Anda di halaman 1dari 207

STATISTIKA

DASAR
Oleh:
Prof. Dr. Binur Panjaitan, M.Pd.

INSTITUT AGAMA KRISTEN NEGERI (IAKN)


TARUTUNG

2020
KATA PENGANTAR

Mata kuliah Statistika Dasar merupakan jenjang awal


untuk mempelajari mata kuliah lainnya yang masih ada
hubungannya dengan statistika, seperti Statistika I dan Statistika II.
Statistika Dasar dapat dipandang sebagai mata kuliah yang
berdiri sendiri atau dapat juga dapat dipandang sebagai dasar mata
kuliah baru yang akan dapat dimanfaatkan oleh para mahasiswa
dalam bidang penelitian.
Sesuai dengan namanya, “Statistika Dasar”, dalam uraian-
uraian yang berkenaan dengan rumus-rumus yang digunakan hanya
digunakan begitu saja tanpa dilengkapi dengan penurunan-
penurunannya.
Mata kuliah ini diberikan dalam 3 SKS yang disajikan
dalam 9 Pokok Bahasan, yaitu: (1) Pengetahuan dasar statistika, (2)
Penyajian data dalam bentuk tabel, (3) Penyajian data dalam bentuk
diagram, (4) Ukuran pemusatan, (5) Ukuran lokasi dan disperse, (6)
Ukuran kemiringan dan keruncingan, (7) Kurva normal dan
penggunaannya, (8) Kurva-kurva lainnya dan penggunaannya dan
(9) Distribusi sampling.
Untuk menyelesaikan kesembilan pokok bahasan ini
disarankan agar mahasiswa mempelajari secara berurutan dari
pokok bahasan pertama sampai pokok bahasan kesembilan.
Selain membaca buku ini, diharapkan juga mahasiswa
membaca buku-buku yang judulnya tercantum pada referensi,
karena dengan membaca buku-buku tersebut akan membantu
mahasiswa dalam mengatasi kesulitan yang ditemukan dalam buku
ini.
Akhir kata kritik dan saran yang membangun diharapkan
juga dari para pembaca demi kesempurnaan buku ini.

Pematangsiantar, Maret, 2020


Penulis,

DAFTAR ISI
i
Halaman

KATA PENGANTAR ……………………………… i

DAFTAR ISI ………………………………………… ii

BAB I PENGETAHUAN DASAR STATISTIKA… 1


A. Data Statistik …………………………… 1
B. Dasar-dasar Analisis ……………………. 9

BAB II PENYAJIAN DATA DALAM BENTUK


TABEL………………………………………. 21
A. Macam-macam Penyajian Data Dalam
Bentuk Tabel…………………………….. 21
B. Macan-macam Tabel Distribusi Frekuensi.. 38

BAB III PENYAJIAN DATA DALAM BENTUK


DIAGRAM………………………………….. 58
A. Macam-macam Bentuk Diagram Untuk
Data Tidak Terkelompok ……………….. 58
B. Macam-macam Bentuk Diagram Untuk
Data Terkelompok ………………………. 71

BAB IV UKURAN PEMUSATAN …………………. 82


A. Nilai Rata-rata …………………………… 82
B. Modus dan Median ……………………… 95

BAB V UKURAN LOKASI DAN DISPERSI ……… 106


A. Kuartil, Desil dan Persentil ……………… 106
B. Ukuran Dispersi ………………………….. 113

BAB VI UKURAN KEMIRINGAN, UKURAN


KERUNCINGAN DARI KURVA NORMAL.. 126
A. Ukuran Kemiringan ……………………… 126
B. Ukuran Keruncingan (Kurtosis) …………. 131

ii
BAB VII KURVA NORMAL DAN KEGUNAANNYA 135
A. Distribusi Gauss…………………………… 135
B. Distribusi Student …………………………. 149
BAB VIII KURVA-KURVA LAIN DAN
PENGGUNAANNYA……………………… 157
A. Distribusi Khi Kuadrat (X2)……………….. 157
B. Distribusi F…………………………………. 161

BAB IX DISTRIBUSI SAMPLING ………………….. 170


A. Distribusi Nilai Rata-rata dan Distribusi
Proporsi …………………………………….. 170
B. Distribusi Simpangan Baku dan Distribusi
Selisih/Jumlah Nilai Rata-rata……………… 176
C. Distribusi Selisih Proporsi dan Distribusi
Sampling Lainnya ………………………….. 180

DAFTAR PUSTAKA …………………………………… 188

iii
BAB I
PENGETAHUAN DASAR STATISTIKA

A. DATA STATISTIK
Sebelum kita membahas mengenai data statistik, lebih
dahulu akan dipelajari definisi statistik dan statistika. Kita mungkin
pernah mendengar perkataan statistik dan statistika. Pada umumnya
kebanyakan orang tidak membedakan antara statistik dan statistika.
Oleh karena itu berikut ini akan dibahas pengertian dari kedua istilah
tersebut. Di samping itu, juga akan dibahas macam-macam data dan
pengumpulan data.
1. PENGERTIAN STATISTIK
Kata Statistik dapat diartikan sebagai kumpulan angka-angka
mengenai suatu masalah, sehingga dapat memberikan gambaran
mengenai masalah tersebut. Biasanya kumpulan data tersebut sudah
disusun dalam sebuah tabel. Misalnya statistik kecelakaan lalu lintas
berisi angka-angka mengenai banyak korban kecelakaan lalu lintas
menurut jenis korbannya, seperti luka ringan, luka berat dan
meninggal. Dan masih banyak lagi contohnya seperti statistik
penduduk, statistik pertanian dan sebagainya.
Kata statistik juga diartikan sebagai suatu ukuran yang
dihitung dari sekumpulan data dan merupakan wakil dari data itu.
Misalnya:

1
a. Rata-rata berat badan dari mahasiswa yang mengikuti kuliah
ini adalah 51 kg.
b. 90% dari mahasiswa yang mengikuti kuliah ini berasal dari
kota “A”.
c. Kecelakaan lalu lintas itu kebanyakan diakibatkan karena
kecerobohan pengemudi angkutan kota.
Dalam hal ini persentase, rata-rata dan kebanyakan termasuk ke
dalam statistik.
Pengertian statistik yang ketiga dikaitkan dengan ilmu
pengetahuan atau metode ilmiah dan sering disebut statistika.
Statistika adalah metode ilmiah yang mempelajari pengumpulan,
pengaturan, perhitungan, penggambaran dan penganalisisan data,
serta penarikan kesimpulan yang valid berdasarkan penganalisaan
yang dilakukan dan pembuatan keputusan yang rasional.
Statistika menurut fungsinya dibagi menjadi dua bagian,
yaitu statistika deskriptif dan statistika inferensial. Statistika yang
menyangkut kesimpulan yang valid dinamakan statistika inferensial
atau statistika induktif. Dalam statistika inferensial biasanya
memasukkan unsur peluang dalam menarik kesimpulannya.
Sedangkan statistika yang hanya menggambarkan dan menganalisis
kelompok data yang diberikan tanpa penarikan kesimpulan mengenai
kelompok data yang lebih besar dinamakan statistika deskriptif atau
statistika deduktif.

2
Jika kita memperhatika uraian di atas, maka untuk
melakukan penelitian suatu masalah kita menggunakan statistika
deskriptif lebih dahulu kemudia statistika induktif.
2. MACAM-MACAM DATA
Dalam menyelidiki suatu masalah selalu diperlukan data.
Data dapat diartikan sebagai keterangan yang diperlukan untuk
memecahkan suatu masalah. Berikut ini diberikan macam-macam
data ditinjau dari beberapa segi.
a. Menurut Sifatnya
Dalam hal ini, data dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
1) Data kualitatif, yaitu data yang berbentuk kategori
atau atribut.
Contoh 1:
-
Harga emas hari ini mengalami kenaikan
-
Sebagian dari produksi barang “A” pada perusahaan “x”
rusak.
2) Data Kuantitatif, yaitu data yang berbentuk bilangan.
Contoh 2:
-
Luas bangunan hotel itu adalah 5700 m2
-
Tinggi badan Sandy mencapai 170 cm.
-
Banyak perguruan tinggi di kota “B” ada 4 buah
Dalam hal ini, data kuantitatif dibagi menjadi dua bagian,
yaitu:
a) Data diskrit, yaitu data yang diperoleh dengan cara

3
menghitung atau membilang.
Contoh 3:
-
Banyak kursi yang ada di ruangan ini ada 75 buah.
-
Jumlah siswa yang mengikuti mata kuliah ini mencapai
110 orang.
-
Banyak anak pada keluarga Ali ada 3 orang.
b) Data kontinu, yaitu data yang diperoleh dengan cara
mengukur.
Contoh 4:
-
Panjang benda itu adalah 15 cm
-
Jarak antara kota Bandung dengan kota Cirebon adalah
130 m.
-
Berat badan Ali adalah 58 kg.
b. Menurut Cara Memperolehnya
Dalam hal ini data dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
1) Data primer, yaitu data yang dikumpulkan dan diolah sendiri
oleh suatu organisasi serta diperoleh langsung dari
obyeknya.
Contoh 5:
-
Pemerintah melalui Biro Pusat Statistik (BPS) ingin
mengetahui jumlah penduduk Indonesia, maka BPS
mengirimkan petugas-petugasnya untuk mendatangi
secara langsung rumah tangga – rumah tangga yang ada
di Indonesia.

4
-
Perusahaan susu “DANCOW” ingin mengetahui jumlah
konsumsi susu yang diminum oleh masyarakat di
Kelurahan Kejaksaan, maka petugas dari perusahaan
tersebut secara langsung mendatangi rumah tangga –
rumah tangga yang ada di Kelurahan Kejaksaan.
2) Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dalam bentuk
sudah jadi, sudah dikumpulkan dan diolah oleh pihak lain,
biasanya data itu dicatat dalam bentuk publikasi-publikasi.
Contoh 6:
Misalkan seorang peneliti memerlukan data mengenai
jumlah penduduk di sebuah kota dari tahun 1960 sampai
1970, maka orang itu dapat memperolehnya di BPS.
2. PENGUMPULAN DATA
Jika kita memperhatikan definisi statistika, maka fungsi
pertamanya adalah mengumpulkan data. Dalam hal ini, data yang
baru diperolehnya disebut data mentah, yaitu data yang belum
mengalami pengolahan apapun. Dalam statistika, proses
pengumpulan data ada dua, yaitu sensus dan sampling.
Sensus adalah cara pengumpulan data, jika setiap anggota
populasi diteliti satu persatu.
Contoh 7:
Misalkan kepala SMA “X” ingin mengetahui rata-rata
tinggi badan siswa-siswa di sekolahnya yang berjumlah
600 orang. Apabila setiap siswa diukur tinggi badannya,

5
kemudian dicatat, maka pengumpulan data seperti ini
dinamakan sensus.
Sampling adalah cara pengumpulan data, jika hanya sebagian
anggota populasi saja yang diteliti. Jadi di sini tidak semua anggota
populasi yang diteliti, tetapi hanya sebagian. Akan tetapi yang
sebagian itu harus menggambarkan keadaan populasi yang
sebenarnya. Dengan demikian sebagian dari anggota populasi itu
dikatakan bersifat representatif.
Contoh 8: Lihat kembali contoh 7
Apabila jumlah siswa yang diukur tinggi badannya hanya 60
orang saja, dengan perincian:
Kelas I diambil 20 orang siswa,
Kelas II diambil 20 orang siswa,
Kelas III diambil 20 orang siswa,
maka cara pengumpulan data seperti ini dinamakan
sampling.
Dalam pengertian sensus dan sampling ada istilah populasi.
Istilah populasi sering digunakan dalam mempelajari statistika.
Menurut definisi, sebuah populasi mencakup semua anggota dari
kelompok yang diteliti.
Contoh 9:
-
Semua penduduk Kotamadya Bandung
-
Semua pasien di rumah sakit “X” pada waktu tertentu
-
Seluruh siswa SMA “A” selama tahun ajaran 1990/1991

6
-
Seluruh mahasiswa jurusan Pendidikan Matematika di
sebuah UNIVERSITAS tahun akademik 1990/1991.
Semua contoh di atas merupakan contoh populasi. Pada
prakteknya kita tidak mungkin mengamati semua anggota populasi,
mengingat berbagai hal. Jadi kita hanya mengamati sebagian anggota
dari anggota populasi, dimana sebagian anggota tersebut harus
bersifat representatif. Sebagian anggota yang diambil dari populasi
disebut sampel. Misalkan kita mengamati jumlah penduduk
Kotamadya Bandung sebagai populasinya. Kemudian kita
menghitung proporsi penduduk yang berjenis kelamin perempuan.
Proporsi ini kadang-kadang disebut parameter. Apabila kita
mengambil sampel acak dari jumlah penduduk Kotamadya Bandung
dan menghitung proporsi penduduk yang berjenis kelamin
perempuan, maka karakteristik dari sampel itu dinamakan statistik.
Untuk menotasikan sebuah parameter populasi biasanya digunakan
huruh Yunani, sedangkan untuk notasi sebuat statistik digunakan
digunakan huruf Latin.
Misalnya: µ (mu) adalah simbol untuk rata-rata populasi.
x adalah simbol untuk rata-rata sampel.

Banyak anggota populasi biasanya dinotasikan dengan N dan banyak


anggota sampel biasanya dinotasikan dengan n.
Untuk memilih sampel dari suatu populasi dapat dilakukan
dalam dua cara, yaitu:
a. Cara Acak

7
adalah cara pemilihan sejumlah anggota dari populasi yang
dilakukan sedemikian rupa sehingga anggota-anggota
populasi itu mempunyai kemungkinan yang sama untuk
terpilih menjadi anggota sampel. Penilaian dengan cara
seperti ini bersifat obyektif.
Cara pemilihan anggota sampel dapat dilakukan dengan dua
cara yaitu:
1) Dengan undian:
Setiap anggota populasi diberi nomor, kemudian
diundi untuk mendapatkan anggota sampel yang diharapkan.
Cara seperti ini dilakukan jika jumlah anggota populasinya
sedikit.
2) Dengan Tabel Bilangan Acak
Dalam hal ini, untuk memilih anggotanya
menggunakan tabel bilangan acak, yaitu tabel yang berisi
sekumpulan bilangan yang dikelompokkan ke dalam lima
kolom dan lima baris.
Misalnya banyak anggota populasinya ada 900. Jadi N =
900. Kemudian anggota-anggota tersebut diberi nomor yang
terdiri dari tiga digit (angka), mulai dari 001, 002, 003, 004,
005, 006, 007, 008, 009, 010, 011, ... , 898, 899, 900. Lalu
diambil pensil yang runcing dan ditunjukkan, pada angka-
angka tabel bilangan acak secara acak dan hasilnya diambil
tiga digit ke samping kanan. Jika hasil tersebut merupakan

8
bilangan yang lebih kecil atau sama dengan 900, maka ini
dapat dianggap sebagai anggota sampel. Kemudian kita
melihat tiga digit lagi ke kanan bawah. Jika hasil tersebut
merupakan bilangan yang lebih besar dari 900, maka ini
tidak dianggap sebagai anggota sampel. Apabila penunjukan
bilangan ini sudah sampai ke bawah, maka penunjukan itu
dilanjutkan dengan tiga digit di atasnya mulai dari digit
keempat. Penunjukan ini diteruskan sampai banyak anggota
sampel yang harus diambil itu terpenuhi.

b. Cara Tidak Acak


adalah cara pemilihan sejumlah anggota dari populasi
dengan setiap anggotanya tidak mempunyai kemungkinan
yang sama untuk terpilih menjadi anggota sampel. Dalam hal
ini, anggota-anggota tertentu saja dari populasi yang akan
terpilih menjadi anggota sampel, dan pemilihan anggota-
anggota tersebut bersifat subyektif.

B. DASAR-DASAR ANALISIS
Dalam melakukan penganalisisan data mungkin dihadapi
dengan bilangan-bilangan yang tidak bulat, artinya bilangan yang
mengandung angka desimal. Untuk keperluan praktis biasanya akan
dilakukan pembulatan bilangan terhadap hasil analisis yang
mengandung angka desimal. Di samping itu juga dalam

9
penganalisisan akan banyak dijumpai perhitungan-perhitungan yang
menggunakan notasi jumlah. Oleh karena itu berikut ini akan dibahas
aturan-aturan dalam membulatkan sebuah bilangan dan notasi
jumlah.
1. PEMBULATAN BILANGAN
Berikut ini akan diberikan tiga buah aturan pembulatan
bilangan yang banyak digunakan dalam penganalisisan data.

ATURAN 1: Jika angka terkiri dari angka yang harus


dihilangkan kurang dari 5 maka angka terkanan dari angka
yang mendahuluinya tetap (tidak berubah).
Contoh 1:
50,15 ton dibulatkan hingga satuan ton terdekat menjadi 50
ton. Dalam hal ini angka-angka yang harus dihilangkan
adalah 15 dan angka terkiri dari 15 itu adalah 1 (kurang dari
5) maka angka terkanan yang mendahului 15, yaitu 0, tetap.

ATURAN 2: Jika angka terkiri dari angka yang harus


dihilangkan lebih dari 5 atau angka 5 diikuti oleh angka-angka
bukan nol semua maka angka terkanan dari angka yang
mendahuluinya bertambah dengan satu.

Contoh 2:
8695 kg dibulatkan hingga ribuan kg menjadi 9000 kg.
Dalam hal ini, angka-angka yang harus dihilangkan adalah
695 dan angka terkiri dari 695 itu adalah 6 (lebih dari 5)

10
maka angka terkanan yang mendahului 695, yaitu 8
bertambah dengan satu menjadi 9.
Contoh 3:
50,15001 menit dibulatkan hingga persepuluhan menit
terdekat menjadi 50,2. Dalam hal ini, angka-angka yang
harus dihilangkan adalah 5001 dan angka terkiri dari 5001
adalah 5 tapi diikuti oleh angka-angka bukan nol semua,
maka angka terkanan yang mendahului 5001, yaitu 1,
bertambah dengan satu menjadi 50,2.

ATURAN 3: Jika angka terkiri dari angka yang harus


dihilangkan sama dengan 5 atau angka 5 diikuti oleh angka-
angka nol semua maka angka terkanan dari angka yang
mendahuluinya tetap jika angka tersebut genap, dan
bertambah satu jika angka tersebut ganjil.

Contoh 4:
14,35 gram dibulatkan hingga persepuluhan gram terdekat
menjadi 14,4 gram. Dalam hal ini angka yang harus
dihilangkan adalah 5, maka angka terkanan yang mendahului
5 yaitu 3 bertambah satu menjadi 4 (karena 3 merupakan
angka ganjil).
Contoh 5:
24,5000 cm dibulatkan hingga satuan cm menjadi 24 cm.
Dalam hal ini angka-angka yang harus dihilangkan adalah
5000 dan angka terkiri dari 5000 itu adalah 5, maka angka

11
terkanan yang mendahului 5000, yaitu 4 tetap (karena 4
merupakan angka genap).

2. NOTASI KOMPUTASI
Dalam statistika banyak sekali dijumpai perhitungan-

perhitungan yang menggunakan notasi jumlah. Huruf Yunani 


dinyatakan sebagai operator matematika untuk penjumlahan dan
dibaca “jumlah dari”. Notasi penjumlahan ini digunakan untuk
menunjukkan penambahan atau penjumlahan dari sekumpulan
bilangan. Misalkan berat badan (dicatat dalam kg) dari 5 orang
mahasiswa adalah 60, 55, 58, 62, 63. Dalam hal ini berat badan dapat
dikatakan sebagai sebuah variabel, katakanlah X. Dengan
menggunakan simbol-simbol X1, X2, X3, X4, dan X5 untuk
menyatakan berat badan dari lima orang mahasiswa, jumlah dari
berat badan tersebut dapat ditulis sebagai berikut:
5

X
i 1
i

Notasi ini dibaca “penjumlahan berat badan X i dari i = 1


sampai i = 5 artinya jumlah dari lima berat badan, yaitu:
5

X
i 1
i = X1+ X2+ X3+ X4 + X5

= 60 + 55 + 58 + 62 + 63
= 298
Secara umum, jika ada n buah nilai dijumlahkan maka:
12
n

X
i 1
i = X1+ X2+ X3+ ... + Xn

n
Kadang-kadang notasi penjumlahan 
i 1
disederhanakan menjadi

 dengan pengertian penjumlahan ini dilakukan atas n buah


pengamatan.
n
Pengoperasian simbol X
i 1
i dapat dilakukan sebagai berikut:

i diganti 1 diperoleh X1,


i diganti 2 diperoleh X2,
i diganti 3 diperoleh X3,
.................................
i diganti n diperoleh Xn.
Kemudian kita menjumlahkan semua suku-suku tersebut. Oleh
karena itu, dengan cara yang sama dapat ditulis:
4
2
X i X 12  X 22  X 32  X 42
i 1

X Y
i 1
i i X 1Y1  X 2Y2  X 3Y3  X 4Y4

3
2
X Y i i  X 1Y12 X 2Y22  X 3Y32
i 1

Biasanya untuk indeks banyak digunakan i, j dan k.


Contoh 6: Jika X1 = 1, X2 = 3 dan X3 = 5 maka hitunglah:

13
3
a. X
i 1
i ...

3
2
b.  2X
i 1
i ...

3
c. (X
i 1
i  1) ...

Penyelesaian:
3
1. X
i 1
i  X 1  X 2  X 3 1  3  5 9

3
2
 2X i 2 X 12  2 X 22  2 X 33
2. i 1

2(1) 2  2(3) 2  2(5) 2 2  18  50 70


3
3.  (X i  1)  X 1  1   X 2  1   X 3  1
i 1

= (1 – 1) + (3 – 1) + (5 – 1) = 2 + 4 = 6
Contoh 7: Jika X1 = 2, X2 = -3, X3 = 1, Y1 = 1, Y2 = 2 dan Y3 = 4,
maka hitunglah!
3
a. XY
i 1
i i ...

2
  3 2 
b.   i   Yi  ...
X
 i 1   j 1 
Penyelesaian:

14
3
a. X Y
i 1
i i  X iYi  X 2Y2  X 3Y3

= (2) (1) + (-3) (2) + (1) (4)


=2–6+4
=0

 2  3 2  2 2
b.  i    Y j  (X1 + X2) Y1  Y2  Y3
 X 2
 
 i 1   j 1 
= [2 + (-3)](12 + 22 + 42)
= (-1) (1 + 4 + 16)
= (-1) (21)
= -21
Berikut ini akan diberikan tiga buah dalil yang berkaitan
dengan notasi jumlah.

DALIL 1: Penjumlahan dari jumlah dua atau lebih variabel sama


dengan jumlah masing-masing penjumlahan variabelnya. Jika
ada tiga buah variabel X, Y dan Z, maka:
n n n n

  X i  Yi  Z i   X i   Yi   Z i
i 1 i 1 i 1 i 1

Bukti:

15
n

X
i 1
i  Yi  Z i   X 1  Y1  Z1    X 2  Y2  Z 2  

 X 3  Y3  Z 3   ...   X n  Yn  Z n 
= (X1 + X2+ X3 + … + Xn) +(Y1 + Y2 + Y3 + … + Yn) + (Z1 +
Z2 + Z3 + …+ Zn)
n n n n

  X i  Yi  Z i   X i   Yi   Z i
i 1 i 1 i 1 i 1

DALIL 2: Jika c adalah sebuah konstanta, maka:


n n

 cX i c X i
i 1 i 1

Bukti:
n

 cX
i 1
i cX 1  cX 2  cX 3  ...  cX n

= c (X1 + X2 + X3 + ... + Xn)


n
= c X i
i 1

DALIL 3: Jika c adalah sebuah konstanta, maka:


n

 c nc
i 1

Bukti:

16
n

 c c cc  ... c nc


i 1 n  suku

Contoh 8: Jika X1 = 2, X2 = 3, X3 = -1, Y1 = 1, Y2 = 2 dan Y3 = -1,


3
maka hitung:  3X
i 1
i  Yi  3

Penyelesaian:
3

 3 X
i 1
i  Yi  3 = (3X1 + Y1 + 3) + (3X2 + Y2 + 3) + (3X3 + Y3 +

3)
= (3(2) – 1 + 3) + (3(3) – 2 + 3) + (3(-1) + 1 + 3)
= (6 – 1 + 3) + (9 – 2 + 3) + (- 3 + 1 + 3)
= 19
atau
3 3 3 3

  3 X i  Yi  3 =  3 X i   Yi   3
i 1 i 1 i 1 i 1

3 3
=  3X i 
i 1
Y
i 1
i  (3).3

= 3 (2 + 3 – 1) – (1 + 2 – 1) + 9
= 12 – 2 + 9
= 19
3
2
Contoh 9: Sederhanakan   X  i
i 1

17
Penyelesaian:
3 3

  X  i 2 =   X 2 
i 1 i 1
2 Xi  i 2 
3 3 3
2 2
= X
i 1
  2 Xi   i
i 1 i 1

3 3
2
= 3X2 - 2 X i  i
i 1 i 1

= 3X2 – 2X(1 + 2 + 3) + (1 + 4 + 9)
= 3X2 – 12X + 14
LATIHAN
1. Berikut ini diberikan beberapa pernyataan yang merupakan
contoh dari bermacam-macam data.
a. Tinggi bangunan hotel itu mencapai 50 meter.
b. Banyak kendaraan roda dua yang melewati
persimpangan jalan itu.
c. Penilaian seorang guru terhadap siswa-siswanya.
d. Kecepatan kendaraan tiap jam.
e. Banyak halaman buku yang sudah dibaca Sandy hari
ini.
f. Mutu barang yang diproduksi.
g. Banyak mahasiswa yang mengikuti mata kulaih pada
hari ini.
h. Jumlah kecelakaan lalu lintas pada tahun 1990
menurun.
18
i. Luas tanah Pak Ali 250 m2.
Manakah yang termasuk data kualitatif?
2. Dari pernyataan-pernyataan soal nomor 1, manakah yang
termasuk data diskrit?
3. Dari pernyataan-pernyataan soal nomor 1, manakah yang
termasuk data kontinu?
4. Apakah yang dimaksud dengan staistika deskriptif dan
statistika induktif?
5. Kapankah kita melakukan sensus dan sampling?
6. Bulatkan bilangan-bilangan ini hingga ketelitian yang
diberikan.
a. 50,75500 dibulatkan hingga perseratusan yang terdekat.
b. 18,45 dibulatkan hingga satu desimal.
c. 0,75645 dibulatkan hingga perseribuan yang terdekat.
7. Uraikan:
10
2
a. W
i 6
i

4
b.  (X
h 2
h  h)

5
c.  3Y
j 1
j  2

8. Sederhanakan:
4
a.  2 X  i
i 2

19
3
3
b.   X  Y  3
i 0

9. Jika X1 = 4, X2 = -3, X3 = 6 dan X4 = -1, maka hitung:


4
2
a. X X
i 1
i i  1

4
2
b.  X
i 2
i  i

m n m n
10. Perlihatkan bahwa  cX
i 1 j 1
ij c  X ij
i 1 j 1

20
21
22
BAB II
PENYAJIAN DATA DALAM BENTUK TABEL

A. MACAM-MACAM PENYAJIAN DATA DALAM BENTUK


TABEL
Misalkan kita mempunyai sekumpulan data, dan data
tersebut masih belum tersusun secara teratur. Untuk keperluan
penganalisisan biasanya data itu disusun dalam sebuah tabel. Oleh
karena itu, berikut ini akan dijelaskan hal-hal yang berkaitan dengan
penyajian data dalam bentuk tabel, seperti: aturan-aturan dalam
pembuatan tabel, macam-macam tabel, dan cara membuat tabel
distribusi frekuaensi.
1. ATURAN-ATURAN PEMBUATAN TABEL
Dalam sebuah tabel biasanya terdiri dari beberapa baris dan
beberapa kolom. Dalam hal ini, untuk membuat sebuah tabel yang
benar diperlukan aturan-aturan sebagai berikut.
a. Judul Tabel:
Dalam judul tabel harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1) Harus ditulis di tengah-tengah bagian teratas.
2) Diberi nomor agar lebih mudah dalam pencarian tabel. Biasanya
nomor itu meliputi bab berapa materi itu sedang dibahas dan
nomor urut tabel itu sendiri.
Contoh: Daftar 1 (2) artinya tabel itu membahas materi Bab
I dan urutan tabel kedua yang dibahas.

21
3) Ditulis dengan huruf besar semua.
4) Ditulis secara singkat dan jelas meliputi: masalah apa, di mana
masalah itu terjadi, kapan masalah itu terjadi dan satuan dari objek
yang dipermasalahkan (bila ada).
5) Dapat ditulis dalam beberapa baris, dengan tiap barisnya
menggambarkan sebuah kalimat yang lengkap.
6) Sebaiknya tiap baris jangan dilakukan pemisahan kata.
Contoh 2: Daftar 1 (1)
BERAT BADAN MAHASISWA PROGRAM S-1
JUURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA
TAHUN 2015
DICATAT DALAM KG

b. Judul Baris
1) Ditulis secara singkat dan jelas
2) Dapat ditulis dalam beberapa baris
3) Sebaiknya jangan dilakukan pemisahan bagian kata.
c. Judul Kolom
1) Ditulis secara singkat dan jelas
2) Dapat ditulis dalam beberapa baris
3) Sebaiknya jangan dilakukan pemisahan bagian kata.
d. Di sebelah kiri bawah tabel biasanya terdapat bagian untuk
menuliskan catatan yang diberikan (bila perlu), atau bisa juga kata
“Sumber” yang menjelaskan dari mana data itu dikutip. Jika kata
“Sumber” itu tidak ada, ini berarti bahwa pemakai data itu sendiri
yang mengumpulkan datanya (bisa berupa data fiktif atau data
22
yang benar-benar hasil penelitiannya).
e. Jika ada data mengenai waktu, maka waktu hendaknya disusun
secara berurutan.
Misalnya:
- Senin, Selasa, Rabu dan seterusnya
- 1980, 1981, 1982, dan seterusnya
- Januari, Februari, Maret dan seterusnya.
f. Jika ada dua mengenai kategori, maka kategori disusun menurut
kebiasaan.
Misalnya:
- Laki-laki dahulu, kemudian perempuan
- Besar dahulu, kemudian kecil
- Untung dahulu kemudian rugi
- Bagus dahulu kemudian rusak/jelek.

2. MACAM-MACAM TABEL
Untuk menyusun sekumpulan data yang besar kecilnya
belum tersusun secara teratur ke dalam bentuk yang teratur,
sebaiknya data ini disajikan dalam sebuah tabel. Dalam hal ini, tabel
yang biasa digunakan ada tiga macam, yaitu:
a. Tabel baris-kolom
b. Tabel kontingensi
c. Tabel distribusi frekuensi.
Contoh 3:

23
Berikut ini diberikan data mengenai jumlah lulusan
mahasiswa Program D-2, Program D-3, dan Program S-1
dari empat jurusan yang ada di FMIPA sebuah
UNIVERSITAS selama setahun. Dari Jurusan Pendidikan
Biologi telah meluluskan 90 orang yang diperinci sebagai
berikut: laki-laki lulusan S-1 sebanyak 15 orang, 20 orang
perempuan lulusan S-1, 10 orang laki-laki lulusan D-3, 10
orang laki-laki jurusan D-2, dan 18 orang perempuan lulusan
D-2.
Dari Jurusan Pendidikan Fisika telah meluluskan 99 orang
yang diperinci sebagai berikut: Laki-laki lulusan S-1
sebanyak 10 orang, 17 orang perempuan lulusan S-1, 14
orang laki-laki lulusan D-3, 22 orang perempuan lulusan D3,
18 orang laki-laki jurusan D-2, dan 16 orang perempuan
lulusan D-2.
Dari Jurusan Pendidikan Matematika telah meluluskan
sebanyak 104 orang yang diperinci sebagai berikut: 18 orang
laki-laki lulusan S-1, 25 orang perempuan lulusan S-1, 15
orang laki-laki lulusan D-3, 15 orang perempuan lulusan D3,
16 orang laki-laki jurusan D-2, dan 15 orang perempuan
lulusan D-2.
Jika kita memperhatikan data di atas maka kita akan
mengalami kesukaran dalam membandingkan lulusan mahasiswa

24
antara jurusan yang satu dengan jurusan lainnya.Untuk mengatasinya
disusunlah data di atas ke dalam sebuat tabel sebagai berikut:
DAFTAR 1 (1)
JUMLAH LULUSAN MAHASISWA S-1, D-3, DAN D-2
DARI EMPAT JURUSAN DI FMIPA SEBUAH UNIVERSITAS
SELAMA SATU TAHUN

Jurusan S-1 D-3 D-2 Jumlah


L P L P L P
Biologi 15 20 10 17 10 18 90
Fisika 10 17 14 22 18 18 99
Kimia 12 12 12 18 18 16 88
Matematika 18 25 15 15 16 15 104
Jumlah 55 74 51 72 62 67 381

Dari daftar 1 (1.1) diperoleh penafsiran sebagai berikut:


1. 24% dari jumlah lulusan FPMIPA berasal dari Jurusan Pendidikan
Biologi.
2. 26% dari jumlah lulusan FPMIPA berasal dari Jurusan Pendidikan
Fisika.
3. 23% dari jumlah lulusan FPMIPA berasal dari Jurusan Pendidikan
Kimia.
4. 27% dari jumlah lulusan FPMIPA berasal dari Jurusan Pendidikan
Matematika.
5. 14% dari jumlah lulusan FPMIPA berasal dari laki-laki Program
S-1.
6. 44% dari jumlah lulusan FPMIPA berjenis kelamin laki-laki.

25
Dan masih banyak lagi penafsiran yang dapat dibuat. Dalam
hal ini, data di atas disajikan dalam tabel baris dan kolom. Data
dalam contoh 3 dapat disajikan dalam tabel kontingensi ukuran 4 ×
3, seperti nampak dalam Daftar 1 (2).
Daftar 1 (2)
Jumlah Lulusan Mahasiswa S-1, D-3, dan D-2
Dari Empat Jurusan di FMIPA Sebuah UNIVERSITAS
Selama Satu Tahun

Program S-1 D-3 D-2 Jumlah


Jurusan
Biologi 35 27 28 90
Fisika 27 36 36 99
Kimia 24 30 34 88
Matematika 43 30 31 104
Jumlah 129 123 129 381

Sedangkan penyajian data dalam tabel distribusi frekuensi


dapat dilihat dalam Daftar 1 (3).
3. TABEL DISTRIBUSI FREKUENSI
Masalah-masalah yang akan dibahas dalam tabel distribusi
frekuensi ada empat, yaitu:
a. Pengertiannya
b. Istilah-istilah yang ada di dalamnya
c. Cara pembuatannya
d. Penafsirannya.
Sebelum dibahas mengenai tabel distribusi frekuensi ada tiga
istilah yang perlu dibahas, yaitu array, data tidak terkelompok dan
data terkelompok. Array adalah penyusunan sekumpulan data
26
menurut urutan nilainya, mulai dari data yang terkecil sampai nilai
data yang terbesar.
Data tidak terkelompok adalah data yang nilai-nilainya belum
disusun dalam tabel distribusi frekuensi.
Data terkelompok adalah data yang nilai-nilainya sudah disusun
dalam tabel distribusi frekuensi.
Untuk memberikan pengertian mengenai tabel distribusi
frekuensi, sebenarnya setiap orang dapat mendefinisikannya
berdasarkan bentuk umumnya. Oleh karena itu, berikut ini akan
diberikan bentuk umum dari tabel distribusi frekuensi, seperti
Nampak dalam Daftar 1 (3).
DAFTAR 1 (3)
BENTUK UMUM TABEL DISTRIBUSI FREKUENSI
Nilai Data Frekuensi
a–b f1
c–d f2
e–f f3
g–h f4
i–j f5
Jumlah 5

f
i 1
i

Dari bentuk umu di atas, maka tabel distribusi frekuensi


dapat didefinisikan sebagai sebuah tabel yang berisi nilai-nilai data,
dengan nilai-nilai tersebut dikelompokkan ke dalam interval-interval
dan setiap interval nilai masing-masing mempunyai frekuensinya.

27
Mungkin ada orang yang akan mendefinisikan tabel
distribusi frekuensi berbeda dari definisi di atas. Hal ini tidak
menjadi masalah, asalkan pemberian definisi tersebut harus sesuai
dengan bentuk umumnya.
Dari tabel distribusi frekuensi, ada beberapa istilah yang
digunakan di dalamnya, antara lain:
a. Kelas Interval, yaitu kelompok nilai data yang berupa interval.
Dari daftar 1 (3), tabel distribusi frekuensi terdiri dari lima
kelas interval.
a – b merupakan kelas interval pertama
c – d merupakan kelas interval kedua
e – f merupakan kelas interval ketiga
g – h merupakan kelas interval keempat
i – j merupakan kelas interval kelima.
b. Ujung Bawah, yaitu bilangan yang terdapat di sebelah kiri interval
nilai data untuk setiap kelas interval.
Dari bentuk umum dalam Daftar (3) maka ujung-ujung bawahnya
adalah: a, c, e, g, i.
a merupakan ujung bawah kelas interval pertama.
c merupakan ujung bawah kelas interval kedua.
e merupakan ujung bawah kelas interval ketiga.
g merupakan ujung bawah kelas interval keempat.
i merupakan ujung bawah kelas interval kelima.
c. Ujung Atas, yaitu bilangan yang terdapat di sebelah kanan interval

28
nilai data untuk setiap kelas interval.
Dari bentuk umum dalam Daftar (3) maka ujung-ujung atasnya
adalah: b, d, f, h, j
b merupakan ujung atas kelas interval pertama.
d merupakan ujung atas kelas interval kedua.
f merupakan ujung atas kelas interval ketiga.
h merupakan ujung atas kelas interval keempat.
j merupakan ujung atas kelas interval kelima.
d. Batas Bawah, yaitu bilangan yang diperoleh dengan cara: ujung
bawah dikurangi ketelitian data yang digunakan.
Dalam hal ini, ketelitian data yang digunakan tergantung pada
pencatatan datanya.
Jika data yang digunakannya dicatat dalam bilangan bulat,
ketelitian datanya 0,5.
Jika data yang digunakannya dicatat dalam bilangan satu
desimal, ketelitian datanya 0,05.
Jika data yang digunakannya dicatat dalam bilangan dua
desimal, ketelitian datanya 0,005.
Dan seterusnya.
Jika diambil datanya dicatat dalam bilangan bulat, maka dari
bentuk umum dalam Daftar 1 (3) batas-batas bawahnya adalah:
a – 0,5 merupakan batas bawah kelas interval pertama,
c – 0,5 merupakan batas bawah kelas interval kedua,
e – 0,5 merupakan batas bawah kelas interval ketiga,

29
g – 0,5 merupakan batas bawah kelas interval keempat,
i – 0,5 merupakan batas bawah kelas interval kelima.
e. Batas Atas, yaitu bilangan yang diperoleh dengan cara: ujung atas
ditambah ketelitian data yang digunakan.
Ketelitian datanya sama dengan ketelitian data dalam menentukan
batas bawah.
Misalnya dicatat data, bilangan bulat, maka dari bentuk
umum dalam Daftar 1 (3) batas-batas atasnya adalah:
b + 0,5 merupakan batas atas kelas interval pertama,
d + 0,5 merupakan batas atas kelas interval kedua,
f + 0,5 merupakan batas atas kelas interval ketiga,
h + 0,5 merupakan batas atas kelas interval keempat,
j + 0,5 merupakan batas atas kelas interval kelima.
f. Titik Tengah (Tanda Kelas), yaitu bilangan yang diperoleh dengan
cara: ujung bawah ditambah ujung atas, kemudian hasilnya dibagi
dua untuk setiap kelas interval.
1
Titik Tengah = (Ujung Bawah + Ujung Atas)
2
Dari bentuk umum dalam daftar 1 (3) maka kelima titik
tengahnya adalah:
1
( a  b) merupakan titik tengah kelas interval pertama,
2
1
(c  d ) merupakan titik tengah kelas interval kedua,
2

30
1
(e  f ) merupakan titik tengah kelas interval ketiga,
2
1
( g  h) merupakan titik tengah kelas interval keempat,
2
1
(i  j ) merupakan titik tengah kelas interval kelima,
2
g. Panjang Kelas, yaitu bilangan yang diperoleh dari jarak/selisih
antara ujung bawah dan ujung atas, dengan ujung
bawahnya termasuk dihitung. Untuk data yang dicatat dalam
bilangan bulat, hal ini mudah. Akan tetapi untuk data yang
dicatat dalam bilangan decimal, hal ini akan mengalami kesulitan.
Dalam hal ini, ada beberapa cara dalam menentukan panjang
kelas untuk kelas interval tertentu dari tabel distribusi frekuensi yang
sudah tersedia, antara lain:
- Panjang kelas sebuah kelas interval diperoleh dari ujung
bawah kelas interval berikutnya dikurangi ujung bawah kelas
interval yang bersangkutan.
- Panjang kelas sebuah kelas interval diperoleh dari batas
bawah kelas interval berikutnya dikurangi batas bawah kelas
interval yang bersangkutan.
- Panjang kelas sebuah kelas interval diperoleh dari ujung atas
dikurangi ujung bawah masing-masing untuk kelas interval
yang bersangkutan, dan hasilnya ditambah dengan dua kali
ketelitian data yang digunakan. Ketelitian datanya sama

31
dengan ketelitian data yang digunakan dalam menentukan
batas bawah.
Untuk menyusun sekumpulan data ke dalam tabel distribusi
frekuensi dengan panjang kelas yang sama untuk setiap kelas interval
diperlukan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Tentukan nilai rentang
Rentang diperoleh dengan cara: nilai data yang terbesar
dikurangi nilai data terkecil.
RENTANG = NILAI DATA TERBESAR – NILAI DATA
TERKECIL
Dalam hal ini diperoleh ketelitian dan kecermatan dalam
memilih data terbesar dan data terkecil, jangan sampai salah
memilih. Hal ini akan lebih sukar lagi, jika data yang
digunakannya dicatat dalam bilangan desimal.
b. Tentukan banyak kelas yang digunakan.
Biasanya banyak kelas yang digunakan itu paling sedikit 5
buah dan paling banyak 15 buah, sehingga dapat ditulis:
5 ≤ BANYAK KELAS ≤ 15.
Dalam hal ini, ada sebuah aturan untuk menentukan banyak
kelas yang digunakan dalam sebuah tabel distribusi
frekuensi, yaitu ATURAN STURGES dengan rumusnya
sebagai berikut: k = 1 + (3,3) (log n)
dengan: k = Banyak kelas interval
n = Banyak data yang digunakan

32
Jika kita memperhatikan perumusan di atas, maka hasil akhir
dari perhitungannya pasti berupa bilangan desimal. Karena
banyak kelas itu harus merupakan bilangan bulat, maka hasil
akhir itu harus dibulatkan. Pembulatan bilangannya boleh
dilakukan ke bawah atau boleh juga dilakukan ke atas. Tapi
sebaiknya pembulatan bilangannya dilakukan ke atas.
c. Tentukan panjang kelas.
Panjang kelas diperoleh dengan cara nilai rentang dibagi
dengan banyak kelas, sehingga dapat ditulis:
Rentang
p
k
dengan: p = Panjang kelas
k = Banyak kelas.
Jika kita memperhatikan perumusan di atas, maka hasil akhir
dari perhitungannya biasanya berupa bilangan desimal. Oleh
karena itu dalam menentukan panjang kelas harus dilakukan
pembulatan bilangan yang sesuai dengan pencatatan datanya,
artinya:
1) Jika data yang digunakan dicatat dalam bilangan
bulat, maka panjang kelas dicatat dalam bilangan
satu desimal.
2) Jika data yang digunakan dicatat dalam bilangan
satu desimal, maka panjang kelas dicatat dalam
bilangan dua desimal.

33
3) Jika data yang digunakan dicatat dalam bilangan dua
desimal, maka panjang kelas dicatat dalam bilangan
tiga desimal.
Dan seterusnya.
d. Tentukan nilai ujung bawah kelas interval pertama.
Dalam hal ini, ada dua kemungkinan yang bisa terjadi, yaitu:
1) Ujung bawah kelas interval pertama boleh
mengambil nilai data yang terkecil.
2) Ujung bawah kelas interval pertama boleh
mengambil nilai data yang lebih kecil dari nilai data
yang terkecil. Kemungkinan kedua ini bisa
dilakukan dengan syarat, nilai data yang terbesar
harus tercakup dalam interval nilai data pada kelas
interval terakhir.
Jadi sekumpulan data bisa dibuat satu atau beberapa buah
tabel distribusi frekuensi sesuai dengan pengambilan nilai
data untuk ujung bawah kelas interval pertamanya. Dalam
hal ini, dari sekumpulan data bisa dibuat lebih dari satu buah
tabel distribusi frekuensi, apabila ujung bawah kelas interval
terakhir lebih besar dari nilai data.
e. Masukkan semua data ke dalam interval kelas.
Untuk memudahkannya sebaiknya dibuat kolom tersendiri
yang berisi garis miring (tally/turus) sesuai dengan kelas
intervalnya. Selanjutnya jumlahkan semua tally/turus, yang

34
terdapat pada masing-masing kelas interval, kemudia nilai
jumlah tersebut diletakkan pada kolom tersendiri. Kolom
tersendiri ini disebut kolom Tally.
Contoh 4:
Berikut ini diberikan data mengenai hasil ujian tengah
semester, mata kuliah Statistika dari mahasiswa Program S-1
Jurusan Pendidikan Matematika FKIP di sebuah Universitas.
65 72 67 82 72 91 67 73 71 70
85 87 68 86 83 90 74 89 75 61
65 76 71 65 91 79 75 69 66 85
95 74 73 68 86 90 70 71 88 68
Susunlah data di atas ke dalam tabel distribusi frekuensi
dengan panjang kelas yang sama.
Penyelesaian:
Langkah-langkah penyusunannya adalah sebagai berikut:
1. Rentang = 95 – 61 = 34
2. Banyak kelas: k = 1 + (3,3) (log 40)
k = 1 + (3,3) (1,6021)
k = 6,28693
Jadi banyak kelas yang digunakan bisa 6 buah atau 7 buah.
Di sini akan diambil banyak kelas sebanyak 7 buah.
34
3. Panjang kelas = p  4,86 .
7

35
Karena datanya dicatat dalam bilangan bulat, panjang
kelasnya diambil 5.
4. Ujung bawah kelas interval pertamanya diambil 61.
Untuk memasukkan sekumpulan data ke dalam kelas interval
diperlukan kolom tally, dengan cara sebagai berikut:
a. Nilai 65 termasuk ke dalam kelas interval pertama,
yaitu 61 – 65 dan pada kolom tally yang sesuai
dengan kelas interval pertama ditulis /. Selanjutnya
nilai 65 dicoret agar tidak dihitung dua kali.
b. Nilai 67 termasuk ke dalam kelas interval kedua,
yaitu 66 – 70 dan pada kolom tally yang sesuai
dengan kelas interval kedua ditulis /. Selanjutnya
nilai 67 dicoret agar tidak dihitung dua kali.
c. Nilai 72 termasuk ke dalam kelas interval ketiga,
yaitu 71 – 75 dan pada kolom tally yang sesuai
dengan kelas interval ketiga ditulis /. Selanjutnya
nilai 72 dicoret agar tidak dihitung dua kali.
d. Dan seterusnya sampai nilai data yang terakhir.
Hasilnya dapat dilihat dalam Daftar 1 (4)

DAFTAR 1 (4)
HASIL UJIAN TENGAN SEMESTER STATISTIKA
DARI MAHASISWA PROGRAM S-1
36
Hasil Ujian Tally Banyak Mahasiswa
61 – 65 //// 4
66 – 70 //// //// 9
71 – 75 //// //// / 11
76 – 80 // 2
81 – 85 //// 4
86 – 90 //// // 7
91 – 95 /// 3
Jumlah 40

Dengan menghilangkan kolom tally, hasil tabel distribusi


frekuensinya yang sebenarnya dapat dilihat dalam Daftar 1 (5)
DAFTAR 1 (5)
HASIL UJIAN TENGAN SEMESTER STATISTIKA
DARI MAHASISWA PROGRAM S-1
JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DI SEBUAH
UNIVERSITAS
Hasil Ujian Banyak Mahasiswa
61 – 65 4
66 – 70 9
71 – 75 11
76 – 80 2
81 – 85 4
86 – 90 7
91 – 95 3
Jumlah 40
Jika kita memperhatikan Daftar 1 (4) maka kita hanya dapat
membuat sebuah tabel saja, karena alasannya sebagai
berikut:
Jika kita mengambil ujung bawah kelas interval pertamanya
lebih kecil dari 61, misalnya 60, maka nilai data yang
37
terbesar yaitu 95, tidak akan tercakup. Hal ini disebabkan
karena ujung atas kelas interval terakhirnya 94.
Dari Daftar 1 (5), kita dapat membuat penafsiran sebagai
berikut:
a. Hasil ujian tengah semester statistika yang nilainya
61 sampai 65 ada 4 orang.
b. Hasil ujian tengah semester statistika yang nilainya
66 sampai 70 ada 9 orang.
c. Hasil ujian tengah semester statistika yang nilainya
71 sampai 75 ada 11 orang.
Dan seterusnya.

B. MACAM-MACAM TABEL DISTRIBUSI FREKUENSI


1. TABEL DISTRIBUSI FREKUENSI RELATIF
Apabila kita sudah memperoleh tabel distribusi frekuensi,
maka dalam hal ini frekuensinya adalah mutlak atau absolut.
Kemudian apabila frekuensi yang absolut ini diubah ke dalam
frekuensi relatif, maka diperoleh Tabel distribusi frekuensi relatif.
Frekuensi relatif ini diartikan sebagai frekuensi dalam bentuk
persentase. Tabel distribusi frekuensi relatif adalah sebuah tabel yang
berisi nilai-nilai data, dengan nilai-nilai tersebut dikelompokkan ke
dalam interval-interval dan tiap interval nilai masing-masing
mempunyai frekuensinya dalam bentuk persentase. Bentuk umum

38
dari tabel distribusi (frekuensi rekatif dapat dilihat dalam Daftar 2
(1).
DAFTAR 2 (1)
BENTUK TABEL DISTRIBUSI FREKUENSI RELATIF

Nilai Data Frekuensi Relatif (%)


a–b f1’
c–d f2’
e–f f3’
g–h f4’
i–j f5’
Jumlah 100

f1
f1'  5
100%
dengan:
f
i 1
i

f2
f 2'  5
100%
f
i 1
i

f3
f 3'  5
100%
f
i 1
i

f4
f 4'  5
100%
f
i 1
i

39
f5
f 5'  5
100%
f
i 1
i

Jumlah semua frekuensi relatif ada kemungkinan tidak akan


sama dengan 100%, akan tetapi mungkin kurang dari 100% atau
mungkin juga lebih dari 100%. Jika hal ini terjadi, maka di bawah
tabel harus dibuat catatan yang berisi pernyataan sebagai berikut:
“JUMLAH FREKUENSI RELATIF TIDAK SAMA
DENGAN 100%, KARENA ADANYA PEMBULATAN
BILANGAN”

Walaupun jumlah semua frekuensi relatif itu tidak sama


dengan 100%, namun pada baris jumlah tetap ditulis 100, (di sini
tidak ditulis tanda persennya, karena pada kolom judul frekuensi
relative sudah ditulis tanda persennya).
2. TABEL DISTRIBUSI FREKUENSI KUMULATIF
Tabel distribusi frekuensi kumulatif didefinisikan sebagai
tabel yang diperoleh dari tabel distribusi frekuensi, dengan
frekuensinya dijumlahkan selangkah demi selangkah (artinya kelas
interval demi kelas interval). Dalam kolom nilai data, bilangan yang
digunakannya berupa ujung bawah untuk masing-masing kelas
interval. Tabel distribusi frekuensi kumulatif ada dua macam, yaitu:
a. Tabel distribusi frekuensi kumulatif “kurang dari”
b. Tabel distribusi frekuensi kumulatif “atau lebih”

40
Secara umum, kedua bentuk tabel distribusi frekuensi
kumulatif tersebut masing-masing dapat dilihat dalam Daftar 2 (2)
dan Daftar 2 (3).
DAFTAR 2 (2)
BENTUK UMUM TABEL DISTRIBUSI FREKUENSI
KUMULATIF “KURANG DARI”

Nilai Data f kum


kurang dari a 0
kurang dari c f1
kurang dari e f1 + f2
kurang dari g f1 + f2 + f3
kurang dari i f1 + f2 + f3 + f4
kurang dari k f1 + f2 + f3 + f4 +f5

DAFTAR 2 (3)
BENTUK UMUM TABEL DISTRIBUSI FREKUENSI
KUMULATIF “ATAU LEBIH”

Nilai Data f kum


a atau lebih f1 + f2 + f3 + f4 +f5
c atau lebih f2 + f3 + f4 +f5
e atau lebih f3 + f4 +f5
g atau lebih f4 +f5
i atau lebih f5
k atau lebih 0

3. TABEL DISTRIBUSI FREKUENSI RELATIF KUMULATIF

Apabila dari tabel distribusi frekuensi kumulatif


frekuensinya diubah ke dalam bentuk persentase, maka akan
diperoleh tabel distribusi frekuensi relatif kumulatif.
41
Tabel distribusi frekuensi relatif kumulatif adalah tabel yang
diperoleh dari tabel distribusi frekuensi relative, dengan frekuensinya
dijumlahkan selangkah demi selangkah (kelas interval demi kelas
interval). Tabel distribusi frekuensi relative kumulatif ada dua
macam, yaitu:
1. Tabel distribusi frekuensi relatif kumulatif “kurang dari”
2. Tabel distribusi frekuensi relatif kumulatif “atau lebih”.
Secara umum, bentuk dari tabel distribusi frekuensi relatif
kumulatif “kurang dari” dapat dilihat dalam Daftar 2 (4).
DAFTAR 2 (4)
BENTUK UMUM TABEL DISTRIBUSI FREKUENSI
RELATIF KUMULATIF “KURANG DARI”

Nilai Data f kum


kurang dari a 0
kurang dari c f1’
kurang dari e f1’ + f2’
kurang dari g f1’ + f2’ + f3’
kurang dari i f1’ + f2’ + f3’+ f4’
kurang dari k 100

dengan: f1’, f2’, f3’, f4’ dapat dilihat dalam Daftar 2 (1).
Jika jumlah frekuensi relatif dalam tabel distribusi frekuensi
relatif tidak sama dengan 100%, maka pada tabel distribusi frekuensi
relatif kumulatif “kurang dari” perlu diperhatikan dua hal sebagai
berikut:
1. Pada kelas interval terakhir (yaitu kurang dari k), nilai
frekuensi relatif kumulatifnya, tetap ditulis 100.
42
2. Di bawah tabel dibuat catatan yang berisi pernyataan sebagai
berikut:
“FREKUENSI RELATIF KUMULATIF UNTUK KELAS
INTERVAL TERAKHIR TIDAK SAMA DENGAN 100,
KARENA ADANYA PEMBULATAN BILANGAN”
Bentuk umum dari tabel distribusi frekuensi relatif kumulatif “atau
lebih” dapat dilihat dalam Daftar 2
DAFTAR 2 (5)
BENTUK UMUM TABEL DISTRIBUSI FREKUENSI
RELATIF KUMULATIF “ATAU LEBIH”

Nilai Data f kum


a atau lebih 100
c atau lebih f2’ + f3’+ f4’ + f5’
e atau lebih f3’+ f4’ + f5’
g atau lebih f4’ + f5’
i atau lebih f5’
k atau lebih 0
Jumlah 100

dengan: f2’, f3’, f4’ dan f5’ dapat dilihat dalam Daftar 2 (1).
Jika jumlah frekuensi relatif dalam tabel distribusi frekuensi
relatif tidak sama dengan 100%, maka pada tabel distribusi frekuensi
relatif kumulatif “atau lebih” perlu diperhatikan tiga hal sebagai
berikut:
1. Pada kelas interval pertama (yaitu a atau lebih), nilai
frekuensi relatif kumulatifnya tetap ditulis 100.

43
2. Di bawah tabel dibuat catatan yang berisi pernyataan sebagai
berikut:
“FREKUENSI RELATIF KUMULATIF UNTUK KELAS
INTERVAL PERTAMA TIDAK SAMA DENGAN 100,
KARENA ADANYA PEMBULATAN BILANGAN”.
3. Jangan sekali-kali menghitung frekuensi relatif kumulatif
untuk kelas interval kedua sampai kelas interval terakhir
sebelumnya yang terdekat sebagai berikut:
Untuk kelas interval c atau lebih:
frel kum = 100 – f2’
Untuk kelas interval e atau lebih:
frel kum = (100 – f1’) – f2’
Untuk kelas interval g atau lebih:
frel kum = (100 – f1’- f2’) – f3’

Untuk kelas interval i atau lebih:


frel kum = (100 – f1’- f2’- f3’ ) – f4’

Contoh 5:
Salin kembali data mengenai hasil ujian tengah semester, mata
kuliah Statistika dari mahasiswa Program S-1 Jurusan Pendidikan
Matematika di Sebuah Universitas yang sudah disusun dalam tabel
distribusi frekuensi, seperti nampak dalam Daftar 1 (6).
Hasil Ujian Banyak Mahasiswa

44
61 – 65 4
66 – 70 9
71 – 75 11
76 – 80 2
81 – 85 4
86 – 90 7
91 – 95 3
Jumlah 40

1) Buat tabel distribusi frekuensi relatifnya.


2) Buat tabel distribusi frekuensi kumulatif “kurang dari”.
3) Buat tabel distribusi frekuensi kumulatif “atau lebih”.
4) Buat tabel distribusi frekuensi relatif kumulatif “kurang
dari”.
5) Buat tabel distribusi frekuensi relatif kumulatif “atau lebih”.
Penyelesaian:
1) Tabel distribusi frekuensi relatif
a. Untuk kelas interval pertama (61 – 65)
4
frel = 100% 10,0%
40
b. Untuk kelas interval kedua (66 – 70)
9
frel = 100% 22,5%
40
c. Untuk kelas interval ketiga (71 – 75)
11
frel = 100% 27,5%
40
d. Untuk kelas interval keempat (76 – 80)

45
2
frel = 100% 5,0%
40
e. Untuk kelas interval kelima (81 – 85)
4
frel = 100% 10,0%
40
f. Untuk kelas interval keenam (86 – 90)
7
frel = 100% 17,5%
40
g. Untuk kelas interval ketujuh (91 – 95)
3
frel = 100% 7,5%
40
Hasil tabelnya dapat dilihat dalam Daftar 2 (6)

DAFTAR 2 (6)
TABEL DISTRIBUSI FREKUENSI RELATIF
HASIL UJIAN TENGAH SEMESTER STATISTIKA
DARI MAHASISWA PROGRAM S -1
JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DI SEBUAH
UNIVERSITAS
Hasil Ujian Banyak Mahasiswa
61 – 65 10,0
66 – 70 22,5
71 – 75 27,5
76 – 80 5,0
46
81 – 85 10,0
86 – 90 17,5
91 – 95 7,5
Jumlah 100,0

2) Tabel distribusi frekuensi kumulatif “kurang dari”


a) Untuk kelas interval pertama (kurang dari 61).
Karena, tidak ada nilai data yang kurang dari 61,
maka frekuensi kumulatifnya 0 (nol).
b) Untuk kelas interval kedua (kurang dari 66).
Data yang nilainya kurang dari 66 adalah 61 sampai
65, sehingga frekuensi kumulatifnya 4.
c) Untuk kelas interval ketiga (kurang dari 71).
Data yang nilainya kurang dari 71 adalah 61 sampai
70, sehingga frekuensi kumulatifnya 4 + 9 = 13.
d) Untuk kelas interval keempat (kurang dari 76).
Data yang nilainya kurang dari 76 adalah 61 sampai
75, sehingga frekuensi kumulatifnya 4 + 9 + 11 =
24.
e) Untuk kelas interval kelima (kurang dari 81).
Data yang nilainya kurang dari 81 adalah 61 sampai
80, sehingga frekuensi kumulatifnya 4 + 9 + 11 + 2
= 26.
f) Untuk kelas interval keenam (kurang dari 86).

47
Data yang nilainya kurang dari 86 adalah 61 sampai
85, sehingga frekuensi kumulatifnya 4 + 9 + 11 + 2
+4 = 30.
g) Untuk kelas interval ketujuh (kurang dari 91).
Data yang nilainya kurang dari 91 adalah 61 sampai
90, sehingga frekuensi kumulatifnya 4 + 9 + 11 + 2
+4 + 7= 37.
h) Untuk kelas interval kedelapan (kurang dari 96).
Data yang nilainya kurang dari 96 adalah 61 sampai
95, sehingga frekuensi kumulatifnya 4 + 9 + 11 + 2
+4 + 7 + 3 = 40.
Hasil tabelnya dapat dilihat dalam Daftar 2 (7)

DAFTAR 2 (7)
TABEL DISTRIBUSI FREKUENSI
KUMULATIF “KURANG DARI”
HASIL UJIAN TENGAH SEMESTER STATISTIKA
DARI MAHASISWA PROGRAM S -1
JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DI SEBUAH
UNIVERSITAS
Hasil Ujian f kum
kurang dari 61 0
kurang dari 66 4
kurang dari 71 13
kurang dari 76 24
kurang dari 81 26
48
kurang dari 86 30
kurang dari 91 37
kurang dari 96 40

3) Tabel distribusi frekuensi kumulatif “atau lebih”


a) Untuk kelas interval pertama (61 atau lebih)
Data yang nilainya 61 atau lebih adalah dari 61
sampai 95, sehingga frekuensi kumulatifnya 4 + 9
+11 + 2 + 4 + 7 + 3 = 40.
b) Untuk kelas interval kedua (66 atau lebih)
Data yang nilainya 66 atau lebih adalah dari 66
sampai 95, sehingga frekuensi kumulatifnya 9 +11
+ 2 + 4 + 7 + 3 = 36.
c) Untuk kelas interval ketiga (71 atau lebih)
Data yang nilainya 71 atau lebih adalah dari 71
sampai 95, sehingga frekuensi kumulatifnya 11 + 2
+ 4 + 7 + 3 = 27.
d) Untuk kelas interval keempat (76 atau lebih)
Data yang nilainya 76 atau lebih adalah dari 76
sampai 95, sehingga frekuensi kumulatifnya 2 + 4 +
7 + 3 = 16.
e) Untuk kelas interval kelima (81 atau lebih)
Data yang nilainya 81 atau lebih adalah dari 81
sampai 95, sehingga frekuensi kumulatifnya 4+7
+ 3 = 14.

49
f) Untuk kelas interval keenam (86 atau lebih)
Data yang nilainya 86 atau lebih adalah dari 86
sampai 95, sehingga frekuensi kumulatifnya 7+3
= 10.
g) Untuk kelas interval ketujuh (91 atau lebih)
Data yang nilainya 91 atau lebih adalah dari 91
sampai 95, sehingga frekuensi kumulatifnya 3.
h) Untuk kelas interval kedelapan (96 atau lebih)
Karena tidak ada data yang nilainya 96 atau lebih,
maka frekuensi kumulatifnya 0 (nol).
Hasil tabelnya dapat dilihat dalam Daftar 2 (8).

DAFTAR 2 (8)
TABEL DISTRIBUSI FREKUENSI
KUMULATIF “ATAU LEBIH”
HASIL UJIAN TENGAH SEMESTER STATISTIKA
DARI MAHASISWA PROGRAM S -1
JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DI SEBUAH
UNIVERSITAS
Hasil Ujian f kum
61 atau lebih 40
66 atau lebih 36
71 atau lebih 27
76 atau lebih 16
81 atau lebih 14
86 atau lebih 10
91 atau lebih 3
96 atau lebih 0

50
4) Tabel distribusi Frekuensi Relatif Kumulatif “kurang dari”
a) Untuk kelas interval pertama (kurang dari 61)
Karena tidak ada nilai data yang kurang dari 61,
maka frekuensi relatif kumulatifnya = 0%.
b) Untuk kelas interval kedua (kurang dari 66)
Data yang nilainya kurang dari 66, adalah 61 sampai
65, sehingga frekuensi relatif kumulatifnya = 4 =
10,0%.
c) Untuk kelas interval ketiga (kurang dari 71)
Data yang nilainya kurang dari 71, adalah 61 sampai
70, sehingga frekuensi relatif kumulatifnya = (10,0 +
22,5)% = 32,5%.
d) Untuk kelas interval keempat (kurang dari 76)
Data yang nilainya kurang dari 76, adalah 61 sampai
75, sehingga frekuensi relatif kumulatifnya = (10,0 +
22,5 + 27,5)% = 60,0%.
e) Untuk kelas interval kelima (kurang dari 81)
Data yang nilainya kurang dari 81, adalah 61 sampai
80, sehingga frekuensi relatif kumulatifnya = (10,0 +
22,5 + 27,5 + 5,0)% = 65,0%.
f) Untuk kelas interval keenam (kurang dari 86)
Data yang nilainya kurang dari 86, adalah 61 sampai
85, sehingga frekuensi relatif kumulatifnya = (10,0 +
22,5 + 27,5 + 5,0 + 10,0)% = 75,0%.

51
g) Untuk kelas interval ketujuh (kurang dari 91)
Data yang nilainya kurang dari 91, adalah 61 sampai
90, sehingga frekuensi relatif kumulatifnya = (10,0 +
22,5 + 27,5 + 5,0 + 10,0 + 17,5)% = 92,5%.
h) Untuk kelas interval ketujuh (kurang dari 96)
Data yang nilainya kurang dari 96, adalah 61 sampai
95, sehingga frekuensi relatif kumulatifnya = (10,0 +
22,5 + 27,5 + 5,0 + 10,0 + 17,5 + 7,5)% = 100,0%.
Hasil tabelnya dapat dilihat dalam Daftar 2 (9).

DAFTAR 2 (9)
TABEL DISTRIBUSI FREKUENSI RELATIF
KUMULATIF “KURANG DARI”
HASIL UJIAN TENGAH SEMESTER STATISTIKA
DARI MAHASISWA PROGRAM S -1
JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DI SEBUAH
UNIVERSITAS
Hasil Ujian f rel kum (%)
kurang dari 61 0
kurang dari 66 10,0
kurang dari 71 32,5
kurang dari 76 60,0
kurang dari 81 65,0
kurang dari 86 75,0
kurang dari 91 92,5
kurang dari 96 100,0

52
5) Tabel distribusi frekuensi relatif kumulatif “atau lebih”
a) Untuk kelas interval pertama (61 atau lebih)
Data yang nilainya 61 atau lebih adalah 61 sampai
95, sehingga frekuensi relatif kumulatifnya (10,0 +
22,5 + 27,5 + 5,0 + 10,0 + 17,5 + 7,5)% = 100,0%.
b) Untuk kelas interval kedua (66 atau lebih)
Data yang nilainya 66 atau lebih adalah 66 sampai
95, sehingga frekuensi relatif kumulatifnya (22,5 +
27,5 + 5,0 + 10,0 + 17,5 + 7,5)% = 90,0%.
c) Untuk kelas interval ketiga (71 atau lebih)
Data yang nilainya 71 atau lebih adalah 71 sampai
95, sehingga frekuensi relatif kumulatifnya (27,5 +
5,0 + 10,0 + 17,5 + 7,5)% = 67,5%.
d) Untuk kelas interval keempat (76 atau lebih)
Data yang nilainya 76 atau lebih adalah 75 sampai
95, sehingga frekuensi relatif kumulatifnya (5,0 +
10,0 + 17,5 + 7,5)% = 40,0%.
e) Untuk kelas interval kelima (81 atau lebih)
Data yang nilainya 81 atau lebih adalah 80 sampai
95, sehingga frekuensi relatif kumulatifnya (10,0 +
17,5 + 7,5)% = 35,0%.
f) Untuk kelas interval keenam (86 atau lebih)

53
Data yang nilainya 86 atau lebih adalah 86 sampai
95, sehingga frekuensi relatif kumulatifnya (17,5 +
7,5)% = 25,0%.
g) Untuk kelas interval ketujuh (91 atau lebih)
Data yang nilainya 91 atau lebih adalah 91 sampai
95, sehingga frekuensi relatif kumulatifnya 7,5%.
h) Untuk kelas interval kedelapan (96 atau lebih)
Karena tidak ada nilai data 96 atau lebih, maka
frekuensi relatif kumulatifnya 0%.
Hasil tabelnya dapat dilihat dalam Daftar 2 (10).

DAFTAR 2 (10)
TABEL DISTRIBUSI FREKUENSI
RELATIF KUMULATIF “ATAU LEBIH”
HASIL UJIAN TENGAH SEMESTER STATISTIKA
DARI MAHASISWA PROGRAM S -1
JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DI SEBUAH
UNIVERSITAS
Hasil Ujian f rel kum (%)
61 atau lebih 100,0
66 atau lebih 90,0
71 atau lebih 67,5
76 atau lebih 40,0
81 atau lebih 35,0
86 atau lebih 25,0
91 atau lebih 7,5
96 atau lebih 0

LATIHAN
54
1. Berikut ini diberikan data mengenai jumlah siswa laki-laki
dan perempuan dari SD, SMP dan SMA yang terdapat di
kota A, B, C. Di Kota A jumlah siswa SD diperinci: 725
orang laki-laki dan 670 orang perempuan, jumlah siswa SMP
diperinci: 510 orang laki-laki dan 400 orang perempuan dan
jumlah siswa SMA diperinci: 520 orang laki-laki dan 470
orang perempuan.
Di kota B jumlah siswa SD diperinci: 875 orang laki-laki
dan 800 orang perempuan, jumlah siswa SMP diperinci: 620
orang laki-laki dan 610 orang perempuan, dan jumlah siswa
SMA diperinci: 515 orang laki-laki dan 505 orang
perempuan.
Di kota C jumlah siswa SD diperinci: 660 orang laki-laki
dan 720 orang perempuan, jumlah siswa SMP diperinci: 600
orang laki-laki dan 615 orang perempuan, dan jumlah siswa
SMA diperinci: 612 orang laki-laki dan 585 orang
perempuan. Susun data di atas ke dalam tabel: baris-kolom.
2. Lihat kembali data pada soal no. 1 di atas. Susun data di atas
ke dalam tabel kontingensi berukuran 3 × 3.
3. Berikut ini diberikan data mengenai berat badan (dicatat
dalam kg) dari sejumlah mahasiswa yang mengikuti mata
kuliah Statistika Dasar di Jurusan Pendidikan Matematika di
sebuah Universitas.
45,8 46,7 49,0 50,5 45,2 42,9 45,1 49,7

55
48,4 49,4 46,6 50,5 53,5 51,2 49,0 49,4
50,9 42,2 52,1 50,3 48,5 50,8 51,7 55,3
54,9 56,9 54,0 52,3 47,7 56,2 55,0 53,7
54,8 56,4 55,0 60,3 59,3 58,8 55,2 57,0
59,0 59,5 46,7 49,7 60,4 59,3 56,7 54,9
59,1 60,4 50,2 51,7
Susunlah data di atas ke dalam tabel distribusi frekuensi dengan
panjang kelas yang sama dan banyak kelasnya 7 buah.
4) Dari soal no. 3 di atas, susun datanya ke dalam tabel distribusi
frekuensi dengan panjang kelas yang sama dan banyak kelasnya
10 buah.
5) Dari soal no. 3 di atas, susun datanya ke dalam tabel distribusi
frekuensi dengan panjang kelasnya 1,9.
6) Perhatikan Daftar 2 (11) berikut.
DAFTAR 2 (11)
BERAT BADAN BAYI YANG BARU LAHIR
DI RUMAH SAKIT BERSALIN “SEHAT” SELAMA SEBULAN
DICATAT DALAM GRAM

Berat Badan Banyak Bayi


2500 – 2599 8
2600 – 2699 10
2700 – 2799 11
2800 – 2899 10
2900 – 2999 6
3000 - 3099 5

Buatlah tabel distribusi frekuensi relatifnya.

56
7) Dari soal no. 6, buat tabel distribusi frekuensi kumulatif “kurang
dari”.
8) Dari soal no. 6, buat tabel distribusi frekuensi kumulatif “atau
lebih”.
9) Dari hasil jawaban soal no. 6, buat tabel distribusi frekuensi relatif
kumulatif “kurang dari”.
10) Dari hasil jawaban soal no. 6, buat tabel distribusi frekuensi
relatif kumulatif “atau lebih”.

57
BAB III
PENYAJIAN DATA DALAM BENTUK DIAGRAM

A. MACAM-MACAM BENTUK DIAGRAM UNTUK


DATA TIDAK TERKELOMPOK
Sebelum kita memulai pelajaran pada topik yang akan
dibicarakan, ada baiknya kita tinjau kembali tentang pengertian data
statistik yang dibedakan antara data terkelompok dengan data tidak
terkelompok.
Kedua jenis data tersebut mempunyai perbedaan-perbedaan yang
khas yang kita harus kuasai terlebih dahulu sebagaimana yang
diuraikan di bawah ini sebelum kita mempelajari uraian-uraian
selanjutnya.
1. DATA TERKELOMPOK
Ibarat sesuatu benda, maka benda tersebut mempunyai
tempat yang khusus, atau jika manusia mempunyai rumah, ada
kemungkinan jumlah penghuni rumah keluarga yang satu akan
berbeda dengan jumlah penghuni rumah keluarga yang lainnya.
Begitu pulalah halnya dengan data. Dari sebagian data yang sejenis,
kalau kita telaah, maka data tersebut terdiri dari beberapa anggota,
bahkan sampai tak terhitung banyaknya anggota yang memiliki cirri
yang sama.
Contoh:
Misalnya data tentang inteligensi anak-anak Sekolah Dasar.
Kumpulan data ini sejenis, karena hanya membicarakan soal
58
inteligensinya saja. Setiap anak Sekolah Dasar memiliki
identitas tentang indeks inteligensinya (IQ), namun IQ-IQ
tersebut tidak selalu sama antara anak yang satu dengan anak
lainnya. Dengan demikian data tersebut merupakan
kumpulan dari IQ-IQ. Untuk lebih memudahkan proses
penyampaian, khususnya untuk keperluan laporan dan
pengolahan, biasanya kumpulan data itu disederhanakan
menjadi beberapa kumpulan bagian atau biasa kita sebut
kelompok-kelompok (Klaster-klaster). Pengelompokan ini
mempunyai aturan tersendiri, seperti adanya panjang kelas
interval, banyaknya kelas interval dan sebagainya.
2. DATA TIDAK TERKELOMPOK
Data yang tidak terkelompok umumnya digunakan bagi data
yang berasal dari ukuran yang kecil, di mana tanpa kita
mengelompokkannya, hal itu tidak akan mengganggu teknik
pengelolaan selanjutnya. Misalkan data tentang banyaknya murid
perempuan dan laki-laki yang terdapat pada setiap kelas sebuah
Sekolah Dasar tertentu.
Biasanya banyak murid pada setiap kelasnya berkisar antara
40 sampai dengan 50 siswa, katakanlah dari 50 siswa itu terdiri dari
30 murid perempuan dan 20 murid laki-laki. Dengan data seukuran
itu tentunya tidak menyulitkan kita untuk melakukan pengolahan.
(Data itu tidak perlu diolah ke dalam bentuk data terkelompok). Data
semacam ini, cukup diurutkan ke dalam kolom-kolom yang tidak
terlalu panjang, dan cara mengurutkannya tidak perlu ada aturan-
59
aturannya seperti pada data berkelompok, yaitu dengan adanya
panjang kelas interval, banyak kelas dan sebagainya.
Umumnya pada data tidak terkelompok memiliki variabel
diskrit. Dan perlu juga diperhatikan bahwa antara data yang satu
dengan data yang lainnya tidak memiliki sesuatu hubungan, atau
dengan kata lain masing-masing data itu terpisah (disjoint).
Pada bab II Anda telah mempelajari teknik penyajian data
dalam bentuk tabel. Cara lain untuk menyajikan sekumpulan data
adalah dalam bentuk diagram atau grafik. Oleh karena itu berikut ini
akan dijelaskan teknik penyajian data dalam bentuk diagram
berdasarkan data tidak terkelompok, artinya data yang belum disusun
dalam tabel distribusi frekuensi, di antaranya: diagram batang,
diagram garis, diagram lingkaran, diagram titik, dan diagram
lambang.
a. Diagram Batang
Diagram batang adalah diagram berdasarkan data berbentuk
kategori. Langkah-langkah dalam membuat diagram batang adalah
sebagai berikut:
1) Buat dua buah sumbu, yaitu sumbu datar dan sumbu tegak.
Dalam sumbu datar biasanya ditulis dengan frekuensinya.
Dalam pembagian skalanya pada masing-masing sumbu
tidak selalu mengambil skala yang sama.
2) Masing-masing nama kategori untuk batangnya, berupa
empat persegi panjang dengan tingginya sesuai nilai
frekuensi. Lebar batang antara nama kategori harus sama.
60
Jarak antara batang yang satu dengan batang yang lainnya
juga harus sama.
3) Di bagian tengah bawah diagram diberi nomor agar lebih
mudah dalam pencarian diagram. Biasanya nomor itu
meliputi bab berapa materi itu sedang dibahas dan nomor
urut diagram itu sendiri. Kemudian di bawahnya disertai
penjelasan datanya. Misal: Gambar 1 (5), artinya gambar itu
membahas bab satu dan urutan gambar kelima yang sedang
dibahas.
Contoh 1:
Misalkan jumlah siswa SD, SMP, SMA, SMEA dan STM di
kota “X” pada tahun 1990 adalah
Jumlah siswa SD ada 1500 orang,
Jumlah siswa SMP ada 900 orang,
Jumlah siswa SMA ada 1100 orang,
Jumlah siswa SMEA ada 1250 orang,
Jumlah siswa STM ada 870 orang.
Gambarkan diagram batangnya.
Penyelesaian:
Pada sumbu datarnya ditulis SD, SMP, SMA, SMEA dan
STM, sedangkan pada sumbu tegaknya ditulis jumlah siswa
yang nilainya dimulai dari 0, 400, 800, 1200, 1600..
Diagram batangnya dapat dilihat dalam Gambar 1 (1).

61
1600
1400
1200
1000
800
600
400
200
0
SD SMP SMA SMEA STM

JUMLAH SISWA SD, SMP, SMA, SMEA, STM DI KOTA “X”


Gambar 1 (1)

b. Diagram Lingkaran
Diagram lingkaran diartikan sebagai cara penyajian
sekumpulan data ke dalam lingkaran, dengan lingkarannya dibagi
menjadi beberapa bagian sesuai dengan pengklasifikasian datanya.
Dalam menggambarkan diagram lingkaran, data yang digunakan
berupa nama-nama kategori yang masing-masing mempunyai nilai
frekuensinya.
Langkah-langkah dalam membuat diagram lingkaran adalah
sebagai berikut:
a. Ubah nilai data absolut ke dalam bentuk persentase untuk
masing-masing kategori.

62
b. Ubah nilai data dalam bentuk persenutase ke dalam satuan
derajat untuk masing-masing kategori.
c. Buat sebuah lingkaran dengan menggunakan jangka, ukuran
lingkarannya jangan terlalu besar dan jangan terlalu kecil.
d. Masukkan kategori yang pertama dengan menggunakan
busur deraajat. Untuk ini harus dimulai dari titik yang
tertinggi.
e. Masukkan kategori-kategori lainnya ke dalam lingkaran
yang sesuai dengan arah jarum jam.
f. Kemudian untuk setiap kategori yang terdapat dalam
lingkaran, hendaknya diberi corak atau warna yang berbeda.
g. Dan terakhir untuk setiap kategori yang terdapat dalam
lingkaran hendaknya diberi identitas.
1) nama kategori disertai nilai persentasenya.
2) nilai persentasenya saja, sedangkan nama kategorinya
dicantumkan pada catatan tersendiri yang terletak di luar
lingkaran disertai dengan corak atau warna yang sesuai
seperti dalam lingkaran.
Contoh 2:
Lihat kembali data dalam contoh 1 mengenai jumlah siswa
SD, SMP, SMA, SMEA dan STM di kota “X” pada tahun
1990. Gambarkan diagram lingkarannya.
Penyelesaian:
Sebelumnya kita harus mengubah dahulu ke dalam bentuk persentase
untuk masing-masing tingkatan sekolah.
63
1500
SD = ×100 %=27 %
5620
900
SMP = ×100 %=16 %
5620
1100
SMA = ×100 %=20 %
5620
1250
SMEA = ×100 %=22 %
5620
870
STM = ×100 %=15 %
5620
Selanjutnya nilai persentase tersebut diubah ke dalam satuan
derajat untuk masing-masing tingkatan sekolah.
1500
SD = ×360 0=97 0
5620
900
SMP = ×360 0=580
5620
1100
SMA = ×360 0=720
5620
1250
SMEA = ×360 0=790
5620
870
STM = ×360 %=54 0
5620
Diagram lingkarannya dapat dilihat dalam gambar 1 (2)

64
Diagram Lingkaran

Gambar 1 (2)
Keterangan : SD = 27%
SMP = 16%
SMA = 20%
SMEA = 22%
STM = 15%
Diagram titik dapat juga dikatakan sebagai diagram
koordinat karena penyajian data melalui diagram ini hanya
merupakan titik-titik koordinat yang memberikan gambaran antara
data atau variabel yang terdapat di sumbu datar (horizontal) dengan
yang terdapat di sumbu tegak (vertikal). Langkah-langkah
menggambarkannya tidak berbeda jauh dengan langkah-langkah
seperti menggambarkan diagram batang, hanya dalam hal ini, yang
terlihat bukan merupakan batang-batang, melainkan berupa titik-titik
yang merupakan koordinat antara absis dan ordinat.

65
Misalnya contoh di bawah ini mengenai banyaknya
penduduk pada daerah tertentu

Banyak
Penduduk

A B C D E F
Daerah
Gambar 1 (3)
Dalam hal ini, antara daerah yang satu dengan daerah
lainnya terpisah (disjoint) oleh sebab itu kita tidak boleh
66
menghubungkan garis antara dua titik yang berdekatan sehingga
menjadi diagram garis. Kecuali jika sumbu horizontal merupakan
“waktu”, dimana waktu tersebut merupakan variabel yang kontinu.

c. Diagram Garis
Diagram garis adalah diagram yang digambarkan
berdasarkan data waktu, biasanya waktu yang digunakan adalah
tahun atau bulan. Langkah-langkah dalam membuat diagram garis
adalah sebagai berikut:
1) Buatlah dua buah sumbu, yaitu sumbu datar dan sumbu
tegak. Pada sumbu datar biasanya menunjukkan waktu,
sedangkan pada sumbu tegak menunjukkan bilangan
frekuensinya. Dalam pembagian skalanya pada masing-
masing sumbu tidak selalu mengambil skala yang sama.
2) Sesuaikan data pada masing-masing sumbu, artinya data
tahun pada sumbu datar ditarik lurus ke samping kanan,
sehingga memotong pada satu titik.
3) Jika semua data sudah disesuaikan pada masing-masing
sumbu, maka akan terdapat sekumpulan titik-titik.
4) Hubungkan titik-titik tersebut, sehingga akan diperoleh
diagram garis.
5) Di bagian tengah bawah diagram diberi nomor agar lebih
mudah dalam pencarian diagram. Biasanya nomor itu
meliputi bab berapa materi itu sedang dibahas dan nomor

67
urut diagram itu sendiri. Kemudian di bawahnya disertai
penjelasan datanya.
Contoh 3:
Berikut ini diberikan data mengenai jumlah siswa yang diterima di
sebuah SMA dari Tahun 1980 sampai 1986.
Tahun 1980 siswa yang diterima sebanyak 150 orang
Tahun 1981 siswa yang diterima sebanyak 162 orang
Tahun 1982 siswa yang diterima sebanyak 175 orang
Tahun 1983 siswa yang diterima sebanyak 200 orang
Tahun 1984 siswa yang diterima sebanyak 225 orang
Tahun 1985 siswa yang diterima sebanyak 230 orang
Tahun 1986 siswa yang diterima sebanyak 240 orang

Jumlah siswa

250

230

210

190

170
68
150

1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986

Tahun
Gambar 1 (4)
d. Diagram Lambang
Diagram Lambang adalah suatu diagram yang merupakan
penyajian data yang berbentuk menggunakan lambing-lambang.
Lambang-lambang yang digunakan harus sesuai dengan obyek yang
diteliti. Misalnya data yang digunakan mengenai jumlah siswa, maka
lambing yang digunakannya adalah gambar orang. Langkah-langkah
dalam membuat diagram lambing adalah sebagai berikut:
1) Kita buat tiga buah kolom, dengan ketentuan sebagai
berikut:
a) Kolom pertama berisi nama-nama kategori,
b) Kolom kedua berisi lambing yang digunakan,
c) Kolom ketiga berisi frekuensinya.
2) Di bawah diagram diberi catatan berisi satu lambing
(digambarkan) mewakili sejumlah obyek tertentu. Bilangan
yang dipakai untuk satu lambing ini hendaknya jangan
terlalu besar dan jangan terlalu kecil.
3) Tulis nama kategori pertama dan gambarkan lambangnya
pada kolom lambing serta tuliskan banyak datanya pada
kolom frekuensi.
69
4) Banyaknya lambing yang digambarkan tidak sama dengan
banyaknya yang ada tetapi kalau dikalikan dengan bilangan
yang mewakili satu lambing tersebut sama dengan
frekuensinya. Dengan demikian kemungkinan ada lambang
yang digambarkan secara tidak utuh.
5) Untuk kategori lainnya dapat dilakukan seperti pada kategori
pertama.
6) Di bagian tengah bawah diberi nomor agar lebih mudah
dalam pencarian diagram. Biasanya nomor itu meliputi bab
berapa materi itu sedang dibahas dan nomor urut diagram itu
sendiri. Kemudian di bawahnya disertai penjelasan mengenai
datanya.
Contoh 4: Lihat kembali data dalam contoh 1, mengenai jumlah
siswa SD, SMP, SMEA, dan STM di kota “X” pada tahun 1990.
Gambarkan diagram lambangnya!
Penyelesaian:
Dalam hal ini, setiap lambang yang digunakan untuk mewakili 300
orang. Diagram lambangnya dapat dilihat dalam gambar 1 (5).

Tingkatan Lambang Jumlah Siswa


Sekolah
SD 1500

SMP 900

70
SMA 1100

SMEA 1250

STM 870

Gambar 1 (5)

B. MACAM-MACAM BENTUK DIAGRAM UNTUK DATA


TERKELOMPOK
Berikut ini akan dijelaskan teknik penyajian data dalam
bentuk diagram berdasarkan data terkelompok, artinya datanya sudah
tersusun dalam tabel distribusi frekuensi, yaitu histogram, polygon
frekuensi, dan ozaiv (ogive).

1. HISTOGRAM DAN POLIGON FREKUENSI


Misalkan kita mempunyai sekumpulan data, kemudian data
itu disusun dalam tabel distribusi frekuensi. Apabila kita
menggambarkan grafik berdasarkan data yang sudah disusun dalam
tabel distribusi frekuensi, maka akan diperoleh histogram dan
polygon frekuensi.
Langkah-langkah dalam menggambarkan Histogram dan
Poligon frekuensi adalah sebagai berikut:

71
1. Buat dua sumbu, yaitu sumbu datar dan sumbu tegak. Pada
sumbu datar memuat bilangan yang merupakan batas-batas
semua kelas interval (ada juga yang menggunakan titik tengah
atau tanda kelas untuk setiap kelas interval. Sumbu tegaknya
mengenai nilai frekuensi dari data yang didapat.
2. Untuk kelas interval pertama, pada sumbu datar dibatasi oleh
batas bawahnya dan batas atasnya. Pada batas bawah dan batas
atas masing-masing ditarik garis tegak lurus ke atas sampai
menunjukkan bilangan yang sesuai dengan frekuensi pada
sumbu tegak. Selanjutnya hubungkan kedua ujungnya, sehingga
akan terbentuk sebuah batang yang berupa empat
persegipanjang.
3. Untuk kelas interval kedua, pada sumbu datar dibatasi oleh batas
bawahnya dan batas atasnya. Pada batas bawah dan batas atas
masing-masing ditarik garis tegak lurus ke atas sampai
menunjukkan bilangan yang sesuai dengan frekuensi pada
sumbu tegak. Selanjutnya hubungkan kedua ujungnya, sehingga
akan terbentuk sebuah batang yang berupa empat
persegipanjang. Dalam hal ini batas bawah kelas interval kedua
sama dengan batas atas kelas interval pertama, sehingga garis
yang ditarik tegak lurus akan berhimpit.
4. Untuk kelas interval ketiga, pada sumbu datar dibatasi oleh
batas bawahnya dan batas atasnya. Pada batas bawah dan batas
atas masing-masing ditarik garis tegak lurus ke atas sampai
menunjukkan bilangan yang sesuai dengan frekuensinya pada
72
sumbu tegak. Selanjutnya hubungkan kedua ujungnya, sehingga
akan terbentuk sebuah batang yang berupa empat persegi
panjang. Dalam hal ini, batas bawah kelas interval ketiga sama
dengan batas atas kelas interval kedua, sehingga garis yang
ditarik tegak lurus akan berhimpit.
5. Hal yang sama juga dilakukan pada kelas interval keempat,
kelima, keenam dan seterusnya sampai kelas interval terakhir.
Sehingga akan diperoleh batang-batang yang saling berimpit
dan grafik inilah yang dinamakan histogram.
6. Apabila dari histogram ini, titik-titik tengah sisi atas persegi
panjang dihubungkan satu sama lain dan hubungkan sisi atas
pertama dengan setengah jarak dari panjang kelas yang
diukurkan ke kiri batas bawah kelas interval pertama, serta
hubungkan sisi atas terakhir dengan setengah jarak dari panjang
kelas yang diukurkan ke kanan batas alas interval terakhir, maka
akan diperoleh poligon frekuensi.
7. Di bagian tengah bawah grafik diberi nomor agar lebih mudah
dalam pencarian grafik. Biasanya nomor itu meliputi bab berapa
materi itu sedang dibahas dan nomor untuk grafik itu sendiri.
Kemudian di bawahnya disertai penjelasan datanga.
Contoh 1. Misalkan tinggi badan (dicatat dalam cm) dari
sejumlah mahasiswa angkatan 2014/2015 di
Universitas “A” diberikan dalam tabel berikut.
DAFTAR I
TINGGI BADAN (DALAM CM)
DARI SEJUMLAH MAHASISWA ANGKATAN 1989/1990
DI UNIVERSITAS "A"
73
Tinggi Badan Banyak Mahasiswa
152-154 15
155-157 17
158-160 25
161-163 20
164-166 15
167-169 12
170-172 8
Jumlah 112

Gambarkan Histogram serta poligon frekuensinya.

Penyelesaian:

Ada dua cara kita dapat membuat Histogram dan poligon


frekuensi dari daftar distribusi frekuensi di atas, yaitu dengan
langkah-langkah sebagai berikut:

1. Pada sumbu tegaknya kita cantumkan bilangan-bilangan untuk


nilai frekuensinya. Untuk menyesuaikan dengan daftar di atas
kita tentukan bilangan-bilangan itu adalah 0, 5, 10, 15, 20 dan
25.
2. Pada sumbu datarnya kita bisa cantumkan data-data tinggi badan
yang diambil dari titik-titik tengah setiap kelas interval (dalam
hal ini 153, 156, 159, 162, 165, 168, 171) atau dari batas bawah
dan batas atas setiap kelas interval (151,5 , 154,5 , 157,5 , 160,5,
163,5 , 166,5 , 169,5 , 172,5), sehingga kita dapat membuat dua
keadaan histogram dan poligon frekuensi, yaitu:

74
Gambar 2(1)
HISTOGRAM DAN POLIGON FREKUENSI
TINGGI BADAN (DALAM CM)
DARI SEJUMLAH MAHASISWA ANGKATAN 1989/1990
75
DI UNIVERSITAS “A”

76
2. OGIVE (OZAIV)

Misalkan kita mempunyai sekumpulan data yang sudah


disusun dalam tabel distribusi frekuensi kumulatif, maka dari daftar
tersebut kita dapat menggambarkan grafik ogive atau ozaiv. Karena
tabel distribusi frekuensi kumulatif ada dua macam, yaitu tabel
distribusi frekuensi kumulatif "kurang dari" dan tabel distribusi
frekuensi kumulatif "atau lebih", maka grafiknya juga ada dua
macam, yaitu ogive positif dan ogive negatif.

Grafik yang dibuat berdasarkan data yang sudah disusun


dalam tabel distribusi frekuensi kumulatif "kurang dari" disebut
ogive positif. Sedangkan grafik yang dibuat berdasarkan data yang
sudah disusun dalam tabel distribusi frekuensi kumulatif "atau lebih"
disebut ogive negatif.

Contoh 2: Lihat dan salin kembali data mengenai hasil ujian


tengah semester mata kuliah statistika dari mahasiswa
Program S-1. Jurusan Pendidikan Matematika di
sebuah IKIP yang sudah disusun dalam Label
distribusi frekuensi kumulatif "kurang dari" dan tabel
distribusi frekuensi kumulatif "atau lebih" seperti
nampak pada Bab II.

77
TABEL DISTRIBUSI FREKUENSI KUMULATIF "KURANG DARI"

Hasil Ujian Kum


Kurang dari 61 0
Kurang dari 66 4
Kurang dari 71 13
Kurang dari 76 24
Kurang dari 81 26
Kurang dari 86 30
Kurang dari 96 37
Kurang dari 91 40

TABEL DISTRIBUSI FREKUENSI KUMULATIF “ATAU LEBIH”

Hasil Ujian Kum


61 atau lebih 40
66 atau lebih 36
71 atau lebih 27
76 atau lebih 16
81 atau lebih 14
86 atau lebih 10
91 atau lebih 3
96 atau lebih 0

Gambarkan ogive positif dan ogive negatif.

Penyelesaian:

78
Sumbu datarnya berisi bilangan-bilangan 61, 66, 71, 76, 81, 86, 91,
96. Sumbu tegaknya berisi bilangan-bilangan 10, 20, 30, 40.

Pada Sumbu datarnya jarak antara 0 dan 61 dibuat loncatan karena


selisihnya 61, sedangkan yang lainnya berselisih 5.

Hasil grafiknya dapat dilihat dalam gambar 2(3).

LATIHAN

79
1) Bagaimana Anda menggambarkan diagram batang jika
datanya mempunyai nilai yang besar semua?
2) Hasil penjualan berbagai barang dari merk “A” (dicatat
dalam unit) selama tahun 1989 adalah:

Jenis Barang Jumlah


Pompa Tangan 40
Lemari Es 23
Alat setrika 20
Televisi 18
Kipas Angin 42
Kompor Gas 20

Dari data tersebut buatlah diagram batangnya!


3) Dari soal no. 1 di atas, gambarkan diagram lingkarannya!
4) Apakah yang Anda ketahui tentang diagram lambang?
5) Apakah yang Anda ketahui tentang histogram?
6) Apakah yang Anda ketahui tentang (ogive)?

7) Misalkan hasil tes formatif pertama mata kuliah Statistika


dari mahasiswa Program S-1 Program Studi Pendidikan
80
Matematika di sebuah FKIP Universitas terlihat seperti
daftar berikut:
Hasil Ujian Banyak Mahasiswa
61 – 65 4
66 – 70 9
71 – 75 11
76 – 80 2
81 – 85 4
86 – 90 7
91 – 95 3
Jumlah 40
Gambarkan histogram dan olygon frekuensinya.

8)
DAFTAR 2 (1)
TABEL DISTRIBUSI FREKUENSI KUMULATIF “KURANG DARI”
TINGGI BADAN (DALAM CM)
DARI SEJUMLAH MAHASISWA ANGKATAN 1989/1990
DI UNIVERSITAS “A”
Hasil Tentamen fKum
Kurang dari 152 0
Kurang dari 155 15
Kurang dari 158 32
Kurang dari 161 57
Kurang dari 164 77
Kurang dari 167 92
Kurang dari 170 104
Kurang dari 173 112
Gambarkan ozaiv (ogivnya)

9)
DAFTAR 2 (2)
TABEL DISTRIBUSI FREKUENSI KUMULATIF “ATAU LEBIH”
TINGGI BADAN (DALAM CM)
81
DAN SEJUMLAH MAHASISWA ANGKATA 1989/1990
DI UNIVERSITAS “A”
Hasil Tentamen fKum
155 atau lebih 112
152 atau lebih 97
158 atau lebih 80
161 atau lebih 55
164 atau lebih 35
167 atau lebih 20
170 atau lebih 8
173 atau lebih 0

Gambarkan ozaiv (ogive)nya.

82
83
BAB IV
UKURAN PEMUSATAN

A. NILAI RATA-RATA
Nilai rata-rata merupakan salah satu ukuran untuk
memberikan gambaran yang lebih jelas dan singkat tentang
sekumpulan data mengenai sesuatu persoalan, apakah tentang sampel
ataupun populasi selain penyajian melalui daftar atau diagram.
Nilai rata-rata merupakan salah satu dari ukuran gejala pusat.
Nilai rata-rata ini merupakan wakil kumpulan data, atau nilai rata-
rata dianggap suatu nilai yang paling dekat dengan hasil ukuran yang
sebenarnya.
Nilai rata-rata yang diperoleh dari hasil pengukuran sampel
disebut statistik sedangkan nilai rata-rata yang diperoleh dari hasil
perhitungan populasi disebut parameter. Jadi untuk ukuran yang
sama dapat disebut statistik dan dapat pula disebut parameter, hal ini
tergantung dari pemakaiannya apakah dalam sampel ataukah dalam
populasi.
Selanjutnya nilai rata-rata dapat dibedakan antara nilai rata-
rata hitung, nilai rata-rata ukur, dan nilai rata-rata harmonis.
Untuk memudahkan membaca, akan digunakan simbol-
simbol seperti: X1, X2 dan seterusnya. Simbol-simbol ini adalah nilai-
nilai data kuantitatif, berfungsi untuk menyatakan banyak data atau
ukuran sampel yang digunakan, sedangkan N untuk menyatakan
ukuran populasi. x́ untuk menyatakan nilai rata-rata dari sampel,
82
sedangkan dari populasi dinyatakan dengan µ. Jadi x́ adalah statistik
sedangkan µ parameter.

1. RATA-RATA HITUNG
Rata-rata hitung merupakan ukuran yang banyak dipakai.
x 1+ x 2 + x 3+ …+ x n
x́=
n

Rumus ini digunakan untuk nilai-nilai data yang tidak


berbobot. Tetapi dipakai untuk distribusi frekuensi seperti di bawah
ini:
x1 fi
x1 2
x2 5
x3 8
15

2 x 1 +5 x2 +8 x 3
Maka x́= , di sini Anda dapat lihat bahwa
15
setiap nilai xi 15 mempunyai bobot. Ada yang 2, ada yang 5 dan ada
pula yang 8. Jumlah frekuensi merupakan banyak data (yang berarti

sama dengan n), n = 15 atau dalam bentuk umum n = ∑ fi


Dengan demikian untuk nilai-nilai data yang berbobot
ditulis:

83
Untuk menggunakan rumus di atas, sebaiknya disiapkan dulu
daftar distribusi frekuensi seperti berikut.
xi fi fixi

∑ fi ∑ f i xi
Rumus-rumus yang telah diuraikan di atas, umumnya
digunakan untuk data yang tidak terlalu banyak. Tetapi seandainya n

cukup besar, Anda akan mengalami kesulitan menghitung ∑ x i.


Bayangkan saja xi + x2 + x3 + … + xn jika n cukup besar. Oleh sebab
itu ada cara lain yang disebut dengan cara "data terkelompok".
Di dalam Bab 3 penulis telah uraikan cara mengelompokkan
data dalam kelas-kelas interval, di tiap kelas interval mempunyai
tanda kelas. Masih ingatkah Anda?
No. Kelas Tanda
fi fixi
Urut interval kelas xi
1 b1 – a1 f1 x1 f1x1
2 b2 – a2 f2 x2 f2x2
3 b3 – a3 f3 x3 f3x3
. . . . .
. . . . .
. . . . .
4 bk – ak fk xk fkxk

∑ fi ∑ f i xi
Setiap tanda kelas xi dapat ditentukan nilainya dengan
menghitung
84
1
x i= (bi +ai ). Masih ingat pulakah Anda bahwa kegunaan atau
2
fungsi tanda kelas merupakan wakil nilai-nilai yang terdapat dalam
suatu kelas interval. Oleh sebab itu kita anggap x i sebagai nilai data
bare. Nah sekarang, data yang semula terkelompok seolah-olah telah
berubah menjadi data yang berbobot sehingga kita dapat
mempergunakan lagi rumus

Cara lain yang lebih singkat dan lebih sederhana ialah


dengan mempergunakan nilai rata-rata duga "assumed mean"
disingkat dengan AM. Cara ini sering disebut pula dengan cara
pendek atau juga ada yang menyebutnya cara koding.
Keuntungan dengan cara ini, kita bekerja dengan bilangan-
bilangan yang lebih sederhana, berbecla sekali dengan cara "tanda
kelas" di mana kita akan bekerja dengan bilangan-bilangan yang
lebih besar.
Rumus untuk menghitung R dengan metode AM ini seperti
yang tertera di bawah ini

x́= AM + p
∑ fd
n

Sesuai dengan namanya, AM dapat ditentukan pada kelas


interval mana saja dan AM sendiri adalah salah satu dari tanda kelas-
85
tanda kelas. Misalnya AM pada kelas interval nomor 3 sama dengan
x3, yaitu sama dengan tanda kelas untuk kelas interval nomor 3, dan
nilai x3 dapat,diperoleh dari
1
(b + a )
2 3 3

Langkah selanjutnya kita tentukan selisih antara AM yang


telah kita ambil atau tentukan dari salah satu tanda kelas dengan
setiap tanda kelas lainnya. Sebutlah selisih itu dengan d'. Perhatikan
daftar di bawah ini.
No. Kelas Tanda
fi fixi
Urut interval kelas xi
1. b1 – a1 f1 x1 x1 – x3
2. b2 – a2 f2 x2 x2 – x3
3. b3 – a3 f3 x3 x3 – x3
4. b4 – a4 f4 x4 x4 – x3
5. b5 – a5 f5 x5 x5 – x3
6. b6 – a6 f6 x6 x6 – x3
7. b7 – a7 f7 x7 x7 – x3

Oleh karena AM diambil pada kelas interval nomor 3 maka


Anda lihat bahwa d' = x3 - x3 = 0. Dan jika nilai data itu disusun dari
kecil ke besar maka nilai d' pun akan terpengaruh, yaitu setelah kelas
interval nomor 3, yaitu kelas interval nomor 4, 5, 6 dan 7 akan
memperoleh nila d' positif. Sedangkan sebelum kelas interval nomor
3, yaitu kelas interval nomor 2 dan 1 akan memperoleh nilai d' yang
negatif.
Kalau Anda renungkan kembali, antara nilai d' untuk setiap
86
kelas interval akan berselisih sebesar p, yaitu panjang kelas interval.
Dengan kata lain bahwa untuk nilai d' di atas dan di bawah kelas
interval nomor 3 merupakan kelipatan p. Oleh sebab itu sebenarnya
nilai d' untuk setiap kelas interval dapat kita sederhanakan, yaitu
semua nilai d' tersebut: dibagi dengan p sehingga akan kita dapat d' 3
= 0 dan nilai-nilai d' sebelum kelas interval nomor 3 berturut-turut
adalah -1 dan nilai -2. Sedangkan nilai-nilai d' yang terletak setelah
kelas interval nomor 3 berturut-turut akan bernilai +1; +2; +3; dan
+4. Sebutlah nilai d' yang telah disederhanakan dengan cara
membagi dengan p ini dengan simbol "d" saja tanpa aksen sehingga
kita akan memperoleh daftar yang lebih sederhana seperti yang
terlihat di bawah ini.
No.Urut Kelas interval fi xi d'
1. b1 – a1 f1 x1 -2
2. b2 – a2 f2 x2 -1
3. b3 – a3 f3 x3 0
4. b4 – a4 f4 x4 +1
5. b5 – a5 f5 x5 +2
6. b6 – a6 f6 x6 +3
7. b7 – a7 f7 x7 +4

Nilai d = 0 sebarang dari nilai AM yang kita ambil. Jika AM


kita ambil dari x5, maka nilai d yang terletak pada kelas interval
nomor 5 sama dengan 0 (nol). Akibatnya nilai-nilai d yang terletak
sebelum kelas interval nomor 5 berturut-turut adalah -1, -2, -3, dan -
4. Sedangkan sesudah kelas interval nomor 5 berturut-turut adalah
+1 dan +2.

87
Tetapi harus Anda ingat bahwa untuk meletakkan nilai d
positif atau negatif tergantung dari susunan kelas interval yang Anda
kehendaki. Apakah kelas interval yang Anda susun dari nilai yang
kecil ke yang besar atau sebaliknya. Jika kelas interval yang Anda
susun dari nilai yang kecil ke yang besar maka pada kolom d nilai-
nilai d yang bertanda negatif kita letakkan sebelum nilai d yang
harganya sama dengan nol. Perhatikan contoh tabel berikut.
No. Urut Kelas interval Tanda Kelas (x) f d
1. 13 - 15 14 5 a
2. 16 - 18 17 6 -1
3. 19 - 21 20 7 0
4. 22 - 24 23 2 +1

Jika kelas interval yang Anda susun dari nilai yang besar ke
yang kecil, maka nilai-nilai d yang terletak sebelum nilai d yang
harganya sama dengan nol, haruslah bernilai positif dan sesudahnya
negatif. Untuk lebih jelasnya perhatikanlah contoh berikut.

No. Urut Kelas interval Tanda Kelas (x) f d


1. 22 – 24 23 2 +2
2. 19 – 21 20 7 +1
3. 16 – 18 17 5 0
4. 13 – 15 14 6 -1

Dari rumus x́= AM + p


∑ fd kita harus mencari nilai
n

88
∑ fd , untuk itu pada daftar harus kita lengkapi dengan kolom f.d.
n
No. Urut Kelas Interval fi xi di fidi

∑ fd disebut “faktor koreksi”. Mengapa harus ada faktor itu ?


n
Sebab kita mempergunakan "nilai rata-rata duga" atau AM dan AM
ini dapat ditentukan di mana saja, di kelas interval mana saja, oleh
sebab itu faktor koreksi diperlukan untuk memperoleh nilai rata-rata
yang sebenarnya. Jika Anda memperhatikan contoh-contohnya, akan
jelas bagi Anda metode pendek ini lebih mudah dari metode-metode
lainnya.

1. Nilai Rata-rata Ukur


Nilai rata-rata ukur diberi simbol dengan U, di mana
U =√n x 1 . x 2 . x 3 … x n . U digunakan perbandingan yang relatif tetap
sehingga seolah-olah urutan data merupakan barisan geometri.
Misalnya x1, x2, x3, x4 dan seterusnya.
x1 x 2 x 3
Di mana = = dan seterusnya. U banyak digunakan untuk
x2 x 3 x 4
data teknik atau yang bersifat enginering.

1. Nilai Rata-rata Harmonis


Jika diketahui data-data x1, x2, x3, ... xn maka nilai rata-rata

89
harmonis yang diberi simbol H dapat ditentukan sebagai berikut

n
H=
1 1 1 1
+ + + …+ atau dapat ditulis secara singkat
x1 x 2 x 3 xn

3. Nilai Rata-rata Kuadratis (NRK)


Biasanya NRK disebut juga "Akar Nilai Rata-rata Kuadratis"
atau dikatakan sebagai "Nilai Rata-rata Kuadratis" dari kumpulan
bilangan yang merupakan urutan xi; x2; x3; ... xi, dan diberi simbol
dengan:

∑ x i2
NRK =
√ N

Contoh ada suatu deret bilangan 2, 4, 6, 8. maka NRK dapat


dihitung sebagai berikut:

23 + 42 +6 2+ 82 = 10,96445 sebab
NRK =
√ 4

i = sampai dengan N

90
Biasanya NRK ini digunakan dalam ilmu-ilmu Fisika,
Teknik yang banyak hubungannya dengan Fisika.
Contoh-contoh
1) Nilai rata-rata dari 25, 23, 26 dan 30 dapat kita tulis x i= 23; x2 =
25; x3=26 dan x4=30

∑ x i = 23 + 25 + 26 + 30 = 104; n = 4 maka
104
x́= =26
4
2) Hitung nilai rata-rata dari nilai berbobot di bawah ini.

xi fi fixi ∑ f i xi =476
17 2 34
n=∑ f i=17
20 5 100
31 6 186 476
x́= =28
17
39 4 156
17 476

3) Hitung nilai rata-rata dengan cara "tanda.kelas"


No.Urut Kelas interval fi xi fixi
1. 31 -40 1 35,5 35,5
2. 41-50 2 45,5 91
3. 51-60 5 55,5 277,5
4. 61 -70 15 65,5 982,5
5. 71 -80 25 75,5 1887,5
6. 81 -90 20 85,5 1710
7. 91 – 100 12 95,5 1146

91
Jumlah 80 6130

6130
∑ f i=80; ∑ f i xi= 6130 maka x́= 80
=76,25

4) Sehubungan dengan daftar distribusi frekuensi pada no. 3) akan


dihitung nilai rata-rata dengan cara "AM"
No.Urut Kelas interval f d fd
1. 31 -40 1 -4 -4
2. 41-50 2 -3 -6
3. 51-60 5 -2 -10
4. 61 -70 15 -1 -15
5. 71 -80 25 0 0
6. 81 -90 20 +1 20
7. 91 – 100 12 +2 24
Jumlah 80 9
AM diambil pada tanda kelas interval nomor 5 maka
1
AM = ( 71+80 )=75,5 ; ∑ f . d=9 sedangkan panjang kelas
2
interval p = 10 maka

9
x́=75,5+10. =75,5+1,125=76,625
80

Bandingkan hasilnya dengan hasil perhitungan pada contoh 3).

5) Seandainya AM diambil pada nilai tanda kelas interval yang


lain misalnya pada kelas interval nomor 6 maka AM =

92
1
( 81+90 ) =85,5.
2

71
∑ f . d=−71 maka x́=85,5−10 80 =85,5−8,875=76,625
Ternyata hasilnya tetap sama

6) Hitung nilai rata-rata dari 560, 8, 33, 136, 17, 67, 275. Jika data
itu Anda susun, kita, peroleh hasil penyusunan sebagai berikut 8
17, 33, 67, 136, 275, 560 dan kalau Anda bandingkan antara dua

17 33 67 136 275 560


data yang berdekatan = = = = = , data
8 17 33 67 136 275
yang demikian lebih baik dihitung nilai rata-rata ukurnya atau
U.

93
U = √7 8.17 .33 .67.136 .275 .560=67,3683 hasil ini didapat
dengan mempergunakan calculator. Anda dapat pula
menghitungnya dengan mempergunakan daftar log.
1
log U = (log 8 + log 17 + log 33 + log 67 + log 136 + log
7
275 + 7 log 560)
1
= (0,9031 + 1,2304 + 1,5185 + 1,8261 + 2,1335 +
7
2,4548 + 2,7482) = 1,8307
U = 67,7174
Kenapa hasilnya lain? Oleh karena bekerja dengan logaritma banyak
sekali pembulatan-pembulatan.

7) Jarak antara Bandung Jakarta 180 km Si A berangkat dengan


menggunakan kendaraan mobil dari Bandung menuju Jakarta
dengan kecepatan rata-rata 80 km/jam. Pulangnya dengan
menempuh jalan yang sama dengan kecepatan 90 km/jam.
Hitunglah kecepatan rata-rata pulang pergi.

Jawaban yang salah


80+90
Kecepatan rata-rata = 85 km/jam
2

Kesalahannya, data ini terdiri dari dua dimensi, yaitu dimensi


panjang dan dimensi waktu. Semua nilai yang terdiri dari lebih
dari 1 dimensi tidak dapat diambil rata-rata begitu saja.
94
Jawaban yang seharusnya
Waktu yang diperlukan dari Bandung ke Jakarta:
180 km
=2,25 jam
80 km/ jam
sedangkan waktu yang diperlukan dari Jakarta ke Bandung:
180 km
=2 jam
90 km/ jam
Jarak yang ditempuh pulang pergi = 2 x 180 km = 360 km
dalam waktu 2,25 + 2 = 4.25 jam.
360 km km
Maka kecepatan rata-rata p.p = =84,71 km/ jam
4,25 jam
Dengan rumus rata-rata harmonis akan lebih cepat lagi. Di sini n
= 2 yaitu pergi dan pulang maka:
2 2.80 .90
H= = =84,71 km/ jam
1 1 170
+
80 90

B. MODUS DAN MEDIAN


1. MODUS
Modus digunakan untuk gejala-gejala yang sering terjadi,
diberi simbol dengan Mo, dan umumnya Mo dipakai sebagai "nilai
rata-rata" bagi data kualitatif.
Kalau kita menyebutkan keadaan Indonesia di luar Negeri, di
Amerika misalnya, umumnya bagi orang-orang Amerika yang
pengetahuannya "masih rendah" negara Indonesia disamakannya

95
dengan pulau Bali. Hal ini disebabkan karena pulau Bali merupakan
gejala yang paling sering mereka dengar dan mereka ketahui.
Jika Anda mengajar dalam kelas tertentu, kebetulan salah
seorang murid Anda membuat kegaduhan ketika Anda mengajar.
Biasanya Anda menyimpulkan bahwa kelas itu merupakan kelas
yang gaduh. Ini disebabkan karena kegaduhan saat Anda mengajar
yang memberikan kesan seolah-olah begitulah kelas itu seharusnya.
Bagi seorang guru "tidak baik" berkata demikian. Janganlah
beranggapan bahwa sesekali seseorang anak berbuat kesalahan maka
selamanya anak tersebut dianggap sebagai anak yang nakal, anak
yang selalu berbuat kesalahan. Atau mungkin sebaliknya, sekali anak
memperoleh nilai baik, untuk selanjutnya anak itu dianggap sebagai
anak yang pandai. Semua ini disebabkan karena pengaruh kesan
pertama yang memberikan rangsangan lebih, seolah-olah begitulah
gejala itu selamanya.
Negara kita sudah bebas buta huruf, artinya frekuensi yang
bebas buta huruf jauh lebih besar dari orang-orang yang masih buta
huruf. Oleh sebab itu Anda tidak usah heran kalau masih banyak
orang yang masih buta huruf. Dan banyak lagi kesimpulan-
kesimpulan yang diambil, semuanya berdasarkan modus. Kematian
di beberapa tempat disebabkan karena wabah malaria, kebanyakan
kecelakaan lalu lintas umumnya karena kecerobohan pengemudi, ini
berarti masing-masing merupakan modus penyebab kematian pada
kecelakaan lalu lintas.
Modus untuk data kuantitatif ditentukan dengan melihat frekuensi
96
tertinggi, misalnya: gejala A ada 5, gejala B ada 11, gejala C ada 19,
gejala D ada 17 dan gejala E ada 10. Gejala dengan, frekuensi
tertinggi adalah gejala C maka dikatakan modusnya adalah C atau
ditulis Mo = gejala C.
Contoh lain misalnya:

Data xi f
20 81
22 56
25 98
29 75
30 72

Data dengan frekuensi tertinggi ialah 25 maka dikatakan


modusnya 25, ditulis Mo = 25.
Selanjutnya jika data disusun secara terkelompok karena
Anda mempunyai data cukup besar maka Mo dapat dicari dengan
rumus:
b1
Mo=Bb+ p ( b1 +b2 )
Bb = Batas bawah kelas interval yang mengandung modus atau
dapat juga dikatakan bahwa kelas interval yang mempunyai
frekuensi tertinggi.
b1 = Selisih frekuensi yang mengandung modus dengan
frekuensi sebelumnya.
b2 = Selisih frekuensi yang mengandung modus dengan
frekuensi sesudahnya

97
p = Panjang kelas interval.
Perlu diperhatikan istilah "sebelum" dan "sesudah" nya
tergantung dari susunan kelas interval, misalnya:
No. Urut Kelas Interval f
1. ________ f1
2. ________ f2
3. ________ f3
4. ________ f4
5. ________ f5

Seandainya kelas interval itu disusun dari besar ke kecil,


misalkan pula frekuensi tertinggi pada kelas interval dengan nomor 2
dengan besar frekuensi f2 maka f, disebut frekuensi sesudahnya dan
f3 disebut frekuensi sebelumnya, karena data disusun dari atas ke
bawah dimulai dari besar ke kecil. Dengan demikian b 1 = f2 - f3 dan
b2 = f2 – f1.
Tetapi jika Anda menyusunnya dari data yang bernilai kecil
ke besar dan misalnya secara kebetulan kelas interval nomor urut 2
mempunyai frekuensi yang tertinggi pula maka f 1 disebut frekuensi
sebelumnya dan f3 disebut frekuensi sesudahnya sedangkan f2
frekuensi kelas interval yang mengandung modus. Maka b 1 = f2 – f1
dan b2 = f2 - f3.
Kesimpulannya bahwa istilah "sebelum" dan "sesudah"-nya
bukan dilihat berdasarkan nomor urut kelas interval, melainkan
berdasarkan susunan kelas interval, dari arah yang kecil ke arah yang
besar (bisa dari atas ke bawah atau sebaliknya).

98
2. MEDIAN
Median adalah nilai data yang terletak di tengah setelah data
itu disusun menurut urutan nilainya sehingga membagi dua sama
besar. Maksudnya, jika median kita sebut Me maka terdapat 50%
dari banyak data yang nilainilainya paling tinggi atau sama dengan
Me dan 50% lagi paling rendah atau sama dengan Me.
Kelompok A Me KelompokB
50% 50%
Nilai tertinggi untuk kelompok A = Me
Nilai tertentu untuk kelompok B = Me

Dengan lain kata, Me berfungsi sebagai nilai tertinggi dari


kelompok A dan juga berfungsi sebagai nilai terendah dari kelompok
B. Banyak anggota kelompok A sama dengan banyak anggota dari
kelompok B.
Jika banyak data ganjil maka Me merupakan nilai data yang
terletak di tengah-tengah di mana sebelah kiri dan kanannya masing-
masing terdapat n data.
Misalnya: 2; 3; 7; 9; 12. Me = 7 dan di sebelah kanan dan kiri Me
masing-masing terdapat dua buah data.
Tetapi jika banyak data genap (2n) maka setelah data itu
disusun menurut urutannya, Me diambil rata-rata hitung dari dua
data tengah.
Misalnya: 5; 7; 10; 15; 17; 23

99
10+15
Me= =12,5
2
Untuk data yang terkelompok, artinya yang disusun dalam
daftar distribusi frekuensi, Me dapat dihitung dengan rumus berikut:
n
Me=Bb+ p
2
( )
−F
fm

Bb = Batas bawah kelas interval yang mengandung Me.


fm = Frekuensi kelas interval yang mengandung Me.
F = Frekuensi kumulatif sebelum kelas interval yang
mengandung Me.
p = Panjang kelas interval.
Hubungan Empiris antara M, Me dan Mo
Jika M = Mo, kurva merupakan kurva normal

Tetapi jika M ≠ Me ≠ Mo, kurva mungkin positif, dan


mungkin negatif.

100
Hubungan empiris yang dapat diandalkan untuk ketiga
besaran pusat kecenderungan itu:

Mo + 2M = 3Me

Me sering dipakai untuk menjelaskan kecenderungan


pemusatan data jika pada data tersebut dijumpai nilai-nilai yang
ekstrim, dimana tidak cukup untuk dijelaskan melalui nilai rata-
ratanya saja.
Contoh:
1) Tentukan modus dari data tersebar di bawah ini:

15 25 21 16 20 17 19 25 21 15 17 16 19 20 17
20 15 25 16 21 19 16 17 25 19 21 20 19 19 21
17 20 16 21 20 21 16 20 17 19 20 19 17 21 19
20 16 19 19 17 20 21 19 19 21 19 17 20 19 15

Jawaban:
Nilai minimum = 15 dan nilai maksimum 25 Rentang = 25 - 15
paling banyak sama dengan 10.

No. Urut x Turus f


1 15 //// 4
2 16 //// // 7
3 18 0
4 19 //// //// //// 15
5. 20 //// //// / 11
6. 21 //// //// 10
7. 22 0

101
8. 23 0
9. 24 0
10. 25 //// 4
Jumlah 60

Mo terletak pada kelas interval dengan nomor 4 maka Mo = 19

2) Sehubungan dengan contoh 1), cari Mo dengan mempergunakan


sebagai data berkelompok.
Jawab:
Andaikata kita gunakan panjang kelas interval 3 maka banyak

10
kelas interval hasilnya antara 3 dan 4.
3

No. Urut Kelas Interval Turus f


1 15 – 17 //// //// //// //// 20
2 18 – 20 //// //// //// //// //// / 26
3 21 – 23 //// //// 10
4 24 – 26 //// 4

Jumlah 60 60

Mo terletak pada kelas interval nomor urut 2 maka dari kelas


interval yang bersangkutan didapat Bb = 17,5.
Data itu disusun dari kecil ke besar maka b1 = 26 - 20 = 6

102
6
dan b2 = 26 - 10 = 16, p= 3 maka Mo = 17,5 + 3 ( 6+16 ) =

18,32
Coba Anda bandingkan dengan hasil perhitungan pada contoh 1.
3) Sehubungan dengan daftar distribusi frekuensi pada contoh 2
hitunglah nilai Me.

No. Urut Kelas Interval f fk

1 15- 17 20 20
2 18-20 26 46
3 21 -23 10 56
4 24-26 4 60
Jumlah 60

Pada kelas interval nomor 1 belum tercapai untuk tempat Me


sebab letak Me harus paling sedikit mencapai frekuensi
setengah dari jumlah data seluruhnya yaitu 30. Oleh sebab itu
Me terletak pada kelas interval nomor 2. Maka yang dimaksud
dengan F ialah frekuensi kumulatif sebelum kelas interval yang
mengandung Me tidak lain frekuensi kelas interval nomor 1
sendiri yang besarnya sama dengan 20. Karena Me terletak di
kelas interval nomor 2, dari kelas interval itu dapat kita tentukan
nilai batas bawahnya, yaitu 18 – 0,5 = 17,5 sedangkan fm = 26.

103
Maka Me = 17,5 + 3 ( 30−20
26 )
= 17,5 + 1,1538 = 18,65

LATIHAN
1) Perhatikan daftar di bawah ini
Jenis Barang Disimpan Rusak % Rusak)
A 100 96 96
B 200 92 46
C 160 80 50
D 80 60 75
Jumlah 540 328 ?

Berapa % rata-rata barang yang rusak ?


2) Tiga buah sampel masing-masing berukuran 10, 25 dan 15
dengan rata-ratanya masing-masing 4, 3 dan 5. Hitung nilai
rata-rata ketiga sampel itu.
3) Hitung nilai rata-rata data berkelompok di bawah ini dengan
menggunakan cara “tanda-kelas”
No. Urut Kelas interval f
1. 20-24 3
2. 25-29 8
3. 30-34 13
4. 35-39 20
5. 40-44 17
6. 45-49 9
Jumlah 70

4) Sehubungan dengan soal nomor 3, hitung pula nilai rata-rata


104
dengan cara koding (AM).
5) Hitung nilai rata-rata data berkelompok di bawah ini dengan
cara koding atau AM
No. Urut Kelas interval f
1. 87-92 1
2. 81-86 2
3. 75-80 0
4. 69-74 13
5. 63-68 10
6. 57-62 8
7. 51-56 8
8. 45-50 7
9. 39-44 0
10. 33-38 1
Jumlah 50

6) Diberikan sampel dengan data 11, 6, 7,13,15, 18, 12, 9.


Setelah disusun menurut urutan nilainya, tentukan Me.
7) Perhatikan distribusi frekuensi berikut ini :
No.Urut Nilai f
1 31 – 35 1
2 36 – 40 2
3 41 – 45 3
4 46 – 50 7
5 51 – 55 12
6 56 – 60 10
7 61 – 65 5
105
Jumlah 40

Hitung Me

8) Sehubungan dengan data pada soal nomor 7), hitung pula


Mo.

106
107
108
BAB V
UKURAN LOKASI DAN DISPERSI

A. KUARTIL, DESIL DAN PERSENTIL


Dalam Bab 4, Anda telah mempelajari tentang median. Pada
prinsipnya median merupakan nilai yang terletak di tengah dari
sebaris nilai yang telah diurutkan letaknya dari yang bernilai kecil ke
yang bernilai besar sehingga membagi dua sama banyak.
1. DATA TERSEBAR
a. Kuartil
Kalau median dapat dikatakan sebagai ukuran perduaan
maka kuartil dapat dikatakan sebagai ukuran perempatan, artinya
nilai-nilai kuartil akan membagi 4 sama banyak terhadap banyak
data. Dengan demikian kita kenal kuartil pertama (KI), kuartil kedua
(K2), kuartil ketiga (K3) sedangkan kuartil keempat (K4) tidak
dibicarakan sebab merupakan data lengkap.
n1 , n2 , n3 , n4
k1 k2 k3
Jika banyak data (n > 3) maka banyak data yang terletak di
bawah
K1 = n1. Banyak data yang terletak di antara K 1 dan K2 = n2, banyak
data yang terletak diantara K 2 dan K3 = n3 dan banyak data yang
terletak di atas K3 = n4 di mana n1 = n2 = n3 = n4.
Untuk menentukan nilai Ki (i = 1, 2, 3) untuk data tersebar
digunakan rumus:

106
i
Letak Ki = (n + 1), misalnya ada sekelompok data 2, 5, 7, 9, 4
4
1 1
di mana n = 5. Letak K1 = (5 + 1) = 1 . Artinya nilai K, terletak
4 2

1
antara data ke 1 dan data ke 2. Besarnya = nilai data ke 1 + (nilai
2

1 1
data ke 2 - nilai data ke l) = 2 + (5-2)=3 .
2 2
2
Letak K2 = (5 + 1) = 3, artinya nilai K 2 terletak pada data ke 3.
4
Besarnya nilai data ke 3 = 7.
3 1
Letak K3 = (5 + 1) = 4 , artinya nilai K3 terletak antara data ke 4
4 2

1
dan ke 5. Besarnya = nilai data ke 4 + (nilai data ke 5 - nilai data
2

1
ke 4) = 7+ (9-7)=8.
2

Contoh
Ditentukan data tersebar dengan susunan sebagai berikut:
9, 9, 10, 13, 14, 17, 19, 19, 21, 22, 23, 25, 25, 29, 33, 35, 35, 39, 43,
47.
a) Tentukan nilai K3.
Jawab:

107
3 3
n = 20, letak K3 = (20+1)= 15
4 4
3
Nilai K3 = nilai data ke 15 + (nilai data ke 16 - nilai data ke
4
15)
3 1
= 33+ (35 - 33) = 34 .
4 2

b) Tentukan nilai K1
Jawab:
1 1
Letak K1 = (20 + 1) = 5
4 4
1
Nilai K1 = nilai data ke 5 + (nilai data ke 6 - nilai data ke 5)
4
1 3
= 14+ (17-14)= 14 .
4 4

b. Desil
Jika kumpulan data dibagi menjadi 10 bagian yang sama
banyak maka tiap bagian disebut "perseputuhan" atau disebut "desil".
Seperti halnya dengan kuartil begitu pula pada desil (D 1) akan
terdapat D1, D2, D3, ..., D9.
i
Letak Di = (n + 1), i = 1, 2, 3, …, 9.
10
Contoh
1) Misalkan n = 25 dan kita akan mencari nilai D7.

108
Jawab:
7
Letak D7 = (25 + 1) = 18,2 artinya letak nilai D 7 antara data
10
ke 18 ke 19 Besarnya nilai D7 = nilai data ke 18 + 0, 2 nilai data
ke 19 - nilai data ke 18).
2) Tentukan nilai D6 dari data tersebar di bawah ini:
9, 9, 10, 13, 14, 17, 19, 19, 21, 22, 23, 25, 27, 29, 33, 35, 35, 39,
43, 47. Jawab:
6
n = 20, letak D6 = (20 + 1) = 12,6
10
Nilai D6 = nilai data ke 12 + 0,6 (nilai data ke 13 - nilai data ke
12) = 25 + 0,6 (27 - 25)= 26,2.
c. Persentil
Persentil (Pi) merupakan ukuran lokasi yang paling halus
karena pembagiannya 1 s/d 99.
i
Letak Pi = (n + 1); i = 1, 2, 3,...99.
100
Contoh
1) Misalkan banyaknya data (n) = 50 akan dicari nilai P57.
Jawab:
57
Letak P57 = (50 + 1) = 29,07, artinya letak nilai P 57 antara
100
data ke 29 dan data ke 30.
Besar nilai P57 = nilai data ke 29 + 0,07 (nilai data ke 30 - nilai
data ke 29).

109
2) Tentukan nilai P38 dari data tersebar di bawah ini:
9, 9, 10, 13, 14, 17, 19, 20, 21, 22, 23, 25, 27, 29, 33, 35, 35, 39,
43, 47. Jawab:
38
Letak P38 = (20 + 1) = 7,98, artinya letak nilai P38 antara
100
data ke 7 dan ke 8.
Besarnya nilai P38 = nilai data ke 7 + 0,98 (nilai data ke 8 - nilai
data ke 7) = 19 + 0,98 (20 - 19) = 19,98.

2. DATA TERKELOMPOK
Penulis yakin bahwa Anda masih ingat akan rumus median
untuk data terkelompok.
n
Me=Bb+ p
2
−F
[ ]
f Me

Kalau kita kembangkan rumus itu, letak lokasi yang lain,


sebenarnya tergantung dari nilai n, yaitu banyak data.
a) Kuartil
i
Untuk nilai kuartil tergantung dari n, (I = 1, 2 dan 3).
4

1
Artinya untuk K1 tergantung dari nilai n; untuk K2 tergantung dari
4

2 3
n; dan untuk K3 tergantung dari n. Dengan demikian bentuk
4 4

110
umum nilai kuartil untuk data terkelompok:
i
K i=Bb+ p
4
[ ]
n−F
fK
, i=1, 2,3
i

Bb = Batas bawah kelas interval yang mengandung Ki.


p = Panjang kelas interval.
n = Banyak data.
F = Frekuensi kumulatif sebelum Ki
fK i
= Frekuensi kelas interval yang mengandung Ki

b) Desil dan Persentil


Begitu pula dengan lokasi "persepuluhan" atau desil dan
lokasi "perseratusan" atau persentil.
i
Nilai Di=Bb+ p
10
[ ]
n−F
fD i

i = 1, 2, 3, … 9.
Bb = Batas bawah kelas interval yang mengandung Di
P = Panjang kelas interval
n = Banyak data.
F = Frekuensi kumulatif sebelum Di.
fD 1
= Frekuensi kelas interval yang mengandung Pi.

Sedangkan untuk persentil :

111
i
Nilai Pi=Bb+ p
100
fP [
n−F

i
]
i = 1, 2, 3, … 9.
Bb = Batas bawah kelas interval yang mengandung Pi
P = Panjang kelas interval
n = Banyak data.
F = Frekuensi kumulatif sebelum Pi.
fP 1
= Frekuensi kelas interval yang mengandung Pi.
Contoh :
Pada data terkelompok yang berdistribusi sebagai berikut :
No. Urut Kelas Interval F Fk
1 10- 14 2 2
2 15- 19 3 5
3 20-24 5 10
4 25-29 6 16
5 30-34 7 23
6 35-39 8 31
7 40-44 9 40
8 45-49 11 51
9 50-54 13 64
10 55-59 8 72
11 60-64 4 76
12 65-69 3 79
13 70-74 1 80
Jumlah 80

1) Hitung nilai K3.


Jawab:

112
3
K3 terletak pada interval nomor 9 sebab n paling sedikit harus
4
sama 4 dengan 60.
Bb = 49,5
P =5
F = 51
fk3 = 13
60−51
maka nilai K3 = 49,5+ 5 [ 13 ]
=52,96.

2) Hitung nilai D7.


Jawab:
7
D7 terletak pada kelas interval nomor 9 sebab n paling sedikit
10
harus 56.
Bb = 49,5
P =5
F = 51
fD7 = 13
56−51
maka nilai D7 = 49,5 + 5 [ 13 ]
= 51,42.

3) Hitung nilai P23.


Jawab:
23
P23 terletak pada ke 5 interval nomor 5 sebab n paling
100
sedikit harus 100 sama dengan 18,4. Bb = 29,5; P = 5; F = 16;

113
18,4−16
fP23 = 7 maka nilai P23 = 49,5+ 5 [ 7 ]=31,21.

B. UKURAN DISPERSI
1. UKURAN DISPERSI DENGAN RANGE ATAU RENTANG
Dalam suatu kelompok data kuantitatif mempunyai nilai data
minimum. dan nilai data maksimum. Jarak antara kedua nilai ekstrim
itu disebut "rentang" atau "range" yang diberi simbol dengan huruf
"R".
R inilah yang disebut dengan Dispersi dengan rentang

R = Nilai Maksimum - nilai Minimum

2. UKURAN DISPERSI DENGAN KUARTIL


Selain rentang antara dua nilai ekstrim dalam suatu
kelompok data, dikenal juga "rentang antar kuartil" (RAK) .
Sebagaimana kita ketahui bahwa dalam suatu kelompok data
kuantitatif terdapat tiga nilai kuartil, yaitu "kuartil pertama (KI),
kuartil kedua (KA dan kuartil ketiga (K 3)". Selisih antara nilai K3
dengan K1 itulah yang disebut RAK. Secara umum dapat ditulis
dalam bentuk formula:

RAK = K3 – K1

Selain RAK ada dispersi lain yang dinamakan "Renteng


Semi Kuartil" atau ditulis dengan singkatan "RSK" yang di beberapa
114
buku Statistika biasanya hanya ditulis dengan "SK," singkatan dari
"Semi Kuartil". Nilai RSK sama dengan setengah RAK. Dengan
singkat dapat ditulis dalam formula:

1 1
RSK = RAK = (K3 – K1)
2 2

3. UKURAN DISPERSI DENGAN RATA-RATA SIMPANGAN


Jika kita mempunyai data x1, x2, --- xn dan nilai rata-ratanya
x́ maka kita dapat menentukan jarak atau rentang atau selisih tiap-
tiap nilai data dengan nilai rata-ratanya ( x́ ) sehingga kita peroleh
urutan data baru sebagai berikut:
(xi - x́ ), (x2 - x́ ), --- (xn - x́ ).
Tentu urutan nilai data baru itu ada yang positif dan ada yang
negatif. Tetapi jika kita bicara soal jarak atau.soal rentang atau pun
soal selisih, kita tidak membedakan antara nilai yang bertanda positif
maupun negatif. Oleh karena itulah ukuran nilai data tadi diambil
harga mutlaknya menjadi:

|x 1−x́|,|x 2−x́| ,…|x n −x́|

Jika urutan|x 1−x́|kita jumlah kemudian dibagi dengan


banyak data (n), diperoleh yang kita sebut "nilai rata,-rata.
simpangan" (RS.), ditulis dengan formula:

RS=
∑|x i− x́|
n
115
4. UKURAN DISPERSI DENGAN SIMPANGAN BAKU
Penulis baru saja menjelaskan pada Anda tentang "rata-rata
simpangan". Nilai ini mempunyai kelemahan sebagai akibat bekerja
dengan bilangan mutlak. Jika kita ambit contoh:
|−4|+|−6|+|3| 1
=4
3 3
Sebenarnya terdapat rentang antara nilai maksimum dan nilai
minimum sebesar 9. Tetapi lain halnya dengan:
4+ 6+3 1
=4
2 2
Rentang antara nilai maksimum dan minimum sama dengan
3, padahal mempunyai rata-rata simpangan yang sama. Oleh sebab
itulah nilai rata-rata simpangan tidak dapat membedakan antara
rentang yang lebih besar dengan rentang yang lebih sempit.
Untuk mengatasi kelemahan rata-rata simpangan ini,
dipelajari nilai "simpangan baku". Ukuran penyimpangan inilah yang
umum banyak dipakai.
Kuadrat dari simpangan baku disebut varian. s merupakan
simbol dari simpangan baku suatu sampel sedangkan σ merupakan
simbol simpangan baku suatu populasi.
Jika kita mempunyai sampel berukuran n dengan data x 1, x2,
x3, --- xn dan nilai rata-rata K dan setiap selisih antara K dan xi
dikuadratkan sehingga tidak akan ada lagi masalah negatif atau
positif maka

116
2 2 2
2 ( x 1−x́ ) + ( x 2−x́ ) +…+ ( x n− x́ )
s=
n−1

Mengapa dibagi dengan n -1 bukan dibagi oleh n saja? Sebab


seandainya kita hanya mengadakan pengukuran dua kali, artinya
hanya terdapat satu selisih pengukuran, yaitu perbedaan antara
pengukuran pertama dengan pengukuran kedua. Tidak dapat dicari
nilai rata-ratanya karena belum meyakinkan. Atas dasar itulah dan
juga untuk relevansi rumus-rumus
berikutnya, rumus varian

s2=
∑ ( x i−x́ )2
n−1

Karena setiap selisih dikuadratkan maka hasilnya harus


ditarik kembali akamya untuk memperoleh nilai simpangan baku.

∑ ( x i−x́ )2
2
s=
√ n−1

Daftar yang diperlukan untuk menghitung :


xi 2
( x i−x́ ) ( x i−x́ )

Jika rumus itu dikembangkan lagi, akan kita peroleh bentuk


yang lebih sederhana.

117
s 2
=
∑ ( x i−x́ )2 = ∑ ( x 21−2 x i x́+ x́ 2 )
n−1 n−1

=
∑ ( x 21−2 x́ ∑ x i + ∑ x́ 2 )
n−1
∑ x12−2 x́ ∑ x i+ n x́ 2
=
n−1

∑ xi ∑ x 2i
=
2
∑ x −2 x́
1 +n
n [ ]
n
n−1
2
n ∑ x2i −2 ( ∑ x i) + 2
=
n(n−1)
2
n ∑ x2i −( ∑ x i )
=
n(n−1)
2 2
s =

n ∑ x i − ( ∑ x i)
n (n−1)

Daftar yang dibutuhkan untuk menghitungnya :


xi x 2i

Selanjutnya dapat dengan mudah Anda buktikan sendiri


rumus-rumus untuk data yang berbobot.
s = √∑ f ¿ ¿ ¿ ¿
i

118
Daftar yang dibutuhkan untuk perhitungan :
x1 fi 2 2
( x i−x́ ) ( x i−x́ ) f i ( x i− x́ )

2
n ∑ f i x2i −( ∑ f i x i )
Atau s =
√ n(n−1)
Daftar yang diperlukan untuk perhitungan :
x1 fi x 2i fixi f i x 2i

Semua rumus-rumus simpangan baku yang baru saja penulis


sampaikan kepada Anda dapat juga berlaku untuk data terkelompok,
asal saja Anda harus tahu apa yang dimaksud dengan x i untuk data
terkelompok. Masih ingatkah Anda xi dalam data terkelompok
merupakan “tanda kelas” tiap kelas interval? Oleh sebab itu, jika
rumus-rumus itu akan digunakan untuk data terkelompok, perlu
disiapkan dulu daftar yang akan digunakan :
No. Kelas Tanda Kelas fi x 2i fixi f i x 2i
Urut Interval (xi)

Seperti halnya menghitung nilai rata-rata dengan cara koding


atau dengan “mean duga” (AM) di mana Anda merasakan sendiri
merupakan cara yang paling sederhana, praktis, dan mudah dari segi
perhitungan. Untuk menghitung simpangan baku pun dapat pula
dilakukan dengan cara koding itu.

Anda masih ingatkah bahwa


( x i−x́ )
? Jika Anda lupa, silakah
p
119
lihat kembali dalam modul sebelumnya.

d =
( x i−x́ ) xi = dp + x́ , ini kita substitusikan
p
pada
2
2 n ∑ f i x 2i −( ∑ f i x i )
s =
n(n−1)
2
= n ∑ ( dp+ x́ ) −¿ ¿ ¿ ¿

= n ∑ f i (d ¿ ¿ 2 p 2+ x́ 2 +2 dp x́)−¿ ¿¿ ¿ ¿
=

2
[
np2 ∑ f i d 2 +n2 x́2 +2 pn x́ ∑ f i d− p2 ( ∑ f i) + 2 pn x́ ∑ f i d+ n2 x́ 2 ]
n(n−1)
2
np2 ∑ f i d 2 + p2 ( ∑ f i d )
=
n( n−1)
2 2
p 2 ∑ f i d 2 p (∑ f i d )
= −
n(n−1) n(n−1)

Untuk n cukup besar maka (n-1) sama dengan n sehingga :


2 2 2
p 2 f d 2 p (∑ f i d ) ∑ f i d2 − ∑ f i d
s 2
= ∑ i −
n(n−1) n(n−1)
maka s = p

Daftar yang diperlukan untuk perhitungan :


√ n [ n ]
No. Kelas Interval fi d fid fid2
Urut

120
Contoh :
1) Ditentukan data tersebar sebagai berikut : 25, 37, 28, 29, 35, 30,
21, 31.
Tentukan rata-rata simpangannya.
Jawab :

x́=
∑ x i = 236 =29,5
n 8
RS =

|25−29,5|+|37−29,5|+|28−29,5|+|29−29,5|+|35−29,5|+|30−29,5|
8
30
= =3,75
8
Tentukan pula simpangan bakunya.
Jawab :

s2 =
∑ ( x i−x́ )2
n−1

2 ( 25−29,5 )2 + ( 37−29,5 )2 + ( 28−29,5 )2+ ( 29−29,5 )2


s =
8−1

+(35−29,5)2+(30−29,5)2 +(21−29,5)2+(31−29,5)2
8−1
184
= =26,2857 s = √ 26,2857=5,13
7

121
2) Ditentukan data tersebar 25, 30, 29, 25, 25, 30, 29, 35, 26, 30,
27, 30, 28, 29, 27, 29, 30, 28, 35. Hitung simpangan baku
dengan rumus untuk data berbobot!
Jawab :
2
x1 Turus fi fixi ( x i−x́ ) ( x i−x́ ) f i ( x i− x́ )2
25 /// 3 75 -3.85 14,8225 44,4675
26 / 1 26 -2.85 8,1225 8,1225
27 // 2 54 -1,865 3,4225 6,8450
28 // 2 56 -0,85 0,7225 1,4450
29 //// 4 116 0,15 0,0225 0,0900
30 //// / 6 180 1,15 1,3225 7,9350
35 // 2 70 6,15 37,8225 75,6450
Jumlah 20 577 144,5500

x́=
∑ f i x i = 577 =28,85
n 20

∑ f i ( x i− x́ )2
s=
√ n−1
144,55
¿
√ 19
=2,76

Dapat dihitung dengan rumus :


2
2
n ∑ f i x 2i −( ∑ f i x i)
s=
n(n−1)
Sehingga penggunaan daftar untuk perhitungan akan lebih
sederhana lagi.
x1 fi x 2i fixi f i x 2i
122
25 3 625 75 1875
26 1 676 26 676
27 2 729 54 1458
28 2 784 56 1568
29 4 841 116 3364
30 6 900 180 5400
35 2 1225 70 2450
20 577 1679

( 20 ) ( 16791 )−5772
s=
√ ( 20 ) (19)
=2,76

3) Diketahui 40 data seperti di bawah ini :


6 8 6 8 7 7 5 8 5 7 8 9 6 7 7 9
3 1 7 5 7 8 7 0 3 4 5 7 2 1 5 5
6 7 8 7 7 7 6 6 6 6 8 7 6 9 9 7
1 8 3 1 7 5 5 8 0 2 7 9 3 3 3 3
8 8 7 9 8 8 7 6
4 5 0 0 2 0 6 8

Untuk menyederhanakan data di atas, perlu dikelompokkan terlebih


dahulu.
Nilai maksimum data tersebut 97 dan nilai minimumnya 53.
R = 97 – 53 = 44. Banyak kelas interval = 1 + 3,3 log 40 = 6,29.

44
Untuk banyak kelas interval sama dengan 6; p = = 7 atau 8.
6
44
Untuk banyak kelas interval sama dengan 7, p = = 6 atau 7.
6
123
Dalam hal ini kita ambil p = 7 merupakan nilai rata-rata antara 6 dan
8.
Lakukan tabulasi (menurus) !
No. Urut Kelas Interval Turus f
1 53 – 59 // 2
2 60 – 66 //// // 7
3 67 – 73 //// // 7
4 74 – 80 //// //// / 11
5 81 – 87 //// // 7
6 88 – 94 //// 4
7 95 – 101 /// 2
Jumlah 40

Menghitung s dengan rumus :

∑ f i ( x i− x́ )2
s=
√ n−1

Tanda
No. Kelas
Urut Interval
f Kelas ( x i−x́ ) ( x i−x́ )2 f i ( x i− x́ )2
(xi)
1 53 – 59 2 56 -19,95 398,0025 796,0050
2 60 – 66 7 63 12,95 167,7025 1173,917
3 67 – 73 7 70 -5,95 35,4025 5
4 74 – 80 11 77 1,05 1,1025 247,8175
5 81 – 87 7 84 8,05 64,8025 12,1275
6 88 – 94 4 91 15,05 226,5025 453,6175
7 95 – 101 2 98 22,05 486,2025 906,0100
972,4050
Jumlah 40 4561,900
0

124
x́ dapat dicari dengan rumus
∑ f i x i , diperoleh = 75,95
n
4561,9
s=
√ 38
=10,82

Menghitung s dengan cara koding


2

s= p
√ ∑ f i d2 − ∑ f i d2
n [ n ]
Akan jauh lebih sederhana dan lebih mudah

No.
Kelas Interval fi d fid fid2
Urut
1 53 – 59 2 -3 -6 18
2 60 – 66 7 -2 -14 28
3 67 – 73 7 -1 -7 7
4 74 – 80 11 0 0 0
5 81 – 87 7 7 7 7
6 88 – 94 4 4 8 16
7 95 – 101 2 2 6 18
Jumlah 40 -6 94

94 6 2
s=7
√ −( ) =10,68
40 40
Mengapa berbeda hasil? Karena dengan cara koding ini kita
telah mengadakan pendekatan n cukup besar maka n – 1 sama
dengan n.

125
LATIHAN
1) Jelaskan arti Ki = 28; D7 = 7 dan P10 = 65.
2) Data tersebar 31, 31, 35, 36, 39, 40, 43, 47, 50, 53, 55, 55,
59, 60, 62, 69, 70, 75, 79, 82, 85, 87, 87, 88, 90. Hitung
nilai K3, D4, dan P67. Hitung pula nilai K2, D5, dan P50.
3) Dari data terkelompok dengan distribusi frekuensi sebagai
berikut:
No. Urut Kelas Interval f fk
1 31 -37 1 1
2 38-44 2 3
3 45-51 5 8
4 52-58 12 20
5 59-65 23 43
6 66-72 18 61
7 73-79 10 71
8 80-86 5 76
9 87-93 3 79
10 94- 100 1 80

Hitung nilai K2, D8, dan P89:


4) Dalam tabel distribusi frekuensi seperti di bawah ini :

No. Urut Kelas Interval f


1 10 – 19 2
2 20 – 29 3
3 30 – 39 5
4 40 – 49 8
5 50 – 59 10
126
6 60 – 69 9
7 70 – 79 7
8 80 – 89 4
9 90 – 99 2
Jumlah 50

Hitung s dengan mempergunakan rumus-rumus simpangan


yang berbeda-beda!

127
128
BAB VI
UKURAN KEMIRINGAN, UKURAN KERUNCINGAN DAN
KURVA NORMAL

A. UKURAN KEMIRINGAN
Misalkan kita mempunyai sekumpulan data populasi.
Apabila digambarkan grafiknya maka akan diperoleh beberapa
macam model distribusinya. Dari beberapa model distribusi tersebut
ada enam model yang dikaitkan dengan ukuran kemiringan dan
ukuran keruncingan. Oleh karena itu berikut ini akan dibahas kedua
macam ukuran tersebut.
Ukuran kemiringan adalah ukuran yang menyatakan sebuah
model distribusi yang mempunyai kemiringan tertentu. Apabila
diketahui besamya nilai ukuran ini maka dapat diketahui pula
bagaimana model distribusinya, apakah distribusi itu simetrik, positif
atau negatif.
Berikut ini diberikan ketiga macam model distribusi tersebut.

Untuk mengetahui apakah sekumpulan data mengikuti model


distribusi positif, negatif atau simetrik, hal ini dapat dilihat
126
berdasarkan nilai koefisien kemiringannya. Ada beberapa rumus
untuk menghitung koefisien kemiringan, yaitu:
a. Koefisien kemiringan pertama dari Pearson

x́−Mo
Koefisien kemiringan=
s

dengan: x́ = rata-rata; Mo = Modus; s = simpangan baku

b. Koefisien kemiringan kedua dari Pearson

3( x́ −Me)
Koefisien kemiringan=
s

dengan: x́ = rata-rata; Me = Median; s = simpangan baku

c. Jika kita menggunakan nilai kuartil maka rumusnya adalah

K 3−2 K 2 + K 1
Koefisien kemiringan=
K 3 −K 1

dengan: K1 = Kuartil kesatu; K2 = Kuartil kedua; K3 = Kuartil


ketiga
d. Jika kita menggunakan nilai persentil maka rumusnya adalah

P90−2 P50 + P10


Koefisien kemiringan=
P90−P10

dengan: P10 = Persentil ke 10; P 50 = Persentil ke 50; P90 =


127
Persentil ke 90
Menurut Pearson, dari hasil koefisien kemiringan di atas, ada
tiga kriteria untuk mengetahui model distribusi dari sekumpulan data
(baik data tidak berkelompok maupun data berkelompok), yaitu :
1. Jika koefisien kemiringan lebih kecil dari nol maka bentuk
distribusinya negatif.
2. Jika koefisien kemiringannya sama dengan nol maka bentuk
distribusinya simetrik.
3. Jika koefisien kemiringan lebih besar dari nol maka bentuk
distribusinya positif.

Contoh
Misalkan berat badan bayi (dicatat dalam kg) yang baru lahir
selama seminggu tertentu di rumah sakit bersalin "Sehat" dapat
dilihat-dalam tabel berikut.
Berat Badan bayi yang Baru lahir (dalam kg)
Selama Seminggu tertentu di Rumah Sakit Bersalin "Sehat"

Berat Badan Banyak Bayi


2,5-2,6 2
2,7-2,8 3
2,9.-3,0 5
3,1 -3,2 7
3,3-3,4 6
3,5 -3,6 5
Jumlah 28

Hitung koefisien kemiringannya dengan menggunakan nilai


kuartil.
Penyelesaian:
128
Rumus yang digunakannya adalah:
K 3−2 K 2 + K 1
Koefisien kemiringan=
K 3 −K 1
Sebelumnya kita harus menghitung dahulu K1, K2 dan K3.

Untuk kuartil kesatu (K1)


Kelas kuartil kesatu adalah sebuah kelas interval yang
frekuensinya apabila dijumlahkan dari frekuensi kelas interval
pertama mencapai paling sedikit
1 1
n , yaitu= x 28 orang=7 orang .
4 4
Ternyata kelas kuartil kesatu terletak pada kelas interval ketiga,
karena jumlah frekuensinya (2 + 3 + 5) orang = 10 orang. Sehingga
kita bisa menghitung besaran-besaran yang diperlukan dalam rumus
kuartil kesatu, yaitu b = 2,9 - 0,05 = 2,85; p = 3,1 - 2,9 = 0,2; F = 2 +

3 = 5 dan f K = 5.
1

Jadi:
7−5
K1 = 2,85 + 0,2 ( ) - 2,85 + 0,08 = 2,93
5
Untuk kuartil kedua, (K2)
Kelas kuartil kedua adalah sebuah kelas interval yang frekuensinya
apabila dijumlahkan dari frekuensi kelas interval pertama mencapai
paling sedikit
2 2
n , yaitu= x 28 orang=14 orang
4 4

129
Ternyata kelas kuartil kedua terletak pada kelas interval keempat,
karena jumlah frekuensinya (2 + 3 + 5 + 7) orang = 17 orang.
Sehingga kita bisa menghitung besaran-besaran yang diperlukan
dalam rumus kuartil kedua, yaitu b = 3,1 - 0,05 = 3,05; P 3,3 - 3,1 =

0,2; F= 2 + 3 + 5 = 10 dan f K = 7.
2

Jadi:

K 2=3,05+ 0,2 ( 14−10


7 )
=3,05+0,11=3,16

Untuk kuartil ketiga, (K3)


Kelas kuartil ketiga adalah sebuah kelas interval yang frekuensinya
apabila dijumlahkan dari frekuensi kelas interval pertama mencapai
paling sedikit
3 3
n , yaitu= x 28 orang=21orang
4 4
Ternyata kelas kuartil ketiga terletak pada kelas interval kelima,
karena jumlah frekuensinya (2 + 3 + 5 + 7 + 6) orang = 23 orang,
sehingga kita bisa menghitung besaran-besaran yang diperlukan
dalam rumus kuartil ketiga, yaitu: b = 3,3 - 0,05 = 3,25; p = 3,5 - 3,3

= 0,2; F = 2 + 3 + 5 + 7 = 17 dan f K = 6.
3

Jadi:

K 3=3,25+ 0,2 ( 21−17


6 )
=3,25+0,13=3,38

130
−0,01
Sehingga, koefisien kemiringannya = =−0,022.
0,45

B. UKURAN KERUNCINGAN (KURTOSIS)


Kurtosis adalah derajat kepuncakan dari suatu distribusi,
biasanya diambil relatif terhadap distribusi normal. Sebuah distribusi
yang mempunyai puncak relatif tinggi dinamakan leptokurtik (lihat
gambar 2(1)). Sebuah distribusi yang mempunyai puncak mendatar
dinamai platikurtik (lihat gambar 2(2)). Distribusi normal yang
puncaknya tidak terlalu tinggi atau puncaknya tidak mendatar
dinamakan mesokurtik (lihat gambar 2(3)).

Untuk mengetahui apakah sekumpulan data mengikuti


distribusi leptokurtik, platikurtik atau mesokurtik, hal ini dapat
dilihat berdasarkan nilai koefisien kurtosisnya. Untuk menghitung
koefisien kurtosis digunakan rumus
koefisien kurtosis, yaitu:

1
( K −K 1 )
2 3
K=
P90 −P 10
131
dengan: K1 = Kuartil kesatu
K3 = Kuartil ketiga
P10 = Persentil ke 10
P90 = Persentii ke 90
Dari hasil koefisien kurtosis di atas, ada tiga kriteria untuk
mengetahui model distribusi dari sekumpulan data, yaitu:
1. jika koefisien kurtosisnya sama dengan 0,263 maka distribusinya
adalah mesokurtik
2. jika koefisien kurtosisnya lebih dari 0,263 maka distribusinya
adalah leptokurtik.
3. jika koefisien kurtosisnya kurang dari 0,263 maka distribusinya
adalah platikurtik.
Contoh:
Lihat data dalam daftar (1), yaitu mengenai berat badan bayi yang
baru lahir selama seminggu tertentu dari rumah sakit bersalin
"Sehat". Hitung koefisien kurtosisnya.
Penyelesain:
Rumus yang digunakannya adalah:

1
( K −K 1 )
2 3
K=
P90 −P 10
Kita sudah menghitung : K1 = 2,93 dan K3 = 3,38.
Kita akan menghitung P10 dan P90.

132
Untuk Persentil ke 10, P10
Kelas persentil ke 10 adalah sebuah kelas interval yang frekuensinya
apabila dijumlahkan dari frekuensi kelas interval pertama mencapai
paling sedikit
10 10
n , yaitu= x 28 orang=2,8 orang .
100 100
Ternyata kelas persentil ke 10 terletak pada kelas interval kedua,
karena jumlah frekuensinya mencapai (2 + 3) orang = 5 orang.
Sehingga kita bisa menghitung besaran-besaran yang diperlukan
dalam rumus persentil ke 10, yaitu b = 2,7 - 0,05 = 2,65; p = 2,9 - 2,7

= 0,2; F = 2; dan f P =3.


10

Jadi: P10 =2,65+0,2 ( 2,8−2


3 )
=2,65+0,05=2,70

Untuk Persentil ke 90, P90


Kelas persentil ke 90 adalah sebuah kelas interval yang frekuensinya
apabila dijumlahkan dari frekuensi kelas interval pertama mencapai
paling sedikit
90 90
n , yaitu x 28 orang=25,2 orang .
100 100
Ternyata kelas persentil ke 90 terletak pada interval ke enam, karena
jumlah frekuensinya mencapai (2 + 3 + 5 + 7 + 6 + 5) orang = 28
orang sehingga kita bisa menghitung besaran-besaran yang
diperlukan dalam rumus persentil ke 90, yaitu b = 3,5 - 0,05 = 3,45;

p = 0,2; F = 2 + 3 + 5 + 7 + 6 = 23; dan f P =5.


90

133
Jadi: P90=3,45+ 0,2 ( 2,5,2−23
5 )
= 3,45 + 0,2 (0,44) = 3,45 + 0,088 = 3,54
1 1
( K 3−K 1 ) (3,38−2,93)
Berarti : 2 2 0,225
K= = = =0,268
P90 −P 10 3,54−2,70 0,84

LATIHAN
Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai mated di atas,
kerjakanlah latihan berikut!
1) Berikut ini diberikan data mengenai tinggi badan (dalam cm)
dari sejumlah mahasiswa:
160,3; 161,8; 160,5; 165,6; 164,9; 166,0; 169,2; 165,1;
165,1; 160,7; 161,9; 166,2; 168,1; 163,0; 162,2; 166,4.
Hitung koefisien kemiringan dengan menggunakan rumus
pertama dari Pearson.
2) Dari soal no 1, hitung koefisien kemiringan dengan
menggunakan rumus kedua dari Pearson.
3) Dari soal no 1, hitung koefisien kemiringan dengan
menggunakan nilai kuarti I.
4) Dari soal no 1, hitung koefisien kemiringan dengan menggunakan
nilai persentil.
5) Diberikan data sebagai berikut:
169, 1; 169,2; 166,0; 164,9; 165,6; 160,5; 161,8; 160,3;
166,4; 162,2; 163,0; 168,1; 166,2;161,9;160,7 dan 165,1
Hitung koefisien kurtosisnya.
134
135
BAB VII
KURVA NORMAL DAN KEGUNAANNYA

A. DISTRIBUSI GAUSS
Distribusi Gauss merupakan salah satu dari distribusi normal
yang berasal dari distribusi dengan peubah acak kontinu. Kurvanya
disebut kurva normal. Distribusi ini merupakan salah satu yang
paling penting serta banyak digunakan. Fungsi distribusi Gauss
diberikan dengan persamaan
2
−1 x−μ
1 2 σ( ) (1)
f ( x )= e
σ √2 π
di mana n = konstanta yang nilainya sama dengan 3,1416
e = konstanta yang nilainya sama dengan 2,7183
 = parameter, yaitu nilai rata-rata dari distribusi
populasi
 = parameter yang merupakan simpangan baku
distribusi populasi
x = peubah kontinu yang daerah (jangkauan) nilainya -
∞ < x <∞
Sifat distribusi normal:
a) Grafiknya selalu terletak di atas sumbu X.
b) Bentuk grafiknya simetris terhadap x = .
0,3989
c) Modus tercapai pada  =
σ
d) Grafiknya asymptotic terhadap sumbu X
e) Luas daerah grafik sama dengan satu satuan persegi.
135
Untuk setiap pasang nilai µ dan  sifat-sifat di atas selalu
dipenuhi hanya bentuknya saja berubah. Untuk nilai-nilai  yang
besar, kurvanya semakin rendah (platikurtik) sedangkan untuk nilai-
nilai  yang semakin kecil, kurvanya semakin tinggi (leptokurtik).
Dalam pemakaian, kita tidak lagi menggunakan rumus di atas
olch karena telah disiapkan daftar distribusi normal baku. Distribusi
Normal baku adalah distribusi normal dengan nilai rata-rata  = 0
dan simpangan baku  = 1. Fungsi densitinya dinyatakan dalam
peubah acak z seperti:
−1 2
1 2
z
f ( z )= e (2)
σ √2 π
Dengan daerah z ialah interval - ∞ < z <∞
Kalau kita perhatikan hubungan antara rumus (1) dan (2),
distribusi normal ini menjadi distribusi normal baku dengan
menggunakan transformasi.
x−μ x−x́
z= bagi distribusi populasi dan z = bagi distribusi
σ s
sampel.
Mengapa dikatakan fungsi dari z? Mungkin berasal dari kata
"zirro" atau "nol". Seperti telah dikatakan di atas bahwa  = 0, berarti
nilai rata-rata dari z sama dengan not dengan simpangan bakunya
sama dengan 1. Dapat dibuktikan bahwa nilai rata-rata dari z sama
dengan 0. Bukti:

136
∞ ∞ −1 2
1 z
μ z= ∫ z f ( z ) dz= ∫
−∞ −∞
( √2 π
e 2
) dz

∞ −1 2
¿
1 (
∫ ze 2
z
) dz
√2 π −∞
∞ −1 2
¿
1
∫e ( 2
z
) dz , misalu= 12 z 2

√2 π −∞
du=zdz

1
¿ ∫ ( e−u ) du=,− 1 e−u ¿∞−∞=0
2 π
√ −∞ √2 π
Begitu pula dapat dibuktikan bahwa  = 1.
Bukti :

σ =∫ (z−μ z )2 f ( z ) dz
2
z
−∞


¿ ∫ z2 f ( z ) dz
−∞

∞ −1 2
z2 2
z
¿∫ e dz=1
−∞ √2 π

Setelah kita memiliki distribusi normal baku yang diperoleh

xi −μ
dari distribusi normal "umum", dengan transformasi z = maka
σ
daftar atau tabel distribusi normal baku dapat digunakan.
Cara menggunakan/membaca Daftar Distribusi Normal Baku

137
(Daftar F)

a) Hitung nilai z hingga dua desimal


b) Gambarkan sketsa kurvanya!

c) Tentukan nilai z pada sumbu z, kemudian buatlah garis tegak


138
lurus sumbu z melalui z = 0 hingga memotong atau membagi luas
kurvanya sama besar.
Nilai z ada 2 kemungkinan, positif atau negatif sehingga
sketsanya pun mungkin seperti lukisan (a) atau lukisan (b) di
halaman berikut.

d) Luas yang tertera dalam daftar F adalah luas daerah antara garis
yang tegak lurus sumbu Z melalui titik z = 0 dan lengkungan
kurva.
e) Dalam daftar F, di bawah kolom z, carilah nilai z sampai dengan
1 desimal sedangkan desimal yang kedua didapat pada baris
paling atas,
f) Dari nilai daerah desimal yang terdapat pada kolom paling kiri
ditelusuri, maju ke kanan dan dari nilai z di baris atas ditelusuri
turun ke bawah sehingga seolah-olah bertemu di satu titik
"koordinat", maka pertemuan pada titik "koordinat" itulah
bilangan yang merupakan luas yang dicari.

Contoh: z = 0,23
139
z 0 1 2 3… 9
0,0
0,1
0,2 0,0910
0,3

akan diperoleh antara z = 0 dan z = 0,23 luas daerahnya sama dengan


0,0910 kira-kira sama dengan 9,1%.

140
141
Dikutip kembali dari: SUDJANA, Metode Statistika, Tarsito,
Bandung, 1975.
Contoh-contoh:
Gunakan Daftar F pada halaman sebelumnya. Cari luas daerah:
1) Antara z = 0 dan z = 1,25 Pada kolom z cari 1,2
kemudian ikuti ke kanan
hingga bertemu dengan
bilangan yang terdapat di
bawah kolom angka 5.
Bilangan yang dimaksud
ialah 0,3944.
Maka luas daerah yang
dicari ialah daerah yang
diarsir yaitu 0,3944 atau
39,44%.

142
2) Antara z = 0 dan z = -2,13 Di bawah kolom z cari 2,1
kemudian ikuti ke kanan
sehingga bertemu bilangan
yang berada di bawah
kolom bilangan 3 yaitu
0,4834.
Karena z = -2,13 (tanda
negatif)
maka nilai z tersebut
terletak pada daerah yang
negatif. Luas daerah yang
dicari ialah daerah yang
diarsir = 0,4834 atau
48,34%.

3) Antara z = 1,73 dan z = 2,51 Seperti halnya pada contoh


1 dan 2, Anda cari luas z =
1,73 terdapat 0,4582
sedangkan z = 2,51
terdapat 0,4940, Tetapi
nilai z = 1,73 sebenarnya
bernilai negatif (z = -
1,73) maka harus
ditempatkan pada daerah
negatif sedangkan z = 2,51
positif harus ditempatkan
pada daerah positif.
Dengan demikian luas
daerah yang dicari
merupakan jumlah kedua
luas tersebut, yaitu z-1,73
+ z2,51 = 0,4582 + 0,4940
= 0,9522 atau 95,22%.

4) Antara z = -2,73 dan z = -0,98 Dengan cara yang sama


dapat dicari luas daerah
untuk z 2,73 = 0,4968 dan
143
z 0,98 = 0,3365. Tetapi
ingat kedua-duanya
bertanda negatif, maka
harus diletakkan pada
bagian negatif. Luas daerah
yang dicari = luas daerah
z2,73 - luas daerah z98 =
0,4968 - 0,3365 = 0,1603
atau 16,03%.

5) z> -1,09 Cari luas daerah zi,og.


didapat 0,3621. Tetapi
yang diminta yang lebih
besar, berarti luas daerah
yang dicari berada di
sebelah kanan dari z = -
1,09 yaitu 0,3621 + 0,50 =
0,8621. Mengapa luasnya
ditambah 0,50 sebab luas
daerah seluruhnya 100%
dibagi dua daerah digaris z
= 0, masing-masing 50%.

6) z > 1,96 Luas daerah z1,96 = 0,4750.


Tetapi yang diminta daerah
dengan nilai z yang lebih
besar dari 1,96 artinya
daerah yang terletak di
sebelah kanan dari z =
1,96. Oleh sebab itulah
luas daerah yang diminta
0,50 – 0,4750 = 0,0250
atau 2,5%.

7) Contoh Pemakaian
Nilai rata-rata ujian masuk suatu perguruan tinggi 67,75 dengan
simpangan baku 6,25. Jika distribusinya normal dan banyak calon
144
10000 orang, tentukanlah:
a) Berapa % banyak calon yang nilainya lebih dari 70?
b) Berapa orang calon yang nilainya antara 70 dan 80?
c) Berapa orang calon yang nilainya lebih besar atau sama
dengan 75?
d) Berapa orang calon yang nilainya 75?

Jawab:
x = nilai hasil ujian
x́ = 67,75
s = 6,25
x−x́
a) Dengan rumus z= ; x>70
s
70−67,75
z> =0,36
6,25
Nilai yang lebih besar dari 70 berarti luas daerah yang terletak di
sebelah kanan dari nilai z = 0,36.
z0,36 = 0,1406
Luas daerah yang lebih besar
dari z0,36 = 0,50 - 0,1406 =
0,3594. Jadi banyak calon yang
nilainya lebih besar dari 70
ada 35,94%, atau 3594 orang

b) x1 = 70; x2 = 80
70−67,75
z 1= =0,36
6,25
80−67,75
z 2= =1,96
6,25
Persentase calon terletak antara
nilai z1 dan z2. Luas daerah z,
adalah 0,1406 sedangkan luas
daerah z2 adalah 0,4750 maka
luas daerah antara z1 dan z2
145
adalah 0,4750 - 0,1406 = 0,3344.
Jadi banyak calon yang nilainya
antara 70 dan 80 adalah 0,3344 x
10.000 = 3.344 orang.
c) xi > 75 dalam hal ini nilai 75 sendiri termasuk. Untuk masalah
ini, masih ingatkah Anda tentang nilai batas bawah? Batas
bawah dari 75 adalah 74,5. Agar nilai 75 termasuk
diperhitungkan, maka batas nilai x yang digunakan menjadi
74,5.

74,5−67,75
Maka z = =1,08
6,25

Daerah luas z1,08 = 0,3599


Sedangkan daerah luas yang
dimaksud ialah daerah luas yang
terletak di sebelah kanan dari z =
1,08 yaitu selu`as 0,50 - 0,3599
= 0,1401. Jadi banyak calon
yang nilainya lebih dari atau
sama dengan 75 adalah 0,1401 x
10.000 = 1.401 orang.

d) Nilai 75 terletak antara nilai batas bawahnya dan nilai batas


atasnya yaitu antara 74,5 dan 75,5. Dengan demikian untuk
mencari persentase yang bernilai 75 harus dicari persentase
yang nilai x nya terletak'di antara nilai x1 = 74,5 dan x2 = 75,5.
74,5−67,75
z 1= =1,08
6,25
Sedangkan

146
75,5−67,75
z 2= =1,24
6,25
Luas daerah antara z1 dan z2
adalah 0,3925 – 0,1401 =
0,2524. Jadi banyak calon
yang bernilai 75 adalah
0,2524 x 10.000 = 2.524 .
Penulis yakin Anda masih ingat akan kejadian sekeping uang
Logam yang dilempar akan muncul bagian muka atau bagian
belakang. Suatu kejadian yang menghasilkan peristiwa A dan bukan
A ( Á ) di mana P(A) = p dan p merupakan nilai kemungkinan terjadi
peristiwa A maka P( Á ) = q = 1 - p. Kejadian yang demikian jika
dilakukan berulang kali, distribusinya disebut distribusi Binomial
yaitu sama dengan distribusi dengan peubah acak deskrit dengan
nilai P(A) = p dan P( Á ) = q = 1 - p.
Antara distribusi Binomial dan distribusi Normal terdapat
hubungan tertentu jika n cukup besar dan p = P(A) yaitu nilai
kemungkinan kejadian A di mana p tidak terlalu dekat dengan nol
namun berdistribusi Binomial dapat didekati oleh distribusi Normal
dengan nilai rata-rata  = np dan simpangan bakunya  =

√ np(1− p) sehingga menjadi

x−np
z=
√ np(1−p)
Karena mengubah peubah acak diskret dari distribusi
Binomial menjadi peubah acak kontinu dalam distribusi Normal,

147
maka nilai x perlu mendapat penyesuaian dengan jalan menambah
atau mengurangi dengan 0,5 (SUDJANA, DR., 1975: 140)
Contoh Soal:
15% dari tamatan SMA merupakan hasil PMDK. Sampel acak yang
berukuran 600 tamatan SMA telah digunakan. Tentukan nilai
kemungkinan yang akan terdapat:
a) Paling sedikit 70 orang dan paling banyak 80 sebagai basil
PMDK.
b) Lebih besar atau sama dengan 100 orang yang memperoleh
PMDK.
Jawab:
a) x terletak antara: (70 - 0,5) < x < (80 + 0,5) atau 69,5 < x < 80,5
 = 0,15 x 600 = 90
 = √ 600 x 0,15 x 0,85=8,75
69,5−90 80,5−90
z 1= =−2,34 dan z 2= =−1,09
8,75 8,75
Luas daerah Z-2,34 adalah 0,4904 dan luas daerah z-1,09 adalah
0,3621.
Luas daerah antara Z-2,34 dan z1,09 adalah 0,4904 - 0,3621 = 0,
1283.
Maka nilai kemungkinan terdapat paling sedikit 70 orang dan
paling banyak 80 orang sebagai hasil PMDK ada 0, 1283.

b) Lebih besar atau sama dengan 100 artinya x > 99,5

148
99,5−90
z ≥= =1,09
8,75
Luas daerah zi,og = 0,3621
maka banyak siswa yang
termasuk PMDK lebih besar
atau sama dengan 100
adalah 0,50 - 0,3621 =
0,1379.

B. DISTRIBUSI STUDENT
Distribusi dengan peubah acak kontinu lainnya ialah
distribusi yang ditemukan oleh seorang mahasiswa yang tidak mau
disebut namanya. Untuk menghargai hasil penemuannya itu,
distribusinya disebut distribusi Student yang lebih dikenal dengan
distribusi "t", diambil dari huruf terakhir kata "student". Bentuk
persamaan fungsinya:
K
f ( t )= 1
t2 n
1+( )
n−1
2

Berlaku untuk - ∞ < t < ∞ dan K merupakan tetapan yang


besarnya tergantung dari besar n sedemikian sehingga luas daerah
antara kurva fungsi itu dan sumbu t adalah 1.
Bilangan n - 1 disebut derajat kebebasan (dk). Yang
dimaksudkan dengan dk ialah kemungkinan banyak pilihan dari
sejumlah objek yang diberikan. Misalnya kita mempunyai 2 objek
yaitu A dan B. Dari dua objek'ini kita hanya mungkin melakukan 1
kali pilihan saja, A dan B. Seandainya yang terpilih A maka B tidak

149
usah dipilih lagi., Dan untuk itu dk = 2 - 1 = 1.
Jika banyak objek 4 yaitu A, B, C dan D, kita hanya
mungkin melakukan 3 pilihan yaitu:
Pilihan ke-1 kita memilih 1 dari 4 objek.
Pilihan ke-2 kita memilih 1 dari 3 objek.
Pilihan ke-3 kita, memilih 1 dari 2 objek, sisanya karena tinggal 1
objek lagi tidak usah dipilih lagi. Oleh karena itu dalam hal ini dk =
4 - 1 = 3 artinya tingkat kebebasan memilih hanya sebanyak 3 kali.
Bentuk kurva distribusi "t" ini mirip dengan bentuk kurva
normal baku. Untuk perhitungan-perhitungan yang berhubungan
dengan distribusi “t”; seperti halnya dengan distribusi normal baku,
telah disiapkan Distribusi “t” (daftar G).

150
151
Dikutip dari: SUDJANA, Metode Statistika, Tarsito, Bandung, 1975
Coba Anda perhatikan daftar G:

Kolom pertama (dk) merupakan kolom untuk mencari


derajat kebebasan yang akan dipakai. Kolom-kolom berikutnya
berisikan nilai-nilai kemungkinan tergantung dari tingkat berarti
yang digunakan. Yang dimaksud dengan tingkat berarti ialah suatu
bilangan yang menunjukkan berapa % toleransi berbuat kesalahan.
Misalnya tingkat berarti 5% atau dikatakan diteliti dengan a = 5%
artinya jika kita menarik suatu kesimpulan, dari 100 gejala kira-kira
ada 5 gejala yang tidak tepat.
Berbeda dengan daftar F yaitu daftar
152
distribusi normal baku, maka pada
daftar "t" ini (daftar G), bilangan-
bilangan yang terdapat dalam badan
daftar menunjukkan nilai "t" dari
persentase yang telah dikurangi
tingkat berarti yang kita gunakan.
Misalnya kita menggunakan α = 1%
maka untuk dk yang bersangkutan,
kita memperoleh nilai "t" untuk (100
- 1)% = 99%. Dengan demikian
dalam daftar kita pergunakan kolom
t0,99 yang selanjutnya untuk
menemukan angka-angka pada
badan daftar tergantung dari nilai
derajat kebebasan yang digunakan.
Dapat juga dikatakan untuk 10,99,
melukiskan daerah t seluas 0,99 atau
99% yaitu luas daerah yang dibatasi
oleh kurva dari nifai to,99 ke sebelah
kiri. Secara umum dapat ditulis
untuk "tp" berarti luas daerah
lengkung kurva seluas "p" mulai dari
nilai tp ke kiri.

Contoh Penggunaan dan Pembacaan Daftar G


1) Cari nilai t untuk n = 14 dan a = 5%.

Jawab:
dk = n - 1 = 14 - 1 = 13; α = 5%
maka p = 1.00% - 5% = 95%.
Lihat daftar di bawah kolom dk,
cari bilangan 13 kemudian ikuti
ke kanan hingga bertemu dengan
bilangan yang berada di bawah 1,77
kolom t0,95 diperoleh nilai 1,77.
Artinya t0,95(13) = 1,77.
Luas daerahnya sebesar 0,95% terbentang mulai dari nilai t1,77
153
ke sebelah kiri atau dapat dikatakan luas daerahnya mulai dari -
oo sampai dengan t0,95(13).

2) Untuk n = 18, tentukan nilai t sehingga luas daerah kurva yang


dicari sama dengan 95%.
Dari lukisan di sebelah ini dapat
dilihat bahwa nilai harga mutlak
t membatasi luas daerah kurva
yang letaknya simetris terhadap t
= 0. Mudah dimengerti pula -2,11 +2,11
bahwa luas ujung kiri sama
dengan luas ujung kanan sama
1
dengan (1 - 0,95) = 0,025.
2

Kalau kita peroleh nilai t bagian yang positif, berarti kita telah
memperoleh pula nilai t yang negatif. Luas daerah dari tp ke kiri
atau luas daerah yang lebih kecil dari t p = 0,95 + luas daerah
yang lebih kecil dari -tp = 0,95 + 0,025 = 0,975. Mengapa
bilangan ini kita perlukan? Oleh karena sifat dari kurva distribusi
"t" ini selalu menunjukkan luas dari - ∞ sampai dengan nilai tp
tertentu. Oleh karena itu dalam contoh ini, p sama dengan 0,975.
Jika dk = 17, di bawah kolom dk cari bilangan 17 kemudian ikuti
ke kanan sampai dengan bertemu dengan bilangan yang berada
di bawah kolom t0,975 maka akan dijumpai bilangan 2,11 artinya
nilai t = ± 2,11.

3) Tentukan t. sehingga luas dari t ke kiri sebesar 0,025 dengan dk


= 20.

Jawab:
Untuk ini p = 1 - 0,025 = 0,975. Kalau kita lukiskan kurvanya
seperti:

154
Sedangkan yang diminta:

Maka dari daftar akan diperoleh nilai to,975 untuk dk = 20 sama


dengan 2,09. Jadi nilai t yang dicari ialah -2,09.

LATIHAN
1) Cari luas daerah untuk:
a. z antara 1,21 dan 2,97
b. z antara -1,17 dan -2,75
c. antara -0,65 dan 1,28
d. z > 0,57
e. z < 1,25.

2) Cari harga z dalam kurva normal baku sehingga luas:


a. dari z ke kanan 0,1003
b. dari z ke kiri 0,9732
c. dari z ke kanan 0,7996
d. dari z ke kiri 0,0708.

3) Misalkan distribusi tentang tinggi mahasiswa adalah normal nilai


rata-rata 167,5 cm dan simpangan baku 4,6 cm. Semua 200.000
mahasiswa. Tentukan ada berapa mahasiswa yang tingginya:
a. lebih dari 175 cm
b. lebih dari 160 cm
c. kurang dari 170 cm
d. kurang dari 166 cm
e. antara 158 dan 170 cm
f. 172 cm.

155
4) Dengan mempergunakan daftar G, tentukan nilai t sehinga luas:
a) dari t ke kanan sama dengan 0,005 dengan dk 5
b) dari t ke kanan sama dengan 0,05 dengan dk 10
c) dari t ke kiri sama dengan 0,20 dengan dk = 11
d) dari t ke kiri sama dengan 0,40 dengan dk = 5
e) dari t ke kiri dan ke kanan masing-masing 0,05 dengan dk= 15
f) didapat t = 1,74. Berapa luas daerah dari t ke kanan dan
berada
pula dk- nya?
g) diketemukan t = -2,05 dengan dk = 28. Berapa luas daerah dari
t ke kiri ?

156
157
BAB VIII
KURVA-KURVA LAIN DAN PENGGUNAANNYA

A. DISTRIBUSI KHI KUADRAT ( χ 2 ¿

Distribusi χ 2 (baca: khi kuadrat) juga merupakan


distribusi dengan peubah acak kotinu.
1 −1
Bentuk persamaannya: f (u) = Ku 2 y−1 e 2
u

dengan u = χ 2 > 0; y = dk sedemikian rupa sehingga luas di bawah


kurva sama dengan 100% atau 1.
Umumnya grafiknya merupakan grafik dengan kemiringan
atau kelandaian positif, yaitu grafik dengan kelandaian ke kanan.
Kelandaian ini semakin berkurang jika dk semakin besar.
Untuk perhitungan-perhitungan telah disiapkan daftar H
seperti halnya juga dengan distribusi-distribusi yang lain.

Umumnya grafik
mempunyai kelandaian
(kemiringan) positif (ke
kanan) untuk dk yang makin
besar, kelandaian semakin
berkurang.

157
Bentuk daftar H

Kolom pertama (dk) ialah bilangan bilangan yang


menunjukkan derajat kebebasan yang akan dipakai. Sedangkan
kolom-kolom berikutnya menunjukkan χ 2 tergantung dari tingkat
keberartian yang dipakai dan luas daerah yang digunakan.

158
159
CARA MEMBACA DAFTAR H
1) Untuk mencari nilai χ 2 dengan p = 0,99 dan dk = 19, maka di
bawah kolom dk cari bilangan 19 kemudian telusuri ke kanan

sampai bertemu dengan bilangan yang terdapat pada kolom χ 20,99 .


2
Bilangan yang dicari ialah 36,2. Artinya nilai χ 0,99 (19) = 36,2.

2) Kurva di sebelah ini untuk


dk = 15

a) Jika luas daerah yang diarsir di sebelah kiri χ 2 = 0,25 artinya p


= 0,25 maka nilai 0,25, untuk dk = 15 ialah 11,00
b) Jika luas daerah yang diarsir di sebelah kanan χ 2 = 0,025

artinya p = 1 - 0,025 = 0,975 maka nilai χ 20,975 untuk dk = 15


ialah 27,50
c) Jika jumlah luas yang diarsir 0,10 akan terjadi banyak hal.
Karena distribusi χ 2 tidak simetris, mungkin luas ujung kanan
0,02 dan luas ujung kiri = 0,08 atau mungkin juga 0,07 dan 0,03
dan seterusnya. Dalam hal demikian jika tidak dinyatakan apa-
apa, biasanya digunakan "fifty-fifty" yaitu luas daerah yang
kanan sama dengan luas daerah yang kiri.
Seandainya dk = 9 maka luas daerah ujung kiri 0,05 berarti p =
160
2
0,05 maka χ 0,05 (9) didapat 3,33. Sedangkan luas daerah ujung
2
kanannya 0,05 berarti p = 1 - 0,05 = 0,95 maka nilai χ 0,95 (9)
didapat 16,9.

B. DISTRIBUSI F
Fungsi density distribusi F mempunyai persamaan :
1
(γ −2)
2 1
F
f ( F )=K 1
γ F (γ 1+ γ2)

[ 1+ 1
γ1 ] 2

Distribusi ini ialah distribusi peubah acak kontinu F dengan


daerah (0, ∞ ) atau F > 0, K bilangan tetap yang nilainya tergantung
dari nilai 1 dan 2 yang dipakai sehingga luas daerah antara kurva
itu dan sumbu F sama dengan 1.
1 adalah dk untuk pembilang, sedangkan 2 merupakan dk
untuk penyebut. Grafiknya asimetris dengan skewness yang positif.

P = 1% atau 5%

Fp
Seperti halnya dengan distribusi-distribusi lainnya, untuk
distribusi F pun telah disiapkan daftar yang dapat digunakan untuk
perhitungan-perhitungan.
Berbeda dengan daftar yang sudah dibicarakan, khusus
161
mengenai daftar distribusi F ini (daftar I) dalam beberapa buku
statistika diperuntukkan hanya untuk tingkat keberartian (level of
significant atau los) yaitu p = 0,01 dan p = 0,05 saja.
Bentuk daftar I

Kalau Anda perhatikan setiap pasangan dk yang digunakan


tersedia dua bilangan yang dapat Anda pilih. Bilangan yang letaknya
di atas dan yang di bawah.
Bilangan yang di atas menunjukkan nilai F untuk luas daerah
dari nilai F ke kanan sebesar 0,05. Dalam hal ini p = 0,05.
Bilangan yang di bawahnya menunjukkan nilai F untuk luas
daerah dari nilai F ke kanan sebesar 0,0 1. Dalam hat ini p = 0,0 1.

Seperti halnya dengan distribusi yang lain, penggunaan p =


0,01 atau 0,05 tergantung pemilihan kita dalam soal yang akan
162
dipecahkan.
Contoh
Untuk pasangan dk 1 = 16 dan 2 = 9 ditulis dengan (1 , 2)
= (16,9) untuk p = 0,05 didapat nilai F = 2,98 (lihat: daftar I).
Biasanya ditulis:
F0,05(16,9) = 2,98
Grafiknya atau kurvanya

Jika kita gunakan p = 0,01 diperoleh nilai F0,01(16,9) = 4,92


Kurvanya :

Meskipun daftar I hanya untuk nilai-nilai F dengan nilai


kemungkinan 0,01 dan 0,05 saja, namun sebenarnya dapat juga
dihitung nilai-nilai F dengan nilai kemungkinan 0,99 atau 0,95.
Untuk ini digunakan hubungan:
1
F(1− p) ( γ 2 , y 2 )=
F p(γ 2
,γ 1)

Contoh
163
Nilai F0,05(12,20) didapat sama dengan 2,28.
Selanjutnya kita perlukan nilai F0,95(20,12) maka dapat digunakan
hubungan di atas.
1 1
F 0,95(20,12)= = =0,44
F p (γ , γ ) 2,28
2 1

Selanjutnya Anda kerjakan soal-soal latihan berikut!

LATIHAN

1) Untuk yang berdistribusi χ 2 dengan dk 17, carilah nilai χ 2


sehingga luas:
a) dari χ 2 ke kanan sama dengan 0,05
b) dari χ 2 ke kanan besamya 0,99
c) dari χ 2 ke kanan sama dengan 0,25
d) dari χ 2 ke kiri sama dengan 0,25
e) dari χ 2 ke kiri sama dengan 0,99 0
f) dari χ 2 ke kiri sama dengan 0,10

2) Carilah luas daerah dari χ 2 = 12,5 ke kiri jika dk = 10


3) Carilah luas daerah dari χ 2 = 18,1 ke kanan jika dk = 23
4) Dengan dk pembilang sama dengan 9 dan dk penyebut sama
dengan 20, carilah nilai F sehingga luas;
a) dari F ke kanan 0,01
b) dari F ke kanan 0,05
c) dari F ke kiri 0,99

164
Petunjuk Jawaban Latihan untuk no. 4
a) Dari F ke kanan 0,01
berarti p = 0,01

F0,0l(9,20) = 3,45. Demikian seterusnya cara menggunakan


tabelnya.
b) F0,05(9,20) = 2,40
c) Dari F0,99(9,20) ke kiri = F(i - 0,99)(9,20) = F0,0l(9,20) = 3,45

165
166
167
168
169
BAB IX
DISTRIBUSI SAMPLING

A. DISTRIBUSI NILAI RATA-RATA DAN DISTRIBUSI


PROPORSI

1. DISTRIBUSI NILAI RATA-RATA


Telah Anda ketahui jika dari suatu populasi yang berukuran
N dengan parameter nilai rata-rata μ dan simpangan baku , diambil

sampel acak yang berukuran n akan terdapat ( Nn ) banyak sampel


yang dapat disusun. Tiap-tiap sampel dapat dihitung pula nilai rata-
ratanya, sebutlah x́

Contoh
Andaikan populasi kits berukuran 4 dengan anggota: 40, 45,
47 dan 50. Jika dihitung nilai rata-rata populasi 45,5, dan simpangan
baku populasinya .4,20.

170
Dari populasi itu diambil sampel yang berukuran n = 2.

Maka akan dapat disusun sebanyak ( 42) = 6 buah sampel dengan


perincian sebagai berikut:

Sampel Nilai rata-rata


Sampel
ke: tiap sampel x́ i❑
1 (40,45) 42,5
2 (40,47) 43,5
3 (40,50) 45,0
4 (45,47) 46,0
5 (45;50) 47,5
6 (47,50) 48,5

Kalau Anda perhatikan daftar di atas, tiap sampel


mempunyai nilai rata-rata sehingga kita memperoleh distribusi nilai
rata-rata. Jika kita hitung nilai rata-rata dari distribusi nilai rata-rata
ini, sebutlah nilai rata-rata dari distribusi nilai rata-rata dengan µ X́
(baca: miu eks garis) maka diperoleh
273
μ X́ = =45,5 sedangkan simpangan bakunya sebutlah σ X́ (baca:
6
sigma eks garis) maka σ X́ dapat juga dihasilkan dengan rumus

σ N −n
σ X́ =

√ n N−1
4,20 4−2
σ X́ =
√2 √ 4−1
=2,42

Ternyata µ X́ = µ dan σ X́ ≠ σ . Untuk N yang cukup besar nilai σ X́

171
σ
hampir sama dengan nilai ; dan untuk n yang cukup besar
√n
n σ
dibandingkan dengan N asal saja kurang dari 5% maka σ x́ =
N √n
σ
dan dianggap σ x́ = . σ dinamakan kekeliruan baku dari nilai
√ n X́
rata-rata yang berfungsi untuk mengukur besarnya perbedaan nilai
rata-rata yang diharapkan dari sampel ke sampel.
Tentu saja kita mengharapkan σ X́ sekecil mungkin sebab jika

σ X́ kecil berarti antara sampel dengan sampel kadar kesamaannya


semakin tinggi sehingga kualitas sampelpun semakin tinggi pula.

2. DISTRIBUSI PROPORSI
Distribusi proporsi tidak jauh berbecla dengan distribusi nilai
rata-rata. Tetapi, dalam hal ini, data dinyatakan dalam bentuk
perbandingannya terhadap banyak anggota populasi atau sampel
yang digunakan. Misalnya dalam suatu populasi yang berukuran N
terdapat peristiwa atau kejadian A sebanyak P maka proporsi untuk

P
peristiwa A ialah π= .
N
Dari populasi yang berukuran N, diambil sampel acak yang
berukuran n, sebutlah banyak peristiwa A dalam sampel sebanyak x.

x
Pada sampel ini x terdapat statistik proporsi peristiwa A sebesar .
n
172
Seperti halnya pada distribusi nilai rata-rata, jika dari semua
sampel yang mungkin diambil dari populasi dihitung proporsi
peristiwa A akan terdapat sekumpulan nilai-nilai statistik proporsi.
Dari kumpulan nilai-nilai ini dapat dihitung nilai rata-ratanya,
sebutlah μ x/ n untuk nilai rata-rata itu, dan σ x /n untuk simpangan
bakunya.
Untuk n/N > 5%, artinya ukuran sampel n cukup besar
dibandingkan dengan ukuran populasi, maka dapat digunakan rumus:
μ x/ n=π

σ x /n = π (1−π ) N −n
√ n [
N −1 ]
Tetapi jika n/N < 5% artinya ukuran sampel n tidak cukup
besar dibandingkan dengan populasi, tetapi N sangat besar, maka
dapat digunakan rumus:
μ x/ n=π

σ x /n = π (1−π )
√ n
σ x /n disebut kekeliruan baku proporsi, dan rumus ini
digunakan untuk n  30.
Untuk perhitungan-perhitungan berikutnya, daftar distribusi
normal baku dapat digunakan. Untuk keperluan itu digunakan
transformasi sebagai berikut:

173
x
−π
n
z=
π (1−π )
√ n
Seperti halnya dengan distribusi nilai rata-rata, kita

x
mengharapkan bahwa perbedaan nilai antara sampel dengan
n
sampel dapat sekecil mungkin. Sebutlah nilai perbedaannya itu "d"
maka berlaku hubungan:

π (1−π )
σ x /n ≤d →
√ n
≤d

Jadi n (ukuran sampel) dapat ditentukan jika σ x /n ditentukan sama


dengan d. Semakin kecil nilai "d" semakin besar pula nilai n yang
diperlukan, dan berarti penelitian semakin baik.
Contoh
Ada petunjuk kuat bahwa 7% dari siswa tamatan SMA di
suatu kota propinsi tertentu lulus sebagai hasil PMDK. Sebuah
sampel acak yang berukuran 150 siswa diteliti.
a) Tentukan nilai kemungkinan bahwa dari 150 orang siswa itu
paling sedikit 15 orang termasuk lulus melalui PMDK.
b) Berapa ukuran sampel paling sedikit yang harus diambil agar
persentase siswa yang lulus melalui PMDK antara sampel yang
satu dengan sampel yang lainnya berbeda tidak lebih dari 3%?
Jawab:
Proporsi populasi =  = 0,07 maka 1 -  = 1 - 0,07 = 0,93
174
a) n = 150
x = 15, maka x/n = 0,1
0,07 x 0,93
σ x /n=
√ 150
=0,02

0,1−0,07
z≥ =1,5
0,02
Z1,5 = 0,4332
Jadi nilai kemungkinan untuk paling sedikit 15 orang siswa yang
lulus melalui PMDK dari 150 orang mempunyai. nilai kemungkinan
0,5 - 0,4332 0,0668 = 0,067.

π (1−π ) 0,07 x 0,93


b)
√ n
≤d
√ n
≤ 0,03

0,07 x 0,93 ≤ 0,0009 n


0,07 x 0,93
n≥
0,0009
 72,33
Maka n paling sedikit harus 73 agar selisih simpangan baku
antarsampel tidak lebih dari 3%.

175
B. DISTRIBUSI SIMPANGAN BAKU DAN DISTRIBUSI
SELISIH / JUMLAH NILAI RATA-RATA

1. DISTRIBUSI SIMPANGAN BAKU


Dari populasi yang berukuran N disusun sampel acak yang

berukuran n. Maka banyak sampel yang dapat disusun ada ( Nn ) . Dari


kumpulan sampel-sampel ini dapat dihitung nilai rata-rata dari
simpangan baku tiap sampel, sebutlah µs begitu pula simpangan baku
dari simpangan baku tiap-tiap sampel, sebutlah dengan s. Untuk n
cukup besar, dan N yang sangat besar, maka distribusi s mendekati

σ
distribusi normal dengan : σ s=
√ 2n

s−σ
Dengan transformasi yang digunakan : z= terdapat distribusi
σs
dari z yang merupakan distribusi normal baku.
Contoh
Simpangan baku suatu populasi 1,8. Dari populasi itu diambil sampel
acak yang berukuran 300. Tentukan nilai kemungkinan sampel
tersebut mempunyai simpangan baku lebih dari 2,0.
Jawab :

176
1,8
n = 300 dan  = 1,8. Maka s = 2,0 dan σ s= =0,07
√ 600
2,0−1,8
z= =2,86
0,07
Z2,86 = 0,4979. Untuk z  2,86 , luas daerah yang dicari adalah 0, 5 -
0,4979 = 0,0021 atau sama dengan 0,21 % artinya hanya mempunyai
nilai kemungkinan sebesar 0,21% saja untuk simpangan baku yang
lebih besar dari 2,0 jika menggunakan sampel yang berukuran 300.

2. SELISIH/JUMLAH NILAI RATA-RATA


Dua buah populasi masing-masing berukuran N, dan N2
dengan nilai rata-rata berturut-turut µ1 dan µ2 dan simpangan baku
berturut-turut 1, dan 2.
Dari masing-masing populasi itu diambil sampel acak
berturut-turut berukuran n1 dan n2.
Untuk membedakan peubah antara populasi 1 dan populasi
2, sebutlah x untuk populasi 1 dan y untuk populasi 2. Dengan
demikian kita akan mempunyai peubah yang merupakan nilai rata-
rata dari setiap sampel untuk masing-masing populasi yaitu:
x́ 1 , x́ 2 , x́ 3 ,… x́ k dan ý 1 , ý 2 , ý 3 , … , ý k
k merupakan banyak sampel dari populasi 1 dan dari populasi 2.
Sekarang dapat disusun selisih rata-rata sampel antara kumpulan ke 1
dengan kumpulan ke 2 yang dalam bentuk umum dinyatakan sebagai
( x́ i , ý i), i = 1, 2, 3, ... k.
Kumpulan selisih rata-rata itu akan membentuk distribusi
177
selisih rata-rata. Dari kumpulan ini kita dapat menghitung nilai rata-
ratanya ( μ x́− ý) dan nilai simpangan bakunya (σ x́− ý )
Untuk masing-masing ukuran sampel yang cukup besar, dan
kedua sampel diambil secara acak dan tidak saling mempengaruhi
(independent) satu sama lain, dan ukuran populasi sangat besar,
maka berlaku hubungan:
μ x́− ý =μ1−μ2

σ 21 σ 22

σ x́− ý = +
n 1 n2
Dan juga berlaku : μ x́− ý =μ2−μ1

σ 22 σ 21

σ ý−x́ = +
n 2 n1
Ternyata σ x́− ý =σ ý−x́ . Ukuran σ ý−x́ ini disebut kekeliruan baku.

3. SELISIH RATA-RATA
Untuk ukuran sampel yang cukup besar, maka distribusi
selisih rata-rata ( x́− ý ) akan mendekati distribusi normal sehingga
dapat ditransformasikan menjadi distribusi normal baku melalui
transformasi:
( x́− ý )−( μ1−μ2 )
z=
σ x́− ý
Analog dengan selisih rata-rata, jumlah rata-rata rumusnya menjadi:
μ x́− ý =μ1−μ2

178
σ 21 σ 22

Ditransformasikan

σ x́− ý = +
n 1 n2
menjadi distribusi normal baku melalui
transformasi:
( x́− ý )−( μ1−μ2 )
z=
σ x́+ ý
Contoh:
Rata-rata berat badan seorang atlet pria 55 kg dengan
simpangan baku 3 kg sedangkan untuk atlet wanita rata-rata berat
badannya 47,5 kg dengan simpangan baku 2,5 kg. Dari kedua
kelompok atlet itu diambil sampel secara bebas dan acak untuk
kelompok pria 150 orang, dan untuk kelompok wanita 125 orang.
Berapa nilai kemungkinan rata-rata berat badan atlet jika rata-rata
berat badan atlet pria paling sedikit 8 kg lebih berat dari rata-rata
berat badan atlet wanita?
Jawab:
Jika x́ dan ý berturut-turut menyatakan rata-rata berat
sampel atlet pria dan wanita maka x́− ý  8. Sedangkan µ1 = µx =
55 dan µ2 = µy = 47,5, 1 = x = 3 dan 2 = y = 2,5; n1 = 150 dan n2
= 125.

32 2,5 2
σ x́+ ´y =
√ +
150 125
=0,33

( x́− ý )−( μ1−μ2 )


z=
σ x́+ ý

179
8−7,5
z= =1,52 sehingga z ≥1,52
0,33

sedangkan z1,52= 0,4357


Luas daerah = 0,5 - 0,4357 = 0,0643 atau 6,43%. Maka nilai
kemungkinan yang diminta adalah 0,0643 atau 6,43%.

C. DISTRIBUSI SELISIH PROPORSI DAN DISTRIBUSI


SAMPLING LAINNYA

1. DISTRIBUSI SELISIH PROPORSI


Kejadian A terdapat pada dua buah populasi dengan proporsi
1, untuk populasi 1 dan 2 untuk populasi 2. Dari masing-masing
populasi tersebut diambil sebuah sampel acak secara bebas yang
tidak saling mempengaruhi
dengan ukuran n1 dari populasi ke 1 dan n2 dari populasi ke 2.
Sebutlah banyak kejadian A yang terdapat dalam sampel ke-1 adalah
xi dan banyak kejadian A yang terdapat dalam sampel ke 2 adalah y i.

XI
Dengan demikian dalam sampel ke 1 terdapat proporsi dan
N1
dalam sampel ke 2 terdapat n,
yI
proporsi dengan i = 1, 2, 3,...k.
n1
Secara skematis dapat dijelaskan sebagai berikut:

180
Kejadian A pada Kejadian A pada
populasi ke 1 dengan populasi ke 2 dengan
proporsi 1 proporsi 2

Sampel dengan Sampel dengan


ukuran n1 ukuran n2

Banyak sampel yang


Banyak sampel yang
mungkin disusun
mungkin disusun
N2!
N1! k=
k= n2 ! ( N 2−n2 ) !
n1 ! ( N 1 −n1 ) !

x1 x 2 x 3 xk y1 y2 y3 ym
; ; ;… ; ; ;…
n1 n1 n 1 n1 n2 2 n2 n2
Disusun
x1 y1 x2 y2 x3 y3
( −
n1 n2 )(
; −
n1 n2
; −
n1 n2 )( )
; … kumpulan ini mempunyai

distribusi yang nilai rata-ratanya disebut nilai rata-rata selisih


proporsi (µsp).
Ternyata untuk ini berlaku hubungan:
µsp = 1 - 2

181
π 1 (1−π 1 ) π 2 (1−π 2 )
σ sp =
√ n1
+
n2
jika N1 dan N2 sangat besar.

Untuk n1 dan n2 cukup besar maka distribusi selisih proporsi


(sp) mendekati distribusi normal. Agar menjadi distribusi normal
baku, diperlukan transformasi:
xi yi

z=
[− −(π 1−π 2 )
n1 n2 ]
σ sp
Contoh
Ada petunjuk bahwa proporsi sejenis ikan air tawar dari
danau tertentu yang mengandung kadar Hg adalah 70% yang dapat
membahayakan manusia yang memakannya. Dua buah sampel untuk
penelitian diambil secara acak dan tidak saling bergantungan
masing-masing terdiri dari 200 dan 250 ekor.
Beberapa nilai kemungkinan akan terdapat perbedaan
persentase tidak lebih dari 5% yang mengandung kadar Hg.
Jawab:
Dua buah sampel diambil dari sebuah populasi. Dalam hal
ini kita anggap seolah-olah sampel tersebut diambil dari dua populasi
yang sama sehingga 1 = 2 = 0,7.
Jika x menunjukkan banyak ikan yang mengandung Hg dari
sampel ke I dan y banyak ikan yang mengandung Hg dari sampel ke
2 maka yang akan dicari nilai kemungkinan

182
( 200x − 250y ) ≤5 % atau( 250y − 200x ) ≤ 5 % atau dapat digabungkan
menjadi:

−5 %< ( 200x − 250y )<5 %


0,7 x 0,3 0,7 x 0,3
μsp =
√ 200
+
250
= 0,04

Nilai-nilai z yang diperlukan:


−0,05−0
z 1= =−1,25
0,04

0,05−0
z 2= =1,25
0,04
Luas daerahnya = 2 x z1,25
2 x 0,3944 – 0,7888 atau
78,88%

2. DISTRIBUSI SAMPLING LAINNYA


Andaikan kita mempunyai populasi yang berdistribusi
normal atau yang mendekati normal dengan nilai rata-rata µ dan
simpangan baku . Dari populasi tersebut diambil sampel acak yang
berukuran n, diperoleh nilai rata-ratanya x́ dan simpangan bakunya s,
maka berlaku hubungan:
x́−μ
t=
s/√n

183
yang ternyata berdistribusi t dengan dk = n - 1
Contoh
Nilai rata-rata tinggi mahasiswa 165 cm. dari populasi itu
diambil sampel yang berukuran 30 orang, dan diperoleh simpangan
baku sampel 6,71. Berapa nilai kemungkinan bahwa rata-rata sampel
> 162,5 cm.
Jawab:
Dalam hal ini simpangan baku populasi (σ ) tidak diketahui. Yang
diketahui μ = 165; x́ > 162,5; s = 6,71 dan n = 30.

162,5−165
t> =−2,04
671/ √ 30

t < 2,04 untuk dk = 30 - 1 = 29, luas daerahnya, 0,975, maka luas


daerah yang letaknya di sebelah kanan dari 2,04 sama dengan 1 -
0,975 = 0,025. Karena yang diminta yang lebih besar dari 162,5
maka luas daerahnya ialah daerah yang terletak di sebelah kanan dari
-2,04 atau luas daerah untuk t > -2,04 yaitu 1 - 0,025 = 0,975 atau
97,5%.
Selain distribusi t dapat juga digunakan distribusi χ 2 jika yang
diketahui ukuran sampel (n), simpangan baku sampel (s) dan
184
simpangan baku populasi (σ ) dengan menggunakan rumus:

2 (n−1) s 2
χ= dengan dk = n – 1
σ2
Atau jika diketahui data dari sampel (x i) dan simpangan baku maka
digunakan rumus :

2 ∑ ( x i− x́)2
X =
σx
Contoh
Suatu sampel dengan data kuantitatif 25, 26, 26, 27, 29, 31,
35, 35 berasal dari populasi yang berdistribusi normal dengan nilai
simpangan baku 4,55. Berapa persenkah sampel sebesar 8 yang nilai
rata-ratanya lebih besar dari nilai rata-rata yang diperoleh dari hasil
perhitungan sampel tersebut?

Jawab:
 = 4,55 dari hasil perhitungan sampel diperoleh x́ = 29,25 dan s =
4,03.
2
2 (n−1) s2 ∑ (x i− x́ ) adalah 5,49.
χ yang dihitung dengan 2
atau
σ σ2
Dalam daftar χ 2 tidak ada nilai χ 2 = 5,49 untuk dk = 7. Oleh
karena itu kita gunakan interpolasi untuk dk = 7.
Ternyata nilai 5,49 terletak antara nilai χ 2❑ 2❑
0,25 dan χ 0,50 .

Nilai χ 2❑ 2❑
0,25 = 4,25 dan χ 0,50 = 6,35

Selisih 6,35 – 4,25 = 2,10 sebanding dengan selisih luas dari


185
0,50 – 0,25. Dengan kata lain kenaikan luas 0,25 sebanding dengan
kenaikan nilai khi kuadrat sebesar 2,10. Sedangkan yang dicari nilai
khi kuadrat 5,49 ini berarti kenaikan nilai dari 4,25 menjadi 5,49
sebesar (5,49 – 4,25) = 1,24.
Nilai ini sebanding dengan kenaikan luasnya sebesar

1.24
x 0,25=0,15.
2,10
Jadi untuk X 2p =5 ; 49 p = 0,25 + 0,15 = 0,40

Sedangkan yang diminta yang lebih besar, maka luas daerahnya yang
berlaku ialah daerah yang terletak di sebelah kanan dari nilai χ 2 =
5,49 yaitu 1 - 0,40 = 0,60. Artinya terdapat 60% sampel berukuran 8
yang nilai rataratanya melebihi nilai rata-rata yang diperoleh dari
hasil perhitungan sampel tad i.

LATIHAN
1) Nilai rata-rata berat badan seekor ayam ras yang berusia 1 bulan
1.650 gram, simpangan baku 90 gram. Diambil sebuah sampel
yang berukuran 50. Tentukan berapa nilai kemungkinan dari 50
ekor ayam tersebut yang beratnya antara:
a) 1.500 gram dan 1.650 gram.
186
a) paling sedikit 950 gram.
b) paling berat 1.700 gram.

2) 5% dari tanaman cengkeh terkena penyakit jamur. Sebuah


sampel acak yang berukuran 200 diteliti.
a) Tentukan nilai kemungkinan bahwa dari 200 pohon
cengkeh akan terdapat paling sedikit 20 batang pohon yang
terserang penyakit jamur.
b) Berapa batang pohon cengkeh harus diteliti agar persentase
yang terserang penyakit jamur dari sampel yang satu ke
sampel yang lainnya diharapkan mempunyai perbedaan
selisih simpangan baku tidak lebih dari 2%.

3) Simpangan baku sebuah populasi yang berdistribusi normal


sama dengan 0,18. Dari populasi itu diambil suatu sampel secara
acak dengan nilai simpangan baku dari simpangan pada tiap-tiap
sampel (s)=3,20.
Diketahui bahwa distribusi simpangan baku mendekati distribusi
normal. Berapa nilai kemungkinan sampel itu mempunyai
simpangan baku paling kecil 3,22?
4) Dalam cabang atletik loncat tinggi, rata-rata atlet pria mencapai
loncatan setinggi 173 cm dengan simpangan baku 6,5 cm
sedangkan atlet wanita mencapai loncatan rata-rata setinggi 162
cm dengan simpangan baku 6,1 cm. Kedua kelompok atlet fni
berturut-turut terdiri dari 30 pria dan 25 wanita.
Berapa nilai kemungkinannya bahwa rata-rata prestasi atlet
wanita lebih rendah dan dengan perbedaan kurang dari 8.
5) Dari sebuah populasi yang berisikan 30% kategori A akan
diambil dua buah sampel yang berukuran sama besar.
187
Dikehendaki bahwa kekeliruan baku dari selisih proporsi kedua
sampel tidak lebih dari 0,04. Tentukan ukuran sampel terkecil
yang harus diambil.
6) Pengalaman menunjukkan bahwa 65% dari penduduk ternyata
menyenangi pemimpin A.
Dua sampel acak telah diambil dari populasi tersebut masing-
masing berukuran 250. Tentukan bagaimana peluangnya bahwa
kedua sampel itu akan memperlihatkan perbedaan persentase
lebih dari 12% yang menyenangi pemimpin A.

188
189
DAFTAR PUSTAKA

Henry E. Garrett, 1960. Statistics, in Psychology and Education,


New York: Longmans, Green and Co.

Murray R. Spegel, 1972. Statistics, New York; Mc Graw-Hill Book


Co.

Sudjana, 1982. Metode Statistika, Bandung: Tarsito.

P.A. Suryadi, 1980. Pendahuluan Teori Kemungkinan dan Statistika,


Bandung.

188

Anda mungkin juga menyukai