Anda di halaman 1dari 17

Available online at https://journal.uny.ac.id/index.

php/jpji
Jurnal Pendidikan Jasmani Indonesia, Vol 16 (2), 2020, 115-131

Pendidikan jasmani, olahraga, dan kesehatan di sekolah dasar:


deskripsi permasalahan, urgensi, dan pemahaman dari perspektif
guru
Johan Irmansyah1*, Nune Wire Panji Sakti1, Elya Wibawa Syarifoeddin1, Muhammad
Ridwan Lubis1, Mujriah1
1
Program Studi Pendidikan Olahraga, Universitas Pendidikan Mandalika, Jalan Pemuda No.
59A Mataram, Nusa Tenggara Barat, Indonesia.
*Corresponding Author. Email: *johanirmansyah@ikipmataram.ac.id,
nunewire90@gmail.com, elyawibawa32123@yahoo.com, mridwanlubis@ikipmataram.ac.id,
mujriah.2017@student.uny.ac.id

Abstrak
Sejarah yang begitu panjang dalam mempertahankan eksistensi pendidikan jasmani dan
olahraga di Indonesia, masih belum bisa memberikan sebuah ‘oase’ atau pengalaman yang
menyenangkan di tengah permasalahan-permasalahan yang semakin menjustifikasi
ketidakbermanfaatan pendidikan jasmani di sekolah maupun masyarakat. Tujuan penelitian
ini berusaha untuk mengungkap gambaran tentang permasalahan, urgensi, dan pemahaman
dalam pembelajaran pendidikan jasmani di sekolah dasar dari perspektif guru. Metode
penelitian menggunakan desain deskriptif kualitatif dengan penekanan pada pengetahuan dan
pengalaman subjek pada situasi dan permasalahan tertentu. Pengumpulan data dilakukan
selama dua bulan melalui observasi dan wawancara semi-terstruktur terhadap tiga belas guru
pendidikan jasmani (n=13), di lima sekolah dasar di Pulau Lombok, NTB. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa; Pertama, permasalahan dalam pembelajaran pendidikan jasmani dapat
dirumuskan bahwa masih kurang atau tidak memadainya prasarana dan sarana, materi
pembelajaran tidak sesuai dengan RPP, kurangnya pemahaman tentang konsep
pembelajaran pendidikan jasmani baik dari pengawas maupun guru, dan masih terdapat
kekeliruan dan ketidaksesuaian konsep dengan praktik pembelajaran pendidikan jasmani.
Kedua, keadaan yang sangat mendesak (urgensi) dalam pendidikan jasmani adalah tentang
kerentanan hilangnya eksistensi pendidikan jasmani di sekolah dasar, dan semakin
melemahnya esensi pendidikan jasmani sebagai tempat memberikan pengalaman gerak dan
olahraga yang menyenangkan kepada semua peserta didik tanpa adanya diskriminasi,
polarisasi, dan tendensi bias gender. Ketiga, guru pendidikan jasmani memiliki kekurangan
pengetahuan dan pemahaman tentang model pembelajaran dan model penilaian yang sesuai
dengan kurikulum.
Kata Kunci: Pendidikan Jasmani, Permasalahan, Urgensi, Pemahaman Konten, Sekolah
Dasar.

Physical education, sports, and health in elementary schools:


description of problems, urgency, and understanding of teacher
perspectives
Abstract
The long history in maintaining the existence of physical education and sports in Indonesia, is
still not able to provide an 'oasis' or a pleasant experience in the midst of problems that
increasingly justify the uselessness of physical education in schools and the community. The
objective of this research is to reveal an idea of the problems, urgency, and understanding of
the physical education learning in elementary school from a teacher's perspective. The
research method uses a descriptive qualitative design with an emphasizes the subject's
knowledge and experience in certain situations and problems. Data collection was conducted

Copyright © 2020, Jurnal Pendidikan Jasmani Indonesia


ISSN 0216-1699 (print), ISSN 2581-2300 (online)
Jurnal Pendidikan Jasmani Indonesia, Vol 16 (2), 2020 - 116
Johan Irmansyah, Nune Wire Panji Sakti, Elya Wibawa Syarifoeddin,
Muhammad Ridwan Lubis, Mujriah

for two months through observations and semi-structured interviews towards thirteen physical
education teachers (n = 13), in five elementary schools in Lombok Island, NTB. The results
shows that; First, the problem in the learning of physical education can be formulated that it is
still lacking or inadequate infrastructure and facilities, learning materials are not in accordance
with the RPP, lack of understanding about physical education concepts both the supervisor
and the teachers, and there are still errors and discrepancies concept with physical education
learning practices. Second, the urgency in physical education is about the vulnerability of the
loss existence of physical education in elementary schools, and the weakening of the essence
of physical education as a place to provide a pleasant experience of movement and sports to
all students without discrimination, polarization, and gender bias tendencies. Third, physical
education teachers have a lack of knowledge and understanding of learning models and
assessment models that are in accordance with the curriculum.
Keywords: Physical Education, Problems, Urgency, Understanding of Content, Elementary
School.

PENDAHULUAN
Sebelum masuk ke substansi permasalahan, ada baiknya peneliti terlebih dahulu
menjelaskan istilah ‘Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan’ yang digunakan dalam
keseluruhan tulisan ini. Pengaturan kebijakan pendidikan jasmani, olahraga, dan kesehatan di
Indonesia, telah dijelaskan dalam Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 2005, tentang Sistem
Keolahragaan Nasional (Republik Indonesia, 2005) dan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun
2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional (Republik Indonesia, 2003), yang terintegrasi
dalam Kurikulum 2013. Dalam Undang-undang Sistem Keolahragaan Nasional, dijelaskan
bahwa ruang lingkup olahraga meliputi kegiatan: a) Olahraga Pendidikan, b) Olahraga
Rekreasi, dan c) Olahraga Prestasi. Sedangkan, Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional
dalam Kurikulum 2013 mengintegrasikan istilah Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan
Kesehatan. Meskipun istilah pendidikan jasmani, olahraga, dan kesehatan telah tercakup
dalam kebijakan pemerintah, akan tetapi, penggunaan istilah ini masih menjadi perdebatan
dan memerlukan klarifikasi dari para pakar/ahli yang bergulat dalam kajian pendidikan
jasmani, olahraga, kesehatan, dan rekreasi. Oleh karena itu, sepanjang tulisan ini, peneliti
akan menggunakan istilah ‘Pendidikan Jasmani’ yang merupakan bagian integral atau tidak
terpisahkan dan memiliki kesamaan makna dengan olahraga pendidikan, sesuai dengan
ketentuan dan peraturan perundang-undangan (Harsuki, 2013).
Pendidikan jasmani di Indonesia, telah menjadi kajian akademik sejak tahun 1941
dengan didirikannya Lembaga Akademi Pendidikan Djasmani (LAPD) di Surabaya (Maksum,
2013), dan telah mengalami beberapa kali perubahan nama seiring dengan dinamika sosio-
politik dan kebutuhan mendesak pada masa penjajahan. Selanjutnya, Mutohir (2013)
menambahkan bahwa pada tahun 1953 LAPD resmi berubah nama menjadi Akademi
Pendidikan Djasmani (APD), dan kemudian dikembangkan menjadi Fakultas Pendidikan
Djasmani (FPD), sampai dengan terbentuknya Sekolah Tinggi Olahraga (STO). Hal ini
dilakukan karena pada saat itu kebutuhan akan guru pendidikan jasmani sangat besar di
masyarakat. Seiring berjalannya waktu, STO diintegrasikan ke dalam Institut Keguruan dan
Ilmu Pendidikan (IKIP) yang mempersiapkan tenaga pendidikan dan keolahragaan melalui
Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan (FPOK). Hingga saat ini, perkembangan
jurusan atau prodi pendidikan jasmani pada universitas-universitas negeri maupun swasta,
telah menjangkau secara luas di setiap daerah di Indonesia.
Sejarah yang begitu panjang dalam mempertahankan eksistensi pendidikan jasmani dan
olahraga di Indonesia (Ma’mun, 2019), dan upaya pengembangan yang tidak mudah yang
dilakukan para ahli/pakar, praktisi, dan stakeholder yang bergumul dalam dunia pendidikan
jasmani, baik dari segi perumusan kebijakan, pendidikan, penelitian, dan pengabdian, masih
belum bisa memberikan sebuah ‘oase’ atau pengalaman yang menyenangkan di tengah
permasalahan-permasalahan yang semakin menjustifikasi ketidakbermanfaatan pendidikan
jasmani di sekolah maupun masyarakat (Irmansyah, Lumintuarso, Sugiyanto, & Sukoco,
2020). Ini juga dibuktikan dengan banyaknya penelitian dalam pendidikan jasmani yang

Copyright © 2020, Jurnal Pendidikan Jasmani Indonesia


ISSN 0216-1699 (print), ISSN 2581-2300 (online)
Jurnal Pendidikan Jasmani Indonesia, Vol 16 (2), 2020 - 117
Johan Irmansyah, Nune Wire Panji Sakti, Elya Wibawa Syarifoeddin,
Muhammad Ridwan Lubis, Mujriah

mengungkapkan permasalahan-permasalahan mendasar yang harus menjadi fokus para


pemangku kebijakan dan para ahli untuk memberikan solusi konstruktif dalam meningkatkan
kualitas guru pendidikan jasmani dan kualitas pembelajaran pendidikan jasmani (UNESCO,
2015).
Hasil penelitian yang terkait dengan kualitas guru pendidikan jasmani dan kualitas
pembelajaran pendidikan jasmani, menunjukkan bahwa pengetahuan dan keterampilan guru
pendidikan jasmani yang merupakan modal utama dalam menjalankan profesi guru masih jauh
dari apa yang diharapkan. Maksum (2009) menunjukkan bahwa sebagian besar guru
pendidikan jasmani masih kekurangan dalam bidang keilmuan, teaching skill, substansi dari
setiap cabang olahraga, kemampuan berpikir yang kurang tinggi, kurang adanya kreativitas
dalam mencari solusi, kurangnya motivasi dalam peningkatan kompetensi, dan kurangnya
kerjasama dan diskursus sebagai upaya pertukaran ide kritis dan pengalaman. Oleh karena
itu, diharapkan untuk menumbuhkan konsep diri yang positif, motivasi kerja, dan motivasi diri
untuk meningkatkan kreativitas dan kegiatan (Lutfiyanto, Hidayah, & Fakhruddin, 2019).
Permasalahan lain adalah kurangnya pemahaman guru secara komprehensif tentang
gagasan sekolah dan terbatasnya waktu dalam pembelajaran pendidikan jasmani (Sigid &
Setiawan, 2018), serta kuatnya kecenderungan orientasi guru dalam memberikan
pembelajaran olahraga dan permainan sehingga berpengaruh negatif terhadap efektivitas
belajar peserta didik (Adang Suherman, 2016). Selanjutnya Rachman, Yudanto, Sujarwo, &
Sudardiyono (2018) menambahkan bahwa sebagian besar peserta didik memiliki keterampilan
motorik kasar dan halus di bawah standar, perkembangan gerakan peserta didik yang tidak
sesuai dengan tahapan yang tepat, kurangnya pelatihan dan pengalaman guru tentang cara
mengajar atau mentransfer materi pengembangan gerakan peserta didik, keterbatasan
peralatan yang digunakan sebagai media pembelajaran, dan peserta didik merasa bosan
ketika diberikan kegiatan belajar di kelas. Terakhir, Ayi Suherman (2009) menekankan bahwa
permasalahan pendidikan jasmani juga disebabkan oleh faktor-faktor eksternal seperti
kurangnya infrastruktur di sekolah, keterbatasan waktu belajar yang bisa dimanfaatkan guru,
kurangnya sarana dan prasarana, dan rendahnya kepedulian pihak sekolah pada mata
pelajaran pendidikan jasmani menjadi penyebab kelemahan sistem pembelajaran pendidikan
jasmani di sekolah dasar. Hal ini juga memberikan dampak kepada peserta didik seperti,
kecenderungan peserta didik menjadi apatis, kurangnya motivasi belajar, mudah bosan, dan
kurang kreatif dan inovatif.
Permasalahan-permasalahan di atas menggambarkan bahwa pendidikan jasmani yang
dianggap sebagai sebuah struktur pengajaran dari, melalui, dan dalam jasmani (fisik) yang
diyakini mampu menumbuhkan potensi manusia secara keseluruhan, baik aspek kognitif,
afektif, psikomotorik, dan sosial (Carse, Jess, & Keay, 2018), telah terdegradasi dan semakin
terasingkirkan karena sistem yang dibangun belum mampu merubah paradigma guru untuk
meningkatkan kualitas diri dan kualitas pembelajarannya (Kyriakides, Tsangaridou,
Charalambous, & Kyriakides, 2018). Meskipun telah dijelaskan secara umum tentang
permasalahan-permasalahan dalam pendidikan jasmani, akan tetapi, peneliti tidak bisa
menggenaralisasi bahwa setiap daerah di Indonesia memiliki permasalahan yang sama. Ini
dikarenakan, Indonesia memiliki letak geografis yang begitu luas dengan populasi yang
beragam, baik dari suku, budaya, agama, adat istiadat, bahasa, dan kebijakan di setiap daerah
masing-masing (Jones, 2018). Oleh karena itu, fokus lokasi dalam penelitian ini adalah pada
guru-guru sekolah dasar (SD) di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat, Indonesia.
Penentuan lokasi ini, tidak hanya didasarkan karena kedekatan sosio-kultural peneliti
dengan Pulau Lombok, yang merupakan tempat lahir dan tempat terbentuknya konstruksi
pengetahuan dan pengalaman peneliti, melainkan, didasarkan atas kegelisahan peneliti
tentang praksis pengajaran pendidikan jasmani di Pulau Lombok. Dari hasil observasi peneliti
di lima sekolah dasar di Pulau Lombok, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran pendidikan
jasmani yang terkait dengan setting, proses, metode, model, materi, fasilitas, dan
evaluasi/penilaian dalam pembelajaran pendidikan jasmani masih cenderung pada
pengajaran keterampilan/teknik olahraga dan masih berorientasi pada pencapaian prestasi
olahraga. Hal ini tidak salah, jika tujuannya adalah untuk mengidentifikasi bakat dan
mempersiapkan regenerasi atlet. Akan tetapi, jika prestasi yang menjadi prioritas utama,

Copyright © 2020, Jurnal Pendidikan Jasmani Indonesia


ISSN 0216-1699 (print), ISSN 2581-2300 (online)
Jurnal Pendidikan Jasmani Indonesia, Vol 16 (2), 2020 - 118
Johan Irmansyah, Nune Wire Panji Sakti, Elya Wibawa Syarifoeddin,
Muhammad Ridwan Lubis, Mujriah

maka, tidak menutup kemungkinan bahwa dominasi pengajaran olahraga (Gerdin & Pringle,
2017), akan melemahkan konsep pendidikan jasmani di sekolah dasar yang menekankan
pada pengembangan potensi anak secara keseluruhan (Stolz, 2014), dan mengancam
kebebasan dan kemandirian anak dalam mengeksplorasi berbagai macam gerakan dalam
aktivitas fisik dan olahraga (Larsson & Nyberg, 2017), serta menghilangkan nilai kebahagiaan
dan kesenangan anak yang didapatkan dalam pembelajaran pendidikan jasmani (Kirk, 2013).
Selain hasil observasi yang dilakukan peneliti, fakta lainnya yang mendukung kurangnya
kualitas pembelajaran pendidikan jasmani di sekolah dasar di Pulau Lombok adalah masih
minimnya riset yang terkait dengan proses pembelajaran pendidikan jasmani di sekolah dasar,
sedangkan di Pulau Lombok sendiri terdapat 2 universitas besar yang memiliki Fakultas Ilmu
Keolahragaan dan Jurusan Pendidikan Jasmani, Kesehatan, dan Rekreasi. Dari hasil tinjauan
literatur yang dilakukan peneliti melalui akses digital (internet), baik melalui Google Scholar,
Tinjauan Website Jurnal, ProQuest, Libgen, DOAJ, Researchgate, Sciencedirect, dan lain
sebagainya, menunjukkan hasil bahwa masih sangat kurang penelitian yang terfokus dalam
melakukan eksplorasi dan elaborasi dalam peningkatan kualitas guru dan kualitas
pembelajaran pendidikan jasmani di sekolah dasar di Pulau Lombok. Kecenderungan
penelitian dari akademisi dan mahasiswa pendidikan jasmani dan olahraga di Pulau Lombok,
lebih menekankan kepada penerapan metode-metode latihan dalam olahraga atau mencari
hubungan antara metode-metode latihan.
Berdasarkan fakta-fakta yang telah dipaparkan di atas, maka peneliti berasumsi bahwa
sangat penting untuk melakukan kajian yang terfokus pada peningkatan kualitas guru dan
kualitas pembelajaran pendidikan jasmani di sekolah dasar. Akan tetapi, untuk mengetahui,
mengungkap, dan menganalis segala kebutuhan dalam pembelajaran pendidikan jasmani,
maka perlu adanya penelitian dasar yang dilakukan untuk menggambarkan dan memetakan
permasalahan-permasalahan dalam pembelajaran pendidikan jasmani, dan mengeksplorasi
pemahaman guru tentang pendidikan jasmani itu sendiri (Mihajlovic, 2019). Ini merupakan
sesuatu yang sangat penting karena dengan adanya hasil penelitian dasar ini, maka akan
memudahkan para peneliti selanjutnya untuk mencarikan solusi konstruktif melalui
kajian/penelitian ilmiah dalam pembelajaran pendidikan jasmani yang sesuai dengan fakta
empirik di lapangan. Oleh karena itu, tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk
mengungkap gambaran (deskripsi) secara menyeluruh tentang permasalahan, urgensi, dan
pemahaman dalam pembelajaran pendidikan jasmani di sekolah dasar ditinjau dari perspektif
guru. Selain itu, penelitian ini juga sebagai upaya dan langkah awal peneliti untuk ikut
berkontribusi dalam meningkatkan kualitas guru dan kualitas pembelajaran pendidikan
jasmani di sekolah dasar di Pulau Lombok.
METODE
Dalam penelitian ini, peneliti berada pada posisi paradigma konstruktivisme sosial (atau
dideskripsikan sebagai interpretivisme), yang menekankan pada eksplorasi pengetahuan dan
pengalaman subjek/partisipan pada situasi dan permasalahan tertentu (Lincoln, Lynham, &
Guba, 2011). Ini sesuai dengan tujuan penelitian yang berusaha untuk mengungkap gambaran
tentang permasalahan, urgensi, dan pemahaman dalam pembelajaran pendidikan jasmani di
sekolah dasar dari perspektif guru. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan desain
deskriptif kualitatif yang bertujuan untuk menggambarkan dan memahami suatu isu,
permasalahan, dan fenomena tertentu untuk mendapatkan gambaran dan pemahaman
tentang suatu permasalahan (Creswell & Poth, 2018).
Partisipan/subjek penelitian menggunakan tiga belas guru mata pelajaran pendidikan
jasmani (n=13) yang telah memenuhi persyaratan utama yaitu memiliki pengalaman mengajar
pendidikan jasmani di sekolah dasar yang berkisar antara 5 hingga lebih dari 20 tahun.
Pemilihan subjek penelitian menggunakan teknik concept sampling yang bertujuan untuk
mendapatkan keluasan informasi dari suatu kasus yang dapat menjelaskan cara
penggunaannya, dan makna konsep tertentu, atau menghasilkan gambaran (deskripsi) dari
suatu kasus (Onwuegbuzie & Collins, 2017). Subjek dipilih berdasarkan asumsi bahwa subjek
memiliki pengetahuan, pemahaman, dan pengalaman dengan fenomena yang menarik dalam
pembelajaran pendidikan jasmani di sekolah dasar. Pengumpulan data dilakukan di lima

Copyright © 2020, Jurnal Pendidikan Jasmani Indonesia


ISSN 0216-1699 (print), ISSN 2581-2300 (online)
Jurnal Pendidikan Jasmani Indonesia, Vol 16 (2), 2020 - 119
Johan Irmansyah, Nune Wire Panji Sakti, Elya Wibawa Syarifoeddin,
Muhammad Ridwan Lubis, Mujriah

sekolah dasar yang tersebar di Pulau Lombok, NTB, Indonesia, tempat di mana sebagian
subjek penelitian bekerja atau mengajar pendidikan jasmani. Nama samaran (inisial)
digunakan untuk melindungi privasi/identitas diri dari subjek penelitian.
Pengumpulan data dilakukan di setiap sekolah secara terpisah, mengikuti prosedur
pengumpulan data penelitian. Dalam mendapatkan kepercayaan temuan di lapangan,
keseluruhan materi dikumpulkan dan direduksi menjadi beberapa jenis materi yang
representatif dengan tema penelitian (Liu, 2016). Teknik pengumpulan data menggunakan
observasi di lapangan (sekolah) dan wawancara semi-terstruktur (Kallio, Pietilä, Johnson, &
Kangasniemi, 2016). Observasi dilakukan selama 2 bulan di lima sekolah dasar di Pulau
Lombok yang terfokus pada pengamatan yang terkait dengan setting, proses, metode, model,
materi, fasilitas, dan evaluasi/penilaian dalam pembelajaran pendidikan jasmani. Pengamatan
dilakukan ketika proses pembelajaran pendidikan jasmani berlangsung pada peserta didik
kelas tinggi (IV dan V) atau usia 8-12 tahun. Sedangkan, wawancara semi-terstruktur
dilakukan secara personal dengan guru pendidikan jasmani setelah proses pembelajaran
berlangsung atau sesuai dengan kesepakatan guru dan peneliti. Protokol observasi dan
wawancara sebelumnya telah dirumuskan oleh peneliti berdasarkan tujuan yang ingin dicapai,
dan direview oleh expert untuk mendapatkan protokol yang memiliki kemudahan dalam
penggunaan dan responsif terhadap tujuan penelitian. Selama proses observasi, peneliti
menulis catatan singkat sesuai dengan fakta empirik yang teramati di lapangan, dan
merekapitulasi catatan observasi maksimal 24 jam setelah proses observasi. Untuk
pertanyaan wawancara, mencakup lima kategori yang terkait dengan pembelajaran
pendidikan jasmani di sekolah dasar, yaitu; 1) permasalahan yang paling sering dihadapi dalam
pembelajaran pendidikan jasmani, 2) urgensi pembelajaran pendidikan jasmani, 3) pemahaman
konsep tentang pendidikan jasmani, 4) model pembelajaran pendidikan jasmani yang
diterapkan, dan 5) model penilaian yang digunakan untuk menilai hasil belajar peserta didik.
Wawancara berlangsung selama 30 sampai 60 menit dan direkam menggunakan tape
recorder, kemudian hasil rekaman ditranskrip untuk mendapatkan data yang relevan. Dalam
setiap tahap, setelah melakukan observasi dan wawancara, peneliti menulis catatan reflektif
di lapangan, yang mencakup opini, argumentasi, pengetahuan, dan pengalaman personal dari
peneliti. Catatan reflektif ini berfungsi dalam mengarahkan dan mengingatkan hasil
wawancara selama proses analisis, kategorisasi, dan interpretasi data (Thiel, John, & Frahsa,
2019).
Analisis data wawancara dilakukan secara kualitatif menggunakan metode analisis
konten induktif, yang ditentukan berdasarkan pertanyaan penelitian, untuk mengidentifikasi
aspek-aspek yang relevan dari transkrip hasil wawancara (Creswell & Poth, 2018). Analisis ini
digunakan untuk mendeskripsikan perspektif guru tentang segala fenomena yang terjadi
dalam pembelajaran pendidikan jasmani di sekolah dasar. Setelah semua data
dikelompokkan, kemudian peneliti menganalisis dengan melakukan pengkodean,
kategorisasi, dan memetakan tema-tema yang muncul dari transkrip hasil wawancara.
Selanjutnya, data observasi digunakan untuk melakukan klarifikasi pemahaman guru tentang
pembelajaran pendidikan jasmani sesuai dengan fakta di lapangan. Kredibilitas data penelitian
didapatkan dengan melakukan triangulasi sumber-sumber data antara teknik-teknik
pengumpulan data (observasi dan wawancara semi-terstruktur) (Fusch, Fusch, & Ness, 2018).
Wawancara dilakukan secara berulang atau sebanyak 2-3 kali kepada guru sampai kejenuhan
data bisa tercapai. Observasi proses pembelajaran guru di lingkungan sekolah, berkontribusi
pada keakuratan informasi yang didapatkan melalui wawancara.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Sejalan dengan tujuan penelitian, yang menekankan untuk mengungkap gambaran
tentang permasalahan, urgensi, dan pemahaman dalam pembelajaran pendidikan jasmani di
sekolah dasar dari perspektif guru di Pulau Lombok. Maka, hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa terdapat beberapa persamaan dan perbedaan yang diungkapkan guru dalam
memberikan pandangan tentang praktik pembelajaran pendidikan jasmani di sekolah dasar.
Persamaan tersebut menjelaskan tentang permasalahan yang paling sering muncul dalam

Copyright © 2020, Jurnal Pendidikan Jasmani Indonesia


ISSN 0216-1699 (print), ISSN 2581-2300 (online)
Jurnal Pendidikan Jasmani Indonesia, Vol 16 (2), 2020 - 120
Johan Irmansyah, Nune Wire Panji Sakti, Elya Wibawa Syarifoeddin,
Muhammad Ridwan Lubis, Mujriah

praktik pembelajaran pendidikan jasmani, dan perbedaannya terkait dengan pemahaman guru
tentang konsep dan substansi dalam mengajarkan pendidikan jasmani kepada peserta didik.
Temuan ini merupakan sesuatu yang sangat penting untuk memetakan setiap
kebutuhan guru dalam pembelajaran pendidikan jasmani di sekolah dasar, yang berdampak
pada munculnya kajian-kajian selanjutnya dari akademisi/ahli dalam mencarikan solusi
konstruktif untuk meningkatkan kualitas guru dan kualitas pembelajaran pendidikan jasmani.
Sesuai dengan pertanyaan penelitian dan hasil analisis data secara kualitatif, maka dapat
dirumuskan tiga tema utama yang dihasilkan dalam penelitian ini, yaitu; 1) Permasalahan-
permasalahan fundamental dalam pembelajaran pendidikan jasmani, 2) Urgensi pendidikan
jasmani, dan 3) Pemahaman tentang Kompetensi Pedagogis dalam Pendidikan Jasmani.
Fakta yang diungkapkan dari hasil penelitian ini, semakin menegaskan bahwa pendidikan
jasmani sedang tidak dalam keadaan baik, dibutuhkan sebuah upaya perubahan dari semua
pihak baik dari pemangku kebijakan, lembaga penjaminan mutu pendidikan, kepala sekolah,
guru, dan ahli/akademisi untuk meningkatkan kualitas guru dan kualitas pembelajaran
pendidikan jasmani.
Berdasarkan tiga tema di atas, maka hasil penelitian dapat dideskripsikan sebagai
berikut: Pertama, permasalahan-permasalahan fundamental dalam pembelajaran pendidikan
jasmani dapat dirumuskan bahwa masih kurang atau tidak memadainya prasarana dan sarana
dalam melaksanakan pembelajaran pendidikan jasmani di sekolah dasar, materi pembelajaran
tidak sesuai dengan RPP yang dirumuskan, kurangnya pengawasan dari Dinas terkait yang
memahami substansi dari pembelajaran pendidikan jasmani, lemahnya pemahaman konsep
tentang pembelajaran pendidikan jasmani, baik dari pengawas maupun guru itu sendiri, dan
masih terdapat kekeliruan dan ketidaksesuaian konsep dengan praktik pembelajaran
pendidikan jasmani. Guru pendidikan jasmani sendiri yang seharusnya memiliki kompetensi
dalam pengajaran pendidikan jasmani, baik secara teoritis maupun praktis, masih belum
menunjukkan koherensi antara konsep yang dipahami dengan penerapan di lapangan. Kedua,
jika dilihat dari banyaknya permasalahan yang muncul dalam praksis pembelajaran pendidikan
jasmani, maka secara tidak langsung akan semakin menguatkan tentang kerentanan
hilangnya eksistensi pendidikan jasmani di sekolah dasar, serta melemahkan esensi
pendidikan jasmani sebagai tempat memberikan pengalaman gerak dan olahraga yang
menyenangkan kepada semua peserta didik tanpa adanya diskriminasi, polarisasi, dan
tendensi bias gender. Ini menjadi keadaan yang sangat mendesak (urgensi) dalam pendidikan
jasmani yang harus dipertimbangkan oleh para pemangku kebijakan, ahli/akademisi, dan guru
untuk merumuskan kembali program atau pengaturan dalam pembelajaran pendidikan
jasmani, memberikan solusi konstruktif dan aplikatif, serta lebih memfokuskan pada
kebutuhan-kebutuhan mendesak di lapangan. Ketiga, pembahasan tentang pemahaman guru
terkait kompetensi pedagogis mencakup dua sub-tema, yaitu model pembelajaran dan model
penilaian dalam pendidikan jasmani. Terkait model pembelajaran, sebagian besar guru masih
mempraktikkan model pembelajaran dengan pendekatan teaching-center atau guru sebagai
pusat pengetahuan, dan guru masih mendominasi semua aktivitas yang akan dilakukan
peserta didik, yang tanpa disadari bisa menghalangi perkembangan potensi peserta didik
secara keseluruhan. Guru pendidikan jasmani di sekolah dasar memiliki kekurangan
pemahaman dan keterbatasan pengetahuan, sehingga banyak yang tidak merumuskan
terlebih dulu model pembelajarannya, dan masih menggunakan metode lama, seperti; absen,
metode ceramah, metode instruksi, dan lain sebagainya. Sedangkan, terkait model penilaian,
guru pendidikan jasmani masih belum memahami dan melaksanakan dengan baik model
penilaian pembelajaran pendidikan jasmani sesuai dengan pedoman dalam kurikulum 2013,
guru masih susah melakukan penilaian dalam pembelajaran pendidikan jasmani dan tidak
ingin disibukkan dengan permasalahan administratif, serta dalam membuat deskripsi
penilaian, guru juga masih belum bisa atau masih kurang dalam melakukannya.
Pembahasan
Permasalahan Fundamental Pendidikan Jasmani
Pendidikan jasmani yang dijelaskan sebagai sebuah proses pembelajaran melalui
gerakan, aktivitas fisik, dan olahraga yang dirancang untuk meningkatkan kompetensi fisik,

Copyright © 2020, Jurnal Pendidikan Jasmani Indonesia


ISSN 0216-1699 (print), ISSN 2581-2300 (online)
Jurnal Pendidikan Jasmani Indonesia, Vol 16 (2), 2020 - 121
Johan Irmansyah, Nune Wire Panji Sakti, Elya Wibawa Syarifoeddin,
Muhammad Ridwan Lubis, Mujriah

kognitif, sosial, dan spiritual (Kemendikbud Republik Indonesia, 2017a), tidak bisa terlepas
dari beragam permasalahan-permasalahan fundamental dalam praksis pembelajarannya.
Permasalahan yang paling sering didengar adalah tentang kurangnya prasarana dan
sarana/fasilitas pembelajaran di sekolah (Sanni, Ede, & Fashina, 2018). Hasil wawancara
dengan guru-guru pendidikan jasmani, secara umum, dapat disimpulkan bahwa permasalahan
yang dialami adalah terkait dengan masih kurangnya atau tidak memadainya prasarana dan
sarana dalam melaksanakan pembelajaran pendidikan jasmani di sekolah dasar. Sebagai
contoh, penyataan dari guru WLA dan MA mengungkapkan bahwa kebanyakan guru
pendidikan jasmani di sekolah dasar kesulitan dalam memberikan materi dikarenakan sarana
dan prasarana kurang memadai atau masih minim, dan masih kurangnya dukungan dari pihak
sekolah dalam pembelajaran pendidikan jasmani. Pernyataan ini sesuai dengan hasil
observasi peneliti di lapangan, yang menunjukkan bahwa masih banyak terdapat kekurangan
dalam fasilitas pembelajaran pendidikan jasmani, seperti; sempitnya lahan sekolah, kurangnya
peralatan olahraga (baik peralatan atletik, permainan bola besar dan kecil), dan belum
terdapat penerapan materi yang berfokus pada pengukuran tingkat kebugaran jasmani (Gu,
Chang, & Solmon, 2016), serta pengajaran yang terfokus pada peningkatan keterampilan
gerak dasar peserta didik (Goodway, Famelia, & Bakhtiar, 2014).
Akan tetapi, terdapat salah satu pernyataan menarik dari guru SS yang memberikan
pandangan terkait permasalahan dalam pembelajaran pendidikan jasmani, yaitu
permasalahan yang paling mencolok adalah, jika alasannya alat sebenarnya tidak terlalu
berpengaruh, akan tetapi kadang-kadang apa yang diajarkan tidak sama dengan RPP yang
dibuat. Selanjutnya, kurangnya pengawasan dari Dinas terkait, meskipun ada pengawas yang
ditugaskan oleh Dinas, akan tetapi, pengawasnya pun tidak paham tentang konsep pendidikan
jasmani itu sendiri, jadi pengawas sendiri tidak berani menegur. Pengawas hanya paham di
kerangka RPP saja, sedangkan substansinya tidak dipahami. Itu kelemahannya. Pernyataan
ini relevan dengan penelitian (Jatmika, Hariono, Purwanto, & Setiawan, 2017) yang melakukan
analisis kebutuhan guru pendidikan jasmani, olahraga, dan kesehatan pasca program guru
pembelajar di Daerah Istimewa Yogyakarta, yang menunjukkan hasil bahwa guru pendidikan
jasmani masih terkendala oleh kapasitas IT, kejelasan program guru pembelajar, serta
rendahnya pendampingan dari instansi terkait, sehingga dalam pelaksanaan program, guru
mengalami stagnasi (tidak berkembang).
Pernyataan guru SS ini membantah beberapa pandangan guru yang
mempermasalahkan kurangnya sarana dan prasarana, serta memberikan tanggapan
terhadap lemahnya pemahaman konsep tentang pembelajaran pendidikan jasmani, baik dari
pengawas maupun guru itu sendiri. Hal ini sejalan dengan pandangan guru PLH yang
menjelaskan bahwa dalam urusan sarana dan prasarana yang mendukung pembelajaran
pendidikan jasmani, sebenarnya peralatan yang dibutuhkan sudah cukup banyak, atau jika
kekurangan alat, guru bisa memodifikasi alat agar pembelajaran tetap berlangsung. Di sinilah
dibutuhkan kreatifitas dan inovasi guru, karena pendidikan jasmani maknanya adalah
pembelajaran untuk kehidupan sehari-hari yang akan dialami oleh setiap orang. Jadi,
peralatan pendidikan jasmani harus mendukung semua proses pembelajaran, tidak hanya
sebatas peralatan olahraga saja melainkan peralatan aktivitas jasmani juga harus terpenuhi.
Permasalahan lain terkait pembelajaran pendidikan jasmani adalah bagaimana
pemangku kebijakan dan guru itu sendiri memahamai konsep dari pendidikan jasmani. Konsep
pendidikan jasmani menekankan pada pengalaman gerakan dari, dalam, dan melalui
pendidikan jasmani dapat memberikan kesempatan yang memanusiakan dan memberikan
peluang otentik untuk menyatakan bahwa esensi manusia bukan hanya sekadar
rasionalitasnya, melainkan perwujudan yang ada di dunia (Stolz, 2013). Pendidikan jasmani
yang menyediakan berbagai pengalaman gerakan dan perilaku aktif dalam lingkungan yang
berbeda harus menjadi bagian penting dari kurikulum nasional maupun tujuan pendidikan
jasmani, karena dibutuhkan manusia yang menghargai perwujudan secara utuh, baik domain
afektif, fisik, dan sosial (SHAPE America, 2014), bukan hanya pikiran (intelektualitas) yang
dibawa ke sekolah. Penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa pendidikan jasmani merupakan
suatu kesatuan yang utuh dalam membentuk dan mengembangkan potensi anak secara

Copyright © 2020, Jurnal Pendidikan Jasmani Indonesia


ISSN 0216-1699 (print), ISSN 2581-2300 (online)
Jurnal Pendidikan Jasmani Indonesia, Vol 16 (2), 2020 - 122
Johan Irmansyah, Nune Wire Panji Sakti, Elya Wibawa Syarifoeddin,
Muhammad Ridwan Lubis, Mujriah

keseluruhan, tidak ada dominasi pengajaran fisik/olahraga maupun pengajaran intelektualitas,


melainkan harus memiliki keseimbangan antara setiap aspek yang dipelajari.
Akan tetapi, fakta di lapangan belum sesuai dengan konsep pendidikan jasmani, masih
terdapat kekeliruan dan ketidaksesuaian konsep dengan praktik pembelajaran pendidikan
jasmani. Kekeliruan ini terjadi bukan hanya pada guru, melainkan juga para pemangku
kebijakan di sekolah. Pernyataan dari guru JM yang mengungkapkan bahwa guru pendidikan
jasmani sering merasa kebingungan dikarenakan jika ada kejuaraan/kompetisi olahraga,
kepala sekolah selalu membebankan tugas itu kepada guru pendidikan jasmani, dan
menekankan anak harus berprestasi, sedangkan tugas guru pendidikan jasmani adalah untuk
mendidik siswa ketika di sekolah bukan untuk melatih olahraga. Guru WS, IM, dan YAR juga
menambahkan bahwa kebanyakan orang (personil yang ada di sekolah) sudah salah paham
mengenai konsep pendidikan jasmani, guru pendidikan jasmani sering dilecehkan mengenai
pembelajarannya oleh guru lain ataupun pihak lain, dikarenakan cara mengajarnya cukup
mudah sekali. Sebagai contoh, sebuah sindiran yang mengatakan bahwa guru pendidikan
jasmani hanya tinggal pegang peluit lalu duduk santai sambil mengawasi peserta didik. Hal ini
menyebabkan pendidikan jasmani tidak memiliki esensi dan tujuan, serta kurang memiliki
dampak bagi pendidikan di sekolah, sedangkan makna yang sebenarnya tentangi pendidikan
jasmani itu sendiri sangat luas dan kompleks, tidak hanya sebatas permainan olahraga saja,
melainkan mencakup seluruh kehidupan peserta didik/individu dalam melakukan kegiatan
sehari-hari (Kirk, 2013).
Tanpa mendiskreditkan berbagai pihak seperti kepala sekolah dan guru mata pelajaran
lain tentang kesalahpahamannya dengan konsep pendidikan jasmani, tidak bisa dipungkiri
bahwa guru pendidikan jasmani sendiri yang seharusnya memiliki kompetensi dalam
pengajaran pendidikan jasmani, baik secara teoritis maupun praktis, masih belum
menunjukkan koherensi antara konsep yang dipahami dengan penerapan di lapangan.
Meskipun, secara umum, dapat disimpulkan bahwa pandangan guru tentang pemahaman
konsep pendidikan jasmani sudah sesuai dengan teori yang telah mapan, yaitu pendidikan
jasmani adalah pendidikan dari, melalui, dan dalam gerakan, aktivitas fisik, dan olahraga untuk
menumbuhkan dan mengembangkan potensi peserta didik/individu secara keseluruhan, baik
aspek afektif, kognitif, psikomotorik, dan sosial (Sun, Li, & Shen, 2017), yang bertujuan untuk
memberikan pengalaman yang menyenangkan (Haerens, Kirk, Cardon, & De Bourdeaudhuij,
2011), meningkatkan kebugaran fisik (Gu et al., 2016), mengajarkan keterampilan gerak dasar
dan teknik olahraga (Goodway et al., 2014), memberikan stimulasi terhadap perkembangan
otak (intelektualitas) (Zhao & Li, 2018), menumbuhkan sikap sosial (Gordon & Doyle, 2015),
dan keseimbangan spiritual (Culpan & Stevens, 2017). Akan tetapi, pemahaman konsep dari
guru tentang pendidikan jasmani, bertolak belakang dengan praktik pembelajaran di lapangan.
Hasil observasi proses pembelajaran pendidikan jasmani di beberapa sekolah dasar di Pulau
Lombok, menunjukkan fakta bahwa sebagian besar guru pendidikan jasmani lebih dominan
mengajarkan teknik dan keterampilan dalam olahraga, sehingga menghilangkan kolektivitas
aspek yang lain, seperti afektif, kognitif, dan sosial. Sedangkan, telah ditekankan bahwa
pendidikan jasmani bukan hanya tentang mengajarkan teknik dan keterampilan dalam
olahraga saja, melainkan, yang terpenting adalah pengajaran keterampilan gerak dasar,
pengetahuan tentang kebugaran jasmani, dan keseluruhan aspek dalam mengembangkan
potensi peserta didik/individu secara keseluruhan.
Urgensi Pendidikan Jasmani
Berdasarkan penjelasan tentang permasalahan-permasalahan fundamental yang
muncul dalam praksis pembelajaran pendidikan jasmani di atas, maka secara tidak langsung
akan semakin menguatkan tentang kerentanan hilangnya eksistensi pendidikan jasmani di
sekolah dasar, serta melemahkan esensi pendidikan jasmani sebagai tempat memberikan
pengalaman gerak dan olahraga yang menyenangkan kepada semua peserta didik tanpa
adanya diskriminasi, polarisasi, dan tendensi bias gender. Ini menjadi keadaan yang sangat
mendesak (urgensi) dalam pendidikan jasmani yang harus dipertimbangkan oleh para
pemangku kebijakan, ahli/akademisi, dan guru untuk merumuskan kembali program atau
pengaturan dalam pembelajaran pendidikan jasmani, memberikan solusi konstruktif dan

Copyright © 2020, Jurnal Pendidikan Jasmani Indonesia


ISSN 0216-1699 (print), ISSN 2581-2300 (online)
Jurnal Pendidikan Jasmani Indonesia, Vol 16 (2), 2020 - 123
Johan Irmansyah, Nune Wire Panji Sakti, Elya Wibawa Syarifoeddin,
Muhammad Ridwan Lubis, Mujriah

aplikatif, serta lebih memfokuskan pada kebutuhan-kebutuhan mendesak di lapangan.


Pendidikan jasmani juga memiliki tujuan utama dalam pengembangan potensi individu secara
holistik, baik dari aspek kognitif, afektif, psikomotorik, sosial dan spiritual (Green, 2008), yang
menjadikan posisi pendidikan jasmani begitu sentral dalam dunia pendidikan.
Secara global, dalam ‘Declaration of Berlin’ pendidikan jasmani didefinisikan sebagai
cara paling efektif untuk memberikan semua keterampilan dan sikap, nilai, pengetahuan, dan
pemahaman kepada semua anak dan remaja untuk ikut berpartisipasi sepanjang hidup dalam
lingkungan/masyarakat (UNESCO, 2013). Selanjutnya, dalam pedoman kebijakan “Quality
Physical Education” yang telah dikembangkan dan bekerjasama dengan Komisi Eropa, yaitu
dewan International Council of Sport Science and Physical Education (ICSSPE), International
Olympic Committee (IOC), UNDP, UNICEF, UNOSDP dan WHO, untuk menginformasikan
penyediaan pendidikan jasmani yang berkualitas di seluruh rentang usia dari pendidikan dasar
hingga pendidikan menengah (UNESCO, 2015). Partisipasi dalam pendidikan jasmani yang
berkualitas telah terbukti menanamkan sikap positif terhadap aktivitas fisik, berdampak positif
pada kinerja akademik, mengurangi peluang anak-anak dan remaja terlibat dalam kegiatan
yang buruk, dan menyediakan pengaturan untuk inklusi sosial yang lebih luas (UNESCO,
2015). Hasil dari pendidikan jasmani yang berkualitas adalah anak-anak dan remaja yang
terliterasi secara fisik, yang memiliki keterampilan, kepercayaan diri, dan pemahaman untuk
melanjutkan partisipasi dalam aktivitas fisik sepanjang perjalanan hidup.
Selanjutnya, SHAPE America (2015) menjelaskan pendidikan jasmani sebagai mata
pelajaran akademik yang menyediakan program kurikulum dan pengajaran berbasis standar
K-12 yang terencana, dirancang untuk mengembangkan keterampilan motorik, pengetahuan
dan perilaku untuk hidup sehat, aktif, kebugaran fisik, sportivitas, kemandirian, dan
kecerdasan emosi. Di Amerika sendiri juga telah memberikan Standar Nasional K-12 untuk
Pendidikan Jasmani, yang meliputi: (a) Standar 1, individu yang terliterasi secara fisik
menunjukkan kompetensi dalam berbagai keterampilan motorik dan pola gerakan; (b) Standar
2, individu yang terliterasi secara fisik menerapkan pengetahuan tentang konsep, prinsip,
strategi, dan taktik yang berkaitan dengan gerakan dan kinerja; (c) Standar 3, individu yang
terliterasi secara fisik menunjukkan pengetahuan dan keterampilan untuk mencapai dan
mempertahankan tingkat aktivitas fisik, dan kebugaran untuk meningkatkan kesehatan; (d)
Standar 4, individu yang terliterasi secara fisik menunjukkan perilaku pribadi dan sosial yang
bertanggung jawab yang menghormati diri sendiri dan orang lain; dan (e) Standar 5, individu
yang terliterasi secara fisik mengakui nilai aktivitas fisik untuk kesehatan, kesenangan,
tantangan, ekspresi diri, dan/atau interaksi sosial. Definisi dari Standar Nasional K-12 di
Amerika telah menunjukkan bahwa pentingnya pendidikan jasmani dalam pengembangan
partisipasi aktif anak-anak dan remaja dalam mempertahankan aktivitas fisik untuk
memelihara kesehatan serta menghasilkan individu yang terliterasi secara fisik.
Penjelasan secara global di atas menunjukkan bahwa pendidikan jasmani merupakan
bagian penting dari sistem pendidikan di dunia, dan harus tetap dipertahankan dalam setiap
satuan pendidikan. Hal ini bukan hanya sekadar argumentasi atau wacana tanpa makna,
melainkan sebuah proses, pengkajian, pemrograman, pengembangan, penerapan, dan
evaluasi yang telah dilakukan para ahli/akademisi, praktisi, pelatih, guru, instruktur,
stakeholder, dan seluruh individu yang bekerja dalam bidang pendidikan jasmani, olahraga,
rekreasi, dan kesehatan di seluruh dunia. Telah banyak bukti empiris yang menunjukkan
bahwa pendidikan jasmani dan olahraga merupakan sesuatu yang penting sebagai upaya
untuk meningkatkan kualitas hidup dan angka harapan hidup individu. Sebagai contoh (lihat
di buku; Gabbard, LeBlanc, & Lowy, 1994; Green, 2008; Hellison, 2011; Kirk, 2010; Kirk,
Macdonald, & O’Sullivan, 2006; Laker, 2003; McNamee, 2005; Siedentop et al., 2019; dan
masih banyak lagi), serta artikel-artikel pendidikan jasmani dan olahraga yang di publikasikan
dalam jurnal-jurnal international bereputasi. Selanjutnya, ada point penting yang menjadi fokus
peneliti dari penjelasan UNESCO dan SHAPE America di atas, yaitu istilah ‘Literasi Fisik’.
Sebagai gambaran awal, literasi fisik didefinisikan sebagai motivasi, kepercayaan diri,
kompetensi fisik, pengetahuan dan pemahaman untuk menghargai dan bertanggungjawab
atas keterlibatan dalam aktivitas fisik seumur hidup (International Physical Literacy

Copyright © 2020, Jurnal Pendidikan Jasmani Indonesia


ISSN 0216-1699 (print), ISSN 2581-2300 (online)
Jurnal Pendidikan Jasmani Indonesia, Vol 16 (2), 2020 - 124
Johan Irmansyah, Nune Wire Panji Sakti, Elya Wibawa Syarifoeddin,
Muhammad Ridwan Lubis, Mujriah

Association, 2017). Riset selanjutnya, peneliti akan mengeksplorasi dan mengkaji lebih
mendalam tentang literasi fisik di Indonesia.
Kompetensi Pedagogis
Model Pembelajaran
Pembahasan tentang kompetensi pedagogis yang pertama adalah tentang model
pembelajaran yang digunakan/diterapkan guru dalam praktik pembelajaran pendidikan
jasmani di sekolah dasar. Seperti yang diketahui, dalam program ‘Pengembangan Keprofesian
Berkelanjutan (PKB)’ telah dijelaskan deskripsi model pembelajaran pendidikan jasmani di
sekolah dasar yang bisa diadopsi dan dikembangkan oleh guru sesuai dengan kebutuhan di
lapangan (Kemendikbud Republik Indonesia, 2017b). Model pembelajaran tersebut sudah
mencakup pendekatan pembelajaran, strategi pembelajaran, metode pembelajaran, teknik
dan taktik pembelajaran.
Pendekatan pembelajaran menjelaskan dua jenis pendekatan yaitu, pendekatan
pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada peserta didik dan pendekatan
pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada guru (Barker & Annerstedt, 2016). Strategi
pembelajaran dikelompokkan ke dalam dua bagian, yaitu exposition-discovery learning dan
group-individual learning. Metode pembelajaran disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik,
ada berbagai macam metode yang dijelaskan seperti, komando, latihan, respirokal, periksa
sendiri, inklusi, penemuan terpimpin, perkembangan kognitif, dan pemecahan masalah.
Teknik pembelajaran lebih menekankan pada karakteristik peserta didik, transfer
pembelajaran, konsep didaktik, asas motivasi, asas aktivitas, asas individualitas, asas
peragaan, asas apersepsi, asas sosialisasi, dan asas pengulangan.
Rumusan model pembelajaran dalam program PKB di atas, masih belum banyak
diterapkan oleh guru pendidikan jasmani di sekolah dasar. Ini bisa terjadi karena, program
PKB yang diusulkan pemerintah belum bisa menjangkau secara luas sampai ke setiap daerah,
atau model pembelajaran dalam modul PKB masih bersifat terlalu umum. Jadi, guru
pendidikan jasmani masih belum memahami gambaran model pembelajaran yang akan
diterapkan. Hal ini relevan dengan hasil wawancara guru SS yang mengungkapkan bahwa
program PKB sudah dilaksanakan di beberapa sekolah dasar di Pulau Lombok, akan tetapi,
belum semua guru pendidikan jasmani di sekolah dasar mendapatkan akses/pelatihan tentang
program PKB tersebut. Materi dalam program PKB juga masih bersifat umum, dan guru
diharuskan untuk mengembangkan sendiri model pembelajaran yang sesuai dengan konteks
sekolah dan daerah.
Berdasarkan hasil wawancara dengan guru pendidikan jasmani, memberikan hasil
bahwa sebagian besar guru pendidikan jasmani di sekolah dasar menggunakan model
pembelajaran kooperatif, meskipun ada beberapa guru yang menggunakan model
pembelajaran lain, seperti; model pembelajaran inkuiri, pendekatan taktis, pendekatan
teaching-center, dan pendekatan student-center. Dari beberapa pendapat guru, dapat
disimpulkan bahwa model pembelajaran kooperatif menekankan pada proses kerjasama
peserta didik dengan teman sebaya dengan cara membuat kelompok-kelompok belajar sesuai
dengan materi yang diajarkan, sehingga akan memunculkan sikap tanggungjawab, kerjasama,
dan kekompakkan. Guru IM juga menekankan bahwa tujuan dari model pembelajaran
kooperatif adalah peningkatan hasil belajar akademik peserta didik, dapat menerima berbagai
keragaman dari peserta didik lainnya, dan bisa mengembangkan keterampilan sosial. Hasil ini
relevan dengan penjelasan Dyson, Colby, & Barratt (2016) bahwa cooperative learning adalah
model pembelajaran atau model pedagogis yang memanfaatkan pengembangan
pengetahuan baru melalui interaksi sosial, di mana peserta didik bekerja bersama dalam
kelompok yang terstruktur, kecil, dan heterogen untuk menguasai materi pembelajaran.
Selanjutnya, Legrain, Escalié, Lafont, & Chaliès (2019) juga menambahkan bahwa
cooperative learning yang didasarkan pada kerjasama peserta didik dalam kelompok-
kelompok kecil yang heterogen, memiliki lima karakteristik penting, yaitu: (1) memiliki sifat
saling ketergantungan yang positif antara tujuan, sumber daya, dan peran masing-masing, (2)
dapat melakukan interaksi secara langsung, (3) akuntabilitas individu, (4) keterampilan

Copyright © 2020, Jurnal Pendidikan Jasmani Indonesia


ISSN 0216-1699 (print), ISSN 2581-2300 (online)
Jurnal Pendidikan Jasmani Indonesia, Vol 16 (2), 2020 - 125
Johan Irmansyah, Nune Wire Panji Sakti, Elya Wibawa Syarifoeddin,
Muhammad Ridwan Lubis, Mujriah

interpersonal dan kelompok kecil, dan (5) pembagian kelompok menentukan setiap peran
yang berkontribusi untuk mencapai tugas.
Meskipun model pembelajaraan kooperatif yang mendominasi praktik pembelajaran
pendidikan jasmani di sekolah dasar, bukan berarti model pembelajaran pendidikan jasmani
yang digunakan sudah mencapai kesepakatan final, akan tetapi, masih terdapat fakta yang
kontradiktif dari hasil wawancara guru dengan hasil observasi di lapangan. Hasil observasi
proses pembelajaran pendidikan jasmani di lapangan, didapatkan fakta bahwa sebagian besar
guru masih mempraktikkan model pembelajaran dengan pendekatan teaching-center atau
guru sebagai pusat pengetahuan. Guru masih mendominasi semua aktivitas yang akan
dilakukan peserta didik, yang tanpa disadari bisa menghalangi perkembangan potensi peserta
didik secara keseluruhan. Konklusi dari hasil observasi ini bukan hanya sekadar perspektif
peneliti, melainkan mendapatkan dukungan dari pernyataan guru PLH yang mengungkapkan
bahwa masih banyak guru pendidikan jasmani di sekolah dasar yang memiliki kekurangan
pemahaman dan keterbatasan pengetahuan, sehingga guru tidak merumuskan terlebih dulu
model pembelajarannya, dan masih menggunakan metode lama, seperti; absen, metode
ceramah, metode instruksi, dan lain sebagainya. Guru juga masih merasa kesulitan dalam
memilih model pembelajaran pendidikan jasmani yang efektif dan efisien, serta mencakup
keseluruhan aspek pertumbuhan dan perkembangan peserta didik, seperti; afektif, kognitif,
psikomorik, dan sosial. Sedangkan, di berbagai negara maju di dunia telah banyak
mengadopsi dan menerapkan berbagai model pembelajaran dalam pendidikan jasmani,
sebagai contoh; (1) Sport Education Model (Siedentop et al., 2019), (2) Teaching Game for
Understanding (Harvey, Pill, & Almond, 2018; Utami & Nopembri, 2011), (3) Teaching
Personal and Social Responsibility (Hellison, 2011), dan (4) Model-Based Practice Physical
Education (Kirk, 2013).
Model Penilaian
Penilaian pembelajaran dapat diartikan sebagai penilaian yang memiliki prioritas utama
dalam desain maupun praktiknya adalah untuk mendukung kemajuan pembelajaran peserta
didik (Björn Tolgfors, 2018). Hal ini berarti bahwa guru dan peserta didik harus bisa
memberikan umpan balik dari setiap aktivitas pembelajaran, dan memberikan penilaian
tentang kemampuan peserta didik yang dilakukan dengan penilaian pengamatan guru,
penilaian teman sebaya, dan penilaian diri sendiri (Chng & Lund, 2018). Dalam pembelajaran
pendidikan jasmani, proses penilaian mencakup penilaian sikap, pengetahuan, dan
keterampilan yang dilakukan secara terencana dan sistematis untuk memantau proses,
kemajuan belajar, dan perbaikan hasil belajar melalui penugasan dan evaluasi hasil belajar
(Kemendikbud Republik Indonesia, 2018).
Proses penilaian pembelajaran pendidikan jasmani berupa perencanaan, pelaksanaan,
pengolahan, dan pelaporan hasil belajar yang telah dirumuskan dalam kurikulum 2013, masih
belum dapat dipahami dan terlaksana dengan baik oleh guru pendidikan jasmani di sekolah
dasar. Hal ini dibuktikan dengan pernyataan dari guru FF yang menjelaskan bahwa guru masih
susah melakukan penilaian dalam pembelajaran pendidikan jasmani dan tidak ingin
disibukkan dengan permasalahan administratif. Sedangkan, penilaian ditujukan bukan hanya
untuk melengkapi syarat administratif saja, melainkan ditujukan untuk memperoleh informasi
tentang ketercapaian kompetensi peserta didik seperti yang dirumuskan dalam kurikulum.
Selain itu, dalam membuat deskripsi penilaian, guru juga masih belum mengerti atau masih
kurang bisa dalam melakukannya, sedangkan di aplikasi sudah diberikan contoh dalam
membuat deskripsi penilaian. Hal ini relevan dengan hasil penelitian Palobo et al. (2018) yang
menunjukkan bahwa guru masih mengalami kesulitan dalam mengembangkan alat
pembelajaran berdasarkan kurikulum 2013, seperti; (1) mengembangkan indikator
pencapaian kompetensi, (2) mengembangkan skema untuk mencapai kompetensi dasar, (3)
mengembangkan kegiatan persepsi, (4) pengembangan kegiatan inti, (5) merancang kegiatan
untuk menarik kesimpulan, dan (6) merumuskan penilaian. Selanjutnya, hasil penelitian
Rosadi, Rahayu, & Soenyoto (2019) juga menekankan bahwa tantangan yang dihadapi oleh
guru pendidikan jasmani adalah tentang memahami penilaian. Dari lima sekolah yang
dijadikan lokasi penelitian, didapatkan hasil bahwa 40% guru pendidikan jasmani mengatakan

Copyright © 2020, Jurnal Pendidikan Jasmani Indonesia


ISSN 0216-1699 (print), ISSN 2581-2300 (online)
Jurnal Pendidikan Jasmani Indonesia, Vol 16 (2), 2020 - 126
Johan Irmansyah, Nune Wire Panji Sakti, Elya Wibawa Syarifoeddin,
Muhammad Ridwan Lubis, Mujriah

sudah memahami tentang penilaian dan 60% guru pendidikan jasmani masih kurang
memahami tentang penilaian. Hal ini terjadi karena, 40% didominasi guru pendidikan jasmani
yang masih muda, sehingga mereka dapat mengoperasikan komputer dan 60% didominasi
guru senior yang tidak lagi ingin belajar.
Penjelasan tentang model penilaian pembelajaran pendidikan jasmani di atas, harus
menjadi fokus perhatian untuk dicarikan solusi, karena dari penilaian pembelajaran yang
berkualitas akan berdampak pada kualitas dan hasil belajar peserta didik yang menjadi objek
penilaian (Bjorn Tolgfors & Öhman, 2016). Pemerintah pusat sebagai otoritas tertinggi dalam
perumusan kebijakan melalui pemerintah daerah yang mengoperasionalisasikannya, juga
diharapkan mampu memberikan solusi konstruktif dalam menyikapi permasalahan atau
kebutuhan-kebutuhan guru di lapangan. Mungkin, bisa dengan kemudahan akses dalam
mendapatkan rujukan tentang pembelajaran pendidikan jasmani, penyederhanaan substansi
dari rumusan kebijakan agar mudah dipahami guru, dan meningkatkan intensitas
pembimbingan, pelatihan, sosialisai, pengawasan, dan lain sebagainya yang terfokus pada
peningkatan kualitas pendidikan jasmani.
SIMPULAN
Gambaran tentang permasalahan, urgensi, dan pemahaman dalam pembelajaran
pendidikan jasmani di sekolah dasar di Pulau Lombok, telah menjelaskan bahwa masih
banyak pekerjaan yang harus diselesaikan bersama untuk memperbaiki dan meningkatkan
kualitas guru dan kualitas pembelajaran pendidikan jasmani. Dibutuhkan kesadaran kolektif
dari semua pihak untuk merekonstruksi sistem pembelajaran pendidikan jasmani di sekolah
dasar. Segala bentuk upaya dalam memperbaiki kualitas pembelajaran pendidikan jasmani,
setidaknya harus dimulai dari guru pendidikan jasmani itu sendiri. Oleh karena itu, peningkatan
intensitas pembimbingan, pelatihan, sosialisasi, dan pengawasan juga harus menjadi fokus
pemerintah sebagai upaya meningkatkan kualitas guru pendidikan jasmani. Hasil penelitian ini
juga diharapkan dapat memberikan gambaran tentang fakta empirik yang terjadi di lapangan,
sehingga para pemangku kebijakan dan para peneliti selanjutnya mampu memetakan prioritas
utama untuk dicarikan solusi.
Penelitian ini juga menekankan tentang pentingnya mengajarkan pendidikan jasmani di
sekolah, sebagai cara paling efektif untuk mengembangkan keterampilan gerak, sikap, nilai,
pengetahuan dan pemahaman, kemandirian, dan perilaku hidup sehat kepada semua anak
dan remaja untuk ikut berpartisipasi dalam aktivitas fisik dan olahraga sepanjang perjalanan
hidup. Jadi, hasil penelitian ini dapat disimpukan bahwa gambaran tentang praktik
pembelajaran pendidikan jasmani di sekolah dasar, dapat dijadikan sebuah dasar dalam
menyusun dan menetapkan berbagai program, kebijakan, penelitian, dan pengabdian dengan
harapan menghasilkan solusi konstruktif dan aplikatif untuk berbagai masalah pendidikan
jasmani di sekolah dasar. Penelitian di masa depan, diharapkan mampu memfokuskan
kajiannya pada permasalahan-permasalahan pendidikan jasmani yang terkait dengan
peningkatan kualitas guru, fasilitas pembelajaran, pemahaman konsep pendidikan jasmani,
penyusunan model pembelajaran, penerapan program, dan analisis penilaian pembelajaran,
sehingga ke depannya bisa menghasilkan banyak literatur ilmiah yang menawarkan beragam
perspektif dan solusi untuk meningkatkan kualitas guru dan kualitas pembelajaran pendidikan
jasmani di sekolah dasar.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih kepada tim peneliti yang telah membantu dalam pengumpulan data di
lapangan, baik data observasi maupun wawancara.
DAFTAR PUSTAKA
Barker, D., & Annerstedt, C. (2016). Managing physical education lessons: An interactional
approach. Sport, Education and Society, 21(6), 924–944.
https://doi.org/10.1080/13573322.2014.969229
Carse, N., Jess, M., & Keay, J. (2018). Primary physical education: Shifting perspectives to

Copyright © 2020, Jurnal Pendidikan Jasmani Indonesia


ISSN 0216-1699 (print), ISSN 2581-2300 (online)
Jurnal Pendidikan Jasmani Indonesia, Vol 16 (2), 2020 - 127
Johan Irmansyah, Nune Wire Panji Sakti, Elya Wibawa Syarifoeddin,
Muhammad Ridwan Lubis, Mujriah

move forwards. European Physical Education Review, 24(4), 487–502.


https://doi.org/10.1177/1356336X16688598
Chng, L. S., & Lund, J. (2018). Assessment for learning in physical education: The what, why
and how. Journal of Physical Education, Recreation & Dance, 89(8), 29–34.
https://doi.org/10.1080/07303084.2018.1503119
Creswell, J. W., & Poth, C. N. (2018). Qualitative inquiry and research design: Choosing among
five approaches (4th ed.). Thousand Oaks, California: SAGE Publications Inc.
Culpan, I., & Stevens, S. S. (2017). Olympism, physical education and attitudes and values:
What do graduating teachers in Aotearoa, New Zealand know and understand? Asia-
Pacific Journal of Health, Sport and Physical Education, 8(3), 259–272.
https://doi.org/10.1080/18377122.2017.1345284
Dyson, B. P., Colby, R., & Barratt, M. (2016). The co-construction of cooperative learning in
physical education with elementary classroom teachers. Journal of Teaching in Physical
Education, 35(4), 370–380. https://doi.org/10.1123/jtpe.2016-0119
Fusch, P., Fusch, G. E., & Ness, L. R. (2018). Denzin’s paradigm shift: Revisiting triangulation
in qualitative research. Journal of Social Change, 10(1), 19–32.
https://doi.org/10.5590/JOSC.2018.10.1.02
Gabbard, C., LeBlanc, B., & Lowy, S. (1994). Physical education for children: Building the
foundation (2nd ed.). Englewood Cliffs, N.J: Prentice-Hall.
Gerdin, G., & Pringle, R. (2017). The politics of pleasure: An ethnographic examination
exploring the dominance of the multi-activity sport-based physical education model. Sport,
Education and Society, 22(2), 194–213. https://doi.org/10.1080/13573322.2015.1019448
Goodway, J. D., Famelia, R., & Bakhtiar, S. (2014). Future directions in physical education &
sport: Developing fundamental motor competence in the early years is paramount to
lifelong physical activity. Asian Social Science, 10(5), 44–54.
https://doi.org/10.5539/ass.v10n5p44
Gordon, B., & Doyle, S. (2015). Teaching personal and social responsibility and transfer of
learning: Opportunities and challenges for teachers and coaches. Journal of Teaching in
Physical Education, 34(1), 152–161. https://doi.org/10.1123/jtpe.2013-0184
Green, K. (2008). Understanding physical education. Los Angeles, London, New Delhi,
Singapore: SAGE Publications.
Gu, X., Chang, M., & Solmon, M. A. (2016). Physical activity, physical fitness, and health-
related quality of life in school-aged children. Journal of Teaching in Physical Education,
35(2), 117–126. https://doi.org/10.1123/jtpe.2015-0110
Haerens, L., Kirk, D., Cardon, G., & De Bourdeaudhuij, I. (2011). Toward the development of
a pedagogical model for health-based physical education. Quest, 63(3), 321–338.
https://doi.org/10.1080/00336297.2011.10483684
Harsuki. (2013). Olahraga, pendidikan jasmani, kesehatan, dan rekreasi: Sebuah perdebatan
etimologis. In T. C. Mutohir, A. Maksum, & M. Muhyi (Eds.), Ilmu keolahragaan di
Indonesia (1st ed., pp. 42–53). Surabaya: Graha Media.
Harvey, S., Pill, S., & Almond, L. (2018). Old wine in new bottles: A response to claims that
teaching games for understanding was not developed as a theoretically based
pedagogical framework. Physical Education and Sport Pedagogy, 23(2), 166–180.
https://doi.org/10.1080/17408989.2017.1359526
Hellison, D. (2011). Teaching personal and social responsibility through physical activity (3rd
ed.). United States of America: Human Kinetics.
International Physical Literacy Association. (2017). IPLA definition. Retrieved from

Copyright © 2020, Jurnal Pendidikan Jasmani Indonesia


ISSN 0216-1699 (print), ISSN 2581-2300 (online)
Jurnal Pendidikan Jasmani Indonesia, Vol 16 (2), 2020 - 128
Johan Irmansyah, Nune Wire Panji Sakti, Elya Wibawa Syarifoeddin,
Muhammad Ridwan Lubis, Mujriah

https://www.physical-literacy.org.uk/
Irmansyah, J., Lumintuarso, R., Sugiyanto, F., & Sukoco, P. (2020). Children’s social skills
through traditional sport games in primary schools. Jurnal Cakrawala Pendidikan, 39(1),
39–53. https://doi.org/10.21831/cp.v39i1.28210
Jatmika, H. M., Hariono, A., Purwanto, J., & Setiawan, C. (2017). Analisis kebutuhan guru
pendidikan jasmani, olahraga dan kesehatan pasca program guru pembelajar. Jurnal
Pendidikan Jasmani Indonesia, 13(1), 1–11. https://doi.org/10.21831/jpji.v13i1.21021
Jones, T. (2018). Multicultural Indonesia in geographical and cultural perspectives.
Proceedings of the 1st International Conference on Social Sciences Education -
“Multicultural Transformation in Education, Social Sciences and Wetland Environment”
(ICSSE 2017), 147, 322–329. https://doi.org/10.2991/icsse-17.2018.71
Kallio, H., Pietilä, A.-M., Johnson, M., & Kangasniemi, M. (2016). Systematic methodological
review: Developing a framework for a qualitative semi-structured interview guide. Journal
of Advanced Nursing, 72(12), 2954–2965. https://doi.org/10.1111/jan.13031
Kemendikbud Republik Indonesia. (2017a). Modul pengembangan keprofesian berkelanjutan
mata pelajaran pendidikan jasmani, olahraga, dan kesehatan (PJOK) sekolah dasar (SD)
kelompok kompetensi C (Revisi). Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,
Direktorak Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan.
Kemendikbud Republik Indonesia. (2017b). Modul pengembangan keprofesian berkelanjutan
mata pelajaran pendidikan jasmani, olahraga, dan kesehatan (PJOK) sekolah dasar (SD)
kelompok kompetensi H (Revisi). Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,
Direktorak Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan.
Kemendikbud Republik Indonesia. (2018). Modul pelatihan kurikulum 2013 sekolah
dasar/madrasah ibtidaiyah (SD/MI). Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,
Direktorat Pembinaan Sekolah Dasar, Direktorak Jenderal Pendidikan Dasar dan
Menengah.
Kirk, D. (2010). Physical education futures. London and New York: Routledge Taylor & Francis
Group.
Kirk, D. (2013). Educational value and models-based practice in physical education.
Educational Philosophy and Theory, 45(9), 973–986.
https://doi.org/10.1080/00131857.2013.785352
Kirk, D., Macdonald, D., & O’Sullivan, M. (2006). The handbook of physical education. London,
UK: SAGE Publications.
Kyriakides, E., Tsangaridou, N., Charalambous, C., & Kyriakides, L. (2018). Integrating generic
and content-specific teaching practices in exploring teaching quality in primary physical
education. European Physical Education Review, 24(4), 418–448.
https://doi.org/10.1177/1356336X16685009
Laker, A. (2003). The future of physical education: Building a new pedagogy. In A. Laker (Ed.),
The future of physical education: Building a new pedagogy. London and New York:
Routledge Taylor & Francis Group.
Larsson, H., & Nyberg, G. (2017). ‘It doesn’t matter how they move really, as long as they
move.’ Physical education teachers on developing their students’ movement capabilities.
Physical Education and Sport Pedagogy, 22(2), 137–149.
https://doi.org/10.1080/17408989.2016.1157573
Legrain, P., Escalié, G., Lafont, L., & Chaliès, S. (2019). Cooperative learning: A relevant
instructional model for physical education pre-service teacher training? Physical
Education and Sport Pedagogy, 24(1), 73–86.
https://doi.org/10.1080/17408989.2018.1561838

Copyright © 2020, Jurnal Pendidikan Jasmani Indonesia


ISSN 0216-1699 (print), ISSN 2581-2300 (online)
Jurnal Pendidikan Jasmani Indonesia, Vol 16 (2), 2020 - 129
Johan Irmansyah, Nune Wire Panji Sakti, Elya Wibawa Syarifoeddin,
Muhammad Ridwan Lubis, Mujriah

Lincoln, Y. S., Lynham, S. A., & Guba, E. G. (2011). Paradigmatic controversies,


contradictions, and emerging confluences. In N. K. Denzin & Y. S. Lincoln (Eds.), The
sage handbook of qualitative research (4th ed., pp. 97–128). Thousand Oaks, California:
Sage.
Liu, L. (2016). Using generic inductive approach in qualitative educational research: A case
study analysis. Journal of Education and Learning, 5(2), 129–135.
https://doi.org/10.5539/jel.v5n2p129
Lutfiyanto, A., Hidayah, T., & Fakhruddin. (2019). Performance of certified physical education
teacher (Review of self concept and work motivation). Journal of Physical Education and
Sports, 8(2), 133–139. https://doi.org/10.15294 /jpes.v8i2.24587
Ma’mun, A. (2019). Governmental roles in indonesian sport policy: From past to present.
International Journal of the History of Sport, 36(4–5), 388–406.
https://doi.org/10.1080/09523367.2019.1618837
Maksum, A. (2009). Paradoks guru pendidikan jasmani. Journal of Physical Education and
Sport, 1(1), 1–13. Retrieved from http://jurnal.upi.edu/edutech/view/1030/paradoks-guru-
pendidikan-jasmani.html
Maksum, A. (2013). Penguatan keilmuan sebagai jalan menuju keunggulan olahraga. In T. C.
Mutohir, A. Maksum, & M. Muhyi (Eds.), Ilmu keolahragaan di Indonesia (1st ed., pp. 1–
4). Surabaya: Graha Media.
McNamee, M. (2005). The nature and values of physical education. In K. Green & K. Hardman
(Eds.), Physical education: Essential issues (pp. 1–20). London, Thousand Oaks, New
Delhi: SAGE Publications.
Mihajlovic, C. (2019). Teachers’ perceptions of the Finnish national curriculum and inclusive
practices of physical education. Curriculum Studies in Health and Physical Education,
10(3), 247–261. https://doi.org/10.1080/25742981.2019.1627670
Mutohir, T. C. (2013). Ilmu keolahragaan dan perkembangannya di Indonesia: Suatu refleksi.
In T. C. Mutohir, A. Maksum, & M. Muhyi (Eds.), Ilmu keolahragaan di Indonesia (1st ed.,
pp. 5–27). Surabaya: Graha Media.
Onwuegbuzie, A. J., & Collins, K. M. T. (2017). The role of sampling in mixed methods-
research. KZfSS Kölner Zeitschrift Für Soziologie Und Sozialpsychologie, 69(S2), 133–
156. https://doi.org/10.1007/s11577-017-0455-0
Palobo, M., Sianturi, M., Marlissa, I., Purwanty, R., Dadi, O., & Saparuddin, A. (2018). Analysis
of teachers’ difficulties on developing curriculum 2013 lesson plans. Proceedings of the
1st International Conference on Social Sciences (ICSS 2018), 226, 1319–1324.
https://doi.org/10.2991/icss-18.2018.278
Rachman, H. A., Yudanto, Sujarwo, & Sudardiyono. (2018). Intervention model of perceptual
motor development in preschool children movement development. Proceedings of the
2nd Yogyakarta International Seminar on Health, Physical Education, and Sport Science
(YISHPESS 2018) and 1st Conference on Interdisciplinary Approach in Sports (CoIS
2018), 278, 61–65. https://doi.org/10.2991/yishpess-cois-18.2018.15
Republik Indonesia. (2003). Undang-Undang RI Nomor 20, Tahun 2003, tentang Sistem
Pendidikan Nasional.
Republik Indonesia. (2005). Undang-Undang RI Nomor 3, Tahun 2005, tentang Sistem
Keolahragaan Nasional.
Rosadi, D., Rahayu, T., & Soenyoto, T. (2019). Problems with curriculum 2013 implementation
in physical health education (PJOK) of junior high school in sub rayon 05 gunungjati
district cirebon regency. Journal of Physical Education and Sports, 8(1), 62–68.
https://doi.org/10.15294 /jpes.v8i1.26845

Copyright © 2020, Jurnal Pendidikan Jasmani Indonesia


ISSN 0216-1699 (print), ISSN 2581-2300 (online)
Jurnal Pendidikan Jasmani Indonesia, Vol 16 (2), 2020 - 130
Johan Irmansyah, Nune Wire Panji Sakti, Elya Wibawa Syarifoeddin,
Muhammad Ridwan Lubis, Mujriah

Sanni, D. M., Ede, C., & Fashina, A. A. (2018). A study on the effects of inadequate sport
equipment and facilities on sports development and academic performance in primary
schools: a case study of Bwari area council of Abuja-Nigeria Dahiru. SPC Journal of
Education, 1(1), 4–8. https://doi.org/10.14419/je.v1i1.13946
SHAPE America. (2014). National standards & grade-level outcomes for K-12 physical
education. Champaign, IL: Human Kinetics.
SHAPE America. (2015). The essential components of physical education. Retrieved from
https://www.shapeamerica.org/uploads/pdfs/TheEssentialComponentsOfPhysicalEducat
ion.pdf
Siedentop, D., Hastie, P. A., & Mars, H. Van der. (2019). Complete guide to sport education
(3rd ed.). Champaign, IL: Human Kinetics.
Sigid, M., & Setiawan, C. (2018). Phenomenological study of experience and meaning on K-
13 implementation by elementary physical education teacher Purworejo regency.
Proceedings of the 2nd Yogyakarta International Seminar on Health, Physical Education,
and Sport Science (YISHPESS 2018) and 1st Conference on Interdisciplinary Approach
in Sports (CoIS 2018), 278, 76–81. https://doi.org/10.2991/yishpess-cois-18.2018.18
Stolz, S. A. (2013). Phenomenology and physical education. Educational Philosophy and
Theory, 45(9), 949–962. https://doi.org/10.1080/00131857.2013.785355
Stolz, S. A. (2014). The philosophy of physical education: A new perspective (1st ed.). London
and New York: Routledge.
Suherman, Adang. (2016). The analysis of character education in teaching physical education.
Proceedings of the 2015 International Conference on Innovation in Engineering and
Vocational Education, 232–234. https://doi.org/10.2991/icieve-15.2016.50
Suherman, Ayi. (2009). Pengembangan model pembelajaran outdoor education pendidikan
jasmani berbasis kompetensi di sekolah dasar. Penelitian Pendidikan, 9(1), 1–16.
Retrieved from http://jurnal.upi.edu/file/Ayi.pdf
Sun, H., Li, W., & Shen, B. (2017). Learning in physical education: A self-determination theory
perspective. Journal of Teaching in Physical Education, 36(3), 277–291.
https://doi.org/10.1123/jtpe.2017-0067
Thiel, A., John, J., & Frahsa, A. (2019). Qualitative interviews in sport and physical activity
research-Do not forget the body. European Journal for Sport and Society, 16(1), 1–4.
https://doi.org/10.1080/16138171.2019.1616423
Tolgfors, Björn. (2018). Different versions of assessment for learning in the subject of physical
education. Physical Education and Sport Pedagogy, 23(3), 311–327.
https://doi.org/10.1080/17408989.2018.1429589
Tolgfors, Bjorn, & Öhman, M. (2016). The implications of assessment for learning in physical
education and health. European Physical Education Review, 22(2), 150–166.
https://doi.org/10.1177/1356336X15595006
UNESCO. (2013). Declaration of Berlin. International Conference of Ministers and Senior
Officials Responsible for Physical Education and Sport (MINEPS V), 1–17. Retrieved from
https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000221114
UNESCO. (2015). Quality physical education (QPE): Guidelines for policy-maker. France:
United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO).
Utami, N. S., & Nopembri, S. (2011). Pandangan guru pendidikan jasmani SMA terhadap
penerapan model pembelajaran teaching games for understanding. Jurnal Pendidikan
Jasmani Indonesia, 8(1), 48–53. https://doi.org/10.21831/jpji.v8i1.3483
Zhao, J., & Li, G. (2018). Application of brain science in physical education and teaching.

Copyright © 2020, Jurnal Pendidikan Jasmani Indonesia


ISSN 0216-1699 (print), ISSN 2581-2300 (online)
Jurnal Pendidikan Jasmani Indonesia, Vol 16 (2), 2020 - 131
Johan Irmansyah, Nune Wire Panji Sakti, Elya Wibawa Syarifoeddin,
Muhammad Ridwan Lubis, Mujriah

Educational Sciences: Theory & Practice, 18(5), 2155–2161.


https://doi.org/10.12738/estp.2018.5.115

Copyright © 2020, Jurnal Pendidikan Jasmani Indonesia


ISSN 0216-1699 (print), ISSN 2581-2300 (online)

Anda mungkin juga menyukai