Anda di halaman 1dari 7

Proyek Kewarganegaraan

1. Identifikasilah tokoh – tokoh bangsa yang memberikan keteladanan bagi


masyarakat Indonesia dalam mewujudkan pancasila sebagai dasar Negara.
2. Pilihlah salah satu tokoh nasional untuk digali perjalanan hidupnya yang
berperan memberikan keteladanan bagi masyarakat Indonesia dalam
mewujudkan pancasila sebagai dasar Negara.
3. Caril\ah informasi tentang biografi tokoh nasional tersebut .
4. Susunlah naskah bermain peran untuk mendemostrasikan peran tokoh
nasianal dalam memberikan keteladanan bagi masyarakat Indonesia .
5. Simulasikan didepan kelas peran tokoh nasiaonal sesuai dengan naskah
yang telah disusun .
6. Jelaskan nilai nilai keteladanan apa saja yang dapat diteladani dari tokoh
nasional tersebut.

Jawaban :
1. Banyak tokoh-tokoh bangsa yang telah memberikan keteladanan bagi
masyarakat Indonesia. Berikut identifikasi beberapa tokoh-tokoh bangsa
serta bentuk keteladanannya, antara lain:

a. K. H. Wahid Hasyim
Bentuk Keteladanan :
Aktif berorganisasi di organisasi positif terutama dalam bidang keagamaan.
Bersikap patriotisme dan nasionalisme, terbukti dari beliau yang
dianugerahi sebagai pahlawan nasional.
Menjadi pribadi yang jujur, cerdas, amanah, serta dapat dipercaya.

b. Prof. Mr. Mohammad Yamin, S.H


Bentuk Keteladanan :
Totalitas dalam menjadi pribadi yang cinta dan siap membela tanah air.
Semangat menempuh pendidikan guna merubah bangsanya kearah yang
lebih baik.
Menjadi pribadi yang jujur dan tegas dalam menegakan keadilan, hal ini
dibuktikan ketika ia menjabat sebagai Menteri Kehakiman.
Memberikan dan memperlakukan Negaranya sebaik mungkin.
Aktif dalam organisasi yang memiliki orientasi positif bagi pribadi serta
bangsanya.
Amanah dalam mengemban tugas sebagai pejabat negara.

c. Ir. Soekarno
Bentuk Keteladanan :
Bersifat Nasionalisme dan Patriotisme yang sangat tinggi.
Menerapkan nilai-nilai keislaman dalam dunia berpolitiknya demi
kemaslahatan bangsanya.
Idealisme Perjuangan yang sangat kental dan sangat tinggi.
Jiwa yang menggelora untuk mencapai kemerdekaan bangsanya.
Tegas dalam menolak setiap iming-iming bangsa Asing.

d. Mohammad Hatta.
Bentuk Keteladanan :
Semangat persatuan dan kesatuan.
Pejuang Hak Asasi Manusia.
Cinta tanah air.
Mengutamakan kepentingan umum.
Berjiwa kepahlawanan.

2. Perjalanan hidup K.H Wahid Hasyim dalam mewujudkan pancasila sebagai


dasar Negara adalah sebagai berikut :
HEADER ILUSTRASI KH WAHId HASJIM. TIRTO.ID/ N

Saat menjadi Menteri Agama, K.H. Abdul Wahid Hasjim mendorong diadakannya
pengajaran agama di sekolah-sekolah umuM.Beberapa hari setelah proklamasi
kemerdMekaan 1945, Sukarno membentuk Kabinet Presidentil yang hanya
bertahan sampai 14 November 1945, karena kemudian digantikan oleh Kabinet
Sjahrir I. Pada kabinet pertama, Wahid Hasjim menjadi Menteri Agama.

Ia kembali menjadi Menteri Agama empat tahun kemudian, tepatnya mulai 20


Desember 1949 dalam Kabinet RIS (Republik Indonesia Serikat). Usia kabinet ini
lagi-lagi tak panjang. Dinamika politik di tahun-tahun permulaan masa
kemerdekaan memang begitu kencang.

Saat Mohammad Natsir menjadi Perdana Menteri pada September 1950, Wahid
Hasjim kembali terpilih sebagai Menteri Agama. Kabinet ini pun berusia pendek,
Natsir diganti pada April 1951, dan Wahid Hasjim pun berhenti. Itulah jabatannya
yang terakhir sebagai Menteri Agama.

Dilahirkan di Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, pada 1 Juni 1914, sejak kecil Wahid
hidup di lingkungan pesantren. Ayahnya, K.H. Hasjim Asy’ari, adalah pahlawan
nasional dan tokoh paling terkemuka dari Nahdlatul Ulama (NU).

Saat mengandung, Nafiqah—ibu Wahid Hasjim—merasa sangat lemah dan


badannya tak berdaya. Kondisi tersebut menurut H. Aboebakar dalam Sejarah
Hidup K.H. A. Wahid Hasjim (2011) membuat Nafiqah bernazar.

“Bila bayi dalam kandunganku ini nanti lahir dengan selamat, tiada kurang suatu
apa pun, setelah badanku segar dan kuat kembali, akan kubawa ia menghadap
kepada bekas guru ayahnya di Madura, yaitu Kiai M. Kholil Bangkalan,” ucapnya.
Ketika usianya telah 3 bulan, Wahid Hasjim pun di bawa ke Madura. Perjalanan
jelas tidak mudah. Mereka mula-mula naik kereta api yang penuh sesak oleh para
pedagang. Mereka sempat kesulitan mendapatkan tempat duduk.
Sesampainya di pelabuhan, suasana bertambah ramai. Setelah menyeberang dan
sampai di Pulau Madura, mereka melanjutkan perjalanan menggunakan dokar.
Hujan deras dan guntur bersahutan ketika mereka tiba di rumah yang dituju.
Warsa 1932, Wahid berangkat ke Makkah. Bersama sepupunya, di kota suci itu ia
memahirkan bahasa Arab dan ilmu-ilmu lainnya. Orang-orang Makkah kagum
akan kemahiran bahasa Arab Wahid. Menurut catatan Tempo dalam Wahid
Hasyim: Untuk Republik dari Tebuireng (2011), ia malah telah menguasai dua
bahasa asing pada usia 15 tahun.

Ia juga seorang pembaca yang lahap, termasuk rajin membaca sejumlah media
seperti Penjebar Semangat, Daulat Rakjat, dan Pandji Pustaka. Sementara dari
luar negeri, ia membaca Ummul Qura, Shautul Hijaz, Al-Latha’iful, dan lain-lain.

Setelah pulang dari Makkah pada 1933, Wahid mengajar di Pondok Pesantren
Tebuireng. Karena bacaannya luas, ia berpikir untuk mengadakan pembaruan
dalam pendidikan di pesantren.

Dalam catatan H. Aboebakar yang menulis Sejarah Hidup K.H. A. Wahid


Hasjim (2011), pada 1935 Wahid mulai melakukan pembaruan tersebut, yakni
dengan mengadakan pengajaran pengetahuan umum, utamanya bahasa. Ia
berpegang pada kalimat berikut: “Barang siapa mengetahui bahasa sesuatu
golongan, ia akan aman dari perkosaan golongan itu.”

“Telah diciptakan suatu cabang Perguruan Tebuireng mengenai pengajaran


bahasa-bahasa, yang dinamakan An-Nizam, yang khusus memberi kesempatan
memperdalam pengetahuan mengenai bahasa-bahasa, dan kesusastraan asing,
seperti bahasa Inggris, Arab, Belanda, dan lain-lain. Madrasah ini berdiri langsung
di bawah pimpinannya sendiri,” tulis H. Aboebakar.

Sementara menurut laporan Tempo, cikal bakal pengajaran pengetahuan ini


bermula saat Wahid baru pulang dari Makkah. Ia yang saat itu masih berusia 19
tahun, menyarankan kepada ayahnya untuk mengubah sistem pendidikan
pesantren, seperti sorogan atau bandongan, dengan model kelas seperti di
sekolah model Barat.

Tak hanya itu, imbuh Tempo, ia pun mengusulkan memperbanyak pendidikan


non-agama, dengan alasan bahwa sebagian besar santri tidak semuanya akan
menjadi ulama sehingga perlu dibekali dengan keterampilan praktis.

Sang ayah tak langsung menyetujuinya. K.H. Hasjim Asy’ari tak hendak mengubah
Pesantren Tebuireng secara revolusioner. Sebagai jalan tengah, ayahnya
mengizinkan ia untuk membentuk madrasah sendiri di dalam Tebuireng pada
1934, yang bernama Nizamiah atau An-Nizam.

“Pesantren yang pelajari pendidikan umum pertama kali adalah Tebuireng. Gus
Wahid dululah yang masukkan materi bahasa Jerman, bahasa Inggris, model
klasikal,” ucap Kiai Haji Imam Tauhid yang puluhan tahun sempat mengurus
Kesepuhan Pondok Pesantren Tebuireng sebagaimana dikutip Tempo.

Ketika menjabat sebagai Menteri Agama, Wahid pun menggagas diajarkannya


pengetahuan agama di sekolah-sekolah umum. Menurut Ahmad Zaini, penulis
buku K.H. A. Wahid Hasyim: Pembaru Pendidikan Islam dan Pejuang
Kemerdekaan, seperti diungkapkannya kepada Tempo, gagasan tersebut lahir
karena Wahid sadar bahwa pendidikan nasional di Indonesia terlampau sekuler.

Sebelum menjadi Menteri Agama yang pertama, Wahid bahkan mendirikan


sekolah tinggi Islam di Jakarta yang kemudian menjadi Universitas Islam Indonesia
(UII) di Yogyakarta.

Pada 1950, ia menjadikan Fakultas Agama UII menjadi Perguruan Tinggi Agama
Islam Negeri (PTAIN). Sementara pada 1957, didirikan juga Akademi Dinas Ilmu
Agama (ADIA). Tiga tahun kemudian, kedua perguruan tinggi ini dilebur menjadi
Institut Agama Islam Negeri (IAIN).

Pada perjalanannya, perguruan tinggi Islam di Indonesia kian berkembang. Kiwari


tak hanya IAIN, tapi ada juga Universitas Islam Negeri (UIN) dan Sekolah Tinggi
Agama Islam Negeri (STAIN).
Sebagai seorang yang tumbuh di lingkungan pesantren, Wahid Hasjim tak
melulu sarungan. Ia malah kerap berpenampilan mengenakan kemeja lengan
panjang, dasi, sepatu pantofel, dan sesekali memakai jas.

“Bapak dandy untuk orang pesantren di zamannya,” ujar salah seorang anaknya
seperti dikutip Tempo dalam Wahid Hasyim: Untuk Republik dari
Tebuireng (2011).
Tempo menambahkan, asisten pribadinya yakni Kiai Haji Syaifuddin Zuhri, sempat
bertanya kepadanya tentang cara berpakaian Wahid Hasjim yang kerap necis. Ia
pun menjawab, “Jika mereka belum tertarik gagasan kita, biarlah sekurang-
kurangnya mereka tertarik kepribadian kita.”

Penampilannya yang demikian dibarengi oleh pergaulannya yang luas. Menurut


Greg Barton dalam Biografi Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman
Wahid (2011), rumahnya sering dikunjungi tamu dari pelbagai golongan, termasuk
anak-anak muda dan orang-orang Eropa.

Salah seorang kawan baiknya, imbuh Barton, adalah seorang Jerman yang telah
masuk Islam bernama Williem Iskandar Bueller. Kepada kawannya itu ia sering
mengirim anaknya, Gus Dur, untuk bermain di rumahnya.
“Di sinilah Gus Dur mulai mencintai musik klasik, khususnya karya-karya
Beethoven. Gus Dur terpesona oleh musik Beethoven sejak hari pertama ia
mendengarnya lewat gramofon Bueller,” tulisnya.

Hal lain dalam keseharian pergaulannya, Wahid juga menghormati tamu-tamunya


yang berbeda-beda latar belakang. Sepeti ditulis Tempo, salah satu cara ia
menghormati tamu itu adalah dengan menyimpan korek api di kantong jas atau
celananya untuk membantu sang tamu yang hendak merokok. Ia sendiri tak
merokok.

Penampilannya yang rapi dan pergaulannya yang luas, menurut Berton tak
menjadikan Wahid Hasjim terlampau serius, ia malah penuh humor. Sekali waktu
saat kelompok kader-kader muda mengunjunginya, Gus Dur disuruhnya untuk
menyajikan teh dan biskuit, serta mengikat tali-tali sepatu mereka yang tertidur.

Antara Bangkalan dan Cimindi

Pada 18 April 1953, Wahid dan rombongannya yang menggunakan Chevrolet


berangkat dari Jakarta hendak menuju Sumedang untuk menghadiri rapat NU.
Pukul satu siang saat kendaraan berada di Cimindi, daerah antara Cimahi dan
Bandung, hujan turun deras yang mengakibatkan mobil selip karena jalanan licin.
Sementara di depan dan belakang mobil tersebut terdapat banyak kedaraan lain
yang tengah melaju. Kecelakaan pun tak dapat dihindarkan.

“K.H. A. Wahid Hasjim bekas Menteri Agama telah meninggal dunia dalam suatu
kecelakaan mobil di antara Cimahi dan Bandung. Jenazahnya sedang diusahakan
untuk diangkut ke Jakarta dengan ambulans,” demikian kabar dari sebuah radio
seperti terdapat dalam Sejarah Hidup K.H. A. Wahid Hasjim (2011) yang ditulis
oleh H. Aboebakar.

Kecelakaan lalu lintas itu terjadi pada Sabtu. Sehari kemudian yakni pada Ahad, 19
April 1953, tepat hari ini 66 tahun yang lalu, Wahid Hasjim meninggal dunia.

3.

Anda mungkin juga menyukai