapi bisikan nafsu ialah tidak keluar dari jalur (syariát) dan tidak pula berlebihan.
Dalam hal ini Ibnu Miskawih menyarankan jalan tengah. Sebab, kekurangan atau kelebihan,
dalam pemenuhan nafsu, biasanya memiliki efek merusak tubuh.
Selanjutnya, Imam Al-Muhasibi menjelaskan tentang bisikan dari tipu daya setan. Bisikan setan
biasanya berupa kamuflase. Setan, melalui tipuannya, senantiasa berupaya menampakkan
sesuatu jelek menjadi baik, normal, dan tidak masalah. Apa salahnya bergandengan tangan.
Hanya saling pegang. Semua orang melakukannya. Bukan dosa besar. Hanya menyotek saja.
Kalau kamu lulus ujian siapa yang ikut senang? Orang tuamu. Itu sama saja kamu
menyenangkan orang tua. Dapat pahala. Dan lain sebagainya. Jika ada teman kalian yang
memberikan nasehat semacam itu, berarti dia dari golongan setan.
Sedangkan bisikan dari Allah Swt adalah lamhat, petunjuk, dan penerang jalan menuju
kebenaran sejati. Bisikan Allah Swt sejalan dengan akal sehat sedangkan bisikan setan sejalan
dengan hawa nafsu. Wallahu a’lam bisshawab.

Anda mungkin juga menyukai