Anda di halaman 1dari 59

LAMPIRAN I

LAPORAN AKADEMIK
Contoh Laporan Akademik

DRINGO: KOMUNITAS PEJUANG AIR

Pendampingan untuk Pengorganisasian Pemecahan Problem Air di Dusun


Dringo Desa Jlubang Kecamatan Pringkuku Kabupaten Pacitan Jawa Timur

Laporan Narasi Riset Aksi Partisipatif


Kuliah Kerja Nyata Transformatif
IAIN Sunan Ampel tahun 2009
Desa Jlubang Kec. Pringkuku
Kabupaten Pacitan

Oleh:
Safinatun Najah (Tarbiyah)
Muhammad Syaifuudin (Ushuluddin)
Muhammad Saiin (Tarbiyah)
Badruddin (Ushuluddin)
Umi Rosyidah Zaini (Syari’ah)

Dosen Pendamping Lapangan:


Drs. Agus Afandi, M.Fil.I
NIP. 196611061998031002

LEMBAGA PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT


IAIN SUNAN AMPEL SURABAYA
2009
BAB I
PENDAHULUAN

A. Meneropong Bentang Alam Dringo


Dringo merupakan sebuah dusun yang termasuk dalam wilayah Desa
Jlubang, Kecamatan Pringkuku, Kabupaten Pacitan. Dengan jarak sekitar 30 km
dari pusat kota 1001 goa itu, membuat Dringo terpencil di ujung selatan
Pacitan dengan jarak hanya sekitar 4 km dari bibir pantai dengan ketinggian
sekitar 254 m di atas permukaan laut.1 Dringo juga dikelilingi oleh 9 bukit
kapur yang rata-rata tandus dan berbatu dengan kondisi jalan berbatu yang
dibeberapa tempat sudah dirabat dan berkelok-kelok mengelilingi punggung
perbukitan. Selain itu, di Dringo juga terdapat beberapa gua, yang memang
merupakan salah satu ciri khas kondisi alam Pacitan, yaitu Goa Plethes, Goa
Belikgunung, dan Goa Blimbing.
Dengan kondisi alam seperti itu, Dusun Dringo sangat kesulitan dalam
mendapatkan air. Sehingga hanya cocok untuk tanaman-tanaman jangka
panjang seperti kelapa, jati, akasia, dan melinjo. Sedangkan tanaman musiman
yang biasa ditanam sebagai andalan bidang pertanian adalah padi, jagung,
kacang, dan ketela. Tanaman-tanaman tersebut hanya ditanam setahun sekali
dengan mengandalkan musim penghujan.
Selain terkendala dengan air, Dusun Dringo juga sangat terbatas dengan
komunikasi. Dringo dikelilingi oleh perbukitan, sehingga sama sekali tidak
dapat terjangkau oleh sinyal telepon seluler. Untuk memenuhi kebutuhan
komunikasi, warga Dusun Dringo memasang telepon Ceria dengan
menggunakan antena yang tinggi. Atau jika tidak, warga harus mendaki ke
puncak bukit yang dapat terjangkau sinyal.
Secara administratif, Dusun Dringo terbagi ke dalam dua RT dan satu
RW. Selain itu, juga terbagi menjadi tujuh territorial utama, yaitu Sawah yang
merupakan “pusat kota” Dusun Dringo, Ngledok, Tukluk, Jumblang, Plethes,
Mbangsore, dan Blimbing. Dusun Dringo berbatasan dengan empat dusun
yaitu sebelah utara berbatasan dengan dusun Gebang, selatan berbatasan
dengan dusun Gondang, sebelah barat berbatasan dengan dusun Sumur dan
Desa Sugihwaras, dan timur berbatasan dengan dusun Gondang.

1 Badan Pusat Statistik Kabupaten Pacitan. Kecamatan Pringkuku dalam Angka 2008. Hal. 8
Gambar 1
Peta Dusun Dringo

Di Dusun Dringo sendiri terdapat 65 kepala keluarga dengan jumlah


penduduk keseluruhan sebanyak 229 jiwa dengan komposisi, laki-laki 93 jiwa,
perempuan 105 jiwa dan anak-anak 31 jiwa. Dari 31 orang anak, ada 20 orang
yang sudah memasuki masa sekolah, yaitu 17 orang berada pada jenjang
Sekolah Dasar (SD) dan 3 orang berada dalam jenjang Sekolah Menengah
Pertama (SMP).

B. Asal Usul Nama Dringo


Pada zaman dahulu, Dringo merupakan daerah hutan gung lewang
lewung tidak ada yang berani memasukinya. Hutan tersebut kemudian disapu
gondo pawengkon oleh Mbah Kromo Semiko, seseorang yang sakti mandraguna
pada zamannya.
Foto 1: SAKSI SEJARAH, Dari tumbuhan inilah nama Dringo
diambil yang sekarang Dringo
Menurut cerita, dahulu kala daerah ini dilanda
oleh wabah penyakit aneh yang sangat akut. Banyak sekali korban meninggal.
Ibaratnya, pagi sakit sore meninggal, dan sore sakit pagi meninggal. Tidak ada
seorang pun yang mampu mengobati penyakit tersebut. Hingga pada
akhirnya, Mbah Kromo Semiko, tampil mengobati penduduk yang terserang
penyakit tersebut dengan menggunakan daun Dringo. Alhasil, seluruh
masyarakat yang sakit sembuh seketika. Lambat laun dan dari mulut ke mulut
daerah itu disebut dengan Dringo.

C. Adat Istiadat dan Mitos Masyarakat


Dringo merupakan bagian dari rangkaian masyarakat Jawa yang
terkenal kental dengan adat istiadat dan mitos-mitos serta kearifan2 lokal (local
wisdom) yang hingga saat ini masih dipegang teguh dan dipercayai. Bahkan
masyarakat Jawa menganggap, hal tersebut bisa digunakan sebagai pegangan
untuk mengetahui progres hidup di masa-masa yang akan datang. Selain itu,
kearifan menurut kalangan masyarakat Jawa bisa digunakan untuk
memprediksi arah keselamatan, rejeki, jodoh, dan bahkan kematian.
Sebagai contoh, pada masyarakat Jawa, terutama yang masih menganut
ilmu-ilmu muslim kejawen, seorang laki-laki yang lahir pada hari pasaran
Pahing dilarang menikah dengan perempuan yang lahir pada hari pasaran
Wage, dan hal itu berlaku sebaliknya. Apabila hal itu dilanggar maka
perkawinannya akan geyeng. Hal itu disebabkan karena hari pasaran Wage dan
Pahing mempunyai neptu yang genap. Sedangkan neptu genap dalam
pernikahan menurut orang Jawa ora becik (tidak baik) atau dalam bahasa Sunda
pamali.

2 Kearifan sebenarnya merupakan kemauan untuk melihat, mendengar, dan merasakan serta
menjalani suatu aturan yang telah diciptakan oleh Tuhan sebagai hukum alam. Kearifan
tersebut bersumber dari wahyu sang pencipta. Namun, terkadang hal itu bisa dibelokkan
kepada hal-hal yang berbau klenik.
Ketidakbaikan yang dimaksudkan adalah apabila sampai terjadi pernikahan
yang geyeng, maka rumah tangganya akan banyak menemui godaan, sering
mendapat musibah, susah mencari rezeki, dan punggel. Kebenaran akan hal itu
sangat minim sekali. Kebanyakan, orang yang menikah geyeng rumah
tangganya baik-baik saja. Namun, ada juga yang memang terjadi seperti yang
diprediksikan. Tentu saja, menurut hemat penulis, penyebabnya bukanlah
karena pernikahan yang geyeng, tetapi ada sebab lain. Namun, justru kejadian
yang jarang tersebut yang dijadikan patokan atau legitimasi terhadap teori
tersebut.

Dalam masyarakat Dusun Dringo sendiri, hal itu sedikit banyak sudah
mulai luntur seiring kemajuan zaman. Kepercayaan generasi muda akan hal itu
sudah mulai pudar. Namun, karena persoalan pernikahan merupakan
persoalan keluarga besar yang pasti melibatkan para sesepuh, hal semacam itu
masih saja menjadi alasan untuk melarang seseorang menikah.
Selain itu Dusun Dringo juga mempunyai adat istiadat dan mitos-mitos
yang lain yang sampai sekarang masih dipegang oleh para warga.

1. Bersih Dusun
Bersih dusun merupakan adat istiadat masyarakat Dusun Dringo yang
sudah berlangsung sejak zaman nenek moyang dan masih terus dilestarikan
hingga turun temurun. Pada zaman dahulu, bersih dusun dilakukan oleh para
warga di tempat-tempat keramat dan diperuntukkan untuk para danyang atau
sing mbaurekso Dusun Dringo dengan tujuan untuk mencari keselamatan.
Namun agaknya, seiring perkembangan dusun, kegiatan bersih dusun
tersebut mengalami suatu perubahan meskipun dalam hal maksud dan
tujuannya tetap sama. Pada zaman sekarang, bersih dusun tidak lagi dilakukan
ditempat-tempat keramat, akan tetapi di rumah para pimpinan dusun, kepala
dusun atau para ketua RT.
Bersih dusun tersebut dilaksanakan setahun sekali setelah masyarakat
memanen padi dan jagung yaitu pada bulan Maret. Pada bulan tersebut,
seluruh Dusun Dringo akan terasa sibuk untuk mengadakan bersih dusun.
Biasanya, kegiatan itu dilaksanakan pada hari dan tempat yang sama. Namun,
karena jarak antara satu kelompok rumah dengan kelompok rumah yang lain
saling berjauhan, maka bersih dusun dilaksanakan menurut kelompok rumah
atau lingkungannya sendiri. Misalnya, lingkungan Plethes yang letaknya di
Dusun Dringo bagian selatan, tidak melaksanakan bersih dusun dengan
lingkungan Blimbing yang letaknya di sebelah utara dusun. Kedua lingkungan
tersebut, melaksanakan bersih dusun secara terpisah tempat tetapi tetap dalam
hari yang sama.
Di Dusun Dringo biasanya bersih desa dipimpin oleh Mbah Kadiran (67
tahun). Di dalam kegiatan tersebut, Mbah Kadiran bertindak sebagai imam
atau yang bertugas ngajatne. Menurutnya, bersih dusun yang dilaksanakan
setahun sekali itu berfungsi untuk nulak gudo sengkolo awet bagas waras ngajeng
kulawan wingking ipun (Menolak segala goda dan musibah yang akan melanda
Dusun Dringo dan agar selalu diberi kesehatan dalam masa-masa yang telah
lalu maupun masa yang akan datang). Maksud dan tujuan tersebut diutarakan
oleh Mbah Kadiran pada awal acara di hadapan para hadirin yang hadir dalam
kegiatan bersih dusun tersebut. Setelah mengutarakan maksud dan tujuannya,
kemudian Mbah Kadiran melanjutkan dengan berdo’a untuk meminta
keselamatan. Baru setelah itu, maka hadirin yang hadir boleh makan-makan
apa yang telah dihidangkan sebelumnya.
Masyarakat Dringo sangat percaya akan kekuatan bersih dusun.
Sehingga, ketika ditanya mengenai apa yang akan terjadi jika tidak
melaksanakan, Mbah Kadiran tidak memberikan jawaban secara meyakinkan.
Agaknya, ada rasa takut yang sengaja disembunyikan. Menurutnya,
masyarakat Dringo sama sekali tidak mengharapkan adanya musibah,
sehingga bersih dusun harus terus dilaksanakan setiap tahunnya.
Mengenai makanan yang dihidangkan juga sangat unik. Makanan
utama yang harus ada adalah giling sekul, yaitu nasi yang dikepal-kepal sebesar
tangan orang dewasa dan dibungkus dengan daun jati. Nasi tersebut
dikeluarkan oleh masing-masing keluarga. Adapun untuk lauk yang biasanya
berupa ayam, itu merupakan tambahan. Apabila tidak ada, maka tidak menjadi
soal. Namun, apabila diinginkan biasanya warga iuran untuk membeli ayam.3

2. Megengan
Megengan merupakan adat istiadat yang dilakukan oleh masyarakat
Dusun Dringo sebelum melaksanakan ibadah puasa pada bulan Ramadhan.
Tujuannya adalah untuk meminta keselamatan kepada Allah SWT, agar dalam
menjalankan ibadah puasa, diberi kekuatan dan kesehatan.

Foto 2: SAMIRAN, Hidangan wajib dalam ritual megengan

3Hasil wawancara dengan Mbah Kadiran, tokoh masyarakat pemimpin kegiatan bersih dusun.
Selasa, 11 Agustus 2009 pukul 16.35 WIB
Megengan ini dilakukan setiap warga secara bergantian. Beberapa tahun
sebelumnya, megengan dilakukan bersama-sama pada hari yang sama,
sehingga banyak sekali hidangan yang disediakan tidak dimakan oleh para
undangan karena sudah merasa kenyang. Untuk mencegah hal tersebut, para
warga setuju merubah waktu megengan menjadi seminggu atau dua minggu
sebelum puasa dan dilakukan secara bergantian, setiap hari satu orang. Dengan
demikian, hidangan yang disajikan akan dimakan oleh para hadirin.
Mengenai hidangan yang disajikan dalam acara megengan tersebut
terdapat beberapa jenis. Yang pertama dan paling penting adalah samiran yaitu
nasi yang dibentuk seperti tumpeng, namun kecil dan atasnya tidak lancip. Di
atasnya juga dilengkapi dengan srondeng (parutan kelapa yang digoreng) dan
lauk. Samiran tersebut, menurut penduduk lokal, berfungsi sebagai media
mengirim do’a kepada para leluhur.
Selain samiran, masih ada kue apem dan jajanan pasar. Kue apem juga
merupakan hal yang penting, sehingga harus selalu ada dalam acara
megengan. Sedangkan jajan pasar hanya sebagai pelengkap atau pencuci
mulut.

3. Kethingan (Kething-Kething)
Kethingan adalah suatu adat-istiadat yang dilakukan masyarakat Dusun
Dringo ketika akan menyapih bayi (supaya tidak menetek lagi). Kegiatan ini
dilakukan ketika bayi sudah berumur 1,5 sampai 2 tahun. Di Dusun Dringo,
adat kethingan dipimpin oleh seorang dukun bayi yang sudah berpengalaman,
yaitu Mbah Warikem (65 tahun). Selain kethingan, Mbah Warikem juga
mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan kelahiran seorang bayi, mulai
dari menolong persalinan, potong pusar, hingga memandikan. Mbah Warikem
akan terus berkecimpung sampai jangka waktu satu bulan pasca melahirkan.
Adat kethingan di Dusun Dringo tergolong unik. Paling awal, memasuki
ritual tersebut, bayi diberi among-amongan, dengan tujuan sebagai mainan sang
bayi agar tidak menangis karena sudah tidak menetek lagi kepada ibunya.
Selanjutnya, Mbah Warikem sebagai pemegang otoritas tertinggi
pelaksanaan kethingan di Dusun Dringo, membuat suatu racikan pilihan yang
pada prosesi selanjutnya akan dipilih oleh bayi yang bersangkutan. Racikan
pilihan tersebut, dimaksudkan untuk memberikan prediksi terhadap si bayi
kalau sudah menginjak masa dewasa. Dalam arti, apabila sudah dewasa kelak,
bayi tersebut akan menjadi apa dan cenderung seperti apa, akan bisa diprediksi
melalui racikan pilihan tersebut.
Racikan pilihan bagi bayi pada acara kethingan terdiri dari pisang, milon
(kaca rias), jungkas (sisir rambut), buku, ikan ayam, dan kebogerang. Selain itu,
terdapat juga kembang wangi, yang nantinya akan digunakan untuk
memandikan4 bayi yang bersangkutan. Setelah racikan pilihan tersebut siap,

4 Prosesi mandi bayi pada acara kethingan juga tergolong unik. Bayi yang sudah waktunya
dikethingi akan dimandikan dengan air kembang wangi yang telah disediakan pada pukul 4
maka bayi dilepas disamping racikan tersebut dan oleh Mbah Warikem
disuruh memilih apa yang disukainya, dan dengan nalurinya, dia akan
memilih sendiri bagian apa yang menurutnya paling menarik.
Pilihan-pilihan tersebut masing-masing mempunyai makna. Menurut
Mbah Warikem, apabila nantinya bayi memilih milon atau jungkas, maka nanti
dia akan suka bersolek, apabila memilih buku maka akan suka bersekolah dan
mencari ilmu. Dan apabila si bayi memilih kebogerang, maka nanti kalau sudah
besar akan menyukai angon.

4. Makam Berjaring
Di Dusun Dringo terdapat suatu keanehan sosial atau kejanggalan yang
mungkin sangat tidak bisa diterima oleh akal sehat manusia. Hal itu terjadi
dalam proses pemakaman seseorang. Dimana setiap ada orang yang
meninggal, makamnya harus diberi jaring dan ditunggui sampai beberapa hari.
Mengenai hal itu, mereka memiliki sebuah mitos yang berkembang
menjadi sebuah realita yang sering muncul dalam masyarakat. Sebuah
keanehan yang sering terjadi setiap setelah proses pemakaman, dimana yang
terjadi mayat selalu hilang dan tidak diketahui keberadaanya ketika hari sudah
memasuki malam. Menurut masyarakat, jenazah tersebut hilang karena
diambil oleh harimau. Selebihnya, masyarakat tidak memahami dan betul-
betul terperangkap dalam suatu kebingungan. Mereka tidak begitu mengerti
kejadian aneh yang telah terjadi sejak lama dalam sejarah Dusun Dringo.

Foto 3: MISTIK, Tanda lingkaran dan anak panah adalah makam


yang dilengkapi dengan jaring

Banyak spekulasi yang berkembang dalam masyarakat menanggapi hal


ini. Ada pihak yang memandang dari sudut ilmiah, namun kebanyakan warga
memandang menurut sudut mistis yang cenderung irasional. Mereka yang
menilai dari sudut ilmiah berpendapat, bahwa yang terjadi adalah sebuah

dini hari. Selain itu, juga harus mencari hari yang bagus, yaitu hari-hari pada bulan Besar dan
Sapar.
kesalahan dalam proses pemakaman mayat, yaitu mengenai kedalaman liang
lahat. Mereka menilai proses pengerukan tanah yang dilakukan warga tidak
begitu layak menurut ukuran umumnya karena kondisi tanah Dringo yang
berbatu. Pendapat ini sempat mengalami perdebatan yang begitu pelik dalam
masyarakat dan pada akhirnya pendapat ini ditempatkan menjadi sebuah
hipotesa sementara.
Dan seiring berjalannya waktu, hipotesa tersebut akhirnya terpatahkan
oleh kejadian-kejadian yang menurut kenyataannya tidak mendukung dan
menyudutkan statemen ilmiah tersebut. Misalnya, ada sebuah kejadian pada
makam baru yang berlubang sebesar lengan orang dewasa. Dan di sekitar
makam tersebut telah berserakan kain kafan yang digunakan untuk
membungkus jenazah. Setelah kuburan dibuka untuk menceknya, ternyata
benar, jasad yang terkubur di dalamnya telah lenyap.
Secara logika, tidak mungkin seekor harimau dengan nafsu binatangnya
bisa mengambil jasad yang terkubur di dalam tanah dengan hanya
meninggalkan bekas lubang sebesar lengan orang dewasa dan tidak merusak
gundukan yang lain. Hal itulah yang semakin memperbesar keyakinan
masyarakat bahwa harimau tersebut adalah harimau siluman.
Peristiwa tersebut masih kerap sering terulang. Padahal, berbagai upaya
ilmiah telah di lakukan oleh warga, diantaranya mengupayakan untuk setiap
kegiatan pengerukan liang lahat untuk mengukurnya menurut kaidah Islam,
yaitu sak dedeg sak pengawe atau kalau diukur secara matematis sekitar 1,5
meter. Namun masih saja kejadian-kejadian aneh itu terjadi dan menghantui
penduduk Dringo.
Menurut seorang dukun yang berpikir secara pragmatis, irasionalis, dan
terkesan tidak memberikan solusi, kejadian itu adalah kejadian mistis yang
dilakukan oleh kelompok orang-orang berilmu hitam yang menginginkan
sebuah tumbal atau wejangan sajen untuk suatu pencapaian kekuatan magis
yang lebih tinggi dan tak terkalahkan oleh lawan-lawanya khususnya sesama
penganut ilmu hitam. Mereka berdalih dan berkeyakinan bahwa cara yang
utama untuk meningkatkan ilmu adalah dengan melakukan banyak kerusakan
di bumi, seperti membunuh, mencuri, dan segala bentuk kenistaan di dunia
ini. Tumbal digunakan sebagai perantara atau mahar untuk mewujudkan
kekuatan yang hebat dalam tingkatannya. Dalam modus yang dilakukan untuk
melancarkan aksinya mereka selalu menggunakan media jin yang diwujudkan
dalam bentuk harimau.
Masyarakat Dusun Dringo akhirnya memilih jalannya sendiri untuk
menyelesaikan masalah ini. Mereka menggunakan cara konvensional dengan
memasang jaring di sekeliling makam, selain itu mereka juga menjaga makam
selama 7-20 hari dengan cara bergiliran. Setiap malam dengan diterangi oleh
petromaks, sekitar 6-8 orang warga yang mendapat giliran tidur disekeliling
makam yang masih basah tersebut. Bersama semakin gelap dan dinginnya
malam yang dibalut oleh angin gunung yang datang semilir, kejadian tersebut
membuat kesan angker di Dusun Dringo semakin terasa.
D. Pola Pertanian Masyarakat
Dalam hal pertanian, Dusun Dringo termasuk daerah yang kurang
menguntungkan. Ditinjau dari kondisi fisik daerahnya, Dringo didominasi oleh
perbukitan yang tanahnya kering dan tandus serta berbatu yang hanya cocok
untuk tanaman-tanaman jangka panjang, seperti akasia, jati, dan kelapa.
Pertanian di Dusun Dringo hanya dilakukan sekali dalam setahun pada
saat musim penghujan. Tanaman musiman yang menjadi andalan masyarakat
Dringo adalah padi, jagung, kacang, dan ketela yang ditanam dengan sistem
tumpang sari.

Tabel: 1.1
Kalender Musim Tanam Dan Panen
MAR

NOV
AGU

OKT
APR

JUN
MEI
DES

JAN

FEB

SEP
JUL
Musim Hujan Kemarau Hujan
Curah
Tinggi Sedang Rendah Sedang
hujan
Padi Tanam Panen
Jagung Tanam Panen
Kacang Tanam Panen
Ketela Tanam Panen
Kelapa Petik Petik Petik

Keterangan:
Hasil buah kelapa banyak
Hasil buah kelapa sedikit

Musim penghujan dimulai dari bulan Oktober sampai Maret, sedangkan


musim kemarau dimulai pada bulan April sampai September. Curah hujan
pada musim kemarau sangat lah rendah. Namun pada bulan September
sampai Oktober, curah hujan bertambah karena merupakan musim pancaroba
dari kemarau menuju musim penghujan. Begitu juga halnya pada bulan Maret
dan April yang notabene adalah musim pancaroba dari penghujan ke kemarau.
Padi mulai ditanam pada bulan Desember, di mana pada bulan tersebut
curah hujan cukup tinggi yaitu sekitar 527 mm dengan jumlah hari hujan
sebanyak 20 hari dengan rata-rata 26,35 mm/ hari.5 Hal ini sesuai dengan
kebutuhan padi yang harus ditanam dengan tingkat kelembaban tanah yang
cukup tinggi. Kemudian padi yang telah ditanam mengalami masa perawatan
pada bulan Januari dan Februari, sehingga penanaman padi yang diproses
selama tiga bulan dapat dipanen pada bulan Maret. Pada bulan ini curah hujan
sedikit menurun menjadi sedang, sehingga sangat sesuai pula dengan waktu
panen untuk padi.

5 BPS Pacitan. Pringkuku dalam Angka 2008. Hal. 7


Proses penanaman padi di Dusun Dringo terjadi satu kali setahun, hal
ini disebabkan karena bibit yang tersedia hanyalah bibit konvensional yang
hanya bisa ditanam bergantung pada musim penghujan yang terjadi satu kali
dalam setahun. Sehingga jelas bahwa selama ini di Dusun Dringo panen padi
terjadi hanya sekali setiap tahunnya.
Jenis padi yang biasa ditanam oleh masyarakat adalah padi Seherang,
Slegreng dan Nam empat. Pada saat tebo labuh, yang pertama kali disebar adalah
pupuk kandang. Hal ini bertujuan untuk menyuburkan dan menggemburkan
tanah setelah lama tidak ditanami. Setelah pupuk kandang disebar, giliran
selanjutnya adalah menyebar bulir padi.6
Bulir padi yang akan digunakan sebagai benih, tidak selalu ditanam
dengan cara disebar secara acak, tetapi juga bisa dilakukan dengan taju (gejik:
Jawa). Cara penanaman dengan taju, memakan waktu yang relatif lebih lama
dibandingkan dengan cara penyebaran secara acak, karena petani harus
membuat lubang di lahan yang akan ditanami dengan jarak 50-70 cm. Setelah
itu bulir padi dimasukkan ke dalam lubang dan ditimbun dengan tanah yang
telah ditaburi pupuk kandang sebelumnya. Namun kelebihan cara ini adalah
lebih memudahkan petani pada saat nanti akan matun.
Dalam jangka waktu 1-2 minggu pasca penanaman, padi dipupuk
dengan Urea untuk lebih menguatkan akar dan batang padi. Bersamaan
dengan itu, biasanya pada umur dua minggu padi diwatun dengan cara
membersihkan rumput yang tumbuh di sela-sela tanaman. Dalam rangka
matun tersebut, para petani tidak melakukannya sendirian, namun dibantu oleh
4-6 orang yang masing-masing orang diberi upah sebesar Rp 15.000,- per hari.
Setelah berumur 1,5 - 2 bulan, yang waktu tersebut merupakan saatnya
pari meteng atau dandan, dipupuk dengan urea dan TS. Pupuk tersebut
dimaksudkan untuk memperbanyak bakal buah. Selanjutnya memasuki usia 2
bulan lebih seminggu, padi yang ditanam memasuki masa mbledug (berbunga).
Uniknya, pada usia padi seperti itu, ada ritual yang dilakukan oleh
petani Dusun Dringo. Padi tersebut disuwuk disertai dengan pembakaran
welirang (belerang). Mantra yang digunakan dalam ritual tersebut merupakan
mantra-mantra yang disusun dalam redaksi berbahasa Jawa, yang salah satu
kalimatnya berbunyi, “Walang sangit, lembing iyeng-iyeng sak kutu-kutu walang
togo bubar buyar adem asrep suminggaho sing adoh. Ojo ono sakjroning tanduranku.
Pangananmu glagah pengalang-alang bubar buyar adem asrep ketiban izine Allah
SWT.”7
Tujuan ritual tersebut adalah untuk mencegah datangnya penyakit-
penyakit padi seperti walang sangit, wereng dan lain-lain. Bisa dikatakan,
ritual tersebut merupakan sarana untuk membasmi atau mencegah hama padi

6 Masyarakat Dusun Dringo, tidak pernah menyemai bibit padi, tetapi hanya menyebar butir
padinya. Hal itu dikarenakan lahan Dringo yang tidak cocok untuk persemaian bibit serta
minimnya air. Sedangkan persemaian bibit sangat memerlukan air yang berlimpah.
7 Belalang sangit, lembing beserta kutu walang togo, bubar, pergi yang jauh jangan ada di

dalam tanamanku. Makananmu adalah rumput alang-alang, bubar, karena izin Allah SWT.
sebagai pengganti pestisida kimia. Karena memang, masyarakat Dusun Dringo
sendiri sangat antipati dan takut menggunakan pestisida. Menurut mereka,
pestisida hanya berakibat buruk pada padi, berbau, dan bisa mengakibatkan
tanah menjadi cengkar.
Hasil dari ‘pengobatan alternatif’ tersebut sangat luar biasa. Menurut
penuturan masyarakat, setelah diadakan ritual tersebut tidak ada hama yang
datang, kalau pun ada itu hanya sedikit dan masih dalam ambang batas
kewajaran.
Setelah dilakukan ritual tersebut, selanjutnya masyarakat petani hanya
menunggu hingga waktunya panen. Setelah menguning dan mblengker padi
tersebut dipetik. Pemetikannya dilakukan dengan bergotong-royong. Warga
yang rumahnya saling berdekatan, saling gotong-royong dan bergantian.
Misalnya, terdapat enam rumah yang berdekatan, maka enam kepala keluarga
tersebut saling bergotong-royong. Hari ini di sawah Bapak Sayuri, maka jika
sudah selesai, besok dilanjutkan di sawah bapak Tukino, dan seterusnya. Hasil
pertanian padi yang rata-rata 9 kuintal tiap panen, disimpan untuk dikonsumsi
selama satu tahun.
Selanjutnya untuk tanaman jagung, penanamannya dilakukan pada
bulan Desember yang memiliki curah hujan cukup tinggi. Umur jagung sama
dengan umur padi, yaitu tiga bulan, sehingga bisa dipanen pada bulan Maret
bersamaan dengan padi. Jenis jagung yang biasa ditanam adalah jenis hibrida.
Menurut warga, jagung jenis ini sangat menguntungkan. Selain buahnya besar,
hasilnya juga sangat banyak. Biasanya, jagung ditanam bersamaan dengan padi
dan ketela, dan dalam penanamannya harus menggunakan taju dan membuat
lubang, karena jagung harus ditanam dengan jarak tertentu agar
pertumbuhannya bisa optimal.
Untuk kacang, penanaman dilakukan pada bulan April dan dipanen
pada bulan Juni. Hal ini sangat sesuai dengan karakter kacang yang baik
tumbuh pada kondisi tanah yang tingkat kelembabannya kecil atau cukup
kering. Penanamannya dilakukan setelah masa panen padi dan jagung
sehingga tidak memerlukan pupuk lagi, cukup sisa pupuk yang ditaburkan
pada saat menanam padi dan jagung.
Untuk menanam kacang, harus membuat lubang terlebih dahulu. Untuk
mempermudah matun dan agar pertumbuhannya bisa optimal. Dua minggu
pasca penanaman, kacang kemudian disiangi rumputnya. Pada umur 1 bulan
lebih satu minggu kacang mulai berbunga dan diurug agar isinya banyak.
Lahan seluas ¾ ha biasanya menghasilkan kacang basah sebanyak 4 kuintal
dan menjadi sekitar 2,5 kuintal ketika dikeringkan. Harga kacang basah Rp
2.500-3.000/ kg sedangkan kacang kering lebih mahal lagi, yaitu dalam kisaran
Rp 5.000/ kg.
Sedangkan untuk ketela, dalam prosesnya memerlukan waktu selama
delapan bulan. Ketela ditanam pada bulan Desember, bersamaan dengan padi
dan jagung, dan baru panen pada bulan Agustus. Hasil panennya bisa
mencapai 6-10 kuintal. Harga grinting atau gaplek adalah Rp 600-700/ kg.
Buah kelapa di Dusun Dringo cukup melimpah. Hampir di setiap
wilayah pekarangan warga terdapat pohon kelapa yang menjulang tinggi.
Bahkan sepanjang jalan tidak henti-hentinya terlihat pohon kelapa. Hasil
produksi buah kelapa sendiri mengalami intensitas yang tertinggi pada musim
hujan, yaitu antara bulan Oktober hingga Maret. Pada bulan-bulan ini produksi
bisa mencapai 150-200 buah setiap bulan namun karena hasil melimpah, maka
harga menjadi murah yaitu hanya sekitar Rp 600,-/ biji. Sedangkan pada
musim kemarau, bulan April hingga September, produksi buah kelapa lebih
sedikit yaitu antara 75-100 setiap bulan. Ketika buah kelapa jarang, maka
harganya pun meningkat sampai kisaran Rp 1000,-/ biji. Sebagaimana kita
ketahui, untuk memanen kelapa cukup menanam pohonnya sekali untuk
selamanya dan untuk seterusnya hanya perlu dilakukan pemetikan buahnya.
Penduduk Dusun Dringo mempunyai penghasilan yang melimpah pada
saat bulan-bulan panen. Sedangkan selain bulan-bulan panen, penghasilan
mereka dapatkan dari hasil memetik kelapa. Hasil penjualannya harus
disimpan dan dihemat sampai bulan berikutnya hingga memetik kembali.
Selain dari hasil panen kelapa, warga Dringo juga menjadi buruh angkat kayu
untuk menambah penghasilan mereka.
BAB II
MENEROPONG MASALAH MENYINGKAP DERITA

Individu yang bermasyarakat dan hidup dalam suatu komunitas tentu


mempunyai pikiran, visi, dan misi yang berbeda-beda. Perbedaan-perbedan
tersebut diakibatkan oleh kepentingan-kepentingan masing-masing individu
yang berbeda pula. Adanya paradigma, dan kepentingan yang berbeda
tersebut melahirkan suatu dinamika bermasyarakat.
Perbedaan yang terjadi dalam masyarakat merupakan suatu hal yang
sangat wajar. Namun, dalam perkembangan selanjutnya, apabila masalah-
masalah tersebut terus menurus muncul ke permukaan, maka akan semakin
runcing dan berpotensi menimbulkan polemik yang berkelanjutan. Dalam
menyikapi permasalahan tersebut, masyarakat Dusun Dringo cenderung
pasrah terhadap keadaan dan kondisi fisik yang selama ini membelenggu
mereka. Selain itu, mereka juga cenderung hidup mengikuti arus dan
kebiasaan yang selama ini berlaku dan diwariskan oleh orang-orang sebelum
mereka. Sedangkan keinginan untuk berinovasi dan melangkah lebih cepat ke
depan sangat kecil dan bisa dikatakan tidak ada. Sehingga hal itu bisa
berpengaruh terhadap kualitas kehidupan masyarakat sendiri Dringo sendiri.
Berikut adalah beberapa permasalahan yang selama ini dirasakan oleh
masyarakat Dringo.

a. Air (Tidak) Mengalir Sampai Jauh


Air mengalir sampai jauh dan akhirnya sampai di laut. Begitulah kira-
kira salah satu redaksi lagu gesang. Secara teori, memang air mengalir sampai
jauh dari tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah. Namun,
agaknya hal itu tidak untuk Dusun Dringo.
Selama ini, air memang menjadi masalah utama bagi masyarakat Dusun
Dringo. Padahal, itu adalah sumber kehidupan serta kebutuhan pokok nomor
wahid bagi warga. Untuk memenuhi kebutuhan minum, mencuci, dan segala
aktifitas yang memerlukan air, masyarakat harus rela ngangsu dengan memikul
air dari Sebrok8 yang jaraknya sekitar 1 km dari Dusun Dringo yang
memerlukan waktu tempuh sekitar 30 menit sekali jalan dengan medan jalan
yang curam dan berbatu.

8 Sebrok merupakan nama tempat, termasuk dalam wilayah dusun Gondang sekitar 1 km dari
Dusun Dringo. di tempat tersebut telah dibangun bak penampungan air darurat yang
langsung berasal dari mata air.
Foto: 4 PERJUANGAN, Seorang
warga sedang memikul air dari
penampugan air di Sebrok

Untuk pulang pergi saja dibutuhkan waktu 1 jam dengan membawa 2


jerigen air bersih ukuran 15 liter. Air sebanyak itu digunakan untuk keperluan
masak dan minum untuk satu keluarga beranggotakan 3-4 orang. Untuk
selebihnya warga mengambil lagi dengan berjalan kaki. Misalnya untuk
minum hewan peliharaan seperti kambing dan sapi. Bisa dibayangkan kalau
setiap hari warga Dusun Dringo dua kali pulang-pergi berjalan kaki
mengambil air dengan pikulan, berarti mereka setiap hari sudah menghabiskan
waktu 2 jam dan menempuh 4 kilometer serta memikul beban 20 kilogram
beban dipundak dibawa sepanjang jalan. Apabila ini dikalikan 30 hari, maka
hasilnya adalah 60 jam waktu yang diperlukan untuk berjalan dan 120
kilometer jarak yang ditempuh serta 600 kilogram total beban yang sudah
dipikul.
Sungguh suatu perjuangan yang sangat berat. Namun mereka tidak
mempunyai pilihan. Meskipun berat, kaki harus tetap melangkah, demi
seteguk air penghilang dahaga. Harapan untuk bisa mendapatkan air tanpa
harus berjalan jauh, tak akan pernah padam, dan selalu tertanam di dalam
sanubari mereka.
Foto 5: SEBROK, tempat
penampungan air inilah
warga Dusun Dringo
menggantungkan hidupnya

Apabila musim hujan datang, masyarakat agak sedikit terbantu. Mereka


memanfaatkan air hujan untuk keperluan MCK. Sedangkan untuk minum dan
memasak, masyarakat tetap menggunakan air dari sumber. Mereka membuat
semacam bak penampungan semi permanen untuk menampung air hujan. Air
hujan yang berkumpul di cucuran dialirkan ke bak penampungan dengan
menggunakan pipa atau batang bambu yang dibelah.
Sebenarnya, di Dusun Dringo terdapat dua mata air, yaitu mata air
Tukluk dan Belikgunung. Kedua mata air tersebut terletak di bawah pohon
besar yang menurut masyarakat setempat telah berusia ratusan tahun, yaitu
pohon Beringin dan Laronan. Khusus mata air Belikgunung, konon katanya
merupakan bekas telapak kaki para wali yang menyebarkan agama Islam di
Pulau Jawa. Namun, kedua mata air tersebut hanya mengalir secara maksimal
pada waktu musim penghujan. Sedangkan pada musim kemarau debit airnya
sangat kecil.
Perjuangan untuk meneguk setetes air belum berhenti sampai di situ.
Masyarakat harus rela antri berjam-jam sambil membawa jerigen. Mereka
seperti berlomba. Terkadang mereka harus berangkat pukul 23.00 agar
mendapat antrian paling depan. Namun, terkadang sampai pukul 05.00 baru
mendapatkan air. Adakalanya mereka harus bangun pagi buta sekitar pukul
03.00. Lamanya mengantri air sangat dipengaruhi oleh debit air dan jumlah
antrian.
Menurut salah seorang warga, usaha untuk mencari sumber air yang
permanen, sudah dilakukan berkali-kali, namun gagal. Kegagalan tersebut
lebih disebabkab oleh faktor geologis Dusun Dringo. Batu-batuan yang ada di
Dusun Dringo merupakan batuan yang keras dan berongga-rongga yang lebih
mirip dengan batuan yang menjadi penyusun goa. Dan memang, dibawah
Dusun Dringo terdapat dua goa yang di dalamnya terdapat sumber air, yaitu
Goa Plethes dan Goa (luweng) Belikgunung yang panjangnya mencapai pantai
selatan.9
Menurut salah seorang warga, Bambang (31 tahun), sebenarnya di
dalam Goa Plethes terdapat sumber air, namun, tidak layak untuk konsumsi.
Penyebabnya adalah kadar kapur yang terdapat dalam air tersebut terlalu
tinggi. Selain itu jalan masuk menuju goa sangat sempit, bahkan harus dengan
berjongkok.
Berbeda dengan Goa Plethes, sumber air juga ditemukan di dalam Goa
Belikgunung. Sumber air yang ada di goa ini, sangat representatif dan layak
untuk dikonsumsi. Namun yang menjadi masalah adalah, Goa Belikgunung
lebih menyerupai luweng dengan kedalaman 25 m dengan dinding yang tegak
lurus. Sehingga, untuk masuk ke dalamnya harus menggunakan tali dan
keahlian khusus.
Sebenarnya, sejak tahun 1984 di Dusun Dringo telah dibangun saluran
pipa air yang bersumber dari Plenthe Desa Pringkuku yang berjarak sekitar 10
km dari Dusun Dringo. Bersama dengan Dusun Sumur yang terletak sebelah
barat daya Dusun Dringo. Masyarakat sepakat untuk membangun saluran air.
Pipa besi untuk saluran air tersebut merupakan kompensasi bagi seluruh
warga Dusun Dringo dan Sumur karena telah ikut berpartisipasi dalam
pembangunan jalan yang menghubungkan Sebrok (Gondang) dan Tugu Jaran
(Pagah) selama 52 hari.
Dalam kerja bakti tersebut, sebenarnya setiap warga di beri kompensasi
sebesar Rp 350,-/ hari. Namun, dengan kesepakatan bersama seluruh uang
kompensasi warga selama kerja bakti diganti dengan pipa.
Berikut adalah peta pipa saluran air yang pernah dibangun oleh
masyarakat Dusun Dringo dan Sumur.

9Hasil wawancara dengan Bambang, salah seorang tokoh muda dan pernah memasuki Goa
Plethes, Kamis, 13 Agustus 2009 pukul 19.22 WIB
Gambar: 2

Pada awal pembuatannya, saluran air hanya diperuntukkan bagi warga


masyarakat Dusun Dringo dan Sumur. Pipa tersebut bersumber di Plenthe
Desa Pringkuku dan untuk sampai ke Dusun Dringo dan Sumur, harus
melewati dua dusun, yaitu Dusun Ngasinan dan Gondang. Namun kemudian,
di sinilah masalah mulai muncul. Masyarakat dusun yang berada di hulu,
terutama masyarakat Dusun Ngasinan mulai melancarkan sabotase terhadap
saluran pipa air tersebut. Dalam peta di atas, lokasi sabotase adalah yang
ditandai dengan garis merah terputus-putus.
Mereka melubangi pipa dan memasang saluran yang lebih kecil untuk
mengalirkan air ke rumah-rumah mereka. Aksi pencurian tersebut tergolong
cerdik, karena saluran yang mereka buat ditanam di dalam tanah. Akibatnya
air yang mengalir ke Dusun Dringo dan Sumur tersendat dengan debit yang
sangat kecil.
Duka masyarakat Dringo dan Sumur belum berhenti sampai di situ.
Pada tahun 2007, masyarakat dusun Dawung dan Jlubang dengan dibantu
organisasi Pidra mengadakan perluasan jaringan saluran air secara sepihak.
Artinya, perluasaan jaringan oleh masyarakat Dusun Dawung dan Jlubang
tidak didahului dengan koordinasi dan musyawarah yang baik dengan
masyarakat Dusun Dringo dan Sumur sebagai pihak yang lebih berhak atas
saluran air tersebut.
Perkembangan selanjutnya, pipa saluran air ke arah Dawung dan
Jlubang selesai digarap dan dilakukan connecting dengan memasang stop kran
pada titik persimpangan di Dusun Ngasinan. Dengan demikian, saluran air
yang bersumber di Plenthe bercabang dua. Yang pertama menuju ke arah
Dusun Dringo dan Sumur, dan kedua menuju Dusun Dawung dan Jlubang.
Dengan adanya percabangan tersebut, pemerintah Desa Jlubang
mengesahkan Peraturan Desa (Perdes) tentang pembagian air. Namun pada
akhirnya, Perdes tersebut tidak berjalan secara optimal. Indikasi dari hal itu,
masyarakat Dringo dan Sumur hingga sekarang tidak bisa menikmati air dari
mata air Plenthe secara optimal, karena air tidak pernah sampai ke bak
penampungan yang telah dibangun. Air hanya mengalir sehari dalam
seminggu bahkan terkadang sama sekali tidak mengalir.
Setelah dilakukan penyelidikan ternyata petugas pembagi air pada stop
kran di Dusun Ngasinan, bekerja tidak sesuai prosedur. Stop kran yang
mengarah ke Dusun Dawung dan Jlubang dibuka secara penuh, sedangkan
yang mengarah ke Dusun Dringo dan Sumur dibuka sebaliknya. Akibatnya,
karena Dusun Dringo dan Sumur letaknya lebih tinggi, maka tekanan air
kurang kuat sehingga tidak sampai ke tempat tujuan.
Masyarakat Dringo sudah seringkali melakukan protes. Anehnya,
setelah dilakukan protes, 2-3 hari air dapat mengalir. Namun, kemudian mati
lagi. Hingga akhirnya masyarakat menyerah. Menurut warga, pembagian air
tersebut sangat bermuatan politis, indikasinya, Dusun Dawung dan Jlubang
merupakan ‘pusat pemerintahan’ desa Jlubang dan banyak dihuni oleh para
petinggi desa.10
Lengkap sudah penderitaan warga Dringo dalam hal air. Pipa saluran
air yang seharusnya bisa mengalirkan tetesan air untuk memenuhi segala
kebutuhan warga dusun, kini berubah mengalirkan air mata penderitaan. Pipa
dari sumber Plenthe hanya mengalir menuju Dusun Dawung dan Jlubang yang
pada peta ditunjukkan oleh garis putus-putus warna hijau. Sedangkan yang ke
arah Dusun Dringo dan Sumur, yang ditunjukkan oleh garis putus-putus
warna biru, telah mati, seperti matinya harapan warga kedua Dusun Dringo
dan Sumur untuk mendapatkan air dari saluran pipa tersebut.
Namun, tidak selamanya warga Dusun Dringo akan bisa bertahan
menghadapi keadaan yang selama ini telah menyita separoh dari hidupnya
untuk memperjuangkan air. Harus ada tindakan nyata untuk menyudahi
penderitaan ini. Harapan-harapan warga tentang kemudahan mencari setetes
air harus segara diwujudkan.

b. Bertumpu pada Kekuatan Ekonomi yang Rendah


Masyarakat Dusun Dringo bila dilihat dari kondisi ekonominya
termasuk ekonomi tingkat menengah ke bawah, hanya beberapa orang saja
yang kehidupannya cukup. Mereka yang kehidupannya cukup memiliki
pekerjaan yang mapan. Seperti Sunarto (40 tahun) sebagai kontraktor, Paimin
(45 tahun) sebagai tukang kayu, petani dan peternak kambing, Tusimin (58
tahun) sebagai Kepala Dusun dan istrinya sebagai pedagang. Sebagian ada juga
yang bekerja di Jakarta sebagai pegawai kantor, pekerja pabrik dan kerja

10 Hasil wawancara dengan Pak Sunarto. Jum’at, 7 Agustus 2009. 13.10 WIB
serabutan. Akan tetapi, mereka tidak tinggal dan menetap di Dusun Dringo,
melainkan hanya datang ketika hari raya.
Selain orang–orang tersebut rata–rata kehidupan masyarakat Dringo
berkekurangan. Mereka kebanyakan tetap bekerja apa adanya di dusun. Rata–
rata pekerjaan warga Dusun Dringo adalah bercocok tanam di lahan yang
kondisi tanahnya kurang subur. Selain itu ada juga beberapa warga yang
bekerja sebagai buruh angkat kayu jati.
Berdasarkan hasil diskusi bersama dengan kelompok ibu–ibu atau pun
bapak–bapak tentang perhitungan kebutuhan harian mereka tergolong rendah.
Meskipun kebutuhan mereka tergolong rendah akan tetapi pengasilan mereka
tetap tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan harian. Satu hari dana yang
mereka habiskan untuk memenuhi kebutuhan harian kurang lebih sebesar Rp.
5.000,- untuk membeli lauk dan bumbu. Untuk kebutuhan lain seperti beras,
kelapa dan sayuran mereka jarang bahkan hampir tidak pernah membeli,
karena mereka mendapatkannya dari hasil kebun/sawah sendiri. Sedangkan
peralatan masak yang digunakan relatif sederhana yaitu berupa tungku
dengan bahan bakar kayu dan daun kelapa kering, sehingga mereka tidak
perlu merogoh kocek lebih dalam untuk membeli minyak tanah.

Foto 6: MELIMPAH, Ketela


merupakan salah satu komoditas
Dusun Dringo

Dikatakan penghasilan mereka tidak cukup untuk memenuhi


kebutuhan harian karena tidak sebanding dengan hasil yang mereka peroleh.
Misalnya hasil dari panen ketela yang panennya hanya 1 tahun sekali dijual
dalam bentuk kupas kering atau yang biasa disebut grinting atau gaplek dengan
harga berkisar antara Rp 600 – Rp 700/ kg dengan hasil panen 6 – 10 kw tiap
kali panen. Bila dihitung perolehan yang mereka dapat berkisar antara Rp
360.000,- – Rp 700.000,-/ tahun. Belum lagi tenaga yang dikeluarkan yaitu
tenaga pemilik lahan, tenaga mengupas ketela, tenaga menjemur ketela
sekaligus pengangkutan dari kebun untuk dijual, benih dan pupuk tidak
dihitung. Kalaupun dihitung jelas tidak akan ada laba bahkan lebih condong
merugi. Demikian juga dengan hasil panen yang lain seperti padi, kelapa,
kacang tanah dan melinjo jika diperhitungkan secara terperinci pasti banyak
ruginya. Dengan segala kekurangan, mereka tidak pernah mangeluh karena
mereka tidak mempertimbangkan untung rugi yang mereka peroleh, tapi yang
terpenting lahan mereka ditanami, memperoleh hasil dan cukup untuk makan.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari yang memang harus dibeli,
seperti lauk dan bumbu, masyarakat Dusun Dringo mengandalkan penjual
sayur keliling. Hal itu terjadi, karena memang di Dusun Dringo tidak ada satu
pun toko/ warung permanen yang berdiri. Hanya ada warung semi permanen
milik Ponikem (40 tahun) yang diletakkan di dalam rumah dan hanya buka
pada hari-hari tertentu saja.
Selain mengandalkan penjual sayur keliling, masyarakat Dringo
biasanya juga pergi ke pasar Candi yang terletak di desa Candi sekitar 15 km
sebelah timur Dusun Dringo. Pasar tersebut hanya buka pada hari pasaran
Pahing dan Kliwon. Akan tetapi, masyarakat Dringo tidak lah setiap hari
pasaran selalu pergi ke pasar. Mereka kebanyakan hanya pergi sebulan sekali
atau dua kali dan belanja banyak untuk kebutuhan selama 15-30 hari. Biasanya
mereka pergi pagi-pagi sekali sekitar pukul 05.00 dan pulang sekitar pukul
08.30 dengan menumpang angkot bak terbuka yang hanya lewat sekali dalam
sehari.
Di Dusun Dringo sebenarnya banyak memilki potensi yang cukup baik,
namun banyak kendala yang menyebabkan dusun ini tidak berkembang.
Diantaranya sulitnya pemasaran hasil panen. Hal ini disebabkan karena
sulitnya alat transportasi untuk mencapai kota serta susahnya alat komunikasi.
Selain itu, masyarakat Dusun Dringo kurang memiliki koneksi dengan pihak
luar untuk menjual hasil panen yang diperoleh. Kendala lain yang dihadapi
oleh masyarakat Dusun Dringo yaitu tidak adanya kelompok usaha mikro
yang disebabkan kurangnya koordinasi antar warga. Sehingga pangalaman
yang mereka dapatkan juga sangat kurang yang berakibat pada kurang
berkembangnya sektor ekonomi mereka.
Masyarakat Dusun Dringo memanfaatkan hasil panen hanya untuk
dikonsumsi sendiri. Terlebih lagi padi, hanya dikonsumsi sendiri untuk jangka
waktu setahun. Untuk lebih menghemat konsumsi beras, mereka
mencampurinya dengan thiwul. Warga hanya menyisihkan sebagian kecil dari
hasil panen untuk digunakan sebagai bibit untuk musim tanam selanjutnya.
Untuk jenis panenan jagung, kacang, ketela, kelapa, dan melinjo,
masyarakat Dusun Dringo menjualnya kepada para pengepul yang ada di
Dusun Dringo dengan harga jual yang tidak terlalu tinggi. Sehingga, untung
yang diperoleh sangat kecil, atau bisa dikatakan rugi. Akibatnya, apabila
masyarakat terdesak kebutuhan dan kekurangan uang mereka terpaksa
menjual ternak yang dimiliki dan akan membelinya kembali apabila telah
memiliki uang.
Foto 7: MELINJO, Salah satu
sumber ekonomi masyarakat
Dringo

Selain menjual hasil panen dan ternak, masyarakat Dusun Dringo juga
mengandalkan hasil dari penjualan tanaman jati jika mereka dalam keadaan
terdesak. Harga jati dengan diameter 25-30 cm adalah sekitar 2 – 3,5 juta
rupiah/ batang. Sebagai contohnya, ketika Pak Sayuri dihutangi kerabatnya
untuk keperluan yang sangat mendesak sebesar 4,5 juta, maka dia cukup
menjual pohon jatinya sebanyak dua batang.
Untuk ke depannya masyarakat Dusun Dringo mengharapkan
terciptanya usaha ekonomi mikro yang lebih berkembang dan alat komunikasi
yang memadai. Dengan demikian, harapan untuk bisa meningkatkan
kesejahteraan hidup dan kekuatan ekonomi keluarga yang lebih baik bisa
terwujud.

c. Kontelasi Kuasa dan Agama


Seluruh masyarakat Dusun Dringo memeluk agama Islam dan mengaku
sebagai muslim. Namun, pengetahuan keagamaan mereka masih sangat
kurang atau lebih populer dengan istilah Islam KTP atau muslim abangan.
Masyarakat didominasi oleh kelompok muslim abangan dengan prosentase
hampir 65% dari seluruh masyarakat Dusun Dringo. Sedangkan 20% sisanya
adalah kelompok muslim kejawen. Adapun muslim taat hanya sekitar 15%
saja. Sehingga wajar jika kegiatan keagamaan di Dusun Dringo cenderung
menurun.
Gambar: 3
PETA PERSEBARAN AGAMA ISLAM DI DUSUN DRINGO

Dampak tersebut sangat terasa pada aspek kesadaran untuk melakukan


kegiatan peribadatan dan keagamaan. Sebagai contoh, dalam hal beribadah
shalat, menurut pengakuan Rohimah (55 tahun), apabila waktu sudah
menunjukkan pukul 17.00 sedangkan ia belum menjalan shalat Ashar, maka ia
tidak melaksanakan shalat Ashar. Karena menurutnya, pada waktu tersebut
waktu untuk shalat Ashar sudah habis. Contoh lain, Sayuri (55 tahun) tidak
melaksanakan shalat Ashar, karena baru saja pulang dari tegalan, alasannya,
badannya kotor dan belum mandi. Sedangkan untuk mandi dan mencari air
memerlukan waktu yang lama sekitar 30-45 menit untuk pulang pergi ke
Sebrok.
Masyarakat Dusun Dringo juga masih banyak yang memelihara anjing
yang notabene di dalam ajaran Islam, hewan tersebut najis dan haram dimakan.
Akan tetapi, mereka seakan menutup mata akan hal itu. Mereka tidak segan-
segan untuk memegang dan mengelus anjing-anjing peliharaan tersebut.
Berdasarkan pantauan, jumlah anjing yang sekarang masih dipelihara di
Dusun Dringo adalah sekitar lima ekor. Menurut salah seorang pemilik anjing,
Tusimin (61 tahun), anjing tersebut digunakan untuk menjaga rumah atau
dijual.
Masyarakat Dusun Dringo dalam kehidupan kesehariannya masih
berhubungan dengan dukun, meskipun dalam sistem kehidupan
bermasyarakat, dukun bukanlah yang utama. Dalam hal sakit seperti yang
dialami Mbah Sogimah (70 tahun) misalnya, keluarganya lebih mempercayai
kekuatan dukun daripada berobat ke dokter. Padahal, biasanya syarat yang
diajukan oleh si dukun sangat berat untuk ukuran ekonomi masyarakat Dusun
Dringo. Dukun tersebut terkesan “memeras” pasien. Demikian juga dengan
keluarga Mbah Sogimah harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang
diajukan jika pasien ingin sembuh. Di antara persyaratan yang harus dipenuhi
adalah seekor kambing, ayam, beras, air kembang tujuh warna ,dan sejumlah
uang.
Sebenarnya, penyakit yang menimpa Mbah Sogimah adalah darah
rendah. Karena rujukan penyembuhan yang dituju bukanlah tempat yang
tepat, maka penyakit tersebut semakin parah, meskipun segala persyaratannya
telah terpenuhi. Dan akhirnya dengan segala pertimbangan, si sakit dibawa ke
puskesmas Punung yang perlengkapan medisnya relatif lengkap. Hasilnya,
tiga hari menjalani rawat inap, Mbah Sogimah sembuh dan diperbolehkan
pulang.

Gambar: 4
Diagram Alur Kepercayaan Masyarakat Dusun Dringo

Tokoh Kam
Masyara pus
kat

Musli
Kyai m Taat Elit
Desa Desa

Musli
m
Kejawe Musli
n m
Abang
Duk
an
un

Pada kenyataannya Dusun Dringo terdiri atas beberapa jenis


karakteristik warga yang dapat diklasifikasi dan dikelompokkan sebagai
berikut: muslim taat, muslim kejawen, muslim abangan, dukun, elit desa,
kampus, tokoh masyarakat, dan kyai desa. Namun demikian, masyarakat
Dusun Dringo terbagi atas tiga jenis kelompok keagamaan besar, yaitu muslim
taat, muslim kejawen dan muslim abangan, sedangkan yang lain berada di luar
karakteristik utama warga, namun tetap memiliki pengaruh.
Jenis karakter muslim taat tentu saja yang rajin beribadah di masjid atau
mushalla setempat terutama untuk melakukan shalat berjamaah rutin. Selain
itu ketika hari-hari besar Islam tiba, jenis kelompok inilah yang berpartispasi
aktif menyelenggarakan kegiatan tersebut.
Muslim taat di Dusun Dringo sedikit berhubungan dengan kyai desa
setempat. Mereka secara proaktif mempengaruhi kyai desa itu sendiri, bukan
sebaliknya, dalam arti bahwa keberadaan muslim taat di Dusun Dringo tidak
dipengaruhi oleh kyai desa namun justru adanya kyai desa itu sebagai efek
dari eksisnya muslim taat setempat. Dari kehidupan muslim taat itulah muncul
sosok yang dituakan dan dijadikan imam yang disebut kyai desa, yang di
Dusun Dringo peran ini dipegang oleh Mbah Ibrahim (65 tahun).
Meskipun demikian, hal ini tidak terlalu berpengaruh besar terhadap
satu sama lain, karena kyai di Dusun Dringo hanya berperan sebagai
seseorang yang bisa memimpin doa sekaligus imam dalam shalat maupun
dalam kegiatan ritual keagamaan masyarakat seperti: tahlilan, tasyakuran, dan
lain sebagainya. Hal ini sangat bertentangan dengan makna sebenarnya, yang
semestinya sosok kyai adalah tokoh yang mampu menjadi imam tidak hanya
dalam shalat melainkan seharusnya mampu membangun jiwa dan spiritual
dalam masyarakat, mengarahkan mereka untuk bersikap lebih rasional dan
tidak mempercayai hal-hal yang bersifat mistis atau irrasional, sehingga
mayarakat lebih bertindak sesuai dengan kodratnya sebagai manusia yang
lebih “mempercayai” Allah serta mendahulukan logika atau akal sehat dalam
menyelesaikan masalah. Tetapi dalam kenyataanya masyarakat lebih
mempercayai dukun dalam menyelesaikan setiap masalah yang menghimpit
mereka, seperti dalam hal pengobatan berbagai penyakit. Kasus seperti yang
dialami Mbah Sogimah merupakan cermin, dari pada melalui pengobatan
tenaga medis yang dilakukan oleh tangan dokter atau bidan lebih baik
menggunakan jasa dukun.
Tokoh masyarakat dengan muslim taat di Dusun Dringo saling
mempengaruhi satu sama lain. Meskipun demikian, hubungan keduanya tidak
terlalu besar, karena selain jumlah muslim taat yang sedikit, juga dikarenakan,
tokoh masyarakat yang mempunyai pengaruh tersebut berada dalam
kelompok muslim taat yang jumlahnya hanya sekitar 11 rumah.
Selain itu, tokoh masyarakat Dusun Dringo mempengaruhi secara aktif
muslim kejawen dan muslim abangan. Keadaan muslim kejawen yang
merupakan salah satu dari tiga kelompok utama masyarakat Dringo cukup
dipengaruhi oleh tokoh masyarakat di sana. Demikian pula dengan warga
muslim abangan atau biasa disebut dengan sebutan Islam KTP, yaitu warga
yang tercatat secara resmi beragama Islam namun hampir tidak pernah
melaksanakan ibadah yang diperintahkan Islam itu sendiri.
Sedangkan muslim kejawen adalah warga yang secara resmi beragama
Islam, namun yang dianut bukan murni Islam sebagaimana yang dianut oleh
muslim taat, melainkan agama Islam yang didalamnya masih tercium bau
falsafah Jawa yang hingga sekarang masih melekat. Kelompok ini tidak terlalu
aktif dalam mengaktifkan mushalla setempat termasuk ritual-ritual agama
Islam.
Muslim kejawen dan muslim abangan sama-sama mempunyai pengaruh
ke dukun. Karena memang, kedua kelompok inilah yang masih berhubungan
dengan dukun. Perbedaannya, muslim kejawen jarang berhubungan
sedangkan muslim abangan sangat sering berhubungan dengan dukun,
bahkan, mereka menggunakan dukun sebagai peran yang sangat substansial
dalam hidup mereka. Peran dukun di Dusun Dringo sedikit dipengaruhi oleh
warga muslim kejawen, karena peran dukun hanya digunakan sebagai
pelengkap saja, mereka lebih mempertimbangkan norma dan dogma sebagai
umat yang beragama dan mengakui keesaan Tuhan.
Elit desa yang dalam hal ini adalah perangkat desa seperti lurah, kepala
dusun dan modin, sangat berpengaruh terhadap keadaan warga kampus/
mahasiswa di Dusun Dringo. Selain itu, mereka juga masih sedikit
berhubungan dengan dukun yang keahliannya masih dimanfaatkan untuk
berbagai kepentingan. Meskipun tidak semua elit desa berhubungan dengan
dukun, namun secara umum, peran dukun mempunyai pengaruh yang tidak
sedikit terhadap elit desa.
Warga yang mengenyam pendidikan hingga bangku kuliah, yang dalam
hal ini masuk ke dalam entitas kampus, tidak mempunyai peran aktif diantara
para warga karena jumlahnya yang sangat sedikit. Tercatat, hanya satu orang
yang masih kuliah yang itu pun juga sudah menikah, yaitu Edi (24 tahun) anak
kepala dusun. Mahasiswa tersebut dipengaruhi oleh dua entitas masyarakat,
yaitu elit desa dan tokoh masyarakat. Sebagaimana diketahui, hal ini
disebabkan oleh tingkat pendidikan dari para elit desa dan tokoh masyarakat
desa itu sendiri. Dengan keadaan Dusun Dringo yang kurang mendukung,
warga yang masuk ke dalam entitas kampus di Dusun ini hampir tidak
memiliki peran/ pengaruh terhadap komponen masyarakat lainnya.
Dengan demikian terdapat 6 entitas relasi kuasa dan kelompok
masyarakat. Diantaranya 6 entitas tersebut adalah tokoh masyarakat, takmir
masjid, perangkat desa, komunitas muslim abangan, dukun dan komunitas
kampus. Tokoh masyarakat merupakan entitas yang paling berpengaruh
dalam masyarakat, karena dalam kenyataannya tokoh mayarakatlah yang
memiliki kontribusi dalam hal kegiatan sosial keagamaan, baik berupa materi
atau berupa masukan saran yang sangat membantu dalam hal pemecahan
masalah mereka.
Gambar: 5
Diagram Besaran Pengaruh Antar Entitas Terhadap Masyarakat
Dusun Dringo

Dari diagram di atas, dapat diketahui bahwa tokoh masyarakat dengan


takmir masjid termasuk kelompok yang memiliki pengaruh kuat dan
bersentuhan langsung dengan masyarakat. Mereka adalah kelompok yang
berpartisipasi langsung dalam segala bentuk rencana dan realisasi kegiatan
yang bertujuan menghidupkan kegiatan keagamaan dalam masyarakat, seperti
pengajian yasinan rutin, pendidikan Al Qur’an di musholla maupun kegiatan
dalam upaya untuk menyambut datangnya hari-hari besar Islam.
Selain itu, dalam jumlah mereka yang sangat kecil dibandingkan entitas
lainnya, tokoh masyarakat adalah yang paling memperhatikan dan peduli
terhadap masyarakat sekitar dan kegiatan-kegiatan keagamaan. Sedangkan
masyarakat lainnya cenderung bersikap apatis dan pasif terhadap kegiatan
yang bersifat keagamaan, namun terkadang juga ada beberapa kelompok
masyarakat yang turut partisipasi dalam kegiatan.
Muslim abangan beranggapan sempit dan cenderung apatis terhadap
agama. Menurutnya, memenuhi kebutuhan keluarga itu merupakan hal yang
lebih penting dibandingkan dengan menyisipkan kegiatan keagamaan di
antara jadwal harian mereka.
Selain itu, terdapat pula kelompok lain yang memiliki entitas besar,
namun kurang memiliki pengaruh terhadap kegiatan kemasyarakatan
khususnya keagamaan, misalnya, perangkat desa dan kelompok muslim
abangan. Seperti yang tergambarkan dalam diagram di atas, dapat terlihat
bahwa perangkat desa memiliki entitas yang lebih kecil dibandingkan dengan
kaum muslim abangan, karena perangkat desa hanya memiliki pengaruh
bersifat kelembagaan saja.
Selain yang telah disebutkan sebelumnya, terdapat pula dukun sebagai
entitas kecil yang juga kurang memiliki pengaruh terhadap warga masyarakat
Dusun Dringo. Dukun di sini hanya memiliki pengaruh dalam hal pengobatan
dan adat istiadat yang juga masih kental dan terasa sekali ritusnya.
Komunitas kampus memiliki urutan paling akhir. Selain memiliki jarak
yang sangat jauh dengan masyarakat, komunitas kampus termasuk entitas
yang sangat kecil baik dari segi urgensi dan pengaruhnya. Memang,
masyarakat Dusun Dringo kurang memperhatikan aspek pendidikan, hal ini
terlihat dari riwayat pendidikan penduduk yang berhenti hanya sampai tingkat
SMP, sedangkan yang berhasil mengenyam pendidikan sampai bangku kuliah
hanya seorang saja.

d. Pendidikan dan Paradigma Masyarakat


Pendidikan bagi masyarakat Dringo bukan dianggap hal yang pokok.
Bagi mereka memenuhi kebutuhan setiap hari adalah yang harus didahulukan.
Pada tahun 2009 ada 17 anak yang masih belajar pada jenjang Sekolah Dasar
dan tiga orang pada jenjang SMP. Sedangkan untuk jenjang SMA tidak satu
pun warga Dusun Dringo yang bersekolah pada jenjang tersebut. Para pemuda
usia SMA lebih suka pergi merantau ke luar daerah untuk pemenuhan
ekonomi dari pada sekolah. Hal itu dikarenakan, selain tempat sekolah yang
jauh, juga taraf ekonomi keluarga yang sangat rendah. Sehingga, untuk
membiayai sekolah sampai jenjang SMA sangat sulit untuk dilakukan.
Indikasi itu juga diperkuat dengan adanya beberapa kasus putus
sekolah. Tercatat, terdapat dua kasus pada jenjang SD dan satu kasus pada
jenjang SMP. Para orangtua pun tidak ambil pusing jika anak mereka
khususnya perempuan, tidak melanjutkan sampai jenjang SMA. Hal ini karena
setelah lulus SMP sebagian besar mereka langsung dinikahkan dan bagi yang
laki-laki langsung bekerja baik ke luar kota maupun di Pacitan sendiri. Bagi
mereka, sekolah bukanlah sesuatu yang sangat penting. Sekolah sudah
dianggap cukup apabila sudah bisa membaca dan menulis. Daripada
meneruskan sekolah, akan lebih baik jika bekerja ke luar kota, dapat uang
selanjutnya menikah. Paradigma seperti inilah yang selama ini mengungkung
para pemuda Dusun Dringo. Mereka sangat antusias untuk merantau mencari
penghidupan ke luar kota. Akan tetapi, mereka tidak mempertimbangkan satu
hal yang sangat penting, yaitu skill dan ijasah sekolah. Padahal, untuk bisa
mendapatkan pekerjaan yang layak di kota, tuntutan skill yang mumpuni
sangat besar.
Selain masalah pendidikan formal, pendidikan non-formal juga menjadi
salah satu permasalahan yang cukup kompleks di Dusun Dringo. Sebab, di
Dusun Dringo kegiatan belajar mengaji sudah sejak lama terhenti. Salah satu
pendidikan non formal yang ada di Dringo adalah Taman Pendidika Al-Qur’an
(TPA). Sebenarnya, proses pembelajaran TPA di Dusun Dringo mempunyai
sejarah panjang dan telah dimulai sejak tahun 1948 oleh Mbah Simin. Dalam
perkembangannya, pengajian TPA tersebut menelurkan penerus Mbah Simin
yang meninggal pada tahun 1964, yaitu Mbah Somorejo yang mulai mengajar
pada tahun yang sama. Selain itu, ada juga Mbah Ibrahim yang merupakan
pendatang dari Desa Dersono yang mulai membantu Mbah Somorejo pada
tahun 1972. Sepeninggalan Mbah Somorejo, tongkat estafet diteruskan oleh
Mbah Ibrahim. Namun, sejalan dengan usia Mbah Ibrahim yang semakin senja,
intensitas pembelajaran di TPA tersebut mulai berkurang dan benar-benar
terhenti pada tahun 2006. Setelah periode itu, masih ada penerus Mbah Ibrahim
yang juga muridnya, yaitu Mbak Nasihah. Namun, karena dia menikah dan
mempunyai anak, kegiatan pengajian tersebut vakum kembali.
Berikut adalah tabel sejarah perkembangan pengajian Al Qur’an di
Dusun Dringo dari tahun ke tahun.

Tabel: 2
PENELUSURAN SEJARAH
PERKEMBANGAN PEMBELAJARAN AL QUR’AN
TAHUN KEJADIAN
Pengajian rutin setiap sore untuk anak-anak mulai dilakukan
1948
oleh Mbah Simin
Mbah Simin meninggal dan sejak itu pengajian dilakukan oleh
1964
muridnya yaitu Mbah Somorejo
Mbah Ibrahim yang merupakan pendatang dari daerah Dersono
1972 datang ke Dusun Dringo dan membantu Mbah Somorejo dalam
mengajar
1. Pembangunan satu-satunya mushalla di Dusun Dringo di
atas tanah wakaf almarhumah Mbah Sholikinah dan
1994 dikerjakan secara swadaya masyarakat
2. Pengajian yang sebelumnya berada di rumah pemangku
mushalla, dipindah ke mushalla agar lebih intens

Mbah Somorejo meninggal, dan pengajian sepenuhnya


1997
dilakukan oleh Mbah Ibrahim
Intensitas Pengajian yang dilakukan Mbah Ibrahim semakin
1998 berkurang, karena dia sudah tua dan tidak ada penerusnya serta
diperparah dengan minimnya air
2006 Pengajian yang dilakukan Mbah Ibrahim sama sekali terhenti
1. Pengajian digiatkan lagi oleh Mbak Nasihah
2. Dia menikah dan mempunyai anak
2007 3. Pengajian kembali terhenti
4. Dilakukan renovasi masjid dengan bantuan orang-orang
Dringo yang merantau di Jakarta
2008 Pengajian vakum dan sama sekali terhenti

Kegagalan dan kevakuman proses pengajaran TPA di Dusun Dringo


merupakan buntut dari tidak adanya guru dan terhentinya proses kaderisasi.
Bisa dikatakan, dalam hal guru mengaji ini, Dusun Dringo belum bisa
melakukan kaderisasi guru ngaji. Oleh sebab itu perlu ada usaha pengkaderan
guru mengaji sebagai bagian dari proses pembelajaran masyarakat.

e. Eksodus dan Kecenderungan Masyarakat


Satu lagi fenomena yang terjadi di Dusun Dringo adalah terjadinya
eksodus besar-besaran masyarakat, terutama para pemuda. Di dusun yang
seluas 1600 m2 tersebut, hanya ada sekitar 13 orang pemuda yang sembilan
diantaranya sudah berkeluarga. Pertanyaan yang timbul kemudian, mengapa
mereka memilih eksodus dari dusun mereka? Bukankah seharusnya mereka
menetap untuk bisa mengawal kemajuan dusun mereka?
Hanya ada satu jawaban pasti. Mereka merantau atau bahkan menetap
di luar dusun adalah karena faktor ekonomi. Memang, dengan keadaan dusun
yang seperti Dringo, lapangan pekerjaan akan susah didapatkan, apalagi jika
tidak mempunyai skill yang mumpuni dalam suatu bidang pekerjaan. Diam
dan tinggal di dusun tersebut, dianggap sebagai suatu kebodohan. Apa yang
akan diharapkan dari dusun tandus dan berbatu serta kesulitan air seperti itu?
Sedangkan hidup perlu biaya, anak dan istri juga memerlukan makan. Berdiam
dan tinggal di dusun terpencil seperti itu hanya akan menghabiskan waktu
tanpa bisa meningkatkan kesejahteraan hidup dan ekonomi keluarga. Maka,
eksodus untuk bekerja di kota adalah pilihan yang paling tepat.
Kecenderungan eksodus masyarakat Dringo telah berjalan sejak tahun
1970. Bahkan, warga Dringo yang sudah sukses banyak yang menetap di
Jakarta dan mendirikan organisasi yang bernama Ikatan Keluarga Dringo
Jakarta (IKDJ), yang sampai saat ini telah mempunyai anggota sekitar 350
orang. Semuanya adalah masyarakat asli Dusun Dringo yang telah sukses di
Jakarta.
Sebagian besar dari mereka merantau karena beberapa alasan, pertama,
tidak adanya lahan pekerjaan yang lebih menjanjikan masa depan mereka.
Kedua, mereka mencari modal untuk membuka lahan pekerjaan baru karena
hasil yang mereka peroleh selama bekerja di daerah Pacitan tidak cukup untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ketiga, untuk mencari pengalaman, dan
keempat, adalah karena sulitnya air di Dusun Dringo.
Kecenderung-kecenderungan lain masyarakat Dringo dapat dilihat
seperti dalam tabel berikut.
Tabel: 3
KECENDERUNGAN DAN PERUBAHAN MASYARAKAT
DUSUN DRINGO

2001 2003 2005 2007 2009 KETERANGAN


Banyak penduduk
0 0
JUMLAH yang menikah
0 0 0
PENDUDUK dengan warga lokal
0 0 0 0
dan menetap
0 0 0 0 0
0
0
PENDUDUK Kurangnya
0 0
MERANTAU lapangan pekerjaan
0 0 0 0
0 0 0 0 0
0
Suksesnya program
0 0
JUMLAH Keluarga Berencana
0 0 0 0
KELAHIRAN (KB)
0 0 0 0
0 0 0
0 Pengetahuan dan
PERNIKAHAN
0 0 Kesadaran
USIA MUDA
0 0 0 masyarakat semakin
(PEREMPUAN)
0 0 0 0 tinggi

Dusun Dringo terdiri dari 65 kepala keluarga dengan jumlah penduduk


total pada tahun 2009 sebanyak 229 jiwa. Jumlah kematian pada tahun yang
sama tidak ditemukan. Sedangkan jumlah kelahiran sebanyak tiga orang, dan
jumlah penduduk yang merantau sebanyak 77 orang.
Pada tahun 2007, jumlah total penduduk Dusun Dringo adalah 226 jiwa,
dengan jumlah kelahiran 5 orang, kematian 5 orang, dan jumlah pendatang
sebanyak 3 orang. Tahun 2005 jumlah penduduknya 218 jiwa, dengan jumlah
kelahiran 10 orang, kematian 3 orang, dan pendatang sebanyak 1 orang.
Sedangkan pada tahun 2003 jumlah penduduk sebanyak 221 jiwa, dan
kematian tiga orang. Sedangkan angka kelahiran dan pendatang tidak
ditemukan atau kosong. Yang terakhir pada tahun 2001, jumlah penduduk 216
jiwa, dengan jumlah kelahiran 6 orang, kematian 1 orang dan jumlah
pendatang tidak ada.
Kecenderungan warga Dusun Dringo lainnya adalah pernikahan dini.
Indikasinya adalah sebagian besar warga Dusun Dringo menikah pada usia
belasan tahun setelah mereka lulus SMP atau bahkan lulus SD. Kebiasaan
“menyimpang” tersebut sudah terjadi sejak lama.
Pernikahan usia dini yang dilakukan oleh warga Dringo, berpengaruh
langsung pada peningkatan SDM di Dusun Dringo sendiri, sebab jika warga
Dusun Dringo memiliki pendidikan yang tinggi mereka akan mampu
mengolah SDA-nya yang melimpah dan tidak lagi ada yang merantau ke luar
kota atau bahkan keluar Jawa. Menurut Suranto (25 tahun) dan istrinya Dewi
(23 tahun) yang merupakan salah satu dari sekian banyak warga yang
menikah pada usia dini mengatakan, dengan menikah usia muda mereka
dapat meringankan beban kedua orang tua mereka, tanpa harus mengeluarkan
biaya kembali untuk bersekolah.
Meskipun banyak pasangan yang menikah pada usia subur, jumlah
kelahiran di Dusun Dringo tidak mengalami peningkatan yang signifikan,
bahkan cenderung menurun. Padahal, umumnya orang desa mempunyai
prinsip “banyak anak banyak rejeki”. Akan tetapi, ternyata prinsip yang
demikian ini tidak berlaku di Dusun Dringo. Bahkan mereka mengatakan
semua warga Dusun Dringo sejak tahun 1976 sebagian besar memakai alat
kontrasepsi KB sehingga setiap Kepala Keluarga (KK) paling banyak memiliki
2 sampai 3 anak bahkan ada yang hanya mempunyai 1 anak saja.

f. Potensi Wisata Berbalut Mistis


Dusun Dringo termasuk dalam rangkaian wilayah Kabupaten Pacitan
yang mempunyai bentang alam yang khas. Sama dengan dusun pedalaman
Pacitan lainnya, wilayah Dusun Dringo didominasi oleh perbukitan dengan
permukaan tanah yang berbatu. Namun, justru dengan wilayah yang seperti
itu, Dusun Dringo menyimpan eksotisme alam yang jika dikembangkan bisa
menjadi pusat pariwisata.
Tercatat, di Dusun Dringo terdapat tiga buah gua yang di dalamnya
menyimpan eksotisme mahakarya alam. Salah satunya adalah goa
Belikgunung yang terletak di Dusun Dringo bagian selatan.

Foto 8: EKSOTIK, Goa Belikgunung menawarkan eksotisme alami yang


belum pernah terjamah. Gambar diambil dari atas.

Untuk mencapai mulut goa Belikgunung, diperlukan tenaga ekstra.


Selain medan jalan yang hanya setapak, mulut goa juga terletak di atas lereng
bukit dengan kemiringan sekitar 80%. Menurut warga yang pernah masuk ke
dalamnya, goa Belikgunung sangat panjang dan tembus hingga ke pantai
selatan. Selain itu, di dalamnya juga terdapat telaga yang berair jernih. Akan
tetapi, yang menjadi kendala utama adalah mulut goa tidak landai seperti goa
pada umumnya, melainkan tegak lurus dengan dinding batu yang licin dengan
kedalaman sekitar 25 meter. Sehingga, untuk masuk ke dalamnya harus
menggunakan tali.

Foto 9: TERJAL, Goa


Belikgunung terlihat dari
bawah

Ada juga goa Blimbing yang letaknya di Dusun Dringo sebelah utara.
Sama dengan goa Belikgunung, goa Blimbing juga sangat sulit untuk masuk ke
dalamnya. Mulut goa berbentuk sumur dengan dinding yang tegak lurus
sedalam 10 meter. Menurut warga yang pernah masuk ke dalamnya, batu-batu
yang ada di dalam goa Blimbing dapat berbunyi seperti gamelan ketika
dipukul. Namun sayang, keindahan yang ditawarkan terancam rusak karena
warga sekitar sering mengambil bebatuan yang ada di sekitar mulut goa untuk
dijual. Anehnya, batu-batu tersebut memancarkan cahaya seperti kristal ketika
masih di dalam lambung goa yang gelap. Akan tetapi, ketika sudah dibawa
keluar, batu tersebut sama dengan batu-batu biasa yang tidak lagi bercahaya.
Selain goa Belikgunung dan Goa Blimbing, di Dusun Dringo juga
terdapat satu lagi goa yang bisa dikembangkan menjadi obyek wisata, yaitu
Goa Plethes. Goa ini letaknya sangat strategis karena berada di pinggir jalan
utama Dusun Dringo. Menurut warga, goa ini sangat dalam dan terdapat
sumber air yang berkadar kapur tinggi. Sayangnya, untuk masuk ke dalam
sangat susah, bahkan harus dengan berjongkok, karena mulut goa sangat
sempit dan rendah.
Foto 10: SEMPIT, Mulut goa
Plethes yang sempit, sehingga
untuk masuk ke dalamnya
harus berjongkok

Di balik keindahan dan potensi besar sebagai obyek pariwisata, goa-goa


tersebut menyimpan suatu rahasia yang sampai sekarang masih dipercayai
oleh masyarakat setempat. Mitos-mitos tersebut terus berkembang melingkupi
kehidupan masyarakat yang sederhana dan apa adanya itu. Goa Belikgunung
dipercayai paling menyimpan mistis. Memang, dilihat sekilas dari segi
fisiknya, goa itu terlihat angker dengan aura mistis yang tebal. Hal itu semakin
mempertebal keyakinan masyarakat, bahwa goa tersebut, merupakan goa yang
wingit dan berpenunggu. Menurut warga, semua makhluk halus yang pernah
mengganggu warga Dusun Dringo, berasal dari sekitar goa tersebut. Menurut
warga, daerah itu memang menjadi “rumah” bagi makhluk-makhluk halus dan
danyang. Hal itu dibuktikan dengan adanya supit urang yang terletak tepat di
bawah mulut goa. Para warga percaya, bahwa para lelembut suka mendiami
supit urang tersebut.
Masyarakat setempat takut untuk melihat atau mendekat kepada goa
tersebut. Bahkan, mereka akan melarang kepada orang yang akan
mendekatinya. Hal yang sama juga terjadi pada Tim Peneliti yang berniat
untuk melihat keberadaan goa tersebut. Ketika ditanya, mereka hanya
menjawab singkat, seperti ada ketakutan yang menyeruak dan rahasia yang
disembunyikan akan goa tersebut.

g. Komunitas Adat Terpencil (KAT)


Komunitas Adat Terpencil (KAT) merupakan program pemerintah
daerah Propvinsi Jawa Timur untuk mengentaskan daerah-daerah di Jawa
Timur yang masih berstatus tertinggal dengan berbagai kriteria yang telah
ditentukan. Adapun yang dimaksud dengan daerah terpencil merupakan
daerah yang relatif kurang berkembang dibandingkan daerah lain dan
wilayahnya jauh dari kota atau kabupaten dengan infrasturktur yang masih
terbatas, dan berpenduduk yang relatif tertinggal. Tujuan utama dari
pembangunan daerah-daerah yang tertinggal tersebut adalah untuk mengubah
suatu daerah yang dihuni oleh komunitas dengan berbagai permasalahan
sosial ekonomi dan keterbatasan fisik, menjadi daerah yang maju dengan
komunitas yang kualitas hidupnya sama atau tidak jauh tertinggal
dibandingkan dengan masyarakat lainnya. Selain membangun aspek ekonomi,
pembangunan daerah tertinggal juga menyangkut pembangunan aspek sosial,
budaya, dan keamanan (bahkan menyangkut hubungan antara daerah
tertinggal dengan daerah maju). Di samping itu kesejahteraan kelompok
masyarakat yang hidup di daerah terpencil dan tertinggal memerlukan
perhatian dan keberpihakan yang besar dari pemerintah.
Suatu daerah dikategorikan sebagai daerah tertinggal, karena beberapa
faktor penyebab, antara lain : secara geografis daerah terpencil dan tertinggal
yang relatif sulit dijangkau karena letaknya yang jauh di pedalaman,
perbukitan, pegunungan, kepulauan, pesisir, dan pulau-pulau terpencil atau
karena faktor geomorfologis lainnya sehingga sulit dijangkau oleh jaringan
baik transportasi maupun media komunikasi.
Kategori selanjutnya adalah sumberdaya alam. Beberapa daerah
tertinggal tidak memiliki potensi sumberdaya alam, daerah yang memiliki
sumberdaya alam yang besar namun lingkungan sekitarnya merupakan daerah
yang dilindungi atau tidak dapat dieksploitasi, dan daerah tertinggal akibat
pemanfaatan sumberdaya alam yang berlebihan.
Selain itu, sumberdaya manusia dan prasarana dan sarana juga menjadi
kategori. Pada umumnya masyarakat di daerah tertinggal mempunyai tingkat
pendidikan, pengetahuan, dan keterampilan yang relatif rendah serta
kelembagaan adat yang belum berkembang, serta keterbatasan prasarana dan
sarana komunikasi, transportasi, air bersih, irigasi, kesehatan, pendidikan, dan
pelayanan lainnya yang menyebabkan masyarakat di daerah tertinggal tersebut
mengalami kesulitan untuk melakukan aktivitas ekonomi dan sosial.
Selanjutnya, yang menjadi kategori adalah daerah tersebut merupakan
daerah rawan bencana dan konflik sosial serta adanya ketimpangan kebijakan
pembangunan. Terkadang, suatu daerah menjadi tertinggal dapat disebabkan
oleh beberapa kebijakan yang tidak tepat seperti kurang memihak pada
pembangunan daerah tertinggal, kesalahan pendekatan dan prioritas
pembangunan, serta tidak dilibatkannya kelembagaan masyarakat adat dalam
perencanaan dan pembangunan.
Sementara itu, dengan menilik kondisi dan keadaan geografis, sosial,
budaya, serta kemampuan ekonominya, Dusun Dringo merupakan salah satu
yang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan. Dan kenyataannya, program
yang digadang-gadang mampu mengubah keadaan masyarakat dari
“kegelapan” menuju kesejahteraan tersebut, telah masuk ke Dusun Dringo.
Program tersebut memasuki Dusun Dringo dalam wujud antara lain
rabat jalan sepanjang 1 km yang pengerjaannya oleh pemborong. Akan tetapi,
kontruksi rabat jalan tersebut sangat tidak layak sehingga cepat rusak. Menurut
warga Dusun Dringo hal itu disebabkan karena pasir lokal yang digunakan
dalam rabat tersebut kualitasnya sangat rendah. Pasir Dringo mempunyai
kandungan tanah yang tinggi, sehingga jika digunakan untuk bangunan daya
rekatnya rendah. Selain itu, campuran semen yang digunakan sangat kurang.
Seharusnya, satu sak semen digunakan untuk satu meter jalan, sedangkan pada
pengerjaan rabat jalan, satu sak semen digunakan untuk lebih dari satu meter
jalan. Menurut warga yang sempat bertanya kepada pemborongnya, takaran
semen memang sudah dipaskan, sehingga mereka tidak bisa berbuat apa-apa
walaupun warga meminta supaya satu meter rabatan dijatah satu sak semen.
Bantuan program KAT yang lain yaitu pembangunan lima buah MCK,
akan tetapi belum terealisasi. Bantuan berikutnya berupa bak air sebanyak 5
buah dan yang baru terealisasi baru 3 buah saja. Selanjutnya, adalah pipa
(paralon) saluran air sepanjang 4000 meter yang terdiri dari tiga ukuran, yaitu
pipa besar dengan ukuran Ø 2,5 sepanjang 1500 meter dan pipa kecil dengan
ukuran Ø 0,5 dan 0,75 sepanjang 2500 meter. Masyarakat Dusun Dringo juga
mendapatkan bantuan kambing sebanyak 130 ekor yang dibagikan 65 kepala
keluarga yang masing-masing KK mendapatkan jatah sebanyak 2 ekor. Akan
tetapi, kambing yang dibagikan kepada warga ada yang terserang penyakit
gudik (kudis) sehingga ada yang mati. Pemerintah telah menganjurkan untuk
mengambil gambar kambing yang terserang penyakit dan mati agar dapat
ditukar dengan kambing yang lain. Akan tetapi masyarakat Dusun Dringo
enggan melakukannya dengan alasan tidak mau repot berurusan dengan
pemerintah.
Pemerintah juga menginginkan pembangunan monumen KAT untuk
menandakan bahwa dusun tersebut masuk dalam program KAT, akan tetapi
monumen tersebut belum dibangun. Program pemerintah yang lain yang
realisasinya dalam waktu dekat adalah rehab mushalla dan pengadaan bibit
produktif.

Foto 12: MANGKRAK, Mesin


penggiling jagung dan
perontok padi yang belum
dimanfaat oleh masyarakat
Dusun Dringo

Selain bantuan tersebut di atas, masyarakat Dusun Dringo juga


mendapatkan bantuan berupa mesin perontok padi dan penggiling jagung
yang juga bisa digunakan sebagai penggiling tepung yang masing-masing
berjumlah enam buah. Namun, masyarakat belum mau menggunakannya.
Jangankan menggunakan, memegang saja masyarakat ketakutan seperti halnya
memegang api. Alasannya, mereka belum tahu cara pengoperasiannya dan
tidak terlalu membutuhkannya, karena mereka hanya memanen padi, jagung,
dan ketela hanya setahun sekali yang itu pun bisa diselesaikan meskipun tanpa
mesin. Selain itu, mereka masih menunggu perintah dari dinas terkait dalam
hal penggunaannya. Yang mereka takutkan adalah apabila mesin tersebut
digunakan dan ada kerusakan, sedangkan belum ada perintah, mereka akan
mendapat masalah jika ada audit terhadap bantuan tersebut.
BAB III
MENGURAI DERITA MEMBANGUN HARAPAN

Bentuk permasalahan yang ada di Dusun Dringo sangat kompleks.


Segala permasalahan yang mengungkung masyarakat Dusun Dringo, tersusun
dari berbagai unsur yang telah lama mengendap tanpa pernah digali. Endapan
berbagai macam permasalahan tersebut terakumulasi sehingga memberikan
akibat yang sangat kronis kepada kehidupan masyarakat Dusun Dringo yang
pada akhirnya menimbulkan kemunduran di setiap bidang kehidupan.
Endapan permasalahan tersebut harus segera digali dan dicairkan serta
dicari titik pangkal permasalahannya. Pada uraian ini akan dipaparkan
beberapa aksi yang dilakukan oleh tim pendamping sebagai langkah awal
untuk menggali dan mencairkan endapan-endapan permasalahan yang ada di
Dusun Dringo.
Diskusi pemetaan masalah ini difasilitasi oleh tim pendamping. Dari
diskusi bersama masyarakat tersebut diketahui bahwa permasalahan utama
yang sejak dulu menghantui masyarakat Dusun Dringo adalah kesulitan dalam
mencari air. Kekurangan air tersebut disebabkan salah satunya oleh keadaan
sumber air yang tidak layak konsumsi. Menurut pengakuan masyarakat,
sumber air tersebut mempunyai kandungan zat kapur yang sangat tinggi.
Selama ini, masyarakat Dusun Dringo belum ada yang mencoba menjernihkan
atau menetralkan kandungan kapur yang terdapat dalam air tersebut
dikarenakan harga alatnya sangat mahal.
Selain itu kekurangan air juga disebabkan oleh pipa bantuan pemerintah
yang belum terpasang. Hal ini terjadi, karena tidak ada koordinasi yang baik
antara masyarakat dan pemerintah sehingga pipa bantuan yang seharusnya
sudah bisa digunakan tidak berfungsi dan dibiarkan mangkrak begitu saja.
Selain itu, warga pun tidak mempunyai inisiatif dan terkesan hanya menunggu
perintah dari pemerintah Kabupaten Pacitan. Hal ini dikarenakan warga takut
jika pemasangan pipa nantinya tidak sesuai dengan petunjuk PDAM. Bahkan
fungsi kepala dusun yang seharusnya menggerakkan warga dan berkoordinasi
dengan pemerintah dalam pemasangan pipa tidak ada sama sekali dan
cenderung pasif. Akhirnya warga pun hanya bisa pasrah dan menunggu.
Penyebab lain kekurangan air di Dusun Dringo adalah dikarenakan
tidak berfungsinya pipa yang sudah ada. Hal ini terjadi karena adanya
kecemburuan dan sabotase dari dusun lain yang sama-sama menginginkan air.
Hal itu diperparah dengan adanya kecurangan dari panitia pembagi air di Desa
Ngasinan, yang merupakan akibat peraturan desa tentang air tidak berjalan
sama sekali dan aparat desa yang tidak tegas.
Kekurangan air sangat berdampak pada semua aspek kehidupan di
Dusun Dringo antara lain : a) Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti
untuk memasak, mandi, mencuci dan minum tidak terpenuhi secara optimal.
B) Tanah di Dusun Dringo merupakan tanah merah yang bisa ditanami semua
jenis tanaman palawija. Akan tetapi karena air di Dusun Dringo tidak ada, hasil
pertanian yang seharusnya bisa panen secara teratur dan bergantian jenis
tanamannya, tidak bisa diterapkan di Dusun Dringo ini. c) Masyarakat Dusun
Dringo merupakan masyarakat yang memiliki pengetahuan agama yang
kurang. Ini terbukti banyaknya masyarakat Dusun Dringo yang masih
memelihara anjing. Selain itu mereka beranggapan jika mereka sudah wudhu
dari rumah dan berangkat ke mushalla adalah sia-sia saja karena sesampainya
di mushalla tidak ada air yang bisa digunakan untuk mensucikan diri.
Sehingga kegiatan keagamaan di mushalla sangat minim bahkan bisa
dikatakan vakum. d) Sebagian besar masyarakat Dusun Dringo mempunyai
hewan ternak antara lain kambing, sapi dan ayam. Namun hewan ternak ini
tidak bisa berkembang secara maksimal karena apa yang dimakan dan
diminum sangat kurang, sehingga hewan ternak yang dimiliki oleh masyarakat
kelihatan kering dan kurus.

Gambar: 6
POHON MASALAH

Hewan Kebutuhan pokok


peternakan kurang Hasil pertanian Aktivitas akan air tidak
sehat dan tidak kurang maksimal peribadatan terpenuhi secara
produktif terganggu optimal

KEKURANGAN
AIR

Sumber air yang Pipa bantuan Saluran pipa


ada tidak layak pemerintah yang ada tidak
konsumsi belum terpasang berfungsi

Kandungan
Kurang Warga tidak
kapur sangat Adanya Terjadi
koordinasi punya
tinggi kecurangan sabotase
dengan inisiatif dan
dalam saluran
pihak hanya
pembagian pipa
terkait menunggu
air

Tidak ada Kepala Tidak ada Aparat


usaha untuk Perdes
dusun motor desa tidak
mengolah dan tentang
tidak penggerak tegas
menjernihkan air tidak
proaktif
berjalan

Ada
kecemburuan
masyarakat
Dari realitas penyebab dan akibat permasalahan kekurangan air di
Dusun Dringo, maka harapan yang diinginkan oleh masyarakat agar
kekurangan air bisa teratasi adalah seperti dalam pohon harapan berikut:

Gambar: 7
POHON HARAPAN

Hewan Kebutuhan pokok


peternakan sehat Hasil pertanian Aktivitas akan air terpenuhi
dan produktif bisa maksimal peribadatan secara optimal
lancar

KETERSEDIAAN
AIR

Sumber air yang Pipa bantuan Saluran pipa


ada layak pemerintah yang ada
konsumsi terpasang berfungsi

Kandungan
Koordinasi Warga
kapur sangat Tidak adanya
mempunyai Tidak
rendah dengan kecurangan
inisiatif dan ada
pihak dalam
lebih aktif sabotase
terkait lebih pembagian saluran
meningkat air pipa

Ada usaha Kepala Ada motor Aparat


untuk Perdes
dusun penggerak desa tegas
mengolah dan tentang
proaktif
menjernihkan air
berjalan

Tidak ada
kecemburuan
masyarakat

Ketersedian air dapat dilihat dari sumber air yang layak konsumsi,
terpasangnya pipa bantuan pemerintah, dan berfungsinya saluran pipa yang
ada dengan baik. Air dikatakan layak konsumsi jika kandungan kapurnya
rendah yang sebelumnya telah dilakukan penjernihan dan netralisasi. Air di
Dusun Dringo memiliki kandungan kapur yang cukup tinggi sehingga warga
mengharapkan adanya air dari PDAM untuk memenuhi kebutuhan sehari–
hari. Sedangkan pemasangan pipa bantuan pemerintah dapat terlaksana
dengan cepat jika terjadi koordinasi yang baik antara pemerintah dengan
masyarakat Dusun Dringo. Demikian pula diharapkan adanya peran aktif
kepala dusun sebagai motor penggerak warga yang mampu memberikan
motivasi kepada warga untuk cepat menyelesaikan pemasangan pipa tersebut.
Sebenarnya di Dusun Dringo sudah ada pipa yang berasal dari sumber
air tetapi tidak dapat digunakan karena disabotase oleh masyarakat dusun
lainnya. Oleh karena itu, masyarakat mengharapkan dapat berfungsinya pipa
yang ada dengan baik, tidak terjadi sabotase lagi oleh masyarakat dusun lain,
peraturan desa tentang air berjalan dengan baik. Karena air adalah sumber
kehidupan dan kesejahteraan masyarakat maka diharapkan ketegasan dari
aparat desa untuk bisa membagi air tersebut dengan seadil – adilnya.
Manfaat dari ketersediaan air yang melimpah adalah: terpenuhinya
kebutuhan hidup sehari – hari masyarakat, aktivitas beribadah berjalan dengan
lancar, hasil pertanian yang maksimal, dan sehat dan produktifnya hewan
ternak. Sehingga masyarakat Dusun Dringo tidak perlu lagi mengambil air dari
sumber mata air yang berjarak 1 km serta timbulnya kesejahteraan bagi
masyarakat Dusun Dringo. Demikian pula diharapkan masyarakat akan bisa
meningkatkan kualitas keberagamaannya, karena selama ini alasan masyarakat
tidak mau menjalankan shalat karena sulitnya air untuk mandi dan wudlu.
Diskusi resmi dengan semua warga dilaksanakan pada tanggal 25
Agustus 2009. Diskusi perdana ini membahas sebuah masalah yang tidak
semua warga paham dan mau mengetahui akan masalah tersebut. Dengan
diskusi ini, semua warga mendengar dan aktif berbicara dengan masalah
dusunnya sendiri yang sebelumnya hanya mlongo saja ketika diajak berdiskusi.
Diskusi yang diikuti oleh seluruh warga ini, dilaksanakan di balai
Dusun Dringo, tempat yang sebelumnya belum pernah digunakan berkumpul
seperti ini karena baru selesai dibangun. Dipilihnya balai dusun karena itu
merupakan fasilitas umum untuk seluruh warga. Selain itu, rumah warga tidak
ada yang cukup luas untuk menampung kumpulan semua warga.
Permasalahan utama yang dialami oleh Dusun Dringo seperti dalam
pohon masalah hasil pemetaan, adalah kekurangan air. Sehingga, diskusi pada
malam itu pun sudah langsung menjurus ke masalah perpipaan, meskipun
banyak masalah lain di Dusun Dringo. Warga meminta masalah pipa
didahulukan pembahasannya dan mendapatkan prioritas yang utama.
Proses diskusi tentang pipa ini, pertama kali dimulai dari perkenalan
bantuan pipa yang turun di Dusun Dringo ini. Karena pipa yang dibantukan
tersebut masih menyisakan sedikit permasalahan. Masalah pertama,
sebenarnya, yang diinginkan oleh warga bantuan pipa tersebut adalah pipa
yang terbuat dari besi, karena disesuaikan dengan keadaan alam Dringo yang
berbukit dan berbatu. Namun, bantuan yang datang berupa paralon yang
menurut pihak PDAM kurang layak untuk daerah seperti Dusun Dringo.
Masalah kedua, pipa tersebut belum diserahkan penggunaanya secara
resmi oleh Dinas Sosial Propinsi. Warga setempat merasa takut memegang
pipa tersebut, karena tidak ada serah terima resmi dengan warga. Sejauh ini,
serah terima hanya kepada kepala desa dengan permintaan tanda tangan oleh
tender yang mengirim pipa tersebut. Pipa-pipa ini hanya ditaruh begitu saja di
salah satu rumah warga tanpa ada surat menyurat dan bagaiman cara
penggunaanya. Seharusnya adalah ketika Dinas Sosial Propinsi mengirim
bantuan kepada warga semestinya memberikan pengarahan dan teknis
penggunaan dan pemasangan yang jelas, kalau perlu disertai dengan peta
lokasi pemasangan pipa tersebut sesuai dengan hasil survei dinsos sendiri.
Masalah ketiga, selain dalam jenisnya, bantuan pipa tersebut juga tidak
sesuai dengan ukurannya. Menurut kepala dusun, sejak awal pipa yang
diminta adalah pipa berukuran ø 2 (dim) untuk mengalirkan air dari Desa
Sugihwaras yang berjarak 2600 meter. Permintaan ukuran pipa tersebut bukan
asal-asalan, akan tetapi sudah didiskusikan terlebih dahulu dengan pihak
PDAM Pacitan sebagai teknisi pemasangan dan penyambungan dari pipa
induk. Akan tetapi, bantuan yang datang adalah pipa sebesar ½, ¾, dan 2 ½
dim, sehingga hal itu sempat membingungkan masyarakat.

Foto 13: MENYISAKAN MASALAH, Bantuan pipa yang belum


dipasang dan masih ditumpuk di rumah salah seorang warga

Masalah keempat adalah bantuan pipa tersebut tidak ada denah dan
teori teknis pemasangan dari pipa induk di Sugihwaras. Adapun survei yang
dilakukan oleh Dinsos dulu, sebelum menurunkan bantuan, pipa akan
disambung dari Desa Sugihwaras dan teknis pemasangannya oleh PDAM
berdasarkan peta yang akan diberikan selanjutnya kepada warga. Akan tetapi,
sampai sebulan lebih bantuan tersebut datang peta pemasangan belum ada.
Diskusi ini berakhir dengan kesepakatan untuk mengatasi masalah
perpipaan ini dengan segera. Namun masalah waktu belum bisa ditentukan
karena masih menunggu hasil dari proses negoisasi dengan dinas sosial.
Harapan warga Dusun Dringo hanya satu, yaitu bagaimana pipa tersebut bisa
segera digunakan untuk mengalirkan air dari Desa Sugihwaras tanpa
memerlukan tambahan dana lagi.
Langkah pertama dimulai dari sebuah keberanian untuk mengusut
masalah-masalah tentang perpipaan tersebut, dengan Dinas Sosial Kabupaten
Pacitan sebagai stakeholder. Akan tetapi, menurut pihak Dinas Sosial Pacitan,
bantuan pipa sepanjang itu bukan wewenangnya. Dalam arti, bantuan tersebut
sepenuhnya turun dari Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur langsung tanpa
melalui Dinas Sosial Kabupaten Pacitan.
Sedangkan menurut Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur, bantuan yang
turun ke Dusun Dringo, setelah tanggal turunnya bantuan adalah sepenuhnya
milik dusun, dan penggunaannya diserahkan kepada dusun. Dengan
demikian, telah jelas, bahwa bantuan pipa tersebut sudah menjadi hak dusun
dan bisa segera dipasang.
Satu masalah tentang perpipaan telah berhasil dipecahkan. Sudah ada
titik terang mengenai status bantuan tersebut. Bantuan dari Dinsos Propinsi
tersebut, secara sah dan meyakinkan telah menjadi milik warga Dusun Dringo
dan mengenai teknis pemasangannya diserahkan kepada masyarakat Dringo.
Akan tetapi, masih ada satu masalah lagi, yaitu mengenai ukuran pipa yang
tidak sama. Ukuran pipa 2½ dim, terlalu besar untuk disambungkan dengan
ukuran ¾ dim.
Mengenai masalah ini, ada masukan yang tidak terlalu sulit tetapi
lumayan beresiko. Warga menyarankan untuk menukarkan pipa yang
berukuran 2,5 dim dengan yang lebih kecil (2 Dim). Setelah saran tersebut
disepakati dan dilaksanakan, ternyata gagal total. Toko-toko bangunan di kota
Pacitan seperti Enggal Babar, Pelangi, Lestari, dan Bintang Surya, tidak
bersedia untuk bertukar pipa. Hal itu dikarenakan, toko-toko tersebut tidak
mau ambil resiko, meskipun dalam kenyataannya penukaran pipa sangat
menguntungkan mereka. Keuntungannya, pipa merk Maspion yang berukuran
2,5 dim ditukar dengan ukuran 2 dim merk Wavin yang secara kualitas lebih
rendah. Secara harga pun merk Maspion lebih mahal dari pada Wavin. Namun,
justru di sinilah yang menjadikan alasan para pemilik toko untuk menolak
tukar guling dengan alasan takut tidak laku. Karena penjualan pipa merk
Maspion harganya terlalu mahal bagi konsumen kawasan Pacitan.
Selain alasan tidak laku, ada alasan yang cukup mengejutkan namun
wajar. Toko bangunan Lestari tidak berani menukarkan pipanya karena takut
berurusan dengan pihak berwajib. Mereka menganggap, pipa bantuan Dinsos
provinsi yang akan ditukar merupakan pipa hasil penadahan pencurian.
Mereka truma karena sebelumya pernah tertipu dengan pembelian dan
penukaran pipa yang berasal dari masyarakat, yang ternyata hasil penadahan
pencurian.
Kegagalan penukaran pipa bantuan tersebut, menambah berat beban
masyarakat Dusun Dringo. Untuk bisa meneguk air tanpa harus berjalan 1 km
ternyata harus dilakukan dengan usaha yang sangat keras. Para warga dusun
mencoba memutar otak untuk solusi yang lebih baik. Akhirnya, Sunarto (40
tahun) yang juga seorang kontraktor mengutarakan idenya. Menurutnya,
solusi yang terbaik adalah memaksimalkan pipa yang ada. Jumlah pipa yang
bisa disambungkan yaitu ukuran ½ dan ¾ dim dengan total panjang 2500
meter dianggap cukup untuk mengalirkan air dari Desa Sugihwaras ke Dusun
Dringo yang berjarak sekitar 2600 meter. Sedangkan 100 meter kekurangannya
akan diusahakan selanjutnya. Adapun pipa yang berukuran 2 ½ dim dibiarkan
saja dengan catatan sambil diusahakan mencari pipa pengganti dengan ukuran
2 dim. Bagai gayung bersambut, ide tersebut diterima dan disepakati oleh
seluruh warga. Tekad untuk mengalirkan air sudah bulat, sedangkan pipa
yang akan dipakai adalah yang berukuran ½ dan ¾ dim. Selain itu akan segera
dilakukan penggalian tanah di sepanjang jalur yang dilewati oleh pipa.
Selain permasalahan air, masih banyak permasalahan lain yang
menunggu giliran untuk segera ditangani. Meskipun demikian, ratingnya tidak
setinggi permasalahan air. Permasalahan-permasalahan tersebut menyangkut
pemberdayaan sumberdaya serta potensi masyarakat setempat dan
pembangunan fisik. Permasalahan pemberdayaan sumberdaya dan potensi
yang ada misalnya kurangnya pemanfaatan dan pengolahan hasil-hasil bumi.
Sedangkan permasalahan dalam pembangunan fisik misalnya, melanjutkan
pembangunan rabat jalan, serta pemasangan instalasi jaringan listrik.
Berdasarkan persetujuan warga, yang akan diselesaikan terlebih dahulu
adalah berkenaan dengan pembangunan fisik dusun, seperti melanjutkan rabat
jalan dan pemasangan instalasi jaringan listrik. Untuk itu, Tim pendamping
memfasilitasi perwakilan masyarakat untuk mengajukan proposal ke
Binamarga Kabupaten Pacitan yang berisi tentang pelanjutan pembangunan
rabat jalan. Alasan dimasukannya rabat jalan adalah karena pembangunan
rabat jalan yang sebelumnya sudah ada masih setengah-setengah dan belum
mencakup seluruh Dusun Dringo. Masih banyak jalan-jalan utama Dusun
Dringo yang masih berbatu dan tidak layak. Selain itu ketika musim penghujan
kondisinya sangat licin, tergenang air dan becek.
Adapun mengenai masalah listrik, tim pendamping memfasilitasi
masyarakat untuk mengajukan proposal kepada Perusahaan Listrik Negara
(PLN) yang berisi tentang pemasangan instalasi jaringan listrik. Karena selama
ini, warga Dusun Dringo hanya gantol dari rumah warga yang sudah
mempunyai Kwh meter, atau memasang Kwh meter sendiri yang diletakkan di
dusun lain yang sudah terdapat instalasi. Sehingga warga harus memasang
kabel hingga sepanjang 1 km untuk mengalirkan listrik ke rumah mereka.
Biasanya, dalam satu Kwh yang rata-rata berkuatan 450 watt digunakan untuk
5-6 kepala keluarga, sehingga daya yang dihasilkan juga sangat kecil.
Untuk bisa merealisasikannya, pihak PLN mengajukan beberapa
persyaratan yang harus ada sebelum pemasangan instalasi jaringan listrik
dilakukan, antara lain jarak terdekat antara gardu listrik dan rumah yang ber-
Kwh tidak lebih dari 1 km, selain itu harus ada minimal 20 kepala keluarga
sebagai pelanggan. Persyaratan-persyaratan tersebut agaknya mampu
dipenuhi oleh masyarakat Dringo. Syarat pertama, Kwh yang paling dekat
dengan gardu listrik milik Sayuri (51 tahun) jaraknya malah kurang dari 1 km.
Untuk syarat yang kedua tentang batas minimal pelanggan 20 KK, masyarakat
Dringo yang berminat sekitar 35 KK dari 65 KK.
Melihat besarnya minat dan antusiasme masyarakat Dusun Dringo akan
keberadaan instalasi jaringan listrik dan sudah terpenuhinya persyaratan,
proposal yang diajukan mendapat respon positif dari pihak PLN yang juga
setuju untuk melakukan pemasangan instalasi jaringan listrik di Dusun Dringo.
Akan tetapi, waktu realisasi pemasangannya diperkirakan pada tahun 2010.
Hal itu dikarenakan pada tahun 2009 ini, PLN tidak mempunyai program
pengembangan jaringan. Program itu akan ada di tahun 2010.
BAB IV
MEMECAHKAN MASALAH MENUJU PERUBAHAN

A. Mendulang Permata Di Ujung Pipa


Perjuangan masyarakat Dusun Dringo dilanjutkan dengan penggalian
tanah di sepanjang jalur pipa yang mulai dilaksanakan pada tanggal 1 Agustus
2009 dengan mengambil titik awal di Blimbing. Hal itu dilakukan, mengingat
Blimbing adalah bagian wilayah Dusun Dringo yang berbatasan langsung
dengan Desa Sugihwaras.
Pada tanggal 8 dan 9 Agustus 2009 dilakukan penggalian lanjutan,
penanaman dan connecting antar pipa dengan arahan dari Dinas Sosial dan
PDAM Kabupaten Pacitan. Pada tahap ini kerja bakti langsung dilaksanakan di
Desa Sugihwaras, tempat penyambungan dengan pipa induk.

Foto 14: BERSATU DALAM


HARAPAN, Masyarakat Dusun
Dringo sedang kerja bakti
dalam penggalian,
penyambungan dan penanaman
pipa

Selanjutnya, dilakukan pemasangan tandon penampungan air bantuan


dari dinas sosial di Blimbing dan Ngledok yang pemasangannya juga
dilakukan secara gotong royong. Dua tandon penampungan yang dipasang
terbuat dari fiber warna biru. Sedangkan bak air yang dari batu bata masih
dibuat estimasi dana serta desainnya.
Setelah semua penyambungan pipa dan pemasangan tandon selesai,
pada tanggal 13 Agustus 2009, waktu yang dijanjikan oleh Dinas Sosial dan
PDAM Kabupaten Pacitan, dilakukan penyambungan dengan pipa utama di
Desa Sugihwaras. Penyambungan ini dilakukan oleh Mulyono (35 tahun)
bagian teknis PDAM Pacitan dengan dibantu oleh Arif (25 Tahun) warga Desa
Sugihwaras yang ditunjuk oleh PDAM sebagai petugas pencatat meter air.
Sedangkan dari pihak warga dusun, diwakili oleh Sunarto (40 tahun) dan
Tusimin (61 tahun) selaku kepala dusun.
Foto 15: INI BARU AIR, Proses
connecting dengan pipa induk di
Desa Sugihwaras

Di sinilah sejarah baru Dusun Dringo dimulai. Sebuah peristiwa yang


akan selalu dikenang oleh seluruh masyarakat Dusun Dringo telah terjadi.
Setelah menempuh perjuangan yang panjang dan berliku, akhirnya masyarakat
Dusun Dringo bisa memetik buah dari perjuangan mereka. Air telah mengalir
ke Dusun Dringo!
Bagaikan mendapat durian runtuh, masyarakat berbondong-bondong
menuju kran-kran yang telah disediakan sambil membawa jerigen dan ember.
Mereka akan mendulang permata yang selama ini telah mereka nantikan. Air
yang membawa kesejahteraan dan kisah manis yang selama ini mereka
impikan, kini telah mengalir di depan mata.

Foto 16: MENGALIR, Seorang nenek


sedang mengambil air dari pipa yang
sudah mengalir

B. Merintis Kembali Pembelajaran Masyarakat


Taman Pendidikan Al Qur’an (TPA) merupakan salah satu institusi
penting dalam membangun kemajuan di bidang pendidikan terutama untuk
generasi ke depan. Selain pendidikan ilmu pengetahuan umum, pendidikan
ilmu agama juga merupakan hal yang sangat menentukan dan memegang
peranan yang sangat vital dalam membentuk cara berfikir yang benar untuk
menghadapi kehidupan yang penuh tantangan.

Foto 17: AYO NGAJI LAGI,


Anak-anak Dusun Dringo
mengikuti TPA yang dirintis
lagi dengan antusias

Taman Pendidikan Al Qur’an (TPA) di Dusun Dringo telah mengalami


kevakuman untuk beberapa waktu terakhir. Hal ini menyebabkan kekeringan
bagi pendidikan agama untuk anak-anak di dusun ini. Padahal minat dan
antusiasme belajar agama anak-anak sangat besar.
Akhirnya, dengan kesepakatan sebagian warga dan Mbah Ibrahim, kyai
kampung dan pemangku mushalla Bait Al Shalihin yang dulu juga mengajar
mengaji di Dusun Dringo, Taman Pendidikan Al Qur’an dibuka kembali. Para
orangtua dan anak-anak sepakat, bahwa mengaji dilakukan setiap sore dengan
durasi 1,5 jam, mulai pukul 15.00-16.30 WIB.
Namun, bukan perjuangan namanya, jika tidak ada masalah dan
hambatan. Hambatan-hambatan tersebut memang bukan hambatan yang
mengancam jiwa melainkan lebih pada hambatan teknis. Salah satunya adalah
mengenai buku panduan belajar Al Qur’an (Iqra’). Hanya sebagian kecil saja
anak-anak yang mempunyai iqra’. Sehingga hal itu menghambat efektivitas
pengajaran. Salah satunya adalah Wahyu Aryo Saputro yang masih berumur
10 tahun. Menurut pengakuannya, ia pernah meminta kepada orangtuanya
untuk dibelikan iqra’, namun menolak. Menurut orang tuanya, seperti
dituturkan oleh Wahyu, membeli iqra’ bukanlah hal yang penting. Daripada
untuk membeli iqra’ lebih baik digunakan untuk membeli kebutuhan sehari-
hari. Sangat ironis, anak yang seharusnya mendapatkan dukungan dalam
pendidikan, kenyataannya sebaliknya. Hal ini adalah akibat dari kemampuan
ekonomi masyarakat yang rendah serta pola pikir yang masih sederhana.
Permasalahan tentang iqra’ tersebut tidak sampai berlangsung lama.
Seorang warga yang kekuatan finansialnya cukup baik, Sunarto (40 tahun) atau
yang biasa dipanggil Mbah Narto, memberikan sumbangan berupa iqra’
sebanyak 20 eksemplar. Dengan adanya sumbangan tersebut, anak-anak sangat
senang. Apalagi dia juga memberikan iming-iming kepada mereka jika pandai
mengaji akan diberi hadiah berupa alat-alat tulis.
Selain permasalahan iqra’, ada lagi permasalahan yang lebih rumit dan
sistematis. Permasalahan tersebut timbul dari sebagian orangtua yang
menginginkan anaknya setiap sore membantu mencari air. Hal itu pula lah
yang terjadi pada Dendi. Setiap sore dia harus membantu ayahnya mencari air.
Sehingga dia sering sekali tidak masuk dan ketinggalan pelajaran. Menurutnya,
dia terpaksa tidak masuk karena takut kepada orang tuanya. Ayahnya akan
memarahinya jika dia tidak membantu mencari air. Ketika hal itu ditanyakan
kepada orangtua yang bersangkutan, ternyata memang benar. Akan tetapi,
orangtuanya berjanji untuk tidak menyuruhnya mencari air pada saat jam
mengaji.
Metode pengajaran yang diberikan kepada anak-anak sama seperti yang
pada umumnya diberikan di TPA. Bedanya, di sana tidak hanya diajarkan cara
membaca Al Quran saja, tetapi juga diajarkan materi tentang sholat, wudhu,
dan yang berkaitan dengan ibadah, serta aqidah. Selain itu juga diberikan
selingan cerita dan lagu-lagu islami, sebab selain anak-anak suka, mereka juga
akan lebih tertarik untuk belajar mengaji karena yang di ajarkan tidak hanya
mengaji saja. Selain itu, untuk lebih mengingat materi yang telah diajarkan,
setiap menjelang akhir jam mengaji, mereka diharuskan menjawab pertanyaan-
pertanyaan yang berkaitan dengan materi pelajaran.
Dahulu sebenarnya di Dusun Dringo memiliki guru ngaji, namun
mereka tidak mengajar lagi karena terbentur kesibukan mengurus anak. Sejak
saat itu, kegiatan mengaji terhenti dan penyebabnya tak lain dan tak bukan
adalah ketiadaan pengajar yang meneruskannya.
Maka dari itu, ini menjadi salah satu misi yang harus segera
diselesaikan di dalam upaya menghidupkan mushalla dengan menggiatkan
kembali kegiatan TPA yang sempat mati tak terurus. Karena masyarakat
Dringo tidak begitu menyadari betapa pentingnya peran TPA di dalam
pengembangan mental spiritual anak khususnya dalam bidang keagamaan.
Metode-metode yang digunakan pun disesuaikan dengan umur dan
kemampuan anak, misalnya: Bagaimana cara membaca Al-Quran dengan baik
dan benar, mengajarkan kepada mereka kewajiban-kewajiban sebagai seoramg
muslim, memberikan cerita tentang perjalanan para Nabi dengan harapan
mereka dapat mengambil hikmah dari cerita tersebut, serta pelajaran yang
berkaitan dengan pengembangan mental & spiritual mereka, seperti aqidah
dan akhlak.
Selama kurang lebih tiga minggu kegiatan tersebut telah berjalan
dengan penuh keceriaan dan tidak mengurangi semangat mereka sebagai
anak-anak. Tampak sekali dalam setiap gerai tawa mereka tersimpan sebuah
kerinduan yang begitu mendalam akan sebuah kegiatan yang memberikan
nafas kehidupan baru yang sangat berkesan di hati mereka.
Pondasi awal untuk membangun spiritual anak-anak di Dusun Dringo
telah terpancang. Kini tinggal bagaimana pondasi tersebut diteruskan
pembangunannya agar kegiatan TPA berjalan terus & tidak terhenti kembali
sebagaimana yang pernah terjadi di waktu silam. Hanya ada satu cara untuk
mewujudkan hal itu, yaitu membentuk tenaga pengajar baru yang sekiranya
memiliki kualitas, dan loyalitas yang tinggi untuk membangun moralitas dan
mental spiritual anak-anak Dusun Dringo menjadi lebih maju dan berkembang.
Dari hasil musyawarah dengan warga, muncullah beberapa nama antara lain,
Puput (29 tahun), Lesi (21 tahun), Nasiha (27 tahun), dan Halimah (29 tahun).
Akan tetapi, dari nama-nama yang direkomendasikan oleh masyarakat
tersebut, tidak serta merta disetujui. Bukan tidak percaya, tetapi untuk lebih
mengetahui kualitas mengajar mereka. Oleh karena itu, harus diberikan brifing
tentang tata cara mengajar serta beberapa metode pembelajaran. Setelah dua
hari brifing, terlihat bahwa mereka mempunyai kemampuan yang seimbang.
Namun, untuk lebih meyakinkan, ada waktu percobaan mengajar bagi mereka
selama emapat hari. Akhirnya, dengan berbagai pertimbangan, keempat orang
tersebut layak menjadi penerus dan memegang tonggak estafet guru mengaji di
Dusun Dringo.

C. Membangun Institusi Berharap Keberlanjutan


Masyarakat Dusun Dringo mayoritas beragama Islam. Di Dusun Dringo
sendiri hanya ada satu mushalla kecil yang bernama Bayt Al-Shalihin.
Mushalla ini dibangun di atas tanah wakaf dari almarhumah Solihinah yang
pelaksanaan pembangunannya dilakukan secara gotong royong oleh
masyarakat Dringo sendiri.

Foto 18: TAMPAK BELAKANG, Mushalla Baitusshalihin, pusat


transformasi ilmu agama di Dusun Dringo

Keberadaan mushalla tersebut tidak diimbangi dengan aktivitas


keagamaan masyarakat, seperti sholat 5 waktu, sholat jum’at, pengajian dan
lain-lain. Sehingga terlihat kondisi masjid yang kotor tidak terawat. Hal ini
diakui oleh Mbah Ibrahim salah seorang imam di mushalla tersebut.
Menurutnya, mushalla itu hanya dipakai pada bulan puasa dan hari raya.
Mbah Ibrahim sendiri kalau sholat Jumat pergi ke masjid Dusun Gebang,
karena masyarakat Dringo sendiri jarang yang menunaikan sholat Jumat.
Mereka lebih suka bekerja, mencari rumput atau menjadi kuli.
Selanjutnya demi lancarnya kegiatan keagamaan yang berpusat di
mushalla, maka dibuat lah ta’mir yang fungsinya untuk mengkoordinasikan
segala bentuk kegiatan yang ada di mushalla. Dari hasil musyawarah bersama
masyarakat, maka terbentuklah kepengurusan takmir musholla dengan ketua
Sunarto, wakilnya Paimin, Sekretaris Agus Setiawan wakilnya Iwan,
Bendahara Bambang wakilnya Rudiyono, Seksi Keagamaan Suranto, dan seksi
pendidikan Puput Astuti.
Di sisi lain terdapat harapan untuk mendirikan organisasi pemuda di
Dusun Dringo, karena di dusun ini belum ada perkumpulan pemuda yang
bersifat formal. Menurut Bambang (31 tahun), salah satu tokoh muda Dusun
Dringo, dulu pernah ada perkumpulan pemuda dusun. Akan tetapi, organisasi
tersebut bukanlah organisasi resmi yang mempunyai pengurus dan anggota
secara struktural. Akhirnya, sejalan dengan banyaknya pemuda yang
merantau, organisasi tersebut mati secara sendirinya hingga saat ini.
Dengan kesepakatan seluruh warga, maka organisasi pemuda tersebut
akan dihidupkan kembali. Maka, pada tanggal 11 Agustus 2009, organisasi
tersebut resmi dideklarasikan dengan nama ‘Karang Taruna Dringo Sejati’.
Organisasi ini nantinya akan bertugas sebagai penggiat, pelaksana sekaligus
evaluator segala macam bentuk rencana program baik yang bersifat sosial
maupun fisik. Selain itu, organisasi ini nantinya juga akan berperan dalam
pendampingan dan pengontrol terhadap segala kebijakan pemerintah desa
terhadap dusun, juga segala macam bentuk bantuan yang nantinya akan
masuk ke Dusun Dringo.
Adapun pengurus Karang Taruna Dringo Sejati yang telah disusun
berasama adalah: Ketua Bambang A, Sekretaris Paimin, Bendahara Suranto,
Seksi Pemuda dan Olahraga Rudi Waluyo, Seksi Humas Misdi, Seksi
Kewirausahaan Toto Suwanto, dan seksi Perlengkapan Slamet Santoso. Yang
perlu menjadi catatan adalah bahwa dalam struktur tersebut ada beberapa
pengurus yang merangkap menjadi pengurus takmir masjid, yaitu Bambang
dan Suranto. Pada karang taruna, Bambang menjadi ketua dan Suranto
menjadi bendahara. Sedangkan pada kepengurusan takmir masjid secara
berturut-turut mereka menjadi bendahara dan ketua divisi keagamaan. Hal itu
terjadi karena jumlah pemuda di Dusun Dringo sangat sedikit yang mau dan
tahu mengenai keorganisasian.
Foto 19: PADUAN SUARA,
Salah satu kegiatan ibu-ibu
PKK dalam menyambut
kegiatan perlombaan 17
Agustus

Masyarakat Dusun Dringo khususnya ibu-ibu rumah tangga, telah


membentuk organisasi PKK. Tetapi organisasi tersebut tidak memiliki
kepengurusan yang lengkap selayaknya organisasi pada umumnya. PKK di
Dusun Dringo hanya terdiri dari ketua saja yang sejak beberapa tahun
dipegang oleh Supami (45 tahun) yang juga istri kepala dusun. Sehingga
menyebabkan kegiatan ibu-ibu yang ada disini tidak terstruktur dengan rapi.
Sampai saat ini kegiatan yang telah berlangsung hanya arisan saja yang
beranggotakan ibu-ibu yang sudah lama masuk keangotaan, sedangkan ibu-ibu
yang muda belum masuk atau belum syah menjadi anggota. Selama rentang
waktu sekitar tujuh tahun ini belum ada reorganisasi. Oleh karena itu, atas
inisiatif warga, mereka merasa perlu mengadakan reorganisasi ataupun
pembentukan organisasi baru agar ada kader-kader atau penerus sehingga
dapat meningkatkan kegiatan demi kesejahteraan masyarakat Dusun Dringo
khususnya kesejahteraan keluarga. Sebenarnya, sudah lama ibu-ibu PKK
menginginkan reorganisasi. Akan tetapi, mereka merasa takut kepada Supami.
Hal itu dikarenakan jabatannya sebagai istri kasun.
Bersama tim pendaping, masyarakat membetuk pengurus baru PKK
dengan susunan ketua Supami (suami kasun) dan wakilnya Aminah. Sekretaris
ida, bendahara Puput Astuti dan wakilnya Tusirah, Seksi pendidikan dan
keagamaan Yatmi, Nasihah, Sisti halimah, Seksi Kewirausahaan Susilah, Rini,
Dewi, Seksi Olahraga Misilah Supini, dan seksi Humas Suprihatin, Rahmi, dan
Yunik.
Demikian pula dengan organisasi Yasinan yang merupakan kegiatan
masyarakat yang juga sudah pernah ada di Dusun Dringo, akan tetapi vakum
untuk beberapa waktu. Kevakuman tersebut, lebih disebabkan pada kurangnya
koordinasi antar anggota dan tidak efektifnya waktu yang dipilih untuk
melaksanakan kegiatan tersebut. Setelah adanya kesepakatan dengan warga,
maka pada hari Jum’at minggu kedua yasinan berjalan kembali. Akan tetapi,
tidak berjalan sesuai harapan karena yang hadir hanya lima orang saja. Bahkan
Bu Kasun selaku tokoh masyarakat yang berperan penting dalam
berkembangan Dusun Dringo pun tidak ikut hadir dalam kegiatan tersebut.
Alasan yang dilontarkan ibu–ibu sebagian besar adalah karena waktu yang
ditetapkan kurang efisien. Karena pada pukul 13.00, waktu yang dulu
disepakati, banyak ibu–ibu yang mencari ramban (makanan ternak), istirahat,
dan memasak. Sehingga menurut mereka waktu tersebut kurang efektif dan
harus diganti serta disesuaikan dengan kegiatan mereka sehari-hari.

Foto 20: NGRAMBAN, Kegiatan


ibu-ibu Dusun Dringo yang tidak
bisa ditinggalkan.

Berikut adalah kalender harian warga Dusun Dringo.

Gambar: 11
Gambar: 12

Masyarakat Dusun Dringo mempunyai dua macam rangkaian kegiatan


yang rutin dilaksanakan. Yaitu pada musim panen ketela, waktu siang mereka,
dihabiskan di ladang untuk mencabut dan mengupas ketela. Hal itu berlaku
bagi Pak Paimin dan istrinya, Ibu Aminah.
Pada waktu malam hari saat musim panen ketela maupun selain
musim panen ketela, sebagian besar digunakan untuk istirahat sambil
menonton televisi dan berlanjut istirahat tidur malam. Begitu juga dengan
kegiatan anak-anak, pada musim ketela maupun selain musim ketela baik
malam maupun siang hari, tidak mengalami perbedaan yang signifikan.
Ironisnya, dalam rangkaian kegiatan anak-anak, tidak ada kegiatan belajar di
rumah dan pengulasan materi yang telah diberikan di sekolah. Devi, anak
perempuan Pak Paimin menghabiskan waktunya untuk bermain dan
menonton televisi. Hal ini pula lah yang mempengaruhi kualitas keilmuan
anak-anak Dusun Dringo.
Dari kalender harian tersebut, dapat dilihat adanya pembagian kerja
yang sama antara laki-laki dan perempuan. Perempuan Dusun Dringo sudah
terbiasa membantu suaminya atau mengisi posisi suaminya. Misalnya, pada
selain musim panen ketela, Pak Paimin bekerja menjadi buruh atau kuli
pengangkat kayu. Sedangkan ibu Aminah bertugas mencarikan makanan bagi
ternak mereka, yang notabene hal itu lebih pantas dilakukan oleh laki-laki.
Berdasarkan analisis terhadap kegiatan harian masyarakat Dusun
Dringo, dapat diketahui bahwa ibu-ibu mempunyai waktu longgar pada waktu
setelah shalat maghrib. Karena pada waktu tersebut, kegiatan keluarga hanya
berkisar pada makan malam, menonton televisi dan tidur. Akhirnya disepakati
bahwa kegiatan yasinan dilaksanakan pada malam Jumat sehabis maghrib
bertempat di mushalla Bait Al Shalihin dan dilanjutkan dengan sholat isya’
berjama’ah.
BAB V
SENTUHAN PEMBERDAYAAN YANG MEMANUSIAKAN
(SEBUAH CACATAN REFLEKSI)

Masyarakat Dringo adalah masyarakat yang patuh dan ta’at kepada


pemimpinnya. Mereka bekerja keras setiap hari dengan tetap menerima
kondisi lingkungan dengan apa adanya. Meski keluhan demi keluhan mereka
lontarkan, namun hal itu tidak mengurangi semangat mereka untuk terus
membangun dusun mereka sesuai dengan arahan pemimpin mereka. Masa
depan keturunan mereka juga merupakan salah satu motivasi mereka untuk
bekerja keras setiap hari. Masyarakat Dringo merupakan potret kehidupan
masyarakat yang rukun dengan sesama maupun dengan lingkungan.
Kehidupan masyarakat di Dusun Dringo sangat dipengaruhi oleh
kondisi lingkungan mereka. Sulitnya air, listrik, transportasi dan komunikasi
merupakan kendala yang cukup serius bagi perkembangan Dusun Dringo dan
peningkatan taraf hidup masyarakatnya. Sangat tepat jika masyarakat Dusun
Dringo dikatakan sebagai komunitas pejuang air. Untuk mendapatkan seteguk
air, mereka harus menempuh jarak, menghabiskan waktu, tenaga bahkan biaya
yang tidak sedikit.
Keadaan sulit dalam memenuhi kebutuhan air, berimbas pada aktivitas
sehari-hari yang menjadi terhambat atau tidak dapat berjalan dengan lancar
sebagaimana masyarakat pada umumnya. Mundurnya kegiatan bidang agama,
pendidikan, dan ekonomi, juga disebabkan oleh sulitnya air. Selain itu, pola
pikir masyarakat yang masih sederhana juga ikut memberikan andil dalam
kemunduran bidang-bidang tersebut.
Kemudian, jika air mudah di dapat dan pola pikir masyarakat lebih
maju, apakah kesejahteraan masyarakat Dringo bisa terangkat? Penelitian yang
komprehensif dan mendalam sangat diperlukan untuk mengetahui
permasalahan dan pemecahannya secara tepat. Bukan pemberian bantuan yang
berdasarkan observasi sekilas. Karena tindakan yang dilaksanakan tanpa
penelitian tersebut dikhawatirkan hanya akan membuat masyarakat
menunggu tanpa bisa berusaha sendiri. Selain itu, sangat kecil
kemungkinannya untuk tepat sasaran sebagai suatu solusi.
Di Dusun Dringo bidang sarana dan prasarana menempati peringkat
pertama sebagai permasalahan yang harus segera diselesaikan. Karena bidang
tersebut merupakan alat utama untuk menjalankan bidang-bidang lainnya.
Bidang sosial-keagamaan merupakan komponen utama bagi Sumber Daya
Manusia yang baik. Sedangkan bidang ekonomi merupakan bidang yang
cukup fundamental bagi terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan baik mikro
maupun makro dalam masyarakat.
Kesulitan yang paling menonjol dalam bidang perekonomian adalah
dalam hal pemasaran dan pengolahan hasil pertanian. Sangat disayangkan,
Dringo adalah dusun yang kaya akan potensi pertanian. Namun, karena
pengolahan dan pemasaran yang tidak tepat, hal itu belum bisa mendongkrak
kemampuan dan taraf ekonomi masyarakat setempat. Sejauh ini, Dusun
Dringo menunggu adanya upaya yang konkrit untuk meningkatkan
kemampuan ekonomi masyarakat. Ironisnya, selama ini masyarakat Dusun
Dringo cenderung pasrah kepada alam tanpa mau membuat suatu inovasi
yang lebih solutif.
Selama ini pola pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah
terhadap Dusun Dringo lebih menggunakan konsep top-down yaitu langsung
mengucurkan bantuan tanpa ada penelitian sebelumnya, sehingga konsep
tersebut kurang efektif dan kurang tepat sasaran. Buktinya, ketika pemerintah
memberikan bantuan berupa mesin perontok padi dan giling jagung atau
ketela, masyarakat tidak pernah menggunakannya. Alasannya, mereka tidak
terlalu membutuhkan mesin tersebut, karena mereka panen hanya setahun
sekali sedangkan tenaga mereka sudah cukup untuk memetik dan mengolah
hasil pertanian, tanpa bantuan mesin.
Dusun Dringo adalah dusun pedalaman yang dalam hal permasalahan
tidak bisa disamakan dengan daerah lainnya. Untuk menyikapinya harus
menggunakan konsep bottom-up yaitu dilakukan proses penelitian yang
mendalam terlebih dahulu untuk mengetahui permasalahan masyarakat
setempat. Sehingga dari hasil riset tersebut bisa menjadi dasar untuk
menurunkan bantuan yang memang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat.
Artinya, konsep bottom-up potensi keberhasilannya lebih besar dibandingkan
konsep top-dow’ yang selama ini dilakukan oleh pemerintah. Sentuhan
pendampingan dan riset kritis yang dilakukan oleh Tim KKN BDMB memiliki
sedikit fakta nyata akan keberhasilan perubahan. Seandainya proses riset dan
pendampingan dilakukan dengan lebih mendalam dengan rentang waktu yang
lama, kemungkinan perubahan masyarakat akan terjadi dengan lebih cepat dan
lebih baik.
Dusun Dringo juga sangat berpotensi untuk dikembangkan seperti
potensi wisata. Karena di dusun tersebut terdapat tiga buah goa yang
mempunyai keindahan yang cukup bagus, yaitu goa Plethes, goa Blimbing dan
goa Belikgunung. Apabila hal itu dapat terwujud, kesejahteraan masyarakat
akan ikut terangkat. Namun, goa-goa tersebut dilingkupi oleh mitos-mitos dan
cerita ghaib dari masyarakat. Yang kemudian menjadi pertanyaan adalah,
apakah mitos-mitos tersebut dihembuskan memang untuk menjaga
keseimbangan alam di sekitarnya, atau untuk melegalkan kepentingan-
kepentingan pihak-pihak tertentu? Hal inilah yang masih memerlukan riset
dan pendampingan lanjutan yang lebih mendalam, sehingga akan tergarap
potensi Dringu demi kesejahteraan warganya.
BAB VI
PENUTUP DAN REKOMENDASI

Dringo, sebuah dusun terpencil di pelosok Pacitan yang memiliki


lingkungan di tengah hutan Jati milik warga. Hutan yang ditanam di tanah
perbukitan kapur yang bergua. Dapat digambarkan kalau daerah yang seperti
ini merupakan daerah tandus dan sulit air. Tidak sebagaimana wilayah Pacitan
lain yang masih tersedia air dan tanah pertaniannya bisa dikembangkan,
wilayah ini nampaknya sulit keluar dari persoalan lingkungannya. Akibatnya
banyak anak-anak muda dusun ini merantau ke Jakarta. Warga yang tinggal
merupakan generasi yang masih bertahan, dan masih ngugemi (memegang
teguh) tradisi nenek moyangnya untuk menjaga lingkungan, tradisi, dan
warisan apapun yang ada di dusun ini.
Kehidupan masyarakat di Dusun Dringo sangat dipengaruhi oleh
kondisi lingkungan mereka. Sulitnya air, listrik, transportasi dan komunikasi
merupakan kendala yang cukup serius bagi perkembangan Dusun Dringo dan
peningkatan taraf hidup masyarakatnya. Sangat tepat jika masyarakat Dusun
Dringo dikatakan sebagai komunitas pejuang air. Untuk mendapatkan seteguk
air, mereka harus menempuh jarak, menghabiskan waktu, tenaga bahkan biaya
yang tidak sedikit.
Keadaan sulit dalam memenuhi kebutuhan air, berimbas pada aktivitas
sehari-hari yang menjadi terhambat atau tidak dapat berjalan dengan lancar
sebagaimana masyarakat pada umumnya. Mundurnya kegiatan bidang agama,
pendidikan, dan ekonomi, juga disebabkan oleh sulitnya air. Selain itu, pola
pikir masyarakat yang masih sederhana juga ikut memberikan andil dalam
kemunduran bidang-bidang tersebut.
Selama ini pola pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah
terhadap Dusun Dringo lebih menggunakan konsep top-down yaitu langsung
mengucurkan bantuan tanpa ada penelitian sebelumnya, sehingga konsep
tersebut kurang efektif dan kurang tepat sasaran. Buktinya, ketika pemerintah
memberikan bantuan berupa mesin perontok padi dan giling jagung atau
ketela, masyarakat tidak pernah menggunakannya. Alasannya, mereka tidak
terlalu membutuhkan mesin tersebut, karena mereka panen hanya setahun
sekali sedangkan tenaga mereka sudah cukup untuk memetik dan mengolah
hasil pertanian, tanpa bantuan mesin.
Dusun Dringo adalah dusun pedalaman yang dalam hal permasalahan
tidak bisa disamakan dengan daerah lainnya. Untuk menyikapinya harus
menggunakan konsep bottom-up yaitu dilakukan proses penelitian yang
mendalam terlebih dahulu untuk mengetahui permasalahan masyarakat
setempat. Sehingga dari hasil riset tersebut bisa menjadi dasar untuk
menurunkan bantuan yang memang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat.
Artinya, konsep bottom-up potensi keberhasilannya lebih besar dibandingkan
konsep top-dow’ yang selama ini dilakukan oleh pemerintah. Sentuhan
pendampingan dan riset kritis yang dilakukan oleh Tim KKN BDMB memiliki
sedikit fakta nyata akan keberhasilan perubahan. Seandainya proses riset dan
pendampingan dilakukan dengan lebih mendalam dengan rentang waktu yang
lama, kemungkinan perubahan masyarakat akan terjadi dengan lebih cepat dan
lebih baik. Oleh karena itu, pendekatan pembangunan yang selama ini
dilaksanakan oleh pemerintah, selayaknya diubah polanya, sehingga akan
menghasilkan pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan
memecahkan persoalan masyarakat secara lebih nyata. Perguruan tinggi
sebagai salah satu komponen masyarakat, bisa dilibatkan dalam
mengimplementasikan pembangunan yang berorientasi pada pemberdayaan.

Anda mungkin juga menyukai