Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Filsafat merupakan ilmu yang dekat sekali dengan kehidupan manusia, seperti etika
dan estetika. Etika itu sendiri merupakan cabang ilmu filsafat yang membahas secara kritis
dan sistemais tentang masalah moral, kajian etika itu sendiri lebih fokus pada perilaku, norma
dan adat istiadat manusia. Etika tidak memberikan ajaran melainkan memeriksa kebiasaan,
kebiasaan dana pandangan moral secara kritis.

Sedangkan estetika adalah salah satu cabang filsafat yang yang membahas keindahan,
bagaimana sesuatu dapat terbentuk, dan bagaimana seseorang bisa merasakannya. Estetika
juga meupakan sebuah filosofi yang mempelajari nilai-nilai sensoris yang terkadang dianggap
sebagai sebagai penilaian terhadap rasa, dimana estetika ini sanga dekat dengan filosofi seni.
Estetika filsafat membahas tentang refleks kritis yang dirasakan oleh indera dan memberi
penilaian terhadap sesuatu yang indah atau tidak indah. Etika dan estetika akan menentukan
bagaimana sikap atau tingkah laku baik, buruk, indah seorang manusia, maka dari itu baik
etika maupun estetika tidak dapat terpisah dari kehidupan manusia.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian dari etika ?
2. Bagaiana bentuk dari etika ?
3. Apa saja objek dari etika ?
4. Apa pengertian dari estetika ?
5. Bagaimana bentuk dari estetika ?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian dari Etika.
2. Untuk mengetahui bentuk-bentuk dari Etika.
3. Untuk mengetahui objek-objek dalam Etika.
4. Untuk mengetahui pengertian dari Estetika.
5. Untuk mengetahui bentuk-bentuk dari Estetika.

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1.1 Pengertian Etika

Etika dari bahasa Yunani disebut juga filsafat moral atau moral philosophy, yang
berasal dari kata Yunani ethos yang berarti watak. Moral berasal dari kata mos atau mores
(Latin) yang artinya kebiasaan watak, kelakuan, tabiat, dan cara hidup dalam (Hamersma,
1985; Rapar, 1996; Tim Dosen UGM, 2007). Menurut K.Bertens dalam (Bertens.K, 2013:5)
etika dapat dibedakan menjadi 3 arti :

1) Nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu
kelompok dalam mengatur perilakunya. Contoh Etika Suku Indian dan Etika Agama.
2) Kumpluan asas atau nilai moral. Contoh kode etik suatu profesi.
3) Ilmu Pengetahuan tentang yang baik dan yang buruk, sama artinya dengan etika
sebagai cabang filsafat.

Pengertian etika menurut (K. Bertens, 2013) sebenarnya  mengacu pada pengertian
etika yang sama, yaitu etika sebagai sistem nilai yang dapat menjadi pegangan suatu
kelompok profesi, mengenai apa yang baik dan yang butuk menurut nilai-nilai profesi itu,
yang kemudian disebut kode etik. Jadi etika diartikan dalam 2 hal, yaitu : Etika sebagai
sistem nilai, dan Etika sebagai ilmu pengetahuan atau cabang filsafat.

Menurut Suseno (1993) yang mengatakan bahwa moral selalu mengacu pada baik dan
buruknya manusia sebagai manusia bukan merujuk profesi/pekerjaan manusia itu sendiri..
Ada yang mendefinisikan etika dan moral sebagai teori mengenai tingkah laku manusia yaitu
baik dan buruk yang masih dapat dijangkau oleh akal. Moral adalah suatu ide tentang tingkah
laku manusia (baik dan buruk) menurut situasi yang tertentu. Fungsi etika itu sendiri untuk
mengetahui ukuran tentang penilaian tingkah laku perbuatan manusia (baik dan buruk) akan
tetapi dalam praktiknya etika banyak sekali mendapatkan kesukaran-kesukaran. Hal ini
disebabkan ukuran nilai baik dan buruk tingkah laku manusia itu tidaklah sama (relatif) yaitu
tidal terlepas dari alam masing masing. Perbuatan tingkah laku manusia itu tidaklah sama
dalam arti pengambilan suatu sanksi etika karena tidak semua tingkah laku manusia itu dapat
dinilai oleh etika.

2
Etika adalah cabang filsafat dalam arti sebagai ilmu. Etika adalah philosopical study
of morality.Etika sebagai filsafat moral berarti melakukan perenungan secara mendalam
mengenai berbagai ajaran moral (kebaikan) secara kritis. Namun harus dibedakan antara etika
dan moral. Etika mempelajari berbagai ajaran moral secara kritis dan logis. Sedangkan moral
adalah nasihat-nasihat yang berupa ajaran-ajaran pada adat istiadat suatu
masyarakat/golongan/agama. Moral bersifat aplikatif mengenai tindakan manusia yang baik
dan buruk. Pokok bahasan yang sangat khusus pada etika adalah sikap kritis manusia dalam
menerapkan ajaran-ajaran moral terhadap perilaku manusia yang bertanggung jawab. Ajaran-
ajaran tersebut sangat menentukan bagaimana moral manusia itu “dibina” baik melalui
pendidikan formal maupun non formal.

Tingkah laku manusia yang dapat dinilai oleh etika dengan syarat-syarat tertentu, yaitu:

1. Perbuatan manusia dikerjakan dengan penuh pengertian. Oleh karena itu orang-orang yang
mengerjakan suatu perbuatan jahat tetapi tidak mengetahui sebelumnya bahwa perbuatan itu
jahat, maka perbuatan manusia semacam ini tidak mendapat sanksi dalam etika.

2. Perbuatan yang dilakukan manusia dikerjakan dengan sengaja. Perbuatan manusia


(kejahatan) yang dikerjakan dalam keadaan tidak sengaja maka perbuatan itu tidak akan
dinilai atau dikenakan sanksi oleh etika.

3. Perbuatan manusia dikerjakan dengan kebebasan atau dengan kehendak sendiri.

4. Perbuatan manusia yang dilakukan dengan paksaan (dalam keadaan terpaksa) maka
perbuatan itu tidak akan dikenakan sanksi etika.

2.1.2 Bentuk dalam Etika

A. Etika Deskriptif

Etika deskriptif melukiskan tingkah laku moral dalam arti luas dalam artian etika ini
mempelajari moralitas yang terdapat pada individu-individu tertentu. Etika deskriptif
menguraikan dan menjelaskan kesadaran dan pengalaman moral (suara batin) dari norma-
norma dan konsep-konsep etis secara deskriptif (Hamersma, 1985; Rapar, 1996). Pengalaman
moral di sini memiliki arti luas, misalnya adat istiadat, anggapan tentang baik dan buruk,
tindakan yang diperbolehkan ataupun tidak. Semuanya dideskripsikan secara ilmiah dan ia
tidak memberikan penilaian. Karenanya, etika deskriptif ini tergolong dalam bidang ilmu

3
pengetahuan empiris serta terlepas dari filsafat. Sebagai bagian dari ilmu pengetahuan, etika
deskripsi berupaya untuk menemukan dan menjelaskan kesadaran, keyakinan, dan
pengalaman moral dalam suatu kultur maupun subkultur. Dalam hal ini etika deskriptif
berhubungan erat dengan sosiologi, antropologi, psikologi, maupun sejarah. Serta tokoh-
tokoh yang membidani etika deskriptif ini dapat ditemui seperti Jean Piaget (1896 dan 1980)
dari Swiss dan Lawrence Kohlberg (1927- 1988) dari Amerika (Bertens, 2007). Dalam
perkembangan selanjutnya etika deskriptif digolongkan menjadi dua bagian, yakni sejarah
moral dan fenomenologi moral.

B. Etika Normatif

Etika normatif sering disebut filsafat moral (moral philosophy) atau etika filsafati
(philosophical ethics). Etika normatif dibagi ke dalam dua teori, yaitu teori-teori nilai
(theories of value) dan teori-teori keharusan (theories of obligtion). Teori-teori nilai
mempersoalkan sifat kebaikan. Sifat teori ini ada dua, yakni monistis dan pluralistis. Yang
termasuk dalam teori nilai (theories of value) dengan dikategori monistis adalah hedonisme
spiritualistis maupun hedonistis materialistis sensualistis. Sedangkan teori teori keharusan
(theories of obligtion) membahas tingkah laku. Teori-teori yang tergolong dalam theories of
obligation adalah aliran egoisme dan formalisme.

T. T . NON a) Egoisme: manusia


KEHARUSAN KONSEKUENSIALIS memiliki hak untuk
berbuat apa saja yang
(Deontological)
dianggap
Moralitas suatu tindakan
menguntungkan
ditentukan oleh sebab-
dirinya
sebab yang menjadi
b) Formalisme: yang
dorongan tindakan itu
paling penting dan
paling menentukan
tindakan atau
perbuatan ialah
motivasi. Motivasi
yang baik akan
membuat tindakan

4
atau perbuatan pasti
benar kendati akibat
perbuatan itu sendiri
ternyata buruk.

T. NILAI T. (Hedonistis) 1. Hedonistis


KONSEKUENSIALIS 1. Monistis Utilitarianisme
a) Hedonistis dari Bentham
(Teleological):
spiritualis & Mill
Moralitas suatu tindakan
b) Hedonis 2. Utilitarianisme
ditentukan oleh
materialistis ideal dari
konsekuensinya
sensualistis Moore &
Randall
(Non Hedonistis) Perfeks
2. Pluralistis

Sumber: Dalam (Rapar, 1996: 65)

C. Metaetika

Metaetika merupakan kajian analitis terhadap etika. Metaetika baru muncul pada abad
ke-20, yang menyelidiki dan menetapkan arti serta makna istilah-istilah normatif yang
diungkapkan lewat pernyataan-pernyataan etis yang membenarkan atau menyalahkan suatu
tindakan (Rapar, 1995:64). Terdapat teori dari Metaetika yaitu :

1. Teori naturalistis menyatakan istilah moral yang menamai hal-hal atau fakta-fakta yang
pelik dan rumit. Istilah normatif tersebut seperti baik dan benar, dapat disamakan dengan
istilah deskriptif, misalnya yang dikehendaki Tuhan, yang diidamkan, atau yang biasa. Teori
naturalistis juga berpendapat bahwa pertimbangan-pertimbangan moral dapat dilakukan lewat
penyelidikan dan penelitian ilmiah.

2. Teori kognitivis mengatakan bahwa pertimbangan-pertimbangan moral tidaklah selalu


benar dan sewaktu-waktu bisa keliru. Ini berarti keputusan moral bisa benar dan salah. Selain
itu, pada prinsipnya pertimbangan-pertimbangan moral dapat menjadi subjek pengetahuan

5
atau kognisi. Teori kognitivis dapat bersifat naturalistis dan dapat juga bersifat non-
naturalistis.

3. Teori intuitif berpendapat bahwa pengetahuan manusia tentang yang baik dan yang salah
diperoleh secara intuitif. Teori ini menolak kemungkinan untuk memberi batasan-batasan
non-normatif terhadap istilah-istilah normatif etis. Bagi teori intuitif, pengetahuan manusia
tentang yang baik dan yang salah itu jelas dengan sendirinya karena manusia dapat merasa
dan mengetahui secara langsung apakah nilai hakiki suatu hal itu baik atau buruk, atau benar
tidaknya suatu tindakan.

4. Teori subjektif menekankan bahwa pertimbangan-pertimbangan moral sesungguhnya


hanya dapat mengungkapkan fakta-fakta subjektif tentang sikap dan tingkah laku manusia.
Pertimbangan-pertimbangan moral itu tidak mungkin dapat mengungkapkan fakta-fakta
objektif. Karena itu, apabila seseorang mengatakan bahwa ia menyetujui sesuatu itu benar,
sesungguhnya ia mengatakan bahwa ia menyetujui sesuatu itu benar adanya. Sebaliknya,
apabila ia mengatakan sesuatu itu salah, sebenarnya ia hanya mengungkapkan
ketidaksetujuannya terhadap apa yang dikatakan salah itu

5. Teori emotif menegaskan bahwa pertimbangan moral tidak mengungkapkan sesuatu


apapun yang dapat disebut salah atau benar kendati hanya secara subjektif. Pertimbangan
pertimbangan moral tidak lebih dari suatu ungkapan emosi semata-mata. Menurut teori
emotif, istilah-istilah etis tidak memiliki makna apapun kecuali hanya sebagai tanda dari
luapan perasaan, seperti rintihan, seruan, umpatan, dan lain-lain.

6. Teori imperatif berpendapat bahwa pertimbangan-pertimbangan moral sesungguhnya


bukanlah ungkapan dari sesuatu yang dapat dinilai salah atau benar. Dengan demikian, tak
satu pun istilah moral yang dapat memuat sesuatu yang boleh disebut salah atau benar. Teori
imperatif mengatakan bahwa istilahistilah moral itu sesungguhnya hanya merupakan istilah-
istilah samaran dan keharusan- keharusan ataupun perintah-perintah. Jadi apabila dikatakan
“kebohongan itu tidak baik”, yang dimaksudkan adalah “jangan berbohong”. Jika dikatakan
“kebaikan adalah terpuji dan benar” yang dimaksudkan adalah “lakukanlah yang baik”.

6
2.1.3 Unsur Pokok Dalam Etika

Wacana etika melibatkan perilaku dan sistem nilai etis yang dipunyai oleh setiap
individu atau kolektif masyarakat. Oleh sebab itu wacana etika mempunyai unsur-unsur
pokok. Unsur-unsur pokok itu, yaitu : (Dalam Mufid, 2009:181-182)

1. Kebebasan adalah unsur pokok dan utama dalam wacana etika. Etika menjadi bersifat
rasional karena etika selalu mengandaikan kebebasan. Dapat di katakan bahwa
kebebasan adalah unsur hakiki etika. Kebebasan eksistensial adalah kemampuan
manusia untuk menentukan dirinya sendiri. Ini berarti bahwa kebebasan ini bersifat
positif dan juga dapat diartikan kebebasan eksistensial lebih menunjukkan kebebasan.
Tentu saja, kebebasan dalam praktek hidup sehari-hari mempunyai ragam yang
banyak, yaitu kebebasan jasmani rohani, kebebasan sosial, kebebasan psikologi,
kebebasan moral.
2. Tanggung jawab adalah kemampuan individu untuk menjawab segala pertanyaan
yang mungkin timbul dari tindakan-tindakan. Pertanggung jawaban adalah situasi
dimana orang menjadi penyebab bebas.dan kebebasan adalah syarat utama yang
mutlak untuk bertanggung jawab. Ragam tanggung jawab terdiri dari tanggung jawab
retrospektif dan yanggung jawab prospektif.
3. Hati nurani adalah penghayatan tentang nilai baik atau buruk berhubungan dengan
situasi kongkret. Hati nurani yang memerintahkan atau melarang suatu tindakan
menurut situasi, waktu, dan kondisi tertentu. Dengan demikian, hati nurani
berhubungan dengan kesadaran. Kesadaran adalah kesanggupan manusia untuk
mengenal dirinya sendiri dan karena itu berefleksi tentang dirinya. Hati nurani bisa
sangat bersifat retrospektif dan prospektif. Dengan demikian, hati nurani juga bersifat
personal dan adipersonal. Pada dasarnya, hati nurani merupakan ungkapan dan norma
yang besifat subjektif.
4. Prinsip kesadaran moral adalah beberapa tataran yang perlu diketahui untuk
memosisikan tindakan individu dalam kerangka nilai moral tertentu. Prinsip tindakan
moral mengandaikan pemahaman menyeluruh individu atas seluruh tindakan yang
dilakukan sebagai seorang manusia. Setidaknya ada tiga prinsip dasar dalam
kesadaran moral yaitu, sikap baik, keadilan, dan hormat terhadap diri sendiri beserta
orang lain.

7
2.1.4 Objek Kajian Etika

Objek kajian dalam etika adalah nilai, nilai (value) adalah kualitas dari sesuatu yang
bermanfaat sesuai dengan kebutuhan atau kepentingan manusia, baik lahir maupun batin.
Nilai merupakan masalah penting yang dibahas oleh filsafat, tepatnya oleh cabang filsafat
aksiologi yang disebut sebagai problems of human values. Aksiologi sebagai ilmu yang
menyelidiki hakikat nilai, yang pada umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan.
Cabang filsafat ini merupakan satu dari tiga cabang pokok, dua lainnya ontologi dan
epistemologi.

Menilai berarti membandingkan sesuatu dengan yang lainnya untuk mengambil sikap
atau keputusan. Hasil pertimbangan dan perbandingan yang dibuat dan diyakini
kebenarannya itulah yang disebut nilai. Karena ada unsur pertimbangan dan perbandingan,
berarti sesungguhnya objek yang diberi penilaian tersebut tidak tunggal. Objek di sini dapat
berupa suatu yang bersifat jasmaniah atau rohaniah, misalnya benda, sikap dan tindakan
tertentu. Beberapa padangan menurut para ahli tentang nilai-nilai:

Louis O. Kattsoff, membedakan nilai dalam 2 macam :

1. Nilai intrinsik, nilai dari sesuatu yang sejak semula sudah bernilai
2. Nilai instrumental, nilai dari sesuatu karena dapat dipakai sebagai sarana untuk
mencapai tujuan sesuatu.

Notonagoro, membagi menjadi 3 kelompok, yakni :

1. Nilai Material, segala sesuatu yang berguna bagi unsur jasmani manusia.
2. Nilai Vital, berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan kegiatan (beraktivitas)
3. Nilai Kerohanian, berguna bagi rohani manusia.

Sutan Takdir Alisjahbana, membedakan nilai dalam beberapa kategori :

a. Nilai teori, nilai yang menentukan dengan objektif identitas benda-benda dan
kejadian-kejadian alam sekitar guna mendapatkan pengetahuan.
b. Nilai ekonomi, nilai yang menentukan pemakaian atau penggunaan benda-benda dan
kejadian-kejadian di alam guna berlangsung secara efisien untuk kebutuhan manusia.

8
c. Nilai agama, proses penilaian terhadap alam dihadapi dengan penuh kekaguman
terhadap kebesaran alam semesta.
d. Nilai seni, proses penilaian terhadap alam dituangkan dalam wujud ekspresi rasa
keindahan.
e. Nilai kuasa, dilandasi pada otoritas untuk menundukkan orang lain.
f. Nilai solidaritas, bersifag menghargai manusia lain dengan hubungan cinta,
persahabatan dan simpati.

Pengelompokan jenis nilai secara lebih sederhana, maka ada 5 pasangan nilai yang utama
yang bersifat antinomis, yakni :

1. Objektif dan Subjektif. Nilai objektif adalah kualitas yang dilihat dari kondisi
sebenarnya. Nilai objektif tidak dapat dipisahkan dari subjek yang menilai. Subjek
dapat berupa individu, kelompok masyarakat, suatu bangsa atau universal. Nilai yang
diberikan oleh subjek disebut nilai subjektif.
2. Positif dan Negatif. Nilai positif adalah nilai yang bermanfaat bagi kepentingan
manusia contoh nilai kebaikan, keindahan, kesusilaan. Sebaliknya nilai-nilai
kejahatan, keburukan, ketidaksusilaan adalah contoh dari nilai negatif. Pasangan nilai
positif dan negatif tersebut merupakan antinomi yakni pasangan nilai yang
kontradiktif tetapi satu sama lain tidak dapat meniadakan.
3. Intrinsik dan Ekstrinsik. Setiap objek mengandung kualitas tertentu, kualitas atau nilai
demikian disebut nilai intrinsik. Jadi nilai intrinsik adalah nilai yang berdiri sendiri.
Nilai ekstrinsik yang berarti nilai susila yang harus dihubungkan dengan hal-hal lain
diluar tindakan itu yakni konsekuensi atau akibat dari tindakan tersebut.
4. Transenden dan Imanen. Nilai imanen adalah nilai yang terkait dengan pengalaman
dan pengetahuan manusia. Sebaliknya nilai transenden adalah nilai yang melampaui
batas-batas pengalaman dan pengatahuan manusia
5. Dasar dan instrumental. Nilai dasar adalah nilai yang dipilih (sebagai landasan bagi
nilai instrumental) untuk diwujudkan sebagai kenyataan (praktis). Nilai dasar yang
dipilih pada umumnya adalah refleksi dan berhubungan dengan nilai-nilai yang
objektif, positif, intrinsik,
dan transenden. Nilai dasar ini karena telah dipilih cenderung bersifat tetap.

9
Unsur-Unsur Nilai Dasar

Tataran Nilai dan Praktis

10
2.2.1 Estetika

a. Pengertian
Estetika adalah cabang filsafat yang mempersoalkan seni (art) dan keindahan
(beauty). Istilah estetika berasal dari kata Yunani aesthesis, yang berarti pencerapan indrawi,
pemahaman intelektual (intelectual understanding), atau bisa juga berarti pengamatan
spiritual. Istilah art (seni) berasal dari kata Latin ars, yang berarti seni, keterampilan, ilmu,
atau kecakapan.
Sejak zaman Yunani purba, estetika filsafati sering disebut dengan berbagai nama,
seperti filsafat seni (philosophy of art), filsafat keindahan (philosophy of beauty), filsafat
citarasa (philosophy of taste), dan filsafat kritisisme (philosophy of criticism). Akan tetapi
sejak abad XVII, istilah estetika mulai menggantikan nama –nama tersebut.
Istilah estetika diperkenalkan oleh seorang filsuf Jerman bernama Alexander Gottlieb
Baumgarten (17 Juli 1714 – 26 Mei 1762) lewat karyanya, Meditationes philosophicae de
nonullis ad poema pertinentibus (1735), yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan
judul Reflections on poetry (1954). Baumgarten mengembangkan filsafat estetika yang
didefinisikannya sebagai ilmu pengetahuan tentang keindahan lewat karyanya yang berjudul
Aesthetica acromatica (1750 – 1758).

2.2.2 Bentuk Estetika

Estetika dapat dibagi ke dalam dua bagian, yaitu :

1. Estetika deskriptif : menguraikan dan melukiskan fenomena – fenomena pengalaman


keindahan. Contoh : kita menguraikan bahwa suatu karya lukisan yang kita lihat sangat indah
sekali.
2. Estetika normatif : mempersoalkan dan menyelidiki hakikat, dasar, dan ukuran
pengalaman keindahan. Contoh : kita mempertanyakan mengapa suatu karya lukisan yang
kita lihat mempunyai warna yang gelap, mengapa tidak mempunyai warna yang terang.

Ada pula yang membagi estetika ke dalam :

1) Filsafat seni (philosophy of arts)


Mempersoalkan status ontologis dari karya – karya seni dan mempertanyakan
pengetahuan apakah yang dihasilkan oleh seni serta apakah yang dapat diberikan oleh
seni untuk menghubungkan manusia dengan realitas.

11
2) Filsafat keindahan (philosophy of beauty)
Membahas apakah keindahan itu dan apakah nilai indah itu objektif atau subjektif.

2.2.3 Pendapat para filsuf tentang estetika


1. Plato berpendapat bahwa seni (art) itu adalah keterampilan untuk mereproduksi sesuatu.
Bagi Plato, apa yang disebut hasil seni tidak lain dari tiruan (imitation). Sebagai contoh,
pelukis yang melukis suatu panorama alam yang indah sesungguhnya hanya meniru
panorama-panorama alam yang pernah dilihatnya. Dengan demikian, karya-karya seni itu
merupakan tiruan yang kedua dan oleh karena itu tidak sempurna hasilnya.

2. Aristoteles sependapat dengan Plato mengenai seni sebagai tiruan dari berbagai hal yang
ada. Contoh yang diberikan oleh Aristoteles ialah puisi. Aristoteles mengatakan bahwa puisi
adalah tiruan dari tindakan dan perbuatan manusia yang dinyatakan lewat kata-kata.
Aristoteles justru menganggap bahwa seni itu penting karena memiliki pengaruh yang besar
bagi manusia. Aristoteles mengtakan bahwa puisi lebih filsafati daripada sejarah.

3. Estetika pada abad pertengahan tidak begitu mendapat perhatian dari para filsuf. Itu
karena gereja Kristen semula memusuhi seni karena dianggap duniawi dan merupakan
produk filsafat kafir Yunani dan Romawi. Akan tetapi Augustinus 76 tahun (354-430)
memiliki minat cukup besar pada seni. Ia mengembangkan suatu filsafat Platonis (platonic
forms). Ia mengatakan bahwa bentuk-bentuk platonis juga berada dalam pemikiran Tuhan.
Menurut Augustinus, keindahan merupakan salah satu bentuk yang ada dalam pemikiran
Tuhan, oleh sebab itu, keindahan dalam seni dan keindahan dalam alam haruslah memiliki
hubungan yang erat dengan agama dan seni hanyalah tiruan.

4. David Hume 61 tahun (1711-1776) mengatakan bahwa keindahan bukanlah suatu kualitas
objektif yang terletak di dalam objek-objek itu sendiri, melainkan berada dalam alam fikiran.
Manusia tertarik dengan suatu bentuk atau struktur tertentu lalu menyebutnya indah. Hume
mengatakan bahwa apa yang dianggap indah oleh manusia sesungguhnya amat ditentukan
oleh sifat alami manusia, yang dipengaruhi juga oleh kebiasaan dan preferensi individual.

5. Immanuel Kant 80 tahun (1724-1804) menganggap kesadaran estetis sebagai suatu unsur
yang penting dalam pengalaman manusia pada umumnya. Sama seperti Hume, Kant juga

12
berpendapat bahwa keindahan itu merupakan penilaian estetis semata-mata subjektif. Di
dalam karyanya, critique of Judgement (1790), Kant menyatakan bahwa pertimbangan estetis
memberikan fokus yang amat dibutuhkan untuk menjembatani segi-segi teori dan praktek
dari sifat dasar manusia.

2.2.4 Wujud Keindahan


Manusia suka dengan keindahan, dari keindahan tersebut maka manusia
mengapresiasikannya menjadi berbagai bentuk “nilai”. Dalam perkembangannya nilai-nilai
yang terkandung dalam keindahan tersebut membuatsuatu kehidupan menjadi lebih bermakna
dan berarti. Dari berbagai bentuk keindahanyang ada, maka keindahan tersebut dapat
dibedakan menjadi beberapa perwujudan,yaitu:
1. Keindahan Alam. Keindahan alam dapat berhubungan dengan bentuk, ukuran,
keseimbangan dan warna.Keindahan alam menampakkan diri pada :
a. Keselarasan (harmony)
b. Ketakselarasan yang luar biasa (extreme disharmony)
c. Kewarna-warnian (colorful)
d. Ketenangan (calm, idyllic)
e. Keluasan tak terpahami

2. Keindahan dalam Seni


Pada zamanYunani bentuk keindahan dalam karya seni terdapat pada unsur: simetris(untuk
seni penglihatan dan harmonia untuk seni pendengaran).Secara umum keindahan seni
terdapat dalam : unity (kesatuan), harmony (kesesuaian), balance (keseimbangan),contrast
(perbedaan)dan disharmony (ketidaksesuaian).

3. Keindahan Moral
Keindahan moral terdapat pada ide kebaikan. Menurut Plato terdapat pada watak yang
indah dan hukum yang indah.Keindahan moral juga mempunyai arti sesuatu yang baik dilihat
dari segi tingkah laku.

4. Keindahan Intelektual
Plotinus berpendapat bahwa keindahan moral terdapat pada: ilmu yang indah dan
kebajikan yang indah. Keindahan intelektual juga berarti : buah pikiran yang indah dan adat
kebiasaan yang indah.

13
5. Keindahan Absolut (mutlak)
1.Ada pada Tuhan
2. Tuhan itu indah dan menyenangi hal-hal yang indah
3. Tugas seniman adalah untuk lebih mendekatkan diri sendiri danpengamat pada Tuhan

2.2.5 Perbedaan Etika dan Estetika

1. Pembahasan etika lebih menitikberatkan pada baik – buruknya atau benar – tidaknya
tingkah laku dan tindakan manusia serta sekaligus menyoroti kewajiban tanggung jawab
manusiawi.
2. Etika berkaitan dengan apa yang menjadi dasar bahwa tindakan manusia adalah baik
atau buruk, benar atau salah.
3. Etika terapan menjadi fokus perhatian, misalnya kita mengenal etika profesi, kode
etik, rambu – rambu etis, etika politik, etika lingkungan, bioetikadan lainnya.

Sedangkan estetika memiliki karakter sebagai berikut :

1. Mempermasalahkan seni atau keindahan yang diproduksi oleh manusia. Soal apresiasi
yang harus dilakukan dalam proses kreatif manusiawi.
2. Estetika : estetika deskriptif (menjelaskan dan melukiskan fenomena pengalaman
keindahan) dan estetika normatif (menyelidiki hakikat, dasar, dan ukuran pengalaman
keindahan).
3. Estetika berkaitan dengan imitasi atau reproduksi realitas. Seni sebagai ekspresi sosial
atau ekspresi personal atas suatu realitas.

14
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Etika merupakan nilai dan norma moral yang dijadikan pegangan bagi seseorang atau
suatu kelompok dalam mengatur perilakunya. Etika mempelajari berbagai ajaran moral
secara kritis dan logis. Sedangkan moral adalah nasihat-nasihat yang berupa ajaran-ajaran
pada adat istiadat suatu masyarakat/golongan/agama. Saat untuk menggunakan sebuah etika
dalam memberikan penialaian perlu adanya beberapa pertimbangan karena sesungguhnya
objek yang diberi penilaian tidaklah bersifat tunggal dapat berupa suatu yang bersifat
jasmaniah atau rohaniah. Estetika dapat disebut sebuah keterampilan, ilmu, atau kecakapan.
Perbedaan Etika dan Estetika, etika lebih menitikberatkan pada baik – buruknya atau benar –
tidaknya tingkah laku dan tindakan manusia serta sekaligus menyoroti kewajiban tanggung
jawab manusiawi, dan berkaitan dengan apa yang menjadi dasar bahwa tindakan manusia
adalah baik atau buruk, benar atau salah. Sedangkan Estetika mempermasalahkan seni atau
keindahan yang diproduksi oleh manusia dan apresiasi yang harus dilakukan dalam proses
kreatif manusiawi. Dan Estetika berkaitan dengan imitasi atau reproduksi realitas. Seni
sebagai ekspresi sosial atau ekspresi personal atas suatu realitas.

3.2 Saran

Dari pemaparan diatas, pemakalah sedikit menyampaikan saran untuk masyarakat


luas bahwasannya dalam hidup kita juga perlu memandang adanya etika dan estetika, karena
dengan adanya kedua hal tersebut kita menjadi lebih bisa menghargai segala sesuatu yang ada
pada diri orang lain dan juga dapat menjadikan kita lebih berhai-hati dalam bersikap. Kami
selaku pemateri sangat menyadari banyaknya kekuarangan dari paparan materi kami,
sehingga sangat mengaharapkan kritik maupun saran dari pembaca yang semoga dapat
dijadikan pembelajaran untuk kedepannya.

15
Daftar Pustaka

Bertens, K. (2007). Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Hamersma, H. (1985). Pintu masuk ke dunia filsafat. Yogjakarta: Kanisius Hatta.Mufid,

Muhammad. 2009. Etika dan Filsafat Komunikasi. Jakarta : Kencana.

Rapar, J. H. (1996). Pengantar filsafat. Yogjakarta: Penerbit Kanisius.

16

Anda mungkin juga menyukai