Emas Di Indonesia
Emas Di Indonesia
DI INDONESIA
Geologi,
Eksplorasi dan
Pemanfaatannya
Geologi,
Eksplorasi dan
Pemanfaatannya
R. Sukhyar
Calvin Karo Karo Gurusinga
Prima Muharram Hilman
Sabtanto Joko Suprapto
Rahardjo Hutamadi
Rudy Gunradi
Dwi Nugroho Sunuhadi
Kusdarto
Machali Muchsin
Muta’alim
Mangara P Pohan
Danny Z Herman
Eddie Kurnia Djunaedi
Sutrisno
Bambang Nugroho Widhi
Denni Widhiyatna
Rina Wahyuningsih
Nixon Juliawan
Yuman Pertamana
Candra
Pengarah
Kepala Pusat Sumber Daya Geologi
Penanggungjawab
Prima Muharram Hilman
Redaktur
Rina Wahyuningsih
Denni Widhiyatna
Rahardjo Hutamadi
Bambang Nugroho Widhi
Editor
Sabtanto Joko Suprapto
Rudy Gunradi
Kusdarto
Nixon Juliawan
Dwi Nugroho Sunuhadi
Herry Rodiana Eddi
Yuman Pertamana
Desain Grafis
Candra
Rizki Novri Wibowo
Sekretariat
Hartati
Diterbitkan oleh :
Pusat Sumber Daya Geologi - Badan Geologi
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
Jl. Soekarno Hatta No.444 Bandung 40254,
Telp (022) 5202698, 5226270
ISBN : 978-602-9105-07-0
Cetakan Ke 2
KATA PENGANTAR
Bandung, 2014
R. Sukhyar
i
DAFTAR ISI
BAB 2. GEOLOGI
2.1 Metalogenik - Busur Magmatik Indonesia ................................. 22
2.2. Mula Jadi ................................................................................... 39
2.3. Tipe Mineralisasi ........................................................................ 41
BAB 3. EKSPLORASI
3.1. Tahapan Eksplorasi ................................................................... 58
3.2. Sistem Pengambilan Conto ....................................................... 72
3.3. Analisis Laboratorium ................................................................ 80
3.4. Metode Perhitungan Cadangan/Estimasi Sumber Daya ........... 96
BAB 4. PENAMBANGAN
4.1. Tambang Permukaan ................................................................ 106
4.2. Tambang Bawah Permukaan (Underground Mining) ................ 114
BAB 5. PENGOLAHAN
5.1. Pengecilan Ukuran (kominusi) .................................................. 129
5.2. Konsentrasi ............................................................................... 132
5.3. Persiapan Pemurnian (Prapemurnian) ...................................... 141
5.4. Pemurnian ................................................................................. 149
iii
BAB 1
PENGENALAN
TENTANG EMAS
BAB 1
PENGENALAN TENTANG EMAS
1.1. Pendahuluan
drawn gold 19,25, cold rolled sheet 19,296 dan precipitated gold oleh
CH2O 19,29 (Tabel 1.1). Titik leburnya adalah 1.045°C dan titik
didihnya sekitar 2.500°C (McGraw Hill Encyclopedia of Science and
Technology).
Kandungan emas dalam kerak bumi rata-rata 0,005 ppm,
perbandingan Au dan Ag 0,07. Rata-rata kandungan Au dalam
batuan beku : 0,004 ppm dalam ultramafik; 0,007 ppm dalam gabro-
basalt; 0,005 ppm dalam diorit-andesit; dan 0,003 ppm pada granit-
riolit. Sementara kandungan Au dalam batuan sedimen : 0,03 ppm
dalam batupasir dan konglomerat; 0,004 ppm dalam serpih; dan
0,003 ppm dalam batugamping.
Warna emas secara alami bervariasi tergantung ukuran
partikelnya. Emas precipitated biasanya berwarna coklat, tetapi ada
juga yang mempunyai bayangan hitam, ungu, biru dan merah muda
(pink). Dalam lembaran tipis, biasanya tembus cahaya dan
memancarkan cahaya kehijauan. Sebagai paduan, warna kuningnya
bervariasi tergantung jenis logam paduannya. Paduan emas-perak
misalnya, membuat warna kuning emas menjadi lebih muda,
sedangkan dengan tembaga warna kuning tersebut akan menjadi
lebih tua atau agak kemerahan. Para ahli perhiasan menyebut emas
putih (monel) bila emas dipadukan dengan platinum sejumlah 25%
atau 12% paladium.
Kemurnian emas diukur dengan karat, menunjukkan seberapa
murni emas yang terkandung dalam suatu paduan. Satu karat sama
dengan 1/24 bagian emas atau 4,1667%. Emas 24 karat berarti
emas murni, sedangkan emas 18 karat mengandung 18 bagian
emas dan 6 bagian paduan. Bergantung pada daerahnya, emas
perhiasan di Indonesia bervariasi dalam ukuran karat, tetapi
umumnya berkisar antara 22 sampai dengan 24 karat. Inggris
menggunakan standar 22 karat koin emas setara dengan 91,67% Au
dan 8,33% Cu dengan warna agak kemerahan, sedangkan Amerika,
Jerman dan Italia membuat koin emas dengan perbandingan
77,78% Au dan 22,22% Cu.
Aspek Sifat
Rumus Kimia Au
Warna Kuning, jingga, kuning keputihan, merah keputihan
Kilap Metalik
Goresan Kuning
Berat Jenis (g/cm3) 15,5 – 19,3
3
Kekerasan (Mohs) 2,5 – 3,0
Bentuk Kristal Isometrik, kristal jarang
Belahan Retakan kasar
Kelenturan Lunak dan mudah ditempa
Gambar 1.1. Emas sekunder dari rekahan pada cebakan emas primer,
Daerah Kelian, Provinsi Kalimantan Timur
(Koleksi : Pusat Sumber Daya Geologi)
5
1.2. Sejarah Penambangan Emas di Indonesia
7
NV. Perusahaan Pembangunan Pertambangan kemudian
melakukan rehabilitasi tambang pada tahun 1954 dan mulai
berproduksi pada tahun 1957. Pengelola terakhir tambang ini adalah
Unit Pertambangan Emas Cikotok, namun dengan semakin
menipisnya cadangan sehingga tidak ekonomis untuk
dieksploitasi, maka pada akhir tahun 1994 produksinya dihentikan
dan pada Januari 1995 statusnya berubah menjadi Proyek Eksplorasi
dan Pengembangan Emas dan Perak Cikotok yang dikelola oleh PT.
Aneka Tambang.
Umumnya dari tahun 1950 sampai dengan tahun 1970-an usaha
pertambangan emas hanya melakukan atau merehabilitasi sisa
perusahaan tambang emas sebelum perang dunia ke-2. Kegiatan
pencarian emas pada saat itu belum optimal karena undang-
undang/peraturan, kebijakan pemerintah tentang emas, harga dan lain-
lain kurang mendukung pembukaan tambang emas baru.
Tambang emas sebelum perang dunia ke-2 yang direhabilitasi
kembali oleh NV. PPP anak perusahaan Bank Industri Negara adalah
Tambang Cikotok dan Logas di Riau. Beberapa bekas tambang sebelum
perang diusahakan oleh rakyat dalam bentuk pertambangan rakyat,
seperti di Bengkulu, Kalimantan dan Sulawesi Utara. Minat swasta, baru
meningkat sesudah tahun 1970-an dengan membaiknya harga emas
antara tahun 1974-1975. Hampir semua daerah yang mengandung
potensi emas, Kuasa Pertambangan-nya (KP) telah dipegang oleh
swasta nasional atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Dari 369 KP
Eksplorasi yang tercatat di tahun 1980, terdapat 56 KP Eksplorasi emas
yang terdiri atas 22 KP dimiliki oleh BUMN dan 34 KP dimiliki oleh swasta
nasional. Sedang KP Eksploitasi waktu itu baru berjumlah 2 buah yang
dimiliki PT. Aneka Tambang (BUMN). Tahun 1982 terdapat 8 KP
Eksploitasi, diantaranya 3 KP milik swasta nasional dan sisanya milik
BUMN. Umumnya KP emas yang ditangani Swasta Nasional berjalan
kurang lancar karena kekurangan modal, ketrampilan dan teknologi.
Hasil kegiatan eksplorasi yang dilakukan pada periode 1980-an,
pada saat ini sebagian perusahaan tambang emas masih berproduksi
tetapi beberapa telah ditutup karena cadangan bijihnya sudah habis.
Pada tahun 1990 produksi emas dan perak dihasilkan oleh PT.
Aneka Tambang, PT. Lusang Mining, PT. Ampalit Mas Perdana, PT.
Monterado Mas Mining, PT. Aratutut, PT. Bakri Hadis Perdana, PT.
Tambang Timah Perkasa dan tambang rakyat. Selain dari
perusahaan-perusahaan tersebut, emas dan perak juga dihasilkan
sebagai produk samping dalam konsentrat tembaga PT. Freeport
Indonesia (PT. FI) dan mulai tahun 2000, PT. Newmont Nusa
9
Cebakan/Endapan Tahun Tahun
No Komoditas Metode Penemuan
(Ditemukan oleh) Penemuan Produksi
Tabel 1.4.
Data Produksi Emas di Indonesia antara Tahun 1996 s/d 2011
11
Gambar 1.3.
Dokumen peresmian tambang Mas Cikotok
(Koleksi : Pusat Sumber Daya Geologi)
Gambar 1.4
Pintu masuk ke lubang vertikal di Cikotok
(Koleksi : Pusat Sumber Daya Geologi)
Gambar 1.5.
Lubang tambang tua di Lebong Tandai, Bengkulu, tampak mineralisasi
malakit dan azurit (Koleksi : Pusat Sumber Daya Geologi)
Gambar 1.6.
“Slag” yang merupakan limbah pengolahan bijih emas
Zaman Pendudukan Belanda di Buladu, Kecamatan Sumalata,
Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi.Gorontalo
(Koleksi : Pusat Sumber Daya Geologi)
13
Gambar 1.7
Terowongan bekas penambangan Belanda yang telah runtuh di daerah
Kinandam, Kabupaten Pasaman, Provinsi Sumatera Barat
(Koleksi : Pusat Sumber Daya Geologi)
Gambar 1.8.
Bekas alat penggilingan bijih emas di daerah Kinandam,
Kabupaten Pasaman, Provinsi Sumatera Barat
(Koleksi : Pusat Sumber Daya Geologi)
Gambar 1.9.
Lubang tambang emas PT. Aneka Tambang di Cikidang, Kabupaten Lebak,
Provinsi Banten (Koleksi : Pusat Sumber Daya Geologi)
15
Selain itu, emas juga diperlukan sebagai bahan dalam industri kimia,
pembuatan gelas dan kedokteran gigi (Wahyudi, 1995).
Sejarah penggunaan emas merupakan hal yang penting dikaji :
mulai dari awal sejarah umat manusia sampai sekitar 1000 SM,
penggunaan emas terutama hanya terbatas sebagai ornamen
(hiasan), dekorasi dan simbol kekuasan para raja. Hal ini sering
disebut era ornamentatif dalam sejarah logam mulia. Setelah tahun
1000 SM, emas memasuki era barunya sebagai alat tukar (uang)
dan tersirkulasi secara bebas sampai sekitar tahun 1916 M. Tahap
ini disebut era moneter dalam sejarah logam ini, walaupun dalam
jumlah tertentu penggunaannya sebagai hiasan masih berlanjut.
Setelah Perang Dunia I penggunaan emas sebagai alat tukar
dikurangi dan pada akhirnya dibatasi di banyak negara kecuali untuk
kebutuhan perhiasan, periode ini berlanjut sampai sekarang.
Walaupun demikian di sejumlah negara, warga negara diizinkan
memiliki emas dalam perdagangan logam. Sejak tahun 1950 terjadi
peningkatan penggunaan emas dalam industri, hal itu menjadi tanda
bahwa emas memasuki tahap berikutnya yakni era industri dalam
sejarah logam.
Secara khusus, penggunaan emas sangat tergantung pada
fungsi tradisionalnya sebagai : ukuran keuangan (monetary
measure) oleh pemerintah dan bank sentral dalam pembayaran
internasional; nilai intrinsiknya sebagai logam yang paling
cantik/indah; sifat kimianya yang inert (tidak bereaksi); sifat mampu
dibentuk (malleability), serta sifat menghantarkan listrik dan panas
yang sangat baik. Pada dunia moneter internasional emas
digunakan dalam bentuk batangan emas murni, tablet dan koin
dengan spesifikasi kandungan emas tertentu. Untuk fungsi lain,
emas digunakan dalam bentuk murni atau berupa campuran dengan
logam lain seperti perak, tembaga dan platina.
Sulit bagi kita menentukan secara tepat komposisi penggunaan
emas tahunan di antara begitu banyaknya jenis penggunaan emas.
Terdapat banyak alasan untuk ini, di antaranya kecenderungan
lembaga keuangan tertentu dan individu untuk menjadikannya logam
ini sebagai simpanan. Kelangkaannya juga menjadi salah satu
penyebab terjadinya penimbunan ini sehingga menurunkan
pemakaian untuk bidang lain. Jual-beli emas, selain untuk perhiasan,
tujuan industri dan sebagainya adalah dilarang secara hukum di
banyak negara, walaupun demikian penimbunan emas secara
tradisional terjadi di negara-negara Asia, Eropa, Amerika Utara dan
Amerika Selatan. Diperkirakan sekitar 20% produksi emas tahunan
17
radio dan televisi. Dalam jumlah yang banyak, emas juga digunakan
oleh industri dalam pembuatan paduan logam tungku temperatur
tinggi, bahan pelapis khusus alat kimia dan nuklir, inframerah dan
reflektor panas pada pesawat terbang dan pesawat ruang angkasa
serta sebagai pelindung panas untuk pesawat jet dan mesin roket.
Kaca jendela berlapis emas untuk bangunan pada iklim panas, kaca
mobil dipanaskan listrik (windscreens heated electrically) mempunyai
lapisan tipis emas transparan dan konduktif (bersifat menghantarkan
panas), pesawat terbang, kapal laut dan lokomotif. Emas juga
dikonsumsi oleh industri pencetakan (printing) dan furnitur dalam
bentuk cat emas dan industri keramik dalam bentuk ’emas cair’
organik untuk aplikasi tanah liat (pottery) dan barang-barang gelas
(Glassware). Pada firing dan proses perlakuan lain, campuran emas
organik direduksi meninggalkan suatu film tipis emas yang terikat
secara kuat pada perangkat keramik atau gelas. Sejumlah kecil
emas juga dipakai untuk mewarnai gelas, sedikit garam emas
digunakan pada proses fotografi tertentu dan persiapan medis.
Apabila kita tinjau ke belakang, setidaknya 5000 tahun terakhir
sejarah emas, kita melihat bahwa logam yang paling berharga dan
paling cantik/indah ini telah memainkan peran yang luar biasa
bahkan kadang-kadang dominan dalam pengalaman/sejarah
manusia dan kemajuannya, pertama sebagai perhiasan, kemudian
sebagai alat tukar (uang logam), selanjutnya sebagai media/alat
tukar internasional dan sekarang sebagai unsur yang harus ada
dalam industri. Kita juga melihat bahwa emas telah memancing
manusia melakukan pekerjaan baik dan buruk. Pada sisi pertama,
keinginan memiliki logam ini memberi kita banyak sekali penemuan
baik pada bidang kimia maupun geografi; pada sisi kedua demam
emas (auri sacra fames) telah memicu penaklukan, penjajahan dan
perbudakan berbagai bangsa, pertengkaran penduduk dan
perlakukan keji manusia.
Prospek emas di masa depan, kita melihat sebuah industri
dimana emas akan memainkan peran yang meningkat dalam
produksi komputer kecepatan tinggi, telekomunikasi, wahana ruang
angkasa, farmasi dan ribuan barang-barang hasil kecerdasan
manusia pada peradaban masa depan. Kita juga memahami bahwa
manusia tidak akan kehilangan pesonanya terhadap logam yang
telah lama dikaguminya karena kecantikan alamiah dan kualitasnya
yang tahan lama.
Gambar 1.10
Emas dan perak batangan yang berfungsi sebagai investasi
Gambar 1.11.
Penggunaan emas untuk perhiasan berupa kalung, cincin, gelang dan
anting yang umum dipadukan dengan berlian, batu mulia dan mutiara.
19
BAB 2
GEOLOGI
BAB 2
GEOLOGI
Gambar 2.1.
Sebaran sumber daya emas dan tembaga di Indonesia. (A) Sebaran pada
busur magmatik dan (B) Tipe cebakan (Carlile, dan Mitchell, 1994)
23
(Cameron dkk., 1980; W. McCourt, 1991) dan Laut Jawa (Hutchison,
1989) terobosan-terobosan berasosiasi dengan kelompok batuan
volkanik Manunggal di Pegunungan Meratus (Sikumbang, 1990), di
Sumatera, termasuk Pluton Ulai, Batolit Manunggal dan Batolit
Sikuleh (Aspden dkk., 1982b; Aldiss dkk., 1983). Intrusi-intrusi
tersebut umumnya menerobos Grup Woyla, akan tetapi di Jalur Bukit
Barisan Sumatera Selatan intrusi granit secara struktural menempati
bagian lebih rendah, pada Awal Mesozoik atau batuan lebih tua dari
batuan dasar kontinen. Batuan granitik tersebut melampar melewati
bagian barat Mianmar (Mitchell, 1992) dan kemungkinan ke arah
barat melalui Batolit Gandise yang mempunyai umur sama dengan
batuan granitik yang ada di Tibet.
Berhentinya proses magmatik di Pulau Sumatera pada akhir
Kapur (W. McCourt, 1992) bertepatan dengan proses magmatisme
yang terjadi di Myanmar bagian barat, dimana terjadi proses
deformasi dan pembentukan batuan bancuh yang mengisyaratkan
adanya busur kepulauan dengan tumbukan berarah timur laut.
Mineralisasi
Pada busur ini sedikit ditemukan adanya mineralisasi logam,
hal ini kemungkinan akibat dari pengangkatan dan erosi yang sangat
intensif pada jaman Tersier. Temuan adanya mineralisasi emas
kurang 1% dari sumber daya emas di Indonesia serta potensi
tembaga yang sangat kecil. Di Sumatera, terbentuk beberapa
mineralisasi logam berupa cebakan-cebakan skarn bijih besi dan
logam dasar dalam dimensi kecil (Beddoe-Stephens dkk., 1987),
sebagian mengandung emas dan perak, dan emas-tembaga dengan
rasio perbandingan Ag : Au rendah. Beberapa prospek emas di
daerah Meratus pada segmen Timburu dan Sungai Keruh dimana
terdapat urat-urat kuarsa dan kuarsa-karbonat serta veinlet
merupakan bentukan tipe epitermal, beberapa intrusi dan asosiasi
mineralisasi emas diperkirakan menerus pada busur Selat Sunda.
Gambar 2.2.
Perbandingan sebaran sumber daya emas dan tembaga pada beberapa
busur magmatik di Indonesia. (A) Emas di Busur Sunda-Banda, (B) Emas di
Busur Kalimantan Tengah, (C) Emas pada segmen kontinen di bagian barat
Busur Sunda-Banda, (D) Emas pada busur kepulauan, bagian timur Busur
Sunda Banda, (E) Emas dan tembaga di Busur Sulawesi-Mindanao Timur,
(F) Emas dan tembaga di busur Irian Jaya Tengah
25
2. Busur Sunda-Banda (Neogen)
Tataan Geologi
Busur Sunda-Banda merupakan busur paling panjang di
Indonesia, melampar dari utara Pulau Sumatera melewati Pulau
Jawa ke arah timur dan berakhir di Pulau Banda. Segmen barat
terdiri dari Sumatera, Jawa Barat dan sebagian Jawa Tengah, dan
terbentuk pada tepian selatan Paparan Sunda, bagian timur dari
Jawa Tengah ditafsirkan sebagai busur kepulauan terbentuk pada
kontinen yang tipis atau kerak intermedier.
Kegiatan tektonik Paleogen dan diikuti tektonik Akhir Kapur
dimana kegiatan volkanisme di Busur Sumatera-Meratus berakhir.
Margin Kontinen posisi pasif dari Paparan Sunda pada Akhir Eosen
(Hamilton, 1979; Daly dkk., 1991) telah melampar ke arah Pulau
Sumatera, dimana intrusi kalk-alkali terjadi dengan umur antara 52
sampai 57 juta tahun, dan kemungkinan lebih muda (N. Cameron,
pers. commun., 1991; Wajzer dkk., 1991) menggambarkan adanya
penunjaman secara lambat ke arah utara pada awal sampai
pertengahan Eosen.
Deformasi bersifat kompresif di lepas pantai Pulau Sumatera
bagian barat (Daly dkk., 1991), dan berakhirnya penunjaman
Paleogen, merupakan gambaran saat terbentuknya ofiolit pada
bagian utara dan busur kepulauan yang bertepatan dengan
terbentuknya ofiolit Oligosen di Jalur Indo-Burma (Sengupta dkk.,
1990), dan terbentuknya juga formasi batuan bancuh dengan
fragmen ofiolit pada kepulauan di sebelah barat Sumatera (Harbury
and Kallagher, 1991). Di bagian timur Pulau Sumatera, ofiolit dan
batuan Paleogen, termasuk basal di Jawa, merupakan bagian dari
margin Sunda sebelum Akhir Oligosen.
Tumbukan terjadi pada Oligosen diikuti penunjaman dengan
arah kebalikannya, dan pembentukan Busur Sunda-Banda. Pada
Akhir Miosen, Busur Sunda-Banda bagian timur, mengalami migrasi
ke arah timur mengarah pada Laut Banda (Hamilton, 1979), atau
jauh ke arah timur pada suatu tempat di barat posisi sekarang,
memperangkap kerak lebih tua dari selatan Laut Banda (Hamilton,
1988). Pada Akhir Miosen sampai Pliosen, busur tersebut
mengalami tumbukan dengan Tanimbar pada posisi tepian dari
Kontinen Australia-New Guinea. Zona tumbukan melampar arah
barat dari Pulau Sumba, dengan balik busur penunjaman di utara
dari daerah Wetar-Flores (Hamilton, 1979).
27
pada busur kepulauan terjadi pada lingkungan darat dan laut
dangkal, dan tidak mengindikasikan disertai dengan pengangkatan.
Mineralisasi
Pada busur ini berpotensi terjadinya mineralisasi emas dan
tembaga, sebanyak 20% emas dan 14 % tembaga di Indonesia
dihasilkan dari busur ini. Segmen kontinen bagian barat dicirikan
oleh banyak dijumpainya cebakan epitermal sistem urat tipe sulfidasi
rendah. Mineralisasi emas dengan batuan induk (hostrock) sedimen
dalam sekala kecil dijumpai di Cikotok, Jawa Barat, akan tetapi
eksplorasi antara tahun 1970 sampai 1980-an di luar dari wilayah ini
belum menemukan adanya mineralisasi Cu-Au tipe porfiri.
Indikasi perubahan tipe mineralisasi emas dijumpai pada bagian
timur dari busur kepulauan. Cebakan tembaga-emas porfiri dalam
dimensi besar dijumpai di Batu Hijau Sumbawa bagian barat
(Meldrun dkk, 1994) dan beberapa prospek dengan ciri-ciri
mineralisasi sulfidasi tinggi (HS) dijumpai di Lombok dan Sumbawa
(S.Turner, pers. Commun., 1992). Hal ini sangat berlainan dengan di
bagian barat yang melimpah dengan urat-urat sulfidasi rendah (LS)
dan tidak dijumpainya cebakan tembaga-emas porfiri yang
ekonomis. Lebih ke timur lagi dari busur ini dicirikan dengan
asoasiasi emas-perak-barit ± logam dasar. Pada daerah tersebut
mineralisasi emas-perak terbentuk berupa stratiform, horison barit
kadang berasosiasi dengan lensa-lensa mineralisasi tembaga
dalam bentuk sulfida masif, tubuh dari replacement dan stockworks.
Urat barit-logam dasar mengandung emas-perak dan stockwork
dijumpai pada bagian dari busur ini.
Mineralisasi
Meskipun sedikit penyelidikan yang dilakukan, Busur Aceh
dengan jelas dapat dibedakan dengan bagian barat dari Busur
Sunda-Banda, serta dicirikan dengan terdapatnya tembaga-
molibdenum porfiri (van Leeuwen dkk., 1987) dan lebih dominannya
mineralisasi epitermal sulfidasi tinggi dibandingkan mineralisasi
sulfidasi rendah.
29
Pada utara pusat volkanik Atan, busur menerus melewati
intrusi-intrusi granodiorit dan granit berumur 26 Juta tahun di Long
Laai (Hutchinson, 1989) dan granodiorit di daerah Kujau. Ke arah
utara akhirnya busur menghilang di bawah sistem busur Neogen di
daerah Sabah. Akhir dari jalur volkanisme terjadi 20 juta tahun,
diindikasikan adanya tumbukan dengan fragmen dari zona kontinen
di Sarawak barat laut (Hutchinson, 1989).
Hal tersebut dapat memberikan gambaran bahwa busur Tengah
Kalimantan berkaitan dengan penunjaman ke arah selatan pada
Oligosen-Awal Miosen, jalur tunjaman umumnya terletak pada atau
barat laut Serawak. Jalur sedimen pada cekungan di Ketungau,
Melawi dan Mandali bagian tengah Kalimantan yang terbentuk pada
Akhir Eosen Oligosen, (Williams dkk, 1988) menggambarkan bahwa
endapan terbentuk pada cekungan busur luar.
Basal terbentuk pada Akhir Miosen sampai Kuarter, banyak
tersingkap di Kalimantan yang merupakan batuan eruptif paling
muda, hal tersebut berkaitan dengan retas-retas basal yang
memotong busur batuan gunungapi Tersier tengah dan endapan flis,
batuan basal setempat-setempat berasosiasi dengan adanya
mineralisasi emas berupa urat-urat kuarsa seperti di Long Laai.
Mineralisasi
Pada bagian timur dan tengah dari busur tersebut mengandung
hampir 10% dari sumber daya emas dan tembaga di Indonesia. Ada
empat pusat mineralisasi emas epitermal, yaitu Kelian yang
merupakan tambang emas terbesar di Indonesia pada saat produksi,
terbentuk pada transisi antara epitermal dan mineralisasi porfiri (van
Leeuwen dkk, 1990).
Long Lai yang terletak pada bagian timur laut dari busur,
berbeda dengan pembentukan sistem epitermal, emas terbentuk
pada tipe greisen kasiterit dan skarn pada atau sekitar intrusi-instrusi
granodiorit (Hutchinson, 1989), urat mesotermal di Gunung Mas juga
berasosiasi dengan intrusi-intrusi granitik. Kehadiran timah putih dan
87 86
Sr/ Sr di daerah Long Laai mengindikasikan akan pembentukan
dari proses yang berhubungan dengan pelelehan, ini tidak umum
berasosiasi dengan mineralisasi emas.
Di daerah Bau, Serawak yang menerus sampai Kalimantan
bagian barat, dan menyambung pada busur Kalimantan Tengah
yang terletak di bagian barat dari busur ini hanya mengandung
mineralisasi emas dalam bentuk urat-urat kuarsa mesotermal
berukuran kecil umumnya berasosiasi dengan skarn dan proses
31
daerah ini (Mitchell dan Leach, 1991), yang kemungkinan termasuk
juga menumpang pada batuan malihan yang berumur Mesozoik.
Di Pulau Sulawesi bagian utara, batuan gungapi dan terobosan-
terobosan andesitik pada Miosen tengah sampai akhir terbentuk
dengan penyebaran cukup luas (Trait dkk., 1974) namun sebagian
dari batuan tersebut di Tombulilato (Perello, 1994) dan di Bulagidun
(Lubis dkk, 1994) terbentuk pada Miosen Akhir sampai Pliosen.
Batuan pada busur berumur Miosen Akhir sampai Pliosen di bagian
utara Sulawesi termasuk dalam hal ini anggota bagian tengah dari
batuan gunungapi Bilungala berumur 5,2 juta tahun K/Ar dari
andesit hornblende (Perrelo, 1994), dan terdapat empat umur
berbeda batuan granodiorit yaitu 4,1, 4,4, 6,9 dan 7,2 juta tahun dan
8,8 juta tahun (Bellon dan Rangin, 1991). Batuan gunungapi
Bilungala dengan sisipan batugamping berumur Awal Pliosen
ditumpangi secara tidak selaras oleh batuan gunungapi dasitik
Motomboto (Perello, 1994) yang berumur Akhir Pliosen, serta oleh
batuan Gunungapi Pinogu yang berumur Kuarter. Di Pulau Sangihe,
terobosan diorit berupa stock seumur dengan batuan gunungapi
andesitik berumur Neogen, dan ke arah utara Pulau Kawio (Morrice
dkk, 1983) melaporkan umur pada batuan sejenis 5,7 dan 2,05 juta
tahun.
Berdasarkan data seismik, zona dengan pola kemiringan ke
arah barat pada kedalaman 600 km di bawah Laut Sulawesi
menggambarkan adanya penunjaman pada kurun waktu sekitar
Miosen. Keberadaan penunjaman tersebut terkait dengan
keterjadian Busur Kepulauan Sangihe yang terbentuk pada
pertengahan Miosen sampai Awal Pliosen, serta batuan gunungapi
Bilungala bagian tengah dan atas dan kemungkinan juga Motomboto
di bagian utara Sulawesi. Batuan monzonitik di Sassak dapat
termasuk pada busur tersebut, meskipun kandungan potasnya
tinggi, mengindikasikan sudut kemiringan dari zona Benioff di bawah
segmen dari busur ini landai.
Diperkirakan busur volkanisme di lengan utara Pulau Sulawesi
pada Akhir Pliosen terbentuk oleh tumbukan dengan bagian ujung
timur segmen Sula-Buton-Bumbulan bagian dari kerak New Guinea,
dari kejadian ini segmen Buton-Bumbulan terpisah saat kerak New
Guinea bergerak ke arah utara pada saat Miosen. Akibat tubrukan
terbentuk pada balik busur dan penunjaman ke arah selatan pada
palung di Utara Sulawesi, menghasilkan batuan gunungapi Pinogu
yang berumur Kuarter.
Mineralisasi
Segmen busur kepulauan yang meliputi sebagain besar lengan
utara Pulau Sulawesi dan Pulau Sangihe, mengandung beberapa
jenis tipe cebakan dan memberikan kontribusi lebih dari 14% potensi
emas dan 11% tembaga di Indonesia. Cebakan-cebakan ini
termasuk juga kelompok tembaga-emas porfiri di Tombulilato,
mineralisasi tipe sulfidasi tinggi di Motomboto, dan cebakan emas
pada batuan sedimen (tipe Carlin) di Mesel, emas-perak-barite ±
logam dasar di Binebase, Sangihe dimana mirip dengan cebakan di
Pulau Wetar pada bagian timur Busur Sunda Banda.
Mineralisasi epitermal sulfidasi rendah hanya dijumpai secara
terbatas berupa urat-urat kecil dan stockwork di Ratatotok, termasuk
juga prospek di Doup (Kavalieris dkk, 1992), Ratatotok (Turner dkk,
1994) dan Lanut (Carlile dkk, 1990), dan cebakan emas berupa
stockwork kuarsa-karbonat di Bolangitang (D.W. Sumardiman, kom.
Pers, 1992). Mineralisasi emas tersebar dan mengisi rekahan di
Gunung Pani (Kavalieri dkk, 1990) terbentuk pada komplek kubah
batuan asam, namun mineralisasi emas yang ditemukan terbatas
pada prospek berupa urat-urat kecil berdampingan dengan tembaga-
emas porfiri Taware (Carlile dkk, 1990), Bulagidun (Lubis dkk, 1994),
dan Tombulilato (Perello, 1994) serta cebakan-cebakan berupa urat,
breksi, dan skarn logam dasar mengandung emas (Kavalieris dkk,
1992).
Di bagian barat lengan Pulau Sulawesi terdapat sedikit
mineralisasi logam berupa tembaga porfiri di Sassak (Taylor dan
Van Leeuwen, 1980) mineralisasi molibdenum porfiri di Malala (van
Leeuwen dkk, 1994) pada ujung barat dari lengan utara Pulau
Sulawesi, beberapa keterdapatan cebakan skarn dalam sekala kecil
dan cebakan kecil sulfida logam dasar tipe volkanogenik di
Sangkaropi.
33
Paleogen tersebut menumpang pada ofiolit dimana secara stratigrafi
menumpang di atas sekis Bacan.
Stratigrafi Pulau Halmahera dan Pulau Waigeo mirip dengan
bagian timur Mindanao (Hall dkk, 1991), kemungkinan daerah ini
pada saat Paleogen berada pada satu lempeng (Mitchell dan Leach,
1991), dan ofiolit Halmahera-Waigeo merupakan bagian dari ofiolit
New Guinea-bagian timur Pulau Sulawesi dan menerus ke daerah
Mindanao. Sekis Bacan merupakan batuan malihan sebagai batuan
dasar yang termasuk bagian Sula-Buton-Bumbulan bagian dari
kontinen New Guinea dan ofiolit Waigeo tersesarkan naik ke arah
selatan (Chariton dkk, 1991) dan menumpang pada Sekis Bacan
pada Oligosen. Setelah itu, dimana New Guinea bergerak ke arah
utara, Halmahera terputar dan kemungkinan bergerak ke arah barat
pada patahan Sorong, selama proses penunjaman di Laut Molucca
dengan arah timur.
Busur andesitik di Halmahera terdiri dari batuan terobosan dan
batuan gunung api Neogen yang setempat-setempat tertutup
endapan gunungapi Kuarter. Batuan eruptif Neogen terbentuk pada
Akhir Miosen atau Pliosen (Sufni Hakim dan Hall, 1991). Terobosan
tonalit di Bacan kemungkinan berumur lebih tua, terobosan tersebut
merupakan akibat adanya penunjaman ke arah selatan disertai
pembentukan ofiolit di Halmahera dan balik busur, dan hal ini
ekuivalen dengan pembentukan batuan Gunungapi Moon dan diorit
Utawa di Papua. Batuan gunungapi Akhir Neogen berhubungan
dengan penunjaman di Laut Maluku dimana Halmahera bergerak ke
arah barat. Eksplorasi pada busur ini sangat terbatas dilakukan dan
mineralisasi logam yang telah ditemukan terbatas pada cebakan
tembaga-emas porfiri Kaputusan di Bacan (Bering, 1986).
Mineralisasi
Lebih dari 50% potensi emas dan 70% potensi tembaga
Indonesia berada pada empat daerah prospek Grasberg yang
merupakan satu dari cebakan tembaga-emas porfiri terbesar di
dunia, dan tiga tubuh cebakan bijih skarn berukuran besar berada
2
pada satu daerah seluas 100 km dikenal dengan tambang Ertsberg
berada pada ujung barat dari busur (MacDonald and Arnold, 1994;
35
Mertig dkk., 1994). Pelamparan ke arah sampai Papua New Guinea
juga terdapat cebakan kelas dunia yang besar yaitu Porgera (Henry,
1988; Handley and Henry, 1990) dan Ok Tedi (Rush and Seegers,
1990). Ketiadaan temuan mineralisasi logam lain di Papua pada
daerah sekitar Ertsberg kemungkinan akibat keterbatasan untuk
melakukan eksplorasi secara sistematis karena daerahnya sangat
terpencil dan sulitnya medan. Kegiatan eksplorasi yang sekarang
sedang berlangsung menggambarkan kemungkinan adanya daerah
mineralisasi logam yang lain pada daerah busur ini (D. Potter, kom.
pers., 1993).
37
13. Busur Sumba-Timor (Palaeogen)
Busur ini merupakan busur magmatik minor berumur sekitar
Paleogen, dijumpai di segmen Sumba-Palelo-Lolotai di Sumba dan
Timor. Di Daerah Sumba, batuan volkanik dan terobosan andesit
porfiri menempati pada daerah sempit di bagian tenggara, tengah
dan barat daya Pulau Sumba.
Gambar 2.3.
Blok kerak utama dan busur magmatik di Indonesia. Garis sumbu tebal
merupakan busur dengan dengan kandungan cebakan emas dan atau
tembaga berdasarkan data produksi dan estimasi sumber daya berdasarkan
hasil pemboran, busur dengan garis sumbu tipis mengandung prospek emas
dan tembaga namun tidak tersedia data produksi dan sumber daya.
39
• zona potasik, dicirikan oleh terbentuknya ortoklas sekunder dan
biotit atau ortoklas-klorit dan ortoklas-biotit-klorit;
• zona filik, dicirikan oleh kumpulan mineral kuarsa-serisit-pirit,
klorit, illit, rutil, piropilit, karbonat, anhidrit dan serisit;
• zona argilik, dicirikan oleh mineral lempung;
• zona propilitik, dicirikan oleh klorit, pirit, kalsit, epidot, biotit,
hornblende, karbonat, dan plagioklas.
Sistem hidrotermal dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu
temperatur dan pH fluida. Berdasarkan kedua faktor tersebut,
mineral alterasi dapat dibagi dalam beberapa kelompok yaitu silika,
alunit, kaolinit, ilit, klorit dan kalk-silika. Endapan mineral hidrotermal
terbentuk secara berurutan (paragenesis). Mineral-mineral ikutan
diendapkan lebih dahulu diikuti mineral oksida dan yang paling akhir
mengkristal adalah mineral sulfida termasuk emas dan asosiasinya.
Urutan mineral dengan jelas diperlihatkan pada endapan yang
mengisi celah (cavity filling). Mineral-mineral yang terbentuk
kemudian, termasuk emas, akan diendapkan di atas mineral yang
terbentuk terlebih dahulu sehingga terlihat seperti lapisan-lapisan
atau overprint.
Gambar 2.4.
Konsep dasar sistem hidrotermal (Sumber : Hydrotermal Mineral Deposits in
Arc Setting ; “The Basic Model”, Kingston Morison)
41
Jenis cebakan emas yang dapat terjadi pada model cebakan ini
adalah lode emas kuarsa, tersebar (disseminated) dan mineral
ikutannya. Lode emas kuarsa terdiri dari berbagai jenis endapan.
Walaupun demikian, semua endapan lode adalah urat-urat kuarsa-
emas berasal dari pengendapan larutan hidrotermal baik berupa
penggantian (replacement) unsur-unsur pada dinding batuan
maupun pengisian rongga-rongga terbuka (cavity filling) di
sepanjang zona rekahan. Pada endapan emas tersebar
(disseminated) terdiri dari butiran-butiran halus emas yang tersebar
di dalam batugamping lempungan dan batugamping dolomitan. Bijih
ini terbentuk karena proses penggantian oleh larutan hidrotermal
terhadap unsur-unsur pada batuan induk sedangkan endapan emas
ikutan terbentuk sebagai unsur ikutan dalam bijih logam dasar dan
hanya bisa diperoleh bila konsentrat logam dasar tersebut dilebur
dan dimurnikan.
Contoh cebakan emas yang berasosiasi dengan tembaga pada
porfiri dan skarn adalah Ertzberg dan Grasberg (Papua), Batu Hijau
(NTB), Tombolilato (Sulawesi Utara) Kaputusan, Pulau Bacan, Kai
laka, Sayoang, Raroang, Raiau, Pigaraja (Maluku) dan Tapanuli
Selatan (Sumatera Utara).
Gambar 2.5.
Skema model sistem hidrotermal yang berhubungan dengan pembentukan
endapan mineral tipe porfiri sulfida rendah (Giggenbach, 1992).
Gambar 2.6.
Singkapan batuan mikrodiorit yang teralterasi Prophylit – phylic, dengan
mineralisasi malakit, azurit dan pirit menyebar di Daerah Kali Sanen,
Jember, Provinsi Jawa Timur (Koleksi : Pusat Sumber Daya Geologi)
Gambar 2.7.
Bijih porfiri Cu - Au, Batu Hijau, Sumbawa
(Koleksi : Pusat Sumber Daya Geologi)
43
magma, uap dan gas (H2O, CO2, SO, HCl, HF) naik dan berpindah
secara vertikal dan lateral melalui patahan/ struktur dan
permeabilitas batuan dan bereaksi dengan batuan serta
pencampuran larutan. Endapan jenis ini berasosiasi dengan batuan
volkanik bersifat alkali (kalk-alkali), jenis cebakannya adalah lode
emas kuarsa dan epitermal.
Endapan emas epitermal berupa urat - urat hidrotermal kuarsa,
karbonat, barit dan fluorit yang mengandung emas native atau emas
telurida serta sejumlah perak. Endapan ini terbentuk sebagai akibat
pengisisan rongga-rongga oleh larutan hidrotermal dan umumnya
banyak terjadi pada batuan-batuan volkanik Tersier yang mengalami
proses alterasi kuat. Kenampakan di lapangan umumnya terbentuk
pada batuan andesit dan riodasit memperlihatkan daerah ubahan
yang luas umumnya beberapa km persegi. Daerah yang prospek
untuk model cebakan mineralisasi logam ini terdapat di Miwah,
Bagian Kepala Burung dan Bomberai (Papua), dan Rinca dan
Watuasa (NTT).
Gambar 2.8.
Model endapan emas epitermal sulfidasi tinggi. (Bonham, 1989)
Gambar 2.9
Bijih emas tipe High sulphidation mengandung enargit (abu abu gelap),
Motomboto, Gorontalo
45
Gambar 2.10
Skema model sistem hidrotermal berhubungan dengan pembentukan
endapan mineral epitermal “sulfidasi tinggi” (jalur a dan b) dan “sulfidasi
rendah (Jalur c). Sistem sulfidasi rendah pada sisi kanan diasumsikan
berada pada sisi struktur vulkanik. Garis titik-titik menunjukkan jalur
penguapan bermuatan gas, sedangkan garis putus memperlihatkan aliran
perlahan ke bawah udara teroksidasi air sulfat asam (Giggenbach, 1992)
Gambar 2.11
Tekstur Banded pada singkapan cebakan Low Sulfidation di Mopuya,
Kabupaten Suwawa, Provinsi Gorontalo.
(Koleksi : Pusat Sumber Daya Geologi)
Gambar 2.12
Butiran Emas Carbonate Base Metal Gold
(Koleksi PT KEM)
47
2.3.4 Endapan Epitermal Emas-Perak-Kuarsa-Adularia Sulfida
Rendah (Epithermal Low Sulfidation Au Ag-Quartz
Adularia)
Sistem ini sangat umum terbentuk pada busur belakang dan
daerah pengangkatan (rift), serta berasosiasi dengan intrusi felsik
(batuan beku terang/bersifat asam). Model endapan ini sangat jauh
hubungannya dengan sistem porfiri atau intrusi. Meskipun kuarsa,
adularia, ilit/serisit pada sistem ini diduga terbentuk oleh air dalam
batuan yang bersirkulasi dalam sistem hidrotermal, namun
kemungkinan besar emas dan perak berasal dari kejadian magmatik.
Kenampakan di lapangan berupa urat kuarsa dan mendekati
permukaan berkembang menjadi zona urat (stockwork) dan breksi.
Emas pada umumnya diendapkan oleh proses pencampuran
larutan sisa magma dengan air meteorik, namun beberapa cebakan
mengindikasikan proses pemanasan. Emas umumnya muncul dalam
bentuk elektrum, telurida atau terikat oleh mineral sulfida.
Jenis endapan yang biasa terjadi pada model cebakan ini di
antaranya adalah lode emas kuarsa dan epitermal. Cebakan ini
(terutama pada tipe urat) biasanya berkadar emas tinggi (10 - 30
g/ton) dan banyak yang telah ditambang. Contoh cebakan model ini
di Indonesia terdapat di Gosowong (Maluku Selatan), Gunung
Pongkor dan Tasikmalaya (Jawa Barat), Gunung Muro (Kalimantan
Timur), Mangani, Gunung Arum, Salida, Bulangsi, Sungai Pagu, dan
Balimbing (Sumatera Barat), Lebong Tandai, Lebong Sulit, Lebong
Simpang, Tambang Sawah, dan Lebong Donok (Bengkulu),
Cibaliung, Cikotok, Cirotan (Banten), Puruk Cahu (Kalimantan
Tengah), Bukit Kelian (Kalimantan Timur), Mamuju (Sulawesi
Selatan), Paleleh, Bolang Mou Palu, Topak dan Sumalata (Sulawesi
Utara).
Gambar 2.13
Skema model endapan Au-Ag tipe mata air panas bersifat sulfidasi rendah
(Bonham, 1989)
49
berasosiasi dengan sulfida masif. Endapan ini dapat dikatakan
sebagai sumber emas yang cukup ekonomis. jenis ini di Indonesia
terdapat di Pulau Wetar, Flores. Bila tererosi, jenis endapan di atas
akan menghasilkan emas letakan (placer) yang biasanya berasosiasi
dengan material pasir dan kerikil baik terkonsolidasi ataupun tidak.
Emas letakan terbentuk di sepanjang lembah sungai atau pada
teras-teras sungai lama. Endapannya bisa berupa endapan kipas
aluvium, kerikil bar (pada endapan sungai), endapan channel,
endapan limpasan banjir dan endapan pantai. Apabila endapan
letakan tersebut terbentuk dalam rentang waktu yang lama, maka
terbentuk jenis endapan emas fosil yang umumnya berumur Pra
Kambrium (570 juta tahun) serta telah mengalami proses pembatuan
(litifikasi) menjadi batuan konglomerat yang merupakan bagian dari
batuan dasar (bed rock). jenis endapan emas ini terdapat di Tanah
Gayo dan Tapak Tuan (NAD), Bengkalis (Riau), Singkawang dan
Selamantan (Kalimantan Barat), Tumbang Terusan, Panawan,
Hurang, Menan, Tumbang Tukun, Lumbung, Kubuaran, Kab.
Katingan, Kamanto, Tumbang Kanan, Kecamatan Marikit dan lain-
lain.
Gambar 2.14.
Jasperoid dalam cebakan emas Carlin Type
di Pantai Ayah, Kabupaten Kebumen, Provinsi Jawa Tengah
(Koleksi : Pusat Sumber Daya Geologi)
Gambar 2.15.
Silica Replacement pada batugamping di Pantai Ayah,
Kabupaten Kebumen, Provinsi Jawa Tengah
(Koleksi : Pusat Sumber Daya Geologi)
Gambar 2.16.
Model mineralisasi emas (Dimodifikasi dari Corbet and Leach, 1997)
51
2.3.6 Emas Aluvial
Emas dalam bentuk cebakan di alam dijumpai dalam dua tipe,
yaitu cebakan emas primer dan emas sekunder. Cebakan emas
primer umumnya terbentuk oleh aktifitas hidrotermal yang
membentuk tubuh bijih dengan kandungan utama silika. Cebakan
emas primer mempunyai bentuk sebaran berupa urat atau dalam
bentuk tersebar pada batuan.
Proses oksidasi dan pengaruh sirkulasi air yang terjadi pada
cebakan emas primer pada atau dekat permukaan menyebabkan
disintegrasi penyusun bijih emas primer. Proses tersebut
menyebabkan juga lepas dan terdispersinya emas. Terlepas dan
tersebarnya emas dari ikatan bijih primer dapat terendapkan kembali
pada rongga-rongga dari pori batuan atau rekahan pada tubuh bijih
dan sekitarnya, membentuk kumpulan butiran emas dengan tekstur
permukaan kasar. Akibat proses tersebut, butiran-butiran emas pada
cebakan emas sekunder cenderung lebih besar dibandingkan
dengan butiran pada cebakan primernya (Boyle, 1979).
Proses erosi, transportasi dan sedimentasi yang terjadi
terhadap hasil disintegrasi cebakan emas primer menghasilkan
cebakan emas letakan/aluvial. Emas letakan dapat berada pada
residual soil dari cebakan emas primer, sebagai endapan koluvial,
kipas aluvial, dan umumnya terdapat pada endapan fluviatil.
Emas aluvial dapat terbentuk dengan sumber daya yang besar,
apabila permukaan tubuh bijih yang tererosi sebagai sumber dispersi
luas. Tubuh bijih yang potensial untuk menghasilkan cebakan emas
letakan/aluvial ekonomis harus mempunyai dimensi sebaran besar
dan luas. Cebakan emas aluvial dapat merupakan hasil dispersi dari
cebakan bijih emas primer atau hasil redeposisi dari cebakan emas
aluvial yang lebih tua.
Karakteristik dari tipe endapan emas aluvial akan menentukan
metoda dan sistematika inventarisasi. Beberapa karakteristik
endapan emas aluvial yang dapat dipergunakan sebagai dasar
pertimbangan dalam melakukan inventarisasi meliputi : tipe
endapan, sebaran endapan emas aluvial dan bahan penyusun
endapan emas aluvial.
53
Pada umumnya pertambangan emas aluvial di Indonesia jarang
dilakukan pada endapan pantai, sehingga pedoman ini lebih
dititikberatkan pada endapan hasil aktifitas sungai (fluvial) yaitu :
endapan kipas aluvial, gravel bars deposit, channel deposit,
endapan dataran banjir.
Gambar 2.17
Dataran aluvial mengandung emas, di daerah Bungotebo, Provinsi Jambi
(Gurniwa & Suprapto, 1993)
Gambar 2.18
Nuggets emas aluvial, Legare, Kabupaten Nabire, Provinsi Papua (Koleksi :
Pusat Sumber Daya Geologi)
55
menurut Seeley dan Sender (dalam van Leeuwen, 1994)
menyebutkan bahwa pada beberapa cebakan emas aluvial di Pulau
Kalimantan mempunyai genesa berbeda, dispersi emas dalam
bentuk koloid asam organik yang berasal dari daerah endapan teras,
membentuk agregasi emas dari koloid tersebut pada daerah aluvial
sebagai akibat air tanah bersifat asam tersebut tercampur dengan air
permukaan.
Gambar 2.19
Sebaran cebakan emas aluvial hasil dispersi dari cebakan emas primer,
Gunung Pani, Provinsi Gorontalo
(modifikasi dari Gunradi dkk, 2003 dan Suhandi dkk, 2005).
B. Eksplorasi
1) Eksplorasi Umum
2) Eksplorasi Rinci
A. Penyelidikan Umum
1. Tahap Survei Tinjau
Tahap eksplorasi untuk mengidentifikasi daerah-daerah yang
berpotensi bagi keterdapatan mineral pada skala regional terutama
berdasarkan hasil studi geologi regional, di antaranya :
1. Studi Pendahuluan, meliputi : studi literatur, geologi regional,
studi citra landsat, interpretasi foto udara, sintesa-sintesa
geologi;
2. Rancangan eksplorasi menyangkut pengajuan model
eksplorasi sebagai hipotesa kerja, penentuan petunjuk-
petunjuk geologi yang akan digunakan, penentuan strategi
dan pentahapan dan pemilihan sistem eksplorasi;
3. Penilaian daerah berdasarkan pustaka dan data yang ada;
4. Tinjauan Daerah meliputi :
• Survei dari udara; survei dan analisa foto udara, survei
dan analisa aeromagnetik.
• Survei tinjau; pelintasan-pelintasan yang menyeluruh
seluruh daerah, dengan sistem geologi atau sistem non-
geologi. Prospeksi batuan dan/atau prospeksi sungai dsb
(peta sekala 1 : 100.000 – 250.000). tahapan ini
menghasilkan daerah-daerah prospek.
Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi daerah-daerah
anomali atau pemineralan yang prospektif untuk diselidiki lebih
lanjut. Perkiraan kuantitas sebaiknya hanya dilakukan apabila
datanya cukup tersedia atau ada kemiripan dengan endapan lain
yang mempunyai kondisi geologi yang sama.
Hasil evaluasi dan perhitungan jumlah bahan galian dari
tahapan ini berupa sumber daya hipotetik (hipotetic).
2. Tahap Prospeksi
Tahap eksplorasi yang dilakukan untuk menentukan daerah
prospek (daerah yang mengandung cebakan yang potensial).
Sistem yang digunakan adalah :
• Pemetaan geologi semi rinci (sekala 1 : 100.000 – 1 :
10.000);
59
• Survei geokimia seperti : pemercontoan sedimen sungai,
pemercontoan tanah, pendulangan, pemetaan apungan
batuan, pemercontoan batuan, apabila diperlukan dilakukan
pemercontoan pada sumur-uji/paritan atau pemboran
dangkal;
• Survei geofisika dengan metode magnetik dan/atau
Polarisasi Terimbas/Induced Polarisation (IP).
Tujuannya yaitu untuk mengidentifikasi suatu cebakan mineral
yang akan menjadi target eksplorasi selanjutnya. Estimasi kuantitas
dihitung berdasarkan interpretasi data geologi, geokimia dan
geofisika.
Hasil evaluasi dan perhitungan jumlah bahan galian dari
tahapan ini berupa sumber daya tereka (Inferred).
B. Eksplorasi
1. Tahap Eksplorasi Umum
Tahapan eksplorasi untuk menentukan gambaran geologi suatu
cebakan mineral berdasarkan indikasi sebaran, perkiraan awal
mengenai ukuran, bentuk, sebaran, kemenerusan (continuity),
kuantitas, dan kualitasnya. Kegiatan yang dilakukan antara lain :
• Pemetaan geologi sekala 1 : 10.000 – 1 : 2.000,
• pembuatan paritan dan sumur-uji,
• survey geofisika rinci dengan kisi,
• survei geokimia rinci (soil sampling) dengan kisi (grid),
• beberapa pemboran pengambilan contoh.
Tingkat ketelitian sebaiknya dapat digunakan untuk menentukan
apakah studi kelayakan tambang dan eksplorasi rinci diperlukan.
Hasil evaluasi dan perhitungan jumlah bahan galian dari
tahapan ini berupa sumber daya terunjuk (indicated)
1. Pemetaan Geologi
Di daerah yang diperkirakan terdapatnya sesuatu macam
endapan bahan galian perlu dilakukan penyelidikan/pemetaan
terperinci dengan sekala 1 : 200 - 1 : 500 yang diamati adalah jenis
batuan, struktur detil serta umur batuan. Jenis dan umur batuan
dianalisis di laboratorium termasuk analisis mineralogi/petrologi.
Struktur geologi diukur di lapangan, kemudian semua data tersebut
ditafsirkan untuk menentukan mula jadinya bahan galian. Dengan
mengetahui hal-hal tersebut pencarian endapan bahan galian dapat
lebih terarah.
2. Pemetaan Geokimia
Seperti juga pada pemetaan geologi, untuk pemetaan
geokimia dengan pembuatan kisi-kisi rintisan untuk pengambilan
contoh tanah yang berjarak 50 sampai dengan 250 meter dengan
sekala 1 : 500 - 1 : 200. Conto tanah dianalisis di laboratorium untuk
penentuan unsur-unsur kimia pada contoh tanah tersebut. Setelah
hasil analisis diperoleh, nilai unsur dituliskan pada peta sesuai
dengan nomor conto, kemudian dibuat zona anomali geokimia.
3. Penyelidikan/Survei Geofisika
Setelah dilakukan penyelidikan geologi dan geokimia yang
menunjukkan adanya zona anomali emas, maka dilakukan
61
penyelidikan secara geofisika untuk mengetahui penyebaran
cebakan emas di bawah permukaan. Dari hasil penyelidikan
geofisika ini bisa diketahui bentuk cebakan, misalnya yang
berbentuk korok (dike), urat (vein), atau tersebar (disseminated).
Untuk mineral logam sulfida, biasanya dilakukan penyelidikan cara
potensial diri (self potential), tahanan jenis (resistivity) dan polarisasi
terimbas. Disamping itu, dapat dilakukan penyelidikan cara magnet
dan gaya berat untuk mengetahui struktur geologi, zona alterasi dan
batuan intrusi.
Eksplorasi Pengembangan
(Penyelidikan Umum) (Eksplorasi)
Tahapan Studi
Eksplorasi Konstruksi
Survei Tinjau Prospeksi Eksplorasi Rinci Kelayakan
Umum
Sistem • Kepustakaan • Pemetaan geologi • Geologi rinci, • Geologi rinci,
Eksplorasi • Survei udara semi rinci, 1:10.000 – 1:2.000 • 1:200 – 1: 500
(Penyelidikan) • Pemetaan 1:100.000 - • Geokimia • Sumur/parit uji
geologi regional, 1:10.000 • Geofisika • Pemboran rinci
1:250.000 - • Geokimia • Sumur/parit uji • Terowongan uji
1:100.000 • Geofisika • Pemboran geologi
• Geokimia
63
Gambar 3.1.
Survei geologi yang dilakukan di daerah Ciarinem, Kabupaten Garut,
Provinsi Jawa Barat yang mempunyai prospek mineralisasi emas.
(Arif, R, 2007)
Gambar 3.2
Aeromagnetik survai untuk mengetahui letak daerah prospek. (Puslitbang
Tekmira )
Gambar 3.3
Survei geokimia regional dengan menggunakan helikopter
(Koleksi : Pusat Sumber Daya Geologi)
Gambar 3.4
Kegiatan survai geokimia
(Koleksi Pusat Sumber Daya Geologi)
65
Gambar 3.5
Pengukuran tahanan jenis batuan, survai geomagnet untuk mengetahui
akumulasi bijih emas dan penelitian seismik bias dangkal
(Koleksi Pusat Sumber Daya Geologi)
67
pengusahaan tambang harus disusun suatu rencana tentang
pencegahan dan penanggulangan masalah lingkungan yang akan
timbul akibat kegiatan penggalian, pemboran, jalan eksplorasi dan
lainya. Hal ini juga perlu untuk informasi tentang K-3.
Gambar 3.6.
Bagan Alir Study Kelayakan Pengusahaan Potensi Cadangan Mineral
(Sumber : Puslitbang TEKMIRA)
C. Analisis Ekonomi
Dalam industri penambangan emas, jika syarat teknis sudah
terpenuhi, maka perlu pula dievaluasi berdasarkan pertimbangan
ekonomi. Tujuan dari evaluasi ini adalah untuk memilih sistem
penambangan yang menguntungkan. Aspek yang digunakan untuk
evaluasi ekonomi adalah:
- Analisis pasar, analisis subtitusi/pesaing serta analisis sarana
dan prasarana penunjang sebagai masukan dalam melakukan
penelitian;
- Analisis harga, untuk melakukan strategi harga bagi suatu
komoditi emas;
- Studi pola distribusi, persediaan, alokasi, dan saluran-saluran
pemasaran dalam menjaga kelancaran pengiriman sampai ke
pengguna akhir (customer plant, gold trader);
- Analisis finansial, untuk menentukan kelayakan pengusahaan
pertambangan dari segi pengusaha dengan kriteria-kriteria
keuntungan (profitability indicator) seperti net present value
(NPV), profitability index (PI), benefit cost ratio (BCR), internal
rate of return (IRR) dan pay back period.
69
(1 +i) : faktor sekarang (present worth factor) atau discount factor
(CF) yang merupakan faktor koreksi pengaruh waktu terhadap nilai
uang pada periode t dengan interest rate i per tahun.
Dari NPV ini dapat diketahui bahwa usaha tambang memenuhi
kelayakan ekonomis jika NPV lebih besar dari nol.
4. Payback Period
Payback period biasanya disebut juga pay out time yaitu kriteria
tingkat pengembalian pendapatan, dengan maksud untuk
mengetahui periode waktu sehingga terjadi titik impas (break even
point) pada usaha tambang tersebut. Dengan demikian, penentuan
jangka waktu pengembalian didasarkan pada berapa lama setelah
usaha tambang berjalan NPV = 0 dapat tercapai (arus nilai sekarang
dari penerimaan sama dengan nilai sekarang pengeluaran). Dengan
kata lain, untuk menentukan suatu kegiatan investasi yang akan
dipilih yaitu kegiatan yang dapat paling cepat mengembalikan biaya
investasi, makin cepat pengembaliannya makin baik. Rumus
payback periode yang sering digunakan adalah:
Payback period = I/Ab
I : besarnya investasi yang diperlukan.
Ab : keuntungan bersih yang dapat diperoleh setiap tahunnya.
5. Analisis Kepekaan
Jika ada sesuatu kesalahan atau perubahan dalam dasar
perhitungan biaya atau keuntungan, dilakukan analisis kepekaan
yang berguna untuk melihat apa yang akan terjadi dengan hasil
analisis proyek. Dalam analisis kepekaan setiap kemungkinan harus
dicoba, artinya setiap kali harus diadakan analisis kembali. Hal ini
perlu sekali khususnya untuk sektor pertambangan emas, karena
analisisnya didasarkan pada proyeksi-proyeksi yang mengandung
banyak ketidakpastian tentang apa yang akan terjadi diwaktu yang
akan datang. Ada dua hal yang perlu diperhatikan yaitu terdapatnya
cost over run, misalnya kenaikan dalam biaya produksi dan
perubahan dalam perbandingan harga terhadap tingkat harga umum
misalnya penurunan harga hasil produksi perlu dianalisis bagi
kegiatan usaha dengan umur ekonomis yang panjang dan dalam
ukuran besar, serta naiknya tingkat suku bunga pinjaman.
71
3.2. Sistem Pengambilan Conto
Suatu tubuh bijih merupakan campuran dari berbagai mineral
yang bervariasi dengan kandungan logam yang tidak sama pada
setiap bagiannya. Untuk dapat mewakili nilai kandungan logam
dalam tubuh bijih, dibutuhkan suatu sistem pengambilan conto yang
sistimatis disesuaikan dengan karakteristik tubuh bijih tersebut.
Contohnya pada tubuh bijih porfiri yang kandungan logamnya
tersebar, maka jumlah conto yang diambil bisa lebih sedikit
dibandingan dengan pada cebakan tipe urat.
Sistem pengambilan conto yang sistematis dapat mengatasi
kesalahan yang mungkin terjadi. Pengambilan conto yang banyak
tetapi tidak sistematis letaknya tidak akan memperkecil kesalahan,
malahan justru sebaliknya. Jadi ketelitian pengambilan conto itu
tergantung dari jumlah conto yang diambil dan lokasi
pengambilannya yang tersebar secara baik di seluruh tubuh
endapan bijih yang bersangkutan. Hal–hal berikut ini patut
diperhatikan waktu pengambilan conto :
Gambar 3.7.
Pengambilan conto channel cebakan emas teras alluvial, Bungo – Jambi
(Sumber : Gurniwa dan Sabtanto, 1995)
73
Gambar 3.8.
Pengambilan conto channel cebakan emas primer, Cihideung, Provinsi
Garut (Sumber : Sabtanto, 1996).
c. Parit dibuat tegak lurus (strike) dari tubuh bahan galian, dengan
demikian akan memotong perlapisan yang ada.
Cara trenching ini sering juga dikombinasikan dengan cara test
pitting.
75
shaft untuk keperluan eksplorasi dan exploitation on shaft untuk
keperluan eksploitasi.
Pembuatan shaft adalah mahal, sehingga cara shaft sinking
pada eksplorasi dilakukan manakala cara-cara lain tak dapat
dikerjakan. Pertimbangan-pertimbangan yang perlu diperhatikan
adalah pertimbangan teknis dan ekonomis, keduanya harus dapat
dipenuhi.
Pekerjaan shaft sinking dilakukan dengan mengingat hal-hal
seperti disebutkan di bawah ini :
• Pekerjaan supaya dilakukan tetap dalam ore body, ini terutama
dilakukan bila ore body-nya besar, akan tetapi bila tubuh
endapannya kecil shaft tersebut dibuat miring dan sejajar
dengan tubuh endapan, terutama dalam eksploitasinya.
• Pekerjaan permulaan dari shaft sinking supaya dimulai dari
daerah yang jelas bahan galiannya tersingkap, jadi dari daerah
yang sudah diketahui, baru kemudian pekerjaan diteruskan ke
daerah yang belum diketahui
Gambar 3.9.
Sumur uji (test pit) (Koleksi Pusat Sumber Daya Geologi)
Gambar 3.10.
Pemercontohan dengan bor bangka manual
(Koleksi : Pusat Sumber Daya Geologi)
77
Gambar 3.11
Pemboran inti, Arinem, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat
(Sumber : Sabtanto, 1996)
Gambar 3.12
Percontoh inti bor PT.Freeport Indonesia
79
• Cara Ruah (Bulk Sampling).
Pemercontoan batuan atau endapan bahan galian yang
diambil dalam jumlah besar dengan interval yang teratur.
Gambar 3.13
Jaw crusher untuk penggerusan conto batuan
(Koleksi Pusat Sumber Daya Geologi)
Gambar 3.14
Disk mill untuk penggilingan conto batuan
(Koleksi Pusat Sumber Daya Geologi)
81
Gambar 3.15
Blending machine untuk penggilingan conto batuan
(Koleksi Pusat Sumber Daya Geologi)
Gambar 3.16
Vibrator sieve untuk alat penggilingan conto batuan
(Koleksi Pusat Sumber Daya Geologi)
Gambar 3.17
Alat potong conto batuan ukuran bongkah
(Koleksi : Pusat Sumber Daya Geologi)
Gambar 3.18
Alat potong conto batuan ukuran kerakal
(Koleksi : Pusat Sumber Daya Geologi)
83
Gambar 3.19
Alat poles conto batuan (Koleksi : Pusat Sumber Daya Geologi)
Gambar 3.20
Alat untuk membuat sayatan tipis batuan
(Koleksi : Pusat Sumber Daya Geologi)
85
Gambar 3.20
Atomic Absorption Spectrometry (AAS) untuk analisis
kadar emas dan logam-logam dasar lainnya
(Koleksi : Pusat Sumber Daya Geologi)
C. Fire Assay
Prinsip analisis emas dengan menggunakan metode fire assay
yaitu setelah conto dicampur dengan bahan imbuh (flux) dilebur
dalam cawan lempung (fire clay) pada suhu sampai 1.200° C dan
waktu tertentu. Penambahan bahan imbuh tergantung pada jenis
dan berat conto. Setelah dilebur, seluruh cawan dituangkan ke
dalam cetakan besi yang berbentuk kerucut. Setelah Pb Button dan
slagnya dipisahkan, Pb Button yang mengandung emas dan perak
kemudian dikupelasi, Oksida yang terbentuk akan diserap oleh
kupel, sedangkan emas dan peraknya akan tetap tinggal sebagai
bead atau prill di atas kupel. Penentuan kandungan emasnya diukur
dengan instrument AAS (Atomic Absorbtion Spectrometry).
Pereaksi yang dipergunakan dalam metode analisis fire assay
antara lain Litharge (PbO dengan kadar Au maksimum 0,02 ppm),
Soda Abu (Na2CO3 anhidrat), Silika (SiO2 dengan kemurnian
minimum 95% dan fobs ayakan 150 mesh), Boraks (Na2BaO7), Argol
(Kalium bitartrat, KHC4O6), Asam Nitrat (HN03), Asam Khlorida
(HCI), Aqua regia, larutan Perak Nitrat, Aquadest dan MIBK pa.
Peralatan yang dipergunakan antara lain : timbangan, tungku
muffle dengan suhu maksimum sampai 1.200° C yang dilengkapi
dengan penangkap debu atau uap logam, baju, sarung tangan, dan
helm tahan panas yang terbuat dari asbes, penjepit cawan, cawan
lempung (fire clay), kupel (cawan yang terbuat dari tulang), cetakan
dari besi yang berbentuk kerucut, palu untuk memisahkan Pb Button
dengan slag, pinset untuk memindahkan prill ke dalam labu ukur,
labu ukur 25 ml, tabung reaksi, cawan porselen dan instrument AAS
(Atomic Absorbtion Spectrometry).
Gambar 3.21
Instrument fire assay untuk menguji kadar emas
(Koleksi : Pusat Sumber Daya Geologi)
87
Instrument Inductively Coupled Plasma (ICP) dapat
menganalisis perconto terhadap mineral untuk mengetahui kadar
emas atau logam sampai satuan ppb (part per billion) dan ppt (part
per trilyun). Metode analisis ini dilakukan untuk perconto yang
memiliki kadar emas yang rendah. Instrument ICP-AES dapat
menganalisis sampai satuan terkecil ppb, sedangkan instrument
ICP-MS dapat menganalisis sampai satuan terkecil ppt.
Gambar 3.22
ICP -AES untuk analisis kadar rendah emas dan Rare Earth Elements (REE)
sampai satuan terkecil ppb
(Koleksi : Pusat Sumber Daya Geologi)
Gambar 3.23
ICP -MS untuk analisis kadar rendah emas dan Rare Earth Elements (REE)
sampai satuan terkecil ppt (Koleksi : Pusat Sumber Daya Geologi)
B. Petrografi Batuan
Analisis petrografi batuan adalah analisis terhadap batuan
dengan mempergunakan alat jenis mikroskop yang dihasilkan jumlah
prosentase komposisi kandungan mineral pembentuk batuan.
Deskripsi analisis petrografi batuan adalah uraian dari setiap hasil
pengamatan sayatan tipis batuan dan mineral mengenai
kenampakan secara umum, jenis mineral, prosentase mineral,
tekstur dan struktur untuk memberikan nama jenis batuan dan
mineral. Bahan yang dianalisis yaitu batuan yang telah dipreparasi
menjadi sayatan tipis.
Peralatan yang dipergunakan terdiri dari seperangkat mesin
pemotong batuan, object glass, carborundum 120 mesh, 150 mesh,
240 mesh, 300 mesh, 400 mesh, 600 mesh, 1.200 mesh, epoxide
hardner, entellan, polioshing alumina 0,05 mikron, 0,1 mikron, 0,3
mikron, 0,5 mikron, 1 mikron, 3 mikron, 5 mikron, kain wol, paper
grit 400 mesh dan diamond pasta, mikroskop polarisasi refleksi,
serta kamera dan mineral standard untuk pembanding.
89
Gambar 3.24
Orthoplan Microscope yang dilengkapi dengan alat fotomikrografi,
peralatan untuk analisis mineragrafi dan petrografi batuan
(Koleksi : Pusat Sumber Daya Geologi)
Gambar 3.25
Butiran emas berwarna kuning, lokasi Daerah Cikondang, Kecamatan
Cineam, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat
(Koleksi : Pusat Sumber Daya Geologi)
Gambar 3.26
Emas di dalam arsenopirit, lokasi Daerah Tumpang Titi,
Provinsi Kalimantan Barat
(Koleksi : Pusat Sumber Daya Geologi)
C. Mineralogi Butir
Analisis mineralogi butir adalah identifikasi mineral berdasarkan
sifat fisiknya yang meliputi berat jenis, warna, kilap, bentuk butir,
bentuk kristal, belahan, kekerasan, kelenturan (plasticity),
transparansi, translusen dan sifat magnet. Pengelompokkan mineral
berdasarkan berat jenis dilakukan dengan menggunakan larutan
kimia tertentu (bromoform). Pengelompokkan mineral berdasarkan
sifat kemagnetan dilakukan dengan cara menggunakan magnet.
Prosedur analisis mineral butir meliputi beberapa tahapan mulai dari
persiapan analisis, pemeriksaan conto, pemotretan, sampai dengan
proses pengolahan data.
Peralatan yang dipergunakan terdiri dari :
− 1 (satu) buah mikroskop binokuler.
− Kamera mikroskop.
− Lampu penerang.
− Petridis.
− Kuas.
− Pinset tembaga.
− Kaca arloji.
− Plat seng.
− Kertas berskala (backing grid).
− Mineral standar untuk pembanding.
91
Gambar 3.27
Stereomikroskop Binokuler yang dilengkapi dengan alat fotomikrografi untuk
analisis butir. (Koleksi : Pusat Sumber Daya Geologi)
Gambar 3.28
Butiran emas berwarna kuning metalik bentuk pipih-melebar, mineral lainnya
berupa zirkon, kuarsa dan rutil. Lokasi Kabupaten Nabire, Provinsi Papua.
(Koleksi : Pusat Sumber Daya Geologi)
Gambar 3.29
Mikroskop polarisasi inklusi fluida yang dilengkapi dengan
Heating/Freezing Stage Linkam (Koleksi : Pusat Sumber Daya Geologi)
93
Gambar 3.30
Instrument XRD dan Cooling Water Circulation
(Koleksi : Pusat Sumber Daya Geologi)
- Spektra disimpan dalam .fos file setelah nama, jenis conto dan
kordinat (bila ada).
- Setiap conto diukur beberapa kali pada permukaan yang
berbeda untuk mengetahui representasi mineral yang ada
pada conto tersebut.
- Pada waktu tertentu, bila peralatan melampaui temperatur
tertentu peralatan selalu mengindikasikan perlunya kalibrasi.
- Untuk menghemat waktu, interpretasi dilakukan setelah
seluruh conto selesai diukur.
Gambar 3.31
Instrument PIMA (Portable Infrared Mineral Analyzer)
(Koleksi : Pusat Sumber Daya Geologi)
95
3.4. Metode Perhitungan Cadangan/Estimasi Sumber Daya
Estimasi cadangan dilakukan untuk mengetahui kuantitas,
kadar dan lokasi suatu cebakan emas agar bisa dievaluasi apakah
bisa dilanjutkan ke tahap penambangan atau tidak. Ukuran dan
kadar sebenarnya (real grade) suatu endapan tidak dapat diketahui
dengan pasti namun estimasi cadangan dibutuhkan dalam
perencanaan tambang. Jika perhitungan dilakukan dengan sistem
3
matrik, jumlah volume dalam m dikalikan dengan berat jenis mineral
emas akan menghasilkan tonase dalam metrik ton yang bisa
dijabarkan sebagai berikut:
T= V x Bj Emas
Tf = 2240 x Bj
62,5
Cadangan = Volume
Tf
Wcb=A x t x r
We = K x Wcb
97
Gambar 3.32.
Beberapa model perhitungan cadangan cara geometric (1) Square Block,
(2) Rectangular Uniform Blocks, (3) Cross Section, (4) Triangular Block, (5)
Polygonal Block (Sumber : Puslitbang TEKMIRA)
L = ½ S(XnYn+1 – Xn+1Yn)
(S1 + S2)
V = L -----------------
2
S1,S2 . luas penampang
L jarak antar penampang
V . volume
99
- rumus obeliks, digunakan untuk endapan yang mempunyai
geometri yang membaji percontohnya pada endapan
pneumatolitik. Rumusnya :
(a1+b2)(a2+b1)
V = L. S1 +S2 + -----------------------
3
S1 , S2 : luas penampang 1 dan 2
L : jarak antar S1 dan S2
V : volume
S1 + Sn
V = L ---------------- + S1 + S2 +... +Sn-1
3
S1 . luas penampang
L . jarak antar penampang (konstan)
V . volume
S1 +Sn
V=------------------x Luas Segi Tiga
3
Rumus tersebut merupakan potensi seluruh blok yang sama
dengan jumlah seluruh tonase sedangkan kadar rata-rata seluruh
blok dihitung dengan pembobotan tonase.
Metode blok dilakukan dengan membentuk blok-blok yang
umumnya disesuaikan dengan cara penambangannya. Dimensi blok
dipilih sedemikian rupa sekecil mungkin sehingga ekstensi data
percontoh yang tersedia terhadap masing-masing blok masih dapat
dipertanggungjawabkan, dengan kata lain masih mempunyai varians
ekstensi yang kecil. Beberapa pakar mengasumsikan dimensi lateral
sebesar S! - ½ jarak per spasi percontoh sudah cukup baik
sedangkan dimensi vertikalnya disesuaikan dengan tinggi jenjang
(bench) penambangan.
101
Gambar 3.33.
Metode Inverse Distance Square (IDS)
(Sumber : Puslitbang Tekmira)
A. Variogram
Variogram adalah grafik yang menunjukkan hubungan antara
besarnya kadar dengan jarak pada arah tertentu, dihitung dengan
suatu rumus sederhana yaitu perbedaan rata-rata antara dua titik
contoh dengan jarak tertentu. Variogram dapat mengamati derajat
kesinambungan suatu mineralisasi dan juga dapat diamati
karakteristik geologi lainnya. Di sini suatu model matematik
dibutuhkan untuk dicocokkan dengan variogram eksperimental.
B. Model Krigging
Prosedur geostatistik yang kedua adalah perhitungan kriging,
suatu sistem estimasi yang melibatkan faktor pembobotan terhadap
suatu titik contoh yang bergantung pada parameter-parameter
variogram tersebut di atas. Metode ini menggunakan weighted
103
BAB 4
PENAMBANGAN
BAB 4
PENAMBANGAN
107
Gambar 4.1
Tambang terbuka bijih emas di Kelian, Kabupaten Kutai Barat Provinsi
Kalimantan Timur (Sumber : PT. KEM)
109
Gambar 4.2
Kegiatan pembongkaran dan pengangkutan pada tambang terbuka
3
Grasberg dengan menggunakan shovel tipe 4100 kapasitas 42m dan dump
truck (PT. Freeport Indonesia Corp)
Gambar 4.3
Kegiatan penambangan terbuka pada PIT Toguraci, serta pengambilan
bijih/urat pada daerah BOD (bagian barat pada Pit Toguraci) di Halmahera
Utara (Situasi pada bulan Agustus 2005)
(Koleksi : Pusat Sumber Daya Geologi)
E. Peledakan
Ada tiga faktor yang harus dipertimbangkan ketika
merencanakan peledakan, yaitu karakteristik sifat batuan yang
Gambar 4.4
Proses peledakkan pada tambang terbuka di Penambangan Emas Bolaang
Mongondow, Provinsi Sulawesi Utara.
(Koleksi : Pusat Sumber Daya Geologi)
111
4.1.2. Jenis Tambang Permukaan
A. Penambangan Terbuka (Open Pit Mining)
Open pit mining, dalam bahasa Indonesia disebut tambang
terbuka yang menghasilkan bentuk morfologi cekung mengarah ke
bawah. Dalam tambang ini, pengupasan dan penambangan disalurkan
dari suatu rangkaian tangga/jenjang (benches). Cebakan bijih logam
yang tebal memerlukan beberapa tangga, karena alasan keamanan,
beberapa tangga yang berurutan dipotong menjadi berdiameter lebih
kecil. Tangga yang tunggal dibuat bila suatu endapan dan tanah
penutup relatif tipis (15 s.d 45 m). Penentuan banyaknya tangga untuk
penambangan merupakan jaminan bahwa permukaan yang cukup
panjang yang dibongkar diperbolehkan, supaya tidak
mengganggu produksi. Ketinggian jenjang dibatasi oleh suatu
jangkauan alat pembongkar (excavator) dalam hal ini power shovel
dapat memotong suatu tepian yang lebih tinggi dibandingkan
dengan front end loader atau hydraulic excavator. Lebar jenjang
harus bisa menahan batuan yang terbang dari suatu peledakan dan
menyediakan ruang gerak yang cukup untuk alat pembongkar
(excavator) serta unit pemuat (haulage). Prosedur yang harus dilakukan
pada penambangan cara ini adalah:
- perencanaan dan disain lubang (pit);
- nisbah pengupasan;
- pemilihan peralatan;
- penempatan batas pit.
Prosedur penambangan terbuka (open pit) di Indonesia
antara lain dilakukan oleh PT. Freeport Indonesia di Papua, PT.
Nusa Halmahera Minerals di Halmahera Utara, PT. Newmont Nusa
Tenggara di Sumbawa.
Gambar 4.5
Tambang terbuka (Open Pit Mining) di Kabupaten Mimika, Provinsi Papua.
(Sumber : PT. Freeport Indonesia Corp)
B. Penambangan Aluvial
Penambangan aluvial terbagi atas penggalian hidrolik dan
penambangan keruk. Hydraulic dredgers atau penggalian hidrolik
diadaptasi dari penambangan aluvial pada penggalian alur parit.
Metode ini terdiri atas tipe suction yang dikhususkan untuk pasir dan
kerikil sedangkan cutterhead untuk material terkonsolidasi. Kedua tipe
perolehannya rendah sehingga penerapannya dibatasi hanya untuk
penambangan endapan letakan; sedangkan dredging mining (tambang
keruk) adalah suatu metode penggalian endapan letakan bawah air
dengan peralatan mekanis berupa kepala pemotong berputar beserta
pipa hisap atau dengan alat pipa keranjang pemotong. Alat ini
menggali, mengikis dan mengangkat kerikil atau lumpur dari dasar
sungai, danau atau kolam dan mengirimnya ke tempat/alat flotasi untuk
diproses. Material galian dicuci, disaring dan kandungan emas
diperoleh dengan cara konsentrasi gaya berat.
Sesuai fungsinya, dredgers dibagi menjadi:
- cutterhead dan suction pump (suction cutter dredgers);
- continuous bucket line atau bucket wheellevator;
- crane dan bucket (clamshell) atau shovel mekanik.
Peralatan yang digunakan secara umum dalam penambangan
endapan placer adalah bucket line dan suction - cutter dredgers
sedangkan clamshell dredgers karena jangkauannya terbatas, hanya
digunakan untuk menambang endapan kerikil lepas di bawah air.
113
Gambar 4.6
Metode Tambang Semprot pada penambangan emas aluvial
di Kabupaten Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah
(Koleksi : Pusat Sumber Daya Geologi)
115
Gambar 4.7
Pembuatan terowongan utama (Decline Main shaft) di Kencana,
Kabupaten Halmahera Utara, Provinsi Maluku Utara
(Koleksi : Pusat Sumber Daya Geologi)
Gambar 4.8
Pembongkaran bijih emas pada lobang tambang dengan menggunakan
pahat di Kabupaten. Lebak Provinsi Banten.
(Koleksi : Pusat Sumber Daya Geologi)
Gambar 4.9
Alat angkut bijih emas berupa Loader pada tambang bawah tanah
DOZ (PT. Freeport Indonesia Corp)
117
Gambar 4.10
Alat angkut bijih emas berupa lori yang ditarik lokomotif pada tambang
bawah tanah Cirotan, Cikotok, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
(PT. Aneka Tambang)
Gambar 4.11
Alat angkut bijih emas berupa gerobak dengan rel pada penambangan
rakyat dari tambang dalam di Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat
(Koleksi Pusat Sumber Daya Geologi)
Gambar 4.12
Alat angkut bijih emas berupa keranjang di lubang vertikal pada
penambangan rakyat dari tambang dalam di daerah Cineam,
Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat
(Koleksi Pusat Sumber Daya Geologi)
119
A. Penambangan Tanpa Penyanggaan
1. Penambangan Shrinkage dan Penambangan Ruang dan Pilar
Metode shrinkage stoping pada awalnya disebut vertical
stoping methods atau metode penambangan yang dilakukan pada
bijih yang berbentuk irisan mendatar, dibuat pada dasarnya dekat
bidang tegak dengan sudut lebih besar daripada sudut letak bijih
runtuhan. Sementara penambangan ruang dan pilar (room and pillar
mining) adalah penambangan bawah tanah dengan cara menyisakan
sebagian tubuh bijih sebagai pilar dengan jarak teratur untuk
menyangga atap. Pada prakteknya, metode penambangan tanpa
penyanggaan ini terbatas pada cebakan dengan karakteristik
tubuh bijih yang mendatar, tabular, relatif tipis dan seragam.
Gambar 4.13
Metode penambangan dengan membuat Lubang Tikus atau Gophering di
Tambang Sergio di Distrik Topo, Kabupaten Nabire, Provinsi Papua
(Koleksi : Pusat Sumber Daya Geologi)
Gambar 4.14
Lubang-lubang bekas penambangan di Gunung Pani,
Kabupaten Gorontalo, Provinsi Gorontalo.
(Koleksi : Pusat Sumber Daya Geologi)
121
B. Penambangan Dengan Penyanggaan
Metode tambang bawah permukaan dengan penyanggaan
terdiri atas beberapa metode. Penerapan metode ini membutuhkan
sejumlah besar penyanggaan buatan untuk memelihara bukaan
eksplorasi dan pengawasan secara sistematis menyeluruh suatu
tambang. Metode ini digunakan pada kondisi tertentu jika metode
tanpa penyanggaan dan caving methods tidak dapat diterapkan.
Dalam mendesain suatu sistem penyanggaan buatan diperlukan
evaluasi mengenai jumlah penyangga yang lebih baik berdasarkan
kapasitas struktur batuan alami. Pendekatan terbaik adalah cara
empiris yang berupa penunjukan kualitas batuan berdasarkan
evaluasi pemboran inti. Metode penambangan dengan
penyangga terdiri dari pelombongan gali-timbun (cut and fill
stoping), stull stoping, square set stoping. Pelombongan gali-
timbun dan stull stoping diterapkan pada batuan berkemampuan
(mempunyai kekuatan/kekerasan) menengah sedangkan square set
stoping untuk batuan yang relatif lunak.
C. Metode Ambrukan
Metode ambrukan (caving methods) didefinisikan sebagai
metode penambangan dengan cara membuat lubang bukaan yang
dilanjutkan dengan membuat ambrukan bijih, batuan penutup
atau keduanya secara bersamaan. Metode ini terdiri atas long wall
mining, sublevel caving dan block caving.
123
secara luas dan penambangan bukan batubara dengan peralatan
mekanis yang bergerak.
Gambar 4.15
Gambaran umum kegiatan Metode ambrukan bongkah (block caving)
di Deep Ore Zone (DOZ). (PT. Freeport Indonesia Corp)
3. Top Slicing
Top slicing adalah suatu cara penambangan bawah tanah
dengan pelombongan ambrukan yang diterapkan secara lapis
demi lapis dimulai dari bagian atas. Sumuran (shaft) dibuat
sepanjang lapisan-lapisan yang ditambang. Fungsinya sebagai
jalan lalulintas pekerja dan jalur pelepasan bijih (ore pass).
125
BAB 5
PENGOLAHAN
BAB 5
PENGOLAHAN
Gambar 5.1.
Diagram alir pengolahan emas
Tabel 5.1.
Ukuran Umpan dan Produk pada Proses Kominusi
Gambar 5.2.
Pembebasan mineral berharga (hitam) dari pengotornya (putih)
129
Gambar 5.3.
Jaw Crusher (Peremuk Rahang)
Gambar 5.4.
Gyratory Crusher
Gambar 5.5
Alat Ball Mill untuk penghalus ukuran butir
1. tempat pengumpan, 2. pengeluaran hasil, 3. gerigi penggerak ball mill
Umpan
(+)
Peremukan
(+)
(-)
Penggerusan
(-)
Produk
Gambar 5.6.
Diagram alir kominusi
131
5.2. Konsentrasi
Tahapan konsentrasi bertujuan meningkatkan kadar (kandungan)
emas pada material yang diolah sehingga dihasilkan konsentrat yang
akan menjadi umpan instalasi pemurnian. Metode yang umum
digunakan pada konsentrasi emas adalah konsentrasi gravitasi
(pemisahan gaya berat) dan flotasi.
Pendulangan (panning)
Cara ini umumnya dilakukan untuk endapan aluvial berukuran
pasir. Konsentrasinya dilakukan dengan cara memutar-mutar dan
menggerakkan dulang, sambil menggurangi umpan yang diisikan pada
dulang (Gambar 6.7).
Gambar 5.7.
Cara pendulangan
Pemalongan (sluicing)
Cara ini menggunakan alat palong (sluice box) yang berbentuk
talang, dipasang dengan kemiringan tertentu, dan bagian dasar-dalam
diberi sekat-sekat (riffles). Umpan dimasukkan dari bagian ujung yang
tinggi bersama dengan air yang alirannya diatur agar membentuk suatu
lapisan tipis material (flowing film). Pemisahan terjadi karena adanya
aliran air, perbedaan berat jenis, dan sekat yang menjadikan aliran air
membentuk eddi’s current, sehingga terjadi stratifikasi butiran, butiran
yang ringan di bagian atas dan yang berat di bagian bawah. Butiran
yang berada di atas terbawa oleh aliran ke ujung bagian bawah palong
sedangkan butiran yang tertahan oleh sekat menjadi konsentrat.
Gambar 5.8
Sluice box (palong)
Penjengkekan (Jigging)
Pada metode ini pemisahan partikel terjadi karena dorongan
berupa pulsion yang mendorong bed ke atas dan hisapan suction yang
menarik bed ke bawah, sehingga terbentuk stratifikasi butiran-butiran
umpan. Pada waktu suction kondisi bed mengarah tertutup, sedangkan
butiran emas dan butiran berat turun lebih cepat menerobos sela-sela
material bed. Dengan demikian butiran bahan galian yang ringan
terbawa oleh aliran fluida (air) menjadi tailing. Sedangkan butiran yang
berat terperangkap di bawah bed sebagai konsentrat.
Stratifikasi butiran bahan galian terjadi karena adanya efek
hindered settling (hindered settling classification) dan perbedaan
percepatan awal butiran bahan galian pada waktu jatuh (differential
acceleration). Pada waktu hindered settling, butiran yang sama, yang
lebih besar akan turun lebih dahulu. Jarak yang berat dengan yang
ringan akan makin jauh pada waktu terjadi suction. Tetapi pada waktu
pulsion, butiran kecil akan mudah menerobos sela-sela material bed,
mendahului yang butiran bahan galian yang besar, yang disebut
interstitial trickling.
133
Gambar 5.9.
Skema siklus proses pemisahan dengan jigging : (A) Pulsion, (B) Differential
acceleration, (C) Hindered settling, (D) Interstitial trickling
Gambar 5.10.
Skema pemisahan pada jig
Gambar 5.11.
Alat jig
Gambar 5.12.
Skema pemisahan mejang goyang
135
Gambar 5.13.
Posisi butiran pada riffle
Gambar 5.14.
Alat meja goyang
Gambar 5.15.
Pemisahan material pada spiral
Gambar 5.16.
Alat spiral concentrator
137
Heavy Media Separation
Heavy Media Separation (HMS) merupakan proses konsentrasi
yang bertujuan memisahkan mineral berat dari pengotornya yang
umumnya mineral ringan dengan menggunakan media pemisahan yang
memiliki berat jenis di antara berat jenis mineral yang dipisahkan.
Produk yang dihasilkan berupa apungan (float) dan endapan (sink).
Gambar 5.17.
Pemisahan mineral pada HMS
Gambar 5.18.
Skematik pemisahan pada HMS
Konsentrasi Flotasi
Konsentrasi flotasi merupakan pemisahan bijih emas dari
pengotornya dengan cara mengapungkan partikel bijih emas ke
permukaan melalui pengikatan oleh gelembung udara. Sifat permukaa
partikel-partikel bijih emas dibuat senang udara (aerofilik) sehingga
melekat pada gelebung udara (biuh) dan mengapung naik ke atas
sebagai konsentrat sedangkan partikel-partikel pengotor dijadikan
senang air (hidrofilik) sehingga tetap berada di dasar sel flotasi
membentuk tailing.
Proses flotasi melibatkan tiga fasa, yaitu fasa padat (mineral yang
akan dipisahkan), fasa cair dan fasa gas (udara). Proses terlepasnya
partikel-partikel bijih emas dari air dan melekat pada gelembung udara
berhubungan dengan tegangan permukaan air. Tegangan air tersebut
dirumuskan sebagai W s/a = Yw/a (1 – cosθ), yang mana Yw/a adalah
tegangan (energi) permukaan air dan udara, sedangkan θ adalah sudut
kontak antara gelembung dan butir bahan galian (partikel). Makin besar
sudut kontak, maka permukaan makin bersifat hidropobik dan semakin
mudah melekat (mengikatkan diri) pada gelembung udara.
Gambar 5.19.
Sudut kontak antara gelembung dan partikel dalam air
139
3. Frother (pembusa), yaitu suatu zat untuk menstabilkan
gelembung-gelembung udara dalam air, contohnya deterjen.
Gambar 5.20.
Sel flotasi
Gambar 5.21.
Sirkuit flotasi
5.3.1. Sianidasi
Sianidasi adalah metode pengolahan bijih emas berupa pelarutan
-
selektif emas menggunakan pelarut sianida (CN ), ditemukan oleh Mac
Arthur, Robert dan William Forest pada tahun 1889. Proses Sianidasi
terdiri dari dua tahap penting, yaitu proses pelarutan emas (pelindian)
dan proses pemisahan emas dari larutan kaya. Pelarut yang biasa
digunakan adalah NaCN, KCN, Ca(CN)2, atau campuran ketiganya.
Pelarut yang paling sering digunakan adalah NaCN karena mampu
melarutkan emas lebih baik dari pelarut lainnya. Secara umum reaksi
pelarutan emas (Au) dan perak (Ag) adalah sebagai berikut:
141
dilakukan pemekatan (thickening) dan selanjutnya difiltrasi. Padatan
dapat langsung dibuang ke pond atau diflotasi terlebih dahulu untuk
diambil galena dan sfaleritnya. Larutan kaya selanjutnya dipresipitasi,
dengan cara sebagai berikut.
Larutan kaya dilewatkan ke tangki klarifikasi, dideaerasi (udara
dikeluarkan dengan divakumkan sampai 15 cm Hg). Larutan diberi zinc
dust (powder) dan dialirkan melalui kantong presipitat. Maka terbentuk
presipitat emas dengan kadar sekitar 16 gram/kg.
Zn + NaAu (CN)2 + 2NaOH + H2O = NaOH + Na2Zn(CN)4 + Au
+ H2
Zn + NaAg (CN)2 + 2NaOH + H2O = NaOH + Na2Zn(CN)4 + Ag
+ H2
Penambahan serbuk seng tersebut diperkirakan 0,17 kg per ton bijih.
Gambar 5.22.
Proses sianidasi bijih emas dalam tangki sianidasi
Gambar 5.23.
Diagram alir pengolahan emas dengan cara sianidasi Merryl Crowe
Cara sianidasi yang lain adalah Carbon in Leach (CIL), cara ini
diterapkan untuk bijih yang mengandung banyak mineral lempung
sehingga mudah membentuk lumpur (slime). Pada metode ini proses
sianidasi dilakukan bersamaan dengan penyerapan karbon aktif, diikuti
pemisahan lumpur dan karbon. Lumpur sebagai tailing dipekatkan dan
dapat digunakan sebagai backfill ke lokasi penambangan dan sebagian
ke dam pembuangan. Sedangkan emas yang terserap pada karbon
dilepaskan dengan proses elution dan seterusnya dilakukan
electrowinning untuk dilebur menjadi bullion. Gambaran prosesnya
secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 6.24.
143
Gambar 5.24.
Diagram alir sianidasi dengan CIL
Gambar 5.25
Skema cara sianidasi onggok (Heap Leaching)
Gambar 5.26
Proses pengolahan dengan cara pelindian onggok (Heap Leaching) di
Kabupaten Bolaang Mongondow, Provinsi Sulawesi Utara
(Koleksi Pusat Sumber Daya Geologi)
145
5.3.2. Amalgamasi
Amalgamasi merupakan proses ekstraksi emas dengan cara
mencampur bijih emas dengan merkuri (air raksa). Metode ini cocok
untuk bijih tipe emas native (80-95% Au) dan electrum (50% Au)
dengan ukuran butir emas yang relatif kasar. Partikel-partikel emas dan
perak akan berikatan dengan merkuri membentuk amalgam (AuHg2,
Au2Hg, Au3Hg). Tahapan kerja yang biasa dilakukan adalah sebagai
berikut :
1) Penghilangan partikel halus berupa lumpur (desliming).
2) Penggerusan, pada tahap ini ke dalam alat penggerus (gelundung)
dimasukkan bahan-bahan berikut : air secukupnya sehingga
diperoleh 40%-50% padatan, bahan pengatur pH, batang
penggerus. Waktu penggerusan sekitar 6 jam.
3) Pengeluaran lumpur dan batang-batang penggerus.
3) Penambahan merkuri secukupnya, lalu gelundung diputar lagi
selama 2 jam.
4) Diperoleh produk amalgam basah dan tailing. Amalgam basah
ditampung selanjutnya didulang sehingga diperoleh amalgam yang
lebih bersih.
5) Fitrasi (pemerasan) amalgam dengan kain parasut untuk
memisahkan merkuri dari amalgam menghasilkan amalgam kering
dan merkuri. Merkuri ini dapat digunakan kembali untuk proses
amalgamasi.
7) Penggarangan amalgam, untuk memperoleh bullion emas.
8) Pemurnian dengan cara parting atau khlorinasi.
Gambar 5.28.
Diagram alir proses amalgamasi
147
Gambar 5.29
Proses penumbukan bijih emas dan pengerusan (bersamaan dengan
amalgmasi) di Cineam, Tasikmalaya, Jawa Barat
Gambar 5.30.
Pemerasan amalgam dan amalgam kering
Gambar 5.31.
Penggarangan amalgam dan bullion (campuran emas dan perak)
5.4. PEMURNIAN
Pemurnian adalah proses peningkatan mutu produk logam mentah
menjadi logam mendekati murni. Tahapan yang dilakukan adalah
elektrowinning, smelting dan refining.
Electrowinning adalah ekstraksi emas dan perak yang terdapat
pada larutan kaya (Pregnant Liquid Solution) hasil pelindian sianidasi
dengan cara mengendapkan logam tersebut dengan bantuan energi
listrik. Arus listrik searah dialirkan ke sistem sehingga terjadi reaksi
reduksi pada katoda dan oksidasi pada anoda.
+ -
Anoda : 2H2O = O2 + 4H + 4e
+ -
Katoda : Au + e = Au(s)
+ -
Ag + e = Ag(s)
Pada proses ini, emas dan perak akan mengendap pada katoda
sebagai cake yang dapat langsung dilebur. Pada proses ini juga
+
dilepaskan H yang membuat pH menjadi turun sehingga berisiko
mengasilkan gas HCN yang sangat berbahaya dan bersifat korosif
terhadap anoda, untuk itu larutan harus dijaga diatas pH 12,5.
Lumpur campuran emas dan perak (cake) selanjutnya dilebur
(smelting) pada temperatur 1200° C. Pada proses ini ditambahkan
boraks (Na2B4O7 .10H2O) sebagai fluks yang berfungsi mengikat
kotoran pengganggu sehingga lelehan logam (matte) akan berada di
bawah sedangkan bagian atas disebut terak (slag) akan ditangkap oleh
silika berupa semacam kaca yang mudah untuk dipecahkan. Produk
proses ini adalah dore bullion (paduan Au-Ag).
Gambar 5.32
Penampang sel electrowinning
149
Dore bullion selanjutnya dilakukan refining untuk mendapat emas
murni (99,99%). Metode yang umum dilakukan adalah electrorefining
dimana anoda yang digunakan berupa dore bullion dari hasil smelting,
elektrolit yang digunakan adalah larutan AgNO3. Pada proses ini emas
akan terbentuk pada katoda dan perak pada anoda. Akhirnya emas dan
perak tersebut dilebur membentuk emas batangan dan perak batangan.
Gambar 5.33.
Emas batangan PT Aneka Tambang
- Pembuangan Tailing
Titik Penaatan
- Emisi Udara
- Limbah Cair
- Limbah B3
LINGKUP PENGAWASAN Estuary
BAB 6
KONSERVASI
SUMBER DAYA MINERAL
BAB 6
KONSERVASI SUMBER DAYA MINERAL
Gambar 6.1
Peta lingkungan dan lokasi pengumpulan bijih kadar rendah (warna oranye)
daerah Gosowong, Provinsi Maluku Utara
(Koleksi Pusat Sumber Daya Geologi)
Gambar 6.2
Bijih emas berkadar rendah yang tertambang namun belum diolah,
sementara disimpan pada stock pile dengan kadar emas 2,78 ppm pada tipe
urat di daerah Gosowong, Kabupaten Halmahera Utara,
Provinsi Maluku Utara
(Koleksi Pusat Sumber Daya Geologi)
153
Gambar 6.3
“East Dump” sebagai lokasi penyimpanan bijih emas berkadar rendah yang
ikut tertambang di Batu Hijau, Provinsi Nusa Tenggara Barat
(Koleksi Pusat Sumber Daya Geologi)
Gambar 6.4
Model Penampang Final Pit Toguraci AMD 9550 N, Kabupaten Halmahera
Utara. (Koleksi Pusat Sumber Daya Geologi)
Gambar 6.5
Sumber daya tertinggal yang belum terganggu keberadaannya berupa bijih
emas (urat kuarsa) di Gosowong, Kabupaten Halmahera Utara, Provinsi
Maluku Utara. (Koleksi Pusat Sumber Daya Geologi)
155
6.3. Mineral Lain
Mineral lain adalah sumber daya mineral yang berada di
wilayah izin usaha pertambangan, namun tidak termasuk mineral
utama yang diusahakan. Beberapa mineral lain yang dapat hadir di
dalam wilayah pertambangan emas antara lain pasir kuarsa, pasir
batu dan kaolin.
Pada cebakan emas aluvial umumnya pasir kuarsa dan pasir
batu berbagai ukuran merupakan mineral lain yang dapat
dimanfaatkan.
Gambar 6.6
Pasir kuarsa sebagai mineral lain pada pertambangan emas aluvial di Muara
Bungo.(Koleksi Pusat Sumber Daya Geologi)
Gambar 6.7
A). Batu cincin bahan dari fragmen silika cebakan emas aluvial, (B).
Fragmen silika pada cebakan emas aluvial, Cempaka, Martapura, Kalsel.
(Koleksi Pusat Sumber Daya Geologi)
Gambar 6.8
Pengolahan tailing endapan emas aluvial untuk memperoleh magnetit dan
ilmenit (gumang (istilah setempat)) di Monterado, Kabupaten Sanggau,
Provinsi Kalimantan Barat (Koleksi Pusat Sumber Daya Geologi)
6.5. Tailing
Ampas (Tailing) adalah bagian dari hasil pemrosesan mineral
dengan sistem pengolahan tertentu yang tidak dikehendaki karena
dianggap sudah tidak mengandung mineral berharga lagi. Namun,
mengingat perolehan pengolahan yang tidak mencapai 100% maka
masih memungkinkan terdapat emas di dalam tailing tersebut, oleh
karena itu saat ini relatif banyak kegiatan yang dilakukan oleh
masyarakat untuk memperoleh kembali emas yang terbuang di
dalam tailing.
157
Pengolahan tailing yang dilakukan dapat dibedakan
berdasarkan tipe cebakan emasnya. Berikut ini pengolahan tailing
yang dilakukan pada beberapa tempat di Indonesia.
Gambar 6.9
Tailing yang dimasukkan ke dalam sluice box kemudian didulang untuk
memperoleh logam berat dan amalgam di Selogiri, Kabupaten Wonogiri,
Provinsi Jawa Tengah (Koleksi Pusat Sumber Daya Geologi)
Gambar 6.10
Tailing yang diolah kembali dengan cara amalgamasi untuk memperoleh
emas yang terbuang pada pengolahan sebelumnya,
di Buladu, Kabupaten Gorontalo, Provinsi Gorontalo
(Koleksi Pusat Sumber Daya Geologi)
Gambar 6.11
Masyarakat mendulang tailing untuk mendapatkan merkuri yang terbuang
pada saat pengolahan, di Buladu, Kabupaten Gorontalo, Provinsi Gorontalo
(Koleksi Pusat Sumber Daya Geologi)
159
Gambar 6.12
Proses sianidasi terhadap tailing amalgamasi yang dikerjakan oleh PETI di
Desa Ake Sahu, Kecamatan Malifut,
Kabupaten Halmahera Utara, Provinsi Maluku Utara
(Koleksi Pusat Sumber Daya Geologi)
Gambar 6.13
Pengolahan tailing PT.Freeport oleh rakyat dengan menggunakan
sluice box di Sungai Otomona, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua
(Koleksi Pusat Sumber Daya Geologi)
161
Gambar 6.14
Tailing dari penambangan emas aluvial dimasukkan ke dalam sluice box
kemudian di dulang untuk memperoleh mineral zircon, di Kabupaten
Kotawaringin Timur, Provinsi Kalimantan Tengah
(Koleksi Pusat Sumber Daya Geologi)
163
164
Emas
Di Indonesia
Geologi, Eksplorasi dan Pemanfaatannya
Gambar 6.15
Lingkup pengawasan lingkungan hidup yang dilakukan pada PT. Freeport Indonesia Corporation
(Sumber Kementerian Lingkungan Hidup)
Bab 6 Konservasi Sumber Daya Mineral
6.8. Reklamasi
Reklamasi adalah kegiatan yang bertujuan memperbaiki atau
menata kegunaan lahan yang terganggu sebagai akibat kegiatan
usaha pertambangan, agar dapat berfungsi dan berdaya guna
sesuai peruntukannya.
Kegiatan pertambangan merupakan kegiatan usaha yang
kompleks dan sangat rumit, sarat resiko, merupakan kegiatan usaha
jangka panjang, melibatkan teknologi tinggi, padat modal, dan aturan
regulasi yang dikeluarkan dari beberapa sektor. Selain itu, kegiatan
pertambangan mempunyai daya ubah lingkungan yang besar,
sehingga memerlukan perencanaan total yang matang sejak tahap
awal sampai pasca tambang. Pada saat membuka tambang, sudah
harus tahu bagaimana menutup tambang. Rehabilitasi/reklamasi
tambang bersifat progresif, sesuai rencana tata guna lahan pasca
tambang
Salah satu kegiatan pengakhiran tambang, yaitu reklamasi,
yang merupakan upaya penataan kembali daerah bekas tambang
agar bisa menjadi daerah bermanfaat dan berdayaguna. Reklamasi
tidak berarti akan mengembalikan seratus persen sama dengan
kondisi rona awal. Sebuah lahan atau gunung yang dikupas untuk
diambil isinya hingga kedalaman ratusan meter bahkan sampai
ribuan meter, walaupun sistem gali timbun (back filling) diterapkan
tetap akan meninggalkan lubang besar seperti danau (Herlina,
2004).
Teknik rehabilitasi meliputi regarding, reconturing, dan
penanaman kembali permukaan tanah yang tergradasi,
penampungan dan pengelolaan racun dan air asam tambang (AAT)
dengan menggunakan penghalang fisik maupun tumbuhan untuk
mencegah erosi atau terbentuknya AAT. Permasalahan yang perlu
dipertimbangkan dalam penetapan rencana reklamasi meliputi :
o Pengisian kembali bekas tambang, penebaran tanah pucuk dan
penataan kembali lahan bekas tambang serta penataan lahan
bagi pertambangan yang kegiatannya tidak dilakukan pengisian
kembali
o Stabilitas jangka panjang, penampungan tailing, kestabilan
lereng dan permukaan timbunan, pengendalian erosi dan
pengelolaan air.
o Keamanan tambang terbuka, longsoran, pengelolaan B3 dan
bahaya radiasi
165
o Karakteristik fisik kandungan bahan nutrient dan sifat beracun
tailing atau limbah batuan yang dapat berpengaruh terhadap
kegiatan revegetasi
o Pencegahan dan penanggulangan air asam tambang, potensi
terjadinya AAT dari bukaan tambang yang terlantar, pengelolaan
tailing dan timbunan limbah batuan (sebagai akibat oksidasi
sulfida yang terdapat dalam bijih atau limbah batuan)
o Penanganan potensi timbulnya gas metan dan emisinya dari
tambang batubara (Karliansyah, 2001).
o Sulfida logam yang masih terkandung pada tailing atau waste
merupakan pengotor yang potensial akan menjadi bahan toksik
dan penghasil air asam tambang yang akan mencemari
lingkungan, pemanfaatan sulfida logam tersebut merupakan
salah satu alternatif penanganan. Demikian juga kandungan
mineral ekonomi yang lain, diperlukan upaya pemanfaatan.
o Penanganan/penyimpanan bahan galian yang masih potensial
untuk menjadi bernilai ekonomi baik dalam kondisi in-situ,
berupa tailing atau waste.
Gambar 6.16
Pengurugan kembali bekas tambang emas di Wetar
(Koleksi Pusat Sumber Daya Geologi)
Gambar 6.17
Situasi PIT Midas sebelum direklamasi (kiri) dan setelah direklamasi (kanan)
di Gosowong, Kabupaten Halmahera Utara, Provinsi Maluku Utara
(Koleksi Pusat Sumber Daya Geologi)
167
Tabel 7.1. Lokasi Sumber Daya dan Cadangan Emas di Pulau Sumatera
2 Uluala Hulu Sumatera Utara Eksplorasi 490.000 770.000 Kadar 1,5 - 2,3 gr/ton Au
3 Ramba Joring Sumatera Utara Eksplorasi - 4.640.000 33.710.000 - - Kadar 1,0 gr/ton Au
G-Resources Ore Reserve
Explanatory Notes as at 28
4 Pit 1 Sumatera Utara Eksplorasi - 41.240.000 36.440.000 4.360.000 30.600.000 4.400.000 Kadar 1,3 - 3,1 gr/ton Au
October 2013
5 Barani Sumatera Utara Eksplorasi 6.600.000 10.300.000 4.500.000 Kadar 1,0 dan 1,6 gr/ton Au
6 Sihayo 1 North Sumatera Utara Eksplorasi Rinci - 1.100.000 8.500.000 - Kadar 2,3-3g/t Au Sihayo Gold, Annual Report
2010
7 Sambung Sumatera Utara Eksplorasi Rinci - 1.100.000 - Tipe urat dengan kadar 2,6 gr/ton
Au
8 Pagaran Siayu Sumatera Utara Prospeksi - 65.000 - - - - Bj.terdpt diantara btgamping & Van Bemmelen, R.W. 1949,
granit dengan kadar 9,2 gr/ton Au, The Geology of Indonesia,
3,63% Cu sebagai mineral ikutan vol.II, p.-150
9 Balimbing Sumatera Barat Eksplorasi Rinci - - - 75.000 - - Ditambang tahun 1931-1934 dan Laporan tahunan P2K Subdit
kadar 6,6 gr/t Au dan 4,5 gr/t Ag Konservasi T.A. 2005
10 Mangani Sumatera Barat Eksplorasi Rinci - - - 900.000 - - Th 1912-1913 : 550,2 kg Au, Sumatra Minjnen Syndicaat
237.139 kg Ag dengan kadar 6.5
gr/ton Au, 265 gr/ton Ag.
11 Daerah Pulau Punjung Sumatera Barat Eksplorasi Rinci - - - 18.697 - - Pernah ditambang th 1917-1918
dengan kadar 2,534 gr/ton Au
12 Kinandam Sumatera Barat Eksplorasi Rinci - - - 6.000 - - Pernah ditambang th 1917-1918 Kinandam Sumatra Mining
dan dengan mineral ikutan perak, Co
Au : Ag = 1 : 2
13 Salida Sumatera Barat Eksplorasi Rinci - - - 579.000 - - Pernah ditambang th 1914-1928 Kinandam Sumatra Mining
dan dengan mineral ikutan perak, Company
Au : Ag 1 : 36
14 Daerah Batangkapas Sumatera Barat Eksplorasi Rinci - - - 106.000 - - Ditambang tahun 1935-1940 dan
dengan mineral ikutan perak, Au :
Ag 1 : 10
15 S. Gembir, S. Jambi Prospeksi Kadar tidak diketahui, Lokasi PETI Lap. Tahunan Konservasi
Mengkuang, T.A. 2004
Tambangcucur, S. Benit
16 Ampar Tengah Jambi Eksplorasi - 3.000.000 - - - - Urat bx Hidrothermal, kadar 1 - 4,5 PT. Target Mas Perdana,
g/t Au 1999
BAB 7
KETERDAPATAN EMAS
DI INDONESIA
BAB 7
KETERDAPATAN EMAS DI INDONESIA
Gambar 7.2. Peta sebaran sumber data cebakan emas berdasarkan tipe
mineralisasinya di Indonesia
(Koleksi : Pusat Sumber Daya Geologi)
7.1. Sumatera
Di Sumatera, lokasi sumber daya dan cadangan bijih emas
primer dijumpai di beberapa provinsi: Aceh, Sumatera Utara,
171
Sumatera Barat, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu dan Lampung,
sedangkan emas plaser dijumpai di Provinsi Riau, Provinsi Sumatera
Barat dan Provinsi Jambi.
Di Provinsi Aceh, mineralisasi emas dijumpai di Miwah,
Kabupaten Aceh Utara, Aceh Barat, Kabupaten Aceh Tengah dan
Kabupaten Aceh Tenggara berupa sistem emas epitermal sulfidasi
tinggi dengan sumber daya tertunjuk 20.000.000 ton dan kadar Au
0,28 - 3,36 gr/ton. Kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan sampai
Desember 2010 menunjukkan dua komponen mineralisasi, yaitu
zona tabular yang tebal dan luas (Miwah Main Zone) dan zona
breksi vertikal (South Miwah Bluff). Selain itu ditemukan pula
endapan plaser di Sungai Woyla dengan sumber daya terukur
18.276.720 ton bijih berkadar Au 287 mg/ml dan sumber daya tereka
15.000.000 ton bijih, kadar Au 196 mg/ml. Selain lokasi yang sudah
memiliki data sumber daya dan cadangan, beberapa lokasi indikasi
mineralisasi emas juga terdata. Di Kabupaten Aceh Besar indikasi
mineralisasi dijumpai seperti : Di Pulau Brueh Kecamatan Pulo Aceh
bersama dengan mineralisasi malakhit, kalkopirit dan azurit pada
urat kuarsa pada Diorit Raya. Hasil analisis menunjukkan kadar Au
32 ppm, Ag 110 ppb dan Cu 6800 ppm, di Pulau Nasi Kecamatan
Pulau Aceh dengan mineralisasi pirit yang terdapat pada conto
batuan meta sedimen. Hasil analisis menunjukkan kadar 34 ppb Au,
60 ppb Ag dan 0,18 ppm Cu. Di Kabupaten Aceh Barat indikasi
mineralisasi emas ditemukan di dua daerah prospek sebagai berikut
:
Prospek Beutong di Kecamatan Beutong dengan ciri mineral
sulfida jenis pirit dengan kadar emas mencapai 0,13 ppm dan
1,14 % Cu. Mineralisasi terjadi pada batuan intrusi teralterasi kuat
dengan ubahan mineral potasik dan magnetit.
Prospek Krueng Tadu di Kecamatan Krueng Tadu mineralisasi
sulfida jenis pirit pada batuan ofiolit dengan kadar emas
mencapai 0,15 ppm, 1,015 % Cu, 194 ppm PB dan 1,27% Zn.
Prospek Woyla adalah endapan emas aluvial Aratutut dengan
sumber daya terindikasi mencapai 32.250.000 ton dengan kadar
3
196 mg/m .
Prospek Calang, Kecamatan Sungai Mas adalah endapan pirit
pada urat kuarsa yang berasosiasi dengan malakhit, azurit, bornit
dan pirit dengan kadar Au 70 ppb, Ag 0,5 ppm, Cu 0,17 ppm dan
Pb 21 ppb.
173
juga terdapat di Sungai Abubulu Kiri dan Sungai Kaban Surau,
Sungai Emas, Sungai Pingping dan Bangkinang.
Emas primer di Jambi terdapat di Kabupaten Merangin dan
Kabupaten Bungo. Di Kabupaten Merangin mineralisasi emas
dijumpai di 3 lokasi, yaitu Ampar Tengah Mentenang Tengah dan
Kesisih Kiri, masing-masing berupa urat breksi hidrothermal, kadar
Au 1 - 4,5 g/t, urat lebar 2 m, kadar Au 20 g/ton dan urat dan
stockwork, kadar Au 0,52 g/ton.
Di Sumatera Selatan, mineralisasi emas oksida dijumpai di
Kecamatan Karangjaya dan Kecamatan Rawas Ulu Kabupaten Musi
Rawas dengan total sumber daya hipotetik 32.448.000 ton bijih dan
kandungan emas 6 juta ton. Sedangkan zona oksida dijumpai pada
C9 Tiris (Desa Muara Tiku, Desa Pulau Kidak) dengan sumber daya
bijih tertunjuk 7.740.000 ton dan kadar 0,28 gr/ton Au. Prospek
lainnya adalah Tembang dan Belinau dengan tipe epitermal sulfidasi
intermediate dengan total sumber daya 24.040.000 ton dan kadar Au
1,81-2,38 g/t
Di Bengkulu, emas ditemukan dengan model cebakan
berasosiasi dengan perak sulfida rendah epitermal seperti di
Kabupaten Rejang Rebong (diusahakan oleh perusahaan dengan
produksi 550 kg/ton). Produksi emas di Lebong Simpang, Lebong
Sulit dan Lebong Donok masing-masing sebesar 0,06 kg/ton (Tahun
1912 - 1925), 7 ton (Tahun 1903 - 1918) dan 42 ton. Emas di
Lebong Simau berupa emas sulfida rendah epitermal dengan
sumber daya terukur sebesar 260.000 ton bijih, sedangkan di daerah
Air Nokan, Air Pasang dan daerah Tambang Sawah mempunyai
sumber daya terukur 267.000 ton bijih dan kadar Au 9.73-13.83
g/ton.
Di Provinsi Lampung, emas primer terdapat di Kabupaten
Lampung Selatan dan Kabupaten Tanggamus. Mineralisasi di
daerah Way Linggo dan Way Semung, Kabupaten Tanggamus
menunjukkan sumber daya bijih tertunjuk, sumber daya bijih terukur
dan cadangan bijih terkira masing-masing 127.000 ton, 93.000 ton
dan 334.000 dengan kadar rata-rata Au 8,44 g/t. Emas di
Blambangan Ompu berkadar Au 2,6 g/ton dengan jumlah cadangan
6.000 ton bijih. Jumlah sumber daya terukur emas plaser
Blambangan Ompu adalah 182.587 ton bijih dan sumber daya
terindikasi 350.000 ton bijih dengan kadar Au 2,6 g/ton.
Aceh Barat,
Kadar Au 0,94 gr/ton. high
Aceh Utara, May 2011, East Asia
1 Miwah Aceh Eksplorasi 99.100.000 4.900.000 - - sulphidation epithermal
Aceh Tengah, - - Minerals Corporation
gold prospect
Aceh Tenggara
Berdasarkan studi
kelayakan th 1985 dengan Study Kelayakan PT.
2 Lebong Tandai Bengkulu Bengkulu Utara Eksplorasi Rinci - - 310.900 -
- - kadar Au 11 gr/ton, Ag 436 Billiton 1985
gr/ton.
Kadar tidak ada data, Dinas ESDM bengkulu
3 Air Nora Bengkulu Bengkulu Utara Prospeksi 400.000 - - -
- - Lokasi PETI 2002
Kadar tidak ada data, Dinas ESDM bengkulu
4 Karang Suluh Bengkulu Bengkulu Utara Prospeksi 300.000 - - -
- - Lokasi PETI 2001
Pernah ditambang th 1910-
1940, dengan mineral
5 Lebong Simau Bengkulu Rejang Lebong Eksplorasi Rinci - - 260.000 - -
- - ikutan perak, Au : Ag = 1 :
14
175
176
Emas
SUMBER DAYA BIJIH ( ton ) CADANGAN BIJIH (ton)
TINGKAT
No LOKASI PROPINSI KABUPATEN KETERANGAN SUMBER DATA
PENYELIDIKAN
HIPOTETIK TEREKA TERTUNJUK TERUKUR TERKIRA TERBUKTI
Di Indonesia
Aluvial dengan kadar
12 Daerah Pauh Jambi Sarolangun Eksplorasi Rinci - - 51.254 - -
- - Au=354,46 mg/m3
S. Gembir, S.
Mengkuang, Kadar tidak diketahui, Lap. Tahunan Konservasi
19 Jambi Bungo Prospeksi - - - -
Tambangcucur, - - Lokasi PETI T.A. 2004
S. benit
Lampung
33 Napal Lampung Eksplorasi rinci - - - 86.975 Kadar Au 9,23 gr/ton -
Selatan - -
Putih Doh,
34 Lampung Tanggamus Eksplorasi 190.250 82.998 53.135 - Kadar Au rata-rata 6 g/t I d e m
Cukuh Balak - -
Kedongdong,
Lampung Dengan kadar Au 33,4
35 Desa Babakan Lampung Eksplorasi Rinci - - 49.786 - -
Selatan - - gr/ton
Los
Aluvial dengan kadar
36 S. Sengingi Riau Kampar Eksplorasi Rinci - - 59.470.542 - -
- - Au=0,28 gr/m3
Kuantan
37 Logas Riau Survey Tinjau - - - - aluvial Au= 20 mg/m3 KPP Konservasi 2008
Sengingi 31.250.000 -
38 Pulau Padang Riau Kuantan Singingi Survey Tinjau - - - - aluvial Au= 200 mg/m3 KPP Konservasi 2008
25.000.000 -
Bab 7 Keterdapatan Emas di Indonesia
177
178
Emas
SUMBER DAYA BIJIH ( ton ) CADANGAN BIJIH (ton)
TINGKAT
No LOKASI PROPINSI KABUPATEN KETERANGAN SUMBER DATA
PENYELIDIKAN
HIPOTETIK TEREKA TERTUNJUK TERUKUR TERKIRA TERBUKTI
Di Indonesia
Kuantan Hulu- Kuantan
41 Riau Eksplorasi Rinci - - - - <Null> PT. Miracle, 2010
Singingi Sengingi - -
www.sumatracoppergold.c
Sumatera Internediated suffidation
59 Belinau Musi Rawas Eksplorasi 67.000 139.000 132.000 - om, ASX Announcement 4
Selatan - - epitermal Au 7,3 s.d. 9,7 g/t
December 2013
179
180
Emas
SUMBER DAYA BIJIH ( ton ) CADANGAN BIJIH (ton)
TINGKAT
No LOKASI PROPINSI KABUPATEN KETERANGAN SUMBER DATA
PENYELIDIKAN
HIPOTETIK TEREKA TERTUNJUK TERUKUR TERKIRA TERBUKTI
www.sumatracoppergold.c
Sumatera Internediated suffidation
61 Asmar Musi Rawas Eksplorasi 1.547.000 1.606.000 - - om, ASX Announcement 4
Selatan - - epitermal Au 1,2 s.d. 1,4 g/t
December 2013
Di Indonesia
Internediated suffidation www.sumatracoppergold.c
Sumatera
62 Buluh Musi Rawas Eksplorasi 302.000 236.000 109.000 - epitermal Au 2,3 s.d. 3,98 om, ASX Announcement 4
Selatan - -
g/t December 2014
G Resources Mineral
Sumatera
63 Uluala Hulu Tapanuli Selatan Eksplorasi 500.000 800.000 - - Kadar Au 1,5 - 2,3 gr/ton Resources Explanatory
Utara - -
Notes as at 30 Juni 2013
G Resources Mineral
Sumatera
64 Tor Uluala Tapanuli Selatan Eksplorasi 31.500.000 - - - Kadar Au 0,9 g/t Resources Explanatory
Utara - -
Notes as at 30 Juni 2013
G Resources Mineral
Sumatera
65 Ramba Joring Tapanuli Selatan Eksplorasi 4.640.000 33.710.000 - 5.200.000 Kadar Au 1,0 gr/ton Resources Explanatory
Utara - -
Notes as at 30 Juni 2013
G Resources Mineral
Sumatera
66 Pit 1 Tapanuli Selatan Eksplorasi Rinci 31.400.000 67.600.000 5.000.000 37.400.000 4.400.000 Kadar Au 1,3 - 3,1 gr/ton Resources Explanatory
Utara -
Notes as at 30 Juni 2013
G Resources Mineral
Sumatera
67 Purnama Timur Tapanuli Selatan Eksplorasi - - - 800.000 Kadar Au 1,3 - 1,5 g/t Resources Explanatory
Utara - -
Notes as at 30 Juni 2013
G Resources Mineral
Sumatera Kadar Au 1,0 dan 1,6
G Resources Mineral
Sumatera
69 Horas Tapanuli Selatan Eksplorasi 15.700.000 - - - Kadar Au 0,8 g/t Resources Explanatory
Utara - -
Notes as at 30 Juni 2013
Jumlah
88.698.000 232.946.081 203.235.554 197.603.172 56.572.935 4.400.000
181
182
Emas
Di Indonesia
Geologi, Eksplorasi dan Pemanfaatannya
Gambar 7.3. Peta Lokasi Keterdapatan Bijih Emas di Pulau Sumatera
Bab 7 Keterdapatan Emas di Indonesia
7.2. Jawa
Selain di Cikotok dengan model cebakan sediment-hosted
emas di Pulau Jawa terdapat juga ada yang berasosiasi dengan Ag-
epithermal low sulfidation. Umumnya, emas di Jawa bagian barat
mempunyai tipe cebakan yang berasosiasi dengan perak-kuarsa
adularia dan umumnya telah memiliki data sumber daya/cadangan.
Model-model tersebut terdapat di Garut, Lebak, Sukabumi,
Tasikmalaya, Cianjur, Subang-Cariu, Papandayan dan Soreang.
Sedangkan di Jawa Tengah, mineralisasi emas terdapat di Kulon
Progo, Wonogiri dan Sragen yang berasosiasi dengan kuarsa sulfida
rendah. Endapan plasernya terdapat di Sungai Serayu, Banyumas;
Sungai Tuntang sekitar Demak dan Sorogedug, Piyungan. Emas di
Jawa Timur, terdapat di Pacitan, Trenggalek, Ponorogo dan
Banyuwangi.
Cebakan bijih emas yang sudah memiliki sumber
daya/cadangan yang signifikan di Jawa Barat dijumpai diantaranya
di Pongkor, Cibaliung, dan Papandayan. Di Jawa Tengah sumber
daya mineral emas hanya dijumpai di Prospek Noyu-Ngrandon,
Sragen berasosiasi dengan perak dan logam dasar. Sumber daya
bijih emas di Jawa Timur yang signifikan dijumpai di Tumpangpitu-
Banyuwangi berupa cebakan tipe porfiri dan zona oksida dan
ditemukan bersama-sama dengan tembaga dengan kandungan 0,2
gr/t Au.
183
184
Tabel 7.2. Lokasi Sumber Daya dan Cadangan Emas di Pulau Jawa
Emas
SUMBER DAYA BIJIH ( ton ) CADANGAN BIJIH (ton)
TINGKAT
No LOKASI PROPINSI KABUPATEN KETERANGAN SUMBER DATA
PENYELIDIKAN
HIPOTETIK TEREKA TERTUNJUK TERUKUR TERKIRA TERBUKTI
Cikoneng- Vein tipe, Ag 8,1 g/t, 9,6 g/t & Annual Report 2007
1 Banten Pandeglang Eksplorasi Rinci 263.000
Cibitung - 286.000 129.000 - - 12,0 g/t (AUSTINDO)
Di Indonesia
Antam Annual
2 Cibaliung Banten Pandeglang Eksplorasi Rinci - Vein tipe, Au 4,17 - 5,8 g/ton Report 2012 (31
- 35.000 - 390.000 1.980.000
Desember 2012)
KPP Konservasi
23 Porong Jawa Timur Sidoarjo Prospeksi - Lumpur lapindo, Au = 5,37 mg/t.
46.159.500 - - - - 2007
Van Bemmelen,
Berupa urat kuarsa mengisi R.W. 1949, The
24 Kasihan Jawa Timur Pacitan Eksplorasi Rinci - rongga dalam dasit dengan Geology of
- - 10.000 - -
kadar Cu 15%,Au 25ppm, Indonesia,
vol.II,p.104 - 136
Prospek
25 Jawa Timur Ponorogo Prospeksi - Zona silisifikasi 5,96 g/t Au. ANTAM 2001
Sombro - 142.500.000 - - -
Prospek
26 Jawa Timur Ponorogo Prospeksi - Zona urat kuarsa 1,83 g/t Au. -
Serayu - 1.500.000 - - -
185
186
Emas
SUMBER DAYA BIJIH ( ton ) CADANGAN BIJIH (ton)
TINGKAT
No LOKASI PROPINSI KABUPATEN KETERANGAN SUMBER DATA
PENYELIDIKAN
HIPOTETIK TEREKA TERTUNJUK TERUKUR TERKIRA TERBUKTI
Di Indonesia
Tumpangpitu
28 (Zona Jawa Timur <Null> Eksplorasi Rinci - - -
- 130.000.000 - - -
Oksida)
Jumlah 24.796.890
46.722.926 1.987.035.743 7.255.098 2.617.300 3.761.800
Jumlah
Sumber
Daya : 2.065.810.656 ton
Jumlah Cadangan : ton
6.379.100
187
7.3. Nusa Tenggara
Lombok, Sumbawa, Flores, sampai Alor di Nusa Tenggara
mempunyai daerah-daerah yang mengandung emas dengan
berbagai tipe.
Di Lombok, prospek mineralisasi dijumpai di Lombok bagian
barat, salah satu lokasi yang telah memiliki data sumber daya adalah
Prospek Pelanggan yang terdiri dari Urat Simba, kayu Putih dan
Tanjung dengan kadar rata-rata 2,69 gr/ton Au.
Di Sumbawa, dijumpai 2 tipe cebakan emas yang telah memiliki
sumber daya/cadangan, yaitu emas profiri di Batu Hijau dengan
kadar 0,09 - 0,04 g/ton Au dan 23 g/ton Ag dan emas tipe epitermal
di Dodo dengan kadar 0,5 gr/ton Au.
Watu Asah dan Tebedo merupakan lokasi prospek mineralisasi
emas di Flores yang telah mempunyai data sumber daya. Tipe
cebakan di Tebedo adalah stratiform silica-barite zone, dengan
kadar 3 g/ton Au dan 2% Zn.
Tabel 7.3
Keterdapatan Bahan Galian Emas di Kepulauan Nusa Tenggara
1 Pelangan Nusa Tenggara Lombok Barat Simba vein o,291543 Ton, Kayu
Barat Putih dan Tanjung , dengan kadar
2,69 gr/ton
6 Teluk Santong Nusa Tenggara Sumbawa Kadar Au 0,29 ppm - 0,593 ppm
dan Olat Tanah Barat
Merah
7 Watu Asah Nusa Tenggara Manggarai Barat Kadar 2 g/t Au
Timur
9 Wae Dara Nusa Tenggara Manggarai Barat Tipe Kuroko, Au 0,9 g/t
Timur
189
7.4. Kalimantan
Di Kalimantan setidaknya terdapat tiga jalur gunung api tua atau
dikenal sebagai volcanic corridor yang membentang dari
Singkawang, Matan dan Pegunungan Meratus ke arah Kalimantan
Timur. Ketiga koridor itu bertemu dan merentang bersama-sama
sampai ke Berau. Sangat mungkin ketiganya menyebar di bawah
batuan sedimen muda yang kaya minyak, gas bumi dan batubara.
Karena mengalami erosi, batuan vulkanik pembawa emas yang
berumur relatif tua (6-8 juta tahun yang lalu) yang tadinya terdapat
pada kedalaman ± 200 meter muncul ke permukaan, sehingga tidak
perlu menambang terlampau dalam.
Bekas-bekas gunung api tua, terutama yang berbentuk kaldera
merupakan indikasi pertama terdapatnya emas. Sampai saat ini,
cebakan emas pada Koridor Singkawang diketahui terdapat di
wilayah Distrik Cina, Daerah Melawi, daerah Putusibau, Masuparia,
Karihun-Long Nawan dan Berau. Pada Koridor Ketapang, emas
ditemukan di daerah Schwaner, Kahayan, Mahakam dan Kutai
sedangkan pada koridor Meratus ditemukan di daerah Martapura
dan Kendilo. Lokasi-lokasi yang sudah dikembangkan lebih jauh
seperti Muyup, Kelian, Indo Muro, Masuparia, Ampalit dan
sebagainya merupakan buktibukti kekayaan emas di Kalimantan.
Selain cebakan emas primer, endapan emas plaser juga mempunyai
potensi yang hampir sama jumlah sebarannya dibandingkan dengan
cebakan emas primer, terutama di Kalimantan Barat dan Kalimantan
Tengah.
Di Kalimantan Barat, emas aluvial dijumpai di beberapa
kabupaten, Bengkayang, Sambas, Sanggau, Sintang, Melawi,
Sekadau, Kapuas Hulu dan Ketapang. Daerah Sungai Alur,
Kecamatan Sepauk Kabupaten Sekadau merupakan daerah prospek
yang telah memiliki status cadangan. Daerah-daerah lainnya
umumnya dikelola oleh penambang lokal, sehingga data yang
tersedia masih berupa sumber daya. Hanya satu lokasi potensi
emas primer yang terdata di Kalimantan, yaitu di daerah Tekalong,
Sanggau yang merupakan cebakan tipe epitermal.
Di Kalimantan Tengah beberapa perusahaan melakukan
kegiatan eksplorasi emas primer dengan status perizinan kontrak
karya di Kabupaten Gunung Mas, Kabupaten Kapuas, Kabupaten
Murung Raya, sehingga data hasil kegiatan eksplorasi dapat
dipantau secara akurat. Salah satu daerah mineralisasi yang
menarik adalah Prospek Ongkang dan Prospek Rina di daerah
Kabupaten Kapuas yang mempunyai tipe mineralisasi yang berbeda,
yaitu epitermal urat dengan kadar 12,5 g/t Au dan porfir dengan
kandungan 0,5 g.t Au. Selain cebakan primer, endapan emas aluvial
yang dikelola dengan status perizinan kontrak karya juga dijumpai di
Kabupaten Kotawaringin Barat, dan beberapa lokasi prospek sudah
memiliki data cadangan, seperti Sungai Riis dan Sungai Seribu.
Emas primer Kalimantan Selatan terdapat di daerah Kabupaten
Tanah Laut dan Kabupaten Kotabaru. Endapan emas plaser hanya
dijumpai di Cempaka dengan jumlah sumber daya tereka 30.000.000
3
ton dan kadar Au 80 mg/m .
Indikasi emas primer Kalimantan Timur dijumpai di Berau,
Nunukan, Long Apari, Long Pahang, Long Bangun, Tabang, Long
Iram, Ancalong, clan Muara Kolam; sedangkan emas plasernya
terdapat di Sungai Marah dan Telen dengan (sumber daya hipotetik
3
52.500.000 ton dan kadar Au 120 mg/m ), Kabupaten Kutai
(6.071.970, 83 ton, kadar Au 0,36 g/ton), Kabupaten Kutai (dengan
3
jumlah sumber daya terukur 4.200.000 ton, kadar Au 28 g/m ).
191
192
Tabel 7.4. Keterdapatan Bahan Galian Emas di Pulau Kalimantan
Emas
No LOKASI PROPINSI KABUPATEN TINGKAT PENYELIDIKAN KETERANGAN
2 G. Selabat, Kalimantan Barat Bengkayang Eksplorasi Rinci Aluvial kadar Au=4,36 gr/m3
Di Indonesia
Selakean
3 Pangkalan Batu Kalimantan Barat Bengkayang Prospeksi Aluvial kadar Au=124,08 mgr/m3, mineral ikutan
Besi,Zirkon
4 S.Raya, Monterado, Kalimantan Barat Bengkayang Eksplorasi Rinci Aluvial kadar Au=51 mgr/m3
Nyemen
5 Serantak Kalimantan Barat Bengkayang Eksplorasi Rinci Aluvial kadar Au=2,264 gr/m3
9 S. Tayan Kalimantan Barat Sanggau Prospeksi Terdapat pada aliran S. Bunan, S. Selesung dan S.
Raman
10 Melenggang Kalimantan Barat Sanggau Prospeksi Data sumber daya tidak ada
11 Sungai Aur Kalimantan Barat Sekadau - Sintang F.S Vol. : 6.057.058 m3 (terbukti) kadar 432 mg/m3 Au
dan 415.500 m3 (terkira) kadar 621 mg/m3.
14 Daerah Sokan Kalimantan Barat Melawi Eksplorasi Rinci Aluvial kadar Au=800-1.000 mgr/m3
15 Melawi Kalimantan Barat Melawi Survai Tinjau Aluvial kadar Au=0,01-1,5 gr/ton
16 Daerah Bunut Hulu Kalimantan Barat Kapuas Hulu Eksplorasi Rinci Aluvial kadar Au=0,825 gr/m3
No LOKASI PROPINSI KABUPATEN TINGKAT PENYELIDIKAN KETERANGAN
17 Daerah manday Kalimantan Barat Kapuas Hulu Eksplorasi Rinci Aluvial kadar Au=0,292 gr/m3
18 Ketapang Kalimantan Barat Ketapang Eksplorasi Rinci Aluvial kadar Au=0,01-1,5 gr/ton
20 Cempaka Kalimantan Banjar Baru Lanjut Alluvial (cadangan tereka Bijih:30.000.00 ton) dan
Selatan mineral ikutan platina Pt=40 mgr/m3
21 Sungai Keruh Kalimantan Banjar, Tanahlaut Eksplorasi Rinci Kadar 1,26 s.d. 1,41 gr/ton Au
(Oksida) Selatan Tanah Bumbu.
22 Sungai Keruh Kalimantan Banjar, Tanahlaut Eksplorasi Rinci Kadar 1,95 s.d. 2,26 gr/ton Au
(Primer) Selatan Tanah Bumbu.
23 East Anjaluang Kalimantan Kotabaru Eksplorasi Rinci Kadar 1,45 gr/ton Au
Selatan
24 Menteu Kalimantan Kotabaru Eksplorasi Rinci Kadar 1,66 gr/ton Au
Selatan
25 Haraan Kalimantan Kotabaru Eksplorasi Rinci Kadar 3,31 s.d. 3,48 gr/ton Au
Selatan
26 Kembatang Kecil Kalimantan Kotabaru Eksplorasi Rinci Kadar 1,55 s.d. 2,01 gr/ton Au
Selatan
27 Siwalang Kalimantan Kotabaru Eksplorasi Rinci Kadar. 3,49 gr/ton Au
Selatan
28 Sungai Riis Kalimantan Kotawaringin Timur Eksplorasi Rinci <Null>
Tengah
29 S. Seribu I Kalimantan Kotawaringin Timur Eksplorasi Rinci <Null>
Tengah
30 S. Seribu II Kalimantan Kotawaringin Timur Eksplorasi Rinci <Null>
Tengah
31 S. Seribu III Kalimantan Kotawaringin Timur Eksplorasi Rinci <Null>
Tengah
32 Cempaka Buang Kalimantan Kotawaringin Timur Eksplorasi Aluvial dengan kadar Au=300 mgr/m3
Tengah
Bab 7 Keterdapatan Emas di Indonesia
193
194
No LOKASI PROPINSI KABUPATEN TINGKAT PENYELIDIKAN KETERANGAN
Emas
33 Daerah Kota Besi Kalimantan Kotawaringin Timur Eksplorasi Rinci Aluvial dengan kadar Au=0,38 gr/m3
Tengah
34 Daerah Baamang Kalimantan Kotawaringin Timur Eksplorasi Rinci Aluvial dengan kadar Au=0,36 gr/m3
Tengah
35 Daerah Mentaya Kalimantan Kotawaringin Timur Eksplorasi Rinci Aluvial dengan kadar Au=0,268 gr/m3
Hulu Tengah
Di Indonesia
36 Sebadi Kalimantan Kotawaringin Timur Prospeksi Aluvial dengan kadar Au=184 mgr/m3
Tengah
37 Ampalit Kalimantan Katingan Eksplorasi Aluvial dengan kadar Au=280 mgr/m3
Tengah
38 Daerah Marikit Kalimantan Katingan Survai Tinjau Aluvial dengan kadar Au=0,36 gr/m3
Tengah
39 Kasongan Kalimantan Katingan Eksplorasi Aluvial dengan kadar Au=0,22 gr/m3
Tengah
40 Kuala Kurun Kalimantan Gunung Mas Eksplorasi Rinci Aluvial dengan kadar Au=288 mgr/m3
Tengah
41 PT. Sampit Mas Kalimantan Gunung Mas Eksplorasi Rinci Aluvial dengan kadar Au=0,148 gr/m3
Tengah
42 Pujon Kalimantan Kapuas Prospeksi Tebal aluvial 1m, kadar Au = 177 mg/m3
Tengah
43 Tewah Kalimantan Pulang Pisau Eksplorasi Rinci Aluvial dengan kadar Au=0,243 gr/m3
Tengah
44 Pangkut Kalimantan Kotawaringin Timur Eksploitasi Kadar 4,6 g/t
Tengah
45 Udui Kalimantan Kotawaringin Timur Studi Kelayakan Kadar 2,62 g/t
195
196
No LOKASI PROPINSI KABUPATEN TINGKAT PENYELIDIKAN KETERANGAN
Emas
65 G. Mas, hulu Kalimantan Gunung Mas Eksplorasi Rinci Hidrotermal,ditambang th1908-1918,35.000dan
S.Jalungin Tengah mineral ikutan besi, timah hitam
Di Indonesia
68 Bunga Desa Kalimantan Kapuas Eksplorasi <Null>
Tengah
69 Batuputih Kalimantan Kapuas Eksplorasi Tipe urat, Au 1,2 g/t
Tengah
70 Ongkang Kalimantan Kapuas Eksplorasi Rinci Tipe urat kadar Au 12,5 g/t
Tengah
71 Rina Kalimantan Kapuas Eksplorasi Umum Cu-Au Porfir kadar Au 0,5 g/t
Tengah
72 Botol Tagepe Kalimantan Murung Raya Eksplorasi Rinci <Null>
Tengah
73 Icah Kalimantan Murung Raya Eksplorasi Rinci <Null>
Tengah
74 Sukang Curam Kalimantan Murung Raya Eksplorasi Rinci <Null>
Tengah
75 Gerantung Kalimantan Murung Raya Eksplorasi Rinci <Null>
Tengah
76 Arong Maan Timur Kalimantan Murung Raya Eksplorasi Rinci <Null>
197
198
Emas
Di Indonesia
Geologi, Eksplorasi dan Pemanfaatannya
Gambar 7.6. Peta Lokasi Keterdapatan Bijih Emas di Pulau Kalimantan
Bab 7 Keterdapatan Emas di Indonesia
7.5. Sulawesi
Berdasarkan keadaan litotektoniknya, Sulawesi dibagi 3 (tiga)
mandala, yaitu: mandala barat sebagai jalur magmatik merupakan
bagian dari ujung timur Paparan Sunda. Mandala tengah berupa
batuan malihan ditumpangi batuan bancuh sebagai bagian dari Blok
Australia. Mandala timur berupa ofiolit merupakan segmen dari kerak
samudra berimbrikasi dengan batuan sedimen berumur Trias-
Miosen. Mineralisasi emas dan tembaga di Pulau Sulawesi juga
dapat diidentifikasi dari busur magmatik yang membentuk Pulau
Sulawesi, yaitu Busur Sulawesi – Mindanao Timur (Neogen) dan
Busur Sulawesi Barat (Miosen Akhir – Pliosen). Busur Sulawesi
Utara dan Busur Sulawesi Barat baru terbentuk setelah Miosen Awal
yang terbukti dari pengukuran umur granit dengan metoda K/Ar.
Mineralisasi di Busur Sulawesi Utara meliputi mineralisasi tembaga
porfir, mineralisasi epitermal sulfidasi tinggi dan mineralisasi sulfida
rendah. Busur Sulawesi Utara yang meliputi lengan utara Sulawesi
hingga ke Pulau Sangihe ini mempunyai berbagai jenis mineralisasi
dan menghasilkan 14% dari seluruh produksi emas, 11% dari
produksi tembaga di Indonesia. Cebakan di wilayah ini termasuk di
dalamnya suatu kelompok endapan emas dan tembaga porfir di
daerah Tambulilato, mineralisasi sulfidasi tinggi di Motomboto,
cebakan emas dengan batuan induk sedimen di Mesel, dan
mineralisasi emas, perak dan logam dasar di Binebase, Sangihe
yang mirip mineralisasi di Pulau Wetar, bagian timur busur Sunda
Banda.
Mineralisasi epithermal sulfidasi rendah dalam bentuk urat kecil
dan stockwork di daerah Ratatotok, termasuk prospek di Doup,
Ratatotok dan Lanut. Cebakan kecil stockwork karbonat kuarsa
pembawa emas terjadi di Bolangitang. Mineralisasi emas tersebar di
rekahan-rekahan yang menyebar di Gunung Pani, terjadi di
kompleks dome.
Lengan Barat Sulawesi hanya mengandung mineralisasi emas
porfir di Palu, mineralisasi tembaga porfir kecil di Sassak,
mineralisasi molybdenum porfir di Malala, di sudut barat lengan
Sulawesi Utara, sejumlah mineralisasi skarn kecil dan cebakan
sulfida logam dasar volcanogenic di Sangkaropi.
Daerah Bombana, Sulawesi Tenggara yang secara regional
terletak pada dua mandala geologi yaitu: Mandala Sulawesi Timur
yang ditandai oleh batuan ultramafik, mafik, batuan malihan dan
Mandala/Anjungan Tukangbesi-Buton yang ditandai oleh batuan
199
sedimen pinggiran benua yang beralaskan batuan malihan ternyata
juga dijumpai mineralisasi emas. Terdapat dua tipe endapan emas
yaitu endapan primer pada sebagian batuan sekis yang terubah
(silisifikasi-oksidasi) dan endapan sekunder pada daerah alluvium.
Gambar 7.8. Foto Lembah alur sungai sebagai tempat endapan emas
alluvial di wilayah Desa Wumbubangka, Kecamatan Rarowatu Utara,
Kabupaten Bombana, Provinsi Sulawesi Tenggara
(Koleksi Pusat Sumber Daya Geologi)
201
202
Tabel 7.5. Keterdapatan Bahan Galian Emas di Pulau Sulawesi
Emas
TINGKAT
No LOKASI PROPINSI KABUPATEN KETERANGAN
PENYELIDIKAN
1 Balayo Gorontalo Pahuwato Eksplorasi Rinci Aluvial dengan kadar Terukur
Au=313 mg/m3, bijih Au=151,75
Di Indonesia
mg/m3
2 Batudulango Gorontalo Pahuawato Prospeksi Aluvial dengan kadar Bijih
Au=102,7 mg/m3
3 Marisa Gorontalo Pahuwato Eksplorasi Rinci Aluvial dengan kadar Bijih
Au(tkur=idks)=0,321 gr/m3
4 Marisa Timur Gorontalo Pahuwato Eksplorasi Rinci Aluvial dengan kadar Logam
Au=250 mg/m3
5 Taluduyunu Gorontalo Pahuwato Eksplorasi Rinci Aluvial dengan kadar Au=400
mg/m3
6 Daerah Batudaa Gorontalo Boalemo Eksplorasi Rinci Aluvial dengan kadar Bijih
(terukur) Au=0,325 g/m3
7 Paguyaman Gorontalo Boalemo Eksplorasi Rinci Aluvial dengan kadar Bijih
(terukur) Au=0.53 gr/m3
8 Baganit Gorontalo Pahuawato Prospeksi Porfiri dengan kadar Bijih Au 1,0
gr/t
203
204
TINGKAT
No LOKASI PROPINSI KABUPATEN KETERANGAN
Emas
PENYELIDIKAN
25 Urat Umum Gorontalo Bone Bolango Eksplorasi Epiternal LS Au 8,149 ppm
26 Urat Tengkorak Gorontalo Bone Bolango Eksplorasi Epiternal LS Au 25,04 ppm
27 Urat Beringin Gorontalo Bone Bolango Eksplorasi Epiternal LS Au 31,588 ppm
Di Indonesia
28 Urat Mundur Gorontalo Bone Bolango Eksplorasi Epiternal LS Au 77,243 ppm
29 Sattoko Sulawesi Barat Polewali Mandar Prospeksi Mineralisasi tipe epithermal dalam
bentuk urat-urat kuarsa (Au <
6,328 ppm
30 Bengin Sulawesi Selatan Tana Toraja Prospeksi Alluvial, kadar rata-rata 0,48 g/m3
32 Leboni Sulawesi Selatan Luwu Utara Survai Tinjau Aluvial dengan kadar Au=0,31
gr/m3
33 Awak Mas Sulawesi Selatan Luwu Eksplorasi Rinci Kadar 0,5 g/t Au (terukur +
terunjuk)
34 Salo Bulo Sulawesi Selatan Luwu Prospeksi Kadar 2,04 g/t Au
205
206
Emas
TINGKAT
No LOKASI PROPINSI KABUPATEN KETERANGAN
PENYELIDIKAN
55 Benteng Sulawesi Utara Minahasa Selatan Eksploitasi -
56 Panang Sulawesi Utara Minahasa Selatan Eksploitasi -
Di Indonesia
57 DU 289/Sulut,PT Sulawesi Utara Minahasa Selatan Prospeksi Bijih berupa urat dan stockworks
Antam Mintu dengan kadar Bijih Au 1,25 gr/t
Mining,Doup
58 Limpoga Sulawesi Utara Minahasa Selatan Eksploitasi Kadar Au 4,75 gr/ton, Stock pile
4,2 g/t Au
59 Nona Hoa Sulawesi Utara Minahasa Selatan Eksploitasi Kadar Au 5,3 gr/ton,
60 Buku Sulawesi Utara Minahasa Selatan Prospeksi Tipe urat, kadar rata-rata Au 10-
6754 ppb
61 Lobongan Sulawesi Utara Minahasa Selatan Prospeksi Tipe urat, Kadar rata-rata Au 2 gr/t
62 Alason Sulawesi Utara Minahasa Selatan Prospeksi Tipe kontak metasomatis, kadar
Au 19-103455 ppb
63 Ratatotok Sulawesi Utara Minahasa Selatan Prospeksi Berupa urat dan pengisian
dengan kadar Bijih Au 5,21 gr/t
64 Bima Sulawesi Utara Minahasa Utara Eksplorasi Rinci Kadar Au 5,3 - 8,8gr/ton
66 Mill Feed Sulawesi Utara Minahasa Utara Eksplorasi Rinci Kadar Au 2,55 gr/ton
67 Araren 3 Sulawesi Utara Minahasa Utara Eksplorasi Rinci Kadar Au 2,6 - 3,0gr/ton
68 Mill Feed Sulawesi Utara Minahasa Utara Eksplorasi Rinci Kadar Au 3,44,0gr/ton
69 Pajajaran Sulawesi Utara Minahasa Utara Eksplorasi Rinci Kadar Au 3,9 - 4,5 gr/ton
70 Mill Feed Sulawesi Utara Minahasa Utara Eksplorasi Rinci Kadar tidak ada data.
TINGKAT
No LOKASI PROPINSI KABUPATEN KETERANGAN
PENYELIDIKAN
71 Aaren 1 Sulawesi Utara Minahasa Utara Eksplorasi Rinci -
72 Mill Feed Sulawesi Utara Minahasa Utara Eksplorasi Rinci Kadar tidak ada data.
73 Kopra Sulawesi Utara Minahasa Utara Eksplorasi Rinci Kadar Au 1,8 - 3,0gr/ton
74 Mill Feed Sulawesi Utara Minahasa Utara Eksplorasi Rinci Kadar tidak ada data.
75 Blambangan Sulawesi Utara Minahasa Utara Eksplorasi Rinci Kadar Au 2,9 - 3,7gr/ton
76 Mill Feed Sulawesi Utara Minahasa Utara Eksplorasi Rinci Kadar tidak ada data.
77 Bukit Dareng Sulawesi Utara Kepulauan Sangihe Prospeksi Tipe urat dengan kadar Au 10
Bangka gr/t
78 Dareng Bangka- Sulawesi Utara Kepulauan Sangihe Prospeksi Tipe tersebar dalam batuan
Bangele terubah Au 3,5 gr/t
79 Binebase Sulawesi Utara Kepulauan Sangihe Eksplorasi Au 0,76 gram/ton
207
Gambar 7.9. Peta Lokasi Keterdapatan Bijih Emas di Pulau Sulawesi
TINGKAT
No LOKASI PROPINSI KABUPATEN KETERANGAN
PENYELIDIKAN
1 Miop Maluku Halmahera Prospeksi Kolovial, Au = 100 mg/m3
Utara Tengah
2 Toguraci UG Maluku Halmahera Utara Eksploitasi Kadar Au 11,2 g/t, 24,3 g/t
Utara dan 12,9 g/t (cadangan)
3 Gosowong Maluku Halmahera Utara Eksploitasi Kadar 16 gr/ton Au dan 14
Cutback ROM Utara g/ton Au
4 Gosowong Maluku Halmahera Utara Eksploitasi Kadar 16 gr/ton Au dan 14
Cutback LG Utara g/ton Au (cadangan)
5 Stockpile Maluku Halmahera Utara Eksploitasi Kadar 17,4 gr/ton Au
Utara
6 K2 & Kencana Maluku Halmahera Utara Eksploitasi Kadar 28.6 gr/ton Au dan 17,1
Link Utara g/ton Au (cadangan)
7 K1 Maluku Halmahera Utara Eksploitasi Kadar 16,5 gr/ton Au dan 13,5
Utara gr/ton Au (cadangan)
8 Tailings Maluku Halmahera Utara Eksploitasi Kadar Au 2,9 g/t, dan 2,9 g/t
Utara (cadangan)
9 Tobobo Maluku Halmahera Utara Eksplorasi Kadar Au 32,5 g/t
Utara
10 Kaputusan Maluku Halmahera Eksplorasi Kadar 0,26 -0,34 % Cu, 0,17 -
Utara Selatan 0,19 g/t Au
11 Ambon - Maluku Halmahera Prospeksi Tipe urat breksi, kadar Au
Anggai ( P. Utara Selatan 2,35 g/t
Obi )
209
Gambar 7.10. Peta Lokasi Keterdapatan Bijih Emas di Kepulauan Maluku
7.7. Papua
Selain cebakan porfiri dan skarn, Papua juga mempunyai emas
berupa cebakan high sulfidation (Fakfak) dan epithermal system
(Manokwari) meskipun masih dalam status indikasi. Cebakan emas
yang paling besar di Papua terdapat di jalur Pegunungan Carsten.
Sumber daya dan cadangannya merupakan yang terbesar di
Indonesia atau lebih dari 50% dari sumber daya dan cadangan bijih
emas Indonesia yang tersebar di beberapa daerah prospek
Grasberg, Ertzberg, Deep Ore Zone (DOZ), Kucing Liar dan Big
Gossan. Emas epitermal juga dijumpai di daerah perbatasan di Sua,
Bermol dan Mafi, Kabupaten Keerom.
Di beberapa daerah terdapat aktivitas penambangan emas
aluvial antara lain: Kabupaten Nabire, Kabupaten Jayapura,
Kabupaten Manokwari, Kabupaten Fakfak dan Kabupaten Mimika.
Tabel 7.7.
Keterdapatan Bahan Galian Emas di Pulau Papua
TINGKAT
No LOKASI PROPINSI KABUPATEN KETERANGAN
PENYELIDIKAN
1 Timika Papua Mimika Eksplorasi Tailing PT. Freport, 31
km2, kadar Au = 2,5
g/t.
2 Komopa Papua Paniai Eksplorasi rinci Porfiri kadar bijih Au =
0,17g/t
3 Wabu Papua Paniai Eksplorasi rinci Kadar bijih Au = 2,16
g/t
4 Grasberg Papua Puncak Eksploitasi Kadar 0,77 g/t & 0,98
open pit g/t Au
211
TINGKAT
No LOKASI PROPINSI KABUPATEN KETERANGAN
PENYELIDIKAN
12 Big Gossan Papua Mimika Eksploitasi Kadar 0,74 g/t & 0,97
g/t Au
13 DOM Block Papua Mimika Eksploitasi Kadar 0,36 g/t Au
Cave
Overdraw
14 DOM Block Papua Mimika Eksplorasi Kadar Au 0,36g/t
Cave
15 DOM Open Papua Mimika Eksploitasi Kadar 0,43 g/t Au
Pit
16 DOM Open Papua Mimika <Null> Kadar 0,16 g/t Au
Pit Lower
Grade
17 Sua Papua Keerom Eksplorasi -
213
DAFTAR PUSTAKA
Gunradi, R., Aswan, I., Tain, Z, Said, A., dan Sukandar, M., 2002.
Pemantauan dan Evaluasi Konservasi Bahan Galian di
G. Pani, Kabupaten Boalemo, Provinsi Gorontalo,
Direktorat Inventarisasi Sumber Daya Mineral, Bandung
Gurniwa, A., dan Sabtanto, J.S, 1993. Penyelidikan Emas Letakan
di Daerah S. Benit dan Sekitarnya, Muarabungo, Jambi,
Tidak dipublikasikan, PT. Allindo Mitrasarana
Gurniwa, A., dan Sabtanto, J.S, 1994. Penyelidikan Emas Letakan
di Daerah S. Benit dan Sekitarnya, Muarabungo, Jambi,
Tidak dipublikasikan, PT. Allindo Mitrasarana
Gurniwa, A., dan Sabtanto, J.S, 1995. Penyelidikan Emas Letakan
di Daerah Tambang Cucur dan Sekitarnya, Muarabungo,
Jambi, Tidak dipublikasikan, PT. Allindo Mitrasarana
Hartati, R. D., 2001, Penentuan Emas dalam Contoh Geologi/
Geokimia dengan Metode Fire Assay, Direktorat
Inventarisasi Sumber Daya Mineral, Bandung
Hartman, H.L., 1987. Introductory Mining Engineering, John Wiley
& Sons, Inc., Singapore
Herman, D.Z., dan Sukandar, M., 2005. Pendataan Sebaran Unsur
Merkuri pada Wilayah Pertambangan Ciberang,
Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, Direktorat
Inventarisasi Sumber Daya Mineral, Bandung
Juliawan, N., Suprapto, S.J., dan Kamal, S., 2006. Kajian Potensi
Tambang Dalam Pada Kawasan Hutan Lindung di
Tapadaa, Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo,
Pusat Sumber Daya Geologi, Bandung
Juliawan, N., Sukaesih dan Putra, C., 2006. Pendataan
Penyebaran Merkuri pada Wilayah Pertambangan di
Daerah Pongkor, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa
Barat, Direktorat Inventarisasi Sumber Daya Mineral,
Bandung
Juliawan, N, Rohmana, 2007. Inventarisasi Potensi Bahan Galian
pada Wilayah PETI di Kab.Jayapura, Prov.Papua, Pusat
Sumber Daya Geologi, Bandung
Junaedi, E.K, Sukaesih, 2007, Inventarisasi Potensi Bahan Galian
pada Wilayah PETI di Kab.Lebak, Prov.Banten, Pusat
Sumber Daya Geologi, Bandung.
Macdonald Eoin H, 1983, Alluvial Mining, The Geology,
technology and economics of placers, Chapman and
Hall, London.
215
Muchjidin, 1977. Prosedur Analisa Geokimia Proyek Sumatera
Utara, Seksi Geokimia, Subdit Eksplorasi.
Pohan,M.P dan Widhiyatna,D, 2005, Inventarisasi Bahan Galian
Pada Wilayah Bekas Tambang di Kab.Pasaman,
Sumatera Barat, Bandung.
Pusat Sumber Daya Geologi, 2006, Ensiklopedi Bahan Galian
Indonesia, Seri Batugamping, Bandung.
Pusat Sumber Daya Geologi, 2013. Atlas Peta Potensi Sumber
Daya Geologi, Bandung.
Puslitbang Tekmira, 2003, Kamus Pertambangan dan Istilah
Terkait, Bandung.
Puslitbang Tekmira, 2004, Penambangan dan Pengolahan Emas
di Indonesia, Bandung.
Pusat Sumber Daya Geologi, 2004, Konsep Pedoman Teknis
Penentuan Bahan Galian Lain dan Mineral Ikutan Pada
Pertambangan Emas Aluvial, Bandung.
Pusat Sumber Daya Geologi, 2005, Konsep Pedoman Teknis
Inventarisasi Bahan Galian Tertinggal Pada Wilayah
Bekas Tambang Emas Aluvial, Bandung.
Pustaka Pengetahuan Modern, 1979, Batuan dan Mineral, Grolier
International Inc, London.
P.N. Tambang Mas Tjikotok, 1968, Tjikotok Gold Mine.
Rancangan Standar Nasional Indonesia, 2007, Deskripsi Analisis
petrografi dan Mineragrafi, Badan Standarisasi Nasional.
Rinawan, R dan Oesman,Z, 1998, Metode Mikroskopik Identifikasi
Emas dan Logam Dasar, Bandung.
Rinawan, R, 1981. Hubungan “Finenes” Emas dan Tipe
Mineralisasinya, Direktorat Sumber Daya Mineral,
Bandung.
Suhandi, Suprapto, S.J., dan Putra, C., 2005. Pendataan Sebaran
Unsur Merkuri pada Wilayah Pertambangan Gunung
Pani dan Sekitarnya, Kabupaten Pohuwato, Provinsi
Gorontalo, Direktorat Inventarisasi Sumber Daya Mineral,
Bandung.
Suhartini, E., 2000, Petunjuk Teknis Penentuan Kadar Emas
dalam Contoh Geologis dengan Metoda MIBK
Extraction. Direktorat Inventarisasi Sumber Daya Mineral,
Bandung
Suprapto, J.S, 2007, Pengambilan Contoh Untuk Estimasi
Cadangan Bahan Galian, Pusat Sumber Daya Geologi,
Bandung.
217
Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat, Direktorat Inventarisasi
Sumber Daya Mineral, Bandung.
Widhiyatna, D, dan Jaenuddin,J, 2005. Inventarisasi Bahan Galian
di Wilayah PETI, Kabupaten Gorontalo, Provinsi
Gorontalo, Direktorat Inventarisasi Sumber Daya Mineral,
Bandung.
Widhiyatna, D., dan Hutamadi, R., 2006. Pendataan Penyebaran
Unsur Merkuri pada Wilayah Pertambangan Selogiri,
Kabupaten Wonogiri, Provinsi Jawa Tengah, Pusat
Sumber Daya Geologi, Bandung
Widhiyatna, D., dan Suprapto, S.J., 2006. Pendataan Potensi
Bahan Galian di Wilayah PETI, Kabupaten Nabire,
Provinsi Papua, Pusat Sumber Daya Geologi, Bandung
Widhiyatna, D., dan Suprapto, S.J., 2007. Penyelidikan Potensi
Bahan Galian pada Tailing PT.Freeport, Kabupaten
Mimika, Provinsi Papua, Pusat Sumber Daya Geologi,
Bandung
Yusuf, Rahmat, 1992, Teknologi Emas Secara Tradisional, Berita
Pusat Pengembangan Teknologi Mineral, no.42 Tahun 16.