Hemalia Kusumadewi
Pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) telah disahkan pada 18 Januari 2022
dengan penerbitan Undang-undang Republik Indonesia nomor 3 tahun 2022.
Undang-undang ini mengatur tentang tata kelola IKN untuk kebutuhan masyarakat
di Indonesia dan luas wilayah serta perbatasan IKN, yaitu seluas 256.142 hektare
disertai dengan wilayah perairan 69.189 hektare (Fajri, 2022). Wacana pemindahan
ibu kota sudah sering terdengar sejak terpilihnya kembali Presiden Joko Widodo
pada Pemilu 2019, dan terkonfirmasi pada tahun yang sama. Hal ini
dilatarbelakangi oleh berbagai faktor, dengan Bappenas (Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional) sendiri mengungkapkan enam faktor. Pertama, untuk
mengurangi beban Jakarta dan Jabodetabek dengan beban dalam artian
pertumbuhan penduduk dan pergerakan roda ekonomi. Kedua, untuk mendorong
pemerataan pembangunan wilayah Indonesia bagian timur. Ketiga, untuk
mengubah mindset pembangunan dari Jawasentris menjadi Indonesiasentris.
Keempat, agar IKN merepresentasikan identitas bangsa. Kelima, untuk
meningkatkan pelayanan publik dan efisiensi pemerintahan pusat. Terakhir, agar
ada penerapan konsep smart city untuk persaingan regional (Aziz, 2019).
Faktor utama pemindahan IKN adalah pemerataan ekonomi, yang saat ini
terlalu dependen terhadap Jawa khususnya DKI Jakarta, yang juga tengah
menghadapai penumpukan masalah urban seperti penyempitan lahan, masalah
lingkungan, dan kesenjangan sosial yang meningkat. Ada juga aspek politik yang
terlibat, dengan agenda jangka panjang pembangunan ibukota yang merupakan
keputusan Presiden Joko Widodo, agenda politik ini dapat diturunkan kepada
presiden setelahnya dengan nama-nama pengusungnya masih terlekat kuat.
Beberapa pihak mengemukakan bahwa pemindahan IKN akan membawa dampak
negatif yang lebih besar, seperti beban pembiayaan terhadap APBN, pemindahan
masalah urban Jakarta ke Kalimantan Timur, hingga permasalahan hak kepemilikan
tanah masyarakat adat yang kemungkinan tercakup dalam wilayah baru IKN
sehingga muncul persoalan prasyarat agar suatu pembangunan tidak melanggar
hak masyarakat adat yang tinggal disana (Nugroho, 2021).
Analisis kedua adalah komparatif dengan Brasilia, Brazil. Brasilia sama seperti
IKN dan Islamabad, merupakan ibukota bentukan yang dibangun antara tahun 1956
dan 1960, secara geografis terletak di tengah Brazil dan dibangun oleh Presiden
Juscelino Kubitschek yang ingin menggeser pusat aktivitas negaranya dari daerah
selatan Brazil (Grimes et al., 2017). Pemindahan Ibukota Brazil dilatar belakangi oleh
dua kebijakan, pertama kebijakan ekonomi proteksionis yang ingin mengisolasi
ekonomi dari pengaruh luar dengan mengurangi dominasi kota-kota selatan
penggerak ekonomi, dan kedua kebijakan utopis egaliter Presiden Kubitsche yang
ingin Brasilia sebagai simbol transisi Brazil menuju era baru dalam penurunan
masalah sosial seperti rasisme, kemiskinan, kasta sosial, serta ketidaksetaraan (Kelly,
2020). Presiden Kubitsche juga sangat mendorong pembangunan Brasilia untuk
selesai dalam waktu 41 bulan saja agar penyelesaiannya masih berada dalam
periode pemerintahannya yang mengimplikasikan motif politik Kubitsche dalam
pembangunan Brasilia (Faria et al., 2013).
Secara sepintas Brasilia terlihat berhasil karena dapat tumbuh menjadi kota
terbesar ketiga di Brazil, namun masalah baru yang teramplifikasi adalah
kesenjangan Brasilia dengan daerah disekitarnya karena pembangunan Brasilia
menggunakan pengalihan anggaran daerah lain, sehingga daerah disekitar Brasilia
menjadi tertinggal dalam ekonomi. (Kelly, 2020) Kasus Brasilia dalam kesenjangan
sangat mirip dengan Islamabad, sehingga masalah kesenjangan sangat perlu untuk
diperhatikan dan Pemerintah Indonesia harus memiliki kebijakan preventif dalam
hal ini.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmar, M. (2021, November 7). The price of shifting capital from Karachi.
Tribune.com.pk. Tribune. https://tribune.com.pk/story/2328196/the-price-
of-shifting-capital-from-karachi
Aziz, N. L. L. (2020). Relokasi Ibu Kota Negara: Lesson Learned dari Negara Lain.
Jurnal Kajian Wilayah, 10(2), 37-64.
Daechsel, M. (2013). Misplaced Ekistics: Islamabad and the politics of urban development
in Pakistan. South Asian History and Culture, 4(1), 87–106.
Fajri, D.L. (2022, February 23). 5 Alasan Ibu Kota Pindah ke Kalimantan Timur.
Katadata.co.id. Katadata.
https://katadata.co.id/safrezi/berita/6216091475460/5-alasan-ibu-kota-
pindah-ke-kalimantan-timur.
Faria, J. R., Ogura, L. M., & Sachsida, A. (2013). Crime in a planned city: The case of
Brasília. Cities, 32, 80-87.
Grimes, A., Matlaba, V. J., & Poot, J. (2017). Spatial impacts of the creation of Brasília:
A natural experiment. Environment and Planning A: Economy and Space,
49(4), 784–800.
Harper, A. (2012). Islamabad and the Promise of Pakistan. Pakistan: From the Rhetoric
of Democracy to the Rise of Militancy (pp. 64-84). Routledge India.
Vernon, Christopher & Freestone, Robert. (2005). Canberra: From History to Heritage in
a Modern Planned Capital City. Beijing Union University.
Webb, J., & Williams, J. (2014). Canberra: ideal city, imagined city. Continuum, 29(3),
490–503.