Anda di halaman 1dari 52

1.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ekologi adalah ilmu yang mempelajari bagaimana makhluk hidup dapat


mempertahankan kehidupannya dengan mengadakan hubungan antar makhluk
hidup dan dengan benda tak hidup di dalam lingkungannya. Ekologi juga bisa
dikatakan terjadinya perpindahan energi dan materi dari makhluk hidup yang satu
ke makhluk hidup yang lain. Di dalam ekologi ada dua komponen yang dipelajari
yaitu komponen biotik dan abiotik. Komponen biotik adalah komponen yang terdiri
dari makhluk hidup seperti tumbuhan, hewan, dan manusia. Sedangkan komponen
abiotik terdiri dari komponen-komponen yang tak hidup seperti suhu, ph tanah,
kelembaban tanah, cahaya, dll. Faktor biotik dan faktor abiotik dapat
mempengaruhi vegetasi, apabila dalam suatu vegetasi faktor biotik dan abiotik
tersebut dapat menambah atau mengurangi jumlah keanekaragaman vegetasi serta
anthropoda dalam suatu lahan. Didalam ekologi juga dipelajari pengaruh dari
komponen-komponen tersebut terhadap lingkungannya.
Untuk mengetahui pengaruh dari faktor-faktor biotik dan abiotik, maka
dilakukan fieldtrip di daerah UB Forest yang terletak di Kecamatan Karangploso,
Kabupaten Malang. Fieldtrip dilakukan agar kita mengetahui ekosistem apa saja
yang ada di tempat tersebut dan kita mendapatkan pengetahuan serta pemahaman
tentang pentingnya melindungi lingkungan biotik dan abiotik agar terjaganya
keseimbangan ekosistem.
UB Forest merupakan hutan yang memiliki berbagai jenis tanaman, mulai
dari tanaman musiman dan tanaman tahunan. Objek dari pengamatan yang
dilakukan adalah pada plot tanaman tahunan. Tanaman tahunan adalah tanaman
yang hidupnya sepanjang tahun dan akan di panen sepanjang tahun pula sampai
tanaman tersebut tidak berproduksi lagi. Tanaman tahunan kebanyakan merupakan
tanaman perkebunan, dengan ciri-ciri berkayu keras dan dapat dipanen sepanjang
tahun sesuai dengan musim berbuahnya. Tanaman ini juga membutuhkan waktu
yang sangat lama hingga dapat menghasilkan buah yang dapat dipanen.
2

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka dapat
dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana vegetasi pada plot tahunan?
2. Bagaimana biodiversitas arthropoda pada plot tahunan?
3. Bagaimana pengaruh faktor biotik dan abiotik pada vegetasi pada plot tahunan?

1.2 Tujuan Penelitian


Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan pengamatan ini adalah
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui vegetasi yang ada pada plot tahunan di UB Forest.
2. Untuk mengetahui biodiversitas arthropoda pada plot tahunan di UB Forest.
3. Untuk mengetahui pengaruh faktor biotik dan abiotik pada vegetasi pada plot
tahunan di UB Forest.

1.3 Manfaat Penelitian


Pelaksanaan praktikum lapangan ini, manfaat yang dapat diperoleh adalah
dapat mengetahui bagaimana vegetasi, biodiversitas arthropoda, dan pengaruh
faktor biotik dan abiotik pada plot tahunan di UB Forest.
2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Ekologi dan Ekologi Pertanian

Kata Ekologi berasal dari Oikos yang berarti rumah atau tempat tinggal
organisme atau rumah tangga makhluk hidup. Ekologi juga dapat diartikan sebagai
ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara organisme dengan sesamanya
dan dengan benda-benda mati disekitarnya (lingkungannya). Ekologi pertama kali
diperkenalkan oleh Ernest Haeckel, seorang ahli biologi Jerman pada tahun 1869.
Ekologi menurut Ernest Haeckel adalah ilmu komprehensif yang mempelajari
hubungan antara organisme dan lingkungannya (Wardhana, 2001:1).
Menurut Silici (2014:4), ekologi pertanian atau agroekologi adalah
penerapan konsep ekologi dan prinsip-prinsip untuk mendesain dan manajemen
agroekosistem berkelanjutan yang memiliki tiga aspek, yaitu;
1. Suatu disiplin ilmu yang melibatkan studi holistik dari agroekosistem,
termasuk manusia dan unsur-unsur lingkungan.
2. Seperangkat prinsip dan praktek untuk meningkatkan ketahanan dan ekologi,
sosial-ekonomi dan keberlanjutan budaya sistem pertanian.
3. Gerakan mencari cara baru yang mempertimbangkan pertanian dan
hubungannya dengan masyarakat.

2.2 Prinsip Ekologi

Menurut Biodiversitybc (2008:5), prinsip ekologi adalah asumsi dasar (atau


keyakinan) tentang ekosistem dan bagaimana mereka berfungsi yang
diinformasikan oleh konsep-konsep ekologi. Prinsip-prinsip ekologi menggunakan
konsep ekologi (yang dipahami benar) untuk menarik kesimpulan utama yang
kemudian dapat memandu aplikasi manusia yang bertujuan untuk melestarikan
keanekaragaman hayati. Prinsip-prinsip ekologi yaitu;
1. Perlindungan spesies dan subdivisi spesies akan melestarikan keragaman
genetik.
2. Mempertahankan habitat merupakan dasar untuk melestarikan spesies.
3. Daerah besar biasanya mengandung lebih banyak spesies dari area yang lebih
kecil dengan habitat yang serupa.
4

4. Semua hal terhubung tetapi sifat dan kekuatan dari hal-hal yang terhubung
tersebut bervariasi.
5. Gangguan membentuk karakteristik populasi, komunitas, dan ekosistem.
6. Pengaruh iklim darat, air tawar, dan ekosistem laut.

2.3 Pengertian Ekosistem


Ekosistem adalah kesatuan ruang berstruktur fisik daratan, perairan dan
udara, berstruktur kimia padat, cair dan gas, berstruktur hayati manusia, hewan dan
tumbuhan; yang kesemuanya saling berinteraksi secara fungsional. Ini sebuah
definisi yang kompleks untuk menggambarkan bahwa jika satu unsure berubah
secara kuantitas maupun kualitas maka akan memberi pengaruh kepada kuantitas
dan kualitas unsur lainnya (Mangkoedihardjo, 2005:1).

2.4 Faktor Abiotik dan Biotik


1. Faktor Abiotik
Menurut Fontana (2010), faktor abiotik adalah pengaruh dalam lingkungan
organisme atau individu yang datang dari lingkungan fisik. Faktor abiotik terdiri
dari air, sinar matahari, oksigen, tanah, dan suhu.
a. Cahaya atau radiasi matahari
Cahaya atau sinar matahari sangat penting bagi pertumbuhan dan
perkembangan tanaman. Cahaya atau sinar matahari sangat dibutuhkan untuk
proses fotosintesis. Cahaya merupakan sinyal untuk inisiasi dan regulasi
fotoperiodisme dan fotomorfogenesis. Dua sistem light-sensing yang penting bagi
tanaman adalah cahaya biru (blue light) dan cahaya merah (red light) atau fitokrom.
Peran cahaya bagi tanaman ada tiga yaitu: a) Pertumbuhan dan perkembangan
tanaman, b) fotosintesis, dan c) pengendali, pemicu, dan modulator respon
morfogenesis (Setiyati 1996 dalam Setiawan, 2009).
b. Suhu
Suhu udara dan suhu tanah berpengaruh terhadap tanaman melalui proses
metabolisme dalam tubuh tanaman, yang tercemin dalam berbagai karakter, seperti
laju pertumbuhan, dominasi benih dan kuncup serta perkecambahannya,
pembungaan, pertumbuhan buah, dan pendewasaan/pematangan jaringan atau
organ tanaman (Sugito, 2009).
5

c. Air
Air adalah faktor biotik yang sangat penting bagi kehidupan makhluk hidup.
Air sering disebut “Water is life”. Seluruh organisme yang ada di bumi
membutuhkan air. Tanpa air seluruh organisme menjadi lemah bahkan bisa mati
(Fontana, 2010).
d. Tanah
Tanah sebagai salah satu faktor abiotik dalam lingkungan tumbuh tanaman,
tidak hanya berfungsi sebagai tempat berpijak akar tanaman namun yang lebih
penting adalah sebagai media dimana akar tanaman dapat menyerap nutrisi, air, dan
oksigen. Bahkan lebih dari itu, tanah tidak boleh dianggap sebagai benda mati
melainkan harus diperlakukan sebagai benda hidup dengan segala dinamikanya
(Sugito,2009).
Tanah adalah bahan padat (mineral atau organik) yang terletak dipermukaan
bumi, yang telah dan sedang serta terus mengalami perubahan yang dipengaruhi
oleh faktor-faktor: bahan induk, iklim, organisme, topografi, dan waktu. Tanah juga
memiliki tekstur yang berupa proporsi relatif dari pasir, debu, dan liat. Tanah
merupakan suatu hal yang penting bagi kehidupan seluruh makhluk hidup.
Mengingat fungsi tanah itu sendiri yaitu; - sebagai pengendali air. - sebagai siklus
unsur hara. - tanah juga dapat sebagai tempat mempertahankan tanaman dan hewan.
- sebagai penyangga struktur (Harahap et al., 2014).
e. Angin
Angin adalah udara yang bergerak dari daerah bertekanan udara tinggi ke
daerah yang bertekanan rendah. Pergerakan udara ini disebabkan oleh rotasi bumi
dan juga karena adanya perbedaan tekanan udara di sekitarnya (Affifudin, 2009 dan
Resmi et al., 2010). Faktor terjadinya angin ada 4 tahap, yaitu gradien barometris,
lokasi, tinggi lokasi dan waktu (Firmanda,2008: Resmi, Sarwono, dan
Hantoro,2010).
f. Iklim
Iklim merupakan salah salut faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan
produktivitas tanaman. Berdasarkan gambaran iklim dapat diidentifikasi tipe
vegetasi yang tumbuh di lokasi tersebut. Iklim memegang peran penting dalam
penentuan jenis dan kultivatur tanaman yang dapat dibudidayakan dan dalam
6

penentuan hasil akhir. Keberhasilan produksi tanaman masyarakat penggunaan


sumber daya iklim, seperti penyinaran matahari, karbon dioksida, dan air secara
efisien (Setiawan, 2009).
2. Faktor Biotik
Menurut Fontana (2010), faktor biotik adalah sesuatu yang hidup yang
mempengaruhi ekosistem. Faktor biotik mencangkup seluruh makhluk hidup,
seperti tumbuhan dan hewan, yang saling mempengahuruhi satu sama lain dengan
kebiasaan mereka, dimana mereka tinggal, dan dengan siapa mereka berinteraksi.
Faktor biotik dibagi menjadi 3, yaitu:
1. Produsen. Organisme yang menyerap energi matahari dan mengubahnya
menjadi makanan untuk konsumen. Contoh dari producer adalah tumbuhan,
seperti rumput, pohon, dan lain-lain.
2. Konsumen. Organisme yang memakan produsen dan organisme lainnya.
Contohnya seperti sapi (memakan ruput) dan serigala (memakan hewan).
3. Dekomposer/pengurai. Dekomposer merupakan organisme yang menguraikan
material mati/bangkai/tanaman mati yang berada di atas tanah dan mengubahnya
menjadi nutrisi (seperti karbon atau nitrogen) terhadap tanah dan bisa digunakan
kembali oleh tumbuhan untuk membuat tanaman. Contoh dari dekomposer yaitu
cacing tanah, mikroorganisme yang berada di tanah, bakteri, jamur, dan
sebagainya.

2.5 Pengaruh Abiotik terhadap Agroekosistem


1. Faktor Atmosfer (Atmosphere factor) terdiri atas:
a. Suhu (temperatur)
Suhu udara mempengaruhi aktifitas kehidupan tanaman, antara lain pada
proses fotosintesis, respirasi, transpirasi, pertumbuhan, penyerbukan, pembuahan,
dan keguguran buah. Besar kecilnya pengaruh ini terkait dengan faktor yang lain
seperti kelembaban, tersedianya air, dan jenis tanaman. Menurut Mardjuki (1990)
dalam Hariadi (2015), rata-rata udara yang dibutuhkan untuk aktifitas tanaman
berkisar 15°C hingga 40°C. Menurut Sholikhah et al. (2015), tanaman kopi robusta
dapat dibudidayakan pada temperatur 17-21°C.
7

b. Kelembapan
Kelembapan udara menggambarkan kandungan uap air di udara yang dapat
dinyatakan sebagai kelembapan mutlak, kelembapan nisbi (relatif) maupun defisit
tekanan uap air (Handoko, 1995: Setiawan, 2009). Kandungan uap udara di daerah
trofik biasanya lebih dari pada di daerah iklim sedang. Variasi musim sangat kecil
dan kelembaban relatif selalu diatas 80% (Hariadi, 2007).
c. Cahaya matahari
Radiasi matahari merupakan faktor utama diantara faktor iklim yang lain,
tidak hanya sebagai sumber energi primer tetapi karena berpengaruh terhadap
keadaan faktor yang lain seperti suhu, kelembapan, dan angin. Respon tanaman
terhadap radiasi matahari atau pengaruh radiasi matahari terhadap tanaman, pada
dasarnya dapat dibagi dalam tiga aspek, yaitu: intensitas, kualitas, dan
fotoperiodisitas (Sugito, 2009). Tanaman kopi merupakan tanaman C3 yang
memiliki karakteristik berbeda dengan tanaman C4 dalam memanfaatkan sinar
matahari (Careli et al., 2003). Sanger (1998) dalam Sholikhah et al. (2005),
Tanaman C3 membutuhkan intensitas cahaya yang tidak penuh untuk dapat tumbuh
optimal.
d. Angin
Angin sangat penting bagi pertumbuhan tanaman, terutama angin yang tidak
terlalu kencang karena angin atau udara yang bergerak merupakan penyedia gas
CO2 yang sangat dibutuhkan tanaman dalam proses fotosintesis. Angin, sebagai
komponen atmosfir, dapat mempengaruhi positif dan negatif terhadap tanaman
tergantung kepada kecepatan dan kondisi angin tersebut. Pengaruh positif, karena
angin dapat membawa tepungsari dan membantu penyebaran biji, buah, dan spora.
Seperti telah diuraikan dimuka, angin dapat membantu proses transpirasi. Angin
lembab yang banyak mengandung uap air menguntungkan tanaman seperti pada
tanaman cengkeh. Namun bila kecepatan angin terlalu tinggi, proses transpirasi
berlangsung secara berlebihan dan akibatnya tanaman kekurangan air. Keadaan ini
juga menyebabkan stomata menutup pada siang hari, absorsi CO 2 terhambat dan
proses fotosintesis berkurang. Pertumbuhan tanaman terhambat dan hasil panen
menurun. Kecepatan angin yang lebih tinggi lagi (angin kencang: 62—74 km/jam,
badai: 89-102 km/jam, topan/praha: lebih dari 118 km/jam) dapat menyebabkan
8

kerusakan fisik, seperti daun robek, ranting dan dahan patah, batang tanaman roboh
dan bahkan tercabut bersama akar-akarnya. Kerebahan pada tanaman sering terjadi
karena pengaruh angin ini (Sugito, 2009).
2. Faktor tanah
Menurut Sugito (2009), tanah sebagai salah satu faktor dalam lingkungan
tumbuh tanaman, tidak hanya sebagai tempat berpijak akar tanaman namun yang
lebih penting adalah sebagai media dimana akar tanaman dapat menyerap nutrisi,
air, dan oksigen. Bahkan lebih dari itu, tanah tidak boleh dianggap sebagai benda
mati melainkan harus diperlakukan sebagai benda hidup dengan segala
dinamikanya.
Pengelolaan tanah dengan demikian harus bertumbuk kepada perbaikan
dalam kesuburan tanah, baik fisik, kimia, maupun biologi seingga tanaman yang
kita tanam disitu akan tumbuh baik dengan sendirinya, dan juga ketinggian tempat.
a. Sifat fisik tanah
Sifat fisik tanah, terutama struktur tanah dan kemampuan tanah memegang
air lebih banyak dipengaruhi oleh kandungan bahan organik tanah karena melalui
aktivitas mikroorganisme tersebut akan diperoleh keadaan struktur tanah yang
gembur dan tingkat kemampuan tanah menahan air yang tinggi (Sugito, 2009).
b. Unsur Hara
Unsur hara atau nutrisi merupakan faktor penting bagi pertumbuhan
tanaman yang dapat diibaratkan sebagai zat makanan bagi tanaman. Sesuai dengan
jumlah yang dibutuhkan tanaman, unsur hara dapat dibagi menjadi dua kelompok,
yaitu: unsur hara makro dan unsur hara mikro. Unsur hara makro adalah unsur hara
yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah banyak, seperti nitrogen (N), fosfor(P),
kalium (K), belerang (S), kalsium (Ca), dan magnesium (Mg). Unsur hara primer
(N, P, dan K) dan unsur hara skunder (S, Ca, dan Mg) (Sugito, 2009).
c. Unsur kimia tanah (kemasaman)
Kemasaman (pH) tanah menunjukkan konsentrasi ion H pada larutan tanah.
Tanah pertanian pada umumnya memiliki pH antara 4 sampai 8. pengaruh
kemasaman tanah terhadap tanaman terkait dengan ketersediaan unsur hara bagi
tanaman. Selain itu, pada tanah yang sangat masam, pertumbuhan tanaman
terhambat karena keracunan alumunium (Al).
9

Pada umumnya ketersediaan hara mencapai maksimum pada kisaran pH:


6,0—7,0. Akan tetapi untuk hara tertentu, seperti fosfor (P) lebih banyak tersedia
dalam bentuk H2PO4 sehingga penyerapan fosfor oleh akar tanaman lebih
ditunjang oleh suasana asam dari pada basa (Sugito, 2009).
d. Ketinggian tempat
Ketinggian tempat dari permukaan laut merupakan salah satu faktor yang
sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil dalam suatu komoditas. Ada
kaitan antara ketinggian tempat dengan unsur iklim yaitu suhu udara. Makin rendah
ketinggian tempat dari permukaan laut, makin tinggi suhu udara (Ambarwati et al.,
2011). Kopi arabika dapat dibudidayakan pada ketinggian optimum 800-1500 m
diatas permukaan laut dengan temperatur 17—20°C (Sholikah et al., 2015:1).

2.6 Pengaruh Arthoproda dalam Agroekosistem


Arthropoda berasal dari bahasa Yunani yaitu arthros, sendi dan podos, kaki.
Ciri utama hewan yang termasuk dalam filum ini adalah kaki yang tersusun atas
ruas-ruas. Jumlah spesies anggota filum ini terbanyak dibandingkan dengan
anggota filum lain, yaitu lebih dari 800.000 spesies (Kastawi et al., 2005).
Arthropoda memiliki peran dalam mempengaruhi ekosistem. Berdasarkan
tingkat trofik tertentu, arthropoda dalam pertanian dibagi menjadi 3 yaitu
arthropoda herbivora, arthropoda karnivora, dan arthropoda dekomposer yang
masing-masing memiliki peran dalam ekosistem di alam. Arthropoda herbivora
adalah kelompok yang memakan tanaman dan keberadaannya dapat menimbulkan
kerusakan pada tanaman, atau biasa disebut sebagai hama. Arthropoda karnivora
terdiri dari semua spesies yang memangsa hewan lain atau arthropoda herbivora,
kelompok ini meliputi kelompok predator dan kelompok parasitoid. Arthropoda
dekomposer adalah organisme yang berfungsi sebagai pengurai yang dapat
membantu mengembalikan kesuburan tanah (Hidayat, 2006).
Hama merupakan arthropoda herbivora yang memiliki peran dalam
agroekosistem sebagai pemakan tanaman yang dapat menyerang dan menyebabkan
kerugian pada tanaman yang dibudidaya. Hama yang merugikan juga dapat
menurunkan kualitas dan kuantitas suatu tanaman dan juga hasil tanamannya.
Contohnya adalah belalang ranting (Bactrocoderma aculiferum), belalang kayu
(Valanga nigricornis), kumbang badak (Oryctes rhinoceros L), dan sebagainya.
10

Peranan arthtropoda dalam agroekosistem selanjutnya yaitu sebagai


predator. Predator adalah organisme yang hidup bebas dan memangsa organisme
lainnya. Dalam pertanian predator dapat berperan sebagai musuh alami dari hama.
Salah satu contohnya, kumbang (Menochilus sexmaculatus) memangsa kutu daun
(Aphid sp.). Selanjutnya arthropoda juga dapat sebagai parasitoid. Parasitoid adalah
serangga yang memarasit serangga atau binatang arthropoda yang lain. Parasitoid
hidup menumpang di luar atau di dalam inangnya dengan mengambil energi tubuh
inangnya untuk kebutuhan hidupnya dan parasitoid umumnya menyebabkan
kematian pada inangnya secara perlahan (Sunarno, 2013).
3. METODOLOGI

3.1 Alat dan Bahan


3.1.1 Aspek Budidaya Pertanian
Tabel 1. Alat Aspek Budidaya Pertanian

No Alat Fungsi
Untuk menandai tali rafia sesuai dengan
1 Spidol hitam
panjang plot
2 Gunting Untuk memotong tali rafia
3 Alat tulis Untuk menulis hasil pengamatan
4 Form Pengamatan Untuk mendata hasil pengamatan
5 Termohigrometer Untuk mengukur suhu dan kelembapan udara
6 Luxmeter Untuk mengukur intensitas radiasi matahari
7 Kamera Untuk dokumentasi
8 Busur modifikasi Untuk mengukur tinggi pohon

Tabel 2. Bahan Aspek Budidaya Pertanian

No Bahan Fungsi
1 Tali rafia Untuk membuat plot besar pengamatan
2 Meteran jahit Untuk mengukur panjang plot dan tali rafia
Sebagai patok untuk memperkuat ujung-
3 Tongkat kayu
ujung plot

3.1.2 Aspek Tanah


Tabel 3. Alat Aspek Tanah

No Alat Fungsi
1 Pengaris besi Untuk mengukur ketebalan seresah
2 Cetok Untuk menggali tanah
3 Alat tulis Untuk menulis hasil pengamatan
4 Form Pengamatan Untuk mendata hasil pengamatan
5 Termometer tanah Untuk mengukur suhu tanah
6 Kamera Untuk dokumentasi
Tabel 4. Bahan Aspek Tanah
12

No Bahan Fungsi
1 Frame 50x50cm Untuk membuat plot pengamatan
2 Kapas Sebagai media alkohol
3 Alkohol 70% Untuk membius biota tanah
4 Plastik 1kg Sebagai wadah biota tanah

3.1.3 Aspek Hama dan Penyakit Tanaman


Tabel 5. Alat Aspek Hama dan Penyakit Tanaman

No Alat Fungsi
1 Spidol permanen Untuk memberi keterangan pada plastik
2 Alat tulis Untuk menulis hasil pengamatan
3 Form Pengamatan Untuk mendata hasil pengamatan
4 Sweepnet Untuk menangkap arthropoda
5 Kamera Untuk dokumentasi

Tabel 6. Bahan Aspek Hama dan Penyakit Tanaman

No Bahan Fungsi
1 1 botol air 600ml Sebagai media perangkap yellowtrap
Sebagai wadah larutan detergen untuk
2 4 gelas air mineral
pitfall
Untuk membuat serangga yang
3 Larutan Detergen
terperangkap tetap berada di dasar wadah
4 Plastik 1kg Sebagai wadah arthropoda
Sebagai media alkohol untuk membius
5 Kapas
arthropoda
6 Alkohol 70% Untuk membius arthropoda
13

3.2 Metode Pelaksanaan


3.2.1 Pengamatan Faktor Abiotik
a. Intensitas Radiasi Matahari

Menyiapkan alat dan bahan

Menyalakan luxmeter

Menentukan kisaran range yang akan diukur

Mengarahkan sensor cahaya ke daerah yang akan diukur

Mengamati hasil pengukuran pada layar panel

Mendokumentasikan hasil pengamatan

Mencatat hasil pengamatan

Untuk mengetahui intensitas radiasi matahari pada agroekosistem ternaungi,


pertama-tama dapat dilakukan dengan menyiapkan alat dan bahan terlebih dahulu.
Alat dan bahan yang dibutuhkan adalah luxmeter, form pengamatan, alat tulis dan
kamera. Langkah pertama penggunaan luxmeter adalah dengan menyalakannya
terlebih dahulu. Kemudian mengatur kisaran range yakni 10 lux untuk intensitas
cahaya matahari ternaungi dan mengarahkan sensor luxmeter ke tempat pengukuran
intensitas cahaya. Setelah hasil didapatkan, maka luxmeter di lock. Selanjutnya
mengamati hasil pengukuran pada layar panel. Mendokumentasikan hasil
pengamatan dan mencatat hasil pengamatan tersebut.
14

2. Kelembaban dan Suhu Udara


Menyiapkan alat dan bahan

Menyalakan termohigrometer

Mengarahkan sensor termohigrometer ke tempat untuk mengukur suhu

Mengamati skala yang ada pada termohigrometer

Mendokumentasikan hasil pengamatan

Mencatat hasil pengamatan

Untuk mengetahui kelembaban dan suhu udara pada agroekosistem,


pertama-tama dapat dilakukan dengan menyiapkan alat dan bahan terlebih dahulu.
Alat dan bahan yang dibutuhkan adalah termohigrometer, form pengamatan, alat
tulis dan kamera. Cara pemakaian termohigrometer adalah menyalakan tombol on
kemudian mengarahkan termohigrometer dan sensornya ke tempat yang akan
diamati. Setelah 3—5 menit, amati skala yang tertera pada termohigrometer
tersebut. Suhu udara ditunjukan oleh skala derajat selsius sedangkan kelembaban
udara ditunjukan oleh skala persentase. Selanjutnya hasil pengamatan
didokumentasikan dan dicatat pada tabel pengamatan.
15

3. Suhu Tanah

Menyiapkan alat dan bahan

Memilih area pengamatan suhu tanah

Membuka penutup sensor termometer

Menancapkan termometer tanah pada area yang telah


ditentukan

Mendokumentasikan hasil pengamatan

Mencatat hasil pengamatan

Untuk mengetahui suhu tanah pada agroekosistem, pertama-tama dapat


dilakukan dengan menyiapkan alat dan bahan terlebih dahulu. Alat yang dibutuhkan
adalah termometer tanah, form pengamatan, alat tulis dan kamera. Selanjutnya
adalah memilih area pengamatan suhu tanah. Kemudian menancapkan termometer
tanah pada area yang telah ditentukan tersebut. Hasil pengamatan
didokumentasikan dan dicatat di form pengamatan.
16

e. Seresah

Menyiapkan alat dan bahan

Memasuki plot 20m x 5m

Menentukan area pengamatan

Memasang frame 50cm x 50cm

Mengukur ketebalan seresah menggunakan penggaris besi

Mendokumentasikan hasil pengamatan

Mencatat hasil pengamatan

Untuk mengidentifikasi seresah pada agroekosistem, pertama-tama dapat


dilakukan dengan menyiapkan alat dan bahan terlebih dahulu. Alat dan bahan yang
dibutuhkan adalah frame berukuran 50cm x 50cm yang terbuat dari tali rafia,
penggaris besi, kamera, alat tulis dan form pengamatan. Selanjutnya pengamat
memasuki plot 20m x 5m dan menentukan 10 titik pengamatan seresah. Titik
tersebut dipasangkan frame berukuran 50cm x 50cm yang telah dibuat. Pengamat
mengukur ketebalan seresah menggunakan penggaris besi. Hasil pengamatan
didokumentasikan dan dicatat di form pengamatan.
17

3.2.2 Pengamatan Faktor Biotik


a. Identifikasi Vegetasi

Menyiapkan alat dan bahan

Memasuki plot 20m x 5m

Mengamati vegetasi pada plot

Menghitung jenis dan jumlah vegetasi

Mendokumentasikan hasil pengamatan

Mengidentifikasi vegetasi yang telah diamati

Mencatat hasil pengamatan

Untuk mengidentifikasi vegetasi pada agroekosistem, pertama-tama dapat


dilakukan dengan menyiapkan alat dan bahan terlebih dahulu. Alat dan bahan yang
dibutuhkan adalah kamera, alat tulis dan form pengamatan. Selanjutnya pengamat
memasuki plot 20m x 5m yang telah ditentukan. Kemudian mengamati vegetasi
yang ada di dalam plot serta menghitung jumlahnya. Pengamat
mendokumentasikan vegetasi dan mencatat hasil pengamatan di form pengamatan.
Pengamat mengidentifikasi vegetasi yang telah diamati di dalam plot.
18

b. Biota Tanah
Menyiapkan alat dan bahan

Memasuki plot 20m x 5m

Menentukan area pengamatan

Memasang frame 50cm x 50cm

Menggali area tanah yang telah ditentukan menggunakan cetok

Mengamati biota tanah

Mendokumentasikan hasil pengamatan

Mencatat hasil pengamatan

Mengidentifikasi biota tanah


Untuk mengidentifikasi biota tanah pada agroekosistem, pertama-tama
dapat dilakukan dengan menyiapkan alat dan bahan terlebih dahulu. Alat dan bahan
yang dibutuhkan adalah frame berukuran 50cm x 50cm yang terbuat dari tali rafia,
cetok, plastik berukuran 1kg, kapas beralkohol, kamera, alat tulis dan form
pengamatan. Selanjutnya pengamat memasuki plot 20m x 5m dan menentukan dua
titik pengamatan biota tanah. Titik tersebut dipasangkan frame berukuran 50cm x
50cm yang telah dibuat. Kemudian menggali tanah sedalam 20cm menggunakan
cetok dan mengamati biota tanah yang terdapat pada titik tersebut. pengamat
memasukkan biota tanah yang belum teridentifikasi ke dalam plastik yang sudah
berisi kapas beralkohol. Biota tanah didokumentasikan dan hasil pengamatan
dicatat di form pengamatan. Selanjutnya pengamat mengidentifikasi biota tanah.
19

3.2.3 Pengamatan Arthropoda


a. Sweepnet

Menyiapkan alat dan bahan

Memasuki plot 20m x 5m

Menangkap serangga dengan sweepnet

Mengambil serangga dari sweepnet

Memasukkan serangga ke dalam plastik

Mendokumentasikan serangga

Identifikasi arthropoda dan mencatat hasil pengamatan

Untuk mengetahui keanekaragaman arthropoda pada agroekosistem dengan


perangkap sweepnet, pertama-tama dapat dilakukan dengan menyiapkan alat dan
bahannya terlebih dahulu. Alat dan bahan yang dibutuhkan adalah sweepnet, plastik
ukuran 1kg, kapas, alkohol 70%, pulpen atau spidol, form pengamatan dan kamera.
Langkah selanjutnya adalah memasukkan kapas yang sudah dibasahi alkohol 70%
ke dalam plastik berukuran 1kg. Kemudian dua orang memasukki plot berukuran
20m x 5m. Satu orang menggunakan sweepnet dan satu orang mengambil serangga
yang terperangkap pada sweepnet. Cara pemakaian sweepnet adalah melangkah
maju membentuk huruf U dengan mengayunkan sweepnet sebanyak 3 kali di atas
tanaman dengan jarak 5-10cm. Setelah ayunan ketiga, sweepnet ditutup. Serangga
yang berhasil ditangkan dengan sweepnet kemudian diambil dan dimasukkan ke
dalam plastik 1kg yang telah diberi kapas beralkohol. Selanjutnya, dokumentasikan
serangga yang didapat dan identifikasi serangga atau arthropoda yang ada
menggunakan buku KDS (Kunci Determinasi Serangga). Mencatat hasil
pengamatan yang telah dilakukan pada tabel pengamatan.
20

b. Yellowtrap
Menyiapkan alat dan bahan

Memasang yellowtrap di tengah plot

Mengambil yellowtrap

Mendokumentasi arthropoda yang menempel pada yellowtrap

Identifikasi arthropoda dan mencatat hasil pengamatan

Untuk mengetahui keanekaragaman arthropoda pada agroekosistem dengan


perangkap yellowtrap, pertama-tama dapat dilakukan dengan menyiapkan alat dan
bahannya terlebih dahulu. Alat dan bahan yang dibutuhkan adalah botol bekas
600ml sebanyak satu buah sebagai media perangkap yellowtrap, pulpen atau spidol,
form pengamatan dan kamera. Selanjutnya, memasang satu buah botol yang sudah
ditempelkan yellowtrap di tengah plot. Setelah didiamkan beberapa hari, yellowtrap
dan botol diambil. Setelah itu, identifikasi serangga atau arthropoda yang ada
menggunakan buku KDS (Kunci Determinasi Serangga) dan catatlah hasil
pengamatan yang telah dilakukan pada tabel pengamatan.
21

c. Pitfall

Menyiapkan alat dan bahan

Memasang pitfall di setiap sudut plot

Mengambil serangga yang terperangkap dalam pitfall

Memindahkan serangga yang terperangkap ke dalam plastik

Mendokumentasi setiap serangga yang terperangkap dalam pitfall

Identifikasi arthropoda dan mencatat hasil pengamatan

Untuk mengetahui keanekaragaman arthropoda pada agroekosistem dengan


perangkap pitfall, pertama-tama dapat dilakukan dengan menyiapkan alat dan
bahannya terlebih dahulu. Alat dan bahan yang dibutuhkan adalah gelas plastik air
mineral bekas sebanyak 4 buah sebagai tempat perangkap pitfall, detergen dan air,
plastik bening, pulpen atau spidol, form pengamatan dan kamera. Selanjutnya,
memasang 4 buah pitfall yang sudah berisikan air dan detergen di setiap sudut plot.
Setelah didiamkan beberapa hari, apabila terdapat arthropoda atau serangga yang
terperangkap dalam pitfall, pindahkan arthropoda beserta air detergennya ke dalam
plastik bening. Masing-masing pitfall dimasukan ke dalam plastik bening yang
berbeda dan diberi nomor urutan pitfall dengan spidol, lalu didokementasikan.
Setelah itu, identifikasi serangga atau arthropoda yang ada menggunakan buku
KDS (Kunci Determinasi Serangga) dan catatlah hasil pengamatan yang telah
dilakukan pada tabel pengamatan.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Pengamatan
4.1.1 Pengamatan Fator Abiotik
Tabel 4. Hasil Identifikasi Intensitas Radiasi Matahari, Kelembapan Tanah, dan
Suhu Udara
Intensitas Kelembapan
Suhu Udara
No. Lokasi Radiasi Udara/ relative
(°C)
Matahari (lux) humidity(%)
Plot Tanaman
1. 572 lux 61% 26,8°C
Tahunan

Dari hasil pengamatan yang dilakukan dalam plot tanaman tahunan ukuran
20×5 meter diketahui intensitas radiasi matahari, kelembapan udara, dan suhu
udara. Pengukuran intensitas cahaya matahari dilakukan menggunakan luxmeter
dan didapat hasil sebesar 572 lux. Sedangkan pengukuran kelembaban dan suhu
udara dilakukan menggunakan thermohigrometer, masing-masing sebesar 61% dan
26,8°C.

Tabel 5. Hasil Identifikasi Suhu Tanah

No. Lokasi Suhu Tanah

1. Plot Tanaman Tahunan 21,1°C

Pengamatan dilakukan untuk mengetahui suhu tanah pada plot tanaman


tahunan ukuran 20×5 meter. Dari pengamatan yang dilakukan menggunakan
thermometer tanah, diperoleh data sebesar 21,1°C.
41

Tabel 6. Hasil Identifikasi Seresah


Lokasi Titik Ketebalan (cm)
1 10
2 1,4
3 1,2
4 1,2
5 0,8
Plot Tanaman
6 4,2
Tahunan
7 0,2
8 3
9 7,8
10 5,8
Rata-rata 3,56
Pengamatan ketebalan seresah dilakukan pada sepuluh plot pengamatan
luasan tanaman tahunan 20×5 meter, dengan masing-masing titik pengamatan
berframe 50×50 cm. Pada titik 1 diperoleh ketebalan seresah sebesar 10 cm, titik 2
sebesar 1,4 cm, titik 3 sebesar 1,2 cm, titik 4 sebesar 1,2 cm, titik 5 sebesar 0,8 cm,
titik 6 sebesar 4,2 cm, titik 7 sebesar 0,2 cm, titik 8 sebesar 3 cm, titik 9 sebesar 7,8
cm, sedangkan titik 10 sebesar 5,8 cm. Dari pengamatan ini diperoleh tebal seresah
rata-rata, yaitu sebesar 3,56 cm.

4.1.2 Pengamatan Faktor Biotik


a. Identifikasi Vegetasi
Tabel 7. Hasil Identifikasi Vegetasi
No. Nama Umum Nama Ilmiah Jumlah Gambar

Kopi Coffea Arabica


1 27
Arabika
42

2 Pinus Pinus merkusii 5

3 Talas Colocasia 30
esculenta L.

Pomoea
4 Ubi Jalar 59
batatas L.

Melia azedarach
5 Rumput Mindi Banyak
L.
43

Rumput Pteridium
6 Banyak
Paku Garuda aquilum

Rumput Ageratum
7
Babadotan conyzoides
Banyak

Rumput Gajah Pennisetum


8
Biasa purpureum
Banyak
44

Rumput Crassocephalum
9
Sintrong crepidioides Banyak

10 Rumput Ketul Bidens pilosa


Banyak

Hasil identifikasi vegetasi ditemukan beberapa jenis vegetasi diantaranya


kopi arabika (Coffea arabica) yang berjumlah 27 pohon dan pohon pinus (Pinus
merkusii) yang berjumlah 5 pohon. Selain tanaman tahunan pada wilayah
pengamatan juga ditemukan beragam tanaman lain, vegetasi yang ditemukan antara
lain adalah pohon talas (Colocasia esculenta L.) berjumlah 30 tanaman, ubi jalar
(Ipomoea batatas L.) berjumlah 59 tanaman, rumput babadotan (Ageratum
conyzoides), rumput mindi (Melia azedarach L.), rumput paku garuda (Pteridium
aquilum), rumput gajah biasa (Pennisetum purpureum), rumput introng
(Crassocephalumcrepidioides), dan rumput ketul (Bidens pilosa).
45

b. Identifikasi Biota Tanah


Tabel 8. Hasil Identifikasi Biota Tanah
No Spesies Jumlah Peranan Dokumentasi

1. Rayap 1 Detritivor

Cacing
2. 1 Detritivor
tanah

3. Tonggeret (nimfa) 1 Hama

Hasil pengamatan ditemukan dua biota tanah, antara lain rayap yang
jumlahnya hanya satu serta memiliki peranan sebagai detritivor, cacing tanah yang
jumlahnya hanya satu serta memiliki peranan sebagai detritivor; dan nimfa
serangga tonggeret yang berjumlah satu serta memiliki peran sebagai hama.
46

4.1.3 Pengamatan Arthropoda


Tabel 9. Hasil Identifikasi Arthropoda
Jenis Nama Jumlah
Ordo Peran Dokumentasi
Perangkap Umum Species

Predat
Jangkrik Orthoptera 1
or

Semut Hymenop- Predat


1
hitam tera or

Pitfall

Vekto
Nyamuk Diptera 1
r

Vekto
Lalat Diptera 1
r
47

Vekto
Lalat Diptera 1
r

Wereng
Homopter
Yellowtrap batang 1 Hama
a
coklat

Vekto
Nyamuk Diptera 3
r

Oteng-
Coleoptera 1 Hama
oteng
48

Kumbang
Kubah Coleoptera 1 Hama
Spot

Sweepnet

Predat
Laba-laba Araneae 1
or

Pada kegiatan aspek HPT yang diamati dilakukan tiga metode penangkapan,
yaitu sweepnet, pitfall, dan yellowtrap. Pengamatan pertama dilakukan
menggunakan metode sweepnet, metode ini menggunakan jaring serangga yang
diayunkan dengan mulut jaring terbuat dari kawat melingkar dengan pola
membentuk huruf U. Kemudian dari jaring tersebut ditemukan dua ordo yang
berbeda, yaitu coleopteran dan araneae. Metode pitfall dilakukan menggunakan
empat titik pengamatan menggunakan wadah (gelas bekas air mineral) yang terisi
dengan air campuran ditergen sebagai larutan pembunuh sample yang diletakan
pada masing-masing ujung plot tanaman tahunan yang diamati. Dari pitfall didapati
tiga ordo yang berbeda, yaitu orthoptera, hymenoptera, dan diptera. Pada pitfall ke-
1 terdapat serangga jangkrik, ke-2 tidak terdapat serangga sama sekali, ke-3 tidak
terdapat serangga sama sekali, sedangkan pitfall ke-4 terdapat serangga semut, lalat
dan nyamuk. Sementara, pada metode yellowtrap ditemukan paling banyak ordo
yaitu sebanyak tiga ordo, ordo tersebut adalah homoptera, diptera, dan coloeptera.
49

4.2 Pembahasan

4.2.1 Pengaruh Faktor Abiotik Terhadap Agroekosistem


a. Cahaya matahari
Pemberian naungan pada tanaman kopi bertujuan untung mendapatkan
intensitas cahaya yang sesuai. Tanaman kopi merupakan tanaman C3 dengan ciri
khas efisiensi fotosintesis rendah karena terjadi fotorespirasi, sehingga sepanjang
hidupnya memerlukan naungan. Tingkat naungan berhubungan erat dengan
intensitas cahaya, sedangkan intensitas cahaya berhubungan erat dengan proses
fotosintesis dan aktivitas stomata tanaman (Nasarudin et al., 2006 dalam Arisandi
et al., 2015). Dapat disimpulkan dari hasil pengamatan pada plot tanaman tahunan
ternaungi yang diperoleh data intensitas radiasi matahari sebesar 572 lux tergolong
dalam intensitas cahaya matahari rendah sehingga sesuai dengan kebutuhan
intensitas radiasi matahari untuk tanaman kopi.
b. Kelembaban Udara
Menurut Wijayanto et al. (2012) daerah tropika basah seperti Indonesia,
kelembaban rata‐rata harian atau bulanan relatif tetap sepanjang tahun, umumnya
RH lebih dari 60%. Kelembaban udara yang tinggi diperlukan selama musim kering
sebagai mengurangi stres pada tanaman kopi sehingga memperpanjang masa tanpa
hujan sehingga tanaman akan bertahan hidup tanpa kerusakan (Hiwot, 2011 dalam
Sipahutar, 2013). Penyataan ini sesuai dengan kelembaban udara pada plot tanaman
tahunan yang diamati, yaitu sebesar 61%.
c. Suhu Udara
Suhu udara pada plot tanaman tahunan sekitar 26,8°C. Menurut DaMatta
dan Ramalho, 2006 dalam Supriadi (2014) menyatakan rata-rata suhu optimum
untuk kopi Arabika adalahberkisar antara 15 °C - 25°C. Dengan mengacu pada
pernyataan tersebut dapat dikatakan bahwa suhu diatas 23°C, dapat mempercepat
pengembangan dan pematangan buah, sehingga menurunkan kualitas (Camargo,
2010 dalam Supriadi, 2014)
50

4.2.2 Pengaruh Faktor Abiotik dan Biotik Tanah Terhadap Agroekosistem


➢ Faktor Abiotik Tanah
a. Suhu tanah
Pada plot tanaman tahunan yang diamati didapat suhu tanah sebesar
21,1 °C. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sagita et al. (2014)
hasil pengukuran suhu tanah yang dilakukan selama 8 kali pengamatan pada
lahan dengan kondisi yang agak tertutup yaitu hutan dan agroforestri
berbasis kopi memiliki rata-rata suhu tanah sekitar 22 °C. Hal ini
menunjukan bahwa suhu tanah plot tanaman telah mendekati angka rata-
rata suhu tanah untuk tanaman kopi. Menurut Gunawan (2015) suhu tanah
yang mempengaruhi biota tanah antara 18°C - 30°C pada rentan suhu ini
biota memiliki kondisi yang optimum. Pada kondisi plot tanaman tahunan
yang diamati sebesar 21,1 °C merupakan pada jangkauan suhu yang relative
optimimal bagi aktivitas pertumbuhan dan biota dalam tanah.
b. Seresah
Seresah memiliki peranan yang sangat penting di lantai hutan, yaitu
untuk menjaga produktivitas hutan, secara fisik seresah di lantai hutan
berfungsi untuk melindungi permukaan tanah dari kelembaban dan
temperature yang ekstrim di atasnya (Dennis A. 2007). Plot tanaman
tahunan memiliki ketebalan seresah yang berbeda-beda. Pada pohon pinus,
ketebalan seresah <1 cm, ketebalan seresah pohon kopi saja < 5 cm, serta
ketebalan seresah dari kedua pohon tersebut > 5 cm. Pelapukan dari seresah
juga dapat berperan dalam proses perbaikan struktur tanah, sehingga
menambah kandungan bahan organik di lapisan atas tanah (Widiyanto et al.,
2004). Hutan tanaman pada umumnya ditanam secara monokultur dan
seumur, sehingga tajuknya tidak berlapis (hanya satu lapis atau tidak ada
stratum tajuk), kedalaman dan bentuk perakaran yang seragam, serta
ketebalan seresah dan humus yang lebih tipis (Onrizal, 2005).
51

➢ Faktor Biotik Tanah


a. Rayap
Rayap yang terdapat di plot tanaman tahunan merupakan rayap
pengurai atau detritivor. Rayap merupakan ordo isoptera yang memiliki
peran dalam membantu manusia sebagai dekomposer dengan
menghancurkan kayu atau bahan organik lainnya (Nandika et al., 2003).
b. Cacing tanah
Cacing tanah yang ditemukan pada plot tanaman tahunan ialah
cacing tanah dengan ukuran kecil. Aktivitas cacing tanah dapat mengubah
struktur tanah, aliran air tanah, dinamika hara dan pertumbuhan tanaman.
Cacing tanah sangat berperan penting dan berfungsi untuk menyuburkan
tanah. Keberadaannya merupakan bioindikator dari tanah yang sehat,
sehingga cacing tanah ini mempunyai fungsi menguntungkan bagi
ekosistem (Sondang, 2013). Hal ini menunjukan bahwa tanah di plot
tanaman tahunan dapat dikatakan sehat dan baik untuk pertumbuhan
tanaman.
c. Tonggeret (fase nimfa)
Tonggeret yang ditemukan pada plot tanaman tahunan merupakan
biota tanah yang berperan sebagai hama. Menurut Pudjiastuti (2003),
tonggeret pada fase nimfa ini akan menyerang akar tanaman dengan cara
menghisap cairan dari akar tanaman yang dapat mengakibatkan tanaman
kering.
52

4.2.3 Peran Arthropoda Terhadap Agroekosistem


a. Semut hitam
Semut hitam (Dolichoderus bituberculatus Mayr) pada plot tanaman
tahunan yang diamati, berperan sebagai predator seperti pendapat Depparaba
dan Mamesah (2005) yang menyatakan bahwa semut hitam merupakan
predator hama tanaman kopi.
b. Laba-laba
Laba-laba pada plot tanaman tahunan yang diamati memiliki peran
penting sebagai predator. Hal ini sesuai dengan Janetor (2004) dalam Sutar
(2012) bahwa peran laba-laba disuatu ekosistem sangat beragam, antara lain
sebagai predator dari semut, kelompok laba-laba sendiri, dan Arthropoda
lainnya.
c. Lalat
Lalat pada plot tanaman tahunan yang diamati berperan sebagai vektor
penularan penyakit. Ordo lalat merupakan serangga yang dapat mengganggu
kenyamanan hidup manusia, meyerang dan menularkan vektor penyakit pada
manusia dan binatang (Kartikasari, 2008).
d. Nyamuk
Nyamuk pada plot tanaman tahunan yang diamati merupakan vektor
penyebaran virus. Durant (2008) menyatakan, bahwa nyamuk merupakan
ektoparasit pengganggu yang merugikan kesehatan manusia, hewan, dan
lingkungan. Hal ini dikarenakan kemampuannya sebagai vector berbagai
penyakit.
e. Jangkrik
Jangrik (Metioche vittacollis Stal.) pada plot tanaman tahunan yang
diamati merupakan predator dari nimfa wereng batang coklat. Selain itu jangrik
juga dapat menajadi pemangsa hama lain, seperti wereng hijau (Shepard et al.,
1994 dalam Karindah et al., 2012)
f. Oteng-oteng
Oteng-oteng pada plot tanaman tahunan yang diamati termasuk ke
dalam family Aulacophora similis dengan ordo Coleoptera. Menurut
Zulkarnain (2013) dalam Falahudin et al. (2015) famili serangga yang dapat
53

merusak pada produksi pertanian dan perkebunan salah satunya adalah


serangga family Aulacophora similis.
g. Kumbang Kubah Spot
Kumbang koksi (Epilachna admirabilis) pada plot tanaman tahunan
yang diamati merupakan salah satu hama pertanian E. admirabilis yang
diketahui memakan daun tanaman budidaya, sehingga merusak tanaman dan
merugikan petani (Trisnadi, 2010 dalam Suyoga, 2015).
h. Wereng batang coklat
Wereng batang coklat yang ditemukan pada plot tanaman tahunan yang
diamati merupakan salah satu hama paling serius dalam budidaya tanaman
padi. Wereng batang coklat dapat bermigrasi untuk mencari habitat baru yang
lebih menguntungkan untuk menekan mortalitas (Zhai, 2011 dalam Priasmoro
et al., 2013). Hu et al. (2013) dalam Priasmoro et al. (2013) menyatakan bahwa
peningkatan kepadatan populasi wereng batang coklat migran dipengaruhi oleh
konvergensi angin dan temperatur sebagai bentuk adaptasi habitat dan
lingkungan.
54

4.2.4 Rantai Makanan dan Jaring – Jaring Makanan Pada Agroekosistem


Rantai Makanan
a. Rantai makanan I

Semut
Laba-laba
(predator)
(predator)

Rayap
(detritivor))

Tonggeret
(hama)

Kopi Arabika
(produsen)

Gambar 1. Rantai Makanan I


Hasil pengamatan rantai makanan I pada plot tanaman tahunan yang
diamati, menunjukan tingkat trofik pertama adalah yang mampu menghasilkan zat
makanan sendiri yang merupakan tumbuhan hijau atau organisme autotrof
(produsen), yaitu tanaman kopi. Organisme yang menduduki tingkat trofik kedua
disebut konsumen I (primer) yang diduduki oleh hewan herbivora, yaitu hama
tonggeret (fase nimfa). Organisme yang menduduki tingkat trofik ketiga disebut
konsumen II (sekunder), yaitu semut yang berperan sebagai musuh alami.
Organisme yang menduduki tingkat trofik tertinggi dalam rantai makanan I adalah
55

laba-laba yang merupakan pemakan segalanya, sedangkan rayap berperan sebagai


pengurai bahan organik.
56

b. Rantai makanan II

Semut
(predator)

Laba-laba
(predator)

Kumbang
kubah spot
Rayap
(hama)
(detritivor)

Kopi Arabika
(produsen)
Gambar 2. Rantai Makanan II
Hasil pengamatan rantai makanan II pada plot tanaman tahunan yang
diamati, menunjukan tingkat trofik pertama adalah organisme autotrof (produsen),
yaitu tanaman kopi. Organisme yang menduduki tingkat trofik kedua disebut
konsumen I (primer) yang diduduki oleh hewan herbivora, yaitu kumbang kubah
spot (hama). Organisme yang menduduki tingkat trofik ketiga disebut konsumen II
(sekunder), yaitu semut yang berperan sebagai musuh alami. Organisme yang
menduduki tingkat trofik tertinggi dalam rantai makanan II adalah laba-laba yang
merupakan pemakan segalanya, sedangkan rayap berperan sebagai pengurai bahan
organik.
57

c. Rantai makanan III

Laba-laba
(predator)

Jangkrik
(predator)

Oteng-oteng
Rayap
(hama)
(detritivor)

Kopi Arabika
(produsen)

Gambar 3. Rantai Makanan III


Hasil pengamatan rantai makanan III pada plot tanaman tahunan yang
diamati, menunjukan tingkat trofik pertama adalah organisme autotrof (produsen),
yaitu tanaman kopi. Organisme yang menduduki tingkat trofik kedua disebut
konsumen I (primer) yang diduduki oleh hewan herbivora, yaitu hama oteng-oteng.
Organisme yang menduduki tingkat trofik ketiga disebut konsumen II (sekunder),
yaitu kumbang jangkrik yang berperan sebagai musuh alami. Organisme yang
menduduki tingkat trofik tertinggi dalam rantai makanan III adalah laba-laba yang
merupakan pemakan segalanya, sedangkan rayap berperan sebagai pengurai bahan
organik.
58

d. Rantai makanan IV

Laba-laba
(predator)

Jngkrik
(predator)

Cacing tanah
(dekomposer)

Wereng
batang coklat
(hama)

Kopi Arabika
(produsen)

Gambar 4. Rantai Makanan IV


Hasil pengamatan rantai makanan IV pada plot tanaman tahunan yang
diamati, menunjukan tingkat trofik pertama adalah organisme autotrof (produsen),
yaitu tanaman kopi. Organisme yang menduduki tingkat trofik kedua disebut
konsumen I (primer) yang diduduki oleh hewan herbivora, yaitu wereng batang
coklat (hama). Organisme yang menduduki tingkat trofik ketiga disebut konsumen
II (sekunder), yaitu jangkrik yang berperan sebagai musuh alami. Organisme yang
menduduki tingkat trofik tertinggi dalam rantai makanan IV adalah laba-laba yang
merupakan pemakan segalanya, sedangkan cacing tanah berperan sebagai pengurai
bahan organik.
59

e. Rantai makanan V

Laba-laba
(predator)

Lalat (vekor)

Cacing tanah
(dekomposer)

Kopi Arabika
(produsen)

Gambar 5. Rantai Makanan V


Hasil pengamatan rantai makanan V pada plot tanaman tahunan yang
diamati, menunjukan tingkat trofik pertama adalah organisme yang mampu
menghasilkan zat makanan sendiri yaitu tumbuhan hijau atau organisme autotrof
(produsen), yaitu tanaman kopi. Organisme yang menduduki tingkat trofik kedua
disebut konsumen I (primer) yang diduduki oleh hewan herbivora, yaitu lalat
berperan sebagai vektor penyakit yang dapat merugikan tanaman. Organisme yang
menduduki tingkat trofik tertinggi dalam rantai makanan V adalah laba-laba yang
merupakan pemakan segalanya, sedangkan cacing tanah berperan sebagai pengurai
bahan organik.
60

Jaring-jaring makanan

Laba-laba (predator)

Semut hitam Jangkrik (predator)


(predator)

Tonggeret (hama) Kumbang Kubah Oteng-oteng (hama) Wereng (hama)


Spot (hama)

Lalat (vektor)

Tanaman Kopi (produsen)

Cacing tanah
(dekomposer) Rayap (detritivor)

Gambar 6. Jaring-jaring makanan


61

Pada agroekosistem plot tanaman tahunan yang diamati terdapat proses


makan dan dimakan yang terjadi antara makluk hidup yang kemudian membentuk
jaring-jaring makanan. Pada tingkat trofik pertama pada jaring makanan yang
mampu menghasilkan zat makanan sendiri yang merupakan tumbuhan hijau atau
organisme autotrof (produsen), yaitu tanaman kopi. Organisme yang menduduki
tingkat trofik kedua disebut konsumen I (primer) yang diduduki oleh hewan
herbivora, yaitu tonggeret, kumbang kubah spot, oteng-oteng, dan wereng batang
coklat yang berperan sebagai hama. Organisme yang menduduki tingkat trofik
ketiga disebut konsumen II (sekunder), yaitu jangkrik dan semut hitam yang
berperan sebagai musuh alami. Organisme yang menduduki tingkat trofik tertinggi
dalam ekosistem ini adalah laba-laba yang merupakan predator, sedangkan rayap
dan cacing tanah berperan sebagai pengurai bahan organik. Dari data pengamatan
laba-laba bukan berada pada tingkat trofik paling tinggi. Pada jaring makanan di
plot tanaman tahunan masih ada tingkatan yang lebih tinggi yaitu ular yang
merupakan predator dari laba-laba, kemudian dimangsa oleh burung elang yang
berada pada tingkat trofik tertinggi. Jaring makanan yang diamati pada plot
tanaman tahunan sesuai seperti yang nyatakan Rizali et al., 2002 dalam Sinamo et
al. (2010) bahwa serangga herbivora didominasi oleh ordo Orthoptera, Homoptera,
Hemiptera, Lepidoptera, Coleoptera dan Diptera yang merupakan konsumen
tingkat I (pertama). Serangga herbivora ini selanjutnya menjadi mangsa bagi
kelompok serangga lain yang disebut predator. Serangga predator ini terdiri dari
ordo Hymenoptera,dan beberapa anggota Ordo Diptera.
62

5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Dari hasil pengamatan pada plot tahunan yang telah dilakukan, dapat
diambil kesimpulan bahwa ekosistem yang ada tergolong seimbang. Tanah pada
plot tahunan tersebut memiliki karakteristik yang gembur, dibuktikan dengan
ditemukannya cacing tanah pada pengamatan. Hal ini mendukung biodiversitas
yang ada baik pada ekosistem, tanaman budidaya maupun tumbuhan lain seperti
rumput-rumput liar.

Pada pengamatan, ditemukan 10 jenis vegetasi yang tidak hanya merupakan


tanaman tahunan seperti tanaman kopi arabika ataupun pohon pinus tetapi juga
tanaman lain seperti pohon talas, ubi jalar, rumput babadotan, rumput mindi,
rumput paku garuda, rumput gajah, rumput introng, dan rumput ketul. Tidak hanya
itu, biota tanah yang ada pada plot tanaman tahunan yang kami amati juga
ditemukan beberapa jeni biota diantaranya adalah rayap, tonggeret, dan juga cacing
tanah yang termasuk sebagai salahsatu indikasi kesuburan tanah karena tanah yang
subur memiliki unsur hara yang relatif lebih banyak yang berguna bagi
pertumbuhan vegetasi pada plot tahunan tersebut.

Sedangkan pada pengamatan arthropoda yang dilakukan dengan


menggunakan metode pitfall, yellowtrap, dan sweepnet ditemukan 6 jenis
arthropoda dari ordo yang berbeda yaitu jangkrik, semut hitam, nyamuk, lalat,
wereng batang coklat, dan oteng-oteng. Dapat kita simpulkan bahwa dari beberapa
serangga yang kami temukan dan dengan pengaruh dari faktor abiotik seperti suhu,
kelembaban, dan intensitas cahaya matahari yang ada mengindikasikan bahwa
ekosistem yang ada pada plot tahunan masih tergolong seimbang. Suhu yang ada di
daerah tempat pengamatan sangat cocok untuk tanaman kopi yang membutuhkan
temperatur antara 15 °C - 25°C sehingga pertumbuhannya optimal dan
memengaruhi keanekaragaman vegetasi yang ada disekitarnya.

5.2 Saran
Berdasarkan pembahasan di atas, adapun saran yang dapat kami berikan adalah
supaya masyarakat tetap memperhatikan dan menjaga keseimbangan ekosistem
yang ada di UB Forest pada umumnya dan plot tahunan pada khususnya supaya
biodiversitas yang ada tidak menurun.

DAFTAR PUSTAKA
63

Affandi, Harahap, dan Aziza. 2014. Menentukan Faktor Tanah dengan Metode
Perasaan di Lahan Politani. J. Nasional Ecopedon JNEP 2(2): 13—15.
Albihad, Dennis. 2015. Pengaruh Ketebalan Seresah, Jdsa, Kelembaban, dan
Ketinggian Terhadap Keanekaragaman Anura di Hutan Pendidikan
Wanagama. J. Praktikum Riset dan Managemen Satwa Liar: 12—20.
Alrasjid et al dalam Sallata,M. 2012. Pinus (Pinus merkusii Jungh et de Vriese) dan
Keberadaannya di Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Info Teknis
EBONI. 10(2): 85—98.
Ambarwati, Indradewa, dan Ayu. 2011. Pertumbuhan Hasil dan Kualitas Pucuk
Teh (Camellia sinensis (L.) kuntze) di Berbagai Tinggi Tempat.
Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.
Anggradewi, Arunika. 2008. Identifikasi Tonggeret (Hemiptera: Cicadidae) di
Kebun Raya Bogor dan kebun Raya Cibodas Berdasarkan Rekaman Suara
(skripsi). Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Anugrahini, Ayu Endah. Kumbang Koksi, Sang Pemangsa yang Cantik. BBPPTP
Surabaya.
BiodiversityBC. 2008. Ecological Concepts, Principles and Applications to
Conservation. Vancouver: BiodiversityBC.
Ditta P., Marina. 2012. Usaha Teknik Budidaya Tanaman Buah Mentimun
(Cucumis sativus L.) untuk Prospek Pengembangan Saruyan di UPT
Usaha Pertanian Aspakusa Makmur Teras Boyolali (skripsi). Surakarta:
Univeritas Sebelas Maret.
Erawati, Virgo. 2010. Keanekaragaman dan Kelimpahan Belalang dan Kerabatnya
(Orthoptera) pada Dua Ekosistem Pegunungan di Taman Nasional Gunung
Halimun-Salak. J. Entomol 7(2): 100—115.
Fontana. 2010. Impacts of Invasive Species on Food Webs and Ecosystem:
Discover Files: Realitionships in Nature. New Heaven: Yale
Peabody Museum Event-Based Teacher Collaboration.
64

Gunawan, Kris Adhi. 2015. Rancang Bangun Alat Pengukur Suhu Tanah sebagai
Alat Bantu Penentu Benih Sayuran yang akan Dibudidayakan
Pendidikan Program Studi Pendidikan Teknik Elektro. Semarang:
Universitas Negeri Semarang.
Hariadi, Toni K.. 2007. Pengendali Suhu, Kelembapan, dan Cahaya dalam Rumah
Kaca. Jurnal Ilmiah Semesta Terbuka 10(1): 82—93.
Hidayat, P. 2006. Pengendalian Hama. Bogor: Institut Pertanian Bogor Press.
Karindah, Mudjiono, dan Pradhana. 2014. Keanekaragaman Serangga dan Laba-
laba pada Pertanaman Padi Organik dan Konvensional. Jurnal HPT 2(2):
58—66.
Kastawi, Y. et al. 2005. Zoologi Avertebrata. Malang: UM Press.
Lestari, Maya. 2014. Kepadatan dan Distribusi Cacing Tanah di Area Larboretum
5(1): 93.
Mangkoedihardjo, Sarwoko. 2005. Perencanaan Tata Ruang Fitostruktur Wilayah
Pesisir sebagai Penyangga Perencanaan Tata Ruang Wilayah Daratan:
Sebuah kajian dengan pendekatan energi, ekosistem, dan ekologi.
Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya Press.
Munif, Amrul. 2009. Nyamuk Vektor Malaria dan Hubungannya dengan Aktivitas
Kehidupan Manusia di Indonesia. Aspirator 1(2): 94—102.
Nadiah, Annisrien. Bukan Jangkrik Biasa. BBPPTP Surabaya.
Nandika, D. Yudi R dan Farah Diba. 2003. Rayap: Biologi dan Pengendaliannya.
Harun Jp, ed. Surakarta: Muhammadiyyah Univ. Press.
Nuryanti dan Embriani. Mengenal Penggerek Ranting Kopi ( Xylosandrus
compactus). BBPPTP Suarabaya.
Pradnyawan, Sri Wahyudyana Hurip, Mudyantini, Marsusi. 2004. Pertumbuhan,
Kandungan Nitrogen, Klorofil dan Karotenoid Daun Gynura Procumbens
(Lour) Merr. pada Tingkat Naungan berbeda. Surakarta: Jurusan Biologi
Fmipa Universitas Sebelas Maret. Biofarmasi 3(1): 8.
Resmi, C., Sarwono., dan R. Hantoro. 2010. Eksperimental Sistem Pembangkit
Listrik pada Vertical Axis Wind Turbine (VAWT) Skala Kecil.
Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh November.
65

Riyanto. 2007. Kepadatan, Pola Distribusi, dan Peranan Semut pada Tanaman di
Sekitar Lingkungan Tempat Tinggal. Jurnal Penelitian Sains 10(2): 241—
253.
Sagita. Siswanto, B. Hairiah, K. 2014. Studi Keragaman dan Kerapatan Nematoda
pada Berbegai Sistem Penggunaan Lahan di Sub DAS Konto. J. Tanah
dan Sumberdaya Lahan 1(1): 58.
Setiawan. 2009. Kajian Hubungan Unsur Iklim Terhadap Produktivitas Cabe
Jamu (Piper retrofractum vahl) di Kabupaten Sumenep. Agrovogor
2(1): 1—7.
Sholikhah dan Ummi. Karakteristik Fisiologis Klon Kopi Robusta BP 358 pada
Jenis Penaung yang Berbeda. Universitas Jember Press.
Silici, Laura. 2014. Agroecology What it is and what it has to offer. London:
International Institute for Environment and Development.
Sipahutar, Ardian Halomoan. 2013. Kajian Sifat Kimia dan Fisika Tanah yang
Mempengaruhi Sebaran Akar Kopi Arabika (Coffea Arabica L.) pada
Ketinggian Tempat yang Berbeda di Tanah Inceptisol Kecamatan Lintong
Nihuta. Medan: Program Studi Agroekoteknologi Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara.
Sitanggung, Totianto. 2001. Studi Potensi Lalat sebagai Vektor Mekanik Cacing
Parasit Melalui Pemeriksaan Eksternal (Skripsi). Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Siwi, Sri Suharni. 1991. Kunci Determinasi Serangga. Yogyakarta: Kanisius.
Soedijo, Pramudi. 2015. Keanekaragaman Arthropoda Laba-laba pada
Persawahan Tadah Hujan di Kalimantan Selatan 1(6): 1307—1311.
Sucipta, Kartini, Soniari. 2015. Pengaruh Populasi Cacing Tanah dan Jenis Media
Terhadap Kualitas Pupuk Organik. J. Agroekoteknologi Trofika 4(3):
213-223.
Sugiato, Yogi. 2009. Ekologi Tanaman: Pengaruh Faktor Lingkungan Terhadap
Pertumbuhan Tanaman dan Beberapa Aspeknya. Malang: UB pers.
Sunarno. 2013. Pengendalian Hayati (biologi control) sebagai salah satu
Komponen Pengendalian Hama Terpadu (OHT). Maluku. Jurnal
Pengendalian Hayati.
66

Supriadi, Handi. 2014. Budidaya Tanaman Kopi untuk Adaptasi dan Mitigasi
Perubahan Iklim. Sukabumi: Balai Penelitian Tanaman Indutri dan
Penyegar. J. Perspektif 13(1): 36.
Totianto Sitanggung. 2001. Studi Potensi Lalat sebagai Vektor Mekanik Cacing
Parasit melalui Pemeriksaan Eksternal (skripsi). Bogor.
Wardhana, Wisnu. 2001. Dasar-dasar Ekologi. Depok: Universitas Indonesia
Press.
Widiarta, Kusdiaman, dan Suprihanto. 2006. Keragaman Artyhropoda pada Padi
Sawah dengan Pengeloloaan Tanaman Terpadu. J. HPT Trofika 6(2):
61—69.
Wijayanto, Nurunnajah. 2012. Light Intensity, Temperature, Humidity and Rooting
System of Mahogany (Swietenia macrophylla K.) Ni Babakan Madang
Bogor. Journal Silvicultur Tropica 3(1): 8—13.
Wijayanto, Nurheni, N, Nurunnajah. 2012. Intensitas Cahaya, Suhu, Kelembaban
dan Perkiraan Lateral Mahoni (Swietenia Macrophylla King.) Di RPH
Bababakan Madang, BKPH Bogor. J. Silvikultur Tropika 3(1): 9.
Wulandari, Gusti Endah. 2009. Uji Toksisitas Kitosan Untuk Mengendalikan Rayap
(Isoptera : Rhinotermitidae) (Skripsi). Medan: Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara.
Yatno, Pasaru, dan Wahid. 2013. Keanekaragaman Arthropoda pada Pertanaman
Kakao(Theobroma cacao L.) di Kecamatan Palolo Kabupaten Sigi. J.
Agrotekbis 1(5): 421 – 428.
67

LAMPIRAN

Lampiran 1. Dokumentasi Kegiatan


68

Lampiran 2. Tabel Pengamatan Tinggi Pohon

No Spesies Pengamatan Tinggi pohon

Sudu
t Tinggi Jarak Tinggi
Pengamatan
(m) (m) Pohon (m)

1 Pinus merkusii 60 1.62 10 18.92

2 Pinus merkusii 60 1.62 10 13.52

3 Coffea arabica 5 1.55 2.22 1.72

4 Coffea arabica 1 1.55 2.11 1.19

Lampiran 3. Perhitungan Tinggi Pohon


Rumus perhitungan tinggi pohon:
Tinggi Pohon = 𝑋 × tan 𝛼 + 𝑇

Keterangan:
X = Jarak pengamat dengan pohon (m)
𝛼 = Sudut kemiringan yang ditunjukkan busur modifikasi ketika ditembakkan oleh
pengamat ke titik tertinggi pohon
T = Tinggi pengamat (m)

Perhitungan tinggi pohon:


• Pohon Pinus (Pinus merkusii) tertinggi
Tinggi Pohon = 10 × tan 60 + 1.62
= 10 × 1.73 + 1.62
= 17.3 + 1.62
= 18.92 m
• Pohon Pinus (Pinus merkusii) terrendah
69

Tinggi Pohon = 10 × tan 50 + 1.62


= 10 × 1.19 + 1.62
= 11.9 + 1.62
= 13.52 m
• Pohon Kopi (Coffea arabica) tertinggi
Tinggi Pohon = 2.22 × tan 5 + 1.55
= 2.22 × 0.08 + 1.55
= 0.17 + 1.55
= 1.72 m

• Pohon Kopi (Coffea arabica) terrendah


Tinggi Pohon = 2.11 × tan (-10) + 1.55
= 2.11 × (-0.17) + 1.55
= (-0.36) + 1.55
= 1.19 m
70

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM


EKOLOGI PERTANIAN

Oleh :
Kelompok K1

Asisten:
Alief Rodhlian Wahyudi ( 135040201111210 )

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2016

Anda mungkin juga menyukai