Anda di halaman 1dari 2

Mari Tingkatkan Bahasa!

Redaktur Bulettin: Literasi?

Awalnya saya tidak yakin apakah tulisan saya ini berhak untuk di publikasikan atau
tidak, saya khawatir akan ada pihak yang tersinggung setelah membacanya, entah itu karena
kurangnya pengetahuan saya tentang fokus utama pondok saat ini atau hal lain yang
memang bersifat memukul secara tidak langsung. Tapi saya katakan terlebih dahulu
bahwasannya tulisan ini hanya bentuk penyampaian suara para redaktur literasi (buletin) di
TMI atas kurangnya perhatian yang mereka dapatkan, agar kedepannya dapat dievaluasi
oleh siapapun, bukan sebagai ‘noda’ kubah hijau. Sebab jujur saja, kami sudah tidak tahu
kepada siapa lagi kami harus menyampaikan hal ini.
Hampir setiap saat penekanan terhadap kebahasaan dilakukan. Sebagian besar
kegiatan santri adalah seputar bahasa, mulai dari pagi Tazwidul Mufrodat dilanjut sekolah
formal kemudian Kafaat di siang harinya dan Firqoh Lughowiyyah pada sore hari, bagi
mereka yang tidak masuk kelompok minat lainnya, hingga Muwajjah di malam hari. Tidak
ada yang baru atau salah dari program-program tersebut, hanya saja akhir-akhir ini semua
itu di reset kembali sebagaimana mestinya. Bagi santri yang tidak pernah merasakan era
Almarhum KH. M. Idris, Allahummaghfirlahu, mungkin hal ini terasa lebih mengekang dan
memberatkan, padahal tidak ada pembaharuan. Sebagai contoh perbaikan sistem
Muhadhoroh, yang mana beberapa tahun terakhir hanya beberapa dari Mu’allimien yang
menjadi Mulahidz, akan tetapi saat ini seluruh Mu’allimien diwajibkan untuk menjadi
pengawas Muhadhoroh, hal itu bertujuan untuk mempermudah mengontrol santri ketika
pelaksanaan Muhadhoroh sekaligus menjadi pelatihan bagi seluruh Mu’allimien untuk
menjadi Mulahidz sebagaimana mestinya, serta diharapkan mampu menghilangkan isu-isu
negatif tentang Muhadhoroh di kalangan para santri.
Di sisi lainnya pun sama demikian, perbaikan terus dilakukan oleh mereka yang
bekecimpung di bidang keilmuan, mungkin juga oleh sebagian besar penghuni pondok ini,
perhatian mereka lebih tertuju kepada pengembangan bahasa. Solusi dari bagaimana agar
disiplin bahasa di pondok ini bisa kembali tegak terus diupayakan. Tak hanya dari praktiknya
langsung, akan tetapi juga dari segi dokumentasi. Ah, Saya rasa pembahasan saya mulai
meluas, saya tidak akan memabahas tentang bagaimana sistem-sistem itu berjalan, tidak
ada yang salah, akan tetapi mengenai pembagian waktu dan perhatian.
Dari tahun ke tahun, TMI terus mengupayakan agar para santrinya dapat berprestasi
melalui bakat yang mereka miliki. Akan tetapi apabila kita melihat dari rentetan kegiatan
yang ada, seakan waktu untuk literatur itu tidak ada. Bahkan hanya segelintir orang yang
memahami akan hal itu di majelis pertimbangan. Baiklah, kita bisa melihat fakta di lapangan
bahwa kelompok literasi seperti SSA, KJMA, KWQ, KOPI, dan lainnya sudah kehilangan
eksistensinya karena kurangnya kepedulian dari para pengurus. Kelompok-kelompok itu bisa
dibilang mati saat ini, seperti halnya FKN. Ada juga kelompok minat lainnya dibidang
olahraga dan kesenian yang hampir hilang. Mungkin selain karena faktor kepedulian, hal itu
terjadi karena waktu latihan yang mereka miliki kurang, atau bisa juga karena masalah
perhatian yang mereka rasakan kurang sehingga mengakibatkan hilangnya rasa kepedulian
terhadap kelompok-kelompok tersebut.
Literasi, apabila berkaca kepada TMI Menulis kemarin, memerlukan waktu dan
perhatian yang lebih. Mulai dari fasilitas pengetikan, waktu, hingga pelatihan tulis menulis,
design maupun layout. Hal ini mengingat 10 hingga 15 tahun yang lalu, pondok ini
merupakan kaca perbandingan lembaga lainnya di bidang sastra bahasa. Pernah saya
mendegar istilah: “Apabila kau ingin menjadi seorang Pejabat maka masuklah ke
Gontor...dan apabila kau ingin menjadi seorang Sastrawan maka masuklah ke Al-Amien.”
Ungkapan tersebut merupakan bukti pengakuan khalayak umum berkenaan dengan kualitas
literasi yang ada di podok ini pada zaman dulu, ada juga yang mengatakan bahwa Jika
Bahasa Arab Merupakan Mahkota Pondok, Maka Literasi adalah jubahnya. Ungkapan-
ungkapan seperti itu senantiasa ditanamkan kepada para penulis muda di TMI, hingga
berhasil mencetak sastrawan seperti Ust. Hamzah Arsa, Ust. Jamal D. Rahman dan lainnya.
Dan saya kira waktu itu memang literasi di pondok benar-benar diperhatikan dan
banyak orang yang peduli serta paham dengan hakikatnya, walaupun rentetan kegiatan juga
sama saja. Berbeda dengan sekarang, yang mana mayoritas penghuni pondok tidak
memahami apa itu buletin, apa itu literatur sastra, bahkan ada yang baru mendengarnya.
Saya tidak mengerucut kepada pihak tertentu, karena penghuni pondok ini bisa siapa saja.
Upaya seperti menerbitkan karya tulis Pengasuh di tengah para santri adalah langkah
yang tepat untuk menggugah semangat kepenulisan, akan tetapi hal itu percuma saja
apabila hanya dibiarkan menjadi obyek bacaan tanpa adanya subyek yang mendukung.
Beberapa kali usul disampaikan, namun hanya berhenti di pendengar pertama, dan mungkin
tak pernah sampai ke pembahasan dewan. Kami disini hanya ingin diberikan keluasan waktu
dan perhatian, untuk meningkatkan kembali literasi di pondok ini seiring dengan
meningkatnya bahasa, karena semestinya pemahaman tentang bahasa bangsa ini harus
terlebih dahulu diajarkan sebelum mengenal bahasa-bahasa asing, terutama bagi mereka
yang hanya mengenal bahasa ibu mereka.
Akhirnya saya berharap, semua aspek pondok menyadari hal ini, mulai dari para
santri hingga asatidz, khusunya yang bertugas di bidang intelektual. Untuk para santri mari
kita bersama-sama intropeksi diri, bahwasannya kita adalah Tholibul ‘Ilmi yang semestinya
patuh dan berbakti kepada guru, atau dengan kata lain Jangan biarkan guru kita bertanya
tentang apa yang kita butuhkan, melainkan kitalah yang semestinya melakukan hal tersebut
sekaligus meminta nasihatnya. Dan untuk seluruh pembaca, kami harap apa yang kami
sampaikan didengar, dimengerti dan dipertimbangkan, apabila hal itu baik bagi kami maka
bantulah kami mewujudkannya, namun apabila itu buruk maka sampaikan kepada kami dan
arahkan kami kepada jalan yang harus kami lalui, jangan biarkan kami terjebak di dalam
kesesatan. Karena terkadang apa yang disampaikan oleh pihak tertentu berbeda dengan
pihak yang lain, itulah yang membuat kami kesulitan untuk mengambil keputusan dan
tindakan.

Anda mungkin juga menyukai