SKRIPSI
Oleh:
NIM. I1022181047
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2022
GAMBARAN KARAKTERISTIK DAN PENGGUNAAN OBAT PADA
PASIEN DISPEPSIA RAWAT INAP DI RSUD dr. RUBINI KABUPATEN
MEMPAWAH TAHUN 2020
SKRIPSI
Universitas Tanjungpura
Oleh:
NIM. I1022181047
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2022
ii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
NIM : I1022181047
Jurusan/Prodi : Farmasi
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-
benar merupakan merupakan hasil karya saya sendiri, tidak terdapat karya yang
dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang
pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu
Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan skripsi ini hasil
iii
SKRIPSI
Disetujui
RE`T`
Pembimbing Utama, Pembimbing Pendamping,
Mengetahui
Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Tanjungpura
iv
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-
Penggunaan Obat Pada Pasien Dispepsia Rawat Inap di RSUD dr. Rubini
2. Ibu Dr. Liza Pratiwi, M.Sc., Apt selaku Ketua Jurusan Program Studi
5. Ibu Nera Umilia Purwanti., M.Sc.,Apt selaku penguji utama dan Bapak
telah senantiasa memberikan saran dan kritik dalam penulisian skripsi ini.
v
6. Ibu Sri Luliana, M.Farm, Apt selaku pembimbing akademik yang telah
perkuliahan penulis.
8. Ya’ Helmizar., S.H., M.M dan Meiry Andini., A.Md selaku orang tua
penulis dan dr. Farah Dhaifina Fitri., MMRS serta Aishwarya Zatil Aqmar
9. Rekan satu tim penulis, Dita, Novi, Serli dan Bella yang tak pernah lelah
10. Sahabat tercinta saya Novi, Isrok, Nunik, Angkara, Bela, Nabilah, dan
motivasi, kritik, dan saran sehingga penyusun skripsi ini dapat berjalan
dengan lancar.
11. Sahabat satu grup Sarjana Farmasi ( Ike, Isti, Laura, Bella, Serli, Ulfa,
Defiga, Dita, dan Novi ) yang selalu menemani dari awal saya masuk
vi
12. Bang Cahyo, Bang Arafat, dan kakak maupun abang senior yang lain yang
telah sabar dan memberikan contoh serta motivasi kepada penulis hingga
banggakan dan tidak dapat saya sebutkan satu persatu, yang telah
sama dan dukungannya selama ini. Semoga kita semua sukses bersama.
Penulis
vii
DAFTAR ISI
Isi Halaman
HALAMAN JUDUL..............................................................................................ii
HALAMAN PENGESAHAN…………......................................,........................iv
KATA PENGANTAR............................................................................................v
ABSTRAK ............................................................................................................xv
viii
II.1.3 Etiologi Dispepsia ..........................................................................7
ix
III.3 Tempat dan Waktu Penelitian.............................................................. 32
x
IV.3.5 Gambaran Pasien Dispesia Berdasarkan Pekerjaan .................. 47
LAMPIRAN ..........................................................................................................74
xi
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
xiv
ABSTRAK
xv
ABSTRACT
The 2006 Indonesian health data profile states that dyspepsia ranks 10th out of
the top 10 most hospitalized diseases in all Indonesian hospitals with 34,029
cases (1.52%). This study aims to describe the characteristics of inpatient
dyspepsia patients, determine the presentation of dyspepsia drug use, and
describe comorbidities in inpatient dyspepsia patients at RSUD dr. Rubini
Kabupaten Mempawah. The sampling method used purposive sampling and data
were taken from medical records with a total of 110 patients. Data collection used
medical record for inpatient dyspepsia patients at dr. Rubini Hospital,
Mempawah Regency for the January-December 2020 period. The results in this
study were dyspepsia patients who were hospitalized at dr.Rubini Hospital,
Mempawah Regency, the dominant gender was female (74.55%), patients with the
majority age ranged 46-55 years (23.63%), housewife work (52.72%) with a
senior high school education (42.37%). Dyspepsia patients with marital status
(77.28%), patients with the majority of non-smoking habits (82.73%), and patients
with 3 days of hospitalization (27.27%). The most widely used drug use in RSUD
dr. Rubini, Mempawah Regency, namely omeprazole injection (26.90%) and the
most common combination treatment for dyspepsia is PPI + Cytoprotective +
Antiemetic (49.10%). The most dominant comorbidities in inpatient dyspepsia
patients at RSUD dr. Rubini, Mempawah Regency are Hypertension and Vertigo.
xvi
BAB I
PENDAHULUAN
Dispepsia adalah salah satu masalah pencernaan yang paling umum terjadi
memiliki rasa sakit atau rasa tidak enak pada perut bagian atas atau ulu hati. (1)
Gejala-gejala pada dispepsia berupa nyeri ulu hati, mual, kembung, muntah,
sendawa, rasa cepat kenyang, dan perut terasa penuh atau begah. (2) Dispepsia dapat
ditimbulkan karena faktor diet dan lingkungan, fungsi motorik lambung, sekresi
Helicobacter pylori.(3) Selain itu faktor usia, jenis kelamin, suku, dan pekerjaan
menduduki urutan ke-10 dari 10 besar penyakit rawat inap terbanyak di seluruh
rumah sakit Indonesia dengan 34.029 kasus (1,52%).(5) Peningkatan kasus pada
pasien dispepsia tahun 2010 menempati urutan ke-5 dari 10 besar penyakit rawat
inap di rumah sakit dengan angka kejadian kasus sebesar 9.594 (38,82%) pada
pasien laki-laki dan 15.122 (61,18%) pada pasien perempuan.(6) Rumah Sakit
Angkatan Laut Dr. Mintohardjo menyatakan dispepsia berada pada urutan ke-2
sindrom dispepsia ikut meningkat akibat dari pola hidup yang tidak teratur. (4)
1
2
pola hidup seseorang.(8) Pola hidup yang tidak baik dapat menimbulkan berbagai
pasien perempuan lebih banyak dikarenakan ketakutan akan body image dan
dispepsia.(9) Wanita dengan pekerjaan Ibu Rumah Tangga juga banyak mengalami
dispepsia karena aktivitas yang monoton dan menyebabkan stress kemudian akan
darah dari portal ke sirkulasi sistemik yang melewati jalur gastrointestinal. Rute
yang paling signifikan yaitu melalui vena lambung kiri dengan jalur alternatif
Pengobatan pada pasien dispepsia dapat berupa antasida, anti sekresi asam
lambung yaitu Proton Pump Inhibitor (PPI) misalnya omeprazole, rabeprazole dan
pilihan obat baik tunggal maupun kombinasi ditentukan berdasarkan keluhan dan
rawat inap di RSUD Sultan Syarif Mohamad Alkadrie Pontianak.(13) Selain itu,
terjadinya interaksi antar obat yang menimbulkan efek pada pasien. Efek yang
penurunan khasiat.(16)
tentang gambaran karakteristik dan penggunaan obat dispepsia pada pasien rawat
inap di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Rubini Kabupaten Mempawah belum
pernah dilakukan. Oleh sebab itu, peneliti tertarik untuk meneliti tentang gambaran
Mempawah khususnya pada pasien rawat inap. Hasil penelitian ini nantinya
diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam membuat rencana yang lebih
baik lagi terkait perencanaan, pengobatan dan penggunaan obat dispepsia bagi
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah dari penelitian ini
adalah:
2. Berapa persentase penggunaan obat dispepsia pada pasien rawat inap di RSUD
3. Apa saja penyakit komorbid yang menyertai pasien dispepsia rawat inap di
Mempawah.
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Dispepsia
Dispepsia berasal dari bahasa yunani “dys” artinya buruk dan “pepsis’ yang
artinya pencernaan, digunakan sebagai gambaran dari gejala-gejala atau rasa tidak
suatu sindrom atau kumpulan gejala keluhan yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak
nyaman di ulu hati, kembung, mual, muntah, sendawa, rasa cepat kenyang, perut
terasa penuh/ begah.(18) Dispepsia memberikan dampak pada kualitas hidup, karena
perjalanan alamiah penyakit dispepsia berjalan kronis dan sering kambuh. (19)
Dispepsia merupakan salah satu dari berbagai keluhan umum yang dapat
ditemui oleh dokter di berbagai bidang, tidak terbatas hanya pada ahli saluran cerna
terus berkembang sejak dimulainya investigasi secara ilmiah pada 1980-an sampai
dengan saat ini yang memandang infeksi Helicobacter pylori sebagai salah satu
faktor kunci dalam menangani dispepsia, baik terkait ulkus maupun non-ulkus.(20)
Dispepsia sebagai suatu gejala ataupun sindrom, dapat disebabkan oleh berbagai
5
6
Lesi mukosa (kerusakan mukosa) yang ditemukan dan sesuai dengan temuan
kardiovaskular.(21)
dispepsia fungsional masih sangat terbatas. Sebuah studi baru-baru ini di Jepang
plasebo. Masalah psikologis serta gangguan tidur dan defek pada sensitivitas
serotonin sentral dapat menjadi faktor penting dalam respon terapi antidepresan
kronis. .
e. Bersifat fungsional: yaitu dispepsia yang terdapat pada kasus yang tidak terbukti
a. Epigastric Pain
jaringan.
b. Postprandial Fullness
c. Early Satiation
Perasaan bahwa perut sudah terlalu penuh segera setelah mulai makan, tidak
sesuai dengan ukuran makanan yang dimakan, sehingga makan tidak dapat
8
adalah istilah yang benar untuk hilangnya sensasi nafsu makan selama proses
menelan makanan.
II.1.5 Patofisiologi
Peningkatan sensitivitas mukosa lambung dapat terjadi akibat pola makan yang
tidak teratur. Pola makan yang tidak teratur akan membuat lambung sulit untuk
beradaptasi dalam pengeluaran sekresi asam lambung. Jika hal ini berlangsung
dalam waktu yang lama, produksi asam lambung akan berlebihan sehingga
fungsional memiliki pengosongan lebih lambat 1,5 kali dari pasien normal.(26)
gejala.(18)
Akomodasi lambung dimediasi oleh serotonin dan nitrat oksida melalui saraf
vagus dari sistem saraf enterik. Dilaporkan bahwa pada penderita dispepsia
5. Helicobacter pylori
sekitar 50% pada dispepsia fungsional dan tidak berbeda pada kelompok orang
pylori pada dispepsia fungsional dengan Helicobacter pylori positif yang gagal
6. Disfungsi Otonom
7. Peranan Hormonal
dengan prevalensi yang dilaporkan lebih besar dari 40% termasuk rempah-
rempah, alkohol, makanan pedas, cokelat, paprika, buah jeruk, dan ikan. (26)
9. Faktor Psikologis
lambung yang mendahului mual setelah stimulus stress sentral. Tetapi korelasi
antara faktor psikologi stres kehidupan, fungsi otonom dan motilitas masih
kontroversial.(18)
fungsional. Dispepsia organik terdiri dari ulkus gaster, ulkus duodenum, gastritis
kepada kriteria Roma III. Kriteria Roma III belum divalidasi di Indonesia.
diagnosis Roma III dengan penambahan gejala berupa kembung pada abdomen
Dispepsia menurut kriteria Roma III adalah suatu penyakit dengan satu atau
1. Nyeri epigastrium
Gejala yang dirasakan harus berlangsung setidaknya selama tiga bulan terakhir
dengan awitan gejala enam bulan sebelum diagnosis ditegakkan. Kriteria Roma III
dan postprandial distress syndrome. Akan tetapi, bukti terkini menunjukkan bahwa
terdapat tumpang tindih diagnosis dalam dua pertiga pasien dispepsia. (12)
Evaluasi tanda bahaya harus selalu menjadi bagian dari evaluasi pasien-
pasien yang datang dengan keluhan dispepsia. Tanda bahaya pada dispepsia yaitu:
2. Disfagia progresif
5. Anemia
6. Demam
Strategi tata laksana optimal pada fase ini adalah memberikan terapi empirik
selama 1-4 minggu sebelum hasil investigasi awal, yaitu pemeriksaan adanya Hp.
Untuk daerah dan etnis tertentu serta pasien dengan faktor risiko tinggi,
pemeriksaan Hb harus dilakukan lebih awal. Obat yang dipergunakan dapat berupa
antasida, anti sekresi asam lambung ( PPI misalnya omeprazole, rabeprazole dan
baru yang bekerja melalui down-regulation proton pump yang diharapkan memiliki
II.2.1 Internal
1. Jenis Kelamin
Berdasarkan penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
adalah perempuan sebesar 71,2% dari total populasi.(4) Hasil penelitian yang
wanita lebih banyak dari pada laki-laki yaitu sebesar 4:1.(27) Penelitian yang
besar terjadi pada perempuan yaitu 7,53% daripada laki-laki yaitu 4,14%.(28)
Hasil penelitian ini kembali diperkuat oleh penelitian bahwa, terdapat hubungan
yang bermakna antara jenis kelamin dengan kejadian sindroma dispepsia. (11)
2. Umur
Kejadian dispepsia pada usia muda sangat rentan terjadi, apabila tidak ditangani
dengan serius maka seiring bertambahnya usia seseorang maka akan terus
3. Tingkat Pendidikan
menengah kebawah. Hal ini mungkin menyebabkan stres psikologis yang lebih
4. Pekerjaan
Mayoritas yang bekerja sebagai Ibu Rumah Tangga (IRT) sebesar 61,5%
mengalami dispepsia. Hal ini juga didukung dengan hasil penelitian bahwa
dispepsia lebih banyak dialami pada oleh ibu rumah tangga yaitu sebanyak
23,6% dari total populasi pada penelitian.(6)(18) Stress dapat terjadi karena adanya
ditambah lagi dengan tuntutan harus serba cepat dan tepat membuat orang hidup
bahwa stres kerja masih menjadi perhatian, dimana 80% dari karyawan
II.2.2 Eksternal
1. Pola Makan
adalah jeda waktu makan, frekuensi makan, pola makan, dan jadwal makan.
2. Konsumsi Kafein
15
3. Konsumsi Alkohol
hubungan yang pasti antara alkohol dan dispepsia. Alkohol bekerja melenturkan
produksi asam lambung, produksi gas, dan malabsorbsi zat-zat gizi menyatakan
lambung.(33)
4. Kebiasaan Merokok
Inggris, dan India. Tar dalam asap rokok dapat melemahkan katup LES (Lower
Penelitian pada setiap warga Amerika yang dewasa, penggunaan NSAID sangat
kerusakan mukosa dengan cara mengiritasi langsung pada epitel lambung dan
6. Psikologis (stress)
akan meningkat pada keadaan stress, seperti beban kerja yang berlebihan, cemas,
takut atau terburu-buru. Stress dalam kehidupan dapat menimbulkan reaksi pada
7. Sosial Ekonomi
Faktor sosial ekonomi juga pernah diteliti dalam berbagai penelitian berbasis
pendapatan.(35)
lamanya pengobatan, jumlah obat yang banyak, harga obat, dan regimen obat
yang komplek.(36) Depresi memiliki asosiasi yang tinggi dengan banyak penyakit
hidup terlihat pada pasien yang mengalami dispepsia dalam waktu yang lama.
Depresi merupakan salah satu faktor yang telah teridentifikasi menjadi penyebab
Algoritma pengelolaan dispepsia yang tidak terdiagnosa yaitu sebagai berikut :(38)
1. Pasien dispepsia dengan usia 60 tahun atau lebih harus melakukan tindakan
ditetapkan
19
fungsional.
4. Pasien dispepsia dengan usia di bawah 60 tahun untuk melaksanakan tes non-
invasif; Helicobacter pylori dan terapi Helicobacter pylori jika hasilnya positif.
5. Pasien dispepsia di bawah usia 60 tahun harus menjalani terapi Proton Pump
6. Pasien dispepsia di bawah usia 60 tahun yang masih bergejala setelah menjalani
terapi eradikasi maupun terapi PPI disarankan untuk melakukan terapi dengan
diet. Banyak jenis makanan yang dilaporkan menyebabkan gejala pada pasien
dispepsia. Makanan seperti cabai, nasi, dan jahe disarankan untuk dikonsumsi
dengan Proton Pump Inhibitor (PPI) atau tanpa prokinetik dan sitoprotektif.
21
3. Pasien setelah 4 atau 8 minggu yang telah dilakukan pengobatan, apabila sudah
tidak bergejala maka hentikan terapi pengobatan, jika masih terdapat gejala
maka pasien diberi antidepresan atau ansiolitik dan terapi herbal. Pasien yang
masih merasakan gejala setelah beberapa terapi harus dirujuk ke dokter spesialis.
4. Pasien dengan gejala rasa penuh setelah makan, cepat kenyang, kembung, mual,
5. Pasien setelah 4 atau 8 minggu yang telah dilakukan pengobatan, apabila sudah
tidak bergejala maka hentikan terapi pengobatan, jika masih bergejala maka
pasien diberikan terapi antidepresan atau ansiolitik maupun terapi dengan herbal.
Pasien yang masih merasakan gejala setelah beberapa terapi maka dirujuk ke
dokter spesialis.
a. Antasida
dispepsia dan gangguan asam-peptik. Obat-obat ini dahulu adalah terapi utama
Pump Inhibitor.(39) Mereka masih digunakan sampai saat ini oleh pasien
sebagai terapi non resep untuk mengatasi heartburn dan dispepsia berkala.
Antasida adalah basa lemah yang bereaksi dengan asam hidroklorida lambung
hidroklorida sekitar 45 mEq/jam. Satu dosis antasida 156 mEq yang diberikan
1 jam setelah makan secara efektif menetralkan asam lambung hingga 2 jam.
22
lambung.(39)
b. Antagonis Reseptor-H2
mengurangi sekresi asam yang dirangsang oleh histamin serta oleh gastrin dan
dibebaskan dari sel ECL oleh gastrin atau rangsangan vagus dihambat untuk
mengikat reseptor H-2 di sel parietal. Kedua, terjadinya blokade reseptor H-2
menyebabkan efek stimulasi langsung sel parietal oleh gastrin atau asetilkolin
Proton Pump Inhibitor (PPI) merupakan golongan obat yang bekerja dengan
aktivitas enzim H/K ATPase (proton pump) pada permukaan kelenjar sel
parietal gastric pada pH< 4.(39) Obat yang berikatan dengan proton (H) secara
cepat akan diubah menjadi sulfonamide, suatu PPI yang aktif. Golongan obat
ini menghambat sekresi asam lambung pada stadium akhir dari proses sekresi
mencapai sel parietal dari darah dan berdifusi ke dalam sekretori kanalikuli,
kovalen dengan gugus sulfhidril pada sisi luminal tempat H+,K+ ATPase,
kemudian terjadi inhibisi penuh dengan dua molekul dari inhibitor mengikat
d. Sitoprotetif
dapat menekan sekresi asam lambung oleh sel parietal.(40) Mekanisme kerja
albumin dan fibrinogen pada sisi ulser dan melindunginya dari serangan asam,
Sukralfat sebaiknya dikonsumsi pada saat perut kosong untuk mencegah ikatan
e. Golongan Prokinetik
kenyang dini dan rasa kenyang setelah makan. Selain itu, itopride lebih efektif
24
secara perlahan untuk menghindari kecemasan yang berlebih pada pasien. (41) Saran
yang dapat dokter berikan yaitu tentang perubahan gaya hidup, saran tentang makan
sehat, berat badan pengurangan dan penghentian merokok.(41) Dokter juga dapat
memberikan edukasi bahwa terapi psikologis, seperti kognitif terapi perilaku dan
psikoterapi dapat mengurangi gejala dispepsia dalam jangka pendek pada pasien. (41)
dispepsia yaitu:(42)
1. Mengurangi Stress
Pola hidup yang sehat dapat dilakukan dengan olahraga secara teratur, menjaga
berat badan agar tidak obesitas, menghindari berbaring setelah makan, makan
berlemak tinggi dan pedas serta menghindari minuman yang asam, bersoda,
menggunakan botol karet yang berisi air hangat kemudian diletakan pada bagian
4. Terapi Komplementer
nafas dalam.
a. Tepat Diagnosis
diagnosis yang tepat. Jika diagnosis tidak ditegakkan dengan benar, maka
pemilihan obat akan terpaksa mengacu pada diagnosis yang keliru tersebut.
Akibatnya obat yang diberikan juga tidak akan sesuai dengan indikasi yang
seharusnya
hanya dianjurkan untuk pasien yang memberi gejala adanya infeksi bakteri.
ditegakkan dengan benar. Dengan demikian, obat yang dipilih harus yang
d. Tepat Dosis
Dosis, cara dan lama pemberian obat sangat berpengaruh terhadap efek
terapi obat. Pemberian dosis yang berlebihan, khususnya untuk obat yang
dengan rentang terapi yang sempit, akan sangat berisiko timbulnya efek
samping. Sebaliknya dosis yang terlalu kecil tidak akan menjamin tercapainya
antibiotik tidak boleh dicampur dengan susu, karena akan membentuk ikatan,
agar mudah ditaati oleh pasien. Makin sering frekuensi pemberian obat per hari
(misalnya 4 kali sehari), semakin rendah tingkat ketaatan minum obat. Obat
yang harus diminum 3 x sehari harus diartikan bahwa obat tersebut harus
Lama pemberian obat harus tepat sesuai penyakitnya masing masing. Untuk
Tuberkulosis dan Kusta, lama pemberian paling singkat adalah 6 bulan. Lama
pemberian kloramfenikol pada demam tifoid adalah 10-14 hari. Pemberian obat
27
yang terlalu singkat atau terlalu lama dari yang seharusnya akan berpengaruh
diinginkan yang timbul pada pemberian obat dengan dosis terapi, karena itu
muka merah setelah pemberian atropin bukan alergi, tetapi efek samping
anak kurang dari 12 tahun, karena menimbulkan kelainan pada gigi dan tulang
Respon individu terhadap efek obat sangat beragam. Hal ini lebih jelas
terlihat pada beberapa jenis obat seperti teofilin dan aminoglikosida. Pada
j. Obat yang diberikan harus efektif dan aman dengan mutu terjamin, serta
k. Tepat Informasi
Informasi yang tepat dan benar dalam penggunaan obat sangat penting
upaya tindak lanjut yang diperlukan, misalnya jika pasien tidak sembuh atau
minum/menggunakan obat.
terluka yang disebabkan oleh asupan.(34) Kondisi tersebut banyak dialami kalangan
terjadinya pola hidup yang tidak sehat.(34) World Health Organization (WHO)
memprediksi bahwa penyakit tidak menular diperkirakan pada tahun 2020 akan
menaikan jumlah angka kematian. Dispepsia saat ini diprediksi menjadi kasus
penyakit tidak menular yang akan meningkat dari tahun ke tahun. (44)
29
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Giringan, dkk di Rumah Sakit Umum
dispepsia berumur 21-30 tahun dengan jumlah 24 pasien (25,0%). Mayoritas adalah
perempuan dengan jumlah 82 pasien (85,4%), pekerjaan sebagai ibu rumah tangga
Penelitian yang dilakukan oleh Alfiyani tentang pengobatan dispepsia di RSUD Dr.
yaitu hipertensi dengan 18 pasien dan penggunaan obat lain yaitu lisinopril
dispepsia di Klinik A Daerah Bekasi Timur dengan 26 pasien yaitu hipertensi dan
rheumatoid arthritis dengan 13 pasien (23,21%). (12) Ca paru, anemia, dan vomitus
merupakan tiga penyakit penyerta terbanyak pada pasien dispepsia di Rumah Sakit
sebagai berikut :
II.7 Hipotesis
1. Pasien yang banyak mengalami dispepsia yaitu pasien jenis kelamin perempuan,
rentang usia 20-40 tahun, pendidikan terakhir yaitu SMA, dan pekerjaan ibu
rumah tangga.
2. Obat- obat yang paling banyak digunakan pada pasien dispepsia rawat inap
RSUD dr. Rubini Mempawah yaitu golongan obat Proton Pump Inhibitor (PPI)
3. Penyakit penyerta terbanyak pada pasien dispepsia rawat inap RSUD dr. Rubini
METODOLOGI PENELITIAN
III.1.1 Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat tulis, laptop
dengan software (microsoft excel) untuk analisis data, instrumen pencatatan data,
III.1.2 Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah data rekam medis pasien
dispepsia mengenai identitas pasien yaitu nama, nomor rekam medik, usia pasien,
jenis kelamin, pendidikan terakhir, pekerjaan, tanggal masuk dan tanggal keluar
pasien, penyakit penyerta, nama obat, rute pemberian obat, frekuensi penggunaan
obat, dan golongan obat di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Rubini Kabupaten
Mempawah.
yang digunakan adalah studi potong lintang (cross sectional) yang bersifat
dengan menggunakan rekam medis pasien rawat inap selama periode tahun 2020.
Data pasien yang dikumpulkan antara lain nama, nomor rekam medik, usia pasien,
jenis kelamin, pendidikan terakhir, pekerjaan, tanggal masuk dan tanggal keluar
pasien, penyakit penyerta, nama obat, rute pemberian obat, frekuensi penggunaan
31
32
obat dan golongan obat di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Rubini Kabupaten
Mempawah.
Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Rubini Kabupaten
dirawat inap di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr. Rubini Kabupaten
Mempawah Januari - Desember 2020. Sampel dalam penelitian ini yaitu pasien
dispepsia yang dirawat inap di RSUD dr. Rubini Kabupaten Mempawah yang
ditetapkan.
Keterangan :
𝑁
n = 1+𝑁 (𝑑2 )
224
n=
1+224 (0,12 )
n = 99, 55 ≈ 96
terakhir, pekerjaan, status, kebiasaan merokok, diagnosa penyakit, nama obat, rute
Variabel kuantitatif dalam penelitian ini yaitu usia pasien, lama inap, dosis
pasien rawat inap. Data yang diperoleh dicatat dalam instrumen lembar
Data rekam medik yang dicatat meliputi nomor rekam medik, jenis
tanggal masuk dan tanggal keluar pasien, lama inap, diagnosa penyakit, nama obat,
dosis obat, frekuensi penggunaan obat, rute pemberian, dan golongan obat.
Prosedur penelitian ini terdiri dari dua tahapan, yaitu tahap persiapan dan
data yang digunakan. Pengumpulan sampel dilihat dari daftar pasien dispepsia
rawat inap periode Januari-Desember Tahun 2020 yang tertera di rekam medik.
Data yang diambil adalah nomor rekam medik, jenis kelamin, usia pasien,
36
tanggal keluar pasien, lama inap, diagnosa penyakit, nama obat, dosis obat,
frekuensi penggunaan obat, rute pemberian, dan golongan obat. Tahap terakhir
yang dilakukan adalah perhitungan hasil pada pasien dispepsia rawat inap RSUD
Peneliti mengambil data berupa rekam medik pasien dispepsia rawat inap periode
Januari-Desember tahun 2020 di RSUD dr. Rubini Kabupaten Mempawah
Pengolahan data
Pembahasan
. Data yang diperoleh dari penelitian ini dianalisis secara deskriptif meliputi
data karakteristik pasien dan data penggunaan obat pada pasien. Data diolah
digunakan untuk untuk mengetahui perbedaan yang bermakna atau tidak pada suatu
kategori. Hasil analisis data akan disajikan dalam bentuk uraian, presentase, dan
tabel.
Peneliti menyerahkan surat etik penelitian yang diperoleh dari Tim Etik Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr. Rubini
Mempawah Hilir, Kabupaten Mempawah. Rumah sakit ini dibangun pada tahun
1964 dengan nama Rumah Sakit Umum Mempawah. Rumah Sakit Umum
Mempawah melalui SK Bupati No. 121 Tanggal 6 Agustus Tahun 1964 secara
resmi namanya berubah menjadi Rumah Sakit Umum Daerah dr. Rubini Kabupaten
Mempawah.(48)
RSUD dr. Rubini Mempawah pada tahun 1964 adalah Unit Pelaksana
Teknis (UPT) Dinas Kesehatan dan termasuk klasifikasi kelas D. Rumah sakit ini
dipimpin oleh direktur yang secara teknis bertanggung jawab kepada Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten Pontianak sesuai dengan PERDA No. 3 tahun 1995, tanggal
15 Juni 1995 tentang susunan organisasi dan tata kerja RSUD dr. Rubini
Mempawah. Pada tanggal 5 Juni 1996 RSUD dr. Rubini Mempawah ditingkatkan
menjadi kelas C atau RS. tipe C berdasarkan KEPMENKES RI. No. 533/
MENKES/ SK/ IV/1996 dan diresmikan oleh Bupati Pontianak dari kelas D ke
kelas C berdasarkan SK Bupati No. 288 tahun 2002 tentang pengukuhan dan
peningkatan kelas RSUD dr. Rubini Mempawah pada tanggal 20 September Tahun
2002.(48)
39
40
Sarana dan prasarana pada rumah sakit ini yaitu terdapat gedung administrasi,
pelayanan terdiri dari beberapa ruang yaitu laboratorium, radiologi atau ruang
instalasi pemeliharaan sarana dan prasarana. Selain itu, gedung ini juga memiliki
limbah, dapur, kamar jenazah, ruang incinerator, ruang genset, ambulans, dan
musholla.(48)
2022 di RSUD dr. Rubini Kabupaten Mempawah. Penelitian ini telah dinyatakan
lulus kaji etik dengan nomor kaji etik 11/UN22.9/PG/2022 yang dikeluarkan oleh
penyerta pada pasien dispepsia rawat inap di RSUD dr. Rubini Kabupaten
Mempawah Tahun 2020. Data penelitian yang dikumpulkan pada penelitian ini
yaitu menggunakan dokumen rekam medik pasien yang memuat informasi usia,
jenis kelamin, pendidikan terakhir, pekerjaan, status, lama inap, diagnosa, jenis dn
terjangkau pada penelitian ini yaitu 224 pasien. Gambaran besar jumlah subyek
Populasi terjangkau
N=224
N=110 N=124
Gambar 6. Gambaran Jumlah Subyek
jumlah subyek yang dibutuhkan terpenuhi. Data yang dikumpulkan dari rekam
medik pasien dicatat kembali ke dalam lembar pengumpulan data. Data- data
tersebut meliputi nomor rekam medik, jenis kelamin, umur, pendidikan terakhir,
golongan obat. Data-data tersebut dianalisis dengan software microsoft excel dan
Chi-square test .
N=110
Variabel
Jumlah Presentase (%)
Jenis Kelamin
a. Laki-laki 28 25,45*
b. Perempuan 82 74,55*
Usia
a. 18-25 tahun 18 16,36
b. 26-35 tahun 15 13,64
c. 36-45 tahun 14 13,73
d. 46-55 tahun 26 23,63*
e. 56-65 tahun 21 19,10*
f. > 65 tahun 16 14.54
42
Pendidikan Terakhir
a. SD 37 33,64*
b. SMP 14 12,73
c. SMA 47 42,37*
d. Sarjana/Diploma 12 10,90
Pekerjaan
a. PNS 8 7,27
b. Wiraswasta 12 10,91*
c. Swasta 10 9,10
d. Ibu Rumah Tangga 58 52,72*
e. Mahasiswa/Pelajar 12 10,91*
f. Pensiunan 6 5,45
g. Tidak Bekerja 4 3,64
Status
a. Kawin 85 77,28*
b. Belum Kawin 18 16,36*
c. Duda/Janda 7 6,36*
Kebiasaan Merokok
a. Merokok 19 17,27*
b. Tidak Merokok 91 62,71*
Lama Inap (Hari)
a. 1 13 11,82
b. 2 26 23,64*
c. 3 30 27,27*
d. 4 25 22,73*
e. 5 8 7,27
f. 6 4 3,64
g. 7 4 3,64
Hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 6, pasien dispepsia rawat inap di
pasien (25,45%). Hasil penelitian sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Giringan di RSUD dr. H. Chasa Boesoirie Ternate bahwa pasien perempuan yang
Abdul Manap Kota Jambi juga menunjukkan bahwa jumlah pasien perempuan
bahwa perbandingan prevalensi penderita dispepsia wanita lebih banyak dari pada
laki-laki yaitu sebesar 4:1.(27) Menurut teori, faktor hormonal wanita lebih reaktif
dibanding laki-laki hal ini dapat terjadi karena sekresi lambung diatur oleh
mekanisme saraf dan hormonal. Hormon ini bekerja pada kelenjar gastrik dan
selama beberapa jam dan terdapat beberapa hal yang mempengaruhi kerja hormon
gastrin, salah satunya yaitu jenis kelamin.(49) Wanita memiliki hormon esterogen
yang mana memiliki efek pada saluran gastrointestinal, apabila kadar estrogen
tinggi dapat menyebabkan waktu transit usus lebih lambat dan menghambat
Penyebab lainnya dispepsia pada wanita yaitu akibat dari pengaruh stres.
Stres dapat menimbulkan kecemasan yang berkaitan dengan pola hidup sehingga
seperti dispepsia. Selain itu, diet yang dilakukan oleh banyak perempuan
mengakibatkan pola makan berubah sehingga memiliki jeda waktu yang lama. (50)
(51)
44
pasien dengan rentang usia 18-25 tahun berjumlah 18 orang (16,36%), pasien 26-
(12,73%), pasien 46-55 tahun berjumlah 26 orang (23,63%), pasien 56-65 tahun
dengan rentang 46-55 tahun (23,63%). Hasil uji signifikasi pada kelompok ini
0,000 (p<0,05). Penelitian ini sejalan yang dilakukan Musnelina di Rumah Sakit
tertinggi terjadi pada rentang usia 46-55 tahun (27%).(19) Selanjutnya, pada
penelitian ini posisi kedua yang mendominasi yaitu pada rentang umur 56-65
tahun berjumlah 21 orang (19,10%). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian
Suri di Klinik A Daerah Bekasi Timur yang didominasi oleh pasien berumur ≥ 56
tahun berjumlah 55 orang (27,5%).(20) Namun, penelitian ini tidak sejalan dengan
disebabkan oleh pola hidup yang tidak teratur, stres, dan pola makan. Selain itu,
dispepsia.(52) Pada usia tua memiliki risiko lebih tinggi mengalami gangguan
lambung dibanding dengan usia muda. Hal ini menunjukkan bahwa seiring
dan produksi mukus (cairan pelindung lambung) berkurang sehingga lebih mudah
mengalami iritasi pada mukosa lambung. (53) Dispepsia juga berhubungan dengan
penurunan fungsi gastrointestinal pada orang dengan usia lanjut. (54) Semakin
bertambahnya usia juga maka akan semakin rentan terhadap kejadian penyakit,
apalagi ditambah mempunyai kebiasaan hidup yang buruk seperti merokok. Umur
dipakai sebagai titik potong sebagai tanda bahaya/alarm sign untuk mengalami
dispepsia.(22)
yang dilakukan pada kategori ini menunjukkan hasil memiliki perbedaan yang
bermakna dengan nilai signifikasi 0,000 (p<0,05). Penelitian ini sejalan dengan
pasien dispepsia terbanyak terjadi pada pasien yang memiliki pendidikan terakhir
46
SMA sebanyak 60 pasien (62,5%).(8) Penelitian lain yang dilakukan oleh Sari di
RSUP Haji Adam Malik Medan juga menunjukkan kejadian dispepsia banyak
Arang Boyolali yang menyatakan pasien dispepsia didominasi oleh pasien dengan
tentang dirinya.(56)
tingkat pengetahuannya dalam mengatur pola hidup, salah satunya pola makan.
Pola hidup yang tidak tertata secara baik dapat menyebabkan timbulnya dispepsia.
(10)
Makin tinggi pendidikan seseorang cenderung memiliki risiko untuk
mengalami dispepsia. Hal ini dapat terjadi karena seseorang yang memiliki
tanggung jawab yang besar sehingga dapat menjadi beban pikiran sehingga
mengganggu psikologis berupa depresi dan cemas. Kedua hal ini dapat
dengan status kawin dengan jumlah 85 pasien (77,28%), belum kawin berjumlah
47
Djamil Padang yaitu penderita dispepsia banyak dialami oleh kelompok kawin
dengan jumlah 30 orang (71,4%).(52) Hasil uji statistik pada kelompok ini
0,000 (p<0,05). Hal ini belum diketahui secara jelas, namun menurut beberapa
penelitian wanita lebih banyak mengalami stress dan kecemasan dalam berumah
Efek stres dapat berupa gangguan gastrointestinal salah satunya dispepsia. (58)
(5,45%), dan pasien dispepsia yang tidak bekerja berjumlah 4 orang (3,64%). Uji
yang menyatakan bahwa mayoritas pekerjaan pasien yaitu Ibu Rumah Tangga
yang paling banyak yaitu dengan pekerjaan sebagai PNS sebanyak 53 orang
(20,54%).(45) Dunia kerja memilki banyak tekanan dan permasalah dari teman
kerja, tugas, dan masalah di lingkungan kerja lainnya. Dispepsia pada pekerja
pasien (35,7%). Pekerjaan ibu rumah tangga dengan kejadian dispepsia saling
berhubungan.(52) Aktivitas monoton yang dialami oleh ibu rumah tangga di rumah
Stres didalam kehidupan dapat menyebabkan reaksi dalam tubuh. Stres akut
terjadinya keluhan pada orang sehat. Keadaan stres seseorang yang tinggi
berkaitan dengan pola makan yang tidak teratur sehingga memicu timbulnya
gejala dispepsia.(52)
(82,73%). Penelitian ini menyatakan bahwa mayoritas pasien dispepsia yaitu tidak
merokok. %). Uji statistik menunjukkan hasil memilki perbedaan yang bermakna
49
dengan nilai signifikasi 0,000 (p<0,05). Penelitian ini sejalan dengan penelitian
31orang (59,6%).(4) Hasil penelitian ini juga didukung oleh penelitian Wijaya di
merokok, tetapi tetap menghirup asap rokok dari perokok aktif yang ada
disekitarnya.(61)
Perokok pasif memiliki risiko sama dengan perokok aktif. Hal ini
disebabkan oleh kandungan karsinogen (zat yang memicu timbulnya kanker) dan
4.000 partikel lain yang terdapat dalam asap rokok terhirup oleh perokok pasif,
pengosongan lambung juga dapat disebabkan oleh rokok. Hal ini mengakibatkan
hari (11,82%), lama perawatan 2 hari (23,64%), lama perawatan 3 hari (27,27%),
lama perawatan 5 hari (7,27%), lama perawatan 6 hari (3,64%), dan lama
perawatan 7 hari (3,64%). Hasil penelitian ini menunjukkan lama perawatan 3 hari
merupakan persentase tertinggi, kemudian lama perawatan 2 hari, dan posisi tiga
tertinggi pada lama perawatan selama 4 hari. Hasil uji statistik menunjukkan
50
perbedaan yang bermakna dalam kategori ini dengan nilai signifikasi 0,000
(p<0,05).
Proton Pump Inhibitor yang dibutuhkan bisa selama 2-5 hari terapi dengan dosis
sekali sehari untuk mencapai penghambatan 70% dari proton pompa terlihat di
steady state.(62) Faktor lain yang mempengaruhi lama rawat inap pasien dirumah
sakit dapat berupa faktor internal dan eksternal. Faktor internal yaitu jenis dan
derajat penyakit. Hal ini dikarenakan penyakit akut dan kronis akan memerlukan
lama rawat yang berbeda. Kasus penyakit kronis akan memerlukan lama hari
rawat lebih lama dibandingkan penyakit yang bersifat akut.(8) Lama inap pasien
juga dapat terjadi karena faktor dari penyakit penyerta yang diderita. Penyakit
penyerta pada pasien merupakan 2 atau lebih diagnosis penyakit pada individu
yang sama. Komorbiditas yang tinggi pada pasien menyebabkan prognosis yang
lebih buruk sehingga lebih lama tinggal di rumah sakit.(63) Lama hari rawat dapat
pelayanan rumah sakit. Semakin lama hari rawat pasien di Rumah Sakit semakin
paling banyak digunakan yaitu golongan Proton Pump Inhibitor berupa injeksi
(tiga kali sehari) sebanyak 21,70%. Uji statistik menunjukkan hasil perbedaan
yang tidak bermakna antara kedua variabel ini dengan nilai signifikasi 0,257
ondansetron injeksi 40 mg 2x1 (dua kali sehari) sebanyak 11,26%. Penelitian ini
sejalan dengan Srikandi di RSU Anutapura Palu yang menyatakan bahwa pasien
banyak menggunakan golongan PPI (35,27%) dibandingkan yang lainnya. (45) PPI
asam lambung.(1)
RSUD Dr. Tengku Mansyur Kota Tanjung Balai yaitu pasien dominan
Omeprazole merupakan anti sekresi yang bekerja menekan sekresi asam lambung
diberikan dengan proton (H+) secara cepat akan berubah menjadi sulfonamida,
53
untuk terapi jangka pendek. Hal ini dikarenakan penggunaan dalam jangka
panjang dapat meningkatkan konsentrasi bakteri yang dapat hidup di lambung. (66)
Golongan Proton Pump Inhibitor merupakan lini pertama terapi untuk pasien
yang mentransfer ion H+ keluar dari sel parental lambung. Dosis harian untuk
lebih lipofilik daripada omeprazole karena dapat menembus membran sel lebih
cepat untuk mengubah asam sulfonat dan turunan sulfonil, sehingga menghasilkan
efek penekan asam.(68) Penggunaan lansoprazole yaitu 15- 30 mg sehari pada pagi
Pompa Proton Inhibitor, yang dimana mekanisme kerja dari golongan ini yaitu
cukup untuk mengendalikan penurunan asam lambung hingga target kisaran (<10
mEg/h) dalam 1 jam pada kebanyakan pasien. Efek samping penghambat pompa
54
proton meliputi gangguan saluran cerna (seperti mual, muntah, nyeri lambung,
sukralfat sediaan sirup dengan dosis penggunaan 10 mL 3x1 (tiga kali sehari)
mekanisme kerjanya membentuk suatu kompleks yang berbentuk gel dan mukus
mukus oleh pepsin. Tujuan dari penggunaan sukralfat yaitu untuk mencegah
sehari 2 sendok teh, dosis pemeliharaan 2 x sehari 2 sendok teh, durasi terapi
selama 4-8 minggu. Sukralfat membentuk pasta yang kental dan kuat untuk
gejala–gejala saluran cerna akibat penggunaan obat NSAID. Efek samping pada
2x1 (dua kali sehari) yaitu sebanyak 11,26%. Ondansetron merupakan golongan
Obat ini merupakan suatu antagonis 5-HT3 yang sangat selektif dapat menekan
terdapat pada Chemoreseptor Trigger Zone (CTZ) di area postrema otak dan
55
mungkin juga pada aferen vagal saluran cerna .. Efek samping pada penggunaan
ondansetron lebih ringan dibandingkan antiemetika yang lain salah satunya yaitu
antiemetika relatif lebih cepat dibandingkan obat lain sehingga obat ini dipilih
injeksi sebagai antiemetika banyak digunakan pada pengobatan dispepsia, hal ini
ekstrapiramidal jangka pendek, gerakan tak terkendali seperti kejang otot (sering
terjadi di kepala dan leher), dan tardive dyskinesia (gerakan tak terkendali seperti
pada muntah akibat dispepsia, pengaruh agresif asam lambung, dan pepsin.(71)
Dosis penggunaan domperidone yaitu 10-20 mg, 3 kali sehari, sebelum makan,
dan 10-20 mg malam hari. Periode pengobatan maksimal 12 minggu. (69) Efek
samping pada penggunaan ondansetron yaitu kadar prolaktin naik (galaktore dan
56
ginekomasti), penurunan libido, ruam dan reaksi alergi lain, reaksi distonia
akut.(69)
mengurangi produksi asam lambung.(65) Dosis injeksi ranitidin 25 mg/ml dua kali
sehari. Konsentrasi plasma puncak dicapai dalam waktu 2–3 jam, setelah
50% dari sekresi asam lambung dirangsang diselenggarakan hingga 12 jam. Paruh
waktu 1,5 jam-3 jam, dosis terapi 3-4 x sehari 1 tab.(70) Efek samping pada
2,2%. Antasida jarang digunakan sebagai obat utama, tetapi sering digunakan oleh
57
pasien untuk meringankan gejala dispepsia. Generik yang sering digunakan yakni
Mg (OH)2+ Al(OH)3 tablet atau sirup. Antasida mampu mengurangi rasa nyeri
efek yang mampu bertahan 20-60 menit, bila di minum pada perut kosong dan
sampai 3 jam bila diminum 1 jam setelah makan. Antasida tidak mengurangi
aktivitas pepsin.(69) Efek samping pada penggunaan antasida dapat berupa tinja
yang menggunakan sediaan injeksi. Obat dalam bentuk injeksi dalam pembuluh
darah akan menghasilkan efek tercepat hanya dalam waktu 18 detik, yang mana
jaringan. Namun, lama kerja obat dalam sediaan ini realtif singkat. Cara ini
digunakan untuk mencapai efek yang cepat dan kuat. Bentuk sediaan ini memiliki
beberapa keuntungan seperti dapat diberikan pada pasein yang tidak kooperatif
dan tidak sadar, dan dapat digunakan pada pasien yang tidak sadar diri. (74) Sediaan
ini efeknya lebih cepat dan teratur pemakainnya dibandingkan sediaan dalam
bentuk oral. Sediaan intravena langsung diabsorbsi oleh tubuh sehingga efeknya
timbul lebih cepat dan penyakit yang dialami oleh pasien dapat teratasi secara
cepat.(74)
Jumlah Persentase
Kombinasi Obat Dispepsia
(N=110) (%)
PPI+Sitoprotektif 23 20,91*
Antagonis H2+Antiemetika 1 0,91
PPI+Antiemetika 4 3,64
PPI+Antasida 2 1,82
PPI+Antagonis H2 1 0,91
PPI+Sitoprotektif+Antiemetika 54 49,10*
PPI+Sitoprotektif+Antagonis H2+Antiemetika 4 3,64
Antagonis H2+Sitoprotektif+Antiemetika 3 2,73
Antagonis H2+Antasida+Antiemetika 1 0,91
PPI+Antagonis H2+Sitoprotektif 4 3,64
PPI+Antasida+Antiemetika 1 0,91
Antagonis H2+Antasida+PPI+Sitoprotektif 4 3,64
PPI+Sitoprotektif+Antasida 1 0,91
PPI+Antagonis H2+Antiemetika 3 2,73
PPI+Sitoprotektif+Antasida+Antiemetika 3 2,73
statistik menunjukkan perbedaan yang bermakna dalam kategori ini dengan nilai
obat digunakan berdasarkan derajat penyakit yang dialami oleh pasien. Kombinasi
akan memberikan hasil yang lebih efektif karena obat-obatan tersebut dapat
kombinasi golongan dengan obat PPI. Hal ini sesuai dengan literatur yang
menyebutkan bahwa terapi dengan kombinasi PPI lebih efektif dan cepat
lambung, dan antiemetika mengatasi rasa mual dan muntah pada pasien dispepsia.
Menurut Song, obat golongan Proton Pump Inhibitor efektif digunakan karena
digunakan untuk mengeluarkan asam lambung (HCl) dari kanakuli sel parietal ke
Reseptor-H2. Sukralfat bekerja dengan cara membentuk lapisan pada dasar tukak
antiemetika dimaksudkan untuk menekan rangsang mual dan muntah itu sendiri.
Akibat yang timbul setelah muntah bergantung pada berapa seringnya terjadi
muntah dan berapa lama keadaan tersebut berlangsung. Pada muntah yang terus
menerus dan hebat, dapat menyebabkan gangguan metabolisme air dan elektrolit
kombinasi dari penekanan asam dan perlindungan mukosa. PPI adalah penekan
asam lambung yang kuat. Efektifitasnya yang sangat baik untuk penyakit yang
maupun generik, penggunaan PPI terus meningkat. (77) Sukralfat adalah polimer
kompleks sukrosa dengan beberapa substitusi garam sulfat dan aluminium. Pada
60
protein serum untuk membentuk lapisan pelindung di atas area yang mengalami
ulserasi. Ini melindungi mukosa terhadap cedera lebih lanjut. Sukralfat juga
dan oksida nitrat serta meningkatkan aliran darah mukosa lambung, sekresi
kompleks dengan eksudat yang bersifat protein seperti albumin dan fibrinogen
pada lokasi tukak. Pada kondisi yang lebih ringan, sukralfat akan membentuk
Efek interaksi ini mungkin dapat menyebabkan perubahan status klinis pasien,
tinggal di rumah sakit. Hal ini juga terjadi antara kombinasi obat sukralfat dan
ranitidin.(39)
mekanisme kerja menghambat histamin pada reseptor H2 sel parietal sehingga sel
asam lambung tergolong sangat kuat dengan masa kerja yang lama. sehingga
cukup dapat diberikan dua kali dalam sehari. Selain itu, efek samping yang
berefek mengurangi sampai menghilangkan mengurangi rasa nyeri atau rasa tidak
nyaman di epigastrium, mual, muntah yang dialami pada pasien dengan diagnosis
dispepsia.(79)
proton di kanalikuli sel parietal sehingga efek inhibitor yang diharapkan tidak
sesuai dengan keinginan dan sekresi HCl bisa terus berlangsung tinggi. Antasid
yang bekerja dengan cara merubah HCl menjadi garam dan air sehingga pH
intragastrik dapat meningkat dapat menurunkan kadar absorbsi dan kadar plasma
omeprazol tablet sebanyak 26% sehingga perlu diperhatikan lagi mengenai waktu
pemberian antara kedua obat tersebut, minimal jarak konsumsi antara keduanya
dengan pemberian rute obat berbeda merupakan tindakan yang sesuai untuk
62
Jumlah Persentase
Golongan Obat
(N=275) (%)
Parasetamol 48 17,45*
Analgetik
Slunadicin 1 0,36
Analgetik, antipiretik, dan
Tifalsik 4 1,45
antiinflamasi
Anemia Asam folat 1 0,36
ISDN 3 1,09
Antiangina Azitromicin 2 0,73
Cefixime 7 2,55
Cefoperazone 1 0,36
Ceftriaxone 15 5,45*
Ciprofloxacin 6 2,18
Antibiotik
Levofloxacin 5 1,82
Metronidazole 2 0,73
Antidiabetes Metformin 3 1,09
Akita 5 1,82
Antidiare
Attalpugite 3 1,09
Antifibrinolitik Kalnex 2 0,73
Antihiperlipidemia Simvastatin 1 0,36
Amlodipine 15 5,45*
Bisoprolol 2 0,73
Candesartan 2 0,73
Antihipertensi Captopril 2 0,73
Propanolol 1 0,36
Spironolactone 4 1,45
Valsartan 11 4,00
Cetirizine 3 1,09
Antihistamin
Dimenhidrinate 3 1,09
Antijamur Nystatin drop 1 0,36
Antikovulsan Gabapentin 2 0,73
Antimuskarinik Spashi 1 0,36
Braxidin 1 0,36
Antipasmodik
Scopamin 1 0,36
63
rawat inap di RSUD dr. Rubini Kabupaten Mempawah tahun 2020 diperoleh
Uji statistik menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna dalam kelompok ini
mengurangi rasa nyeri pada perut yang sering muncul pada kasus pasien
Blockers) terbukti efektif dan aman dalam menurunkan tekanan darah secara
potensi antibakteri yang tinggi, spektrum yang luas dari aktivitas, dan potensi
dengan infeksi.(83)(84)
Jumlah
Penyakit Penyerta Persentase (%)
(N=95)
Vertigo 14 14,74*
Demam 4 4,21
Hipertensi 15 15,79*
TFA 1 1,05
Abdominal pain 6 6,32
Diare 2 2,11
GEA 4 4,21
Thyrotoxicosis 1 1,05
Gastritis 2 2,11
65
Cepalghia 1 1,05
CKD 1 1,05
DBD 1 1,05
TTH 2 2,11
Neuralgia 1 1,05
Anemia 1 1,05
Infeksi bakteri 2 2,11
Batuk 2 2,11
Neuropatik artropati 1 1,05
CBD 1 1,05
Bronkitis 1 1,05
DM 4 4,21
Vomitus 1 1,05
ISPA 5 5,26
TB miller 1 1,05
CHF 2 2,11
Sakit kepala 1 1,05
Myalgia 1 1,05
TB 1 1,05
Pneumonia 1 1,05
Hematemesis 1 1,05
Cholecystitis 1 1,05
Herpes zooster 1 1,05
Gastroenteropati akut 1 1,05
Influenza 1 1,05
ISK 5 5,26
PPOK 1 1,05
Gagal jantung 1 1,05
Batu saluran kemih 1 1,05
HHD 2 2,11
Pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa jenis penyakit penyerta yang paling
banyak terjadi pada pasien dispepsia adalah hipertensi dengan jumlah 15 orang
penyakit penyerta yang paling banyak dialami pasien dispepsia adalah hipertensi
dan terbanyak kedua yaitu vertigo. Uji statistik menunjukkan perbedaan yang
66
tidak bermakna dalam kategori ini dengan nilai signifikasi 0,124 (p>0,05)
Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Suri di Klinik A
Daerah Bekasi Timur yaitu penyakit penyerta terbanyak pada pasien dispepsia
sistemik akan melewati jalur, salah satunya gastrointestinal namun rute yang
paling signifikan secara klinis yaitu melalui vena lambung kiri dengan jalur
mendominasi yaitu vertigo, hal ini dapat disebabkan karena pengaruh dari asam
lambung pasien.(85) Hipertensi dan vertigo pada pasien dispepsia juga dapat
a. Penelitian ini hanya mengambil data dari rekam medik sehingga data dan
pertemuan langsung dengan pasien sehingga apabila terdapat data yang tidak
V.1 Kesimpulan
(74,55%). Pasien dispepsia dengan mayoritas rentang usia 46-55 tahun berjumlah
orang (82,73%).
54 pasien (49,10%).
3. Penyakit penyerta paling banyak pada pasien dispepsia rawat inap di RSUD dr.
V.2 Saran
67
DAFTAR PUSTAKA
68
69
17. Madisch, A., Andresen, V., Enck, P., Labenz, J., Frieling, T., & Schemann,
M. The diagnosis and treatment of functional dyspepsia. Deutsches Arzteblatt
International. 2018;115(13): 222-32.
18. Djojoningrat D. Dispepsia Fungsional. In: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW,
Simadibrata M, Setyohadi B, Syam AF, editors. Buku ajar ilmu penyakit
dalam Jilid II. Edisi ke 6. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2014.
19. Pardiansyah., R., dkk. Upaya Pengelolaan Dispepsia dengan Pendekatan
Pelayanan Dokter Keluarga Dyspepsia Treatment By Using Family Physician
Practice Approach. J Medula Unila. 2016; 5((2): 1-2.
20. Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia Kelompok Studi Helicobacter
pylori Indonesia. Konsensus Nasional Penatalaksanaan Dispepsia dan Infeksi
Helicobacter pylori. Jakarta: Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia
Kelompok Studi Helicobacter pylori Indonesia; 2014.
21. Futagami S, Yamawaki H, Agawa S, Higuchi K, Ikeda G, Noda H, et al. New
classification Rome IV functional dyspepsia and subtypes. Transl
Gastroenterol Hepatol [Internet]. 2018; 3: 70.
22. Miwa H, Ghoshal UC, Gonlachanvit S, et al. Asian consensus report on
functional dyspepsia. J Neurogastroenterol Motil. 2012; 18: 150-68.
23. Suzuki, H dan Moayyedi P. Helicobacter pylori infection in functional
dyspepsia. Nature Reviews Gastroenterology and Hepatology. 2013; 10(3):
168.
24. Rahmayanti N. Hubungan Derajat Kecemasan dengan Derajat Dispepsia Pada
Wanita [skripsi]. Malang: Program Sarjana Universitas Muhammadiyah
Malang; 2016.
25. Rani AA, Jacobus A. Buku Ajar Gastroenterologi. Jakarta Pusat: Interna
Publishing; 2011.
26. Chan, W dan Burakoff, R. Functional (Nonulcer) dyspepsia. In Greenberger,
Norton J. Current Diagnosis & Treatment Gastroenterology, Hepatology, &
Endoscopy . American: Mc Graw Hill; 2010.
27. Abdeljawad, K., Wehbeh, A., dan Qayed, E. Low Prevalence of Clinically
Significant Endoscopic Findings in Outpatients with Dyspepsia.
Gastroenterology Research and Practice. 2017;2: 1-7.
28. Li, M., Lu, B., Chu, L., Zhou, H., dan Chen, M. Y. Prevalence and
characteristics of dyspepsia among college students in Zhejiang province.
World Journal of Gastroenterology. 2014; 20(13): 3649–3654.
29. Seaward, B. Physiology of Stress TEXTBOOK. In Managing Stress. Jones
and Bartlett; 2012.
30. Susanti, A., Briawan, D., & Uripi, V. Faktor Risiko Dispepsia pada
Mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB). Jurnal Kedokteran Indonesia.
2011; 2(1): 80–91.
31. Mahadeva, S., & Goh, K. L. Epidemiology of functional dyspepsia: A global
perspective. World Journal of Gastroenterology. 2006; 12(17): 2661–2666.
32. Putri, R., Ernalia, Y., & Bebasari E. Gambaran Sindroma Dispepsia
Fungsional Pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Riau Angkatan
2014. Jom FK. 2015; 2(2): 203.
70
33. Krause, M. Food, Nutrition, & Diet Therapy. W.B. Saunders Company; 2002.
34. Fithriyana, R. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Dispepsia
Pada Pasien Di Wilayah Kerja Puskesmas Bangkinang Kota. 2018; 2: 43–54.
35. Kumar, A., Patel, J., & Sawant, P. Epidemiology of functional dyspepsia.
Journal of Association of Physicians of India. 2012; 60: 9–12.
36. WHO. Textbook of adherence. In World Health Organization Publication;
2003.
37. Hemriyantton, B., Arifin, H., & Murni, A. W. Hubungan Depresi Terhadap
Tingkat Kepatuhan dan Kualitas Hidup Pasien Sindrom Dispepsia di RSUP
Dr. M. Djamil Padang. Jurnal Sains Farmasi & Klinis. 2017; 3(2): 141.
38. Moayyedi, P. M., Lacy, B. E., Andrews, C. N., Enns, R. A., Howden, C. W.,
dan Vakil, N. ACG and CAG Clinical Guideline: Management of Dyspepsia.
American Journal of Gastroenterology. 2017; 112(7): 988–1013.
39. Katzung BG, Masters SB, dan Trevor AJ. Farmakologi Dasar & Klinik.
Volume 2. Edisi 12 Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2012
40. Mönkemüller, K., Malfertheiner, P., Mönkemüller, K., & Malfertheiner, P.
Drug treatment of functional dyspepsia. 2006; 12(17): 2694–2700.
41. Noel L. Espallardo MD, MSc, FPAFP; Ma. Teresa Tricia Guison-Bautista,
MD, FPAFP; Ma Elinore Alba-Concha, MD, FPAFP and Louie R. Ocampo,
MD, FPAFP. Clinical Pathways for the Management of Dyspepsia in Family
and Community Practice. Clinical Update. 2017; 55 (3): 130-60.
42. Zakiyah W, Agustin AE, Fauziah A, Saddiyah A, Mukti IM. Defini,
Penyebab, Klasifikasi, dan Terapi Sindrom. Jurnal Health Sains. 2021; 2(7):
979-85.
43. Kemenkes RI. Modul Penggunaan Obat Rasional. Jakarta: Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia; 2011.
44. World Health Organization. Scaling up prevention and control of non-
communicable disease. The SEANET-NDC Meeting, 22-26 Oktober 2007:
Thailand; 2007.
45. Srikandi N, Alwiyah M dan Ingrid F. Profil Penggunaan Obat Pada Pasien
Dispepsia Di RSU Anutapura Palu ( Drug Use Profile Of Dyspepsia Patients
In Anutapura General Hospital Palu ). Jurnal Farmasi Gelenika. 2017; 3(2)
126– 131.
46. Alfiyani I. 2010. Pola Pengobatan Dispepsia Pada Pasien Rawat Inap di RSD
Dr. Soebandi Jember Tahun 2009. Naskah Publikasi: Universitas Jember.
47. Kasjono HS, Yasril. Teknik Sampling Untuk Penelitian Kesehatan.
Yogyakarta: Graha Ilmu; 2013.
48. Seksi Informasi dan Pengaduan Masyarakat Bidang Pengendalian RSUD dr.
Rubini. Profil RSUD dr. Rubini Tahun 2020. Mempawah
49. Dewi. 2017. Hubungan Pola Makan dan Karakteristik Individu Terhadap
Sindrom Dispepsia pada Mahasiswa Angkatan 2015 dan 2016 Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin. [skripsi]. Makassar: Universitas
Hasanuddin.
50. Widyasari I. 2012. Hubungan antara Kecemasan dan Tipe Kepribadian
Introvert dengan Dispepsia Fungsional. [skripsi]. Surakarta: Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
71
51. Jamil, O., Sarwar, S., Hussain, Z., Fiaz, R. O., & Chaudary, R. D.
Association between functional dyspepsia and severity of depression. Journal
of the College of Physicians and Surgeons Pakista. 2016; 26(6): 513–516.
52. Muya, Y., Murni, A. W., & Herman, R. B. Karakteristik Penderita Dispepsia
Fungsional yang Mengalami Kekambuhan di Bagian Ilmu Penyakit Dalam
RSUP Dr . M . Djamil Padang, Sumatera Barat Tahun 2011. Jurnal Kesehatan
Andalas. 2015; 4(2): 490–496.
53. Ariefiany, D., Hassan, A. H., Dewayani, B. M., & Yantisetiasti, A. Analisis
Gambaran Histopatologi Gastritis Kronik dengan dan Tanpa Bakteri
Helicobacter pylori Menurut Sistem Sydney. Majalah Patologi. 2014; 23(2):
20–26.
54. Thomas, B. Manual of Dietetic Practice. Blackwell Science Ltd; 2001.
55. Sari, I,. 2016. Profil Penderita Sindroma Dispepsia di RSUP Haji Adam
Malik Medan Periode Januari 2014- Deseber 2015. [skripsi]. Medan:
Universitas Sumatera Utara.
56. Masyhuda,. S., N. 2012. Faktor-faktor yang Berhubungan Dengan Kejadian
Dispepsia di RSUD Pandan Arang Kabupaten Boyolali. [tesis]. Yogyakarta:
Universitas Gadjah Mada.
57. Lee Y. Y., et., al. A Rome III Siurvey of Functional Dyspepsia among The
ethnic Malays in a primary care setting. BMC Gastroenterology. 2013; 13: 2.
58. Putri, IS., Widyatuti. Stres dan Gejala Dispepsia Fungisonal Pada Remaja.
Jurnal Keperawatan Jiwa. 2019; 7(2); 204.
59. Ratnadewi., N., K & Lesmana., C., B., J. Hubungan strategi coping dengan
dispepsia fungsional pada pasien poliklinik penyakit dalam rumah sakit
umum daerah wangaya Denpasar. Jurnal Medicina. 2018; 49(2):257-62.
60. Wijaya, I., Nur Hamdani, N., & Sari, H,. Hubungan Gaya Hidup dan Pola
Makan Terhadap Kejadian Dispepsia Syndrom Dispepsia di Rumah Sakit
Bhayangkara Kota Makassar. Jurnal Promotif Preventif. 2020; 3(1); 58.
61. Purnamasari, L. Faktor Risiko, Klasifikasi, dan Terapi Sindro Dispepsia.
Continuing Medical Education. 2017; 44(12). 873.
62. Goodman and Gilman. Manual Framakologi dan Terapi. Jakarta: Buku
Kedokteran EGC; 2008.
63. Westa., I., W. 2015. Pengaruh Big Five Personality Traits Dengan Dispepsia
Fungsional Pada Pasien Di Poliklinik Penyakit Dalam Di Rumah Sakit
Umum Pusat Sanglah Denpasar. [tesis]. Denpasar:Universitas Udayana.
64. Fitriani., I., Rikmasari., Y., & Sriwijaya., R., A. Hubungan Jumlah Kejadian
Drug Related Problems Dengan Lama Hari Rawat Pada Pasien Dispepsia Di
Rumah Sakit X Palembang. Borobudur Pharmacy Review. 2021; 1(1): 44-52.
65. Nasution, A. 2015. Pola Penggunaan Obat Pada Pasien Dispepsia Rawat Inap
Tahun 2014 Di RSUD Dr. Tengku Mansyur Kota Tanjung Balai. [skripsi].
Fakultas Farmasi. Universitas Sumatera Utara: Medan
66. Kindiasari, D. 2017. Pola Penggunaan Proton Pump Inhibitor (PPI) Pada
Pasien Dispepsia. [skripsi].Universitas Airlangga: Surabaya.
67. Dipiro, J.T., Wells, B.G., Schwinghammer, T.L., Dipiro, C.V.
Pharmacotherapy Handbook Tenth Edition. The McGraw-Hill Education;
2017.
72
68. Zeng., et., al. Meta-analysis of the efficacy of lansoprazole and omeprazole
for the treatment of H.Pylori-associated duodenal ulcer, International Journal
of Physiology, Pathophysiology and Pharmacology, 2015;7(3): 158–164.
69. BPOM RI. Informatorium Obat Nasional Indonesia. Jakarta: BPOM RI;
2017.
70. Mansjoer., A., et., al. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi IV.Jakarta : Media
Aesculapius; 2014.
71. Wijayanti., A., & Nuraeni. Pola Peresepan Antiemetika Pada Penderita
Dispepsia Pasien Dewasa dan Lansia Rawat Inap di PKU Muhammadiyah
Yogyakarta Periode Januari - Juni Tahun 2012. Media Farmasi. 2014; 11(2):
197–207.
72. Mathew SK,. Krishnan KK,.Ramya I,.Padmakumar C,. Prince Pius.
Ondansetron- Induced Life Threatening Hypokalemia. Journal Of The
Association Of Physicians Of India: 2016; 64.
73. Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran UI.
Farmakologi dan Terapi Edisi 6. Jakarta: Balai Penerbit FK UI; 2016.
74. Anief, M. Prinsip Umum dan Dasar Farmakologi. Edisi III. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press; 2004.
75. Wardaniati, I., Alhamahdy, A., & Dahlan, A. Gambaran Terapi Kombinasi
Ranitidin Dengan Sukralfat dan Ranitidin dengan Antasida dalam Pengobatan
Gastritis di SMF Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD)
Ahmad Mochtar Bukittinggi. Jurnal Farmasi Higea. 2016; 8(1): 72.
76. Widayat., W., Ghassani., I., K., & Rijai., L. Profil Pengobatan dan DRP’s
pada Pasien Gangguan Lambung (Dyspepsia, Gastritis, Peptic Ulcer) di
RSUD Samarinda. Jurnal Sains dan Kesehatan. 2018; 1(10): 542.
77. Syari., D., M., Sari., H., Evaluasi Penggunaan Obat Proton Pump Inhibitor
(PPI) Pada Pasien Rawat Jalan di Rumah Sakit Imelda Medan. JIFI. 2021;
5(1); 1-4.
78. Bramhall., S., R., Mourad., M., M. Is there still a role for sucralfate in the
treatment. World Journal. 2020: 8(1); 1-3.
79. Lestari., P., P & Wahyuningsih., S., S. Hubungan Polifarmasi dan Potensi
Interaksi Obat Ranitidin Pasien Rawat Inap di RSUD Ir. Soekarno Sukoharjo
Relation Of Polypharmacy and The Potential Interactios of Ranitidine Drug
Patients in RSUD Ir. Soekarno Sukoharjo. IJMS. 2021; 8(1): 34.
80. Nurhasima. 2019. Pola Peresepan dan Ketepatan Pemberian Anrasida , PPI
(Proton Pump Inhibitor), dan AH2 (Antagonis Reseptor Histamin Tipe 2)
Pada Pasien Rawat Jalan di Puskesmas Rengas Kota Tangerang Selatan
Periode Januari-April 2019.[skripsi]. Fakultas Kedokteran: UIN Jakarta.
81. Wahyudi., K., T. Vertigo . Cermin Dunia Kedokteran. 2012;39(10):738-41.
82. Tocci, et al.Calcium Channel Blockers and Hyertension. Journal of
Cardiovascular Pharmacology and Therapeutics. 2014: 20(2); 122.
83. Baso., F., F., Perwitasari,. D., A., & Risdiana,. I. Efektivitas Antibiotik
Golongan Sefalosporin Generasi Ke-3 Dibandingkan Fluroquinolon Terhadap
Pasien Infeksi Saluran Kemih di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta.
Media Pharmaceutica Indonesiana. 2018; 2(1): 27.
73
84. Widodo., S,. et,. al. Evaluasi Penggunaan Obat Pada Penderita Diare Akut
Pasien Pediatrri di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakir Advent Bandar
Lampung Periode Juli-Desember 2018. Jurnal Farmasi Lampung. 2020; 9(1);
57.
85. Villiusyte,. E., et., al. Associations between perpheral vertigo and
gastroesophageal reflux disease. Medical Hyptheses. 2015; 85(3).
74
Chi-Square Test
Frequencies
Test Statistics
df 1 3 3 3 1 1
Test Statistics
df 7 2 2 3 2