Jawaban :
1. Banyak tokoh-tokoh bangsa yang telah memberikan keteladanan bagi
masyarakat Indonesia. Berikut identifikasi beberapa tokoh-tokoh bangsa
serta bentuk keteladanannya, antara lain:
a. K. H. Wahid Hasyim
Bentuk Keteladanan :
Aktif berorganisasi di organisasi positif terutama dalam bidang keagamaan.
Bersikap patriotisme dan nasionalisme, terbukti dari beliau yang
dianugerahi sebagai pahlawan nasional.
Menjadi pribadi yang jujur, cerdas, amanah, serta dapat dipercaya.
c. Ir. Soekarno
Bentuk Keteladanan :
Bersifat Nasionalisme dan Patriotisme yang sangat tinggi.
Menerapkan nilai-nilai keislaman dalam dunia berpolitiknya demi
kemaslahatan bangsanya.
Idealisme Perjuangan yang sangat kental dan sangat tinggi.
Jiwa yang menggelora untuk mencapai kemerdekaan bangsanya.
Tegas dalam menolak setiap iming-iming bangsa Asing.
d. Mohammad Hatta.
Bentuk Keteladanan :
Semangat persatuan dan kesatuan.
Pejuang Hak Asasi Manusia.
Cinta tanah air.
Mengutamakan kepentingan umum.
Berjiwa kepahlawanan.
Saat menjadi Menteri Agama, K.H. Abdul Wahid Hasjim mendorong diadakannya
pengajaran agama di sekolah-sekolah umuM.Beberapa hari setelah proklamasi
kemerdMekaan 1945, Sukarno membentuk Kabinet Presidentil yang hanya
bertahan sampai 14 November 1945, karena kemudian digantikan oleh Kabinet
Sjahrir I. Pada kabinet pertama, Wahid Hasjim menjadi Menteri Agama.
Saat Mohammad Natsir menjadi Perdana Menteri pada September 1950, Wahid
Hasjim kembali terpilih sebagai Menteri Agama. Kabinet ini pun berusia pendek,
Natsir diganti pada April 1951, dan Wahid Hasjim pun berhenti. Itulah jabatannya
yang terakhir sebagai Menteri Agama.
Dilahirkan di Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, pada 1 Juni 1914, sejak kecil Wahid
hidup di lingkungan pesantren. Ayahnya, K.H. Hasjim Asy’ari, adalah pahlawan
nasional dan tokoh paling terkemuka dari Nahdlatul Ulama (NU).
“Bila bayi dalam kandunganku ini nanti lahir dengan selamat, tiada kurang suatu
apa pun, setelah badanku segar dan kuat kembali, akan kubawa ia menghadap
kepada bekas guru ayahnya di Madura, yaitu Kiai M. Kholil Bangkalan,” ucapnya.
Ketika usianya telah 3 bulan, Wahid Hasjim pun di bawa ke Madura. Perjalanan
jelas tidak mudah. Mereka mula-mula naik kereta api yang penuh sesak oleh para
pedagang. Mereka sempat kesulitan mendapatkan tempat duduk.
Sesampainya di pelabuhan, suasana bertambah ramai. Setelah menyeberang dan
sampai di Pulau Madura, mereka melanjutkan perjalanan menggunakan dokar.
Hujan deras dan guntur bersahutan ketika mereka tiba di rumah yang dituju.
Warsa 1932, Wahid berangkat ke Makkah. Bersama sepupunya, di kota suci itu ia
memahirkan bahasa Arab dan ilmu-ilmu lainnya. Orang-orang Makkah kagum
akan kemahiran bahasa Arab Wahid. Menurut catatan Tempo dalam Wahid
Hasyim: Untuk Republik dari Tebuireng (2011), ia malah telah menguasai dua
bahasa asing pada usia 15 tahun.
Ia juga seorang pembaca yang lahap, termasuk rajin membaca sejumlah media
seperti Penjebar Semangat, Daulat Rakjat, dan Pandji Pustaka. Sementara dari
luar negeri, ia membaca Ummul Qura, Shautul Hijaz, Al-Latha’iful, dan lain-lain.
Setelah pulang dari Makkah pada 1933, Wahid mengajar di Pondok Pesantren
Tebuireng. Karena bacaannya luas, ia berpikir untuk mengadakan pembaruan
dalam pendidikan di pesantren.
Sang ayah tak langsung menyetujuinya. K.H. Hasjim Asy’ari tak hendak mengubah
Pesantren Tebuireng secara revolusioner. Sebagai jalan tengah, ayahnya
mengizinkan ia untuk membentuk madrasah sendiri di dalam Tebuireng pada
1934, yang bernama Nizamiah atau An-Nizam.
“Pesantren yang pelajari pendidikan umum pertama kali adalah Tebuireng. Gus
Wahid dululah yang masukkan materi bahasa Jerman, bahasa Inggris, model
klasikal,” ucap Kiai Haji Imam Tauhid yang puluhan tahun sempat mengurus
Kesepuhan Pondok Pesantren Tebuireng sebagaimana dikutip Tempo.
Pada 1950, ia menjadikan Fakultas Agama UII menjadi Perguruan Tinggi Agama
Islam Negeri (PTAIN). Sementara pada 1957, didirikan juga Akademi Dinas Ilmu
Agama (ADIA). Tiga tahun kemudian, kedua perguruan tinggi ini dilebur menjadi
Institut Agama Islam Negeri (IAIN).
“Bapak dandy untuk orang pesantren di zamannya,” ujar salah seorang anaknya
seperti dikutip Tempo dalam Wahid Hasyim: Untuk Republik dari
Tebuireng (2011).
Tempo menambahkan, asisten pribadinya yakni Kiai Haji Syaifuddin Zuhri, sempat
bertanya kepadanya tentang cara berpakaian Wahid Hasjim yang kerap necis. Ia
pun menjawab, “Jika mereka belum tertarik gagasan kita, biarlah sekurang-
kurangnya mereka tertarik kepribadian kita.”
Salah seorang kawan baiknya, imbuh Barton, adalah seorang Jerman yang telah
masuk Islam bernama Williem Iskandar Bueller. Kepada kawannya itu ia sering
mengirim anaknya, Gus Dur, untuk bermain di rumahnya.
“Di sinilah Gus Dur mulai mencintai musik klasik, khususnya karya-karya
Beethoven. Gus Dur terpesona oleh musik Beethoven sejak hari pertama ia
mendengarnya lewat gramofon Bueller,” tulisnya.
Penampilannya yang rapi dan pergaulannya yang luas, menurut Berton tak
menjadikan Wahid Hasjim terlampau serius, ia malah penuh humor. Sekali waktu
saat kelompok kader-kader muda mengunjunginya, Gus Dur disuruhnya untuk
menyajikan teh dan biskuit, serta mengikat tali-tali sepatu mereka yang tertidur.
“K.H. A. Wahid Hasjim bekas Menteri Agama telah meninggal dunia dalam suatu
kecelakaan mobil di antara Cimahi dan Bandung. Jenazahnya sedang diusahakan
untuk diangkut ke Jakarta dengan ambulans,” demikian kabar dari sebuah radio
seperti terdapat dalam Sejarah Hidup K.H. A. Wahid Hasjim (2011) yang ditulis
oleh H. Aboebakar.
Kecelakaan lalu lintas itu terjadi pada Sabtu. Sehari kemudian yakni pada Ahad, 19
April 1953, tepat hari ini 66 tahun yang lalu, Wahid Hasjim meninggal dunia.
3.