Anda di halaman 1dari 3

Pengobatan Semangkok Soto dan Falsafah MedisTimur 

ala Dokter Tomy Aditama

Oleh: M. Faizi

Saya kenal MasTomy Aditama melalui Pak Joni (Joni Ariadinata) yang katanya meriang selama
beberapa hari lalu disarankan pengobatan dengan semangkuk soto. Soto beneran, dengan
suwiran daging, irisan bawang dan sambal yang ekstra pedas.

Menurut Mas Tomy, di dalam kuah soto mengandung banyak herbal yang baik bagi tubuh.
Apalagi jika dimakan dengan sambel, dari yang sedikit pedas sampai  sangat pedas, dan
disajikan panas-panas pula. Hampir pasti, setelah makan soto, kita akan berkeringat. "Lha, di
situ kuncinya! Keringat," katanya.

Penjelasan medisnya, meriang adalah gejala khas patogen angin. Cara mengusir angin, dari
dalam tubuh, secara sederhana dapat dilakukan dengan mengeluarkan keringat. 

Jadi, dalam pandangan medis Dokter Tomy, obat itu tidak selalu harus pahit. Sebab beliau
menggunakan pengobatan herbal. Menurutnya, herbal memiliki beragam rasa. Dan, masing-
masing rasa memiliki arah kerja dan karakter yang berbeda. Dalam hal ini setidaknya kita
mengenal teori lima rasa. 

"Contoh, pahit itu biasanya bersifat dingin, arahnya ke jantung. Manis itu hangat, arahnya ke
limpa atau organ cerna. Asin hangat, arahnya ke ginjal, dan seterusnya."

Selain dikenal sebagai herbalis, beliau juga seorang terapis. Salah satu metode pengobatan
yang digunakan Mas Tomy adalah Zamathera, yaitu suatu teknik pembetulan tulang belakang
berbasis teknik Yumeiho yang telah disempurnakan. Zamathera adalah metode pembetulan
sendi seluruh tubuh dengan teknik mengendorkan sendi, otot-otot, syaraf, dan jaringan tubuh
lainnya sehingga secara radikal mampu menghilangkan penyakitnya, dengan tulang pinggul
sebagai titik fokusnya.

Sebelum lebih lanjut membahas teori-teori pengobatan lainnya, ada baiknya kita mengenal dulu
siapa sebenarnya Mas Tomy ini, sehingga nasehat-nasehat medisnya perlu kita dengar dan
percaya.

Beliau adalah lulusan Fakultas Kedokteran Gigi UGM. Lalu,  lanjut sekolah profesi dokter gigi,
dulu disebut ‘koas’, sampai mendapat gelar Sarjana Kedokteran Gigi dan pernah bekerja di
RSGM. Setelah itu, beliau memutuskan keluar dari profesi dan mendalami kedokteran timur
secara total. 

"Barangkali karena itu, sampai sekarang masih banyak yang memanggil saya Dokter. Kadang,
saya lebih nyaman disebut ‘mas’ atau ‘pak’ aja atau panggilan profesi saya tabib, sinshe, atau
dukun. Ya, dukun. Bukankah dukun itu adalah orang yang pekerjaannya mengobati orang lain."

Beliau tertarik mempelajari kedokteran timur karena, menurutnya, sistem tersebut berlandaskan
hukum-hukum alam, jauh lebih logis dan rasional dan sudah terbukti, teruji, selama ribuan
tahun. Jadi, Basis utama sistem kedokteran timur adalah hukum alam. 
“Es itu dingin. Di mana-mana  tetap aja dingin. Api itu panas. Kalo kedinginan, ya, dipanaskan.
Kalo kepanasan, ya, didinginkan. Itu hukum keseimbangan alam. Kalo orang Cina
menyebutnya Yin Yang dan ini sunnatullah. Kalo dalam agama disebut berpasang-pasangan,”
katanya. 

Kita harus ingat bahwa tubuh manusia  juga bagian dari alam. Seluruh energi dan organ-
organnya tidak dapat menghindari hukum alam. Karena itu, pada prinsipnya, jika tubuh kita
kepanasan, maka solusinya ialah dengan mendingingkannya. Dalam bahasa pengobatan, jika
kita terkena sindrom panas, maka jangan minum jahe, yang secara alami bersifat panas. Jika
kita kurang darah, sering kedinginan, pucat, maka  jangan makan semangka, yang bersifat
dingin. Jika tubuh kita melawan hukum alam, maka pasti akan jadi sakit.

Sebenarnya menjadi herbalis itu sama rumitnya dengan belajar ilmu farmasi. Sebab, sama
seperti obat kimia, herbal juga memiliki indikasi dan kontra-indikasinya. Semua tergantung
kondisi tubuh. 

“Dan perlu diingat, setiap individu itu unik. Tidak ada yang sama satu sama lain.Jadi tidak bisa
digeneralisir.” katanya.

Itulah mengapa beliau menilai slogan “Kembali ke Alam” itu sering rancu, karena umumnya
orang tidak memperhatikan hukum-hukumnya. Orang berpikir, yang penting banyak makan
sayur, buah dan tidak minum obat kimia, sudah cukup. Padahal, masalahnya tidak sesederhana
itu. Kita  harus paham karakter dan sifat makanan, termasuk tubuh kita sendiri. Belum lagi kita
harus menimbang pula tentang adanya energi yang mengalir dalam tubuh kita dan energi  di
luar tubuh kita: orang laen, makhluk laen. Dan, masih ditambah pertimbangan tentang emosi,
sosio kultural, cuaca, matahari, bulan, bintan. Semua menjadi suatu kesatuan yang
mempengaruhi manusia.

Sebagian orang ada yang beranggapan bahwa reaksi herbal itu tidak secepat obat kimia
sehingga jika sedang kepepet, ada kalanya keluarga yang terbiasa dengan obat-obatan alam
(herbal) ujung-ujungnya tetap pakai obat kimia juga.

Anggapan tersebut tidak sepenuhnya benar juga, Herbal juga memiliki reaksi yang cepat. Jika
ada yang menganggap herbal bereaksi lambat itu karena resepnya, tidak pas, atau bahkan
salah. 

“Contoh, kalo kita makan atau minum jahe, butuh waktu berapa lama untuk kita rasakan
efeknya? Pedas, hangat menjalar ke seluruh tubuh, bahkan sampai keluar keringat, Itu
reaksinya. Butuh waktu sekian detik atau menit aja, kan? Jadi,  kesimpulannya sangat cepat.
Tapi tentu saja semua tergantung kondisi tubuh, penyakitnya akut atau kronis. Tapi secara
keseluruhan, reaksi herbal itu cepat.”

Yang jadi masalah juga adalah pemahaman masyarakat umum yang sangat kurang tentang
herbal, tidak paham karakter dan sifat herbalnya, juga tidak paham dengan kondisi tubuh
secara kedokteran timur. Kenapa harus Timur dan bukan Barat? Lha, ini juga yang banyak
orang tidak paham. Herbal itu ilmu dari Timur, muncul dengan berbasiskan filosofi Timur,
dengan kaidah dan akar ilmu yang berbeda dengan Barat.

Penulis adalah budayawan, tinggal di Pondok Pesantren An-Nuqoyah, Guluk-Guluk, Sumenep

Anda mungkin juga menyukai