Abdul Gofar
Muhammad Kundarto
Trestina Ekawati
Trisna Adisti
PANDUAN MASTERPLAN
DESA KEPAKISAN
KABUPATEN BANJARNEGARA
Dyah Sugandini
Abdul Gofar
Muhammad Kundarto
Trestina Ekawati
Trisna Adisti
Panduan Masterplan Desa Kepakisan Dieng Kulon
Kabupaten Banjarnegara
Penulis
Dyah Sugandini
Abdul Gofar
Muhammad Kundarto
Trestina Ekawati
Trisna Adisti
Tata Letak
Ulfa
Desain Sampul
Darisman
Diterbitkan oleh:
ZAHIR PUBLISHING
Kadisoka RT. 05 RW. 02, Purwomartani,
Kalasan, Sleman, Yogyakarta 55571
e-mail : zahirpublishing@gmail.com
Team Penulis
iii
iv
DAFTAR ISI
v
2. Candi Arjuna................................................... 40
3. Pendakian Gunung Prau................................. 41
4. Batu Pandang Ratapan Angin......................... 42
5. Kawah Sikidang.............................................. 43
6. Gardu Pandang Dieng..................................... 44
7. Bukit Sikunir................................................... 45
8. Telaga Pengilon.............................................. 46
BAB 4 PENTINGNYA TOURISM INTEGRATED
MASTERPLAN DIENG................................................ 47
1. Dieng dalam Wacana Pariwisata Nasional..... 47
2. Pendekatan Perencanaan Tourism Integrated
Masterplan Dieng........................................... 53
BAB 5 PENDEKATAN KETERPADUAN
PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN LINTAS
SEKTOR, LINTAS DAERAH, DAN LINTAS
PELAKU...................................................................... 57
1. Keterlibatan Antar Lembaga dalam
Kepariwisataan............................................... 57
2. Kemitraan....................................................... 66
3. Sinergi Model Pertumbuhan dan Pemerataan
Dalam Pembangunan Kepariwisataan
(Growth and Equity Oriented Models)........... 78
4. Pendekatan Perencanaan Pariwisata
Berkelanjutan.................................................. 71
BAB 6 PENDEKATAN COMMUNITY-BASED
TOURISM DEVELOPMENT....................................... 79
1. Community Based Tourism............................. 79
vi
2. Pemberdayaan Masyarakat............................. 81
3. Pemberdayaan Masyarakat di Bidang
Kepariwisataan............................................... 85
4. Pendekatan Kesesuaian Permintaan dan
Penawaran (Demand&Supply)........................ 87
5. Pendekatan Pengembangan di Dieng.............. 88
6. Wisata di Dieng.............................................. 89
a. Menikmati Matahari Terbit di Puncak
Sikunir...................................................... 89
b. Menelusuri Telaga Swiwi......................... 90
c. Menapak Tilas Peninggalan Nenek
Moyang.................................................... 91
d. Melihat Aktivitas Vulkanik...................... 92
e. Menjelajah Savana................................... 93
f. Menikmati Kuliner Khas.......................... 94
7. Teori-Teori/Pustaka yang Relevan dengan
Objek.............................................................. 94
8. Rancangan Kawasan Penunjang Wisata......... 98
BAB 7 PEMBELAJARAN BERBASIS
MASYAKARAT (COMMUNITY BASED-LEARNING-
CBL) DAN PROGRAM PENGABDIAN
MASYARAKAT YANG DILAKUKAN..................... 101
1. Konsep Pembelajaran Berbasis Masyarakat... 101
2. Pembelajaran Berbasis Wisata (Community
Based Tourism-CBT)...................................... 103
3. Pengabdian Masyarakat yang dilakukan........ 106
4. Partisipasi Mitra dalam Pelaksanaan Program 107
vii
5. Evaluasi Pelaksanaan Program dan
Keberlanjutan Program Setelah Selesai
Kegiatan PBM di Lapangan............................ 108
DAFTAR PUSTAKA................................................... 109
viii
BAB 1
TREN PARIWISATA
1. Pengertian Wisata
Wisata adalah suatu kegiatan perjalanan yang dilakukan
manusia baik perorangan maupun kelompok untuk
mengunjungi destinasi tertentu dengan tujuan rekreasi,
mempelajari keunikan daerah wisata, pengembangan diri
dan lain sebagainya dalam kurun waktu yang singkat atau
sementara waktu (UU RI No. 10 Tahun 2009). Tidak semua
orang yang melakukan perjalanan dari suatu (tempat asal)
ke tempat lain termasuk kegiatan wisata. Perjalanan rutin
seseorang ke tempat bekerja walaupun mungkin cukup jauh
dari segi jarak tentu bukan termasuk kategori wisatawan.
Dengan kata lain, kegiatan wisata adalah kegiatan bersenang-
senang (leisure) yang mengeluarkan uang atau melakukan
tindakan konsumtif (Heriawan, 2004). Berikut beberapa
pengertian wisata menurut para ahli, diantaranya:
a. Menurut Gamal
Wisata adalah suatu proses bepergian yang bersifat
sementara yang dilakukan seseorang untuk menuju
tempat lain di luar tempat tinggalnya. Motif kepergiannya
tersebut bisa karena kepentingan ekonomi, kesehatan,
agama, budaya, sosial, politik, dan kepentingan lainnya
(Gamal, 2004).
1
b. Menurut Richard Sihite
Wisata adalah suatu perjalanan yang dilakukan orang
untuk sementara waktu, yang diselenggarakan dari
suatu tempat ke tempat lain meninggalkan tempatnya
semula, dengan suatu perancangan dan dengan maksud
bukan untuk berusaha atau mencari nafkah di tempat
yang dikunjungi, tetapi semata-mata untuk menikmati
kegiatan pertamasyaan dan rekreasi atau untuk memenuhi
keinginan yang beraneka ragam (Sihite, 2000).
c. Menurut Oka A. Yoeti
Wisata adalah suatu perjalanan yang dilakukan sementara
waktu, yang diselenggarakan dari satu tempat ke tempat
lain, dengan maksud bukan untuk berusaha (bisnis)
atau mencari nafkah di tempat yang dikunjungi, tetapi
semata-mata untuk menikmati perjalanan tersebut guna
bertamasya dan rekreasi atau untuk memenuhi keinginan
yang beraneka ragam (Yoeti, 2006).
d. Menurut Hadinoto
Wisata merupakan suatu fenomena multidimensional,
menumbuhkan citra petualangan, romantic dan tempat-
tempat eksotik, dan juga meliputi realita keduniaan seperti
bisnis, kesehatan dan lain-lain (Hadinoto, 1996).
e. Menurut WTO (World Trade Organization: organisasi
internasional yang mengatur perjalanan perdagangan)
Wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan
manusia ke luar daerahnya yang dilakukan tidak lebih dari
satu tahun. Tujuannya adalah untuk bersenang-senang,
2
urusan bisnis dan lain sebagainya (WTO, 1999). Dari
beberapa pendapat mengenai pengertian wisata diatas,
dapat ditarik kesimpulan bahwa wisata adalah suatu
kegiatan perjalanan seseorang maupun kelompok yang
dilakukan sementara waktu tidak untuk menetap dan
tinggal dengan tujuan menikmati objek, rekreasi atau pun
untuk memenuhi keinginan yang beranekaragam.
2. Jenis-Jenis Wisata
Jenis-jenis wisata berdasarkan motif tujuan perjalanan
dapat dibedakan menjadi beberapa jenis wisata khusus, yaitu
(Spillane, 1987):
a. Wisata untuk menikmati perjalanan (Pleasure Tourism)
Jenis wisata ini dilakukan oleh orang-orang yang
meninggalkan tempat tinggalnya untuk berlibur,
mencari udara segar, memenuhi kehendak ingin-tahunya,
mengendorkan ketegangan syaraf, melihat sesuatu yang
baru, menikmati keindahan alam, mengetahui hikayat
rakyat setempat, mendapatkan ketenangan.
b. Wisata untuk rekreasi (Recreation Tourism)
Wisata ini dilakukan untuk pemanfaatan hari-hari libur
untuk beristirahat, memulihkan kembali kesegaran
jasmani dan rohaninya, dan menyegarkan diri dari
keletihan dan kelelahannya. Dapat dilakukan pada
tempat yang menjamin tujuan-tujuan rekreasi yang
menawarkan kenikmatan yang diperlukan seperti tepi
3
pantai, pegunungan, pusat-pusat peristirahatan dan pusat-
pusat kesehatan.
c. Wisata untuk kebudayaan (Cultural Tourism)
Jenis ini ditandai oleh adanya rangkaian motivasi, seperti
keinginan untuk belajar di pusat-pusat pengajar dan riset,
mempelajari adat-istiadat, kelembagaan, dan cara hidup
masyarakat yang berbeda-beda, mengunjungi monument
bersejarah, peninggalan masa lalu, pusat-pusat kesenian
dan keagamaan, festival seni musik, teater, tarian rakyat
dan lain-lain.
d. Wisata untuk olahraga (Sports Tourism)
Wisata ini dapat dibagi lagi menjadi dua kategori:
1) Big Sports Events, yaitu wisata-wisata olahraga
besar seperti Olympiade Games, kejuaraan ski dunia,
kejuaraan tinju dunia, dan lain-lain yang menarik
perhatian bagi penonton atau penggemarnya.
2) Sporting Tourism of the Practitioners, yaitu wisata
olahraga bagi mereka yang ingin berlatih dan
mempraktekkan sendiri seperti pendakian gunung,
olahraga naik kuda, berburu, memancing dan lain-
lain.
e. Wisata untuk urusan usaha dagang (Business Tourism)
Menurut para ahli teori, perjalanan wisata ini adalah bentuk
profesional travel atau perjalanan karena ada kaitannya
dengan pekerjaan atau jabatan yang tidak memberikan
kepada seseorang untuk memilih tujuan mau pun waktu
perjalanan.
4
f. Wisata untuk berkonvensi (Convention Tourism)
Wisata ini banyak diminati oleh Negara-negara karena
ketika diadakan suatu konvensi atau pertemuan maka
akan banyak peserta yang hadir untuk tinggal dalam
jangka waktu tertentu di Negara yang mengadakan
konvensi. Negara yang sering mengadakan konvensi
akan mendirikan bangunan-bangunan yang menunjang
diadakannya wisata konvensi.
Berdasarkan hasil diskusi dengan pihak kelurahan dan
tokoh masyarakat serta kelompok sadar wisata setempat maka
pengabdi mengidentifikasi beberapa potensi objek wisata
Desa Kepakisan. Objek-objek wisata yang menjadi daya tarik
wisatawan untuk datang ke Desa Wisata Kepakisan, dapat
dibagi kedalam tiga kelompok yakni;
a. Wisata Alam dan buatan mencakup; Telaga Swiwi,
Kawah Sileri, Curug Sirawe, Wisata Pemandian Air Panas
D’Qiano, Agrowisata dan Living Culture Masyarakat
Dieng.
b. Wisata Budaya. Beberapa daya tarik budaya yang bisa
ditonjolkan adalah; Ruwatan Rambut Gembel, Dieng
Culture Festival dan Jazz di Atas Awan.
c. Wisata berkaitan dengan pemberdayaan UKM mencakup;
Batik Kayu Dewa, Miniatur Candi, purwaceng, Keripik
Kentang, Manisan Carika, Selai Carika, Grobi Kentang,
dan sebagainya.
5
3. Produk Wisata
Pada umumnya yang dimaksud dengan produk adalah
sesuatu yang dihasilkan melalui proses produksi. Jadi
produk wisata merupakan rangkaian dari berbagai jasa yang
terkait, yaitu jasa yang dihasilkan berbagai perusahaan, jasa
masyarakat dan jasa alam.
a. Jasa yang disediakan perusahaan antara lain jasa angkutan,
penginapan, pelayanan makan minum, jasa tour, dan
sebagainya.
b. Jasa yang disediakan masyarakat dan pemerintahan
antara lain berbagai prasarana utilitas umum, kemudahan,
keramah tamahan, adat-istiadat, seni budaya, dan
sebagaimya.
c. Jasa yang disediakan alam antara lain pemandangan alam,
pegunungan, pantai, gua alam, taman laut, dan sebagainya
(Suwantoro, 1997).
Pada dasarnya ada tiga golongan pokok produk wisata
yaitu:
a. Objek wisata yang terdapat pada daerah-daerah tujuan
wisata.
b. Fasilitas yang diperlukan di tempat tujuan tersebut, seperti
akomodasi, catering, hiburan, dan rekreasi.
c. Transportasi (Yoeti, 2006)
Jadi pada hakikatnya definisi produk wisata adalah
keseluruhan bentuk pelayanan yang dinikmati wisatawan
semenjak ia meninggalkan tempat kediamannya, selama di
6
daerah tempat wisata, hingga ia kembali ke tempat semula
(Yoeti, 2006). Ciri-ciri produk wisata adalah sebagai berikut:
a. Tidak dapat dipindahkan, karena dalam penjualannya
tidak mungkin pelayanan itu sendiri dibawa kepada
konsumen, sebaliknya konsumen (wisatawan) yang harus
datang ke tempat produk yang dihasilkan.
b. Pada umumnya peranan perantara tidak dibutuhkan.
c. Hasil atau produk tidak dapat ditimbun.
d. Hasil atau produk tidak mempunyai standar atau ukuran
objektif.
e. Permintaan terhadap hasil atau produk wisata tidak tetap.
f. Hasil atau produk wisata banyak tergantung dari tenaga
manusia (Yoeti, 1996).
Dari uraian yang tertera diatas, dapat ditarik kesimpulan
bahwa kawasan Dieng merupakan produk wisata dari jasa yang
disediakan oleh alam. Sejak ratusan tahun lalu Dieng dikenal
memiliki banyak tempat-tempat wisata yang menakjubkan
untuk ditelusuri. Barisan pegunungan yang gagah, kawah-
kawah vulkanik, gua-gua alam, hingga candi-candi yang
penuh kisah sejarah serta beberapa danau alami dan air terjun
alami merupakan suguhan tak terlupakan yang akan dinikmati
pengunjung ketika bertandang ke Dieng. Sehingga, produk
wisata yang berada di Dieng merupakan produk jasa alam
yang menarik dan mudah untuk dikunjungi.
7
4. Kawasan Penunjang Wisata
Kawasan penunjang wisata adalah kawasan dengan luas
tertentu yang dibangun atau disediakan untuk memenuhi
kebutuhan pengembangan pariwisata (PERDA RTRW
Kabupaten Banjarnegara tahun 2011-2031, Perda 11/2011)
Kawasan penunjang wisata dibagi menjadi dua bentuk
yaitu (Septhi, 2001):
a. Kawasan penunjang wisata murni yaitu suatu areal yang
secara khusus disediakan untuk menampung berbagai
kegiatan pariwisata, dilengkapi dengan berbagai sarana
penunjang untuk memudahkan bagi kegiatan pariwisata,
dimana pengelolaannya ditangani oleh suatu badan baik
pemerintah mau pun swasta atau kerjasama pemerintah
dengan swasta.
b. Kawasan penunjang wisata terbuka yaitu kawasan yang
bobotnya dipergunakan untuk pengembangan pariwisata
di kawasan pariwisata tersebut, kegiatan lainnya dari
masyarakat umum seperti pertanian, perkebunan, dan lain
sebagainya masih terbuka, yang diatur dan ditata agar
mendukung pengembangan pariwisata.
Kawasan Kawah yang berada di Dieng merupakan
kawasan wisata murni yang termasuk dalam cagar alam
yang dilindungi, dimana pengelolaannya ditangani oleh
pemerintah yang bekerja sama dengan swasta. Oleh karena
itu, kawasan penunjang wisata sangat diperlukan untuk
memenuhi kebutuhan pengembangan pariwisata kawah yang
ada di Dieng.
8
5. Gambaran Umum Pariwisata
a. Tren Kepariwisataan Global
1) Pariwisata menjadi salah satu sektor penting
dalam pembangunan suatu negara dan peningkatan
kesejahteraan masyarakat yang ditunjukkan melalui
kontribusinya dalam GDP, tenaga kerja, dan nilai
export dunia.
2) Dalam skala nasional, kebijakan pembangunan
Indonesia menempatkan sektor pariwisata sebagai
salah satu sektor prioritas pembangunan. Hal ini
ditunjukkan dengan semakin meningkatnya devisa
dan investasi sektor pariwisata baik PMD maupun
PMDN.
3) Kawasan Dieng masih aktif secara geologi dan
banyak memiliki sumber-sumber energi hidrotermal.
b. Kinerja Pariwisata Banjarnegara
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah, kewenangan daerah pada
urusan bidang pariwisata mencakup:
1) Destinasi Pariwisata, dengan kewenangan:
pengelolaan daya tarik wisata kabupaten/kota,
pengelolaan kawasan strategis pariwisata kabupaten/
kota, pengelolaan destinasi pariwisata kabupaten/
kota, dan penetapan tanda daftar usaha pariwisata
kabupaten/kota;
2) Pemasaran pariwisata, dengan kewenangan:
pemasaran pariwisata dalam dan luar negeri tentang
9
daya tarik, destinasi dan kawasan strategis pariwisata
kabupaten/kota;
3) Pengembangan ekonomi kreatif melalui pemanfaatan
dan perlindungan Hak Kekayaan Intelektual, dengan
kewenangan: penyediaan prasarana (zona kreatif/
ruang kreatif/kota kreatif) sebagai ruang berekspresi,
berpromosi dan berinteraksi bagi insan kreatif di
daerah kabupaten/kota; dan
4) Pengembangan sumber daya pariwisata dan ekonomi
kreatif, dengan kewenangan: pelaksanaan peningkatan
kapasitas sumber daya manusia pariwisata dan
ekonomi kreatif tingkat dasar.
Jumlah kunjungan wisatawan pada tahun 2016
melonjak hingga lebih dari 100% bila dibandingkan
dengan angka kunjungan wisatawan pada tahun 2012. Hal
ini tidak terlepas dari adanya pembenahan objek wisata
dan infrastruktur pendukungnya serta adanya pengelolaan
even pariwisata yang semakin baik. Jumlah pengunjung
obyek wisata pada tahun 2012 sebanyak 473.702 orang,
jumlah ini berfluktuatif namun cenderung meningkat
hingga mencapai angka 1.076.735 orang wisatawan pada
tahun 2016. Meningkatnya jumlah wisatawan bergerak
linier dengan meningkatnya jumlah pendapatan dari
sektor wisata dari Rp 3.516.846.400 pada tahun 2012
menjadi Rp 7.153.833.000,-pada tahun 2016. Secara rinci
kinerja pembangunan pariwisata dapat dilihat pada tabel
berikut ini:
10
Capaian Kinerja Urusan Pilihan Pariwisata Kabupaten
Banjarnegara Tahun 2012-2016
Indikator Pencapaian Kinerja
Satuan
Kerja 2012 2013 2014 2015 2016
Kunjungan presentase 94,74 96,28 94,9 161 195,77
wisata orang 473.702 480.827 474.517 884.091 1.076.735
Pendapatan presentase 128,12 122,53 153,68 118,81 110,22
sektor Milyar
pariwisata rupiah 3,516 3,499 4,702 5,593 7,153
11
dan Kebudayaan serta Pelaksanaan Urusan Ketatausahaan
Dinas.
Dengan demikian secara umum peranan Dinbudpar
adalah Mewujudkan Kebudayaan dan Pariwisata sebagai
salah satu andalan pembangunan Daerah yang mampu
menggalakkan ekonomi termasuk sektor lain terkait,
yang bertumpu pada kekayaan alam, budaya, lingkungan
hidup dan menjadikan Banjarnegara sebagai daerah tujuan
wisata Internasional dan warisan budaya dunia.
Sektor Pariwisata sebagai asset ekonomi Kabupaten
Banjarnegara adalah merupakan kegiatan usaha yang
memiliki prospek menjanjikan, sekaligus mampu
memberikan kontribusi pendapatan yang signifikan bagi
pendapatan asli daerah. Bahkan pengaruh multi ganda
yang diakibatkannya mampu menciptakan lapangan usaha
dan lapangan kerja yang luas bagi masyarakat.
Ruang Lingkup Tugas Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Kabupaten Banjarnegara secara garis besar
meliputi: peningkatan produk pariwisata, peningkatan
pemasaran pariwisata dan pengembangan Seni Budaya
sebagai bagian kebudayaan nasional.
b. Visi dan Misi
Adapun visi dan misi Dinas Pariwisata dan Kebudayaan
Kabupaten Banjarnegara adalah sebagai berikut:
12
1) Visi
Visi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten
Banjarnegara adalah “Terwujudnya Banjarnegara
sebagai Daerah Tujuan Wisata”.
Artinya menjadikan Kabupaten Banjarnegara sebagai
salah satu Destinasi Pariwisata Nasional yang
didukung dengan paket wisata berupa Daya Tarik
Obyek wisata, transportasi, akomodasi dan penerapan
sapta pesona.
2) Misi
• Meningkatkan kualitas obyek dan daya tarik
wisata.
• Meningkatkan Jaringan Pemasaran Pariwisata.
• Meningkatkan pembinaan, pelestarian, dan
pengembangan Kebudayaan Daerah.
• Meningkatan kualitas pelayanan dan kelancaran
tugas-tugas Dinas Pariwisata.
c. Sarana dan prasarana pendukung pariwisata
Pada tabel berikut ini disajikan data sarana dan prasarana
pendukung pariwisata di Kabupaten Banjarnegara.
Sarana dan
Jumlah Keterangan
Prasarana
Hotel: 8 buah Kamar: 220, tempat tidur: 440
►► Hotel Melati 1 buah Kamar: 124, tempat tidur: 248
►► Hotel Bintan
Home Stay 132 Dieng Kulon, Kepakisan, Karang
buah Tengah
13
Rumah Makan Layak 37 Buah Kursi: 851 buah
Wisata
Biro Perjalanan 14 Buah -
Wisata
Kios Cinderamata: 20 Buah Klampok
►► Keramik 5 Buah Susukan
►► Batik Tulis 4 Buah Dieng dan Banjarnegara
►► Pusat oleh-oleh
Gelanggang Renang 6 Buah Serulingmas, Anglir Mendung, Tirta
Teja, Surya Yudha Sport Center,
Serayu Park, D’Qiano hotspring
water park
Padang Golf 1 Buah 9 hole
Sumber : Disparbud Kab. Banjarnegara
14
11. Nopember 153364 153364
12. Desember 151595 151595
Jumlah 1604280 - - 1604280
Tahun 2018 1194235 - - 1194235
Tahun 2017 1118938 33488 5820 1158825
Tahun 2016 1715735 38103 6467 45382
Tahun 2015 948738 109222 24621 1083129
Tahun 2014 822881 79732 26572 929959
Sumber Data: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kab. Banjarnegara
15
Sunda (“di hyang”) karena diperkirakan pada masa pra-
Medang (sekitar abad ke-7 Masehi) daerah itu berada
dalam pengaruh politik Kerajaan Galuh.
Dataran Tinggi Dieng (DTD) adalah dataran
dengan aktivitas vulkanik di bawah permukaannya,
seperti Yellowstone atau pun Dataran Tinggi Tengger.
Sesungguhnya ia adalah kaldera dengan gunung-gunung
di sekitar sebagai tepinya. Terdapat banyak kawah
sebagai tempat keluarnya gas, uap air dan berbagai
material vulkanik lainnya. Selain kawah, terdapat pula
danau-danau vulkanik yang berisi air bercampur belerang
sehingga memiliki warna khas kuning kehijauan. Secara
biologi, aktivitas vulkanik di Dieng menarik karena pada
air-air panas di dekat kawah ditemukan beberapa spesies
bakteri termofilik (“suka panas”) yang dapat dipakai untuk
menyingkap kehidupan awal di bumi.
Kawasan Dieng juga merupakan penghasil sayuran
dataran tinggi untuk wilayah Jawa Tengah. Kentang
adalah komoditas utama. Selain itu, wortel, kubis, dan
bawang-bawangan dihasilkan dari kawasan ini. Selain
sayuran, Dieng merupakan sentra penghasil pepaya
gunung (carica), jamur, buah kemar, dan purwaceng.
16
Kawasan Dieng masih aktif secara geologi dan
banyak memiliki sumber-sumber energi hidrotermal. Ada
tiga lapangan hidrotermal utama, yaitu Pakuwaja, Sileri,
dan Sikidang. Di ketiganya terdapat fumarola (kawah uap)
aktif, kolam lumpur, dan lapangan uap. Mata air panas
ditemukan, misalnya, di Bitingan, Siglagah, Pulosari, dan
Jojogan, dengan suhu rata-rata mulai dari 25 °C (Jojogan)
sampai 58 °C (Siglagah). Kawasan Sikidang telah mulai
dimanfaatkan sebagai sumber energi hidrotermal.
e. Dasar Hukum Pengembangan Pariwisata Dieng
Secara keseluruhan dasar hukum yang dimuat di
dalam Kerangka Acuan Kerja sudah cukup lengkap dan
memadai. Namun ada beberapa peraturan yang perlu
disesuaikan dengan yang terbaru seperti di dalam KAK
tertulis Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun
17
2010-2014 diganti dengan Peraturan Presiden No. 2 Tahun
2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional 2015-2019. Selain itu perlu ditambahkan sebagai
dasar hukum pelaksanaan kegiatan penyusunan Tourism
Integrated Masterplan Dieng.
Peraturan perundangan yang sebaiknya ditambahkan
sebagai dasar hukum pelaksanaan kegiatan penyusunan
Tourism Integrated Masterplan Dieng antara lain sebagai
berikut:
1) Sektor Pariwisata
Peraturan Presiden No 64 Tahun 2014 tentang
Koordinasi Strategis Lintas Sektor Penyelenggaraan
Kepariwisataan
2) Sektor Lingkungan Hidup
a) Undang-Undang No 32 tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
b) Peraturan Pemerintah No 27 Tahun 2012 tentang
Izin Lingkungan
c) Peraturan Pemerintah No 28 Tahun 2011 tentang
Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan
Pelestarian Alam
d) Peraturan Pemerintah No 27 Tahun 1999 tentang
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup
3) Pemerintah Daerah
a) Undang-Undang No 6 Tahun 2014 tentang Desa
18
b) Peraturan Pemerintah No 47 Tahun 2015 tentang
Perubahan atas PP No 43 Tahun 2014 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang No 6 Tahun 2014
tentang Desa
c) Peraturan Pemerintah No 50 Tahun 2007 tentang
Pelaksanaan Kerjasama Daerah
d) Peraturan Pemerintah No 69 Tahun 2010
tentang Tata Cara Pemberian dan Pemanfaatan
Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
e) Peraturan Pemerintah No 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintah antara Pemerintah,
Pemerintah Provinisi dan Pemerintah Kabupaten/
Kota.
4) Tata Ruang Nasional
a) Peraturan Pemerintah No 15 Tahun 2010 tentang
Penyelenggaraan Penataan Ruang.
b) Peraturan Pemerintah No 8 Tahun 2013 tentang
Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang.
5) Peraturan di Tingkat Daerah
a) Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2011 tentang
Rencana Tata Ruang Kabupaten Banjarnegara
Tahun 2011–2031.
b) Peraturan Daerah Kabupaten Banjarnegara
Nomor 14 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas
Peraturan Daerah Kabupaten Banjarnegara
Nomor 14 Tahun 2015 tentang Rencana Induk
19
Pembangunan Kepariwisataan Daerah Kabupaten
Banjarnegara Tahun 2015-2030.
c) Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Daerah Tahun 2017-2022 Pemerintah Kabupaten
Banjarnegara Tahun 2017.
d) Peraturan Daerah Kabupaten Banjarnegara
Nomor 26 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan
Kepariwisataan.
6) Peraturan terkait lainnya dengan Sektor
Kepariwisataan
a) Undang-undang No 22 Tahun 2009 tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan.
b) Peraturan Pemerintah No 74 Tahun 2014 tentang
Angkutan Jalan.
c) Peraturan Pemerintah No 79 Tahun 2013 tentang
Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
d) Peraturan Pemerintah No 55 Tahun 2012 tentang
Kendaraan.
e) Peraturan Pemerintah No 8 Tahun 2011 tentang
Angkutan Multimoda.
f) Peraturan Presiden No 39 Tahun 2014 tentang
Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang
Usaha Terbuka dengan persyaratan di Bidang
Penanaman Modal.
20
f. Tujuan Tourism Integrated Masterplan Dieng
1) Menciptakan desa wisata yang berkelanjutan dalam
segi lingkungan dan pengelolaan desa wisata.
2) Meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan
menanggulangi kemiskinan melalui perencanaan
sektor pariwisata desa.
3) Meningkatkan kualitas permukiman dan prasarana,
sarana, dan utilitas umum desa melalui perencanaan
sektor pariwisata.
4) Mengembangkan dan menggerakkan kemitraan dalam
masyarakat, pemerintah desa dan daerah, serta pihak
swasta dalam implementasi perencanaan desa wisata.
g. Tujuan dari penyusunan Tourism Integrated Masterplan
Dieng ini dapat dicapai apabila:
1) Kunjungan wisatawan meningkat baik kuantitas
maupun kualitas.
2) Produk wisata; pelayanan dan pengelolaan (tourism
destination management: SDM+ Industri+Masyarakat)
berkualitas dan berstandar global.
3) Pemasaran dan Promosi berkelanjutan.
21
22
BAB 2
PROFIL KABUPATEN
BANJARNEGARA
23
a. Letak Kabupaten Banjarnegara berada di antara 7° 12′-7°
31′ LS (Lintang Selatan) dan 109° 29′-109° 45’50” BT
(Bujur Timur).
b. Luas keseluruhan wilayahnya 106.970,997 ha atau sekitar
3,10% dari keseluruhan luas Provinsi Jawa Tengah.
24
► Rahayuning berarti keselamatan,
► Praja berarti negara
Dengan kata lain berarti segenap warga daerah
Banjarnegara bertekad bulat melestarikan kemakmuran menuju
kebahagiaan lahir bathin bagi rakyat dan pemerintahannya.
2. Batas Wilayah
Dari peta Banjarnegara di bawah dapat kita lihat secara
jelas batas-batasnya. Adapun batas-batas wilayah Kabupaten
Banjarnegara adalah sebagai berikut:
a. Utara: berbatasan dengan Kabupaten Pekalongan dan
Kabupaten Batang
b. Timur: berbatasan dengan Kabupaten Wonosobo
c. Selatan: berbatasan dengan Kabupaten Kebumen
d. Barat: berbatasan dengan Kabupaten Banyumas dan
Kabupaten Purbalingga
25
3. Peta Letak
Jika dilihat dari keseluruhan peta Jawa Tengah, letak
Kabupaten Banjarnegara lihat peta Jawa Tengah di bawah ini:
26
4. Geografi
Bentang alam berdasarkan bentuk tata alam dan
penyebaran geografis, wilayah ini dapat dibagi menjadi 3
bagian, yaitu:
a. Zona Utara, adalah kawasan pegunungan yang
merupakan bagian dari Dataran Tinggi Dieng, Pegunungan
Serayu Utara. Daerah ini memiliki relief yang curam
dan bergelombang. Di perbatasan dengan Kabupaten
Pekalongan dan Kabupaten Batang terdapat beberapa
puncak, seperti Gunung Rogojembangan dan Gunung
Prahu. Beberapa kawasan digunakan sebagai objek
wisata, dan terdapat pula pembangkit listrik tenaga panas
bumi. Zona sebelah utara meliputi kecamatan Kalibening,
Pandanarum, Wanayasa, Pagentan, Pejawaran, Batur,
Karangkobar, Madukara.
b. Zona Tengah, merupakan zona Depresi Serayu yang
cukup subur. Bagian wilayah ini meliputi kecamatan
Banjarnegara, Ampelsari, Bawang, Purwanegara,
Mandiraja, Purworejo Klampok, Susukan, Wanadadi,
Banjarmangu, Rakit.
c. Zona Selatan, merupakan bagian dari Pegunungan
Serayu Selatan, merupakan daerah pegunungan yang
memiliki relief curam meliputi kecamatan Pagedongan,
Banjarnegara, Sigaluh, Mandiraja, Bawang, Susukan.
27
Ketinggian Wilayah Kota Nama Gunung dan
Kecamatan Ketinggiannya
di Kabupaten Banjarnegara dari di Kabupaten Banjarnegara
Permukaan Laut
Ketinggian Nama Gunung Ketinggian
Kecamatan
(meter) (meter)
(1) (2) (1) (2)
01. Susukan 80 01. P e r a h u 2 562
02. Purwareja
44
Klampok
03. Mandiraja 131 02. Gajah Mungkur 2 101
04. Purwanegara 157
05. B a w a n g 149 03. S i p a n d a 2 146
06. Banjarnegara 289
07. Pagedongan 639 04. P e n g a n u n 2 173
08. S i g a l u h 600
09. Madukara 320 05. J i m a t 2 213
10. Banjarmangu 290
11. Wanadadi 239 06. Petarangan 2 135
12. R a k i t 180
13. Punggelan 374 07. P u n t h u k 2 222
14. Karangkobar 1 015
15. Pagentan 935 08. Pengonan 2 800
16. Pejawaran 1 130
17. B a t u r 1 633 09. Ragajembangan 2 177
18. Wanayasa 1 135
19. Kalibening 1 049
20. Pandanarum 1 245
Sumber data:
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Kabupaten Banjarnegara
28
5. Penggunaan Lahan
Luas wilayah Kabupaten Banjarnegara tercatat 106.970,
997 ha atau sekitar 3,29% dari luas wilayah Provinsi Jawa
Tengah (3,25 juta ha). Penggunaan lahan menurut jenisnya di
Kabupaten Banjarnegara dibagi menjadi 3 yaitu lahan sawah,
bukan lahan sawah, dan lahan bukan pertanian.
Penggunaan Lahan 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)
I. Lahan Sawah 14 14 15 14 14 14 14 14 14
867 874 034 807 807 269 128 128 054
a. Lahan Irigasi 6 11, 11 10 10 11 11 11 11
230 214* 250 966 966 021 135 135 046
b. Lahan Irigasi 1/2 607 - - - - - - - -
Teknis
c. Lahan irigasi 2 - - - - - - - -
Sederhana 522
d. Lahan irigasi Desa/ 1 - - - - - - - -
Non PU 914
e. Lahan Tadah Hujan 3 3 457 3 3 3 2 2 2 2
391 508 565 565 991 939 939 942
f. Lahan Pasang Surut - - 276 276 276 257 54 54 66
g. Lebak/Polder, 203 203 - - - - - - -
lainnya
II. Bukan Lahan sawah 55 72 71 71 71 72 73 73 74
840 562 744 954 954 789 765 765 508
a. Tegal/Kebun 44 45 45 46 46 45 44 44 45
102 354 222 034 034 488 538 538 899
b. Perkebunan (Neg./ 3 3 824 3 2 2 3 3 3 2
Swasta) 223 065 317 317 626 194 194 799
c. Hutan Rakyat 6 6 869 7 7 7 6 7 7 6
679 054 175 175 325 401 401 610
29
d. Kolam/Tebat/ 520 - - - - - - - -
Empang
e. Lainnya 1 16, 16 16 16 17 18 18 19
316 515** 370 368 368 348 621 621 189
f. Lahan Yang Tidak - - 33 60 60 2 11 11 11
Diusahakan
III. Lahan Bukan Pertanian 36 19.53 20 20 20 19 19 19 17
263 5*** 193 210 210 913 079 079 736
a. Bangunan/ 15 - - - - - - - -
Pekarangan & halaman 178
b. Hutan Negara 16 - - - - - - - -
163
c. Rawa-rawa tidak -
ditanami padi
d. Lainnya (jalan, 4
sungai, danau) 922
Jumlah (I + II + III) 106 106 106 106 106 106 106 106 106
970 971 971 971 971 971 972 972 298
Sumber Data : Dinas Pertanian Kabupaten
Banjarnegara
Keterangan:
* Luas lahan tergabung kedalam Lahan
Sawah Irigrasi
**Kolam/Tebat/Empang + hutan negara + sementara tidak diusahakan masuk ke
lainnya
*** Bangunan/pekarangan/hutan negara/rawa-rawa,
jalan, kuburan, sungai
6. Topografi
Topografi wilayah ini sebagian besar (65% lebih) berada
di ketinggian antara 100 s/d 1000 meter dari permukaan laut.
Berikut secara rinci pembagian wilayah berdasarkan topografi:
30
a. Kurang dari 100 m dari permukaan air laut, meliputi luas
9,82 % dari seluruh luas wilayah Kabupaten Banjarnegara,
meliputi Kecamatan Susukan dan Purworejo Klampok,
Mandiraja, Purwanegara dan Bawang.
b. Antara 100–500 m dari permukaan air laut, meliputi
luas 37,04 % dari seluruh luas wilayah Kabupaten
Banjarnegara, meliputi Punggelan, Wanadadi, Rakit,
Madukara, sebagian Susukan, Mandiraja, Purwanegara,
Bawang, Pagedongan, Banjarmangu dan Banjarnegara.
c. Antara 500-1.000 m dari permukaan air laut, meliputi
luas 28,74% dari seluruh luas wilayah Kabupaten
Banjarnegara, meliputi Kecamatan Sigaluh, sebagian
Banjarnegara, Pagedongan dan Banjarmangu.
d. Lebih dari 1.000 m dari permukaan air laut, meliputi luas
24,40% dari seluruh wilayah Kabupaten Banjarnegara
meliputi kecamatan Pejawaran, Batur, Wanayasa,
Kalibening, Pandanarum, Karangkobar dan Pagentan.
7. Hidrologi
31
5 Pager 10
6 Merawu 32
7 Pekacangan 20
8 Gintung 30
9 Tulis 14
10 Bojong 11
11 Penaruban 11
12 Sibebek 13
13 Bombong 11
14 Brakah 10
Sumber Data: Dinas PU dan Penataan Ruang
Kab. Banjarnegara
32
e. Madukara: memiliki 20 mata air yang dialiri Serayu,
Merawu, Langkrang, dan Bangbang.
f. Pagentan: memiliki 9 mata air yang dialiri Merawu,
Bojong, dan Jawar.
g. Pejawaran: memiliki 13 mata air yang dialiri oleh sungai
Bojong, Penaraban, Putih, dan Dalak.
8. Klimatologi
Wilayah kabupaten Banjarnegara memiliki iklim tropis,
data kelembaban dan keadaan iklim di Kabupaten Banjarnegara
disajikan dalam tabel berikut ini:
33
Keadaan Iklim (Rata-Rata) di Kabupaten Banjarnegara
Tahun 2010-2019
Keterangan Satuan 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019
22,2- 21,3- 20,5- 20.9- 21,5- 21,9- 21,4- 20,8- 20,3- 22,3-
Suhu °C
28,4 27,6 28,0 28.6 27,9 29,3 28,2 27,2 27,5 27,3
Kelembaban 74- 71,3- 82.9- 80.9- 72.2- 79.2- 81.3- 76.9- 74.7-
% 87
Udara 88 91,3 89.1 89.9 87.1 88.4 88.2 87.7 85.7
Curah mm/ 6 3 3 3 5 3 5
3866, 3738, 4923,
Hujan thn 179 886 730 623 542 029 767
Kecepatan 10,
knot 6 5, 14 6 4 6, 71 10 11 11 11
Angin 17
Keadaan
Gempa kali 219 258, 129 140 172, 154 832 568, 660
Bumi
Catatan: -
Sumber data :
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Kabupaten Banjarnegara
9. Kecamatan
Kabupaten Banjarnegara terdiri dari 20 kecamatan,
12 kelurahan, dan 266 desa. Pada tahun 2017, jumlah
penduduknya mencapai 1.002.398 jiwa dengan luas wilayah
1.023,73 km² dan sebaran penduduk 979 jiwa/km².Pusat
pemerintahan berada di Kecamatan Banjarnegara, dengan
kecamatan terluas dan memiliki penduduk terbanyak adalah
34
kecamatan Punggelan. Kota-kota kecamatan yang cukup
signifikan adalah: Kota Mandiraja, Klampok, Wanadadi,
Karangkobar, dan Kalibening. Daftar kecamatan dan jarak
antar ibukota kecamatan di Kabupaten Banjarnegara, adalah
sebagai berikut:
Jumlah Desa, Kelurahan,
RukunTetangga, Rukun Warga
Wilayah
Rukun Rukun
Desa Kelurahan
Tetangga Warga
1. Kabupaten Banjarnegara 266 12 5459 1335
2. Kecamatan Susukan 15 - 350 78
3. Kecamatan Purwareja Klampok 8 - 234 61
4. Kecamatan Mandiraja 16 - 386 72
5. Kecamatan Purwanegara 13 - 396 75
6. Kecamatan Bawang 18 - 405 115
7. Kecamatan Banjarnegara 4 9 318 84
8. Kecamatan Pagedongan 9 - 266 60
9. Kecamatan Sigaluh 14 1 195 45
10. Kecamatan Madukara 18 2 246 74
11. Kecamatan Banjarmangu 17 - 279 60
12. Kecamatan Wanadadi 11 - 190 43
13. Kecamatan Rakit 11 - 277 51
14. Kecamatan Punggelan 17 - 427 101
15. Kecamatan Karangkobar 13 - 181 48
16. Kecamatan Pagentan 16 - 238 61
17. Kecamatan Pejawaran 17 - 257 71
18. Kecamatan Batur 8 - 176 42
19. Kecamatan Wanayasa 17 - 271 69
20. Kecamatan Kalibening 16 - 234 80
21. Kecamatan Pandanarum 8 - 133 45
Sumber Data : Dinas Pekerjaan Umum Kab. Banjarnegara
35
10. Demografi
Berdasarkan data penduduk pada tahun 2019, jumlah dan
spesifikasi penduduk di Kabupaten Banjarnegara dapat dilihat
pada tabel berikut:
36
19. Kalibening 21 315 21 250 100,31
20. Pandanarum 10 187 10 189 99,98
J umlah 462 405 460 787 100,35
Tahun 2018 459 903 458 316 100,35
Tahun 2017 457 295 455 622 100,37
Tahun 2016 454 585 452 825 100,39
Tahun 2015 451 825 449 989 100,41
Catatan/Note : -
Sumber/Source: BPS Kab.
Banjarnegara
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Kabupaten Banjarnegara (Persen)
Wilayah
Kabupaten
2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019
Kab.
6.39 4.91 5.07 3.10 4.97 3. 69 4.16 4.06 5. 05 - 4.72 4 4.47
Banjarnegara
Kab. 73. 71. 73. 75. 79. 73. 75. 72. 70. 71. 69.
74 -
Banjarnegara 13 75 69 09 35 44 20 61 95 78 85
Pengangguran 229 144 239 190 201 202 246 230 199 218
-
Terbuka 93 57 87 34 09 98 59 25 15 76
37
Total
453 467 482 516 483 500 488 487 498 489
Angkatan -
660 074 535 009 125 421 703 457 086 221
Kerja
38
BAB 3
PARIWISATA DI BANJARNEGARA
1. Telaga Merdada
39
Telaga Merdada di Desa Karang Tengah, Kecamatan Batur,
Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah.
2. Candi Arjuna
40
3. Pendakian Gunung Prau
41
4. Batu Pandang Ratapan Angin
42
5. Kawah Sikidang
43
6. Gardu Pandang Dieng
44
7. Bukit Sikunir
45
8. Telaga Pengilon
46
BAB 4
PENTINGNYA TOURISM
INTEGRATED MASTERPLAN DIENG
47
penyusunan Tourism Integrated Masterplan Dieng dengan
pertimbangan pengembangan pariwisata di suatu wilayah
dikarenakan berbagai alasan.
Alasan utama suatu wilayah mengembangkan pariwisata
karena untuk meningkatkan manfaat ekonomi dari
pembelajaran wisatawan di lokasi wisata; pendapatan bagi
pemerintah daerah melalui pajak dan retribusi, pendapatan
bagi masyarakat dan pelaku usaha, membuka dan meyediakan
kesempatan bekerja bagi masyarakat. Sedangkan alasan
yang lain adalah untuk menjadikan sektor pariwisata sebagai
katalis pembangunan sektor lain seperti pertanian, perikanan,
kehutanan dan perdagangan maupun industri. Disamping itu
pengembangan pariwisata di suatu wilayah akan membuka
pembangunan infrastruktur dasar pembangunan wilayah
seperti jalan, listrik, telekomunikasi dan kebutuhan air bersih,
dimana fasilitas tersebut tidak secara khusus dipertuntukan
wisatawan tetapi juga untuk memberikan pelayanan kepada
masyarakat umum. Pembangunan pariwisata juga dapat
digunakan sebagai sarana untuk melestarikan lingkungan alam
dan budaya suatu wilayah.
Beberapa wilayah di dunia telah membuktikan bahwa
pembangunan pariwisata mampu menjadi sarana pelestarian
dan perlindungan kekayaan lingkungan alam dan budaya.
Secara sosial, pariwisata mampu memberikan alternatif hiburan
dan sarana rekreasi bagi masyarakat yang ingin meluangkan
waktu libur. Disamping itu dengan adanya pariwisata fasilitas-
fasilitas umum dan komersial dapat dimanfaatkan secara
bersama baik oleh wisatawan maupun masyarakat misalnya
48
toko kelontong, perbankan, fasilitas kesehatan maupun fasilitas
keamanan. Disamping itu pariwisata mampu menjadi wahana
belajar dan saling tukar pikiran/budaya akibat interaksi dua
budaya yang berbeda, yang dimiliki oleh wisatawan dan
yang dimiliki oleh masyarakat di sekitar destinasi pariwisata.
Namun demikian diantara manfaat-manfaat positif pariwisata
diatas, pembangunan pariwisata dapat memberikan dampak
negatif dan masalah yang rumit di suatu wilayah. Misalnya:
kerusakan lingkungan, kebocoran manfaat ekonomi dan
distorsinya ekonomi lokal, serta kehilangan identitas dan
integritas sosial budaya masyarakat.
Agar manfaat positif dari kegiatan pariwisata dapat
dimaksimalkan dan meminimalkan efek negatif dari
kegiatan pariwisata, maka diperlukan dan dipersyaratkan
adanya perencanaan pariwisata yang baik di suatu wilayah
yang memiliki potensi pariwisata, seperti halnya yang
terdapat di wilayah kawasan Dieng dan sekitarnya. Saat ini
di wilayah tersebut sudah berkembang kegiatan pariwisata,
namun belum memiliki rencana pengembangan pariwisata
secara terpadu. Pada umumnya perencanaan pariwisata akan
memberikan dampak yang baik bagi suatu kawasan bukan
justru perencanaan pariwisata akan menimbulkan masalah
baru di suatu kawasan. Tujuan dan manfaat dari pembangunan
pariwisata akan dapat terwujud manakala disusun rencana
pariwisata yang komprehensif/kompatibel dan terintegrasi
dengan rencana-rencana umum maupun rencana sektor lain.
Karena salah satu sifat dari pembangunan pariwisata adalah
memanfaatkan sumber daya yang dimiliki oleh sektor lain
49
seperti wilayah kehutanan, kelautan atau pun pertambangan
sebagai daya tarik wisata/atraksi wisata. Secara khusus,
perencanaan pariwisata disusun karena alasan-alasan sebagai
berikut: Pemahaman terhadap bagaimana mengembangkan
pariwisata di beberapa wilayah dan negara masih menjadi
hal yang baru dan belum dipahami dengan baik. Banyak
pihak (pemerintah, masyarakat dan pelaku usaha) melihat
pembangunan pariwisata hanya dengan cara-cara yang
sangat praktis dan bersifat instan. Perencanaan pariwisata
dan program pengembangan yang baik melalui kaidah-
kaidah akademis dan penelitian dari berbagai keahlian akan
dapat memberikan dan menjadi pedoman/guidelines untuk
pembangunan sektor pariwisata di suatu wilayah.
Pariwisata adalah sektor yang kompleks, multi sektor, dan
kegiatannya terpisah-pisah oleh operator/instansi (fragmented
activity), melibatkan sektor lain seperti pertanian, kelautan,
perikanan, cagar budaya maupun kehutanan serta infrastruktur
yang masing-masing memiliki regulasi dan kebijakan di bidangnya.
Program dan perencanaan pariwisata melalui koordinasi dan
kolaborasi dari berbagai sektor di atas akan memberikan arahan
yang tepat bagi pembangunan pariwisata;
Sifat yang lain dari pariwisata adalah bahwa produknya berupa
jasa pelayanan yang diberikan oleh berbagai operator/instansi
untuk memberikan pengalaman yang berharga bagi wisatawan
yang berkunjung ke suatu wilayah. Sehingga akan berdampak
bahwa pengembangan atau pembangunan fasilitas maupun
sarana yang dibutuhkan oleh wisatawan harus sesuai dengan
harapan atau target wisatawan yang akan dipilih. Kesesuaian dan
bertemunya aspek produk dan pasar menjadi kunci keberhasilan
dalam pengembangan pariwisata, untuk itu pariwisata perlu
disusun perencanaannya dengan melihat aspek calon konsumen/
wisatawan yang akan berkunjung.
50
Pariwisata akan memberikan dampak baik langsung,
tidak langsung maupun dampak ikutan (multiplier effects)
akibat aktivitas pariwisata di suatu lokasi. Tanpa perencanaan
pariwisata yang baik, ketiga manfaat baik langsung,
tidak langsung maupun ikutan tidak akan tercapai secara
maksimal. Sehingga diperlukan perencanaan pariwisata yang
memperhatikan juga dampak-dampak pariwisata yang akan
muncul baik pada tataran dampak langsung, tidak langsung
dan dampak ikutan;
Pariwisata dapat menimbulkan dampak sosial budaya
yang bermanfaat maupun yang membahayakan masyarakat.
Perencanaan pariwisata dapat digunakan sebagai proses
mengoptimalkan manfaat baik kepada masyarakat dan
meminimalkan dampak negatif yang akan muncul akibat
kegiatan pariwisata;
Pembangunan atraksi wisata, fasilitas wisata dan
infrastruktur serta pergerakan wisatawan di destinasi pariwisata
akan dapat memberikan dampak negatif bagi lingkungan
fisik wilayah/kerusakan lingkungan alam dan budaya.
Perencanaan pariwisata yang baik akan mampu memberikan
rekomendasi perhitungan optimal atas aktivitas wisatawan
pada daya tarik wisata, jumlah fasilitas pariwisata yang
akan dibangun serta tata letak bangunan yang tepat sehingga
dampak negatif yang akan muncul dapat dieliminasi. Sehingga
perencanaan pariwisata perlu mengadopsi dan didekati dengan
pembangunan pariwisata yang berwawasan lingkungan dan
berkelanjutan. Perencanaan pariwisata harus memastikan
51
bahwa kelestarian alam dan budaya yang ada pada destinasi
pariwisata dapat terlindungi dan terpelihara dengan baik.
52
penyesuaian atau living document akibat perubahan-perubahan
yang terjadi. Kedua, agar dapat dijalankan dilapangan, pada
akhir kegiatan diharapkan rekomendasi yang dihasilkan akan
ditindaklanjuti, agar dapat menjadi pegangan yang pasti bagi
semua pihak yang tertarik mengembangkan kawasan Dieng.
53
sebuah system kepariwisataan. Untuk itu perencanaan
kepariwisataan harus didekati pula dengan suatu
pendekatan kesisteman yang saling terhubung dan terkait
satu sama lain.
c. Pendekatan Komprehensif–berkaitan dengan pendekatan
kesisteman diatas, seluruh aspek dalam sistem
pengembangan kepariwisataan harus direncanakan dan
dianalisis secara terpadu tidak sektor per-sektor.
d. Pendekatan terintegrasi–berkaitan dengan pendekatan
kesisteman dan komprehensif, maka perencanaan
kepariwisataan harus dilakukan secara terintegrasi baik
terhadap aspek internal di dalam pariwisata maupun aspek
eksternal di luar perencanaan kepariwisataan.
e. Pendekatan pengembangan lingkungan dan berkelanjutan–
pariwisata harus direncanakan dengan baik tanpa merusak
kondisi fisik dan budaya. Lingkungan alam fisik dan sosial
budaya harus dijaga sebagai sumber daya wisata yang
berkelanjutan. Untuk itu analisis dan perhitungan daya
dukung lingkungan wajib dilakukan dalam perencanaan
pariwisata.
f. Pendekatan pemberdayaan masyarakat–perencanaan
pariwisata harus melibatkan masyarakat baik dalam proses
dan pelaksanaannya sehingga manfaat yang diterima
masyarakat dapat maksimal.
g. Pendekatan yang bersifat implementatif–rencana,
kebijakan dan strategi perencanaan pariwisata sebaiknya
bersifat realistik dan mampu dilaksakanakan dalam
54
praktek di lapangan. Sehingga dalam perencanaan perlu
disertakan teknik-teknik implementasi program dan
rencana.
h. Aplikasi proses perencanaan yang sistematik–proses
perencanaan kepariwisataan sebaiknya bersifat sistemik
dengan tahapan yang jelas.
55
56
BAB 5
PENDEKATAN KETERPADUAN
PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN
LINTAS SEKTOR, LINTAS DAERAH,
DAN LINTAS PELAKU
57
menggantikan peran sektor migas. Pariwisata merupakan
kegiatan yang tidak mengenal batas sektoral, begitu pula
tidak mengenal batas wilayah (regional). Oleh karena itu,
pengembangan pariwisata memerlukan dukungan dan sinergi
lintas daerah. Keterpaduan pengembangan antar daerah
yang terkait di dalamnya harus dibangun secara sinergis dan
komplementer.
Pendekatan melalui pola-pola kemitraan perlu
dikedepankan dalam rangka pengembangan partisipasi antar
pemangku kepentingan di bidang kepariwisataan. Selanjutnya,
sejalan dengan misi pemberdayaan masyarakat melalui
pengembangan pariwisata, maka perlu dirumuskan konsep
dan pola kemitraan strategis lintas pelaku di sejumlah sektor
dan daerah tertentu dalam rangka pemberdayaan masyarakat.
Beberapa contoh bentuk hubungan keterkaitan antar
sektor dalam pengembangan pariwisata antara lain:
a. Pengembangan kebijakan di sektor perhubungan meliputi
pengembangan bandara, jaringan jalan, pelabuhan, moda
angkutan penerbangan, kapal, dan kereta api.
b. Pengembangan kebijakan di sektor keimigrasian, sebagai
contoh: kebijakan bebas visa, penghapusan fee untuk visa
on arrival bagi negara-negara tertentu.
c. Pengembangan kebijakan di sektor kehutanan, pertanian/
perkebunan, kelautan, dan kebudayaan melalui dukungan
alokasi ruang/area atau objek bagi pengembangan
kegiatan kepariwisataan beserta penyiapan berbagaiaturan
pelaksanaan yang mendukung.
58
d. Pengembangan kebijakan di sektor pendidikan yang
dapat mendukung meningkatkan kualitas SDM pariwisata
Indonesia dan pengembangan standar pelatihan dan
pendidikan untuk menopang industri pariwisata, sehingga
mampu berkompetisi dengan SDM asing.
Mengingat karakter hubungan dan interdependensi yang
tinggi tersebut, maka koordinasi dan integrasi atau keterpaduan
program pembangunan yang intensif amat diperlukan untuk
mendorong pariwisata agar dapat berperan sebagai sektor
strategis bagi pembangunan ekonomi nasional sekaligus
menggantikan peran sektor migas di masa mendatang. Melalui
koordinasi terpadu yang dijalin antar sektor tersebut, maka
dapat disiapkan kerangka pengembangan terpadu yang akan
memberikan nilai manfaat yang besar dalam jangka panjang,
baik dalam hal penerimaan devisa, penyerapan tenaga kerja,
pemanfaatan produk lokal, pemberdayaan ekonomi rakyat,
maupun konservasi lingkungan dan sumber daya alam.
Sebagai sektor yang memiliki keterkaitan sektoral
maupun regional sangat tinggi, maka pengembangan sektor
pariwisata memerlukan koordinasi dan integrasi kebijakan
yang sangat intensif untuk mendukung pencapaian visi,
misi, dan tujuan yang akan dicapai sebagaimana disebutkan
di atas. Koordinasi dan sinergi pengembangan tidak saja
dalam kerangka kerjasama dan dukungan lintas sektor atau
lintas kementerian, namun lebih jauh adalah koordinasi dan
kerjasama antar daerah bahkan antar stakeholders dengan
unsur swasta dan masyarakat sebagaipelaku-pelaku penting
di lapangan.Kemitraan Sektor Publik dan Privat (Public-
59
Private Partnership/PPP) atau kemitraan pemerintah-swasta
merupakan salah satu cara penyediaan infrastruktur dan
pelayanan publik, yang di situpemerintah tetap bertanggung
jawab dan akuntabel bagi penyediaan jasa publikdan tetap
menjaga kelangsungan kepentingan publik. Konsep public
private partnership yang dipopulerkan oleh Osborne dan
Gabler (1992) dalam reinventing government merupakan
suatu konsep kerjasama yang disusun antara pemerintah
dan swasta atas dasar prinsip komplementaritas dan saling
menguntungkan, yang bertujuan mewujudkan penyediaan
infrastruktur dan fasilitas publik yang efektif dan efisien.
PPP adalah salah satu cara yang paling efektif dalam
menggerakkan roda perekonomian. Seperti telah lazim
ketahui, sektor privat atau swasta merupakan pemain utama
dalam pasar perdagangan. Perusahaan-perusahaan raksasa
nasional maupun multi-nasional saat ini memiliki sumber daya
(dana) yang lebih dari cukup untuk membangun infrastruktur
kepariwisataan. Dengan pola PPP, kendala kekurangan
anggaran bisa dicarikan solusi dengan menggandeng pihak
swasta. Menurut William J. Parente dari USAID Environmental
Services Program, definisi PPP adalah:
“an agreement or contract, between a public entity and a
private party, under which: (a) private party undertakes
government function for specified period of time, (b) the
private party receives compensation for performing the
function, directly or indirectly, (c) the private party is liable
for the risks arising from performing the function and,
60
(d) the public facilities, land or other resources may be
transferred or made available to the private party.”
Sementara itu, Kouwenhoven mengatakan bahwa:
“... if there is interaction between government and business,
thefocus in achieving convergent objectives is synergy the
objectivehave both social and commercial characteristics,
and therespective identities and responsibilities of the
parties involved remain intact.”
Pada era pasca krisis ini, reformasi lembaga pemerintahan
pusat dan daerah mengalami tantangan yang berat. Di satu
sisi pemerintah sebagai penyelenggara negara dituntut untuk
melakukan transformasi internal agar lebih adaptif terhadap
kebutuhan globalisasi-dengan tetap mengedepankan aspek
akuntabilitas, transparansi, dan profesionalisme-namun di
pihak lain yang bersangkutan masih mengalami permasalahan
keterbatasan sumber daya yang tersedia. Dalam kerangka
inilah maka pelaksanaan implementasi e-government kerap
mengalami kendala di lapangan sehingga banyak inisiatifnya
yang berjalan secara lambat dan tersendat-sendat. Bercermin
pada keberhasilan sejumlah pengembangan e-government di
negara lain, salah satu jawaban terhadap isu terkait adalah
dijalinnya kemitraan strategis antara pemerintah dan swasta
dalam merencanakan dan mengembangkan berbagai inisiatif
e-government. Kemitraan yang tangguh tidak saja akan
dapat menjawab tantangan jangka pendek implementasi
e-government semata, namun dapat menjamin tingginya
tingkat kesinambungan program yang ada. Tantangan terbesar
61
dalam proses menjalin kemitraan ini adalah ditemukannya
model bisnis (business model) yang disepakati oleh kedua
belah pihak. Penentuan model bisnis yang dimaksud tidaklah
semudah yang diduga, karena selain harus bersifat ‘win-win‘
bagi kedua belah pihak, bentuknya tidak boleh bertentangan
dengan peraturan maupun etika bisnis dan pemerintahan yang
berlaku (Indrajit, 2006).
Pelaksanaan PPP dilakukan di antaranya berdasarkan
prinsip: adil, terbuka, transparan, dan bersaing (competition).
Kemitraan yang dilakukan biasanya dalam hal sharing
investasi, resiko, tanggung jawab, dan keuntungan dari
pelayanan publik. Secara umum, kerjasama dalam PPP
adalah dalam hal pembiayaan, pembangunan, operasi dan
pemeliharaan infrastruktur dan fasilitas publik. Logika yang
mendasari dibentuknya kemitraan ini antara lain adalah
memberikan suatu keuntungan dalam aspek pelayanan secara
spesifik. Suatu kerjasama yang berhasil dapat memberikan
gambaran kuat tentang suatu hubungan yang saling melengkapi
(komplementer) antara pemerintah dan sektor swasta.
Lebih lanjut Osborne dan Gabler mengungkapkan bahwa
pendekatan utama bagi pelayanan publik melalui konsep
kemitraan pemerintah-swasta adalah menganggap client
sebagai customers dan menyerahkan kepada masyarakat untuk
menentukan pilihannya terhadap pelayanan yang diinginkan.
Sedangkan peran dan tanggung jawab masing-masing
pihak dapat berbeda tergantung bentuk kerjasama yang telah
disepakati sebelumnya. Dalam beberapa kasus keterlibatan
sektor swasta sangat signifikan dalam segala aspek penyediaan
62
jasa, sedangkan dalam kasus lain keterlibatannya sedikit.
Begitu pula sebaliknya. Namun peran dan tanggung jawab
Pemerintah tidak berubah.
Dengan adanya pengadaan yang mengedepankan
transparency andcompetition, manfaat yang dapat diraih
(Perpres Nomor 67 Tahun 2005) adalah:
a. Terjamin adanya harga pasar yang terendah (lowest
market prices);
b. Meningkatkan penerimaan publik terhadap proyek PPP;
c. Mendorong kesanggupan lembaga keuangan untuk
menyediakan pembiayaan tanpa sovereign guarantees;
d. Mengurangi risiko kegagalan proyek;
e. Dapat membantu tertariknya bidders yang sangat
berpengalaman dan berkualitas tinggi;
f. Mencegah aparat pemerintah dari praktek korupsi, kolusi,
dan nepotisme; mencukupi kebutuhan pendanaan secara
berkelanjutan melalui pengerahan dana swasta;
g. Meningkatkan kuantitas, kualitas, dan efisiensi pelayanan
melalui persaingan sehat;
h. Meningkatkan kualitas pengelolaan dan pemeliharaan
dalam penyediaan infrastruktur; dan
i. Mendorong dipakainya prinsip pengguna membayar
pelayanan yang diterima, atau dalam hal tertentu
mempertimbangkan daya beli pengguna.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam kegiatan
kerjasama antara Pemerintah dan Swasta antara lain adalah:
63
a. Penting bagi semua pihak untuk saling memahami misi,
fungsi, tugas, hak, dan kewajiban masing-masing sebagai
pelaku pembangunan.
b. Melakukan penyatuan persepsi dalam negoisasi kegiatan
kemitraan yang sangat memerlukan keterbukaan dan
komitmen dari para pelaku pembangunan agar dicapai
hasil yang saling menguntungkan.
c. Perlunya keterlibatan langsung seluruh pihak, terutama
Pemerintah Daerah, DPRD, masyarakat, karyawan, dan
lain-lain.
d. Keberadaan dan akses data yang relevan, mudah, benar,
dan konsisten.
e. Dukungan yang jelas dan benar kepada pemberi keputusan
baik tingkat Pusat,Propinsi, maupun Kabupaten/Kota.
f. Kriteria persyaratan lelang/negoisasi yang jelas,
transparan, dan konsisten.
g. Struktur dan tugas Tim Negoisasi yang jelas dan
kemampuan dalam penguasaan materi bidang hukum,
teknis, dan keuangan.
Pasal 51 Kepres Nomor 80 tahun 2003 menyebutkan
bahwa khusus pengadaan dengan pola kerjasama antara
pemerintah dan swasta akan diatur dengan Kepres tersendiri.
Aturan yang dimaksud adalah Perpres Nomor 67 Tahun 2005.
Dari berbagai model yang berjalan, terlihat selalu adanya
kemitraan yang solid antara tiga unsur utama yaitu pemerintah,
swasta, dan perguruan tinggi (yang disitu masyarakat atau
komunitas akan menjadi stakeholder dari kerjasama tersebut).
64
“The golden triangle” hanya akan berhasil diterapkan apabila
pemrakarsa kemitraan benar-benar mengerti hal-hal apa
saja yang akan menjadi pemicu atau perangsang terjadinya
kerjasama.
Adanya nilai tambah (“added-value”) adalah hal yang
harus dapat dirasakan oleh siapa saja pihak yang ingin
bekerjasama. Bagi pemerintah, kerjasama akan mendatangkan
manfaat atau memberikan nilai tambah apabila dapat membantu
mereka dalam hal meningkatkan kinerja pelayanan publik,
memperbaiki kualitas good governance, mengoptimalkan
pemakaian sumber daya yang terbatas, dan lain-lain.
Sementara bagi pihak swasta, suatu kerjasama akan dianggap
bermanfaat jika yang bersangkutan tidak hanya semata-mata
berhasil meningkatkan profitnya, tetapi memungkinkan
mereka untuk meningkatkan kualitas produk dan jasanya,
memperluas jejaring calon pelanggan, menciptakan hubungan
yang lebih baik dengan stakeholdernya, dan lain sebagainya.
Sementara bagi perguruan tinggi, kerjasama akan dilakukan
sejauh dapat meningkatkan basis pengetahuan, memperbaiki
kualitas penyelenggaraan pendidikan, menciptakan produk-
produk atau jasa-jasa inovatif, atau menawarkan pengalaman
pembelajaran baru.
Dalam sektor pariwisata, PPP merupakan framework baru
bagi kerjasama antara sektor publik dan privat (private and
public sector), seperti pergeseran dari intervensi pemerintah
menjadi katalisator, mengembangkan partisipasi sektor
swasta untuk menjamin keberlanjutan investasi, promosi, dan
pemasaran, memperkuat peran pemerintah dalam membuat
65
kebijakan, dengan tujuan untuk memaksimalkan kontribusi
pariwisata, baik di level nasional maupun regional dalam
bidang ekonomi, pembangunan sosial, dan menaikkan
kerjasama inter-regional. Prinsip Public-Private Partnership:
a. Terdapat dua pelaku yang terlibat, yakni pemerintah dan
swasta;
b. Keduanya bekerjasama sebagai mitra, dalam hal ini tidak
ada pihak yang bersifat membawahi pihak lain;
c. Adanya tujuan bersama berdasarkan komitmen yang
hendak dicapai; setiap tujuan bersama berdasarkan
komitmen tanggungjawab sendiri.
Untuk menjamin keberhasilan PPP, diperlukan kondisi-
kondisi di bawah ini, yang juga dikenal sebagai “process
conditions”, yaitu:
a. Perlindungan untuk kepentingan dan hak-hak pihak
ketiga;
b. Dukungan yang cukup dan kontrol terhadap fasilitas;
c. Orientasi bisnis dan pasar;
d. Koordinasi internal;
e. Pengelolaan proyek yang baik.
2. Kemitraan
Terdapat beberapa kemungkinan posisi utama yang
berpotensi terhadap interaksi kemitraan (adaptasi dari
Purwoko, 2006):
66
a. Dimungkinkan 100% peran sektor swasta, dengan tidak
melibatkan masyarakat dan pemerintah. Ini artinya
kawasan wisata sepenuhnya dikelola swasta, dengan tidak
ada keterlibatan pemerintah baik pada regulasi maupun
penyediaan fasilitas.
b. Ada interaksi antara pemerintah dan masyarakat. Pengelola
kawasan wisata misalnya, merupakan kombinasi antara
tenaga profesional pemerintah dan masyarakat.
c. Kombinasi dari tiga pilar governance: pemerintah
(publik), swasta, dan masyarakat. Kombinasi ini sama
dengan interaksi antara publik dan privat tetapi dengan
tambahan pekerja dari masyarakat.
Contoh kerjasama PPP adalah Bali Tourism Development
Center (BTDC). Berikut merupakan contoh peran dari
pemerintah di Nusa Dua:
a. Sebagai pemilik lahan;
b. Mempersiapkan rencana dan peraturan, misalnya:
c. Mempersiapkan penelitian hingga tahapan masterplan.
d. Mempersiapkan peraturan untuk mengelola lansekap,
pedagang, gaya arsitektur, dan lain-lain.
e. Melengkapi infrastruktur dengan pinjaman dari Bank
Dunia (World Bank) dan Asian Development Bank (ADB);
f. Hubungan antar komunitas dan pemberdayaan masyarakat
(community development) untuk menjamin bahwa
masyarakat akan mendapat keuntungan dan revenue dari
pengembangan kawasan Nusa Dua;
67
g. Pengembangan SDM melalui pelatihan;
h. Keamanan;
i. Fiscal dan financial incentive untuk atraksi dan hotel;
j. Investasi dan iklim yang mendukung investor untuk
masuk dengan tema “one-stop shopping”.
Public Private Partnership (PPP) dalam sektor
pariwisata atau kemitraan pemerintah-swasta dalam
program pembangunan kepariwisataan merupakan salah
satu cara penyediaan infrastruktur dan pelayanan publik,
di sektor pariwisata dimana pemerintah tetap bertanggung
jawab dan akuntabel bagi penyediaan sarana dan prasarana
kepariwisataan dan tetap menjaga kelangsungan pelayanan
terhadap kepentingan wisatawan.
PPP adalah salah satu cara yang paling efektif dalam
menggerakkan program pembangunan kepariwisataan.
Seperti yang kita ketahui, sektor privat atau swasta merupakan
pemain utama dalam usaha kepariwisataan. Dengan pola
PPP kendala kekurangan anggaran bisa dicarikan solusi
dengan menggandeng pihak swasta. Pemerintah pusat akan
menyediakan fasilitas, mulai dari feasibility study hingga
fasilitas lain, seperti misalnya jaminan kredit.
68
dua dekade terakhir ini, ketika tingkat kesejahteraan ekonomi
bangsa-bangsa di dunia semakin baik dan maju. Kemajuan dan
kesejahteraan masyarakat yang makin tinggi telah menjadikan
pariwisata sebagai bagian pokok dari kebutuhan atau gaya
hidup manusia sehingga menggerakkan jutaan manusia
untuk mengenal alam dan budaya di belahan atau kawasan-
kawasan dunia lainnya. Pergerakan jutaan manusia itu akan
mengerakkan mata rantai ekonomi yang saling kait-mengait
menjadi industri jasa yang memberikan kontribusi penting
bagi perekonomian dunia, baik dalam skala global maupun
lokal.
Dari aspek kewilayahan, sektor Pariwisata yang memiliki
karakter “in situ” (konsumen/wisatawan harus datang ke
lokasi untuk mengkonsumsi produk) memberikan peluang
dan kontribusi yang sangat besar bagi pengembangan wilayah,
pembukaan isolasi wilayah, dan pengentasan kemiskinan.
Hal tersebut telah mendorong tumbuh dan berkembangnya
kawasan-kawasan pariwisata dan pusat-pusat pelayanan yang
tersebar di seluruh wilayah Indonesia baik di kawasan urban/
perkotaan, kawasan pedesaan, bahkan kawasan terpencil di
pedalaman dan pulau-pulau kecil.
Peran dan kontribusi signifikan tersebut telah menjadikan
pariwisata sebagai sektor strategis yang memiliki potensi
dan peluang sangat besar untuk dikembangkan dan berperan
menjadi lokomotif bagi upaya revitalisasi perekonomian
Indonesia. Oleh karena itu, untuk meningkatkan kinerja
dan manfaatnya, diperlukan penanganan secara serius dan
profesional, mencakup seluruh komponen pengembangan
69
yang terkait di dalamnya.Oleh karena itu, untuk mendorong
pembangunan kepariwisataan nasional diperlukan sinergi
orientasi pembangunan pariwisata yang memadukan antara
strategi pertumbuhan (growth oriented model) dan strategi
pemerataan (equity oriented model).
a. Strategi Pertumbuhan (growth oriented model) merupakan
strategi pembangunan pusat-pusat pertumbuhan
pariwisata (growth pole) sebagai generator atau pemicu
pembangunan sektor pariwisata di wilayah atau kawasan
yang telah diidentifikasi memiliki potensi kepariwisataan
yang kuat dan memiliki skala jangkauan pasar yang luas
(nasional, regional, dan internasional). Pertumbuhan
tersebut dapat memberikan dampak perkembangan
wilayah, pengembangan wilayah, dan pengembangan
ekonomi kawasan sekitarnya melalui mata rantai kegiatan
jasa dan perdagangan yang terkait dalam sistem produk/
industri pariwisata. Strategi pertumbuhan dapat disebut
juga sebagai strategi akselerasi melalui peningkatan daya
saing produk atau destinasi pariwisata yang dilakukan
dalam upaya memperkuat dan meningkatkan kapasitas
dan kualitas produk agar memiliki daya tarik unggul baik
dalam kompetisi regional maupun global.
b. Skenario pemerataan (equity oriented model) atau disebut
juga penyebaran pertumbuhan merupakan strategi
yang dilaksanakan guna pemerataan pembangunan
kepariwisataan bagi wilayah yang memiliki sumber
daya kepariwisataan potensial namun masih tertinggal.
Dengan perkataan lain, potensi kepariwisataan yang
70
dimiliki belum mampu memberikan kontribusi/manfaat
ekonomi secara signifikan bagi wilayah terkait dan
membantu mengurangi kemiskinan. Skenario pemerataan
tersebut harus diutamakan bagi wilayah provinsi atau
kawasan timur Indonesia yang pertumbuhan sektor
kepariwisataannya masih relatif tertinggal.
71
leading to management of all resources in such a way that
economic, social, and aesthethic needs can be fulfilled
while maintaining cultural integrity, essential ecological
processes, and biological diversity, and life support
system.”
Definisi tersebut diadopsi oleh banyak negara di seluruh
belahan dunia dalam berbagai macam variasi, misalnya
definisi dari Organization of East Carribean States (OECS)
adalah sebagai berikut:
72
Definisi tersebut mengungkapkan kunci-kunci
implementasi pembangunan pariwisata harus memenuhi
paling tidak tiga kisi–kisi sebagai berikut:
a. “positive socio economic change”, yang artinya perubahan
harus membawa keadaan sosial dan ekonomi menjadi
lebih baik.
b. “does not under mine the ecological and social systems”,
yang artinya menghindari penggunaan sumber daya alam
dan buatan secara gegabah dan tanpa perhitungan.
c. “integrated policy, planning, and social learning
processes”, yang artinya implementasi pembangunan
berkelanjutan bergantung pada integrase antara pemerintah
dan masyarakat. Hal ini juga merupakan jantung dari
perencanaan, prinsip, dan praktek kepariwisataan.
Kunci-kunci tersebut juga telah diadopsi di Indonesia
seperti yang disebutkan dalam Piagam Pariwisata
Berkelanjutan (1995) bahwa pembangunan pariwisata
berkelanjutan adalah pembangunan yang dapat didukung
secara ekologis sekaligus layak secara ekonomi, juga adil
secara etika, dan berkeadilan sosial terhadap masyarakat.
Artinya, pembangunan berkelanjutan adalah upaya terpadu dan
terorganisasi untuk mengembangkan kualitas hidup dengan
cara mengatur penyediaan, pengembangan, pemanfaatan, dan
pemeliharaan sumber daya secara berkelanjutan. Hal tersebut
hanya dapat terlaksana dengan sistem penyelenggaraan
kepemerintahan yang baik (good governance) yang melibatkan
partisipasi aktif dan seimbang antara pemerintah, swasta, dan
73
masyarakat. Dengan demikian, pembangunan berkelanjutan
tidak saja terkait dengan isu-isu lingkungan, tetapi juga isu
demokratisasi, hak asasi manusia, dan isu lain yang lebih luas
cakupannya.
Sementara itu, menurut United Nations Environment
Programme on Tourism, sustainable tourism merupakan
pengembangan pariwisata yang mempertemukan kebutuhan
wisatawan pada saat ini dengan tetap mempertimbangkan,
melindungi, dan mempertinggi potensi asset untuk masa
yang akan datang. Hal ini juga berarti pengembangan yang
mempertimbangkan potensi masa yang akan datang dalam
segala sektor, termasuk di dalamnya adalah faktor ekonomi,
sosial, dan budaya yang akan dipenuhi, yang didukung oleh
sistem integrasi kebudayaan, proses ekologi yang esensial,
keragaman biologi, dan life support.
“Pembangunan pariwisata harus didasarkan pada kriteria
keberlanjutan yang artinya bahwa pembangunan dapat
didukung secara ekologis dalam jangka panjang sekaligus
layak secara ekonomi, adil secara etika dan sosial terhadap
masyarakat.” (Piagam Pariwisata Berkelanjutan, 1995)
Dengan demikian secara ringkas, konsep pengembangan
pariwisata secara berkelanjutan tersebut pada intinya
menekankan pada 4 (empat) prinsip, sebagai berikut:
a. Berwawasan lingkungan (enviromentaly sustainable),
menekankan bahwa proses pembangunan kepariwisataan
harus tanggap dan memperhatikan upaya-upaya untuk
menjaga kelestarian lingkungan (baik alam maupun
74
budaya), dan mampu mencegah dampak negatif yang
dapat menurunkan kualitas lingkungan dan mengganggu
keseimbangan ekologi.
b. Diterima secara sosial & budaya (socially and
culturally acceptable), yang menekankan bahwa proses
pembangunan dapat diterima secara sosial dan budaya
oleh masyarakat setempat. Oleh karenanya, upaya-upaya
pembangunan yang dilaksanakan harus memperhatikan
nilai-nilai sosial-budaya dan nilai-nilai kearifan lokal yang
dijunjung tinggi oleh masyarakat, dan bahwa dampak
pembangunan tidak boleh merusak tatanan dan nilai-nilai
sosial-budaya sebagai jati diri masyarakat.
c. Layak secara ekonomi (economically viable), yang
menekankan bahwa proses pembangunan harus layak
secara ekonomi dan menguntungkan. Oleh karenanya,
pembangunan harus dilaksanakan secara efisien agar
dapat memberikan manfaat ekonomi yang signifikan
baik bagi pembangunan wilayah maupun peningkatan
kesejahteraan masyarakat lokal.
d. Memanfaatkan teknologi yang pantas diterapkan
(technologically appropriate), yang menekankan bahwa
proses pembangunan secara teknis dapat dilaksanakan
secara efektif dan efisien, dengan memanfaatkan sebesar-
besarnya sumber daya lokal, dan dapat diadopsi masyarakat
setempat secara mudah untuk proses pengelolaan yang
berorientasi jangka panjang.
75
Tujuan pembangunan pariwisata berkelanjutan yang
didasarkan atas prinsip-prinsip tersebut, akan bermuara pada
5 (lima) sasaran sebagai berikut (Fennel, 1999):
a. Terbangunnya pemahaman dan kesadaran yang
semakin tinggi bahwa pariwisata dapat berkontribusi
secara signifikan bagi Kepariwisataan lingkungan dan
pembangunan ekonomi;
b. Meningkatnya keseimbangan dalam pembangunan;
c. Meningkatnya kualitas hidup bagi masyarakat setempat;
d. Meningkatnya kualitas pengalaman bagi pengunjung dan
wisatawan;
e. Meningkatnya dan menjaga kelestarian dan kualitas
lingkungan bagi generasi yang akan datang.
Prinsip dasar pengembangan sumber daya pariwisata
berdasarkan pemahaman terhadap konsep pariwisata
berkelanjutan adalah sebagai berikut:
a. Prinsip Sosial-Budaya
1) Prinsip Good Governance. Dalam konteks
pariwisata, yang dimaksud good governance adalah
pengembangan penataan kelembagaan yang baik
(misal: struktur dan prosesnya) dalam mengelola
wisata dan mengatasi dampak negatifnya. Sehingga
dalam hal ini sangat diperlukan keterkaitan yang nyata
antara pemerintah, pihak swasta, dan masyarakat di
bidang pariwisata.
2) Prinsip budaya positif. Budaya positif bisa diartikan
sebagai kelompok-kelompok individu yang
76
mempunyai nilai-nilai, kepentingan, dan aspirasi
bersama yang memungkinkan mereka untuk bisa
terlibat dalam diskusi dan pengambilan keputusan
secara konstruktif dan komunikatif.
3) Prinsip keselarasan. Landasan keselarasan adalah
sebuah keadaan dimana wisata harus mencari bentuk-
bentuk alternatif, khususnya yang mengutamakan
harmoni dan kepentingan masyarakat lokal.
4) Prinsip pengetahuan. Masyarakat sudah mulai
menyadari bahwa pariwisata adalah fenomena rumit
yang membutuhkan pengkajian dan pengetahuan
tersendiri, sehingga diperlukan landasan pengetahuan
untuk memaparkan pariwisata secara ilmiah dan
objektif disertai pendekatan yang sistemik.
5) Prinsip mengutamakan nilai-nilai. Sebanyak apapun
fakta ilmiah yang ada tentang kegiatan wisata, pada
akhirnya ketika menentukan prioritas dan mengambil
keputusan harus didasarkan pada keyakinan, etika dan
moral (nilai-nilai).
b. Prinsip Ekonomi
1) Prinsip mengutamakan keuntungan masyarakat
lokal. Tidak seperti bisnis wisata pada umumnya,
PBM tidak mencari keuntungan sebanyak-banyaknya
untuk investor, tetapi mencari keuntungan sebanyak-
banyaknya untuk masyarakat terutama warga miskin.
2) Prinsip pertumbuhan ekonomi lokal. PBM akan
memicu tumbuhnya diversifikasi ekonomi lokal
77
dan meningkatkan pendapatan masyarakat yang
mendorong pembangunan ekonomi lokal.
3) Prinsip membuka lapangan kerja. Pertumbuhan
ekonomi akan membuka lapangan kerja baru bagi
masyarakat dan peluang untuk terlibat dalam kegiatan
ekonomi lokal.
4) Prinsip keberlanjutan. Ketika pendapatan mereka
bertambah, masyarakat bisa menentukan sendiri
prioritas pembangunan yang bebas dari campur tangan
pemerintah dan lembaga-lembaga lain sehingga lebih
bisa menjamin keberlanjutan kehidupan ekonomi
masyarakat.
c. Prinsip Lingkungan Hidup
1) Prinsip kecermatan. Pemikir dan pengambil kebijakan
sudah menyadari bahwa wisata bisa sangat berbahaya
dan bisa merusak nilai-nilai sosial dan budaya, serta
merusak lingkungan hidup, sehingga diperlukan
upaya-upaya sistemik dan komprehensif untuk
mengurangi dampak perusakan lingkungan.
2) Prinsip menjaga sumberdaya alam. Sumber daya
alam adalah sumberdaya utama pariwisata dan
pranata produksi ekonomi yang harus dijaga secara
berkelanjutan.
3) Prinsip mengendalikan pencemaran lingkungan.
Pariwisata menyumbang 5% pencemaran CO2 dunia,
karena itu pengendalian pencemaran gas rumah kaca
dan hemat enerji harus terintegrasi dalam kegiatan
wisata sejak dini.
78
BAB 6
PENDEKATAN COMMUNITY-BASED
TOURISM DEVELOPMENT
79
di dalamnya adalah konsep pemberdayaan masyarakat,
upaya pemberdayaan masyarakat pada hakikatnya selalu
dihubungkan dengan karakteristik sasaran sebagai suatu
komunitas yang mempunyai ciri, latar belakang, dan
pemberdayaan masyarakat, yang terpenting adalah dimulai
dengan bagaimana cara menciptakan kondisi suasana,
atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat untuk
berkembang. Dalam mencapai tujuan pemberdayaan, berbagai
upaya dapat dilakukan melalui berbagai macam strategi.
Salah satu strategi yang memungkinkan adalah
pengembangan pariwisata berbasis masyarakat yang secara
konseptual memiliki ciri-ciri uni serta sejumlah karakter yang
oleh Nasikun (2000) dikemukakan sebagai berikut:
a. Pariwisata berbasis masyarakat menemukan rasionalitasnya
dalam properti dan ciri-ciri unik dan karakter yang lebih
unik diorganisasi dalam skala yang kecil, jenis pariwisata
ini pada dasarnya merupakan, secara ekologis aman, dan
tidak banyak menimbulkan dampak negatif seperti yang
dihasilkan oleh jenis pariwisata konvensional;
b. Pariwisata berbasis komunitas memiliki peluang lebih
mampu mengembangkan obyek-obyek dan atraksi-atraksi
wisata berskala kecil dan oleh karena itu dapat dikelola
oleh komunitas-komunitas dan pengusaha-pengusaha
lokal;
c. Berkaitan sangat erat dan sebagai konsekuensi dari
keduanya lebih dari pariwisata konvensional, dimana
komunitas lokal melibatkan diri dalam menikmati
80
keuntungan perkembangan pariwisata, dan oleh karena
itu lebih memberdayakan masyarakat.
2. Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan masyarakat sering dijadikan alternatif
pertama yang dipilih dalam pendekatan pembangunan yang
melibatkan partisipasi masyarakat. Dalam pembangunan
kepariwisataan, pemberdayaan masyarakat juga dinilai
sebagai salah satu model pendekatan yang sangat efektif
dalam menstimulasi partisipasi aktif dari segenap pemangku
kepentingan, khususnya adalah masyarakat setempat.
Pentingnya pemberdayaan masyarakat dalam
pengembangan digaris bawahi oleh Murphy (1988), yang
memandang bahwa pengembangan kegiatan pariwisata
merupakan kegiatan yang berbasis komunitas, yaitu bahwa
sumber daya dan keunikan komunitas lokal baik berupa
elemen fisik maupun non fisik (tradisi dan budaya) yang
melekat pada komunitas tersebut merupakan unsur penggerak
utama kegiatan pariwisata itu sendiri; di lain pihak komunitas
lokal yang tumbuh dan hidup berdampingan dengan suatu
objek wisata tidak dapat dipungkiri sebenarnya telah menjadi
bagian dari sistem ekologi yang saling kait mengkait.
Pada dasarnya, pendekatan yang melibatkan partisipasi
masyarakat ini dilakukan sebagai pelengkap sistem perencanaan
terpusat yang dilakukan oleh pemerintah. Sistem perencanaan
yang terpusat yang dilakukan oleh pemerintah memiliki
baik kekuatan maupun kelemahan. Dengan adanya sistem
81
perencanaan yang terpusat, akan lebih efisien apabila dilihat
dari sudut pandang sistem penyuluhan yang seragam, yang
terkadang juga memberikan hasil yang baik. Namun, dengan
sistem tersebut, tidak dapat mengembangkan masyarakat
untuk mempunyai tanggungjawab dalam mengembangkan
ide-ide baru yang lebih sesuai dengan kondisi setempat.
Di samping itu pula, sistem top-down yang memposisikan
masyarakat selalu mendapat bantuan dari pemerintah dapat
mengakibatkan ketergantungan, karena semua komponennya
telah disediakan, sehingga tidak mendidik masyarakat untuk
mandiri dalam memanfaatkan potensi yang mereka miliki.
Adanya kecenderungan kegiatan yang tidak berkelanjutan
setelah proyek berakhir yang dilakukan dengan sistem
perencanaan terpusat juga merupakan salah satu kelemahan
yang pada akhirnya juga akan berdampak kepada masyarakat
itu sendiri.
Oleh karena itu, pemberdayaan masyarakat merupakan
pendekatan yang saat ini dinilai sangat strategis dalam
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hasil yang lebih
berkelanjutan akan dicapai jika masyarakat diberikan
kepercayaan agar dapat menentukan proses pembangunan
yang dibutuhkan oleh mereka sendiri. Masyarakat dapat
menganalisa masalah dan peluang yang ada serta mencari
jalan keluar sesuai sumber daya yang mereka miliki.
Masyarakat sendiri yang membuat keputusan dan rencana,
mengimplementasikan serta mengevaluasi keefektifan
kegiatan yang dilakukan. Peran dari pemerintah dan lembaga
82
lain sebatas mendukung dan memfasilitasi. Pemberdayaan
masyarakat terjadi pada saat masyarakat mampu:
a. Mengidentifikasi masalah/penyebab kemiskinan dan
alternative penyelesaiannya.
b. Mengidentifikasi sumber daya yang tersedia di wilayahnya.
c. Memutuskan tindakan yang harus dilaksanakan
(peningkatan kemampuan masyarakat berorganisasi
dalam skala kelompok dan menjadi mitra pemerintah
dalam pembangunan desa/kelurahan).
Prinsip-prinsip dalam upaya memberdayakan masyarakat,
diantaranya:
a. Enabling, menciptakan suasana atau iklim yang
memungkinkan potensi masyarakat berkembang.
b. Empowering, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki
oleh masyarakat.
c. Protecting, mencegah terjadinya persaingan yang tidak
seimbang, serta eksploitasi yang kuat atas yang lemah.
Tujuan dari adanya pemberdayaan masyarakat itu
sendiri adalah memfasilitasi masyarakat agar mampu
menganalisis perikehidupan dan masalah-masalahnya,
serta mencari pemecahan masalah berdasarkan kemampuan
dan keterbatasan yang mereka miliki. Di samping itu pula,
dengan adanya pemberdayaan masyarakat diharapkan mampu
menstimulasi untuk mengembangkan usahanya sendiri
dengan segala kemampuan dan sumber daya yang dimiliki
dan mengembangkan sistem untuk mengakses sumber daya
83
yang diperlukan. Dasar-dasar pemberdayaan masyarakat yang
seharusnya dianut di antaranya:
a. Mengutamakan masyarakat, khususnya kaum miskin dan
kelompok terpinggirkan;
b. Menciptakan hubungan kerjasama antara masyarakat dan
lembaga-lembaga pengembangan;
c. Memobilisasi dan optimalisasi penggunaan sumber daya
lokal secara keberlanjutan;
d. Mengurangi ketergantungan;
e. Membagi kekuasaan dan tanggung jawab;
f. Meningkatkan tingkat keberlanjutan.
Manfaat yang diharapkan dari adanya pemberdayaan
masyarakat antara lain:
a. Peningkatan kesejahteraan jangka waktu panjang yang
berkelanjutan;
b. Peningkatan penghasilan dan perbaikan penghidupan
kelompok masyarakat berpenghasilan rendah;
c. Peningkatan penggunaan sumber daya daerah yang
tersedia secara efektif dan efisien;
d. Program pengembangan dan pemberian pelayanan yang
lebih efektif, efisien, dan terfokus;
e. Proses pengembangan yang lebih demokratis.
Dalam konteks pemberdayaan masyarakat lokal dalam
pengembangan pariwisata, selanjutnya ditegaskan bahwa
aspek keterlibatan masyarakat dapat diimplementasikan
dalam tiga area, yaitu tahap perencanaan (planning stage),
84
implementasi atau pelaksanaan (implementation stage), serta
dalam hal mendapatkan manfaat atau keuntungan (share
benefits) baik secara ekonomi maupun sosial budaya.
a. Pada tahap perencanaan, keterlibatan masyarakat
lokal terutama berkaitan dengan identifikasi masalah
atau persoalan, identifikasi potensi pengembangan,
pengembangan alternatif rencana dan fasilitas, dan
sebagainya.
b. Pada tahap implementasi, bentuk keterlibatan masyarakat
berkaitan dengan partisipasi masyarakat dalam
pelaksanaan program pengembangan, pengelolaan objek
atau usaha terkait dengan kegiatan, dan sebagainya.
c. Sementara aspek nilai manfaat, maka bentuk partisipasi
masyarakat terwujud dalam peran dan posisi masyarakat
dalam memperoleh nilai manfaat secara ekonomi maupun
sosial budaya, yang berdampak pada peningkatan
kesejahteraan ekonomi masyarakat lokal.
85
dalam penanggulangan kemiskinan tersebut, maka upaya
pemberdayaan harus diarahkan pada:
a. Meningkatnya Kapasitas, Peran, dan Inisiatif masyarakat
sebagai subyek atau pelaku penting dalam pengembangan
kepariwisataan.
b. Meningkatnya Posisi dan Kualitas Keterlibatan/Partisipasi
masyarakat dalam pengembangan kepariwisataan.
c. Meningkatnya Nilai Manfaat Positif pembangunan
pariwisata bagi kesejahteraan ekonomi masyarakat.
d. Meningkatnya Kemampuan Masyarakat dalam melakukan
perjalanan wisata.
Pemberdayaan masyarakat merupakan pendekatan
yang saat ini dinilai sangat strategis dalam meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Sebagaimana diamanahkan dalam
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009, tentang Pariwisata
adalah bahwa sektor pariwisata harus berperan juga dalam
meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal di sekitar
destinasi pariwisata. Dalam konteks ini, pemberdayaan
masyarakat memungkinkan dilakukannya peningkatan
kesejahteraan masyarakat secara cepat dan tepat sasaran.
Keterlibatan masyarakat dalam seluruh rangkaian proses
perencanaan, pelaksanaan, sampai dengan monitoring
program, merupakan hal mendasar yang memberi jaminan
bahwa pemanfaatan bantuan melalui program ini nantinya
akan tepat sasaran. Proses ini juga menegaskan bahwa dalam
setiap pengambilan keputusan dalam pembangunan, tidak
terkecuali pembangunan pariwisata, masyarakat menempati
86
domain yang penting. Minimnya resistensi dari masyarakat
lokal dan solidnya dukunganlah yang akan menjamin bahwa
pembangunan pariwisata akan dapat berjalan sebagaimana
yang diharapkan.
87
c. Kualitas dan kuantitas akses terhadap atraksi wisata
(sistem transportasi) menurut wisatawan.
d. Sistem promosi dan pemasaran yang telah dilakukan,
direncanakan dan efektifitasnya terhadap tingkat
kunjungan dan motivasi wisatawan.
e. Jumlah, jenis, dan asal wisatawan (jumlah kunjungan),
length of stay, pola/besaran pengeluaran.
Aspek-aspek yang akan dikaji dalam tinjauan terhadap
komponen permintaan (demand), akan mencakup:
a. Motivasi
b. Preferensi
c. Ekspektasi
88
melalui pengalihan bidang usaha dari sektor pertanian ke
sektor pariwisata. Desa Kepakisan merupakan jalur utama
dan sebagai pintu gerbang wisatawan yang berasal dari
pantai utara jawa (pantura).
b. Desa Kepakisan memiliki Telaga Swiwi. Telaga Swiwi
ini biasanya dipakai sebagai sumber mata air baku untuk
konsumsi dan pertanian (sebagai tandon air) juga bisa
dimanfaatkan untuk rest area.
c. Penduduk Desa Kepakisan termasuk penduduk miskin
dan sekitar 50 persen penduduknya hanya bekerja sebagai
buruh tani.
6. Wisata di Dieng
Berikut ini adalah aktivitas-aktivitas menarik yang dapat
dilakukan di Dieng:
a. Menikmati Matahari Terbit di Puncak Sikunir
89
memang istimewa, dengan pemandangan matahari keemasan
yang terbit di atas awan yang melintang. Di puncak ini,
wisatawan dapat menikmati terbitnya matahari lewat Gardu
Pandang Dieng yang memiliki ketinggian 1.789 meter dari
permukaan laut, atau dari Gunung Prau (2.566 meter) yang
merupakan titik paling tinggi di Dieng.
b. Menelusuri Telaga Swiwi
90
Banjarnegara. Dinamakan Telaga Swiwi karena bentuk telaga
yang mirip sayap membentang atau “swiwi” dalam bahasa
jawa. Kawasan Telaga Swiwi berdekatan dengan sumur PLTU
Geo Dipa, Gunung Nagasari dan kawah Sileri.
c. Menapak Tilas Peninggalan Nenek Moyang
91
Candi Bima, Candi Dwarawati, dan macam-macam lainnya
lagi. Wisatawan juga bisa mengunjungi Museum Kailasa
dan menonton dokumenter lengkap tentang kompleks Candi
Dieng.
d. Melihat Aktivitas Vulkanik
92
e. Menjelajah Savana
93
f. Menikmati Kuliner Khas
94
serta wisatawan yang saling terkait dan melengkapi untuk
terwujudnya kegiatan kepariwisataan (Herdiana, 2012).
a. Perkembangan Kawasan Penunjang Wisata
Perkembangan pembangunan suatu kawasan penunjang
wisata harus dirancang dengan bersumber pada potensi
daya tarik yang dimiliki objek tersebut dengan mengacu
pada keberhasilan pengembangan yang meliputi berbagai
kelayakan, yaitu diantaranya adalah:
1) Layak Teknis
Pembangunan kawasan penunjang wisata harus
dapat dipertanggungjawabkan secara teknis dengan
melihat daya dukung yang ada. Tidaklah perlu
memaksakan diri untuk membangun suatu kawasan
penunjang wisata apabila daya dukung kawasan
penunjang wisata tersebut rendah. Daya tarik suatu
kawasan penunjang wisata tersebut membahayakan
keselamatan para wisatawan.
2) Layak Lingkungan
Analisis dampak lingkungan dapat dipergunakan
sebagai acuan kegiatan pembangunan suatu kawasan
penunjang wisata. Pembangunan kawasan penunjang
wisata yang mengakibatkan rusaknya lingkungan
harus dihentikan pembangunannya. Pembangunan
kawasan penunjang wisata bukanlah untuk merusak
lingkungan, tetapi sekedar memanfaatkan sumber
daya alam untuk kebaikan manusia dan untuk
meningkatkan kualitas hidup manusia sehingga
95
terciptanya keseimbangan, keselarasan, dan keserasian
hubungan antara manusia dengan lingkungan alam
dan manusia dengan Tuhannya.
3) Kelayakan Finansial
Studi kelayakan ini menyangkut perhitungan secara
komersial dan pembangunan kawasan penunjang
wisata tersebut. Perkiraan untung-rugi sudah harus
diperkirakan dari awal. Berapa tenggang waktu yang
dibutuhkan untuk kembali modal pun sudah harus
diramalkan.
4) Kelayakan Sosial Ekonomi Regional
Studi kelayakan ini dilakukan untuk melihat apakah
investasi yang ditanamkan untuk membangun suatu
kawasan penunjang wisata juga akan memiliki dampak
sosial ekonomi secara regional; dapat menciptakan
lapangan kerja berusaha, dapat meningkatkan
penerimaan devisa, dapat meningkatkan penerimaan
pada sektor yang lain seperti pajak, perindustrian,
perdagangan, pertanian, dan lain-lain. Dalam
kaitannya dengan hal ini pertimbangan tidak semata-
mata komersial saja tetapi juga memperhatikan
dampaknya secara lebih luas (Herdiana, 2012).
Perkembangan suatu kawasan penunjang wisata tergantung
pada apa yang dimiliki kawasan tersebut untuk ditawarkan
kepada wisatawan. Hal ini tidak dapat dipisahkan dari peranan
para pengelola kawasan penunjang wisata. Berhasilnya suatu
tempat wisata hingga tercapainya kawasan penunjang wisata
96
sangat tergantung pada 3A yaitu atraksi (attraction), mudah
dicapai (accessibility), dan fasilitas (amenities) (Yoeti, 1997).
1) Atraksi (attraction)
Atraksi wisata yaitu sesuatu yang dipersiapkan
terlebih dahulu agar dapat dilihat, dinikmati dan yang
termasuk dalam hal ini adalah: tari-tarian, nyanyian
kesenian rakyat tradisional, upacara adat, dan lain-
lain.
2) Aksesibilitas (accessibility)
Aktivitas kepariwisataan banyak tergantung pada
transportasi dan komunikasi karena faktor jarak dan
waktu yang sangat mempengaruhi keinginan seseorang
untuk melakukan perjalanan wisata. Unsur yang
terpenting dalam aksesibilitas adalah transportasi,
maksudnya yaitu frekuensi penggunaannya, kecepatan
yang dimilikinya dapat mengakibatkan jarak seolah-
olah menjadi dekat.
Selain transportasi yang berkaitan dengan aksesibilitas
adalah prasarana meliputi jalan, jembatan, terminal,
stasiun, dan bandara. Prasarana ini berfungsi
untuk menghubungkan suatu tepat dengan tempat
yang lain. Keberadaan prasarana transportasi akan
mempengaruhi laju tingkat transportasi itu sendiri.
Kondisi prasarana yang baik akan membuat laju
transportasi optimal.
97
3) Fasilitas (amenites)
Fasilitas pariwisata tidak akan terpisah dengan
akomodasi perhotelan. Karena pariwisata tidak akan
pernah berkembang tanpa penginapan. Fasilitas
wisata merupakan hal-hal penunjang terciptanya
kenyamanan wisatawan untuk dapat mengunjungi
suatu daerah tujuan wisata.
Perkembangan kawasan penunjang wisata Dieng memiliki
daya tarik objek yang meliputi berbagai kelayakan yaitu layak
teknis, layak lingkungan, layak finansial dan layak sosial
ekonomi regional. Oleh karena itu, kawasan Dieng sudah
termasuk dalam kawasan wisata yang dapat dikembangkan.
98
b. What to do
Di tempat tersebut selain banyak yang dapat dilihat dan
disaksikan, harus disediakan fasilitas rekreasi yang dapat
membuat wisatawan betah tinggal lama ditempat itu.
c. What to buy
Tempat tujuan wisata harus tersedia fasilitas untuk
berbelanja terutama barang souvenir dan kerajinan rakyat
sebagai oleh-oleh untuk di bawa pulang ke tempat asal.
d. What to arrived
Di dalamnya termasuk aksesbilitas, bagaimana kita
mengunjungi daya tarik wisata tersebut, kendaraan apa
yang akan digunakan dan berapa lama tiba ketempat
tujuan wisata tersebut.
e. What to stay
Bagaimana wisatawan akan tingggal untuk sementara
selama dia berlibur. Diperlukan penginapan-penginapan
baik hotel berbintang atau hotel non berbintang dan
sebagainya.
Dari beberapa persyaratan kawasan penunjang wisata
yang tertera diatas, kawasan Dieng termasuk memenuhi
syarat-syarat untuk pengembangan daerahnya. Kelima syarat
diatas sudah terpenuhi dalam kawasan Dieng, namun perlu
adanya pengembangan yang lebih baik demi keberlangsungan
kawasan Dieng itu sendiri.
99
100
BAB 7
PEMBELAJARAN BERBASIS
MASYAKARAT (COMMUNITY BASED-
LEARNING-CBL) DAN PROGRAM
PENGABDIAN MASYARAKAT YANG
DILAKUKAN
101
daya yang tidak terbatas yang dimiliki untuk mendukung
program mereka.
Owens (1994) mengenalkan A Model for Restructuring
Education for the 21st Century dengan mengidentifikasi
beberapa asumsi penting sebagai dasar atau landasan untuk
pembelajaran masyarakat, yakni;
a. Pendidikan harus dipandang sebagai rangkaian dari
prasekolah melalui pendidikan seumur hidup bagi orang
dewasa.
b. Belajar adalah apa yang kita lakukan untuk diri kita
sendiri. Oleh karena itu, dibutuhkan keterlibatan penuh
dari pembelajar serta guru/mentor.
c. Pekerjaan di masa depan akan membutuhkan tidak hanya
pendidikan yang lebih banyak, tapi juga jenis pendidikan
yang berbeda, termasuk critical thinking, kerja tim, dan
kemampuan untuk menerapkan pengetahuan,
d. Orang dewasa perlu dilibatkan dalam urusan masyarakat
dengan tujuan untuk menyeimbangkan pekerjaan,
keluarga dan tanggung jawab pada masyarakat.
e. Masalah yang mempengaruhi peserta didik saat ini jauh
lebih luas daripada yang bisa diatasi sendiri. Keterlibatan
keluarga, perusahaan, tenaga kerja, masyarakat, dan
instansi lainnya adalah penting.
f. Bantuan kelompok masyarakat berlaku dengan melihat
kebutuhan akan adanya perubahan sehingga mereka
merasa diberdayakan untuk memandu perubahan ini.
Tanpa Visi yang jelas, maka pelaksanaan program tidak
102
akan terjadi meskipun didukung dengan sumber daya dan
staf yang baik.
g. Dapat disimpulkan bahwa pembelajaran berbasis
masyarakat (community based learning) adalah model
pembelajaran yang melibatkan masyarakat agar
berpartisipasi dalam perencanaan, pelaksanaan dan
evaluasi program masyarakat dengan tujuan membantu
masyakarat pembelajar untuk mengimplementasikan
antara pengetahuan dan keahlian yang diterima dalam
kehidupan bermasyarakat. Pembelajaran berbasis
masyarakat harus memiliki Visi dan Misi yang jelas
dan didukung dengan sumber daya yang dimiliki dalam
masyakarat. Pemberdayaan berbasis masyarakat ini
sudah seharusnya didukung mitra dari pihak luar yakni
pemerintah, perusahaan dan perguruan tinggi.
103
pemerataan akses ekonomi bagi masyakarat, dan capacity
building.
Menurut Nurhidayati dan Fandeli (2012) secara
umum prinsip dasar Community Based-Tourism adalah
mengikutsertakan anggota masyarakat dalam memulai setiap
program pariwisata. Community Based-Tourism merupakan
wisata yang dikelola dan dimiliki oleh masyarakat dan untuk
masyarakat. Masyakarat diharapkan dapat meningkatkan
kesadaran mereka dan kemauan untuk melakukan pembelajaran
tentang pariwisata sehingga diharapkan bisa mengelola wisata
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal. Dalam
upaya agar Desa Kepakisan bisa berhasil maka masyarakat
dituntut berperan aktif dalam usaha kepariwisataan desa
mereka dengan memanfaatkan potensi dan kemampuan yang
mereka miliki seperti yang disarankan oleh Michael dan Reid
(2007).
Harus di sadari bahwa saat ini keinginan wisatawan
semakin beragam. Demikian juga kesadaran akan pelestarian
lingkungan dan tingkat kompetisi destinasi menjadikan para
pelaku wisata khususnya dan masyarakat secara umum
harus berbenah. Terkait dengan kesadaran wisata berbasis
lingkungan, faktor sikap pelaku wisata dan wisatawan
juga ditentukan oleh seberapa baik sikap pelaku maupun
wisatawan dalam memandang lingkungannya. Semakin
memiliki orientasi yang baik pada lingkungannya, maka
pelestarian lingkungannya juga akan semakin baik (Sugandini,
Rahatmawati dan Arundati, 2018). Pengetahuan yang baik
terhadap lingkungan yang menjadi destinasi wisata akan
104
berpengaruh pada kemauan pelaku untuk merubah perilakunya
ke arah lingkungannya (Sugandini, Rahatmawati dan Istanto,
2017).
Wisata alam sebenarnya merupakan jenis wisata minat
khusus yang harus dikemas secara menarik dan komprehensif
sehingga menjadikan wisatawan nusantara maupun manca
negara tertarik untuk berkunjung dan bertransaksi ulang.
Strategi pengelolaannya harus dikemas dengan melibatkan
pengunjung untuk melakukan interaksi dengan alam
lingkungan serta mempelajari budaya masyarakat lokal
sehingga memiliki pengalaman yang menarik dan berkesan.
Daya tarik tersebut bisa ditonjolkan sebagai salah satu jenis
paket wisata di mana di dalamnya memerlukan keterlibatan
langsung peran masyarakat lokal. Sebenarnya di Kawasan
Dieng beberapa paket wisata tersebut sudah ada misalnya
pemotongan rambut “Gembel” dan pentas seni tradisional
Dieng. Hanya saja perlu dikemas dan disosialisasikan secara
terus menerus kepada pihak luar serta perlu keterlibatan
aktif dari masyakarat. Selain itu dalam rangka menunjang
keberhasilan pariwisata maka perlu didukung oleh UKM lokal
yang bisa mengenalkan dan menjual produk sesuai dengan
kearifan lokal dan potensi sumber daya alam yang dimiliki.
Seperti diketahui bahwa UKM bisa menggerakkan potensi
ekonomi masyarakat dan terbukti bisa membantu untuk
menopang perekonomian negara. (Muafi dan Roostika, 2014;
Muafi, 2009; Muafi, 2012; Muafi 2015a; Muafi., Roostika,
Wijayani and Poerwanto, 2016; Muafi., Susilowati, and
105
Suparyono, 2016b Muafi, 2016; Muafi, 2015b; Muafi, 2016;
Muafi, 2015).
Citra dieng sebagai destinasi wisata, secara langsung juga
dipengaruhi oleh bagaimana kualitas yang diberikan oleh setiap
destinasi yang dituju. Sehingga pembenahan terhadap sarana
dan prasarana yang mendukung destinasi wisata di Dieng
perlu penangan lebih baik (Susilowati dan Sugandini, 2017).
Sehingga pelatihan kepada para pelaku wisata di Dieng perlu
ditingkatkan, dan sarana prasarana penunjang destinasi wisata
juga perlu diperbaiki. Semakin baik kesiapan destinasi wisata
dalam melayani pelanggan maka akan semakin meningkatkan
loyalitas wisatawannya. Loyalitas bisa diwujudkan melalui
komunikasi dari mulut ke mulut yang relatif baik (Sugandini,
Benny dan Muafi, 2017).
106
masyarakat, serta masyarakat Desa Kepakisan. Pemberdayaan
masyarakat dilakukan dengan mengundang stakeholders
untuk mendiskusikan pemetaan lokasi wisata dan keberadaan
industri kecil yang bisa mendukung adanya potensi wisata
di Desa Kepakisan. Tahapan-tahapan yang dilakukan dalam
Pengabdian Masyarakat ini adalah sebagai berikut:
a. Sosialisasi dan koordinasi program pengadian pada
masyarakat pada tokoh masyarakat yang membidangi
UKM kerajinan dan wisata.
b. Membuat konsep pemberdayaan masyarakat yang
disepakati bersama antar team pengabdi dan pihak
setempat.
c. Sosialisasi program pengabdian masyarakat kepada
masyarakat yang tidak memiliki usaha.
d. Sosialisasi program pengabdian masyarakat kepada
pemilik UKM kerajian dan wisata serta jasa lainnya.
e. Pendampingan pembuatan program digital marketing.
f. Pembuatan digital marketing bagi UKM kerajinan.
g. Pembuatan blog-blog untuk bisnis bagi UMKM.
h. Peresmian semua program yang sudah dilaksanakan.
107
5. Evaluasi Pelaksanaan Program dan Keberlanjutan
Program Setelah Selesai Kegiatan Pbm di Lapangan
Evaluasi program akan dilaksanakan secara periodik di
lapangan setelah pengabdian masyarakat ini selesai dilakukan.
Evaluasi dilakukan untuk memastikan apakah program yang
sudah diberikan berjalan sesuai yang direncanakan. Team
pengabdi akan melakukan evaluasi setiap 6 bulan sekali
selama 1 tahun setelah selesai program pengabdian pada
masyarakat ini.
108
DAFTAR PUSTAKA
109
Dunning, A.E. 2005. Impacts of Transit in National Parks and
Gateway Communities. Transportation Research Record:
Journal of the Transportation Research Board, 1931 (1):
129-136.
Hadinoto, Kusudianto. 1996.Perencanaan Pengembangan
Destinasi Pariwisata. Jakarta: UI Press.
Hausler, N. 2005. Planning for Community Based Tourism
–A Complex and Challenging Task. The International
Ecotourism Society
Heriawan, Rusman. 2004. “Peranan dan Dampak Pariwisata
Pada Perekonomian Indonesia : Suatu Pendekatan Model
I-O dan SAM”. Disertasi. Doktoral Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Holding dan Kreutner. 1998. Achieving a Balance Between
“Carrots” and “Sticks” for Traffic in National Parks: The
Bayerischer Wald Project. Transport Policy, 5 (3): 175-
183.
Holding, D.M. 2001. The Sanfte Mobilitaet Project: Achieving
Reduced Car-dependence in European Resort Areas.
Tourism Management, 22 (4): 411–417.
Kerta Gana, PT. 2018. Metodologi & Pendekatan Tourism
Integrated Masterplan Tanjung Lesung. Yogyakarta
Maryani. 1991. Pengantar Geografi Pariwisata. IKIP Bandung.
Minter, David dan Michael Reid. 2007. Lightning In A Bottle
(Lightning Innovation Strategy), terj. Haris Priyatno,
Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta.
Muafi & Roostika, R. (2014). Organizational Performance and
Competitive Advantage Determinants of Creative SMEs,
European Journal of Economics and Management, Vol.1
No.2, p. 7-25.
110
Muafi (2009). The Effect of Alignment Competitive
Strategy, Culture, and Role Behavior on Organizational
Performance in Service Firms, The International Journal
of Organizational Innovation (IJOI), Volume 2 Number
1 Summer 2009, page 106-133.
Muafi (2012). Pola Hubungan Inovasi Organisasi, People
Equity dan Kinerja UKM, Ekuitas, Vol.16, No.2, p. 230-
244.
Muafi (2015a). Antecedent counterproductive behavior:
SMES Cases, Polish Journal of Management Studies,
Vol. 12, 2, p. 114-121.
Muafi (2016). The role of robust business model in ensuring
External fit and its impact on firms in social performance,
no.4, 178, p. 257-264.
Muafi. (2015b). Green IT empowerment, social capital,
creativity and innovation: A case study of creative city,
Bantul, Yogyakarta, Indonesia. Journal of Industrial
Engineering and Management, 8(3), 719-737.
Muafi., Roostika, R., Wijayani, A and Poerwanto, M.E.
(2016). Strategic Role of Women in Chrysanthemum-
Based Engineering Design on Disaster Affected Areas,
IJBS – International Journal of Business and Society,
Vol.8. No.3, p. 417-428.
Muafi., Susilowati, C and Suparyono, W. (2016).
Competitiveness Improvement Of Green Area: The Case
Of OVOP In Bantul Region, Daerah Istimewa Yogyakarta
(DIY), Province, Indonesia, International Business
Management, 10(1), p. 24-31.
Murphy, K. J. (2000). Executive Compensation, in O.
Ashenfelter and D. Card (eds). Handbook of Labor
Economics, Volume 3. North-Holland: Amsterdam.
111
Nasikun. 2000. Sistem Sosial Budaya. Jakarta: PT Raha
Grafindo Persada.
Nurhayati, D. 2018. Perancangan Kawasan Penunjang
Wisata Kawah Ijen Banyuwangi Dengan Pendekatan
Tourism Architecture.Universitas Islam Negeri Maulana
Malik Ibrahim. Malang. http://etheses.uin-malang.
ac.id/12384/1/14660038.pdf
Nurhidayati, Sri Endah dan Chafid Fandeli. 2012. Penerapan
Prinsip Community Based Tourism (CBT) Dalam
Pengembangan Agrowisata Di Kota Batu, Jawa Timur.
Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta.
Owens, T. (1994), A Model for Restructuring Education for
the 21st. Century. Paper presented at the World Future
Society Meeting, Washington, DC.
Owens, T. R and Wang, C. (1996), , “Community-Based
Learning: A Foundation for Meaningful Educational
Reform” (1996). Service Learning, General. Paper 37.
http://digitalcommons.unomaha.edu/slceslgen/37.
Pemerintah Kabupaten Banjarnegara Dinas Pariwisata dan
Kebudayaan. 2020. http://budparbanjarnegara.com
Pemerintah Kabupaten Banjarnegara. Peraturan Daerah
Kabupaten Banjarnegara Nomor 11 Tahun 2011 Tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Banjarnegara
Tahun 2011-2031.
Rees, J. 1990, Natural Resources: Allocation, Economics and
Policy, London: Routledge
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Tahun
2017-2022 Pemerintah Kabupaten Banjarnegara Tahun
2017
112
Republik Indonesia. UU 10 Tahun 2009 Tentang
Kepariwisataan.
Setiawan, T. H., Putro, H. P. H. P., Pradono. 2019. Model
Pengembangan Angkutan Umum Kawasan Wisata Dieng,
Jawa Tengah. Jurnal Transportasi, Vol. 19 No. 1 April
2019: 49−58
Sihite, Richard, 2000, Tourism Industry (Kepariwisataan),
Surabaya: Penerbit SIC.
Spillane J.J,1987,Pariwisata Indonesia SejarahdanProspeknya,
Yogyakarta, Kanisius.
Sugandini, D., Wendry, B and Muafi (2017), Influence of
quality relationship and satisfaction on loyalty: study
on supplier in Indonesia, Journal of Business & Retail
Management Research, Vol-11, Issue 4, July, p. 46-51.
Sugandini, Dyah and Wendry, Benny and Muafi, Influence of
Quality Relationship and Satisfaction on Loyalty: Study
on Supplier in Indonesia (October 1, 2017). Journal of
Business & Retail Management Research. Vol-11, Issue
4, October 2017 , Available at SSRN: https://ssrn.com/
abstract=3065260
Susilowati, C., & Sugandini, D. 2017. Perceived Value,
e-word-of-Mouth, Traditional Word of-Mouth, and
Perceived Quality to Destination Image of Vacation
Tourists. Review of Integrative Business and Economics
Research, 2017, 7, s1, 2304-1013.
Suwantoro, Gamal. 2004. Dasar-dasar Pariwisata. Penerbit
Andi Yogyakarta
Suwantoro. (1997). Dasar-Dasar Pariwisata.Yogyakarta :
Penerbit Andi.Systematic Linkange. Gramedia: Jakarta.
113
World Commission on Environment and Development. (1987).
Our Common Future. New York:Oxford University Press.
World Tourism Organization (WTO), 1999, International
Tourism A Global Perspective, Madrid, Spain.
Yoeti, A. Oka. (1997). Perencanaan dan Pengembangan
Pariwisata. Jakarta : PT. Pradnya Pramita.
Yoeti, A. Oka. 2006. Perencanaan dan Pengembangan
Pariwisata. Jakarta: Pradnya Paramitha.
Yoeti, Oka A. 2008. Perencanaan dan Pengembangan
Pariwisata. Penerbit PT. Pradnya Paramita, Jakarta
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009
Tentang Kepariwisataan
Peraturan Daerah Kabupaten Banjarnegara Nomor 16 Tahun
2008
Perpres Nomor 67 Tahun 2005
PERDA RTRW Kabupaten Banjarnegara tahun 2011-
2031, Perda 11/2011
Piagam Pariwisata Berkelanjutan tahun 1995
114
zahirpublishing@gmail.com
www.penerbitzahir.com