php/jpji
Jurnal Pendidikan Jasmani Indonesia, Vol 16 (2), 2020, 115-131
Abstrak
Sejarah yang begitu panjang dalam mempertahankan eksistensi pendidikan jasmani dan
olahraga di Indonesia, masih belum bisa memberikan sebuah ‘oase’ atau pengalaman yang
menyenangkan di tengah permasalahan-permasalahan yang semakin menjustifikasi
ketidakbermanfaatan pendidikan jasmani di sekolah maupun masyarakat. Tujuan penelitian
ini berusaha untuk mengungkap gambaran tentang permasalahan, urgensi, dan pemahaman
dalam pembelajaran pendidikan jasmani di sekolah dasar dari perspektif guru. Metode
penelitian menggunakan desain deskriptif kualitatif dengan penekanan pada pengetahuan dan
pengalaman subjek pada situasi dan permasalahan tertentu. Pengumpulan data dilakukan
selama dua bulan melalui observasi dan wawancara semi-terstruktur terhadap tiga belas guru
pendidikan jasmani (n=13), di lima sekolah dasar di Pulau Lombok, NTB. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa; Pertama, permasalahan dalam pembelajaran pendidikan jasmani dapat
dirumuskan bahwa masih kurang atau tidak memadainya prasarana dan sarana, materi
pembelajaran tidak sesuai dengan RPP, kurangnya pemahaman tentang konsep
pembelajaran pendidikan jasmani baik dari pengawas maupun guru, dan masih terdapat
kekeliruan dan ketidaksesuaian konsep dengan praktik pembelajaran pendidikan jasmani.
Kedua, keadaan yang sangat mendesak (urgensi) dalam pendidikan jasmani adalah tentang
kerentanan hilangnya eksistensi pendidikan jasmani di sekolah dasar, dan semakin
melemahnya esensi pendidikan jasmani sebagai tempat memberikan pengalaman gerak dan
olahraga yang menyenangkan kepada semua peserta didik tanpa adanya diskriminasi,
polarisasi, dan tendensi bias gender. Ketiga, guru pendidikan jasmani memiliki kekurangan
pengetahuan dan pemahaman tentang model pembelajaran dan model penilaian yang sesuai
dengan kurikulum.
Kata Kunci: Pendidikan Jasmani, Permasalahan, Urgensi, Pemahaman Konten, Sekolah
Dasar.
for two months through observations and semi-structured interviews towards thirteen physical
education teachers (n = 13), in five elementary schools in Lombok Island, NTB. The results
shows that; First, the problem in the learning of physical education can be formulated that it is
still lacking or inadequate infrastructure and facilities, learning materials are not in accordance
with the RPP, lack of understanding about physical education concepts both the supervisor
and the teachers, and there are still errors and discrepancies concept with physical education
learning practices. Second, the urgency in physical education is about the vulnerability of the
loss existence of physical education in elementary schools, and the weakening of the essence
of physical education as a place to provide a pleasant experience of movement and sports to
all students without discrimination, polarization, and gender bias tendencies. Third, physical
education teachers have a lack of knowledge and understanding of learning models and
assessment models that are in accordance with the curriculum.
Keywords: Physical Education, Problems, Urgency, Understanding of Content, Elementary
School.
PENDAHULUAN
Sebelum masuk ke substansi permasalahan, ada baiknya peneliti terlebih dahulu
menjelaskan istilah ‘Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan’ yang digunakan dalam
keseluruhan tulisan ini. Pengaturan kebijakan pendidikan jasmani, olahraga, dan kesehatan di
Indonesia, telah dijelaskan dalam Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 2005, tentang Sistem
Keolahragaan Nasional (Republik Indonesia, 2005) dan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun
2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional (Republik Indonesia, 2003), yang terintegrasi
dalam Kurikulum 2013. Dalam Undang-undang Sistem Keolahragaan Nasional, dijelaskan
bahwa ruang lingkup olahraga meliputi kegiatan: a) Olahraga Pendidikan, b) Olahraga
Rekreasi, dan c) Olahraga Prestasi. Sedangkan, Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional
dalam Kurikulum 2013 mengintegrasikan istilah Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan
Kesehatan. Meskipun istilah pendidikan jasmani, olahraga, dan kesehatan telah tercakup
dalam kebijakan pemerintah, akan tetapi, penggunaan istilah ini masih menjadi perdebatan
dan memerlukan klarifikasi dari para pakar/ahli yang bergulat dalam kajian pendidikan
jasmani, olahraga, kesehatan, dan rekreasi. Oleh karena itu, sepanjang tulisan ini, peneliti
akan menggunakan istilah ‘Pendidikan Jasmani’ yang merupakan bagian integral atau tidak
terpisahkan dan memiliki kesamaan makna dengan olahraga pendidikan, sesuai dengan
ketentuan dan peraturan perundang-undangan (Harsuki, 2013).
Pendidikan jasmani di Indonesia, telah menjadi kajian akademik sejak tahun 1941
dengan didirikannya Lembaga Akademi Pendidikan Djasmani (LAPD) di Surabaya (Maksum,
2013), dan telah mengalami beberapa kali perubahan nama seiring dengan dinamika sosio-
politik dan kebutuhan mendesak pada masa penjajahan. Selanjutnya, Mutohir (2013)
menambahkan bahwa pada tahun 1953 LAPD resmi berubah nama menjadi Akademi
Pendidikan Djasmani (APD), dan kemudian dikembangkan menjadi Fakultas Pendidikan
Djasmani (FPD), sampai dengan terbentuknya Sekolah Tinggi Olahraga (STO). Hal ini
dilakukan karena pada saat itu kebutuhan akan guru pendidikan jasmani sangat besar di
masyarakat. Seiring berjalannya waktu, STO diintegrasikan ke dalam Institut Keguruan dan
Ilmu Pendidikan (IKIP) yang mempersiapkan tenaga pendidikan dan keolahragaan melalui
Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan (FPOK). Hingga saat ini, perkembangan
jurusan atau prodi pendidikan jasmani pada universitas-universitas negeri maupun swasta,
telah menjangkau secara luas di setiap daerah di Indonesia.
Sejarah yang begitu panjang dalam mempertahankan eksistensi pendidikan jasmani dan
olahraga di Indonesia (Ma’mun, 2019), dan upaya pengembangan yang tidak mudah yang
dilakukan para ahli/pakar, praktisi, dan stakeholder yang bergumul dalam dunia pendidikan
jasmani, baik dari segi perumusan kebijakan, pendidikan, penelitian, dan pengabdian, masih
belum bisa memberikan sebuah ‘oase’ atau pengalaman yang menyenangkan di tengah
permasalahan-permasalahan yang semakin menjustifikasi ketidakbermanfaatan pendidikan
jasmani di sekolah maupun masyarakat (Irmansyah, Lumintuarso, Sugiyanto, & Sukoco,
2020). Ini juga dibuktikan dengan banyaknya penelitian dalam pendidikan jasmani yang
maka, tidak menutup kemungkinan bahwa dominasi pengajaran olahraga (Gerdin & Pringle,
2017), akan melemahkan konsep pendidikan jasmani di sekolah dasar yang menekankan
pada pengembangan potensi anak secara keseluruhan (Stolz, 2014), dan mengancam
kebebasan dan kemandirian anak dalam mengeksplorasi berbagai macam gerakan dalam
aktivitas fisik dan olahraga (Larsson & Nyberg, 2017), serta menghilangkan nilai kebahagiaan
dan kesenangan anak yang didapatkan dalam pembelajaran pendidikan jasmani (Kirk, 2013).
Selain hasil observasi yang dilakukan peneliti, fakta lainnya yang mendukung kurangnya
kualitas pembelajaran pendidikan jasmani di sekolah dasar di Pulau Lombok adalah masih
minimnya riset yang terkait dengan proses pembelajaran pendidikan jasmani di sekolah dasar,
sedangkan di Pulau Lombok sendiri terdapat 2 universitas besar yang memiliki Fakultas Ilmu
Keolahragaan dan Jurusan Pendidikan Jasmani, Kesehatan, dan Rekreasi. Dari hasil tinjauan
literatur yang dilakukan peneliti melalui akses digital (internet), baik melalui Google Scholar,
Tinjauan Website Jurnal, ProQuest, Libgen, DOAJ, Researchgate, Sciencedirect, dan lain
sebagainya, menunjukkan hasil bahwa masih sangat kurang penelitian yang terfokus dalam
melakukan eksplorasi dan elaborasi dalam peningkatan kualitas guru dan kualitas
pembelajaran pendidikan jasmani di sekolah dasar di Pulau Lombok. Kecenderungan
penelitian dari akademisi dan mahasiswa pendidikan jasmani dan olahraga di Pulau Lombok,
lebih menekankan kepada penerapan metode-metode latihan dalam olahraga atau mencari
hubungan antara metode-metode latihan.
Berdasarkan fakta-fakta yang telah dipaparkan di atas, maka peneliti berasumsi bahwa
sangat penting untuk melakukan kajian yang terfokus pada peningkatan kualitas guru dan
kualitas pembelajaran pendidikan jasmani di sekolah dasar. Akan tetapi, untuk mengetahui,
mengungkap, dan menganalis segala kebutuhan dalam pembelajaran pendidikan jasmani,
maka perlu adanya penelitian dasar yang dilakukan untuk menggambarkan dan memetakan
permasalahan-permasalahan dalam pembelajaran pendidikan jasmani, dan mengeksplorasi
pemahaman guru tentang pendidikan jasmani itu sendiri (Mihajlovic, 2019). Ini merupakan
sesuatu yang sangat penting karena dengan adanya hasil penelitian dasar ini, maka akan
memudahkan para peneliti selanjutnya untuk mencarikan solusi konstruktif melalui
kajian/penelitian ilmiah dalam pembelajaran pendidikan jasmani yang sesuai dengan fakta
empirik di lapangan. Oleh karena itu, tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk
mengungkap gambaran (deskripsi) secara menyeluruh tentang permasalahan, urgensi, dan
pemahaman dalam pembelajaran pendidikan jasmani di sekolah dasar ditinjau dari perspektif
guru. Selain itu, penelitian ini juga sebagai upaya dan langkah awal peneliti untuk ikut
berkontribusi dalam meningkatkan kualitas guru dan kualitas pembelajaran pendidikan
jasmani di sekolah dasar di Pulau Lombok.
METODE
Dalam penelitian ini, peneliti berada pada posisi paradigma konstruktivisme sosial (atau
dideskripsikan sebagai interpretivisme), yang menekankan pada eksplorasi pengetahuan dan
pengalaman subjek/partisipan pada situasi dan permasalahan tertentu (Lincoln, Lynham, &
Guba, 2011). Ini sesuai dengan tujuan penelitian yang berusaha untuk mengungkap gambaran
tentang permasalahan, urgensi, dan pemahaman dalam pembelajaran pendidikan jasmani di
sekolah dasar dari perspektif guru. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan desain
deskriptif kualitatif yang bertujuan untuk menggambarkan dan memahami suatu isu,
permasalahan, dan fenomena tertentu untuk mendapatkan gambaran dan pemahaman
tentang suatu permasalahan (Creswell & Poth, 2018).
Partisipan/subjek penelitian menggunakan tiga belas guru mata pelajaran pendidikan
jasmani (n=13) yang telah memenuhi persyaratan utama yaitu memiliki pengalaman mengajar
pendidikan jasmani di sekolah dasar yang berkisar antara 5 hingga lebih dari 20 tahun.
Pemilihan subjek penelitian menggunakan teknik concept sampling yang bertujuan untuk
mendapatkan keluasan informasi dari suatu kasus yang dapat menjelaskan cara
penggunaannya, dan makna konsep tertentu, atau menghasilkan gambaran (deskripsi) dari
suatu kasus (Onwuegbuzie & Collins, 2017). Subjek dipilih berdasarkan asumsi bahwa subjek
memiliki pengetahuan, pemahaman, dan pengalaman dengan fenomena yang menarik dalam
pembelajaran pendidikan jasmani di sekolah dasar. Pengumpulan data dilakukan di lima
sekolah dasar yang tersebar di Pulau Lombok, NTB, Indonesia, tempat di mana sebagian
subjek penelitian bekerja atau mengajar pendidikan jasmani. Nama samaran (inisial)
digunakan untuk melindungi privasi/identitas diri dari subjek penelitian.
Pengumpulan data dilakukan di setiap sekolah secara terpisah, mengikuti prosedur
pengumpulan data penelitian. Dalam mendapatkan kepercayaan temuan di lapangan,
keseluruhan materi dikumpulkan dan direduksi menjadi beberapa jenis materi yang
representatif dengan tema penelitian (Liu, 2016). Teknik pengumpulan data menggunakan
observasi di lapangan (sekolah) dan wawancara semi-terstruktur (Kallio, Pietilä, Johnson, &
Kangasniemi, 2016). Observasi dilakukan selama 2 bulan di lima sekolah dasar di Pulau
Lombok yang terfokus pada pengamatan yang terkait dengan setting, proses, metode, model,
materi, fasilitas, dan evaluasi/penilaian dalam pembelajaran pendidikan jasmani. Pengamatan
dilakukan ketika proses pembelajaran pendidikan jasmani berlangsung pada peserta didik
kelas tinggi (IV dan V) atau usia 8-12 tahun. Sedangkan, wawancara semi-terstruktur
dilakukan secara personal dengan guru pendidikan jasmani setelah proses pembelajaran
berlangsung atau sesuai dengan kesepakatan guru dan peneliti. Protokol observasi dan
wawancara sebelumnya telah dirumuskan oleh peneliti berdasarkan tujuan yang ingin dicapai,
dan direview oleh expert untuk mendapatkan protokol yang memiliki kemudahan dalam
penggunaan dan responsif terhadap tujuan penelitian. Selama proses observasi, peneliti
menulis catatan singkat sesuai dengan fakta empirik yang teramati di lapangan, dan
merekapitulasi catatan observasi maksimal 24 jam setelah proses observasi. Untuk
pertanyaan wawancara, mencakup lima kategori yang terkait dengan pembelajaran
pendidikan jasmani di sekolah dasar, yaitu; 1) permasalahan yang paling sering dihadapi dalam
pembelajaran pendidikan jasmani, 2) urgensi pembelajaran pendidikan jasmani, 3) pemahaman
konsep tentang pendidikan jasmani, 4) model pembelajaran pendidikan jasmani yang
diterapkan, dan 5) model penilaian yang digunakan untuk menilai hasil belajar peserta didik.
Wawancara berlangsung selama 30 sampai 60 menit dan direkam menggunakan tape
recorder, kemudian hasil rekaman ditranskrip untuk mendapatkan data yang relevan. Dalam
setiap tahap, setelah melakukan observasi dan wawancara, peneliti menulis catatan reflektif
di lapangan, yang mencakup opini, argumentasi, pengetahuan, dan pengalaman personal dari
peneliti. Catatan reflektif ini berfungsi dalam mengarahkan dan mengingatkan hasil
wawancara selama proses analisis, kategorisasi, dan interpretasi data (Thiel, John, & Frahsa,
2019).
Analisis data wawancara dilakukan secara kualitatif menggunakan metode analisis
konten induktif, yang ditentukan berdasarkan pertanyaan penelitian, untuk mengidentifikasi
aspek-aspek yang relevan dari transkrip hasil wawancara (Creswell & Poth, 2018). Analisis ini
digunakan untuk mendeskripsikan perspektif guru tentang segala fenomena yang terjadi
dalam pembelajaran pendidikan jasmani di sekolah dasar. Setelah semua data
dikelompokkan, kemudian peneliti menganalisis dengan melakukan pengkodean,
kategorisasi, dan memetakan tema-tema yang muncul dari transkrip hasil wawancara.
Selanjutnya, data observasi digunakan untuk melakukan klarifikasi pemahaman guru tentang
pembelajaran pendidikan jasmani sesuai dengan fakta di lapangan. Kredibilitas data penelitian
didapatkan dengan melakukan triangulasi sumber-sumber data antara teknik-teknik
pengumpulan data (observasi dan wawancara semi-terstruktur) (Fusch, Fusch, & Ness, 2018).
Wawancara dilakukan secara berulang atau sebanyak 2-3 kali kepada guru sampai kejenuhan
data bisa tercapai. Observasi proses pembelajaran guru di lingkungan sekolah, berkontribusi
pada keakuratan informasi yang didapatkan melalui wawancara.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Sejalan dengan tujuan penelitian, yang menekankan untuk mengungkap gambaran
tentang permasalahan, urgensi, dan pemahaman dalam pembelajaran pendidikan jasmani di
sekolah dasar dari perspektif guru di Pulau Lombok. Maka, hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa terdapat beberapa persamaan dan perbedaan yang diungkapkan guru dalam
memberikan pandangan tentang praktik pembelajaran pendidikan jasmani di sekolah dasar.
Persamaan tersebut menjelaskan tentang permasalahan yang paling sering muncul dalam
praktik pembelajaran pendidikan jasmani, dan perbedaannya terkait dengan pemahaman guru
tentang konsep dan substansi dalam mengajarkan pendidikan jasmani kepada peserta didik.
Temuan ini merupakan sesuatu yang sangat penting untuk memetakan setiap
kebutuhan guru dalam pembelajaran pendidikan jasmani di sekolah dasar, yang berdampak
pada munculnya kajian-kajian selanjutnya dari akademisi/ahli dalam mencarikan solusi
konstruktif untuk meningkatkan kualitas guru dan kualitas pembelajaran pendidikan jasmani.
Sesuai dengan pertanyaan penelitian dan hasil analisis data secara kualitatif, maka dapat
dirumuskan tiga tema utama yang dihasilkan dalam penelitian ini, yaitu; 1) Permasalahan-
permasalahan fundamental dalam pembelajaran pendidikan jasmani, 2) Urgensi pendidikan
jasmani, dan 3) Pemahaman tentang Kompetensi Pedagogis dalam Pendidikan Jasmani.
Fakta yang diungkapkan dari hasil penelitian ini, semakin menegaskan bahwa pendidikan
jasmani sedang tidak dalam keadaan baik, dibutuhkan sebuah upaya perubahan dari semua
pihak baik dari pemangku kebijakan, lembaga penjaminan mutu pendidikan, kepala sekolah,
guru, dan ahli/akademisi untuk meningkatkan kualitas guru dan kualitas pembelajaran
pendidikan jasmani.
Berdasarkan tiga tema di atas, maka hasil penelitian dapat dideskripsikan sebagai
berikut: Pertama, permasalahan-permasalahan fundamental dalam pembelajaran pendidikan
jasmani dapat dirumuskan bahwa masih kurang atau tidak memadainya prasarana dan sarana
dalam melaksanakan pembelajaran pendidikan jasmani di sekolah dasar, materi pembelajaran
tidak sesuai dengan RPP yang dirumuskan, kurangnya pengawasan dari Dinas terkait yang
memahami substansi dari pembelajaran pendidikan jasmani, lemahnya pemahaman konsep
tentang pembelajaran pendidikan jasmani, baik dari pengawas maupun guru itu sendiri, dan
masih terdapat kekeliruan dan ketidaksesuaian konsep dengan praktik pembelajaran
pendidikan jasmani. Guru pendidikan jasmani sendiri yang seharusnya memiliki kompetensi
dalam pengajaran pendidikan jasmani, baik secara teoritis maupun praktis, masih belum
menunjukkan koherensi antara konsep yang dipahami dengan penerapan di lapangan. Kedua,
jika dilihat dari banyaknya permasalahan yang muncul dalam praksis pembelajaran pendidikan
jasmani, maka secara tidak langsung akan semakin menguatkan tentang kerentanan
hilangnya eksistensi pendidikan jasmani di sekolah dasar, serta melemahkan esensi
pendidikan jasmani sebagai tempat memberikan pengalaman gerak dan olahraga yang
menyenangkan kepada semua peserta didik tanpa adanya diskriminasi, polarisasi, dan
tendensi bias gender. Ini menjadi keadaan yang sangat mendesak (urgensi) dalam pendidikan
jasmani yang harus dipertimbangkan oleh para pemangku kebijakan, ahli/akademisi, dan guru
untuk merumuskan kembali program atau pengaturan dalam pembelajaran pendidikan
jasmani, memberikan solusi konstruktif dan aplikatif, serta lebih memfokuskan pada
kebutuhan-kebutuhan mendesak di lapangan. Ketiga, pembahasan tentang pemahaman guru
terkait kompetensi pedagogis mencakup dua sub-tema, yaitu model pembelajaran dan model
penilaian dalam pendidikan jasmani. Terkait model pembelajaran, sebagian besar guru masih
mempraktikkan model pembelajaran dengan pendekatan teaching-center atau guru sebagai
pusat pengetahuan, dan guru masih mendominasi semua aktivitas yang akan dilakukan
peserta didik, yang tanpa disadari bisa menghalangi perkembangan potensi peserta didik
secara keseluruhan. Guru pendidikan jasmani di sekolah dasar memiliki kekurangan
pemahaman dan keterbatasan pengetahuan, sehingga banyak yang tidak merumuskan
terlebih dulu model pembelajarannya, dan masih menggunakan metode lama, seperti; absen,
metode ceramah, metode instruksi, dan lain sebagainya. Sedangkan, terkait model penilaian,
guru pendidikan jasmani masih belum memahami dan melaksanakan dengan baik model
penilaian pembelajaran pendidikan jasmani sesuai dengan pedoman dalam kurikulum 2013,
guru masih susah melakukan penilaian dalam pembelajaran pendidikan jasmani dan tidak
ingin disibukkan dengan permasalahan administratif, serta dalam membuat deskripsi
penilaian, guru juga masih belum bisa atau masih kurang dalam melakukannya.
Pembahasan
Permasalahan Fundamental Pendidikan Jasmani
Pendidikan jasmani yang dijelaskan sebagai sebuah proses pembelajaran melalui
gerakan, aktivitas fisik, dan olahraga yang dirancang untuk meningkatkan kompetensi fisik,
kognitif, sosial, dan spiritual (Kemendikbud Republik Indonesia, 2017a), tidak bisa terlepas
dari beragam permasalahan-permasalahan fundamental dalam praksis pembelajarannya.
Permasalahan yang paling sering didengar adalah tentang kurangnya prasarana dan
sarana/fasilitas pembelajaran di sekolah (Sanni, Ede, & Fashina, 2018). Hasil wawancara
dengan guru-guru pendidikan jasmani, secara umum, dapat disimpulkan bahwa permasalahan
yang dialami adalah terkait dengan masih kurangnya atau tidak memadainya prasarana dan
sarana dalam melaksanakan pembelajaran pendidikan jasmani di sekolah dasar. Sebagai
contoh, penyataan dari guru WLA dan MA mengungkapkan bahwa kebanyakan guru
pendidikan jasmani di sekolah dasar kesulitan dalam memberikan materi dikarenakan sarana
dan prasarana kurang memadai atau masih minim, dan masih kurangnya dukungan dari pihak
sekolah dalam pembelajaran pendidikan jasmani. Pernyataan ini sesuai dengan hasil
observasi peneliti di lapangan, yang menunjukkan bahwa masih banyak terdapat kekurangan
dalam fasilitas pembelajaran pendidikan jasmani, seperti; sempitnya lahan sekolah, kurangnya
peralatan olahraga (baik peralatan atletik, permainan bola besar dan kecil), dan belum
terdapat penerapan materi yang berfokus pada pengukuran tingkat kebugaran jasmani (Gu,
Chang, & Solmon, 2016), serta pengajaran yang terfokus pada peningkatan keterampilan
gerak dasar peserta didik (Goodway, Famelia, & Bakhtiar, 2014).
Akan tetapi, terdapat salah satu pernyataan menarik dari guru SS yang memberikan
pandangan terkait permasalahan dalam pembelajaran pendidikan jasmani, yaitu
permasalahan yang paling mencolok adalah, jika alasannya alat sebenarnya tidak terlalu
berpengaruh, akan tetapi kadang-kadang apa yang diajarkan tidak sama dengan RPP yang
dibuat. Selanjutnya, kurangnya pengawasan dari Dinas terkait, meskipun ada pengawas yang
ditugaskan oleh Dinas, akan tetapi, pengawasnya pun tidak paham tentang konsep pendidikan
jasmani itu sendiri, jadi pengawas sendiri tidak berani menegur. Pengawas hanya paham di
kerangka RPP saja, sedangkan substansinya tidak dipahami. Itu kelemahannya. Pernyataan
ini relevan dengan penelitian (Jatmika, Hariono, Purwanto, & Setiawan, 2017) yang melakukan
analisis kebutuhan guru pendidikan jasmani, olahraga, dan kesehatan pasca program guru
pembelajar di Daerah Istimewa Yogyakarta, yang menunjukkan hasil bahwa guru pendidikan
jasmani masih terkendala oleh kapasitas IT, kejelasan program guru pembelajar, serta
rendahnya pendampingan dari instansi terkait, sehingga dalam pelaksanaan program, guru
mengalami stagnasi (tidak berkembang).
Pernyataan guru SS ini membantah beberapa pandangan guru yang
mempermasalahkan kurangnya sarana dan prasarana, serta memberikan tanggapan
terhadap lemahnya pemahaman konsep tentang pembelajaran pendidikan jasmani, baik dari
pengawas maupun guru itu sendiri. Hal ini sejalan dengan pandangan guru PLH yang
menjelaskan bahwa dalam urusan sarana dan prasarana yang mendukung pembelajaran
pendidikan jasmani, sebenarnya peralatan yang dibutuhkan sudah cukup banyak, atau jika
kekurangan alat, guru bisa memodifikasi alat agar pembelajaran tetap berlangsung. Di sinilah
dibutuhkan kreatifitas dan inovasi guru, karena pendidikan jasmani maknanya adalah
pembelajaran untuk kehidupan sehari-hari yang akan dialami oleh setiap orang. Jadi,
peralatan pendidikan jasmani harus mendukung semua proses pembelajaran, tidak hanya
sebatas peralatan olahraga saja melainkan peralatan aktivitas jasmani juga harus terpenuhi.
Permasalahan lain terkait pembelajaran pendidikan jasmani adalah bagaimana
pemangku kebijakan dan guru itu sendiri memahamai konsep dari pendidikan jasmani. Konsep
pendidikan jasmani menekankan pada pengalaman gerakan dari, dalam, dan melalui
pendidikan jasmani dapat memberikan kesempatan yang memanusiakan dan memberikan
peluang otentik untuk menyatakan bahwa esensi manusia bukan hanya sekadar
rasionalitasnya, melainkan perwujudan yang ada di dunia (Stolz, 2013). Pendidikan jasmani
yang menyediakan berbagai pengalaman gerakan dan perilaku aktif dalam lingkungan yang
berbeda harus menjadi bagian penting dari kurikulum nasional maupun tujuan pendidikan
jasmani, karena dibutuhkan manusia yang menghargai perwujudan secara utuh, baik domain
afektif, fisik, dan sosial (SHAPE America, 2014), bukan hanya pikiran (intelektualitas) yang
dibawa ke sekolah. Penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa pendidikan jasmani merupakan
suatu kesatuan yang utuh dalam membentuk dan mengembangkan potensi anak secara
Association, 2017). Riset selanjutnya, peneliti akan mengeksplorasi dan mengkaji lebih
mendalam tentang literasi fisik di Indonesia.
Kompetensi Pedagogis
Model Pembelajaran
Pembahasan tentang kompetensi pedagogis yang pertama adalah tentang model
pembelajaran yang digunakan/diterapkan guru dalam praktik pembelajaran pendidikan
jasmani di sekolah dasar. Seperti yang diketahui, dalam program ‘Pengembangan Keprofesian
Berkelanjutan (PKB)’ telah dijelaskan deskripsi model pembelajaran pendidikan jasmani di
sekolah dasar yang bisa diadopsi dan dikembangkan oleh guru sesuai dengan kebutuhan di
lapangan (Kemendikbud Republik Indonesia, 2017b). Model pembelajaran tersebut sudah
mencakup pendekatan pembelajaran, strategi pembelajaran, metode pembelajaran, teknik
dan taktik pembelajaran.
Pendekatan pembelajaran menjelaskan dua jenis pendekatan yaitu, pendekatan
pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada peserta didik dan pendekatan
pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada guru (Barker & Annerstedt, 2016). Strategi
pembelajaran dikelompokkan ke dalam dua bagian, yaitu exposition-discovery learning dan
group-individual learning. Metode pembelajaran disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik,
ada berbagai macam metode yang dijelaskan seperti, komando, latihan, respirokal, periksa
sendiri, inklusi, penemuan terpimpin, perkembangan kognitif, dan pemecahan masalah.
Teknik pembelajaran lebih menekankan pada karakteristik peserta didik, transfer
pembelajaran, konsep didaktik, asas motivasi, asas aktivitas, asas individualitas, asas
peragaan, asas apersepsi, asas sosialisasi, dan asas pengulangan.
Rumusan model pembelajaran dalam program PKB di atas, masih belum banyak
diterapkan oleh guru pendidikan jasmani di sekolah dasar. Ini bisa terjadi karena, program
PKB yang diusulkan pemerintah belum bisa menjangkau secara luas sampai ke setiap daerah,
atau model pembelajaran dalam modul PKB masih bersifat terlalu umum. Jadi, guru
pendidikan jasmani masih belum memahami gambaran model pembelajaran yang akan
diterapkan. Hal ini relevan dengan hasil wawancara guru SS yang mengungkapkan bahwa
program PKB sudah dilaksanakan di beberapa sekolah dasar di Pulau Lombok, akan tetapi,
belum semua guru pendidikan jasmani di sekolah dasar mendapatkan akses/pelatihan tentang
program PKB tersebut. Materi dalam program PKB juga masih bersifat umum, dan guru
diharuskan untuk mengembangkan sendiri model pembelajaran yang sesuai dengan konteks
sekolah dan daerah.
Berdasarkan hasil wawancara dengan guru pendidikan jasmani, memberikan hasil
bahwa sebagian besar guru pendidikan jasmani di sekolah dasar menggunakan model
pembelajaran kooperatif, meskipun ada beberapa guru yang menggunakan model
pembelajaran lain, seperti; model pembelajaran inkuiri, pendekatan taktis, pendekatan
teaching-center, dan pendekatan student-center. Dari beberapa pendapat guru, dapat
disimpulkan bahwa model pembelajaran kooperatif menekankan pada proses kerjasama
peserta didik dengan teman sebaya dengan cara membuat kelompok-kelompok belajar sesuai
dengan materi yang diajarkan, sehingga akan memunculkan sikap tanggungjawab, kerjasama,
dan kekompakkan. Guru IM juga menekankan bahwa tujuan dari model pembelajaran
kooperatif adalah peningkatan hasil belajar akademik peserta didik, dapat menerima berbagai
keragaman dari peserta didik lainnya, dan bisa mengembangkan keterampilan sosial. Hasil ini
relevan dengan penjelasan Dyson, Colby, & Barratt (2016) bahwa cooperative learning adalah
model pembelajaran atau model pedagogis yang memanfaatkan pengembangan
pengetahuan baru melalui interaksi sosial, di mana peserta didik bekerja bersama dalam
kelompok yang terstruktur, kecil, dan heterogen untuk menguasai materi pembelajaran.
Selanjutnya, Legrain, Escalié, Lafont, & Chaliès (2019) juga menambahkan bahwa
cooperative learning yang didasarkan pada kerjasama peserta didik dalam kelompok-
kelompok kecil yang heterogen, memiliki lima karakteristik penting, yaitu: (1) memiliki sifat
saling ketergantungan yang positif antara tujuan, sumber daya, dan peran masing-masing, (2)
dapat melakukan interaksi secara langsung, (3) akuntabilitas individu, (4) keterampilan
interpersonal dan kelompok kecil, dan (5) pembagian kelompok menentukan setiap peran
yang berkontribusi untuk mencapai tugas.
Meskipun model pembelajaraan kooperatif yang mendominasi praktik pembelajaran
pendidikan jasmani di sekolah dasar, bukan berarti model pembelajaran pendidikan jasmani
yang digunakan sudah mencapai kesepakatan final, akan tetapi, masih terdapat fakta yang
kontradiktif dari hasil wawancara guru dengan hasil observasi di lapangan. Hasil observasi
proses pembelajaran pendidikan jasmani di lapangan, didapatkan fakta bahwa sebagian besar
guru masih mempraktikkan model pembelajaran dengan pendekatan teaching-center atau
guru sebagai pusat pengetahuan. Guru masih mendominasi semua aktivitas yang akan
dilakukan peserta didik, yang tanpa disadari bisa menghalangi perkembangan potensi peserta
didik secara keseluruhan. Konklusi dari hasil observasi ini bukan hanya sekadar perspektif
peneliti, melainkan mendapatkan dukungan dari pernyataan guru PLH yang mengungkapkan
bahwa masih banyak guru pendidikan jasmani di sekolah dasar yang memiliki kekurangan
pemahaman dan keterbatasan pengetahuan, sehingga guru tidak merumuskan terlebih dulu
model pembelajarannya, dan masih menggunakan metode lama, seperti; absen, metode
ceramah, metode instruksi, dan lain sebagainya. Guru juga masih merasa kesulitan dalam
memilih model pembelajaran pendidikan jasmani yang efektif dan efisien, serta mencakup
keseluruhan aspek pertumbuhan dan perkembangan peserta didik, seperti; afektif, kognitif,
psikomorik, dan sosial. Sedangkan, di berbagai negara maju di dunia telah banyak
mengadopsi dan menerapkan berbagai model pembelajaran dalam pendidikan jasmani,
sebagai contoh; (1) Sport Education Model (Siedentop et al., 2019), (2) Teaching Game for
Understanding (Harvey, Pill, & Almond, 2018; Utami & Nopembri, 2011), (3) Teaching
Personal and Social Responsibility (Hellison, 2011), dan (4) Model-Based Practice Physical
Education (Kirk, 2013).
Model Penilaian
Penilaian pembelajaran dapat diartikan sebagai penilaian yang memiliki prioritas utama
dalam desain maupun praktiknya adalah untuk mendukung kemajuan pembelajaran peserta
didik (Björn Tolgfors, 2018). Hal ini berarti bahwa guru dan peserta didik harus bisa
memberikan umpan balik dari setiap aktivitas pembelajaran, dan memberikan penilaian
tentang kemampuan peserta didik yang dilakukan dengan penilaian pengamatan guru,
penilaian teman sebaya, dan penilaian diri sendiri (Chng & Lund, 2018). Dalam pembelajaran
pendidikan jasmani, proses penilaian mencakup penilaian sikap, pengetahuan, dan
keterampilan yang dilakukan secara terencana dan sistematis untuk memantau proses,
kemajuan belajar, dan perbaikan hasil belajar melalui penugasan dan evaluasi hasil belajar
(Kemendikbud Republik Indonesia, 2018).
Proses penilaian pembelajaran pendidikan jasmani berupa perencanaan, pelaksanaan,
pengolahan, dan pelaporan hasil belajar yang telah dirumuskan dalam kurikulum 2013, masih
belum dapat dipahami dan terlaksana dengan baik oleh guru pendidikan jasmani di sekolah
dasar. Hal ini dibuktikan dengan pernyataan dari guru FF yang menjelaskan bahwa guru masih
susah melakukan penilaian dalam pembelajaran pendidikan jasmani dan tidak ingin
disibukkan dengan permasalahan administratif. Sedangkan, penilaian ditujukan bukan hanya
untuk melengkapi syarat administratif saja, melainkan ditujukan untuk memperoleh informasi
tentang ketercapaian kompetensi peserta didik seperti yang dirumuskan dalam kurikulum.
Selain itu, dalam membuat deskripsi penilaian, guru juga masih belum mengerti atau masih
kurang bisa dalam melakukannya, sedangkan di aplikasi sudah diberikan contoh dalam
membuat deskripsi penilaian. Hal ini relevan dengan hasil penelitian Palobo et al. (2018) yang
menunjukkan bahwa guru masih mengalami kesulitan dalam mengembangkan alat
pembelajaran berdasarkan kurikulum 2013, seperti; (1) mengembangkan indikator
pencapaian kompetensi, (2) mengembangkan skema untuk mencapai kompetensi dasar, (3)
mengembangkan kegiatan persepsi, (4) pengembangan kegiatan inti, (5) merancang kegiatan
untuk menarik kesimpulan, dan (6) merumuskan penilaian. Selanjutnya, hasil penelitian
Rosadi, Rahayu, & Soenyoto (2019) juga menekankan bahwa tantangan yang dihadapi oleh
guru pendidikan jasmani adalah tentang memahami penilaian. Dari lima sekolah yang
dijadikan lokasi penelitian, didapatkan hasil bahwa 40% guru pendidikan jasmani mengatakan
sudah memahami tentang penilaian dan 60% guru pendidikan jasmani masih kurang
memahami tentang penilaian. Hal ini terjadi karena, 40% didominasi guru pendidikan jasmani
yang masih muda, sehingga mereka dapat mengoperasikan komputer dan 60% didominasi
guru senior yang tidak lagi ingin belajar.
Penjelasan tentang model penilaian pembelajaran pendidikan jasmani di atas, harus
menjadi fokus perhatian untuk dicarikan solusi, karena dari penilaian pembelajaran yang
berkualitas akan berdampak pada kualitas dan hasil belajar peserta didik yang menjadi objek
penilaian (Bjorn Tolgfors & Öhman, 2016). Pemerintah pusat sebagai otoritas tertinggi dalam
perumusan kebijakan melalui pemerintah daerah yang mengoperasionalisasikannya, juga
diharapkan mampu memberikan solusi konstruktif dalam menyikapi permasalahan atau
kebutuhan-kebutuhan guru di lapangan. Mungkin, bisa dengan kemudahan akses dalam
mendapatkan rujukan tentang pembelajaran pendidikan jasmani, penyederhanaan substansi
dari rumusan kebijakan agar mudah dipahami guru, dan meningkatkan intensitas
pembimbingan, pelatihan, sosialisai, pengawasan, dan lain sebagainya yang terfokus pada
peningkatan kualitas pendidikan jasmani.
SIMPULAN
Gambaran tentang permasalahan, urgensi, dan pemahaman dalam pembelajaran
pendidikan jasmani di sekolah dasar di Pulau Lombok, telah menjelaskan bahwa masih
banyak pekerjaan yang harus diselesaikan bersama untuk memperbaiki dan meningkatkan
kualitas guru dan kualitas pembelajaran pendidikan jasmani. Dibutuhkan kesadaran kolektif
dari semua pihak untuk merekonstruksi sistem pembelajaran pendidikan jasmani di sekolah
dasar. Segala bentuk upaya dalam memperbaiki kualitas pembelajaran pendidikan jasmani,
setidaknya harus dimulai dari guru pendidikan jasmani itu sendiri. Oleh karena itu, peningkatan
intensitas pembimbingan, pelatihan, sosialisasi, dan pengawasan juga harus menjadi fokus
pemerintah sebagai upaya meningkatkan kualitas guru pendidikan jasmani. Hasil penelitian ini
juga diharapkan dapat memberikan gambaran tentang fakta empirik yang terjadi di lapangan,
sehingga para pemangku kebijakan dan para peneliti selanjutnya mampu memetakan prioritas
utama untuk dicarikan solusi.
Penelitian ini juga menekankan tentang pentingnya mengajarkan pendidikan jasmani di
sekolah, sebagai cara paling efektif untuk mengembangkan keterampilan gerak, sikap, nilai,
pengetahuan dan pemahaman, kemandirian, dan perilaku hidup sehat kepada semua anak
dan remaja untuk ikut berpartisipasi dalam aktivitas fisik dan olahraga sepanjang perjalanan
hidup. Jadi, hasil penelitian ini dapat disimpukan bahwa gambaran tentang praktik
pembelajaran pendidikan jasmani di sekolah dasar, dapat dijadikan sebuah dasar dalam
menyusun dan menetapkan berbagai program, kebijakan, penelitian, dan pengabdian dengan
harapan menghasilkan solusi konstruktif dan aplikatif untuk berbagai masalah pendidikan
jasmani di sekolah dasar. Penelitian di masa depan, diharapkan mampu memfokuskan
kajiannya pada permasalahan-permasalahan pendidikan jasmani yang terkait dengan
peningkatan kualitas guru, fasilitas pembelajaran, pemahaman konsep pendidikan jasmani,
penyusunan model pembelajaran, penerapan program, dan analisis penilaian pembelajaran,
sehingga ke depannya bisa menghasilkan banyak literatur ilmiah yang menawarkan beragam
perspektif dan solusi untuk meningkatkan kualitas guru dan kualitas pembelajaran pendidikan
jasmani di sekolah dasar.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih kepada tim peneliti yang telah membantu dalam pengumpulan data di
lapangan, baik data observasi maupun wawancara.
DAFTAR PUSTAKA
Barker, D., & Annerstedt, C. (2016). Managing physical education lessons: An interactional
approach. Sport, Education and Society, 21(6), 924–944.
https://doi.org/10.1080/13573322.2014.969229
Carse, N., Jess, M., & Keay, J. (2018). Primary physical education: Shifting perspectives to
https://www.physical-literacy.org.uk/
Irmansyah, J., Lumintuarso, R., Sugiyanto, F., & Sukoco, P. (2020). Children’s social skills
through traditional sport games in primary schools. Jurnal Cakrawala Pendidikan, 39(1),
39–53. https://doi.org/10.21831/cp.v39i1.28210
Jatmika, H. M., Hariono, A., Purwanto, J., & Setiawan, C. (2017). Analisis kebutuhan guru
pendidikan jasmani, olahraga dan kesehatan pasca program guru pembelajar. Jurnal
Pendidikan Jasmani Indonesia, 13(1), 1–11. https://doi.org/10.21831/jpji.v13i1.21021
Jones, T. (2018). Multicultural Indonesia in geographical and cultural perspectives.
Proceedings of the 1st International Conference on Social Sciences Education -
“Multicultural Transformation in Education, Social Sciences and Wetland Environment”
(ICSSE 2017), 147, 322–329. https://doi.org/10.2991/icsse-17.2018.71
Kallio, H., Pietilä, A.-M., Johnson, M., & Kangasniemi, M. (2016). Systematic methodological
review: Developing a framework for a qualitative semi-structured interview guide. Journal
of Advanced Nursing, 72(12), 2954–2965. https://doi.org/10.1111/jan.13031
Kemendikbud Republik Indonesia. (2017a). Modul pengembangan keprofesian berkelanjutan
mata pelajaran pendidikan jasmani, olahraga, dan kesehatan (PJOK) sekolah dasar (SD)
kelompok kompetensi C (Revisi). Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,
Direktorak Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan.
Kemendikbud Republik Indonesia. (2017b). Modul pengembangan keprofesian berkelanjutan
mata pelajaran pendidikan jasmani, olahraga, dan kesehatan (PJOK) sekolah dasar (SD)
kelompok kompetensi H (Revisi). Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,
Direktorak Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan.
Kemendikbud Republik Indonesia. (2018). Modul pelatihan kurikulum 2013 sekolah
dasar/madrasah ibtidaiyah (SD/MI). Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,
Direktorat Pembinaan Sekolah Dasar, Direktorak Jenderal Pendidikan Dasar dan
Menengah.
Kirk, D. (2010). Physical education futures. London and New York: Routledge Taylor & Francis
Group.
Kirk, D. (2013). Educational value and models-based practice in physical education.
Educational Philosophy and Theory, 45(9), 973–986.
https://doi.org/10.1080/00131857.2013.785352
Kirk, D., Macdonald, D., & O’Sullivan, M. (2006). The handbook of physical education. London,
UK: SAGE Publications.
Kyriakides, E., Tsangaridou, N., Charalambous, C., & Kyriakides, L. (2018). Integrating generic
and content-specific teaching practices in exploring teaching quality in primary physical
education. European Physical Education Review, 24(4), 418–448.
https://doi.org/10.1177/1356336X16685009
Laker, A. (2003). The future of physical education: Building a new pedagogy. In A. Laker (Ed.),
The future of physical education: Building a new pedagogy. London and New York:
Routledge Taylor & Francis Group.
Larsson, H., & Nyberg, G. (2017). ‘It doesn’t matter how they move really, as long as they
move.’ Physical education teachers on developing their students’ movement capabilities.
Physical Education and Sport Pedagogy, 22(2), 137–149.
https://doi.org/10.1080/17408989.2016.1157573
Legrain, P., Escalié, G., Lafont, L., & Chaliès, S. (2019). Cooperative learning: A relevant
instructional model for physical education pre-service teacher training? Physical
Education and Sport Pedagogy, 24(1), 73–86.
https://doi.org/10.1080/17408989.2018.1561838
Sanni, D. M., Ede, C., & Fashina, A. A. (2018). A study on the effects of inadequate sport
equipment and facilities on sports development and academic performance in primary
schools: a case study of Bwari area council of Abuja-Nigeria Dahiru. SPC Journal of
Education, 1(1), 4–8. https://doi.org/10.14419/je.v1i1.13946
SHAPE America. (2014). National standards & grade-level outcomes for K-12 physical
education. Champaign, IL: Human Kinetics.
SHAPE America. (2015). The essential components of physical education. Retrieved from
https://www.shapeamerica.org/uploads/pdfs/TheEssentialComponentsOfPhysicalEducat
ion.pdf
Siedentop, D., Hastie, P. A., & Mars, H. Van der. (2019). Complete guide to sport education
(3rd ed.). Champaign, IL: Human Kinetics.
Sigid, M., & Setiawan, C. (2018). Phenomenological study of experience and meaning on K-
13 implementation by elementary physical education teacher Purworejo regency.
Proceedings of the 2nd Yogyakarta International Seminar on Health, Physical Education,
and Sport Science (YISHPESS 2018) and 1st Conference on Interdisciplinary Approach
in Sports (CoIS 2018), 278, 76–81. https://doi.org/10.2991/yishpess-cois-18.2018.18
Stolz, S. A. (2013). Phenomenology and physical education. Educational Philosophy and
Theory, 45(9), 949–962. https://doi.org/10.1080/00131857.2013.785355
Stolz, S. A. (2014). The philosophy of physical education: A new perspective (1st ed.). London
and New York: Routledge.
Suherman, Adang. (2016). The analysis of character education in teaching physical education.
Proceedings of the 2015 International Conference on Innovation in Engineering and
Vocational Education, 232–234. https://doi.org/10.2991/icieve-15.2016.50
Suherman, Ayi. (2009). Pengembangan model pembelajaran outdoor education pendidikan
jasmani berbasis kompetensi di sekolah dasar. Penelitian Pendidikan, 9(1), 1–16.
Retrieved from http://jurnal.upi.edu/file/Ayi.pdf
Sun, H., Li, W., & Shen, B. (2017). Learning in physical education: A self-determination theory
perspective. Journal of Teaching in Physical Education, 36(3), 277–291.
https://doi.org/10.1123/jtpe.2017-0067
Thiel, A., John, J., & Frahsa, A. (2019). Qualitative interviews in sport and physical activity
research-Do not forget the body. European Journal for Sport and Society, 16(1), 1–4.
https://doi.org/10.1080/16138171.2019.1616423
Tolgfors, Björn. (2018). Different versions of assessment for learning in the subject of physical
education. Physical Education and Sport Pedagogy, 23(3), 311–327.
https://doi.org/10.1080/17408989.2018.1429589
Tolgfors, Bjorn, & Öhman, M. (2016). The implications of assessment for learning in physical
education and health. European Physical Education Review, 22(2), 150–166.
https://doi.org/10.1177/1356336X15595006
UNESCO. (2013). Declaration of Berlin. International Conference of Ministers and Senior
Officials Responsible for Physical Education and Sport (MINEPS V), 1–17. Retrieved from
https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000221114
UNESCO. (2015). Quality physical education (QPE): Guidelines for policy-maker. France:
United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO).
Utami, N. S., & Nopembri, S. (2011). Pandangan guru pendidikan jasmani SMA terhadap
penerapan model pembelajaran teaching games for understanding. Jurnal Pendidikan
Jasmani Indonesia, 8(1), 48–53. https://doi.org/10.21831/jpji.v8i1.3483
Zhao, J., & Li, G. (2018). Application of brain science in physical education and teaching.