Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

KONSERVASI EKSITU & INSITU


Konservasi Orangutan di Lamandau
Dosen Pengampu: Ir. Moh. Rizal M.Si

Oleh:

Charisa Regina Caeli Sinaga (193010404024)

Suzet Rotua Tasya Nababan (193010404006)

JURUSAN KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS PALANGKA RAYA

2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini sesuai tenggat
waktu yang ditentukan. Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk
memenuhi tugas dari mata kuliah Konservasi Eksitu dan Insitu dengan judul
makalah Konservasi Orangutan di Suaka Margasatwa Lamandau.

Penulis mengucapkan terima kasih secara khusus kepada Ir. Moh. Rizal
M.Si selaku salah satu dosen pengampu mata kuliah Konservasi Eksitu dan Insitu
yang membimbing penulis dalam menyusun makalah ini. Penulis tidak lupa juga
berterima kasih kepada semua pihak yang turut andil dalam penyusunan makalah
ini sehingga dapat terselesaikan dengan baik.

Kiranya makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Akhir kata penulis
ucapkan terima kasih.

Palangka raya, 13 Mei 2022

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman

Kata Pengantar...................................................................................................... i

Daftar Isi............................................................................................................... ii

Daftar Gambar....................................................................................................... iii

Bab I. Pendahuluan

1.1 Latar Belakang............................................................................................ 1

1.2 Rumusan Masalah....................................................................................... 3

Bab II. Pembahasan

2.1 Mengenal Bambu Ampel (Bambusa vulgaris Schrad ex Wendl):

Pandangan Umum, Struktur Anatomi, Sebaran serta Potensinya.............. 4

2.2 Budidaya dan Manfaat Bambu Ampel (Bambusa vulgaris Schrad

ex Wendl)................................................................................................... 8

2.3 Pengolahan Bambu Ampel (Bambusa vulgaris Schrad ex Wendl): Proses

Pembuatan Menjadi Barang Jadi/Bentuk Barang yang Dijual.................... 11

2.4 Pemasaran Bambu Ampel (Bambusa vulgaris Schrad ex Wendl)............. 26

Bab III. Penutup

3.1 Kesimpulan................................................................................................. 32

3.2 Saran........................................................................................................... 33

Daftar Pustaka
  DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar.1 Spesimen 1 karakter kunci Bambusa vulgaris.a. Perawakan

(Liana, 2017); b. Daun (Widjaja, 2001b); c.Percabangan

(Roxas, 2012); d. Pelepah Buluh (Roxas, 2012)..................................... 5

Gambar 2. Penampang transversal bambu ampel dari bagian kulit sampai

Bagian dalam......................................................................................... 7

Gambar 3. Penampang melintang bambu ampel pada arah aksial dan radial....... 7

Gambar 4. Penampang melintang bambu ampel dari luar kedalam...................... 7

Gambar 5. Tahapan operasi pengolahan bambu (dialih dari Gnanaharan &

Monteiro, 1997).................................................................................... 12

Gambar 6. Proses awal pengolahan rebung bamboo............................................ 25


I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

International Union Conservation for Nature (IUCN) pada 1994


menetapkan pengertian kawasan yang dilindungi (protected area) merupakan
sebuah wilayah daratan dan perairan yang ditetapkan untuk perlindungan dan
pengawetan keragaman hayati dan sumber daya alam serta budaya terkait,
serta dikelola secara legal dan efektif. Konservasi keanekaragaman hayati
yang diwujudkan dalam bentuk kawasan konservasi merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari konsep pembangunan berkelanjutan kerena bertujuan
untuk mengelola sumberdaya alam dan ekosistemnya yang meliputi aspek
pemanfaatan, pengawetan, dan perlindungan sehingga bermanfaat dan
mendukung kehidupan manusia (Mahendra et al., 2019). Kawasan konservasi
salah satunya adalah kawasan suaka alam.

Suaka Margasatwa (SM) menurut Undang-Undang Indonesia Nomor 5


Tahun 1990 adalah sebuah kawasan suaka alam yang mempunyai ciri khas
berupa keunikan dan keanekaragaman jenis satwa yang untuk kelangsungan
hidupnya dapat dilakukan pembinaan terhadap habitatnya. Suaka Margasatwa
juga merupakan kawasan suaka lama yang mempunyai ciri khas berupa
keanekaragaman dan keunikan jenis satwa yang untuk kelangsungan
hidupnya dapat dilakukan pembinaan terhadap habitatnya. Kegiatan yang
dapat dilakukan di dalam suaka margasatwa adalah kegiatan bagi kepentingan
penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan, wisata dalam
jumlah yang terbatas (menikmat keindahan alam dengan syarat tertentu) serta
kegiatan lainnya yang menunjang budidaya (Mahendra et al., 2019).

Kawasan Suaka Margasatwa Sungai Lamandau merupakan kawasan


konservasi yang dikelola oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam
Kalimantan Tengah. Kawasan ini merupakan tipe ekosistem hutan rawa air
tawar dan tipe hutan dataran rendah, yang berfungsi sebagai perlindungan dan
pelestarian terhadap jenis-jenis serta keanekaragaman satwa dan
habitatnya, termasuk jenis satwa yang mempunyai nilai khas. Suaka
Margasatwa Lamandau awalnya adalah kawasan Hutan Produksi Tetap dan
Hutan Produksi yang dikonversi pada sebagian kelompok hutan. Suaka
Margasatwa Lamandau memiliki luas ±76.110 ha berdasarkan penunjukan
Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor :162/Kpts-II/1998 tanggal 26
Februari 1998. Saat ini, Suaka Magasatwa Lamandau merupakan lokasi
penting karena merupakan salah satu kawasan konservasi yang
digunakansebagai lokasi pelepasliaran orangutan Kalimantan hasil
rehabilitasi.

Orangutan merupakan spesies yang tergolong primata langka (Anthony


& Nayman, 1978) yang keberadaannya hanya terdapat di Asia (Galdikas,
1978). Saat ini orangutan Kalimantan telah dilindungi oleh pemerintah
melalui PP No.7 Tahun 1999 dan termasuk kedalam satwa dengan status
kritis (Critically Endangered) yang merupakan status ancaman kepunahan
tertinggi menurut IUCN Red List. Orangutan kalimantan juga terdaftar dalam
APPENDIX 1 CITES (Convention International of Trade Endangered
Spesies of Wild Fauna and Flora). Status tersebut disebabkan karena
kecenderungan penurunan populasi orangutan kalimantan diakibatkan
degradasi lingkungan, konversi lahan, kebakaran hutan, perburuan dan
perdagangan. Secara ekologi, orangutan kalimantan merupakan “umbrella
species” yang berperan penting dalam pemencaran biji-biji dari tumbuhan
yang dikonsumsinya. Oleh sebab itu, ketidakhadiran orangutan di hutan hujan
tropis dapat mengakibatkan kepunahan suatu jenis tumbuhan (Fitriana, 2011).

Pentingnya keberadaan orangutan dan banyaknya tekanan terhadap


habitat orangutan, maka upaya konservasi sangat diperlukan untuk menjaga
kelestarian orangutan. Beberapa ancaman utama yang dihadapi oleh
orangutan (Pongo pygmaeus) adalah kehilangan habitat,pembalakan liar,
kebakaran hutan, perburuan dan perdagangan (Departemen Kehutanan,
2007).Upaya konservasi sangat dibutuhkan untuk menjamin kelestarian jenis
(Fitriana et al, 2016), salah satunya dengan mengetahui kondisi habitat.
Informasi yang diperlukan dalam upaya konservasi orangutan kalimantan di
SM Sungai Lamandau adalah model kesesuaian habitat orangutan kalimantan,
mengingat SM Sungai Lamandau merupakan tempat pelepasliaran orangutan
yang telah direhabilitasi. Adanya informasi model kesesuaian habitat dapat
menjadi data dasar dalam pengelolaan (Fitriana, 2016), serta sebagai dasar
dari pengambilan langkah lanjutan untuk menjaga habitat orangutan
kalimantan sebagai satwa penting di SM Sungai Lamandau. Berdasarkan latar
belakang tersebut, maka dilakukan penyusunan makalah tentang konservasi
orang utan di suaka margasatwa Lamandau.

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah makalah konservasi orangutan di Suaka Margasatwa
Lamandau adalah sebagai berikut.
1. Mengapa perlu dilakukan upaya konservasi orangutan?
2. Apa yang dimaksud dengan Suaka Margasatwa Lamandau?
3. Bagaimana upaya konservasi yang dilakukan terhadap orangutan di
Suaka Margasatwa Lamandau?
II. PEMBAHASAN

2.1 Orangutan
Orangutan kalimantan atau Pongo pygmaeus adalah salah satu spesies
orangutan disamping orangutan sumatera. Sesuai namanya, orangutan
kalimantan (Pongo pygmaeus) hidup di pulau Kalimantan dan merupakan
spesies endemik pulau tersebut. Meskipun populasinya lebih banyak
dibandingkan orangutan sumatera, namun bukan berarti orangutan kalimantan
bebas dari ancaman kepunahan. Orangutan kalimantan termasuk salah
satu satwa langka Indonesia dengan status konservasi endangered (terancam).
Hewan ini mempunyai nama latin Pongo pygmaeus. Sedangkan dalam bahasa
Inggris dikenal sebagai Bornean Orangutan. Orangutan kalimantan terdiri atas
3 subspesies yaitu Pongo pygmaeus morio, Pongo pygmaeus pygmaeus,
dan Pongo pygmaeus wurmbii (Singleton I. dkk, 2004). Berikut klasifikasi
dari orangutan menurut Manullang BO., 1990 yaitu :
Kerajaan            : Animalia
Filum                 : Chordata
Kelas                 : Mammalia
Ordo                  : Primata
Family               : Hominidae
Genus                : Pongo
Spesies              : Pongo pygmaeus .
Morfologi dari orangutan kalimantan tidak berbeda jauh dengan
saudaranya, orangutan sumatera. Postur tubuhnya lebih besar dibanding
orangutan sumatera. Orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus) mempunyai
berat tubuh sekitar 50–100 kg (jantan) dan 30-50 kg (betina) dengan tinggi
rata-rata 1,5 meter. Bulunya berwarna coklat kemerahan, memiliki lengan
yang panjang dan kuat, kaki pendek, dan tidak memiliki ekor. Pejantan
orangutan kalimantan memiliki benjolan dari jaringan lemak di kedua sisi
wajah yang mulai berkembang di masa dewasa setelah perkawinan pertama.
Orangutan kalimantan merupakan binatang omnivora walaupun lebih
menyukai tumbuhan. Makanannya adalah buah, dedaunan, kulit pohon,
bunga, telur burung, serangga, dan vertebrata kecil lainnya. Hewan endemik
kalimantan ini aktif di siang hari (diurnal). Mereka berkomunikasi dengan
suara (Rijksen H., 1978).
Sebagai hewan endemik kalimantan, orangutan ini hanya terdapat di
Kalimantan (Indonesia dan Malaysia). Habitatnya adalah hutan di daerah
dataran rendah hingga daerah pegunungan dengan ketinggian 1.500 meter
dpl. Subspesies Pongo pygmaeus (Northwest Bornean Orangutan) dapat
ditemukan di Serawak (Malaysia) dan Kalimantan bagian barat laut.
Subspesies Pongo pygmaeus wurmbii (Central Bornean Orangutan) terdapat
di Kalimantan Tengah dan bagian selatan kalimantan Barat. Sedangkan
subspesies Pongo pygmaeus morio(Northeast Bornean Orangutan) dijumpai
di Kalimantan Timur (Indonesia) dan Sabah (Malaysia). Populasi orangutan
kalimantan memang lebih banyak dibandingkan saudaranya orangutan
sumatera. Populasinya diperkirakan antara 45.000 hingga 69.000 ekor.
Beberapa lokasi yang menjadi habitat binatang endemik langka ini antara lain
Taman Nasional Betung Kerihun (2000 ekor), TN Danau Sentarum (500
ekor), TN Bukit Baka Bukit Raya (175 ekor), TN Gunung Palung (2.500
ekor), dan Bukit Rongga serta Parai (1000 ekor) (Longman KA., 1987).
Populasi orangutan kalimantan ini semakin hari mengalami penurunan
akibat dari rusaknya habitat (kerusakan hutan), kebakaran hutan, pembalakan
hutan, menciutnya luas hutan, serta perburuan dan perdagangan liar. Karena
itu IUCN Redlist memasukkan orangutan kalimantan dalam status
endangered (terancam) sejak tahun 1994. Sedangkan CITES memasukkannya
dalam daftar Apendiks I yang berarti tidak boleh diperdagangkan. Pemerintah
Indonesia juga telah memasukkan spesies ini sebagai satwa yang dilindungi
(Goossens B., 2009).
2.2 Suaka Margasatwa Lamandau

Dalam Undang-Undang No.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber


Daya Hayati dan Ekosistemnya, suaka margasatwa didefinisikan sebagai
kawasan suaka alam yang mempunyai ciri khas berupa keanekaragaman dan
atau keunikan jenis satwa yang untuk kelangsungan hidupnya dapat dilakukan
pembinaan terhadap habitatnya. Keberadaan suaka margasatwa bertujuan
untuk melindungi satwa-satwa tertentu dari kepunahan. Selain itu, kawasan
ini bisa dimanfaatkan untuk kegiatan penelitian, pendidikan, rekreasi dan
pariwisata secara terbatas. Suaka margasatwa merupakan kawasan hutan yang
ditetapkan sebagai tempat perlindungan satwa yang memiliki nilai khas.
Perlindungan diupayakan bagi satwa-satwa yang karena kondisi dan
keadaannya memerlukan upaya perlindungan untuk menjamin kelangsungan
hidupnya. Meskipun tujuan utamanya melestarikan satwa tetapi juga
mencakup perlindungan ekosistemnya. Suaka margasatwa dikategorikan ke
dalam hutan konservasi bersama dengan cagar alam, taman nasional, taman
hutan raya, taman wisata alam dan taman buru.

Suaka Margasatwa Lamandau (SM Lamandau) merupakan kawasan


konservasi dengan ekosistem hutan rawa gambut yang terletak di Kalimantan
Tengah. Suaka Margasatwa Sungai Lamandau merupakan kawasan
konservasi yang terdiri dari tipe ekosistem rawa air tawar dan tipe ekosistem
hutan dataran rendah yang berfungsi sebagai perlindungan dan pelestarian
terhadap jenis-jenis serta keanekaragaman satwa dan habitatnya termasuk
jenis satwa yang memiliki nilai khas diantaranya orangutan kalimantan.
Sebagai salah satu lokasi konservasi Orangutan Kalimantan, SM Lamandau
berpotensi memiliki kekayaan jenis flora dan fauna yang tinggi. Suaka
Margasatwa Lamandau yang selanjutnya disingkat SM Lamandau ditunjuk
sebagai kawasan suaka alam berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan
Republik Indonesia Nomor: 162/Kpts-II/1998 26 Febuari 1998 dengan nama
SM Lamandau. Berdasarkan SK Menhut No. 17/Menhut-II/2010 tanggal 14
Januari 2010, di SK penetapan kawasan konservasi ini nama SM Sungai
Lamandau  berubah menjadi SM Lamandau. Pada tahun 2016 keluar SK
penetapan KPHK Lamandau sesuai dengan Keputusan Menteri Lingkungan
Hidup dan Kehutanan No. SK 474/Menhlk/Setjen/PLA.0/6/2016 tentang
Penetapan Wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi Lamandau,
terletak di Kabupaten Kotawaringan Barat dan Kabupaten Sukamara, Provinsi
Kalimantan Tengah seluas kurang lebih 61.425 ha (Balai Konservasi Sumber
Daya Alam Kalimantan Tengah, 2017). SM Lamandau ditetapkan oleh SK
Menteri Kehutanan No. 17/Menhut-II/2010 tanggal 14 Januari 2010 dengan
luas kurang lebih 56.584 ha. Pada tahun 2015 dilaksanakan kegiatan
penyusunan rancang bangun SM Lamandau dan selanjutnya diusulkan
menjadi KPHK Lamandau.

Berdasarkan administrasi pemerintahan, SM Lamandau berada di wilayah


dua Kabupaten Kotawaringan Barat dan Kabupaten Sukamara, Provinsi
Kalimantan Tengah. Secara geografis, SM Lamandau terletak diantara 02
derajat 41' 42" sampai dengan 03 derajat 13' 48" Lintang Selatan dan diantara
111 derajat 00" 36" sampai dengan 111 derajat 30' 00" Bujur Timur.

Batas-batas SM Lamandau adalah:

1. Sebelah timur: berdasarkan dengan kawasan hutan produksi,


Sungai Lamandau dan Sungai Arut.
2. Sebelah selatan: berbatasan dengan Desa Sungai Pasir.
3. Sebelah barat: berbatasan dengan perkantoran Pemda Sukamara,
Desa Karta Mulya.
4. Sebelah utara: berbatasan dengan PT. Sampoerna Agro dan Desa
Babual Baboti.

Desa yang merupakan desa penyangga SM Lamandau terdiri dari Desa


Sungai Pasir, Karta Mulya, Babual Baboti, Kotawaringan Hilir, Mendawai
Seberang, Tanjung Putri, Tanjung Terantang, dan Pudu (Balai Konservasi
Sumber Daya Alam Kalimantan Tengah, 2017).
SM Sungai Lamandau merupakan kawasan konservasi yang menjadi
habitat bagi orangutan kalimantan dan memiliki nilai penting karena
merupakan salah satu kawasan yang digunakan sebagai lokasi pelepasliaran
orangutan rehabilitasi (Fitriana, 2011). SM Lamandau terletak di Kabupaten
Kotawaringin Barat dan Kabupaten Sukamara dengan luas kawasan ±76.110
ha berdasarkan penunjukan SK Menteri Kehutanan Nomor:162/Kpts-II/1998
tanggal 26 Februari 1998 (Sosilawati et al, 2020). Pelepasliaran orangutan ex-
captive sudah dilakukan oleh yayasan OFUK yang bekerja sama dengan
BKSDA Kalimantan Tengah sejak tahun 1999. Orangutan yang
dilepasliarkan ke SM Lamandau sudah melalui tahapan sosialisasi dan
adaptasi di Orangutan Care Center and Quarantine (OCCQ). Sebagian besar
orangutan ex captive di SM Lamandau berasal dari pusat rehabilitasi OCCQ
center. Pelepasliaran dilakukan pada individu orangutan yang memiliki
kondisi fisiknya baik (tidak cacat), kondisi kesehatannya baik, dan dinyatakan
sudah mampu beradaptasi dengan baik. Pelepasliaran dilakukan pada camp-
camp di SM Lamandau, yang sudah ditentukan lokasi feeding site. Tahap
pelepasliaran mencakup beberapa kegiatan diantaranya pemeriksaan
kesehatan, pemindahan, pengangkutan, dan monitoring orangutan untuk
memastikan perkembangan adaptasi di lingkungan baru.

Orangutan sebelum dilepasliarkan dilakukan pemeriksaan kesehatan ulang


untuk memastikan bahwa individu orangutan yang akan dilepasliarkan bebas
dari penyakit dan benar-benar dalam kondisi sehat. Jumlah orangutan yang
dilepasliarkan dari tahun 1999-2007 sebanyak 150 individu. Sebagian kecil
orangutan yang dilepasliarkan di SM Lamandau sudah mampu bereproduksi.

2.3 Upaya Konservasi yang Dilakukan terhadap Orangutan di SM


Lamandau Upaya konservasi terhadap orangutan kalimantan telah
banyak dilakukan oleh berbagai pihak, baik pemerintah maupun non
pemerintah. Berikut beberapa upaya konservasi yang dilakukan terhadap
orangutan disamping upaya pengelolaan habitatnya di Suaka Margasatwa
Lamandau.

1. Pelepasliaran
Salah satu upaya konservasi dilakukan dengan pelepasliaran
orangutan excaptive. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
keberhasilan pelepasliaran adalah aktivitas orangutan excaptive untuk
menilai tingkat adaptasi orangutan di lingkungan baru dan biaya
operasional yang tinggi (Beck et al. 2009; Meijaard et al. 2001;
Minarwanto 2008). Pengelolaan pelepasliaran orangutan ex-captive juga
akan berpengaruh terhadap keberhasilan pelepasliaran orangutan. Oleh
karena itu, pelepasliaran orangutan harus mendapat dukungan,
pengawasan dan melibatkan banyak pihak diantaranya pemerintah, non
pemerintah, maupun peran masyarakat sekitar hutan.
Pelepasliaran merupakan upaya yang sangat penting dalam
mempertahankan suatu spesies di habitat alaminya (Meijaard et al. 2001).
Pelepasliaran orangutan Kalimantan di SM Lamandau dilakukan oleh
Orangutan Foundation United Kingdom (OFUK) yang bekerjasama
dengan BKSDA Kalimantan Tengah. Program pelepasliaran ini telah
dilaksanakan sejak tahun 1999 sebanyak 150 indvidu orangutan.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka penelitian mengenai pengelolaan
pasca pelepasliaran dan aktivitas orangutan ex-captive perlu dilakukan
sebagai informasi dan data dasar untuk menilai tingkat keberhasilan
pelepasliaran orangutan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis
pengelolaan pasca pelepasliaran dan aktivitas harian orangutan.
Pelepasliaran orangutan ex-captive sudah dilakukan oleh yayasan
OFUK yang bekerja sama dengan BKSDA Kalimantan Tengah sejak
tahun 1999. Orangutan yang dilepasliarkan ke SM Lamandau sudah
melalui tahapan sosialisasi dan adaptasi di Orangutan Care Center and
Quarantine (OCCQ). Sebagian besar orangutan excaptive di SM
Lamandau berasal dari pusat rehabilitasi OCCQ center. Pelepasliaran
dilakukan pada individu orangutan yang memiliki kondisi fisiknya baik
(tidak cacat), kondisi kesehatannya baik, dan dinyatakan sudah mampu
beradaptasi dengan baik. Pelepasliaran dilakukan pada camp-camp di SM
Lamandau, yang sudah ditentukan lokasi feeding site. Tahap pelepasliaran
mencakup beberapa kegiatan diantaranya pemeriksaan kesehatan,
pemindahan, pengangkutan, dan monitoring orangutan untuk memastikan
perkembangan adaptasi di lingkungan baru.
Orangutan sebelum dilepasliarkan dilakukan pemeriksaan
kesehatan ulang untuk memastikan bahwa individu orangutan yang akan
dilepasliarkan bebas dari penyakit dan benar-benar dalam kondisi sehat.
Jumlah orangutan yang dilepasliarkan dari tahun 1999-2007 sebanyak 150
individu. Sebagian kecil orangutan yang dilepasliarkan di SM Lamandau
sudah mampu bereproduksi. Hasil evaluasi data pelepasliaran
( Nawangsari et al, 2016) bahwa dari 150 individu orangutan yang
dilepasliarkan tersebut ternyata hanya 56 (37,33%) individu orangutan
excaptive yang diketahui status keberadaannya, sedangkan sebanyak 94
(62,67%) individu tidak diketahhui pasti status keberadaannya atau hilang
kontak. Berdasarkan dokumen, sebanyak 11 individu orangutan betina
dewasa ex-captive mampu melahirkan sebanyak 16 individu baru, namun
terdapat beberapa orangutan ex-captive yang masih tergolong sering ke
feeding site. Hal ini dapat dijadikan sebagai salah satu indikator
keberhasilan pelepasliaran di SM Lamandau. Individu ex-captive
dikatakan berhasil dipelasliarkan apabila individu orangutan ex-captive
tersebut dapat bertahan hidup mandiri setelah melewati dua musim kering
(miskin buah) di dalam hutan, individu hidup dan tersebar di hutan pasca
pelepasliaran (Trayford et al. 2010) dan individu ex-captive mampu
menghasilkan individu baru (Siregar et al. 2010).

2. Pengelolaan Pasca-Pelepasliaran
Pengelolaan pasca- pelepasliaran orangutan ex-captive yang
dilakukan melalui beberapa kegiatan diantaranya pemantauan orangutan,
penyediaan pakan tambahan di area feeding site, pemantauan habitat
pelepasliaran, dan pemeriksaan kesehatan orangutan (Nawangsari et al,
2016). Pemberian pakan tambahan dilakukan oleh pengelola setiap hari
sekali, yaitu setiap pagi (06.00 WIB) atau sore (15.00 WIB). Pakan
tambahan yang diberikan berupa buah pisang atau papaya.
Kebiasaan orangutan yang diberikan makan oleh pengelola,
sehingga pertimbangan karena orangutan terbiasa menunggu sumber
makanan. Pemberian pakan tambahan tersebut bertujuan untuk
mendukung individu selama beradaptasi di hutan sehingga kondisi
kesehatan mereka tidak langsung menurun di dalam hutan. Faktor
pemberian pakan tambahan menyebabkan rendahnya proporsi pakan hutan
yang dikonsumsi (Prasetyo et al. 2009). Kemampuan orangutan dalam
mendapatkan pakan hutan didasarkan pada kemampuan dan pengalaman
per individu (Russon 2002). Hal ini menunjukkan bahwa orangutan
rehabilitan memerlukan proses yang sangat panjang dan rumit dalam
membentuk kemampuan adaptasi mereka seperti layaknya orangutan liar.
Pemantauan habitat pelepasliaran orangutan dilakukan melalui
pengecekan pohon pakan orangutan. Pemantauan habitat ini dilakukan
dengan tujuan untuk mengetahui musim pohon berbuah. Pemantauan
orangutan ex-captive yang dilakukan meliputi monitoring orangutan yang
sering datang ke feeding dan sekitar camp, pemantauan aktivitas orangutan
dari keluar sarang sampai masuk ke dalam sarang, monitoring orangutan
aktivitas orangutan yang diketahui sedang bunting atau mempunyai anak.
Orangutan yang dilepasliarkan ke habitat alaminya harus diakukan
pemantauan untuk mengetahui tingkat keberhasilan pelepasliaran.
Pemantauan orangutan excaptive harus dilakukan dalam jangka panjang.
Hal ini bertujuan untuk memperbaruhi database populasi orangutan ex-
captive. Kegiatan ini juga harus didukung oleh masyarakat sekitar hutan
dengan cara sosialisasi akan pentingnnya orangutan dalam suatu ekosistem
bagi masyarakat untuk mencegah adanya perburuan. Selain itu, dukungan
dan kerjasama antar stakeholder akan sangat penting dalam keberhasilan
pelepasliaran orangutan ex-captive (Hockings dan Humle 2009).

III. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kesimpulan dari makalah kewirausahaan bambu ampel ini adalah
sebagai berikut.

1. Populasi orangutan kalimantan semakin hari mengalami


penurunan akibat dari rusaknya habitat (kerusakan
hutan), kebakaran hutan, pembalakan hutan, menciutnya luas
hutan, serta perburuan dan perdagangan liar. Karena itu IUCN
Redlist memasukkan orangutan kalimantan dalam status
endangered (terancam) sejak tahun 1994. Sedangkan CITES
memasukkannya dalam daftar Apendiks I yang berarti tidak boleh
diperdagangkan.

2. Suaka Margasatwa Lamandau (SM Lamandau) merupakan


kawasan konservasi dengan ekosistem hutan rawa gambut yang
terletak di Kalimantan Tengah. Suaka Margasatwa Sungai
Lamandau merupakan kawasan konservasi yang terdiri dari tipe
ekosistem rawa air tawar dan tipe ekosistem hutan dataran rendah
yang berfungsi sebagai perlindungan dan pelestarian terhadap
jenis-jenis serta keanekaragaman satwa dan habitatnya termasuk
jenis satwa yang memiliki nilai khas diantaranya orangutan
kalimantan.

3. Upaya konservasi yang dilakukan terhadap orangutan di SM


Lamandau berupa upaya pelepasliaran dan pasca-pelepasliaran.
Program pelepasliaran ini telah dilaksanakan sejak tahun 1999
sebanyak 150 indvidu orangutan. Tahap pelepasliaran mencakup
beberapa kegiatan diantaranya pemeriksaan kesehatan,
pemindahan, pengangkutan, dan monitoring orangutan untuk
memastikan perkembangan adaptasi di lingkungan baru.
Pengelolaan orangutan pasca-pelepasliaran ex-captive yang
dilakukan melalui beberapa kegiatan diantaranya pemantauan
orangutan, penyediaan pakan tambahan di area feeding site,
pemantauan habitat pelepasliaran, dan pemeriksaan kesehatan
orangutan
3.2 Saran
Saran yang dapat penulis berikan yaitu perlunya penelitian lebih lanjut
terhadap upaya konservasi orangutan di SM Lamandau lebih lanjut terkait
ketersediaan pangan ataupun upaya konservasi habitat orangutan di SM
Lamandau itu sendiri hal itu ditunjukkan dengan minimnya literatur yang
membahas persoalan tersebut.
Daftar Pustaka

Departemen Kehutanan. 2007. Strategi dan Rencana Konservasi Orangutan


Indonesia 2007-2017. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan
Konservasi Alam. Departemen Republik Indonesia. Jakarta.

Mahendra, F., Wulandari, C., & Yuwono, S. B. 2019. Perbandngan


Keanekaragaman Mesofauna Tanah pada Hutan Lindung dan Hutan
Konservasi di Lapung Barat.

Fitriana, F. 2011. Pemodelan Spasial Kesesuaian Habitat Orangutan Kalimantan


(Pongo pygmaeus wurmbii, Linneaus 1760) di Suaka Margastawa Sungai
Lamandau Kalimantan Tengah [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor Fitriana F, Prasetyo LB, Kartono AP. 2016. Habitat Preferensial
Tarsius Belitung (Cephalopachus bancanus saltator Elliot, 1910).
Media Konservasi 21(2):174- 182.

Galdikas BMF. 1988. Orangutan diet, range, and activity at Tanjung Puting,
Central Borneo. Int J Primatol 9 (1): 1-35.

Anthony, Nayman J. 1978. World of wildlife. New York: Fact on File

Beck B, Walkup K, Rodrigues M, Unwin S, Travis D, Stoinski. 2009. Panduan


Re-introduksi Kera Besar. Kuncoro P, Penerjemah; Williamson EA,
Editor. Swiss: SSC Primate Specialist Group World Conservation Union.
56 pp.

Meijaard E, Rijksen DH, Kartikasari NS. 2001. Di Ambang Kepunahan–Kondisi


Orangutan Liar di Awal Abad ke-21. Jakarta (ID): The Gibbon Foundation
Indonesia.

Minarwanto H. 2008. Studi aktivitas harian orangutan (Pongo pygmaeus wurmbii)


di orangutan care Center and Quarantine Pangkalan Bun, Kalimantan
Tengah [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Trayford H, Pratje PH, Singleton I. 2010. Reintroduction of the Sumatran
orangutan in Sumatra, Indonesia. Gland [CH]: IUCN-Reintroduction
Specialist Group.

Siregar RSE, Farmer KH, Chivers DJ, Saragih B. 2010. Re-introduction of


Bornean orang-utans to Meratus Protected Forest, East Kalimantan,
Indonesia. Gland [CH]: IUCN-Reintroduction Specialist Group.

Prasetyo D, Ancrenaz M, Morrogh-Bernard HC, Utami ASS, Wich SA, van


Schaik CP. 2009. Di dalam Wich SA, Utami SSA, Setia TM, van Schaik
CP, editor. Orangutans: Geographic variation in Behavioral Ecology and
Conservation. (pp. 269- 277). Oxford [GB]: Oxford University Press

Russon AE. 2002. Return of the native: cognition and site-specific expertise in
orangutan rehabilitation. International Journal of Primatology 23(3): 461-
478.

Hockings K, Humle T. 2009. Best Practice Guidelines for The Prevention and
Mitigation of Conflict Between Humans and Great Apes. Gland [CH]:
IUCN/SSC Primate Specialist Group.

Nawangsari, V. A., Mustari, A. H., & Masyud, B. (2016). Pengelolaan Pasca


Pelepasliaran dan Aktivitas Orangutan (Pongo Pygmaeus Wurmbii
Groves, 2001) Ex-captive di Suaka Margasatwa Lamandau. Media
Konservasi, 21(1), 36-41.

Goossens B., Chikhi L., Jalil MF., James S., Ancrenaz M., LackmanAncrenaz, I.
and Bruford, M. in: Orangutans: Georaphic Variation in Behavioral
Ecology and Conservation (S. A. Wich, S.S.U. Atmoko, T. M. Setia, eds).
Oxford University Press, 2009, p.1-13.

Longman KA and J. Jenik. Tropical Forest and its Environment. Longman


Scientific and Technical, Singapore, 1987, p. 347.
Rijksen H. A Field Study of Sumatran Orangutan (Pongo pygmaeus abelli, Lesson
1827) : Ecology, Behaviour and Conservation. H. Vveenman and Zonen B.
V. , Wegeningen, 1978, p. 420.
Manullang BO. The Importance of Lianas to a Communityof Primates Relative to
the Importance of Trees. Thesis MSc University of California, Davis, 1990, p.
109.
Singleton I., Wich SA., Hosson S., Stephens S., Utami-Atmoko SS., Leighton M.,
Rosen N., TaylorHolzer K., Lacy R., and Byers O. Orangutan Populationand
Habitat Viability Assessment: Final Report, IUCN-SSC Conservation
Breeding Spesialist Group, Apple Valey, MN, 2004.
Anthony, Nayman J. 1978. World of wildlife. New York: Fact on File

Departemen Kehutanan. 2007. Strategi dan Rencana Konservasi Orangutan


Indonesia 2007-2017. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan
Konservasi Alam. Departemen Republik Indonesia. Jakarta.

Fitriana, F. 2011. Pemodelan Spasial Kesesuaian Habitat Orangutan Kalimantan


(Pongo pygmaeus wurmbii, Linneaus 1760) di Suaka Margastawa Sungai
Lamandau Kalimantan Tengah [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor Fitriana F, Prasetyo LB, Kartono AP. 2016. Habitat Preferensial
Tarsius Belitung (Cephalopachus bancanus saltator Elliot, 1910).
Media Konservasi 21(2):174- 182.

Galdikas BMF. 1988. Orangutan diet, range, and activity at Tanjung Puting,
Central Borneo. Int J Primatol 9 (1): 1-35.

Mahendra, F., Wulandari, C., & Yuwono, S. B. 2019. Perbandngan


Keanekaragaman Mesofauna Tanah pada Hutan Lindung dan Hutan
Konservasi di Lampung Barat.

Anda mungkin juga menyukai