Nim : 211010250344
Ada banyak istilah hukum yang patut dipahami terutama oleh mereka yang bergelut di bidang
hukum. Semakin berkembang ilmu pengetahuan hukum, semakin banyak pula istilah yang
dipergunakan. Beberapa di antara istilah hukum sudah dipergunakan sejak dulu (Indonesia
merdeka) hingga sekarang, baik dalam percakapan sehari-hari maupun dalam buku-buku teks
di lingkungan kampus.
Istilah-istilah hukum banyak ditemukan dalam kamus dan thesaurus. Untuk menelusuri
makna istilah-istilah hukum itulah dipergunakan ilmu semantik. Melalui pendekatan ini,
ditelusuri sejarah suatu istilah, dan mungkin saja ditemukan perubahan atau pergeseran
makna. Acapkali, tak diketahui secara pasti darimana istilah tertentu muncul karena
minimnya referensi yang digunakan, meskipun istilah dimaksud lazim dipakai masyarakat.
Mungkin saja dua kata yang mirip sebenarnya berbeda makna dan konteks penggunaan.
Di kalangan peminat ilmu hukum, istilah ‘perdata’ dan ‘pidana’ sangat lazim dipergunakan.
Bahkan dapat disebut sebagai istilah yang awal-awal diperkenalkan ketika belajar ilmu
hukum. Mahasiswa dibekali ilmu tentang ‘hukum perdata’ yang dalam bahasa Belanda
disebut privaatrecht dalam bahasa Belanda, dan hukum ‘pidana’ sebagai
terjemahan strafrecht.
Lantas, apa sebenarnya makna perdata dan pidana? Yang pasti, di bangku kuliah fakultas
hukum, perdata sering dijadikan sebagai lawan dari pidana. Setidaknya begitulah yang ditulis
dalam Kamus Hukum dan Yurisprudensi karya HM Fauzan dan Baharuddin Siagian (2017).
Di sini, perdata diartikan sebagai ‘sipil, lawan kriminal atau pidana’. Jika disebut ‘hukum
perdata’ berarti peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku setiap orang terhadap orang
lain berkaitan dengan hak dan kewajiban yang timbul dalam pergaulan masyarakat atau
pergaulan keluarga. Sedangkan ‘pidana’ adalah kejahatan, kriminal. Hukum pidana adalah
peraturan-peraturan yang terdapat dalam KUHP dan semua peraturan yang mempunyai
sanksi pidana dalam berbagai peraturan yang menyangkut aspek kehidupan bangsa, baik
dalam bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan maupun
menyangkut sumber daya manusia, sumber daya alam, dan geografis.
Kamus lain juga menyajikan definisi yang senada, baik yang bersifat khusus maupun kamus
umum. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka (2015: 1053-1054),
lema perdata dimaknai sebagai hak sipil, lawan dari kriminal atau pidana. Lema perdata juga
bermakna hati-hati, ingat-ingat, teliti, memperhatikan, memedulikan.
Dua kamus khusus yang diperiksa memberi gambaran yang tidak jauh beda. Setiawan
Widagdo, (Kamus Hukum, 2012: 435), perdata itu sipil. Hukum perdata itu ya hukum sipil,
sebagai lawan terhadap kriminal atau hukum pidana. Sudarsono (Kamus Hukum, 2009: 154)
mengartikan perdata sebagai ‘perseorangan, berkenaan dengan orang biasa/sipil’.
Tetapi jika ditelusuri ke sumber lain, ada pengertian perdata yang layak dikemukakan. Salah
satu yang menyinggung semantik istilah perdata adalah karya Hilman Hadikusuma. Dalam
buku Bahasa Hukum Indonesia (2005: 10-11), Hilman menuliskan bahwa istilah ‘hukum
perdata’ merupakan gabungan dua kata yang asal muasalnya berbeda. Hukum berasa dari
bahasa Arab, dan ‘perdata’ dari bahasa Jawa (Hindu) yakni pradata.
Alkisah, pada zaman kerajaan Mataram, khususnya era Amangkurat I (1646-1677), perkara
perdata pada umumnya adalah perkara yang membahayakan mahkota, yang sifatnya
mengganggu keamanan dan ketertiban negara. Perkara demikian menjadi urusan peradilan
raja, yang sekarang merupakan hukum publik. Sedangkan hukum privaat ketika itu adalah
perkara padu dan tidak menjadi urusan raja, melainkan urusan rakyat di daerah atau desa
melalui peradilan adat.
Tetapi Tresna mengingatkan pemisahan perkara ke dalam pradata dan padu tidak bersifat
mutlak. Adakalanya suatu perkara padu berubah sifatnya karena keadaan tertentu menjadi
pradata dan diadili di pengadilan raja. Misalnya, seorang pencuri yang tertangkap basah,
langsung dibawa ke perkara pradata agar secepatnya diselesaikan. Salah seorang utusan
Belanda yang menyaksikan peradilan pradata itu adalah Rijckloff van Goens, yang
menyaksikan siding setiap kamis pada era Amangkurat I memimpin Mataram. Sidangnya
berlangsung di Sitinggil. Terdakwa harus diikat kaki dan tangan dan harus tengkurap di
hadapan Susuhunan, kira-kira 50 meter jaraknya dari singgahsana raja.Jaksa tampil ke sepan
membacakan tuntutan. Saksi (minimal tiga orang) duduk agak jauh agar tidak mendengar apa
yang dikatakan jaksa kepada Susuhunan.
Ada juga orang memakai perkataan ‘hukum sipil’ untuk hukum privat materiil. Tetapi karena
perkataan sipil lazim dipakai sebagai lawan kata ‘militer’, maka lebih baik menggunakan
istilah hukum perdata. Adakalanya hukum perdata dipakai dalam arti sempit sebagai lawan
dari hukum dagang.
Buku Rachmadi Usman, Perkembangan Hukum Perdata dalam Dimensi Sejarah dan Politik
Hukum di Indonesia (2003) menguraikan sekilas sejarah hukum perdata Indonesia yang
ditarik dari sejarah pembuatan Burgerlijk Wetboek di Belanda, asal-muasalnya dari Code
Civil di zaman Romawi , hingga dibawa ke Indonesia. Ada banyak karya yang layak dibaca
lebih lanjut untuk melakukan penelusuran perkembangan hokum di Indonesia. Untuk periode
yang lebih jauh bias dibaca karya John Ball, Indonesian Legal History: 1602-1848, dan untuk
periode sesudahnya dapat dibaca karya Soetandyo Wignjosoebroto: Dari Hukum Kolonial ke
Hukum Nasional; Suatu Kajian tentang Dinamika Sosial Politik dalam Perkembangan
Hukum Selama Satu Setengah Abad di Indonesia (1849-1990).
Sumber : https://www.hukumonline.com/berita/a/bahasa-hukum--catatan-singkat-tentang-
istilah-perdata