Anda di halaman 1dari 15

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Efektivitas Pembelajaran

Suatu kegiatan dikatakan efektif bila kegiatan itu dapat diselesaikan pada waktu

yang tepat dan mencapai tujuan yang diinginkan. Efektivitas menekankan pada

perbandingan antara rencana dengan tujuan yang dicapai. Sehingga efektivitas

pembelajaran sering kali diukur dengan tercapainya tujuan pembelajaran, atau

dapat pula diartikan sebagai ketepatan dalam mengelola suatu situasi (Warsita,

2008). Sedangkan menurut Miarso (2004), pembelajaran yang efektif adalah

yang menghasilkan belajar yang bermanfaat dan bertujuan, melalui pemakaian

prosedur yang tepat. Usaha untuk meningkatkan efektifitas pembelajaran perlu

dilakukan terus-menerus, berdasarkan informasi yang diperoleh dari berbagai

sumber.

Menurut Pertiwi (2015) keefektifan program pembelajaran tidak hanya ditinjau

dari segi tingkat prestasi belajar, melainkan ditinjau dari segi proses dan sarana

penunjang. Proses dapat diketahui melalui proses pengamatan terhadap keteram-

pilan siswa, motivasi, respon, kerjasama, partisipasi aktif, tingkat kesulitan pada

penggunaan media, waktu serta teknik pemecahan masalah yang ditempuh siswa

dalam menghadapi kesulitan pada saat kegiatan belajar mengajar berlangsung.

Adapun menurut Abdurahmat (2008), efektivitas menunjukkan keberhasilan dari


segi tercapai tidaknya sasaran yang telah ditetapkan. Jika hasil kegiatan semakin

mendekati keberhasilan berarti semakin tinggi efektivitasnya.

Menurut Hamalik (2002), pembelajaran dikatakan efektif jika memberikan

kesempatan belajar sendiri dan beraktivitas seluas-luasnya kepada siswa untuk

belajar. Dengan menyediakan kesempatan belajar sendiri dan beraktivitas seluas-

luasnya diharapkan siswa dapat mengembangkan potensinya dengan baik. Kri-

teria kefektifan dalam suatu penelitian menurut Wicaksono (2008) adalah pem-

belajaran dikatakan efektif apabila secara statistik hasil belajar siswa menunjuk-

kan perbedaan yang signifikan antara pemahaman awal sebelum pembelajaran

de-ngan pemahaman sesudah pembelajaran (gain yang signifikan).

B. Lembar Kerja Siswa

Menurut Sriyono (1992), lembar kerja siswa (LKS) adalah salah satu bentuk

program yang berlandaskan atas tugas yang harus diselesaikan dan berfungsi

sebagai alat untuk mengalihkan pengetahuan dan keterampilan sehingga mampu

mempercepat tumbuhnya minat siswa dalam mengikuti proses pembelajaran.

Arsyad (2004) berpendapat bahwa LKS merupakan jenis hand out yang dimak-

sudkan untuk mem-bantu siswa belajar secara terarah. LKS termasuk media

cetak hasil pengembangan teknologi cetak yang berupa buku dan berisi materi

visual.

Menurut Rohaeti (2009), LKS merupakan salah satu sumber belajar yang dapat

dikembangkan oleh guru sebagai fasilitator dalam kegiatan pembelajaran. LKS

memungkinkan siswa untuk berpartisipasi dalam proses pembelajaran secara ak-


tif dan meningkatkan prestasi siswa. Penggunaan LKS yang dikembangkan

sesuai dengan teori konstruktivis dimana siswa berperan aktif lebih efektif dari-

pada metode pengajaran tradisional lainnya. LKS yang disusun dapat dirancang

dan dikembangkan sesuai dengan kondisi dan situasi kegiatan pembelajaran yang

dihadapi. Menurut Trianto (2011), LKS merupakan panduan siswa yang biasa

digunakan dalam kegiatan observasi, eksperimen, maupun demonstrasi untuk

mempermudah proses penyelidikan atau memecahkan suatu permasalahan.

Menurut Prianto dan Harnoko dalam Tohir (2012), manfaat dan tujuan LKS an-

tara lain:

1. Mengaktifkan siswa dalam proses belajar mengajar.


2. Membantu siswa dalam mengembangkan konsep.
3. Melatih siswa untuk menemukan dan mengembangkan proses belajar
mengajar.
4. Membantu guru dalam menyusun pelajaran.
5. Sebagai pedoman guru dan siswa dalam melaksanakan proses pembelaja-
ran.
6. Membantu siswa memperoleh catatan tentang materi yang dipelajari
melalui kegiatan belajar.
7. Membantu siswa untuk menambah informasi tentang konsep yang dipe-
lajari melalui kegiatan belajar secara sistematis.

Terdapat beberapa jenis LKS menurut fungsinya, diantaranya yaitu: (a) LKS

yang membantu siswa menemukan suatu konsep, (b) LKS yang membantu

siswa menerapkan dan mengintegrasikan suatu konsep yang telah ditemukan,

(c) LKS yang berfungsi sebagai penuntun belajar, (d) LKS yang berfungsi

sebagai penguatan, dan (e) LKS yang berfungsi sebagai petunjuk praktikum

(Rohman dan Sofyan,2013).

C. Keterampilan Proses Sains


Menurut Dimyati dan Moedjiono (2002), keterampilan proses sains dapat diar-

tikan sebagai keterampilan-keterampilan intelektual, sosial dan fisik yang terkait

dengan kemampuan-kemampuan mendasar yang telah ada dalam diri siswa. Ada

berbagai keterampian dalam keterampilan proses sains, keterampilan tersebut ter-

diri dari keterampilan-keterampilan dasar (basic skills) dan keterampilan-

keterampilan terintegrasi (integrated skills). Keterampilan-keterampilan dasar

terdiri dari enam keterampilan, yakni: mengamati (mengobservasi), meng-

klasifikasi, mengukur, memprediksi, menyimpulkan, dan mengomunikasikan.

Adapun Anitah (2007) mengemukakan bahwa keterampilan proses sains merupa-

kan keterampilan-keterampilan yang dimiliki oleh para ilmuwan untuk memper-

oleh dan mengembangkan produk sains. Sedangkan Semiawan (1986) menyata-

kan keterampilan proses sains adalah keterampilan fisik dan mental terkait de-

ngan kemampuan-kemampuan yang mendasar yang dimiliki, dikuasai, dan

diapli-kasikan dengan suatu kegiatan ilmiah, sehingga para ilmuwan dapat

menemukan sesuatu yang baru.

Menurut Zubaidah dkk (2014) keterampilan proses sains adalah sejumlah proses

sains yang dikembangkan para ilmuwan dalam mencari pengetahuan dan kebe-

naran ilmiah. Berikut ini adalah macam-macam keterampilan proses sains dasar:

1. Mengamati

Mengamati adalah kegiatan yang melibatkan alat indera, seperti melihat, men-

dengar, meraba, merasakan, dan mencium. Pada tahap pengamatan orang hanya

mengatakan kejadian yang mereka lihat, dengar, raba, rasa, dan cium. Pada tahap

ini seseorang belajar mengumpulkan petunjuk.


2. Menggolongkan/mengklasifikasi

Menggolongkan adalah memilah berbagai obyek atau peristiwa berdasarkan sifat

khususnya, sehingga diperoleh kelompok sejenis dari objek atau peristiwa yang

dimaksud. Pada kegiatan menggolongkan, dikembangkan kemampuan

menghim-pun hasil pengamatan dan menyajikan dalam bentuk tabel hasil

pengamatan, ke-mudian memilah hasil pengamatan sesuai sifat khusus yang

dimiliki oleh obyek atau peristiwa serta menyajikannya dalam tabel klasifikasi

atau pengelompo-kan.

3. Mengukur

Mengukur adalah kegiatan membandingkan benda yang diukur dengan satuan

ukuran tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya. Kegiatan mengukur

memerlukan bantuan alat-alat ukur yang sesuai dengan benda yang diukur.

4. Mengomunikasikan

Mengomunikasikan adalah kegiatan menyampaikan perolehan fakta, konsep dan

prinsip ilmu pengetahuan dalam berbagai bentuk seperti laporan tertulis (tabel,

grafik, gambar, atau lainnya), maupun audio, visual, atau audio visual.

5. Menginterpretasi data

Menginterpretasi adalah memberi makna pada data yang diperoleh dari pe-

ngamatan karena data tidak berarti apa-apa sebelum diartikan.

6. Memprediksi

Memprediksi ialah menduga sesuatu yang akan terjadi berdasarkan pola-pola

peristiwa atau fakta yang sudah terjadi. Prediksi dilakukan dengan cara mengenal
kesamaan berdasarkan pengetahuan yang sudah ada, mengenal kebiasaan terjadi-

nya suatu peristiwa berdasarkan pola kecenderungan. Prediksi didasarkan pada

observasi dan penarikan kesimpulan mengenai hubungan antara peristiwa-

peristiwa yang diobservasi.

7. Menggunakan alat

Menggunakan alat adalah kegiatan merangkai dan memanfaatkan alat untuk

kegiatan percobaan.

8. Melakukan percobaan

Melakukan percobaan adalah keterampilan untuk melakukan pengujian terhadap

ide-ide yang bersumber dari fakta, konsep, dan prinsip ilmu pengetahuan se-

hingga dapat diperoleh informasi yang menerima atau menolak ide-ide itu.

9. Menyimpulkan

Menyimpulkan adalah keterampilan memutuskan keadaan suatu objek berdasar-

kan fakta, konsep, prinsip yang diketahui.

Hartono (2007) menyusun indikator keterampilan proses sains dasar seperti pada

tabel berikut:

Tabel 1. Indikator Keterampilan Proses Sains Dasar

Keterampilan Indikator
1 2
Mengamati Mampu menggunakan semua indera (penglihatan, pembau,
(observing) pendengaran, pengecap, peraba) untuk mengamati,
mengidentifikasi, dan menamai sifat benda dan
kejadian secara teliti dari hasil pengamatan.
Lanjutan tabel 1.

1 2
Inferensi Mampu membuat suatu kesimpulan tentang suatu benda
(inferring) atau fenomena setelah mengumpulkan,
menginterpretasi data dan informasi.
Klasifikasi Mampu menentukan perbedaan, mengontraskan ciri-ciri,
(classifying) mencari kesamaan, membandingkan dan menentukan
dasar penggolongan terhadap suatu objek.
Menafsirkan Mampu mengajukan perkiraan tentang sesuatu yang
(interpreting) belum terjadi berdasarkan fakta dan yang menunjukkan
suatu, misalkan memprediksi kecenderungan atau pola
yang sudah ada menggunakan grafik untuk
menginterpolasi dan mengekstrapolasi dugaan
Meramalkan Menggunakan pola/pola hasil pengamatan,
(Predicting) mengemukakan apa yang mungkin terjadi pada keadaan
yang belum diamati.
Berkomunikasi Memberikan/menggambarkan data empiris hasil
(Communicating) percobaan atau pengamatan dengan grafik/ tabel/ diagram,
menyusun dan menyampaikan laporan secara sistematis,
menjelaskan hasil percobaan atau penelitian, membaca
grafik/ tabel/ diagram, mendiskusikan hasil kegiatan suatu
masalah atau suatu peristiwa.

Sumber : Hartono, 2007.

Penggunaan KPS oleh siswa dapat meningkatkan pembelajaran yang permanen,

yaitu pembelajaran yang dapat diingat dalam waktu yang lama. Pengembangan

keterampilan proses sains memungkinkan siswa untuk menyelesaikan masalah,

berpikir kritis, membuat keputusan, menemukan jawaban dan

mengomunikasikan jawaban tersebut. Keterampilan proses sains tidak hanya

mencari keterampilan yang bisa membuat siswa belajar banyak informasi

mengenai sains, tetapi juga mempelajari keterampilan yang membantu siswa

untuk berpikir logis, mengaju-kan pertanyaan rasional dan mencari jawabannya,

serta memecahkan masalah mereka dalam kehidupan sehari-hari (Ergul dkk,

2011).
D. Pengaruh Gender dalam Pendidikan

Istilah seks dibedakan dengan gender. Seks bersifat biologis dan gender yang

bersifat psikologis, sosial dan budaya. Istilah seks menekankan pada perbedaan

yang disebabkan oleh perpedaan kromosom pada janin, sebagaimana dikatakan

oleh Moore dan Sinclair (dalam Remiswal, 2013) sedangkan istilah gender me-

nyangkut perbedaan psikologis, sosial dan budaya antara laki-laki dan perem-

puan, seperti yang dikemukakan oleh Gidden (dalam Remiswal, 2013). Lebih

lanjut, gender diartikan sebagai pengetahuan dan kesadaran, baik secara sadar

ataupun tidak sadar, bahwa seseorang tergolong dalam suatu jenis kelamin ter-

tentu dan bukan dalam jenis kelamin lain, seperti yang didefinisikan oleh

Lasswell (dalam Remiswal, 2013).

Menurut Elliott (2000) telah mengungkapkan beberapa perbedaan siswa ditinjau

dari perbedaan gender. Perbedaan yang tampak jelas adalah perbedaan secara

fisik. Anak laki-laki biasanya memiliki fisik yang lebih besar dan kuat meskipun

hampir semua anak perempuan matang lebih cepat daripada anak laki-laki. Anak

laki-laki juga dinyatakan lebih unggul dalam hal keterampilan spasial daripada

anak perempuan. Meskipun demikian, anak laki-laki sering mengalami masalah

dalam hal berbahasa, sehingga anak perempuan dinyatakan lebih unggul dalam

hal kemampuan verbal. Perbedaan gender ini tampaknya juga berpengaruh pada

besarnya motivasi siswa untuk berprestasi. Hal tersebut karena adanya anggapan

bahwa anak laki-laki lebih unggul dalam bidang sains dan matematika, sedang-

kan anak perempuan akan lebih unggul pada tugas-tugas yang lebih feminim

seperti seni dan musik. Perbedaan berikutnya yaitu tingkat agresivitasnya, anak
laki-laki cenderung akan lebih agresif daripada akan perempuan.

National Assessment of Educational Progress (dalam Santrock,2011)

mengatakan bahwa dalam sebuah studi nasional terbaru tentang prestasi ilmu

pengetahuan alam (IPA), anak laki-laki memang mendapatkan prestasi yang

sedikit lebih baik dalam ilmu pengetahuan alam bila dibandingkan dengan anak

perempuan di kelas empat, delapan, dan dua belas. Selain itu, Burkham, Lee &

Smerdon (dalam San-trock, 2011) berpendapat dalam studi lain yang berfokus

pada pelajar kelas dela-pan dan sepuluh, anak laki-laki mendapatkan nilai yang

lebih tinggi dari anak perempuan dalam tes ilmu pengetahuan alam, terutama di

antara siswa-siswa dengan kemampuan menengah dan tinggi.

Dalam kelas ilmu pengetahuan yang menekankan aktivitas laboratorium yang

membutuhkan partisipasi aktif, nilai tes ilmu pengetahuan anak perempuan me-

ningkat drastis. Ini menunjukkan pentingnya keterlibatan aktif siswa-siswa di

dalam kelas ilmu pengetahuan, yang bisa memajukan keadilan gender (Santrock,

2011). Studi lainnya yang dilakukan oleh Meece & Scantlebury (dalam Santrock,

2011) mengatakan bahwa banyak ahli gender yakin bahwa adanya perbedaan

gender dalam matematika dan ilmu pengetahuan alam yang disebabkan oleh pe-

ngalaman yang dimiliki oleh anak laki-laki dan anak perempuan. Menurut Coley

(dalam Santrock, 2011) ada lebih banyak teladan matematika dan ilmu pengeta-

huan alam laki-laki daripada perempuan. Anak laki-laki mengambil lebih banyak

mata pelajaran matematika dan ilmu pengetahuan alam daripada anak

perempuan.

Interaksi sosial antara guru dan siswa di kelas dapat dikaitkan dengan gender.
Terdapat beberapa bukti yang menunjukkan bahwa siswa laki-laki mendapatkan

bias gender dalam hal berinteraksi. Berikut ini adalah beberapa faktor yang

diper-timbangkan oleh Dezolt & Hull (dalam Santrock, 2011) yaitu siswa

perempuan lebih mematuhi, mengikuti peraturan, tampil rapid an teratur, dihargai

dan diku-atan di banyak kelas dibandingkan laki- laki. Mayoritas guru adalah

perempuan, terutama di sekolah dasar sehingga lebih menyulitkan anak laki-laki

daripada anak perempuan untuk menganggap dirinya memiliki karakteristik atau

pemi-kiran yang sama dengan gurunya. Kemudian siswa laki-laki lebih

diidentifikasi-kan memiliki masalah belajar dan sering dikritik. Staf sekolah juga

cenderung mengabaikan bahwa banyak anak laki-laki jelas-jelas memiliki

masalah akademis dan cenderung memberikan stereotip perilaku anak laki-laki

sebagai problematik.

Tidak hanya anak laki-laki yang mendapatkan bias gender, ternyata anak perem-

puan juga mendapatkan bias gender pada pembelajaran di kelas. Berikut adalah

beberapa faktor yang dipertimbangkan oleh Sadker dan Sadker (dalam Santrock,

2011) yaitu anak laki-laki lebih sukar dikendalikan dan meminta lebih banyak

perhatian sedangkan anak perempuan labih patuh dan cenderung lebih diam ke-

tika menunggu giliran mereka. Para pendidik khawatir bahwa kecenderungan

anak perempuan untuk patuh dan diam bisa berdampak hilangnya asertivitas

mereka. Dalam banyak kelas, guru menghabiskan lebih banyak waktu untuk

mengamati dan berinteraksi dengan anak laki-laki, sementara anak perempuan

belajar dan bermain sendiri dengan diam. Selain itu, anak perempuan dan anak

laki-laki memasuki kelas pertama dengan kurang lebih tingkat rasa harga diri

yang sama, namun pada tahun-tahun sekolah menengah pertama, harga diri anak
perempuan menurun secara signifikan daripada harga diri anak laki-laki yang

dikemukakan oleh Robins dkk (dalam Santrock, 2011).

Menurut Fennema dkk (dalam Slavin, 2006), persoalan perbedaan gender dalam

kecerdasan atau pencapaian akademis telah diperdebatkan selama berabad-abad.

Namun, belum seorang pun peneliti yang bertanggung jawab pernah menyatakan

bahwa setiap perbedaan pria-wanita dalam setiap ukuran kemampuan intelektual

adalah besar kalau dibandingkan dengan jumlah keragaman dalam masing-

masing jenis kelamin. Perbedaan-perbedaan ini hanyalah begitu kecil dan bera-

gam sehingga hanya mempunyai sedikit konsekuensi praktis. Yang jauh lebih

penting adalah perbedaan yang disebabkan oleh harapan dan norma budaya.

Soemanto (2006) juga berpendapat bahwa selama antara pria dan wanita terdapat

perbedaan fisik dan psikis, latihan, pengalaman, pola hidup, kebutuhan dan mi-

natnya, maka kita hanya akan mendapati kenyataan, bahwa tes-tes intelegensi

tidak akan mengukur secara akurat tentang perbandingan antara kapasitas mental

wanita dengan kapasitas mental pria. Dengan demikian, kita masih kesulitan un-

tuk mengatakan bahwa wanita lebih rendah, atau sama atau lebih superior daripa-

da pria dalam hal intelegensi.

Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Firmanto (dalam Mutho-

haroh dkk, 2012) yaitu tentang kecerdasan, task commitment, dan jenis kelamin

sebagai prediktor hasil belajar siswa. Penelitian ini menunjukkan bahwa jenis

kelamin tidak dapat dijadikan faktor untuk memprediksi pencapaian hasil belajar

siswa. Namun, dengan tinjauan jenis kelamin, pada siswa laki-laki kecerdasan

dapat dijadikan aspek utama sebagai prediktor. Sedangkan pada siswa perempu-
an, sebagai prediktor utama adalah kecerdasan dan task commitment, sehingga

siswa perempuan memiliki kapasitas intelektual rata-rata. Hal tersebut berimpli-

kasi bahwasanya untuk meningkatkan hasil belajar siswa baik laki-laki maupun

perempuan, perlu upaya mengembangkan pembelajaran yang mampu menstimuli

potensi kreativitas dan task commitment pada siswa.

E. Hasil Penelitian yang Relevan

Berikut ini adalah beberapa hasil penelitian yang relevan dengan penelitian yang

dilakukan:

1. Penelitian tentang perbedaan gender dan etnis yang diwujudkan dalam

prestasi belajar kimia dan pengaturan diri dilakukan oleh Veloo dkk pada

tahun 2015. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian

kuantitatif dengan menggunakan hasil ujian tengah semester kimia sebagai

ukuran pencapaian prestasi belajar kimia dan survei kuesioner. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa hasil belajar kimia yang diperoleh siswa laki-

laki secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan siswa perempuan.

2. Penelitian yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh gender terhadap

prestasi kimia siswa menggunakan model pembelajaran inquiry dilakukan

oleh Aniodoh dan Egbo pada tahun 2013. Metode penelitian yang digunakan

adalah quasi eksperimental dengan desain nonequivalent control group

design dan menggunakan tes prestasi kimia sebagai instrumen penelitian.

Hasil yang diperoleh yaitu prestasi belajar kimia siswa perempuan lebih

tinggi daripada siswa laki-laki.

3. Penelitian yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh kegiatan


mathemagenic pada pengelompokan gender dalam belajar dan pemahaman

konsep analisis volumetrik dilakukan oleh Orimogunje pada tahun 2013.

Metode penelitian yang digunakan adalah quasi eksperimental dengan desain

pre-test and post-test control group. Instrumen penelitian yang digunakan

adalah soal pretes dan postes. Hasil yang diperoleh yaitu isu gender dan

kegiatan belajar siswa tidak terdapat perbedaan yang signifikan untuk

mempengaruhi hasil belajar siswa terhadap pembelajaran analisis volumetrik

dalam kimia.

F. Kerangka Pemikiran

Ilmu kimia bukan hanya berupa produk pengetahuan, melainkan juga berupa

proses sehingga perlu pengembangan keterampilan memperoleh dan mempro-

ses semua fakta, konsep, dan prinsip dari siswa. Hal tersebut relevan dengan

pembelajaran berbasis keterampilan proses sains (KPS).Siswa mudah mema-

hami konsep-konsep yang rumit dan abstrak jika disertai contoh-contoh yang

sesuai dengan situasi yang dihadapi. Keterampilan proses sains dapat menya-

jikan hal itu sehingga membuat siswa menjadi bersifat kreatif, aktif, terampil

dalam berpikir dan memperoleh pengetahuan. Keterampilan proses sains

terdiri dari mengamati, menginferensi, mengklasifikasi, menafsirkan, mera-

malkan, dan mengkomunikasikan. Pembelajaran yang sistematis sesuai

langkah-langkah tersebut dapat diwujudkan dengan menggunakan lembar kerja

siswa berbasis KPS.

SMA Negeri 6 Metro merupakan salah satu sekolah negeri di Kota Metro.

Pembelajaran kimia di sekolah tersebut masih dominan menggunakan metode


ceramah dan belum menggunakan LKS yang dapat melatihkan keterampilan

proses sains. Siswa hanya sekedar menerima materi dari guru dan keterampilan

proses sains tidak terlalu dilatihkan. Hal tersebut menyebabkan kesulitan dalam

memperoleh hasil belajar yang maksimal sesuai dengan kompetensi yang ada

pada kurikulum. Selain itu, terdapat faktor lain yang dapat mempengaruhi hasil

belajar adalah gender. Menurut beberapa penelitian, terdapat kaitan antara gender

dengan hasil belajar siswa.

Dalam penelitian ini akan diuji apakah pembelajaran dengan menggunakan

LKS berbasis keterampilan proses sains di SMA Negeri 6 Metro efektif dalam

meningkatkan keterampilan proses sains berdasarkan gender siswa pada materi

hukum-hukum dasar kimia. Pada kelas eksperimen akan diterapkan pembela-

jaran dengan menggunakan LKS berbasis keterampilan proses sains, dan untuk

kelas kontrol akan diterapkan pembelajaran dengan menggunakan LKS kon-

vensional. Masing-masing kelas diberi pretest yang sama dari materi yang

akan mereka terima, yaitu materi hukum-hukum dasar kimia. Soal pretest

yang diberikan disusun untuk mengungkap pengetahuan siswa sebelum siswa

mene-rima pembelajaran. Dengan demikian, apabila pembelajaran dengan

menggu-nakan LKS berbasis keterampilan proses sains diterapkan pada

pembelajaran kimia di kelas diharapkan mampu meningkatkan keterampilan

proses sains siswa pada materi hukum-hukum dasar kimia ditinjau dari

perbedaan gender siswa.

G. Anggapan Dasar

Angggapan dasar penelitian ini adalah :


1. Perbedaan nilai n-Gain keterampilan proses sains siswa laki-laki dan perem-

puan semata-mata terjadi karena perbedaan perlakuan dalam proses pembe-

lajaran. Pembelajaran di kelas eksperimen menggunakan LKS berbasis KPS

sedangkan pembelajaran di kelas kontrol menggunakan LKS konvensional.

2. Faktor-faktor lain di luar perilaku pada kedua kelas penelitian diabaikan.

H. Hipotesis Penelitian

Hipotesis dalam penelitian ini adalah :

1. Terdapat interaksi antara pembelajaran menggunakan LKS berbasis keteram-

pilan proses sains dan LKS konvensional dengan gender terhadap keterampilan

proses sains pada materi hukum-hukum dasar kimia.

2. LKS berbasis keterampilan proses sains efektif untuk meningkatkan keteram-

pilan proses sains siswa pada materi hukum-hukum dasar kimia.

3. Keterampilan proses sains siswa laki-laki yang menggunakan pembelajaran

dengan LKS berbasis keterampilan proses sains lebih tinggi daripada yang

menggunakan pembelajaran dengan LKS konvensional pada materi hukum-

hukum dasar kimia.

4. Keterampilan proses sains siswa perempuan yang menggunakan pembelajaran

dengan LKS berbasis keterampilan proses sains lebih tinggi daripada yang

menggunakan pembelajaran dengan LKS konvensional pada materi hukum-

hukum dasar kimia.

Anda mungkin juga menyukai