Oleh:
JURUSAN KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN
2022
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini sesuai tenggat
waktu yang ditentukan. Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk
memenuhi tugas dari mata kuliah Konservasi Eksitu dan Insitu dengan judul
makalah Konservasi Orangutan di Suaka Margasatwa Lamandau.
Penulis mengucapkan terima kasih secara khusus kepada Ir. Moh. Rizal
M.Si selaku salah satu dosen pengampu mata kuliah Konservasi Eksitu dan Insitu
yang membimbing penulis dalam menyusun makalah ini. Penulis tidak lupa juga
berterima kasih kepada semua pihak yang turut andil dalam penyusunan makalah
ini sehingga dapat terselesaikan dengan baik.
Kiranya makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Akhir kata penulis
ucapkan terima kasih.
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
Kata Pengantar...................................................................................................... i
Daftar Isi............................................................................................................... ii
Bab I. Pendahuluan
ex Wendl)................................................................................................... 8
3.1 Kesimpulan................................................................................................. 32
3.2 Saran........................................................................................................... 33
Daftar Pustaka
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Bagian dalam......................................................................................... 7
Gambar 3. Penampang melintang bambu ampel pada arah aksial dan radial....... 7
Monteiro, 1997).................................................................................... 12
2.1 Orangutan
Orangutan kalimantan atau Pongo pygmaeus adalah salah satu spesies
orangutan disamping orangutan sumatera. Sesuai namanya, orangutan
kalimantan (Pongo pygmaeus) hidup di pulau Kalimantan dan merupakan
spesies endemik pulau tersebut. Meskipun populasinya lebih banyak
dibandingkan orangutan sumatera, namun bukan berarti orangutan kalimantan
bebas dari ancaman kepunahan. Orangutan kalimantan termasuk salah
satu satwa langka Indonesia dengan status konservasi endangered (terancam).
Hewan ini mempunyai nama latin Pongo pygmaeus. Sedangkan dalam bahasa
Inggris dikenal sebagai Bornean Orangutan. Orangutan kalimantan terdiri atas
3 subspesies yaitu Pongo pygmaeus morio, Pongo pygmaeus pygmaeus,
dan Pongo pygmaeus wurmbii (Singleton I. dkk, 2004). Berikut klasifikasi
dari orangutan menurut Manullang BO., 1990 yaitu :
Kerajaan : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Mammalia
Ordo : Primata
Family : Hominidae
Genus : Pongo
Spesies : Pongo pygmaeus .
Morfologi dari orangutan kalimantan tidak berbeda jauh dengan
saudaranya, orangutan sumatera. Postur tubuhnya lebih besar dibanding
orangutan sumatera. Orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus) mempunyai
berat tubuh sekitar 50–100 kg (jantan) dan 30-50 kg (betina) dengan tinggi
rata-rata 1,5 meter. Bulunya berwarna coklat kemerahan, memiliki lengan
yang panjang dan kuat, kaki pendek, dan tidak memiliki ekor. Pejantan
orangutan kalimantan memiliki benjolan dari jaringan lemak di kedua sisi
wajah yang mulai berkembang di masa dewasa setelah perkawinan pertama.
Orangutan kalimantan merupakan binatang omnivora walaupun lebih
menyukai tumbuhan. Makanannya adalah buah, dedaunan, kulit pohon,
bunga, telur burung, serangga, dan vertebrata kecil lainnya. Hewan endemik
kalimantan ini aktif di siang hari (diurnal). Mereka berkomunikasi dengan
suara (Rijksen H., 1978).
Sebagai hewan endemik kalimantan, orangutan ini hanya terdapat di
Kalimantan (Indonesia dan Malaysia). Habitatnya adalah hutan di daerah
dataran rendah hingga daerah pegunungan dengan ketinggian 1.500 meter
dpl. Subspesies Pongo pygmaeus (Northwest Bornean Orangutan) dapat
ditemukan di Serawak (Malaysia) dan Kalimantan bagian barat laut.
Subspesies Pongo pygmaeus wurmbii (Central Bornean Orangutan) terdapat
di Kalimantan Tengah dan bagian selatan kalimantan Barat. Sedangkan
subspesies Pongo pygmaeus morio(Northeast Bornean Orangutan) dijumpai
di Kalimantan Timur (Indonesia) dan Sabah (Malaysia). Populasi orangutan
kalimantan memang lebih banyak dibandingkan saudaranya orangutan
sumatera. Populasinya diperkirakan antara 45.000 hingga 69.000 ekor.
Beberapa lokasi yang menjadi habitat binatang endemik langka ini antara lain
Taman Nasional Betung Kerihun (2000 ekor), TN Danau Sentarum (500
ekor), TN Bukit Baka Bukit Raya (175 ekor), TN Gunung Palung (2.500
ekor), dan Bukit Rongga serta Parai (1000 ekor) (Longman KA., 1987).
Populasi orangutan kalimantan ini semakin hari mengalami penurunan
akibat dari rusaknya habitat (kerusakan hutan), kebakaran hutan, pembalakan
hutan, menciutnya luas hutan, serta perburuan dan perdagangan liar. Karena
itu IUCN Redlist memasukkan orangutan kalimantan dalam status
endangered (terancam) sejak tahun 1994. Sedangkan CITES memasukkannya
dalam daftar Apendiks I yang berarti tidak boleh diperdagangkan. Pemerintah
Indonesia juga telah memasukkan spesies ini sebagai satwa yang dilindungi
(Goossens B., 2009).
2.2 Suaka Margasatwa Lamandau
1. Pelepasliaran
Salah satu upaya konservasi dilakukan dengan pelepasliaran
orangutan excaptive. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
keberhasilan pelepasliaran adalah aktivitas orangutan excaptive untuk
menilai tingkat adaptasi orangutan di lingkungan baru dan biaya
operasional yang tinggi (Beck et al. 2009; Meijaard et al. 2001;
Minarwanto 2008). Pengelolaan pelepasliaran orangutan ex-captive juga
akan berpengaruh terhadap keberhasilan pelepasliaran orangutan. Oleh
karena itu, pelepasliaran orangutan harus mendapat dukungan,
pengawasan dan melibatkan banyak pihak diantaranya pemerintah, non
pemerintah, maupun peran masyarakat sekitar hutan.
Pelepasliaran merupakan upaya yang sangat penting dalam
mempertahankan suatu spesies di habitat alaminya (Meijaard et al. 2001).
Pelepasliaran orangutan Kalimantan di SM Lamandau dilakukan oleh
Orangutan Foundation United Kingdom (OFUK) yang bekerjasama
dengan BKSDA Kalimantan Tengah. Program pelepasliaran ini telah
dilaksanakan sejak tahun 1999 sebanyak 150 indvidu orangutan.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka penelitian mengenai pengelolaan
pasca pelepasliaran dan aktivitas orangutan ex-captive perlu dilakukan
sebagai informasi dan data dasar untuk menilai tingkat keberhasilan
pelepasliaran orangutan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis
pengelolaan pasca pelepasliaran dan aktivitas harian orangutan.
Pelepasliaran orangutan ex-captive sudah dilakukan oleh yayasan
OFUK yang bekerja sama dengan BKSDA Kalimantan Tengah sejak
tahun 1999. Orangutan yang dilepasliarkan ke SM Lamandau sudah
melalui tahapan sosialisasi dan adaptasi di Orangutan Care Center and
Quarantine (OCCQ). Sebagian besar orangutan excaptive di SM
Lamandau berasal dari pusat rehabilitasi OCCQ center. Pelepasliaran
dilakukan pada individu orangutan yang memiliki kondisi fisiknya baik
(tidak cacat), kondisi kesehatannya baik, dan dinyatakan sudah mampu
beradaptasi dengan baik. Pelepasliaran dilakukan pada camp-camp di SM
Lamandau, yang sudah ditentukan lokasi feeding site. Tahap pelepasliaran
mencakup beberapa kegiatan diantaranya pemeriksaan kesehatan,
pemindahan, pengangkutan, dan monitoring orangutan untuk memastikan
perkembangan adaptasi di lingkungan baru.
Orangutan sebelum dilepasliarkan dilakukan pemeriksaan
kesehatan ulang untuk memastikan bahwa individu orangutan yang akan
dilepasliarkan bebas dari penyakit dan benar-benar dalam kondisi sehat.
Jumlah orangutan yang dilepasliarkan dari tahun 1999-2007 sebanyak 150
individu. Sebagian kecil orangutan yang dilepasliarkan di SM Lamandau
sudah mampu bereproduksi. Hasil evaluasi data pelepasliaran
( Nawangsari et al, 2016) bahwa dari 150 individu orangutan yang
dilepasliarkan tersebut ternyata hanya 56 (37,33%) individu orangutan
excaptive yang diketahui status keberadaannya, sedangkan sebanyak 94
(62,67%) individu tidak diketahhui pasti status keberadaannya atau hilang
kontak. Berdasarkan dokumen, sebanyak 11 individu orangutan betina
dewasa ex-captive mampu melahirkan sebanyak 16 individu baru, namun
terdapat beberapa orangutan ex-captive yang masih tergolong sering ke
feeding site. Hal ini dapat dijadikan sebagai salah satu indikator
keberhasilan pelepasliaran di SM Lamandau. Individu ex-captive
dikatakan berhasil dipelasliarkan apabila individu orangutan ex-captive
tersebut dapat bertahan hidup mandiri setelah melewati dua musim kering
(miskin buah) di dalam hutan, individu hidup dan tersebar di hutan pasca
pelepasliaran (Trayford et al. 2010) dan individu ex-captive mampu
menghasilkan individu baru (Siregar et al. 2010).
2. Pengelolaan Pasca-Pelepasliaran
Pengelolaan pasca- pelepasliaran orangutan ex-captive yang
dilakukan melalui beberapa kegiatan diantaranya pemantauan orangutan,
penyediaan pakan tambahan di area feeding site, pemantauan habitat
pelepasliaran, dan pemeriksaan kesehatan orangutan (Nawangsari et al,
2016). Pemberian pakan tambahan dilakukan oleh pengelola setiap hari
sekali, yaitu setiap pagi (06.00 WIB) atau sore (15.00 WIB). Pakan
tambahan yang diberikan berupa buah pisang atau papaya.
Kebiasaan orangutan yang diberikan makan oleh pengelola,
sehingga pertimbangan karena orangutan terbiasa menunggu sumber
makanan. Pemberian pakan tambahan tersebut bertujuan untuk
mendukung individu selama beradaptasi di hutan sehingga kondisi
kesehatan mereka tidak langsung menurun di dalam hutan. Faktor
pemberian pakan tambahan menyebabkan rendahnya proporsi pakan hutan
yang dikonsumsi (Prasetyo et al. 2009). Kemampuan orangutan dalam
mendapatkan pakan hutan didasarkan pada kemampuan dan pengalaman
per individu (Russon 2002). Hal ini menunjukkan bahwa orangutan
rehabilitan memerlukan proses yang sangat panjang dan rumit dalam
membentuk kemampuan adaptasi mereka seperti layaknya orangutan liar.
Pemantauan habitat pelepasliaran orangutan dilakukan melalui
pengecekan pohon pakan orangutan. Pemantauan habitat ini dilakukan
dengan tujuan untuk mengetahui musim pohon berbuah. Pemantauan
orangutan ex-captive yang dilakukan meliputi monitoring orangutan yang
sering datang ke feeding dan sekitar camp, pemantauan aktivitas orangutan
dari keluar sarang sampai masuk ke dalam sarang, monitoring orangutan
aktivitas orangutan yang diketahui sedang bunting atau mempunyai anak.
Orangutan yang dilepasliarkan ke habitat alaminya harus diakukan
pemantauan untuk mengetahui tingkat keberhasilan pelepasliaran.
Pemantauan orangutan excaptive harus dilakukan dalam jangka panjang.
Hal ini bertujuan untuk memperbaruhi database populasi orangutan ex-
captive. Kegiatan ini juga harus didukung oleh masyarakat sekitar hutan
dengan cara sosialisasi akan pentingnnya orangutan dalam suatu ekosistem
bagi masyarakat untuk mencegah adanya perburuan. Selain itu, dukungan
dan kerjasama antar stakeholder akan sangat penting dalam keberhasilan
pelepasliaran orangutan ex-captive (Hockings dan Humle 2009).
III. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kesimpulan dari makalah kewirausahaan bambu ampel ini adalah
sebagai berikut.
Galdikas BMF. 1988. Orangutan diet, range, and activity at Tanjung Puting,
Central Borneo. Int J Primatol 9 (1): 1-35.
Russon AE. 2002. Return of the native: cognition and site-specific expertise in
orangutan rehabilitation. International Journal of Primatology 23(3): 461-
478.
Hockings K, Humle T. 2009. Best Practice Guidelines for The Prevention and
Mitigation of Conflict Between Humans and Great Apes. Gland [CH]:
IUCN/SSC Primate Specialist Group.
Goossens B., Chikhi L., Jalil MF., James S., Ancrenaz M., LackmanAncrenaz, I.
and Bruford, M. in: Orangutans: Georaphic Variation in Behavioral
Ecology and Conservation (S. A. Wich, S.S.U. Atmoko, T. M. Setia, eds).
Oxford University Press, 2009, p.1-13.
Galdikas BMF. 1988. Orangutan diet, range, and activity at Tanjung Puting,
Central Borneo. Int J Primatol 9 (1): 1-35.