Anda di halaman 1dari 4

Putri Wulandari

XII IPS 1 / 19

Perundingan Renville

Agresi Militer Belanda I pada 20 Juli 1947 menyebabkan situasi di Indonesia


memanas. Kondisi tersebut mendapat respons dari dunia internasional. Amerika
Serikat mengusulkan kepada Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK
PBB) agar konflik antara Indonesia dan Belanda segera diselesaikan. Usul DK
PBB ini ditindaklanjuti dengan pembentukan Komisi Tiga Negara (KTN). KTN
beranggotakan Australia (pihak yang ditunjuk Indonesia), Belgia (pihak yang
ditunjuk Belanda), dan Amerika Serikat (pihak netral). Dalam perkembangannya,
KTN menyepakati pelaksanaan perundingan untuk menyelesaikan konflik
Indonesia-Belanda.

Berdasarkan hasil kesepakatan Komisi Tiga Negara, Indonesia dan Belanda


kembali dipertemukan dalam meja perundingan. Sebelum pelaksanaan
perundingan, Indonesia dan Belanda berpendapat bahwa lokasi perundingan harus
berada di tempat netral. Atas usulan tersebut, Amerika Serikat menawarkan kapal
Renville miliknya yang saat itu sedang berlabuh di Tanjung Priok, Jakarta sebagai
tempat perundingan. Tawaran tersebut disetujui oleh Indonesia dan Belanda.

Pada 8 Desember 1947 perundingan antara Indonesia dan Belanda resmi


digelar. Dalam perundingan ini delegasi Indonesia dipimpin oleh Amir
Syarifuddin, sedangkan delegasi Belanda dipimpin oleh R. Abdulkadir
Wijoyoatmojo (orang Indonesia yang memihak Belanda). Dalam perundingan
Renville terjadi perdebatan terkait kedudukan negara Indonesia. Belanda
menghendaki Indonesia menjadi negara federasi bagian dari Belanda, sedangkan
Indonesia menginginkan pengakuan kedaulatan secara penuh.

Perundingan Renville menghasilkan beberapa keputusan yang dianggap


merugikan pihak Indonesia. Ketiga keputusan perundingan Renville tersebut
sebagai berikut.
1) Menetapkan garis demarkasi van Mook sebagai acuan pemisah wilayah
kekuasaan Indonesia dan wilayah yang dianggap sebagai bagian kekuasaan
Belanda.
2) Penarikan pasukan Indonesia yang berada di wilayah kekuasaan Belanda.
3) Akan diadakan plebisit (pemungutan suara) bagi rakyat di wilayah
pendudukan Belanda.

Hasil perundingan ini menyebabkan wilayah Indonesia makin sempit.


Berdasarkan garis demarkasi van Mook, wilayah Indonesia hanya meliputi
Yogyakarta dan sebagian Jawa Timur Oleh karena garis demarkasi tersebut,
pasukan TNI yang masih berada di kantong-kantong pertahanan Belanda harus
ditarik masuk ke wilayah Republik Indonesia. Penarikan pasukan secara besar-
besaran dilakukan oleh Divisi Siliwangi dari Jawa Barat Pada 1 Februari 1948
kira-kira 35.000 orang mengadakan long march dari Jawa Barat ke wilayah
republik. Di Jawa Timur kira kira 6.000 pasukan masuk ke wilayah Jawa Tengah
yang menjadi pusat pemerintahan Republik Indonesia.

Hasil perundingan Renville mendapat tentangan dari sejumlah pihak. Beberapa


pihak menganggap Amir Sjarifuddin terlalu banyak memberikan konsensus
kepada Belanda. Dua partal besar, PNI dan Masyumi menarik menterinya dari
kabinet. Parlemen juga mengajukan mosi tidak percaya kepada Kabinet Amir
Sjarifuddin. Akhirnya, pada 23 Januari 1948 Amir Syarifuddin mengembalikan
mandatnya kepada Presiden Soekarno.
Adanya perjanjian Renville berhubungan dengan terjadi di nya pemberontakan
PKI di Madiun pada 1948
Hubungan pemberontakan PKI di Madiun dengan Perjanjian Renville adalah
pemberontakan PKI di Madiun pada tahun 1948 meletus sebagai akibat
kekecewaan dari hasil perjanjian Renville yang menyebabkan banyak wilayah
Indonesia dikuasai Belanda, adanya pengurangan jumlah tentara dan jatuhnya
pemerintahan Perdana Menteri Amir Syarifuddin.

Pemberontakan PKI 1948 atau yang juga disebut Peristiwa Madiun adalah
sebuah peristiwa dalam rangkaian daftar pemberontakan yang pernah berlangsung
di sejarah Indonesia modern. Peristiwa ini terjadi tidak lama setelah Perjanjian
Renville berlangsung pada tanggal 17 Januari 1948. Pemberontakan PKI tersebut
berlangsung pada tanggal 18 September 1948 di kota Madiun, Jawa Timur.
Pemberontakan ini diawali dengan jatuhnya kabinet RI yang pada waktu itu
dipimpin oleh Amir Sjarifuddin karena kabinetnya tidak mendapat dukungan lagi
sejak disepakatinya Perjanjian Renville. Lalu dibentuklah kabinet baru dengan
Mohammad Hatta sebagai perdana menteri, namun Amir beserta kelompok-
kelompok sayap kiri lainnya tidak setuju dengan pergantian kabinet tersebut.
Setelah Amir Sjarifuddin tidak lagi menjabat sebagai Perdana Menteri, ia
membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR) pada Februari 1948. FDR kemudian
bekerja sama dengan beberapa organisasi berpaham kiri (komunis) seperti Partai
Komunis Indonesia (PKI), Barisan Tani Indonesia (BTI), Pemuda Sosialis
Indonesia (Pesindo), dan sebagainya. Kemudian, Amir Sjarifuddin yang saat itu
memiliki kedekatan dengan pemimpin PKI, Muso, berniat untuk menyebarkan
ajaran komunisme di Indonesia. Selama FDR berlangsung, terjadi pula
pemberontakan PKI Madiun yang disebabkan oleh ketidakpuasan Amir
Sjarifuddin terkait pergantian kabinet, yaitu Kabinet Hatta. Oleh sebab itu, Amir
bersama komplotannya berusaha menggulingkan mereka dengan dibantu oleh
pemimpin PKI Musso. Mereka pun membuat rencana penculikan dan
pembunuhan para tokoh di Surakarta sekaligus mengadu domba kesatuan TNI
setempat. Pada 18 September 1948, PKI/FDR bergerak menuju ke arah Timur dan
berusaha menguasai kota Madiun. Tanggal 19 September, FDR mengumumkan
terbentuknya pemerintahan baru bernama Republik Soviet Indonesia.
Pemberontakan PKI Madiun ini menewaskan Gubernur Jawa Timur RM Suryo.

Anda mungkin juga menyukai