Anda di halaman 1dari 104

KARYA TULIS ILMIAH

PENGARUH LARUTAN LIDAH BUAYA (Aloe vera L.)


TERHADAP PENURUNAN KADAR FORMALIN PADA AYAM
DENGAN METODE SPEKTROFOTOMETRI UV-VIS

OLEH
CITRA ANOLIA HARISTYAN
NIM : 1351810028

PROGRAM STUDI D-III FARMASI


AKADEMI FARMASI SURABAYA
SURABAYA
2021
KARYA TULIS ILMIAH

PENGARUH LARUTAN LIDAH BUAYA (Aloe vera L.)


TERHADAP PENURUNAN KADAR FORMALIN PADA AYAM
DENGAN METODE SPEKTROFOTOMETRI UV-VIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar


Ahli Madya Farmasi
Dalam Program Studi D-III Farmasi
Akademi Farmasi Surabaya

OLEH
CITRA ANOLIA HARISTYAN
NIM : 1351810028

PROGRAM STUDI D-III FARMASI


AKADEMI FARMASI SURABAYA
SURABAYA
2021
ii
LEMBAR PENGESAHAN

PENGARUH LARUTAN LIDAH BUAYA (Aloe vera L.)


TERHADAP PENURUNAN KADAR FORMALIN PADA AYAM
DENGAN METODE SPEKTROFOTOMETRI UV-VIS

CITRA ANOLIA HARISTYAN


NIM : 1351810028

Karya Tulis Ilmiah ini telah diuji dan disetujui

dihadapan Tim Penguji Karya Tulis Ilmiah Jenjang Pendidikan

Diploma III Akademi Farmasi Surabaya

Surabaya, 05 September 2021

Disetujui Oleh:

Pembimbing 1 Pembimbing 2

Cicik Herlina Yulianti, S.T., M.Si. Djamilah Arifiyana, M.Si.


NIDN. 0028077901 NIDN. 0703079007

Mengetahui
Direktur Akademi Farmasi Surabaya

apt. Ninik Mas Ulfa, S.Si., Sp.FRS.


NIDN. 0701027504
iii
KARYA TULIS ILMIAH INI TELAH DIUJI DAN DISETUJUI

PADA TANGGAL
27 Agustus 2021

OLEH
TIM PENGUJI KARYA TULIS ILMIAH
AKADEMI FARMASI SURABAYA

Ketua : apt. M.A. Hanny Ferry F., S.Farm., M.Farm. ...........

Anggota : 1. Cicik Herlina Yulianti, S.T., M.Si. ...........

2. Djamilah Arifiyana, M.Si. ...........

Mengetahui
Wakil Direktur I Bidang Akademik

apt. M.A. Hanny Ferry F., S.Farm., M.Farm.


NIDN. 0726018802

Ketua PPPM
Akademi Farmasi Surabaya

apt. Ilil Maidatuz Zulfa, S.Farm., M.Si.


NIDN. 0721128902

iv
viii
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan

hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan naskah Karya Tulis Ilmiah ini

tepat pada waktunya. Perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih dengan

tulus kepada setiap orang yang telah hadir selama perjalanan studi penulis,

membimbing, memberikan inspirasi, bantuan dan dukungan dalam menyelesaikan

Karya Tulis Ilmiah ini, kepada antara lain:

1. Ibu apt. Ninik Mas Ulfa, S.Si., Sp.FRS., selaku Direktur Akademi

Farmasi Surabaya yang telah menerima dan memberikan kesempatan

untuk studi di lembaga yang beliau pimpin.

2. Jajaran akademisi Bapak apt. M.A. Hanny Ferry F., S.Farm., M.Farm.,

selaku Wakil Direktur I Bidang Akademik dan Kemahasiswaan dan

Bapak Umarudin, M.Si., selaku Wakil Direktur II Bidang Umum, Humas

dan Kerjasama.

3. Ibu apt. Damarine Dipahayu, S.Farm., M.Farm., selaku Ketua Program

Studi beserta jajarannya.

4. Ibu Cicik Herlina Y., S.T., M.Si., selaku Pembimbing I yang telah

berkenan memberikan tambahan ilmu dan bersedia membimbing serta

mengarahkan penulis dalam menyusun Karya Tulis Ilmiah ini.

5. Ibu Djamilah Arifiyana, M.Si., selaku Pembimbing II yang telah berkenan

memberikan tambahan ilmu dan bersedia membimbing serta

mengarahkan penulis dalam menyusun Karya Tulis Ilmiah ini.

6. Bapak apt. M.A. Hanny Ferry F., S.Farm., M.Farm., selaku Penguji yang

vii
telah berkenan memberikan tambahan ilmu dan wawasan kepada penulis.

7. Bapak apt. M.A. Hanny Ferry F., S.Farm., M.Farm., selaku Dosen Wali

yang telah memberikan ilmu, motivasi serta saran kepada penulis dalam

menyusun Karya Tulis Ilmiah ini.

8. Bapak/Ibu staff dosen serta karyawan Akademi Farmasi Surabaya yang

telah banyak membantu dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini.

9. Ayah dan Ibu tercinta, Aris Sudiarso dan Hartutik yang telah

mencurahkan doa dan dukungan kepada penulis selama menempuh

pendidikan di Akademi Farmasi Surabaya.

10. Seluruh rekan mahasiswa Akademi Farmasi Surabaya atas semangat,

dukungan, serta perhatian selama menempuh pendidikan di Akademi

Farmasi Surabaya.

Penulis menyadari sepenuhnya akan segala kekurangan dalam penyelesaian

Karya Tulis Ilmiah ini, oleh karena itu kritik dan saran penulis harapkan untuk dapat

menyempurnakan Karya Tulis Ilmiah ini. Semoga hasil dari penelitian ini dapat

bermanfaat bagi pembaca khususnya penulis sendiri dalam menerapkan ilmu di

bidang kesehatan.

Surabaya, 05 September 2021

Penulis

viii
RINGKASAN

PENGARUH LARUTAN LIDAH BUAYA (Aloe vera L.) TERHADAP


PENURUNAN KADAR FORMALIN PADA AYAM DENGAN METODE
SPEKTROFOTOMETRI UV-VIS
Citra Anolia Haristyan

Daging ayam kampung merupakan sumber protein yang digemari masyarakat


Indonesia. Namun daging ayam kampung mudah mengalami pembusukan setelah
pemotongan apabila tidak segera diolah. Maka, untuk menghindari kerugian besar
produsen sering menambahkan bahan pengawet. Formalin merupakan pengawet
non pangan yang banyak disalahgunakan untuk mengawetkan makanan. Formalin
adalah bahan kimia yang berbahaya bagi kesehatan dan juga dilarang
penggunaannya sebagai bahan tambahan makanan. Salah satu tindakan untuk
mengurangi dapak buruk formalin adalah dengan pengurangan kadar formalin
dalam makanan. Penelitian yang telah dilakukan sebelumnya menyebutkan
senyawa saponin pada lidah buaya efektif dalam menurunkan kadar formalin pada
makanan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh variasi konsentrasi
larutan lidah buaya terhadap penurunan kadar formalin pada daging ayam kampung
menggunakan metode spektrofotometri UV-Vis dengan reagen nash. Tahapan
dalam penelitian ini adalah standarisasi larutan formalin untuk menentukan panjang
gelombang maksimal dan kurva kalibrasi, preparasi sampel, reduksi formalin
dengan larutan lidah buaya, dan pengujian kuantitatif kandungan formalin sisa pada
sampel. Hasil penelitian yang diperoleh dalam penelitian ini adalah kadar larutan
standar formalin setelah distandarkan sebesar 32,5 %, panjang gelombang
maksimal formalin pada 412 nm, koefisien korelasi (r) dari kurva kalibrasi sebesar
0,998. Hasil uji kuantitatif terhadap sampel adalah kandungan formalin pada larutan
pereduksi 0% sebesar 378,89 µg/g. Sedangkan pada sampel setelah direndam pada
larutan pereduksi 30% diperoleh kadar formalin sebesar 294,13 µg/g, pada sampel
dengan larutan pereduksi 60% sebesar 269,52 µg/g dan sampel dengan larutan
pereduksi 90% sebesar 265,70 µg/g. Dengan demikian terbukti bahwa larutan lidah
buaya memiliki pengaruh terhadap penurunan kadar formalin dalam daging ayam
kampung.

Kata kunci: ayam kampung, formalin, lidah buaya, saponin, spektrofotometri UV-
Vis.

ix
ABSTRACT

THE EFFECT OF ALOE VERA (Aloe vera L.) SOLUTION ON


REDUCTION FORMALIN LEVELS IN CHICKEN WITH UV-VIS
SPECTROPHOTOMETRY METHOD
Citra Anolia Haristyan

Javanese chicken meat is protein sources that is much favoured by Indonesian.


However, it is easy to rot after cutting if not processed immediately. Therefore, to
avoid big losses, sellers often add preservatives. Formaldehyde is one of the non-
food preservatives that is widely misused to preserve food. Formaldehyde is a
chemical that is harmful to health and its also prohibited as a food additive. One of
the preventive measure to decrease the bad effects of formaldehyde is reduce the
levels of formaldehyde in food. Previous research has stated that the saponin
compounds in aloe vera have been shown to be effective in reducing formaldehyde
levels in food. The aims of study is to determine the effect of aloe vera solution on
reducing formalin levels in javanese chicken meat using the UV-Vis
spectrophotometry method with nash reagent. The steps are standardization of
formaldehyde solution, determining the maximum wavelength and calibration
curve, sample preparation, formaldehyde reduction with aloe vera solution, and
quantitative test of formaldehyde levels in the sample. The results is the percentage
of formaldehyde solution after standardized is 32,5%, the maximum wavelength of
formaldehyde is at 412 nm, the correlation coefficient (r) is 0,998. The result of the
quantitative test on the sample was that the formaldehyde content in 0% aloe vera
solution was 378,89 µg/g. Meanwhile, in the sample after soaking in 30% aloe vera
solution the formaldehyde content was 294,13 µg/g, the sample with 60% aloe vera
solution was 269,52 µg/g and the sample with 90% aloe vera solution was 265,70
µg/g. Thus it is proven that aloe vera has an effect on reducing formalin levels in
javanese chicken meat..

Keywords: javanese chicken, formaldehyde, aloe vera, saponins, UV-Vis


spectrophotometry.

x
DAFTAR ISI

KARYA TULIS ILMIAH .................................................................................... ii


LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................. iii
KATA PENGANTAR ........................................................................................ viii
RINGKASAN ....................................................................................................... ix
ABSTRACT ........................................................................................................... x
DAFTAR ISI ......................................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xv
DAFTAR TABEL .............................................................................................. xvi
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xvii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang Masalah............................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ...................................................................................... 4
1.3 Tujuan Penelitian ....................................................................................... 4
1.3.1 Tujuan umum ............................................................................ 4
1.3.2 Tujuan khusus ........................................................................... 4
1.4 Manfaat Penelitian ..................................................................................... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................... 6
2.1 Lidah Buaya (Aloe vera L.)........................................................................ 6
2.1.1 Fisiologi lidah buaya (Aloe vera L.) ......................................... 7
2.1.2 Penggunaan lidah buaya (Aloe vera L.) .................................... 8
2.2 Ayam Kampung (Gallus gallus domesticus) ............................................. 9
2.2.1 Ciri morfologi ayam kampung (Gallus gallus domesticus) .... 11
2.3 Bahan Tambahan Pangan (BTP) .............................................................. 11
2.3.1 Penggunaan BTP..................................................................... 12
2.4 Formalin ................................................................................................... 13
2.4.1 Penggunaan formalin .............................................................. 14
2.4.2 Penyalahgunaan formalin ....................................................... 15
2.4.3 Bahaya formalin ...................................................................... 15
2.5 Pereaksi Nash ........................................................................................... 17
2.6 Spektrofotometer UV-Vis ........................................................................ 18
xi
2.6.1 Cara kerja spektrofotometer UV-Vis ...................................... 20
2.6.2 Interaksi sinar UV-Vis dengan senyawa ................................. 21
2.8 Kerangka Konseptual ............................................................................... 23
2.9 Hipotesis .................................................................................................. 24
BAB III METODE PENELTIAN ...................................................................... 25
3.1 Rancangan Penelitian ............................................................................... 25
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................................... 25
3.3 Sampel, Besar Sampel, dan Cara Pengambilan Sampel .......................... 26
3.3.1 Sampel .................................................................................... 26
3.3.2 Besar sampel ........................................................................... 26
3.3.3 Cara pengambilan sampel ....................................................... 26
3.4 Variabel Penelitian ................................................................................... 26
3.4.1 Variabel bebas......................................................................... 26
3.4.2 Variabel terikat ....................................................................... 26
3.4.3 Variabel kontrol ...................................................................... 26
3.5 Kerangka Operasional .............................................................................. 27
3.5.1 Standarisasi formalin .............................................................. 27
3.5.2 Pembuatan kurva kalibrasi ...................................................... 28
3.5.3 Preparasi larutan pereduksi lidah buaya ................................. 29
3.5.4 Preparasi sampel ayam............................................................ 30
3.5.5 Reduksi formalin pada sampel ayam ...................................... 31
3.5.6 Analisis kuantitatif dengan menggunakan pereaksi nash ....... 32
3.6 Alat dan Bahan/Instrumen Penelitian ...................................................... 33
3.6.1 Alat.......................................................................................... 33
3.6.2 Bahan kimia ............................................................................ 33
3.6.3 Bahan alam ............................................................................. 33
3.7 Definisi Operasional ................................................................................ 33
3.7.1 Lidah buaya (Aloe vera L.) ..................................................... 33
3.7.2 Ayam kampung (Gallus gallus domesticus) ........................... 33
3.7.3 Formalin .................................................................................. 34
3.7.4 Spektrofotometer UV-Vis ....................................................... 34
3.8 Teknik Pengumpulan Data ....................................................................... 34

xii
3.8.1 Pembuatan pereaksi nash ........................................................ 34
3.8.2 Penetapan kadar larutan formalin 37% ................................... 34
3.8.3 Pembuatan larutan induk dan larutan standar formalin .......... 37
3.8.4 Penentuan panjang gelombang maksimum dengan menggu-
nakan larutan standar formalin 6 mg/L .................................. 37
3.8.5 Pembuatan kurva kalibrasi ...................................................... 38
3.8.6 Penyiapan sampel ayam .......................................................... 38
3.8.7 Penyiapan larutan pereduksi lidah buaya ................................ 38
3.8.8 Reduksi formalin pada sampel ayam ...................................... 39
3.8.9 Ekstraksi formalin pada sampel ayam .................................... 39
3.8.10 Analisis kuantitatif dengan menggunakan pereaksi nash ..... 39
3.9 Teknik Pengolahan Data .......................................................................... 40
BAB IV HASIL PENELITIAN .......................................................................... 41
4.1 Standarisasi Formalin............................................................................... 41
4.1.1 Standarisasi larutan natrium hidroksida (NaOH).................... 41
4.1.2 Standarisasi larutan asam sulfat (H2SO4)................................ 42
4.1.3 Standarisasi larutan formalin (CH2O) ..................................... 43
4.2 Penentuan Panjang Gelombang Maksimal Formalin ............................... 43
4.3 Pembuatan Kurva Kalibrasi ..................................................................... 44
4.4 Pengamatan Kadar Formalin pada Sampel .............................................. 45
BAB V PEMBAHASAN ..................................................................................... 47
5.1 Standarisasi Formalin............................................................................... 48
5.1.1 Standarisasi larutan natrium hidroksida (NaOH).................... 48
5.1.2 Standarisasi larutan asam sulfat (H2SO4)................................ 49
5.1.3 Standarisasi larutan formalin (CH2O) ..................................... 49
5.2 Penentuan Panjang Gelombang Maksimal Formalin ............................... 50
5.3 Pembuatan Kurva Kalibrasi ..................................................................... 50
5.4 Pengamatan Kadar Formalin pada Sampel .............................................. 51
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN............................................................. 54
6.1 Kesimpulan .............................................................................................. 54
6.2 Saran ........................................................................................................ 54
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 55

xiii
LAMPIRAN ......................................................................................................... 61

xiv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Lidah Buaya 7


Gambar 2.2 Ayam Kampung 10
Gambar 2.3 Struktur Kimia Formaldehida 14
Gambar 2.4 Reaksi Antara Formalin dan Pereaksi Nash 17
Gambar 2.5 Diagram Alat Spektrofotometer UV-Vis 20
Gambar 2.6 Tipe Transisi Elektronik dalam Molekul Organik 21
Gambar 2.7 Kerangka Konseptual 23
Gambar 3.1 Standarisasi Formalin ...................................................................... 27
Gambar 3.2 Pembuatan Kurva Kalibrasi ............................................................. 28
Gambar 3.3 Preparasi Larutan Pereduksi Lidah Buaya ....................................... 29
Gambar 3.4 Preparasi Sampel Ayam ................................................................... 30
Gambar 3.5 Reduksi Formalin pada Sampel Ayam ............................................ 31
Gambar 3.6 Analisis Kuantitatif dengan Menggunakan Pereaksi Nash .............. 32
Gambar 4.1 Panjang Gelombang Maksimal Formalin 6 mg/L ........................... 44
Gambar 4.2 Kurva Linieritas Larutan Baku Formalin ........................................ 45

xv
DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Data Hasil Standarisasi NaOH ............................................................. 42


Tabel 4.2 Data Hasil Standarisasi H2SO4 ............................................................. 42
Tabel 4.3 Data Hasil Standarisasi Larutan Formalin............................................ 43
Tabel 4.4 Data Hasil Absorbansi Larutan Baku Kerja ......................................... 44
Tabel 4.5 Data Hasil Pengamatan Kadar Formalin .............................................. 46

xvi
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Perhitungan Pembuatan Larutan ...................................................... 61


Lampiran 2 Perhitungan Kadar Formalin dalam Sampel .................................... 66
Lampiran 3 Dokumentasi Penelitian ................................................................... 84

xvii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Maraknya penggunaan formalin pada makanan merupakan berita yang sangat

mengejutkan sejak beberapa tahun belakangan. Menariknya, makanan berformalin

tidak hanya ditemukan pada produk yang beredar di pasar tradisional saja, tetapi

juga diperdagangkan di beberapa supermarket di seluruh Indonesia. Sifat

desinfektan dari formalin disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab

sehingga banyak ditemukan penyalahgunaan formalin sebagai bahan pengawet

makanan. Dikutip dari TribunJateng.com tahun 2019, BPOM mengemukakan

bahwa masih banyak makanan yang mengandung formalin sering ditemukan di

pasar tradisional [1]. Makanan yang sering kali ditambahkan formalin sebagai

pengawet diantaranya tahu, bakso, kerupuk, ikan kering, dan ikan laut [2].

Salah satu bahan pangan lain yang rentan mengandung formalin adalah daging

ayam. Daging ayam merupakan sumber protein yang digemari masyarakat

Indonesia karena rasanya yang lezat serta gizinya tinggi. Sayangnya, daging ayam

memiliki daya simpan yang singkat sedangkan harganya relatif mahal. Daging

ayam mudah mengalami pembusukan setelah pemotongan apabila tidak segera

diolah. Oleh sebab itu, untuk menghindari kerugian besar produsen sering

menambahkan bahan pengawet [3]. Formalin merupakan salah satu pengawet non

pangan yang sekarang banyak digunakan untuk mengawetkan makanan [4].

Kebanyakan konsumen memiliki kebiasaan yang hanya melihat tampilan

sebuah produk ketika membeli, maka dari itu produsen akan menggunakan Bahan

1
2

Tambahan Pangan (BTP) sehingga selera yang dikehendaki oleh konsumen

terpenuhi. Bahan Tambahan Pangan adalah bahan yang ditambahkan ke dalam

pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan [4]. Peraturan Menteri

Kesehatan Republik Indonesia Nomor 033 Tahun 2012 mengatur jenis-jenis BTP

yang diperbolehkan dan batas maksimum kadar BTP yang boleh ditambahkan pada

makanan [5]. BTP seperti asam borat, asam salisilat, dan formalin tidak boleh

digunakan sebagai pengawet makanan. Formalin sering disalahgunakan produsen

untuk mengawetkan makanan karena memiliki beberapa keuntungan, yaitu

makanan dengan formalin menjadi tidak lembek, tidak mudah rusak,

penggunaannya yang praktis dan murah dibandingkan dengan pengawet lainnya serta

mendatangkan keuntungan lebih banyak bagi produsen [6].

Formalin adalah nama dagang larutan formaldehida dalam air dengan kadar 36

– 40%, tidak berwarna dan baunya sangat menusuk dan biasanya ditambah metanol

hingga 15% sebagai penstabil [4]. Formalin adalah salah satu jenis desinfektan yang

biasa digunakan sebagai bahan pengawet spesimen hayati atau kadaver dan bahan

campuran industri [7]. Dalam industri non pangan, zat yang memiliki rumus kimia

CH2O ini biasa dimanfaatkan sebagai pembunuh kuman sehingga digunakan sebagai

pembersih, bahan pembentuk pupuk berupa urea, bahan perekat untuk produk kayu

lapis, dan juga pengawet mayat [4]. Konsumsi formalin dalam jumlah banyak akan

mengganggu proses pernafasan, keracunan dan aborsi spontan, sedangkan dalam

jangka waktu yang lama dapat meningkatkan risiko terjadinya kanker [8]. Cahyadi

[9] juga menyebutkan bahwa kandungan formalin yang tinggi dalam tubuh juga

menyebabkan iritasi lambung, alergi, bersifat karsinogenik (menyebabkan kanker)

dan bersifat mutagen (menyebabkan perubahan fungsi sel atau jaringan), diare
3

bercampur darah, kencing bercampur darah, dan kematian yang disebabkan adanya

kegagalan peredaran darah.

Berdasarkan bahaya yang ditimbulkan serta banyaknya kasus yang disebabkan

karena penyalahgunaan formalin sebagai bahan pengawet makanan, maka perlu

adanya tindakan pencegahan sebagai langkah awal untuk melindungi masyarakat

dari dampak buruk formalin. Tindakan tersebut dapat dilakukan dengan cara

pengurangan kadar formalin yang ada dalam makanan [10].

Lidah buaya (Aloe vera L.) merupakan salah satu tanaman yang dapat

digunakan untuk mereduksi kadar formalin secara alami karena kaya akan senyawa

saponin. Tanaman lidah buaya memiliki kandungan senyawa saponin yang cukup

tinggi karena sekitar 5,651% per 100 g [3]. Cara kerja saponin pada gel lidah buaya

dapat menurunkan kadar formalin yang dikenal sebagai reaksi saponifikasi (proses

pembentukan sabun) dimana sabun termasuk golongan zat surfaktan. Zat surfaktan

memiliki daya pembersih yang lebih baik dibandingkan air saja [11].

Beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya menyebutkan senyawa

saponin pada lidah buaya terbukti efektif dalam menurunkan kadar formalin pada

makanan. Rianingsih et al. [12] menyebutkan bahwa lidah buaya (Aloe vera L.)

20% dengan perendaman 60 menit menurunkan kadar formalin sebesar 66,78%

pada fillet ikan bandeng. Sopandi dan Nurfi [3] juga mengemukakan konsentrasi

lidah buaya (Aloe vera L.) 60% dengan perendaman 60 menit dapat menurunkan

kadar formalin hingga 92,12% pada daging ayam broiler.

Lidah buaya dinilai aman dikonsumsi. Tanaman ini telah digunakan sejak lama

sebagai bahan makanan di Indonesia. Meskipun bukan tanaman asli Indonesia,

lidah buaya dapat tumbuh baik hampir di seluruh daerah di Indonesia. Lidah buaya
4

adalah salah satu jenis tanaman yang mudah didapat dan harganya terjangkau.

Berdasarkan hasil dari beberapa penelitian sebelumnya yang menunjukkan

keefektifan saponin untuk mengurangi senyawa formalin, maka penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui pengaruh larutan lidah buaya terhadap penurunan

kadar formalin menggunakan sampel daging ayam kampung (Gallus gallus

domesticus) yang telah direndam formalin. Dengan adanya penelitian ini,

diharapkan masyarakat dapat memanfaatkan tanaman lidah buaya sebagai alternatif

untuk meminimalisir kandungan formalin pada ayam kampung sebelum diolah

dengan cara perendaman.

1.2 Rumusan Masalah

Apakah variasi konsentrasi perendaman larutan lidah buaya (Aloe vera L.)

berpengaruh terhadap penurunan kadar formalin pada daging ayam kampung?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan umum

Mengetahui pengaruh variasi konsentrasi perendaman larutan lidah buaya

(Aloe vera L.) terhadap penurunan kadar formalin pada daging ayam kampung.

1.3.2 Tujuan khusus

Mengetahui apakah variasi konsentrasi pereduksi lidah buaya 30%, 60%, dan

90% lebih besar memberikan pengaruh terhadap penurunan kadar formalin pada

daging ayam kampung dibandingkan dengan aquades (konsentrasi 0%).


5

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Dapat memberikan informasi ilmiah mengenai lidah buaya (Aloe vera L.)

yang dapat digunakan sebagai pereduksi kadar formalin pada ayam

kampung.

2. Dapat memberikan informasi seberapa besar pengaruh larutan lidah buaya

(Aloe vera L.) terhadap penurunan kadar formalin pada ayam kampung.

3. Sebagai referensi yang dapat digunakan dalam penelitian selanjutnya terkait

lidah buaya (Aloe vera L.) dapat digunakan sebagai pereduksi kadar

formalin pada ayam kampung.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lidah Buaya (Aloe vera L.)

Lidah buaya (Aloe vera L.) merupakan sejenis tanaman berduri yang berasal

dari daerah kering di benua Afrika. Aloe vera Linn atau yang memiliki sinonim

Aloe barbadensis Mill ini ditemukan oleh Phillip Miller, seorang pakar botani

Inggris pada tahun 1768. Berikut adalah kedudukan taksonomi dari lidah buaya

[13]:

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Kelas : Monocotyledoneae

Ordo : Lilifrorae

Famili : Liliceae

Genus : Aloe

Species : Aloe vera

Lidah buaya dapat tumbuh di daerah beriklim dingin dan juga di daerah kering,

seperti Afrika, Asia dan Amerika. Hal ini disebabkan bagian stomata daun lidah

buaya dapat tertutup rapat pada musim kemarau karena untuk menghindari

hilangnya air daun. Lidah buaya dapat tumbuh pada suhu optimum untuk

pertumbuhan berkisar antara 16-33 oC dengan curah hujan 1.000 - 3.000 mm

dengan musim kering agak panjang, sehingga lidah buaya termasuk tanaman yang

efisien dalam penggunaan air [13].

6
7

Di Indonesia, lidah buaya merupakan salah satu komoditas pertanian dengan

prospek yang cukup tinggi. Hal ini karena potensi sumber daya alam Indonesia yang

telah terbukti sangat sesuai untuk budidaya tanaman lidah buaya, yaitu seperti yang

telah ditunjukkan dari pengalaman budidaya tanaman tersebut di berbagai daerah

terutama di pulau Jawa dan Kalimantan [14]. Selain itu, masyarakat juga sering

menjadikan lidah buaya sebagai tanaman hias yang ditanam di pekarangan rumah

karena bentuknya yang unik.

Gambar 2.1 Lidah Buaya [14]

2.1.1 Fisiologi lidah buaya (Aloe vera L.)

Menurut Purwaningsih [14] ciri fisiologi dari tanaman Aloe vera L. adalah:

1. Batang tanaman lidah buaya (Aloe vera L.) berbatang pendek. Batangnya

tertutup oleh daun-daun yang rapat dan sebagian terbenam dalam tanah.

Melalui batang ini akan muncul tunas-tunas yang selanjutnya menjadikan

anakan. Aloe vera L. yang bertangkai panjang juga muncul dari batang

melalui celah-celah atau ketiak daun.

2. Daun tanaman lidah buaya (Aloe vera L.) berbentuk pita dengan helaian

yang memanjang. Daunnya berdaging tebal, tidak bertulang, berwarna hijau


8

keabu-abuan, bersifaat sukulen (banyak mengandung air) dan banyak

mengandung getah atau lendir (gel). Tanaman lidah buaya tahan terhadap

kekeringan karena di dalam daun banyak tersimpan cadangan air yang dapat

dimanfaatkan pada waktu kekurangan air. Bentuk daunnya menyerupai

pedang dengan ujung meruncing, permukaan daun dilapisi lilin, dengan duri

lemas dipinggirnya. Panjang daun dapat mencapai 50-75 cm, dengan berat

0,5-1 kg, daun melingkar rapat di sekeliling batang bersaf-saf.

3. Bunga lidah buaya (Aloe vera L.) berwarna kuning atau kemerahan berupa

pipa yang mengumpul, keluar dari ketiak daun. Bunga berukuran kecil,

tersusun dalam rangkaian berbentuk tandan, dan panjangnya bisa mencapai

1 meter. Bunga biasanya muncul bila ditanam di pegunungan.

4. Akar tanaman lidah buaya (Aloe vera L.) berupa akar serabut yang pendek

dan berada di permukaan tanah. Panjang akar berkisar antara 50-100 cm.

Untuk pertumbuhannya tanaman menghendaki tanah yang subur dan

gembur di bagian atasnya.

2.1.2 Penggunaan lidah buaya (Aloe vera L.)

Tanaman lidah buaya telah lama dikenal sebagai bahan obat tradisional dan

kosmetika termasuk dalam bidang farmasi. Diantaranya sebagai penyubur rambut,

penyembuh luka bakar, obat bisul, jerawat, pelembab alami, antiperadangan,

antipenuaan, serta tabir surya alami. Selain itu, lidah buaya juga berkhasiat untuk

obat cacingan, susah kencing, susah buang air besar (sembelit), batuk, radang

tenggorokan, hepatoprotektor (pelindung hati), imunomodulator (pembangkit

sistem kekebalan), diabetes melitus, penurun kolesterol dan penyakit jantung

koroner [14].
9

Bagian dari lidah buaya yang paling sering digunakan adalah daging dari

daunnya. Daun lidah buaya juga biasa diolah menjadi berbagai produk makanan

dan minuman. Hal tersebut disebabkan oleh kombinasi kandungan zat gizi dan non

gizi yang memiliki khasiat bagi kesehatan. Lidah buaya mempunyai kandungan zat

gizi yang diperlukan tubuh dengan cukup lengkap, yaitu vitamin A, B1, B2, B3,

B12, C, E, kolin, inositol dan asam folat. Kandungan mineralnya antara lain terdiri

dari kalsium (Ca), magnesium (Mg), potasium (K), sodium (Na), besi (Fe), zinc

(Zn) dan kromium (Cr) [14]. Selain itu, lidah buaya juga mengandung lemak tak

jenuh asam arakidonat dan fosfatidil kolina [15]. Daunnya mengandung flavonoid,

tanin, polifenol, serta kaya akan saponin [16].

Saponin adalah senyawa aktif permukaan yang menimbulkan busa jika dikocok

dalam air dan memiliki kemampuan sebagai pembersih [17]. Tanaman lidah buaya

memiliki kandungan senyawa saponin yang cukup tinggi karena sekitar 5,651% per

100 g [3]. Saponin dapat digunakan untuk mereduksi kadar formalin secara alami.

Cara kerja saponin pada gel lidah buaya dapat menurunkan kadar formalin yang

dikenal sebagai reaksi saponifikasi (proses pembentukan sabun) dimana sabun

termasuk golongan zat surfaktan. Zat surfaktan memiliki daya pembersih yang lebih

baik dibandingkan air saja. Surfaktan memiliki gugus amfipatik yang dapat

membentuk emulsi air dan formalin. Setelah formalin diikat oleh senyawa saponin,

saponin akan larut membentuk misel [11].

2.2 Ayam Kampung (Gallus gallus domesticus)

Ayam kampung (Gallus gallus domesticus) adalah ayam lokal Indonesia yang

merupakan keturunan dari ayam hutan merah (Gallus gallus) dan ayam hutan hijau
10

(Gallus varius) [18]. Menurut Williamson dan Payne [19] klasifikasi ayam

kampung sebagai berikut:

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Subfilum : Vertebrata

Kelas : Aves

Subkelas : Neornithes

Superordo : Neognathae

Ordo : Galliformes

Famili : Phasianidae

Genus : Gallus

Spesies : Gallus domesticus

Saat ini, ayam kampung telah banyak dipelihara oleh masyarakat Indonesia.

Selain untuk pemenuhan gizi, ayam kampung juga dipelihara sebagai pemanfaatan

pekarangan dan juga sebagai tambahan pendapatan sehingga ayam kampung sangat

mudah ditemukan di berbagai tempat. Pemeliharaan ayam kampung juga tidak

membutuhkan lahan yang luas serta penyediaan pakan mudah dan murah [20].

Gambar 2.2 Ayam Kampung [21]


11

2.2.1 Ciri morfologi ayam kampung (Gallus gallus domesticus)

Ayam kampung memiliki ukuran tubuh yang lebih kecil dibandingkan dengan

ayam ras. Ayam jantan memiliki jengger berwarna merah, tegak, dan bergerigi serta

kaki yang lebih panjang dan kuat dibandingkan dengan ayam betina. Rasyaf [20]

menyatakan bahwa bentuk tubuh ayam kampung kompak dengan susunan otot yang

baik, bentuk jari kaki tidak begitu panjang, kuat dan ramping serta kukunya tajam

dan sangat kuat. Ayam kampung memiliki warna bulu yang bervariasi, mulai dari

hitam, putih, coklat, kuning kemerahan atau kombinasi dari warna-warna tersebut.

Ayam kampung memiliki banyak keunggulan dibandingkan dengan ayam lain

yaitu lebih lincah, aktif bergerak dan dapat bertahan jika dipelihara secara umbaran

[22]. Kendala yang dimiliki ayam kampung adalah sistem pemeliharaan yang masih

tradisional, produktivitas rendah, baik produksi daging maupun produksi telur,

variasi mutu genetik, tingkat kematian tinggi, pemberian pakan belum sesuai

dengan kebutuhan, baik kualitas maupun kuantitasnya [23]. Tingkat pertumbuhan

ayam kampung relatif lambat, sehingga memerlukan waktu yang lebih lama untuk

bisa dijual. Maka dari itu, harga daging ayam kampung relatif lebih mahal dari pada

daging ayam broiler.

2.3 Bahan Tambahan Pangan (BTP)

Bahan Tambahan Pangan (BTP) secara umum adalah bahan yang biasanya

tidak digunakan sebagai bahan makanan dan biasanya bukan merupakan komponen

khas makanan, mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang dengan sengaja

ditambahkan ke dalam makanan untuk maksud teknologi pada pembuatan,

pengolahan, penyiapan, perlakuan, pengepakan, pengemasan dan penyimpanan

[24]. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 033 Tahun
12

2012, Bahan Tambahan Pangan yang selanjutnya disingkat BTP adalah bahan yang

ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan.

Tujuan penambahan bahan tambahan pangan adalah untuk meningkatkan atau

mempertahankan nilai gizi dan kualitas daya simpan, meningkatkan tampilan, serta

mempermudah dalam penggunaan bahan pangan [5].

2.3.1 Penggunaan BTP

Saat ini hampir semua jenis makanan maupun minuman yang dijual

menggunakan BTP untuk meningkatkan kepuasan konsumen. Penambahan BTP ini

dimaksudkan untuk meningkatkan nilai gizi, meningkatkan tampilan,

memperpanjang daya simpan (shelf life) makanan, serta rasa dan teksturnya lebih

sempurna [25]. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 033

Tahun 2012 mengatur jenis-jenis BTP yang diperbolehkan dan batas maksimum

kadar BTP yang boleh ditambahkan pada makanan. BTP yang digunakan dalam

pangan terdiri atas beberapa golongan, diantaranya yaitu antioksidan (antioxidant),

antikempal (anticaking agent), pengatur keasaman (acidity regulator), pengawet

(preservative) dan lain-lain. BTP yang sering digunakan khususnya pada makanan

dan minuman antara lain pewarna, pemanis, dan penyedap rasa, aroma, dan

pengawet [5].

BTP sudah lama digunakan dalam pengawetan makanan. Orang romawi kuno

biasa menggunakan garam untuk mengawetkan daging. Saat ini, BTP seperti asam

sorbat, asam benzoat, dan natrium sulfit boleh digunakan sebagai pengawet

makanan selama tidak melebihi batas maksimum penggunaan. Sedangkan BTP

yang dilarang digunakan diantaranya asam borat, asam salisilat, dan formalin [5].
13

2.4 Formalin

Formalin atau metanal adalah senyawa organik dengan rumus kimia CH2O

yang merupakan golongan aldehid paling sederhana karena hanya mempunyai satu

atom karbon. Formalin adalah nama dagang larutan formaldehida dalam air dengan

kadar 36 – 40%, tidak berwarna dan baunya sangat menusuk dan biasanya ditambah

metanol hingga 15% sebagai penstabil [4]. Formalin dikenal sebagai bahan

pembunuh hama (desinfektan) banyak digunakan industrial maupun medis. Nama

lain dari formalin adalah Formol, Methylene aldehyde, Paraforin, Morbicid,

Oxomethane, Polyoxymethylene glycols, Methanal, Formoform, Superlysoform,

Formaldehyde, dan Formalith [26].

Menurut Cahyadi [25], formalin merupakan cairan jernih yang tidak berwarna

atau hampir tidak berwarna dengan bau yang menusuk, uapnya merangsang selaput

lendir hidung dan tenggorokan. Berat jenis formalin sekitar 1,08 gr/mL.

Formaldehid dapat bercampur dalam air dan alkohol, tetapi tidak bercampur dengan

kloroform dan eter. Sifat formalin mudah larut dalam air dikarenakan adanya

elektron bebas pada oksigen sehingga dapat mengadakan ikatan hidrogen molekul

air.

Dalam udara bebas formalin berada dalam wujud gas, tetapi bisa larut dalam

air dan biasanya dijual dalam kadar larutan 37% dengan merek dagang formalin

atau formol. Umumnya, larutan ini ditambahkan 10-15% metanol sebagai penstabil.

Formalin dapat dioksidasi oleh oksigen atmosfer menjadi asam format, karena itu

larutan formalin harus disimpan dalam keadaan tertutup [25].


14

Gambar 2.3 Struktur Kimia Formaldehida

2.4.1 Penggunaan formalin

Alsuhendra dan Ridawati [27] mengemukakan bahwa kegunaan dari formalin

adalah sebagai berikut:

1. Pembasmi atau pembunuh kuman sehingga dapat dimanfaatkan untuk

pembersih lantai, kapal, gudang dan pakaian dan pembasmi lalat dan

berbagai serangga lain.

2. Pengeras lapisan gelatin dan kertas.

3. Pengawet produk kosmetika dan pengeras kuku, sebagai antiseptik untuk

mensterilkan peralatan kedokteran.

4. Sebagai germisida dan fungisida pada tanaman dan sayuran.

5. Mengawetkan spesimen biologi, termasuk mayat dan kulit.

Larutan formaldehid adalah desinfektan yang efektif melawan bakteri

vegetatif, jamur atau virus, tetapi kurang efektif melawan spora bakteri. Formalin

bereaksi dengan protein dan hal tersebut mengurangi aktivitas mikroorganisme.

Efek sporodisnya yang meningkat tajam dengan adanya kenaikan suhu. Larutan

formaldehid 0,5% dapat membunuh bakteri dalam waktu 6-12 jam dan dapat

membunuh spora dalam waktu 2-4 hari. Sedangkan larutan 8% dapat membunuh

spora dalam waktu 18 jam. Sifat antimikrobial dari formaldehid merupakan hasil
15

dari kemampuannya menginaktivasi protein dengan cara mengkondensasi dengan

amino bebas dalam protein menjadi campuran lain [25].

2.4.2 Penyalahgunaan formalin

Penggunaan formalin pada makanan merupakan hal yang sangat disayangkan.

Sifat antibacterial agent yang dimiliki formalin dapat memperlambat aktivitas

bakteri dalam makanan yang mengandung banyak protein, maka formalin bereaksi

dengan protein dalam makanan dan membuat makanan menjadi awet [4]. Beberapa

contoh produk yang sering mengandung formalin diantaranya tahu, bakso, daging

ayam, kerupuk, ikan kering, dan ikan laut [2]. Formalin sering disalahgunakan

produsen untuk mengawetkan makanan karena memiliki beberapa keuntungan,

diantaranya makanan dengan formalin menjadi tidak lembek, tidak mudah rusak,

penggunaannya yang praktis dan murah dibandingkan dengan pengawet lainnya

serta mendatangkan keuntungan lebih banyak bagi produsen [6].

Di Indonesia, beberapa undang-undang yang melarang penggunaan formalin

sebagai pengawet makanan adalah Peraturan Menteri Kesehatan No. 722/1988,

Peraturan Menteri Kesehatan No. 1168/Menkes/PER/X/1999, UU No. 7/1996

tentang Pangan dan UU No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen. Hal ini

disebabkan oleh bahaya residu yang ditinggalkannya bersifat karsinogenik bagi

tubuh manusia [28].

2.4.3 Bahaya formalin

Formalin sangat berbahaya bila terhirup, mengenai kulit maupun tertelan.

Akibat yang ditimbulkan dapat berupa luka bakar pada kulit, iritasi pada saluran

pernafasan, reaksi alergi hingga bahaya kanker pada manusia. Formalin merupakan

bahan kimia yang bersifat toksik, dimana toksisitas formalin telah dievaluasi oleh
16

berbagai organisasi ternama seperti IARC (International Agency For Research on

Cancer), ATSR (Agency for Toxic Substances and Disease Registry, USA) dan IPC

(International Programme on Chemical Safety) [28].

Formalin telah diklasifikasikan oleh IARC ke dalam kelompok senyawa yang

beresiko menyebabkan kanker [29]. Dampak penggunaan formalin bagi kesehatan

manusia diantaranya [28]:

1. Dampak akut. Efek pada kesehatan manusia langsung terlihat sepert iritasi,

alergi, kemerahan, mata berair, mual, muntah, rasa terbakar, sakit perut dan

pusing.

2. Dampak kronik. Efek pada kesehatan manusia terlihat setelah terkena dalam

jangka waktu yang lama dan berulang dapat menyebabkan iritasi parah,

mata berair, gangguan pada pencernaan, hati, ginjal, pankreas, sistem saraf

pusat, dan pada hewan percobaan dapat menyebabkan kanker sedangkan

pada manusia diduga bersifat karsinogen (menyebabkan kanker).

3. Dampak jangka pendek. Jika terkena mata, maka akan terjadi iritasi, gatal

dan penglihatan kabur. Jika tertelan maka dapat menimbulkan kerusakan

hati, jantung, otak, limpa, dan ginjal. Jika terhirup maka dapat menyebabkan

iritasi pada hidung, tenggorokan, batuk, diare dan gangguan pernafasan,

gangguan menstruasi hingga kemandulan pada perempuan.

4. Dampak jangka waktu lama maka akan menimbulkan sakit kepala,

gangguan pernafasan, batuk-batuk, radang selaput lendir hidung, mual,

mengantuk, luka pada ginjal dan sensitasi pada paru. Efek neuropsikologis

meliputi gangguan tidur, cepat marah, keseimbangan terganggu, kehilangan

konsentrasi dan daya ingat berkurang. Bila merupakan bahan beronsentrasi


17

tinggi maka formalin dapat menyebabkan pengeluaran air mata yang hebat

dan terjadi kerusakan pada lensa mata.

5. Apabila tertelan maka mulut, tenggorokan dan perut terasa terbakar, sakit

menelan, mual, muntah, dan diare, kemungkinan terjadi pendarahan, sakit

perut yang hebat, sakit kepala, hipotensi (tekanan darah rendah), kejang,

tidak sadar hingga koma. Selain itu juga dapat terjadi kerusakan hati,

jantung, otak, limpa, pancreas, system susunan saraf pusat dan ginjal.

2.5 Pereaksi Nash

Salah satu metode yang banyak digunakan dalam analisis formalin adalah

dengan penambahan pereaksi nash. Pereaksi nash dibuat dari 150 gram ammonium

asetat yang dilarutkan dalam 700 mL air, ditambahkan 3 mL asam asetat glasial dan

2 mL etil aseton kemudian ditambahkan aquades hingga volume tepat 1.000 mL

[30]. Reagen nash yang ditambahkan pada formaldehida akan membentuk 3,5

diasetil-1,4-dihidrolutidin yang berwarna kuning [31]. Reaksi formalin dengan

pereaksi nash dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 2.4 Reaksi Antara Formalin dan Pereaksi Nash [31]

Selain analisis kualitatif, pereaksi nash juga dapat digunakan untuk analisis

kuantitatif dengan alat spektrofotometer UV-Vis. Analisa kualitatif dilakukan

dengan cara larutan formalin dengan konsentrasi 5 mg/L dipipet sebanyak 5,0 mL

ke dalam labu ukur 10,0 mL kemudian volumenya dicukupkan sampai tanda batas

dengan menggunakan pereaksi nash, kemudian dipanaskan di atas penangas air


18

(40±2°C) selama 30 menit. Jika bereaksi dengan formalin akan terjadi perubahan

warna dari tidak berwarna menjadi kuning. Selanjutnya dilakukan analisa

kuantitatif dengan didiamkan selama 30 menit pada temperatur kamar kemudian

diukur serapan pada panjang gelombang maksimumnya (412 nm) [32].

Suryadi et al. [33] mengemukakan bahwa pereaksi nash merupakan pereaksi

warna yang paling baik untuk digunakan dalam analisis formalin secara kuantitatif

dibandingkan dengan pereaksi asam kromatropat dan pereaksi schryver. Hasil

validasi metode menunjukkan batas deteksi formalin dengan peraksi nash pada

spektrofotometer UV-Vis sebesar 0,0102 mg/L. Saptarini et al. [31] juga

menyebutkan bahwa metode ini relatif selektif dan sensitif akan tetapi memerlukan

waktu analisis yang lama dan membutuhkan banyak reagen.

2.6 Spektrofotometer UV-Vis

Sesuai dengan namanya, spektrofotometer adalah alat yang terdiri dari

spektrometer dan fotometer. Spektrofotometer merupakan alat untuk mengukur

absorbansi dengan cara melewatkan cahaya dengan panjang gelombang tertentu

pada suatu objek kaca atau kuarsa yang disebut kuvet. Sebagian dari cahaya tersebut

akan diserap dan sisanya akan dilewatkan menuju ke detektor. Nilai absorbansi dari

cahaya yang di serap sebanding dengan konsentrasi larutan di dalam kuvet [34].

Secara garis besar spektrofotometer tersusun dari 4 bagian tertentu, yaitu:

a. Sumber cahaya

Sumber cahaya pada spektrofotometer memiliki pancaran radiasi yang stabil

dan insentitasnya tinggi. Terdapat dua jenis sumber cahaya pada spektrofotometer

UV-Vis, yaitu sumber cahaya UV menggunakan lampu deuterium dan sumber

cahaya Visible menggunakan lampu wolfram. Lampu deuterium memiliki panjang


19

gelombang 190 – 380 nm dan memiliki waktu 500 jam pemakaian. Sedangkan

lampu wolfram dipakai pada panjang gelombang 350 – 2.200 nm dan memiliki

waktu 1.000 jam pemakaian.

b. Monokromator

Monokromator adalah alat yang berfungsi untuk memecah cahaya polikromatis

menjadi beberapa komponen panjang gelombang tertentu (monokromatis).

c. Kuvet

Kuvet spektrofotometer adalah suatu alat yang digunakan sebagai tempat

contoh atau cuplikan yang akan dianalisis. Kuvet biasanya terbuat dari kuarsa,

plexiglass, kaca, plastik dengan bentuk tabung empat persegi panjang 1 x 1 cm dan

tinggi 5 cm. Pengukuran pada daerah UV memakai kuvet kuarsa, sedangkan pada

daerah Visible memakai kuvet bahan kaca.

d. Detektor

Detektor dalam spektrofotometer berperan memberikan respon terhadap

cahaya pada berbagai panjang gelombang, detektor akan mengubah cahaya menjadi

sinyal listrik yang selanjutnya akan ditampilkan oleh rekorder dalam bentuk jarum

penunjuk atau angka digital.

Yahya [35] mengemukakan bahwa keuntungan utama metode spektrofotometri

adalah bahwa metode ini memberikan cara sederhana untuk menetapkan kuantitas

zat yang sangat kecil. Selain itu, hasil yang diperoleh cukup akurat, dimana angka

yang terbaca langsung dicatat oleh detektor dan tercetak dalam bentuk angka digital

ataupun grafik yang sudah diregresikan.

Spektrofotometri UV-Vis adalah pengukuran serapan cahaya di daerah

ultraviolet (200 – 350 nm) dan sinar tampak (350 – 800 nm). Serapan cahaya UV
20

atau VIS (cahaya tampak) mengakibatkan transisi elektronik, yaitu promosi

elektron-elektron dari orbital keadan dasar yang berenergi rendah ke orbital

keadaan tereksitasi berenergi lebih tinggi [36].

Pada spektrofotometri ini yang digunakan sebagai sumber sinar/energi adalah

cahaya tampak (visible). Cahaya visible termasuk spektrum elektromagnetik yang

dapat ditangkap oleh mata manusia. Kelemahan dari metode ini yaitu sampel yang

dapat dianalisa dengan metode ini hanya sampel yang memiliki warna, untuk

sampel yang tidak memiliki warna harus terlebih dulu dibuat berwarna dengan

menggunakan reagen spesifik [37].

Gambar 2.5 Diagram Alat Spektrofotometer UV-Vis [37]

2.6.1 Cara kerja spektrofotometer UV-Vis

Cahaya yang berasal dari lampu deuterium maupun wolfram diteruskan

menuju ke monokromator. Monokromator akan mengubah cahaya polikromatis

menjadi cahaya monokromatis. Bercak-bercak cahaya dengan panjang terntentu

kemudian akan diteruskan ke kuvet berisi larutan sampel yang mengandung suatu

zat dengan konsentrasi tertentu. Pada tahap ini, ada cahaya yang diserap

(diabsorbsi) oleh sampel dan ada juga yang dilewatkan. Cahaya yang dilewatkan

kemudian diterima oleh detektor. Detektor kemudian akan mendeteksi dan

menghitung cahaya yang diterima dan diserap oleh sampel [37].


21

2.6.2 Interaksi sinar UV-Vis dengan senyawa

Interaksi sinar ultraviolet atau sinar tampak menghasilkan transisi elektronik

dari elektro-elektron ikatan sigma (σ) dan pi (π) maupun elektron nonikatan (n)

yang ada dalam molekul organik. Elekton-elektron ini berada di bagian luar dari

molekul organik. Transisi elektron yang terjadi merupakan perpindahan elektron

dari orbital ikatan atau nonikatan (orbital dasar) ke tingkat orbital anti-ikatan atau

disebut dengan tingkat eksitasi, sehingga transisi elektron sering dinyatakan sebagai

transisi elektron dari tingkat dasar ke tingkat tereksitasi. Tingkat tereksitasi dari

molekul organik hanya ada dua jenis, yaitu pi bintang (π*) dan sigma bintang (σ*)

[37].

Gambar 2.6 Tipe Transisi Elektronik dalam Molekul Organik [37]

Transisi elektron dari σ ke σ* memerlukan panjang gelombang paling kecil

atau energi paling besar, sedangkan transisi elektron dari n ke π* memerlukan

panjang gelombang yang paling besar atau energi paling kecil. Umunya senyawa

organik yang hanya memiliki ikatan sigma, akan mengabsorbsi panjang gelombang

UV pada panjang gelombang dibawah 200 nm. Absorbsi pada panjang gelombang

tersebut disebut dengan absorpsi di daerah ultraviolet vakum (daerah di bawah 200

nm), yaitu merupakan daerah yang sukar memperoleh informasi mengenai struktur

molekul organik. Sedangkan molekul organik yang memiliki ikatan π atau memiliki
22

elektron nonikatan akan mengabsorpsi pada panjang gelombang yang lebih besar

[37].
23

2.8 Kerangka Konseptual

Formalin merupakan salah satu jenis desinfektan yang biasa


digunakan sebagai bahan pengawet spesimen hayati atau kadaver
dan bahan campuran industry (Gorur et al., 2013)

Sifat desinfektan dari formalin disalahgunakan oleh pihak yang tidak


bertanggung jawab sehingga akhir-akhir ini banyak ditemukan
penyalahgunaan formalin sebagai bahan pengawet makanan

Daging ayam salah satu bahan pangan yang rentan akan adanya
penambahan formalin karena mudah mengalami pembusukan setelah
pemotongan

Penggunaan formalin sebagai Bahan Tambahan Pangan (BTP)


dilarang di Indonesia sesuai dengan PerMenKes RI No. 033 Tahun
2012 tentang Bahan Tambahan Pangan (BTP)

Konsumsi formalin dalam jumlah banyak akan mengganggu proses


pernafasan, keracunan dan aborsi spontan. Penggunaan formalin
dalam jangka waktu yang lama dapat meningkatkan risiko terjadinya
kanker (Tang et al., 2009)

Diperlukan tindakan untuk mengurangi kadar formalin pada daging


ayam. Salah satunya menggunakan bahan alam yaitu lidah buaya

Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Rianingsih et al. (2013)


mengemukakan bahwa kandungan senyawa saponin dalam tanaman
lidah buaya dapat mengurangi kadar formalin dalam daging ikan

Dilakukan penelitian mengenai pengaruh larutan lidah buaya


terhadap penurunan kadar formalin pada sampel ayam dengan
variasi konsentrasi yang digunakan

Gambar 2.7 Kerangka Konseptual


24

2.9 Hipotesis

Dari rumusan masalah diatas, dapat diambil hipotesis penelitian yaitu adanya

pengaruh larutan lidah buaya (Aloe vera L.) terhadap penurunan kadar formalin

pada ayam kampung (Gallus gallus domesticus).


BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan sampel daging ayam kampung berformalin seberat

± 5 g yang direndam selama 1 jam dalam 50 mL larutan pereduksi lidah buaya (Aloe

vera L.) dengan konsentrasi 0%, 30%, 60%, dan 90%. Sampel hasil perendaman

tersebut kemudian diekstraksi dengan cara dipanaskan dengan 50 mL aquades pada

erlenmeyer bertutup selama 1 jam pada suhu 50±2 °C sambil dikocok selama 1

menit setiap 15 menit. Kemudian dibiarkan dingin lalu saring ke dalam labu ukur

100,0 mL dan dilakukan pengenceran 10 x. Larutan dipipet sebanyak 5,0 mL ke

dalam labu ukur 10,0 mL, volumenya dicukupkan dengan pereaksi nash sampai

tanda batas, dipanaskan selama 30 menit pada suhu 50±2 °C lalu dibiarkan dingin

pada temperatur kamar. Kemudian sampel diukur menggunakan spektrofotometer

UV-Vis pada panjang gelombang maksimum, dan dicatat serapan yang didapat dan

kadar formalin sisa dalam sampel daging ayam dihitung.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kimia Akademi Farmasi

Surabaya. Penyusunan naskah Proposal hingga Karya Tulis Ilmiah ini dilakukan

mulai dari bulan Oktober 2020 sampai bulan Maret 2021. Pelaksanaan penelitian

dilakukan pada bulan Juni 2021.

25
26

3.3 Sampel, Besar Sampel, dan Cara Pengambilan Sampel

3.3.1 Sampel

Sampel yang digunakan yaitu daging ayam kampung yang diperoleh dari pasar

tradisional Wonokromo, Surabaya.

3.3.2 Besar sampel

Untuk setiap perlakuan, potongan sampel daging ayam ditimbang sebanyak ±

5 g. Total sampel yang digunakan dalam penelitian yaitu sebesar 25 gram dalam 5

macam perlakuan.

3.3.3 Cara pengambilan sampel

Pengambilan sampel dengan menggunakan teknik non probability sampling

yaitu purposive sampling. Dalam hal ini, peneliti menentukan sendiri kriteria apa

yang dapat dipilih sebagai sampel. Dalam penelitian ini, dipilih sampel daging

ayam kampung yang masih segar, tekstur daging tidak keras, berwarna pucat, dan

berbau khas daging ayam.

3.4 Variabel Penelitian

3.4.1 Variabel bebas

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah konsentrasi larutan lidah buaya

30%, 60%, dan 90%.

3.4.2 Variabel terikat

Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kadar formaldehid pada sampel

hasil perendaman.

3.4.3 Variabel kontrol

Variabel kontrol dalam penelitian ini adalah lama perendaman, yaitu selama 1

jam. Konsentrasi larutan formalin perendam sampel dibuat kadar 5.000 mg/L.
27

3.5 Kerangka Operasional

3.5.1 Standarisasi formalin

Larutan Na2SO3 2 N

Dipipet sebanyak 50 mL ke dalam erlenmeyer

Ditambahkan 2 tetes indikator timolftalein (jika timbul warna biru


berarti larutan terlalu basa, diperlukan beberapa tetes asam sulfat,
hingga warna biru hilang)

Ditambahkan 10 mL larutan formalin 1.500 mg/L ke dalam


erlenmeyer (warna biru akan muncul kembali)

Dititrasi dengan dengan asam sulfat 0,02 N sebanyak 50 mL hingga


warna biru tepat hilang

Dihitung kadar formalin yang sebenarnya

Gambar 3.1. Standarisasi Formalin


28

3.5.2 Pembuatan kurva kalibrasi

Formalin (kadar sebenarnya)

Dibuat larutan induk formalin (1.500 mg/L)

Diencerkan menjadi larutan standar formalin (100 mg/L)

Dibuat larutan baku kerja formalin dengan konsentrasi (mg/L):

0,5 2 4 6 8 10

Menentukan λ maksimum menggunakan konsentrasi 6 mg/L

Diukur absorbansinya dengan spktrofotometri menggunakan


pereaksi nash pada panjang gelombang maksimum

Kurva kalibrasi
Gambar 3.2. Pembuatan Kurva Kalibrasi
29

3.5.3 Preparasi larutan pereduksi lidah buaya

Daging daun lidah buaya yang mempunyai kematangan sama,


tidak berwarna, panjang daun 15-25 cm, dan kulit daun
berwarna hijau muda

Dicuci dengan air untuk menghilangkan kotoran yang menempel

Diambil daging daunnya yang berwarna bening dan dilumatkan


dengan blender

Ditimbang dengan seksama dengan massa (gram):

30 60 90

Masing-masing kelompok dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL


kemudian cukupkan dengan aquadest hingga tanda batas,
homogenkan dengan blender

Diperas dan disaring untuk memisahkan filtrat dan ampasnya

Larutan diambil sebanyak 50,0 mL

Larutan pereduksi lidah buaya

Gambar 3.3. Preparasi Larutan Pereduksi Lidah Buaya


30

3.5.4 Preparasi sampel ayam

Ayam kampung (Gallus gallus domesticus)

Dibuang kepala, ekor, dan isi perutnya kemudian bersihkan dengan air
untuk menghilangkan darah yang masih menempel

Diambil dagingnya dengan cara di-fillet kemudian dipotong-potong


kecil

Ditimbang seberat ± 5 gram sebanyak 5 sampel

Direndam dengan larutan formalin kadar 5.000 mg/L selama 1 jam


dalam wadah bertutup

Dipisahkan ayam dan filtratnya dengan cara disaring

Sampel daging ayam berformalin

Gambar 3.4. Preparasi Sampel Ayam


31

3.5.5 Reduksi formalin pada sampel ayam

Sampel daging ayam berformalin

Dimasukkan ke dalam erlenmeyer bertutup dan


ditambahkan larutan lidah buaya sebanyak 50,0 mL dengan
konsentrasi:

0% 30% 60% 90%

Direndam selama 1 jam

Dipisahkan ayam dan filtratnya dengan cara disaring

Sampel ayam hasil perendaman

Gambar 3.5. Reduksi Formalin pada Sampel Ayam


32

3.5.6 Analisis kuantitatif dengan menggunakan pereaksi nash

Sampel ayam hasil perendaman pereduksi

Dimasukkan ke dalam erlenmeyer bertutup kemudian


ditambahkan 50 mL aquadest

Dipanaskan pada suhu 50±2 °C selama 1 jam


sambil dikocok selama 1 menit setiap 15 menit

Disaring ke dalam labu ukur 100,0 mL kemudian dicukupkan


volumenya hingga tanda batas menggunakan air bilasan residu

Dipipet sebanyak 1,0 mL ke dalam labu ukur 10 mL kemudian


dicukupkan dengan aquades hingga tanda batas

Dipipet sebanyak 5,0 mL ke dalam labu ukur 10,0 mL


kemudian dicukupkan hingga tanda batas dengan
menggunakan pereaksi nash

Dipanaskan selama 30 menit pada suhu 50±2 °C lalu


dibiarkan dingin pada temperatur kamar

Diukur serapannya menggunakan spektrofotometer UV-Vis


pada panjang gelombang maksimum

Dicatat serapan yang didapat dan dihitung kadar formalin sisa


dalam sampel ayam
Gambar 3.6. Analisis Kuantitatif dengan Menggunakan Pereaksi Nash
33

3.6 Alat dan Bahan/Instrumen Penelitian

3.6.1 Alat

Spektrofotometer UV-Vis split beam (Genesys 10S UV-Vis), kuvet

(Spestroquant), timbangan analitik (OHAUS), penangas air, alat-alat gelas.

3.6.2 Bahan kimia

Aquadest, larutan baku formalin 37% merk Merck, amonium asetat, asetil

aseton, asam asetat glasial, natrium hidroksida, asam oksalat, indikator fenolftalein

P, asam sulfat, natrium sulfit, indikator timolftalein, indikator metil merah.

3.6.3 Bahan alam

Bahan alam yang digunakan dalam penurunan kadar formalin pada penelitian

ini adalah lidah buaya (Aloe vera L.) yang diperoleh dari daerah Pogalan,

Trenggalek, Jawa Timur. Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah ayam

kampung (Gallus gallus domesticus) yang diperoleh dari Pasar Wonokromo,

Surabaya, Jawa Timur.

3.7 Definisi Operasional

3.7.1 Lidah buaya (Aloe vera L.)

Lidah buaya yang digunakan yaitu jenis Aloe vera L., yang berukuran 15-25

cm, kulit daun berwarna hijau muda, dan daging daun (gel) tidak berwarna.

3.7.2 Ayam kampung (Gallus gallus domesticus)

Daging ayam kampung yang digunakan dalam penelitian ini yaitu jenis Gallus

gallus domesticus yang memiliki tekstur daging tidak keras, berwarna pucat, dan

berbau khas daging ayam.


34

3.7.3 Formalin

Formalin yang digunakan dalam penelitian ini adalah formalin merk Merck

yang memiliki kadar 37%.

3.7.4 Spektrofotometer UV-Vis

Jenis spektrofotometer yang digunakan dalam pengujian sampel adalah

spektrofotometer UV-Visible split beam.

3.8 Teknik Pengumpulan Data

3.8.1 Pembuatan pereaksi nash

Pereaksi nash dibuat dengan cara memipipet 2 mL asetil aseton menggunakan

pipet ukur kemudian masukkan ke dalam beaker glass. Kemudian tambahakan 3

mL asam asetat glasial menggunakan pipet ukur dan tambahkan 150 gram amonium

asetat. Kemudian larutan diencerkan dengan aquadest hingga 1 L dan diaduk hingga

homogen.

3.8.2 Penetapan kadar larutan formalin 37%

A. Standarisasi natrium hidroksida (NaOH)

1. Pembuatan larutan natrium hidroksida (NaOH) 0,02 N 100 ml

Larutan NaOH 0,02 N 100 ml dibuat dengan menimbang NaOH sebanyak 0,08

gram, kemudian melarutkan NaOH menggunakan aquadest bebas CO2. Larutan

NaOH kemudian dimasukkan pada labu ukur 100 ml dan tambahkan aquadest bebas

CO2 hingga tanda batas. Kocok perlahan hingga homogen.

2. Pembuatan larutan asam oksalat (C2H2O4) 0,02 N 50 ml

Larutan C2H2O4 0,02 N 50 ml dibuat dengan menimbang C2H2O4 sebanyak

0,0630 gram, kemudian dilarutkan dengan aquadest. Masukkan C2H2O4 pada labu
35

ukur 50 ml dan tambahkan aquadest hingga tanda batas. Kocok perlahan hingga

homogen.

3. Standarisasi natrium hidroksida (NaOH) 0,02 N dengan asam oksalat

(C2H2O4) 0,02 N

Pipet larutan baku primer C2H2O4 sejumlah 10 mL ke dalam erlenmeyer 50

mL, kemudian tambahkan 2 tetes indikator fenolftalein P. Masukkan larutan baku

sekunder NaOH 50 mL ke dalam buret. Titrasi hingga terbentuk warna merah muda

yang konstan. Catat hasil yang didapatkan dan hitung kadar sebenarnya dari NaOH.

Titrasi dilakukan sebanyak 3 kali replikasi.

B. Standarisasi asam sulfat ( H2SO4)

1. Pembuatan larutan asam sulfat (H2SO4) 0,02 N 250 mL

a. Pembuatan asam sulfat (H2SO4) 3 N

Larutan H2SO4 36 N diencerkan menjadi larutan H2SO4 3 N dengan cara

memipet larutan H2SO4 36 N sebanyak 2 mL, masukkan ke dalam labu ukur 25 mL.

Tambahkan aquades hingga tanda batas. Kocok perlahan hingga homogen.

b. Pembuatan asam sulfat (H2SO4) 0,02 N

Larutan H2SO4 3 N diencerkan menjadi larutan H2SO4 0,02 N dengan cara

memipet larutan H2SO4 3N sebanyak 1,7 mL, masukkan ke dalam labu ukur 250

mL. Tambahkan aquades hingga tanda batas. Kocok perlahan hingga homogen.

2. Standarisasi asam sulfat (H2SO4) 0,02 N dengan natrium hidroksida

(NaOH) 0,02 N

Pipet larutan baku primer NaOH 0,02 N yang sudah distandarkan sebanyak 10

ml, kemudian masukkan ke dalam erlenmeyer 50 mL dan tambahkan 2 tetes

indikator metil merah. Masukkan larutan baku sekunder H2SO4 0,02 N sebanyak
36

50 mL ke dalam buret. Titrasi hingga terjadi perubahan warna dari larutan kuning

menjadi larutan kemerahan yang konstan. Catat hasil yang didapatkan dan hitung

kadar sebenarnya dari H2SO4. Titrasi dilakukan sebanyak 3 kali replikasi.

C. Standarisasi formalin (CH2O)

1. Pembuatan larutan natrium sulfit (Na2SO3) 2 N 200 mL

Larutan Na2SO3 2 N dibuat dengan menimbang Na2SO3 sebanyak 25,2 gram,

kemudian larutkan menggunakan sedikit aquades. Masukkan Na2SO3 pada labu

ukur 200 mL. Tambahkan aquadest hingga tanda batas. Kocok perlahan hingga

homogen.

2. Pembuatan indikator timolftalein 0,1 gram/10 mL etanol

Indikator timolftalein dibuat dengan menimbang timolftalein sebanyak 0,1

gram, kemudian larutkan menggunakan sedikit etanol. Masukkan larutan pada labu

ukur 10 mL dan tambahkan etanol hingga tanda batas. Kocok perlahan hingga

homogen.

3. Pembuatan larutan formalin (CH2O) 1.500 mg/L sebanyak 250 mL

Encerkan larutan formalin 37% dengan cara memipet sebanyak 1 mL,

kemudian masukkan ke dalam labu ukur 250 ml. Tambahkan aquades hingga tanda

batas. Kocok perlahan hingga homogen.

4. Standarisasi larutan formalin (CH2O) dengan asam sulfat (H2SO4) 0,02 N

yang sudah distandarkan

Pipet larutan Na2SO3 2 N sebanyak 50 mL dan memasukkan ke dalam

erlenmeyer 100 mL. Tambahkan 2 tetes indikator timolftalein (jika timbul warna

biru berarti larutan terlalu basa, diperlukan beberapa tetes asam sulfat hingga warna

biru hilang). Kemudian pipet 10 mL larutan formalin 1.500 mg/L, tambahkan ke


37

dalam erlenmeyer (warna biru akan muncul kembali). Masukkan larutan baku

sekunder asam sulfat 0,02 N 50 mL ke dalam buret. Titrasi hingga warna biru tepat

hilang. Catat hasil yang didapatkan dan hitung kadar sebenarnya dari larutan

formalin.

3.8.3 Pembuatan larutan induk dan larutan standar formalin

A. Larutan induk formalin 1.500 mg/L

Larutan induk formalin 1.500 mg/L dibuat dengan cara memipet dengan

seksama larutan formalin kadar 32,5% sebanyak 1,2 mL, kemudian masukkan ke

dalam erlenmeyer 250,0 mL dan tambahkan aquadest hingga tanda batas. Tutup

dan kocok hingga homogen. Simpan larutan dalam wadah tertutup rapat.

B. Larutan standar formalin 100 mg/L

Larutan standar formalin 100 mg/L dibuat dengan cara larutan induk formalin

yang telah dibuat dipipet sebanyak 6,7 mL menggunakan pipet ukur. Masukkan ke

dalam erlenmeyer bertutup ukuran 100,0 mL dan tambahkan aquadest hingga tanda

batas. Tutup dan kocok hingga homogen. Simpan larutan dalam wadah tertutup

rapat.

3.8.4 Penentuan panjang gelombang maksimum dengan menggunakan

larutan standar formalin 6 mg/L

Pipet menggunakan pipet ukur larutan standar formalin 100 mg/L yang telah

dibuat sebelumnya sebanyak 6,0 mL. Masukkan ke dalam erlenmeyer bertutup dan

diencerkan dengan aquadest hingga volume 100,0 mL sehingga kadar larutan

menjadi 6 mg/L. Larutan tersebut dipipet 5,0 mL, kemudian dimasukkan ke dalam

labu ukur 10,0 mL dan ditambahkan pereaksi nash hingga tanda batas. Campuran

dikocok dan dipanaskan pada suhu 50±2 °C selama 30 menit. Kemudian larutan
38

didinginkan pada temperatur kamar kemudian diukur serapannya untuk mencari

panjang gelombang maksimum.

3.8.5 Pembuatan kurva kalibrasi

Larutan baku kerja dibuat dengan konsentrasi 0,5; 2,0; 4,0; 6,0; 8,0 dan 10,0

mg/L. Kemudian masing-masing larutan dipipet menggunakan pipet ukur sebanyak

5,0 mL dan dimasukkan ke dalam labu ukur 10,0 mL. Tambahkan dengan pereaksi

nash hingga tanda batas. Kemudian larutan dihomogenkan dan dipanaskan pada

suhu 50±2 °C selama 30 menit. Larutan didinginkan pada temperatur kamar. Diukur

serapannya pada panjang gelombang maksimum.

3.8.6 Penyiapan sampel ayam

Sampel ayam yang diperoleh dibuang bagian kepala, ekor, dan isi perutnya

kemudian dibersihkan dengan cara dibilas air bersih untuk menghilangkan darah

yang masih menempel. Sampel kemudian diambil dagingnya dengan cara di-fillet

kemudian dipotong-potong berukuran kecil dan ditimbang seberat ± 5 g sebanyak

5 sampel. Kemudian sampel direndam dalam 50 mL formalin dengan konsentrasi

5.000 mg/L selama 1 jam di dalam wadah bertutup. Hasil rendaman sampel ayam

dipisahkan ayam dan filtratnya dengan cara disaring. Kemudian lakukan analisis

kuantitatif kadar awal formalin pada sampel.

3.8.7 Penyiapan larutan pereduksi lidah buaya

Lidah buaya (Aloe vera L.) yang mempunyai kematangan sama, panjang daun

15-25 cm, kulit daun berwarna hijau muda, dan daging daun atau lendir tidak

berwarna, dicuci dengan air untuk menghilangkan kotoran yang masih menempel.

Kemudian diambil daging daunnya yang berwarna bening dan dilumatkan dengan

blender. Setelah itu, timbang dengan seksama sebanyak 30, 60, dan 90 gram.
39

Kemudian masing-masing kelompok dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL dan

ditambah aquades hingga tanda batas. Homogenkan larutan dengan blender.

Lumatan daging daun lidah buaya diperas dan perasan disaring, kemudian diambil

sebanyak 50,0 mL dengan cara diukur dengan labu ukur 50 mL dan masukkan ke

dalam wadah bertutup.

3.8.8 Reduksi formalin pada sampel ayam

Sampel ayam yang telah direndam larutan formalin 5.000 mg/L selama 1 jam

kemudian ditambahkan larutan lidah buaya dengan variasi konsentrasi 0%, 30%,

60%, dan 90% dan direndam selama 1 jam pada wadah bertutup. Rendaman sampel

ayam dipisahkan ayam dan filtratnya dengan cara disaring menggunakan kain

katun.

3.8.9 Ekstraksi formalin pada sampel ayam

Potongan sampel ayam hasil perendaman bahan pereduksi lidah buaya

kemudian dimasukkan ke dalam erlenmeyer bertutup dan ditambahkan aquadest

sebanyak 50 mL. Panaskan pada suhu 50±2 °C selama 1 jam sambil dikocok

selama 1 menit setiap 15 menit. Biarkan dingin pada temperatur ruangan lalu

disaring ke dalam labu ukur 100,0 mL. Volume dicukupkan hingga batas

menggunakan air bilasan residu yang ada dalam erlenmeyer. Dilakukan

pengenceran dengan cara memipet larutan sebanyak 1,0 mL ke dalam labu ukur 10

mL, kemudian tambahkan aquades hingga tanda batas.

3.8.10 Analisis kuantitatif dengan menggunakan pereaksi nash

Masing-masing filtrat yang diperoleh dari sampel ayam dipipet dengan pipet

ukur sebanyak 5,0 mL dan dimasukkan ke dalam labu ukur 10,0 mL dan

dicukupkan volumenya dengan pereaksi nash sampai tanda batas. Kemudian


40

dipanaskan pada suhu 50±2 °C selama 30 menit lalu dibiarkan dingin pada

temperatur kamar. Diukur dengan pada panjang gelombang maksimum

menggunakan spektrofotometer UV-Vis. Dicatat serapan yang didapat dan dihitung

kadar formalin sisa yang ada dalam ayam.

3.9 Teknik Pengolahan Data

Data yang diinginkan pada penelitian ini adalah kadar formaldehid sisa pada

sampel ayam dari setiap perlakuan yang diberikan. Teknik pengolahan data dari

penelitian ini adalah menghitung kadar formaldehid sisa yang masih terdapat dalam

sampel daging ayam yang sudah diberi perlakuan perendaman selama 1 jam pada

bahan pereduksi lidah buaya. Variasi konsentrasi bahan pereduksi lidah buaya yang

digunakan yaitu 0%, 30%, 60%, dan 90%. Cara menghitung kadar formaldehid

pada sampel ayam yaitu menggunakan rumus:

Wf
Kadar formaldehid pada sampel ayam (µg/g) =
Ws

Keterangan:

Wf = massa formaldehid dalam larutan uji (µg).

Ws = massa sampel ayam (gram).

Sedangkan massa formaldehid dapat dihitung menggunakan rumus:

Wf = V x C

Keterangan:

Wf = massa formaldehid dalam larutan uji (µg).

V = volume larutan yang digunakan untuk uji kuantitatif sampel (mL).

C = kadar formaldehida dalam larutan uji (µg/mL), diperoleh dari persamaan

kurva kalibrasi (y = bx + a).


BAB IV

HASIL PENELITIAN

Pengujian pengaruh larutan lidah buaya (Aloe vera L.) terhadap penurunan

kadar formalin pada ayam dengan metode spektrofotometri UV-Vis ini dilakukan

di Laboratorium Akademi Farmasi Surabaya. Pada penelitian ini dilakukan proses

perendaman sampel pada larutan lidah buaya konsentrasi 30%, 60%, dan 90%

untuk menurunkan kadar formalin yang ada di dalamnya. Dari penelitian ini dapat

diketahui pengaruh variasi konsentrasi larutan lidah buaya terhadap penurunan

kadar formalin pada daging ayam kampung. Untuk menghitung kadar formalin di

dalam sampel, diperlukan proses standarisasi formalin yang meliputi standarisasi

natrium hidroksida (NaOH), standarisasi asam sulfat (H2SO4), dan standarisasi

larutan formalin [38], yang kemudian dilanjutkan dengan penentuan panjang

gelombang maksimal, dan penentuan kurva kalibrasi.

4.1 Standarisasi Formalin

4.1.1 Standarisasi larutan natrium hidroksida (NaOH)

Standarisasi ini dilakukan dengan cara mentitrasi larutan natrium hidroksida

(NaOH) 0,02 N dengan larutan baku asam oksalat (C2H2O4) 0,02 N menggunakan

indikator fenolftalein P. Titrasi dihentikan apabila sudah tercapai titik akhir titrasi

yang ditandai dengan terbentuknya warna merah muda yang konstan [38]. Hasil

titrasi dapat dilihat pada tabel 4.1.

41
42

Tabel 4.1 Data Hasil Standarisasi NaOH


Replikasi Volume Titran NaOH (mL)
1 8,3
2 8,2
3 8,2
Rata-rata 8,23

Berdasarkan data standarisasi tersebut didapatkan rata-rata volume titran

NaOH yaitu sebesar 8,23 mL. Setelah dihitung, normalitas NaOH berdasarkan data

tersebut yaitu sebesar 0,0243 N. Dari hasil ini diketahui bahwa terdapat perubahan

dari normalitas yang diharapkan yaitu sebesar 0,02 N (Lampiran 1). Selanjutnya

NaOH dapat digunakan untuk mentitrasi larutan H2SO4 untuk menentukan

normalitas yang sebenarnya.

4.1.2 Standarisasi larutan asam sulfat (H2SO4)

Standarisasi ini dilakukan dengan cara mentitrasi larutan asam sulfat (H2SO4)

0,02 N dengan larutan baku natrium hidroksida (NaOH) yang sebelumnya telah

distandarkan. Titrasi ini menggunakan indikator metil merah hingga terjadi

perubahan warna dari larutan kuning menjadi larutan kemerahan yang konstan

apabila telah mencapai titik akhir titrasi [38]. Tujuan dilakukan standarisasi ini

adalah untuk mengetahui normalitas sebenarnya dari larutan H2SO4. Hasil titrasi

dapat dilihat pada tabel 4.2.

Tabel 4.2 Data Hasil Standarisasi H2SO4


Replikasi Volume Titran H2SO 4 (mL)
1 14.2
2 14.2
3 14.1
Rata-rata 14.16

Berdasarkan data standarisasi tersebut didapatkan rata-rata volume titran

H2SO4 yaitu sebesar 14,16 mL. Hasil ini digunakan untuk menentukan normalitas

sebenarnya dari larutan H2SO4. Setelah dihitung, normalitas H2SO4 berdasarkan


43

data tersebut yaitu sebesar 0,0172 N (Lampiran 1). Kemudian larutan H2SO4 dapat

digunakan untuk standarisasi larutan formalin.

4.1.3 Standarisasi larutan formalin

Standarisasi ini dilakukan dengan cara mentitrasi larutan formalin dengan

larutan asam sulfat (H2SO4) yang telah distandarkan menggunakan indikator

timoftalein. Titrasi dihentikan apabila warna biru tepat hilang yang menandakan

tercapainya titik akhir titrasi (TAT) [38]. Hasil standarisasi larutan formalin dapat

dilihat pada tabel 4.3.

Tabel 4.3 Data Hasil Standarisasi Larutan Formalin

Replikasi Volume Titran H2SO4 (mL)


1 26,0
2 25,1
Rata-rata 25,55

Berdasarkan data standarisasi tersebut didapatkan rata-rata volume titran

H2SO4 yang digunakan yaitu sebesar 25,55 mL. Kemudian dilakukan perhitungan

kadar formalin dengan menggunakan ketentuan pada SNI ISO yaitu 1 mL H2SO4

0,02 N setara dengan 0,6 mg formalin [38]. Didapatkan konsentrasi formalin yaitu

sebesar 1.318,38 mg/L, dimana persentase formalin yang sebenarnya adalah 32,5%

(Lampiran 2). Setelah diketahui konsentrasinya, larutan formalin ini digunakan

untuk penentuan panjang gelombang maksimal dan pembuatan kurva kalibrasi yang

nantinya digunakan untuk menghitung kadar formalin pada sampel.

4.2 Penentuan Panjang Gelombang Maksimal Formalin

Penentuan panjang gelombang maksimal formalin dilakukan dengan cara

mengukur absorbansi larutan baku formalin 6 mg/L menggunakan

spektrofotometer UV-Vis dengan reagen nash pada panjang gelombang 350-700


44

nm. Dari pengukuran ini diperoleh panjang gelombang maksimal formalin yaitu

412 nm.

Larutan Formalin 6 mg/L


1

0.8

0.6
Absorbansi

0.4

0.2

0
350
363
376
389
402
415
428
441
454
467
480
493
506
519
532
545
558
571
584
597
610
623
636
649
662
675
688
-0.2
Panjang gelombang

Gambar 4.1 Panjang Gelombang Maksimal Formalin 6 mg/L

4.3 Pembuatan Kurva Kalibrasi

Kurva kalibrasi dapat ditentukan berdasarkan serapan dari larutan baku kerja

pada konsentrasi 0,5; 2,0; 4,0; 6,0; 8,0 dan 10,0 mg/L yang diukur pada panjang

gelombang maksimum formalin (412 nm) menggunakan spektrofotometer UV-Vis.

Absorbansi yang diperoleh dari masing-masing larutan baku dapat dilihat pada

tabel 4.4.

Tabel 4.4 Data Hasil Absorbansi Larutan Baku Kerja

Konsentrasi (mg/L) Absorbansi


0,5 0,036
2 0,254
4 0,559
6 0,9
8 1,17
10 1,459

Dari hasil absorbansi tersebut dapat dihitung persamaan regresi hubungan

antara konsentrasi dengan absorbansi. Persamaan regresi linier yang diperoleh yaitu

y = 0,2915x - 0,2907, dimana nilai koefisien relasi (r) yaitu 0,998. Kurva kalibrasi

dapat diterima jika nilai koefisien korelasi (r) ≥ 0,995 [39]. Kurva linieritas antara
45

konsentrasi dengan absorbansi dapat dilihat pada gambar 4.2. Pada gambar tersebut

dapat dilihat hubungan linier antara konsentrasi dengan absorbansi, yaitu dimana

semakin besar konsentrasi maka semakin besar juga absorbansinya.

Kurva Kalibrasi
2

1.5 y = 0,2915x - 0,2907


Absorbansi

R² = 0,997
1

0.5

0
0.5 2 4 6 8 10
Konsentrasi (mg/L)

Gambar 4.2 Kurva Linieritas Larutan Baku Formalin

4.4 Pengamatan Kadar Formalin pada Sampel

Sampel daging ayam kampung berformalin yang telah direndam pada larutan

pereduksi lidah buaya konsentrasi 0%, 30%, 60%, dan 90% kemudian diuji

menggunakan metode spektrofotometri UV-Vis dengan pereaksi nash. Sampel

diukur serapannya pada panjang gelombang maksimal formalin yaitu 412 nm.

Kadar formalin pada sampel dapat dihitung dengan kurva regresi linier yang telah

didapatkan sebelumnya, dimana nilay “y” adalah absorbansi dari sampel. Hasil

pengujian kadar formalin pada sampel dapat dilihat pada tabel 4.5. Kurva hasil

pengukuran absorbansi sampel dapat dilihat pada lampiran 2.


46

Tabel 4.5 Data Hasil Pengamatan Kadar Formalin


Konsentrasi Penurunan Kadar Formalin %
Larutan Replikasi Kadar Akhir Rata-rata Penu-
Pereduksi (%) (µg/g) (µg/g) runan
R1 379,56
0 R2 378,89 378,89 -
R3 378,21
R1 293,90
30 R2 295,25 294,13 22,37 %
R3 293,23
R1 269,99
60 R2 269,29 269,52 28,87 %
R3 269,29
R1 265,70
90 R2 265,70 265,70 29,87 %
R3 265,70
BAB V

PEMBAHASAN

Daging ayam kampung merupakan salah satu sumber protein yang digemari

masyarakat Indonesia. Namun daging ayam kampung mudah mengalami

pembusukan setelah pemotongan apabila tidak segera diolah. Oleh sebab itu, untuk

menghindari kerugian besar produsen sering menambahkan bahan pengawet [3].

Formalin merupakan salah satu pengawet non pangan yang sekarang banyak

digunakan untuk mengawetkan makanan [4]. Berdasarkan penelitian yang pernah

dilakukan oleh Sopandi dan Nurfi [3] mengenai reduksi kadar formalin pada ayam

dengan tanaman lidah buaya menggunakan metode yang sama yaitu

spektrofotometri UV-Vis menyatakan bahwa konsentrasi lidah buaya (Aloe vera

L.) 60% dengan perendaman 60 menit dapat menurunkan kadar formalin hingga

92,12% pada daging ayam broiler.

Pada penelitian ini formalin yang digunakan adalah formalin tidak murni

100%, yaitu formalin dengan kadar 37%. Oleh karena itu untuk mengetahui

konsentrasi formalin secara tepat dan akurat, perlu dilakukan standarisasi formalin

dengan metode titrasi asam-basa [40]. Proses standarisasi formalin meliputi

standarisasi natrium hidroksida (NaOH), standarisasi asam sulfat (H2SO4), dan

standarisasi larutan formalin [38].

Pengujian kadar formalin dalam penelitian ini digunakan metode

spektrofotometri UV-Vis khususnya di daerah sinar tampak (Visible) dengan

pereaksi nash. Digunakan metode spektrofotometri UV-Vis karena metode ini lebih

sederhana, cepat, ekonomis dan sensitif [33]. Formalin diamati pada daerah Visible

47
48

untuk meningkatkan sensitivitas atau selektivitas absorbsinya. Ruang lingkup

spektroskopi serapan dapat diperluas dengan menggunakan reaksi warna, yang

diiringi dengan peningkatan sensitivitas atau selektivitas. Reaksi warna digunakan

untuk memodifikasi spektrum dari molekul pengabsorbsi sehingga dapat dideteksi

pada daerah Visible, dan terpisah dari senyawa pengganggu lain yang memiliki

serapan di daerah UV. Selain itu, modifikasi kimia ini dapat digunakan untuk

mengubah molekul yang tidak mengabsorbsi menjadi senyawa turunan yang stabil

yang memiliki serapan yang bermakna [41]. Susanti [41] juga menyatakan bahwa

formaldehid memiliki serapan optimum pada daerah sinar tampak.

Digunakan pereaksi nash karena pereaksi ini menunjukkan hasil yang lebih

sensitif dalam analisis formalin. Suryadi et al. [33] menyatakan bahwa pereaksi

nash merupakan pereaksi warna yang paling baik untuk digunakan dalam analisis

formalin secara kuantitatif dibandingkan dengan pereaksi asam kromatropat dan

pereaksi schryver. Hasil validasi metode menunjukkan batas deteksi formalin

dengan peraksi nash pada spektrofotometer UV-Vis sebesar 0,0102 mg/L.

5.1 Standarisasi Formalin

5.1.1 Standarisasi larutan natrium hidroksida (NaOH)

Proses standarisasi formalin diawali dengan standarisasi natrium hidroksida

(NaOH) karena NaOH memiliki sifat yang higroskopis dan tidak stabil [42]. Tujuan

dilakukan standarisasi ini adalah untuk mengetahui normalitas sebenarnya dari

NaOH. Natrium hidroksida (NaOH) distandarisasi dengan larutan baku asam

oksalat (H2C2O4) menggunakan indikator fenolftalein P. Indikator ini dapat bekerja

pada suasana basa yaitu pada pH 8,3-10 dan akan memberikan perubahan warna
49

pada titik akhir titrasi yaitu merah muda [38]. Reaksi yang terjadi pada standarisasi

NaOH menggunakan H2C2O4 ini adalah [43]:

H2C2O4 + 2 NaOH  Na2C2O4 + 2 H2O

5.1.2 Standarisasi larutan asam sulfat (H2SO4)

Asam sulfat memiliki sifat yang tidak stabil dan mudah menguap [42], oleh

karena itu perlu dilakukan standarisasi untuk mengetahui normalitas yang

sebenarnya dari larutan asam sulfat. Untuk menstandarisasi larutan asam sulfat

(H2SO4), digunakan larutan NaOH yang telah distandarisasi sebelumnya. Titrasi ini

menggunakan indikator metil merah. Indikator ini bekerja pada pH 4,2-6,3 dan akan

memberikan perubahan warna menjadi larutan kemerahan pada saat mencapai titik

akhir titrasi (TAT) [38]. Reaksi yang terjadi pada standarisasi H2SO4 dengan larutan

NaOH ini adalah [43]:

2 NaOH + H2SO4  Na2SO4 + 2 H2O

5.1.3 Standarisasi larutan formalin (CH2O)

Larutan formalin distandarisasi dengan larutan H2SO4 yang telah distandarkan

sebelumnya untuk mengetahui kadar larutan formalin secara tepat. Pada

standarisasi formalin ini, dilakukan penambahan larutan natrium sulfit (Na2SO3)

yang bertujuan untuk mengubah larutan formaldehida menjadi basa, dimana larutan

formalin sebelumnya memiliki pH 6 sedangkan natrium sulfit memiliki pH sebesar

9. Setelah dicampurkan, maka larutan menjadi basa dengan pH sebesar 9 dan

selanjutnya larutan formalin dapat dititrasi dengan larutan H2SO4. Indikator yang

digunakan pada standarisasi ini adalah timolftalein. Indikator ini bekerja pada pH

9,3-10,5 dan akan memberikan perubahan warna dari biru menjadi bening atau
50

tidak berwarna [38]. Tujuan dilakukan standarisasi ini adalah untuk mengetahui

konsentrasi larutan formalin yang sebenarnya.

5.2 Penentuan Panjang Gelombang Maksimal Formalin

Pada penentuan panjang gelombang formalin ini digunakan larutan baku kerja

6 mg/L yang diukur pada panjang gelombang 350-700 nm dengan menggunakan

spektrofotometer UV-Vis. Setelah dilakukan pengukuran, panjang gelombang

maksimal formalin adalah 412 nm dengan absorbansi sebesar 0,9 (Dapat dilihat

pada gambar 4.1). Hasil ini sesuai dengan literatur yaitu panjang gelombang

maksimal formalin dengan reagen nash adalah di 412 nm [33].

5.3 Pembuatan Kurva Kalibrasi

Kurva kalibrasi dibuat dengan menggunakan larutan baku kerja 0,5; 2,0; 4,0;

6,0; 8,0 dan 10,0 mg/L yang diukur serapannya menggunakan spektrofotometer

UV-Vis pada panjang gelombang 412 nm. Hal ini bertujuan untuk mengetahui

linieritas antara konsentrasi formalin dengan absorbansinya, dimana semakin besar

konsentrasi standar formalin maka semakin besar pula absorbansi yang didapat

[44]. Larutan baku kerja dibuat dari larutan induk formalin 100 mg/L yang

diencerkan berdasarkan masing-masing konsentrasi larutan baku kerja.

Setelah diketahui absorbansi dari masing-masing larutan baku kerja,

didapatkan persamaaan regresi linier y = 0,2915x - 0,2907, dimana nilai koefisien

relasi (r) yaitu 0,998. Harga koefisien korelasi (r) yang mendekati nilai 1

menyatakan hubungan yang linier antara konsentrasi dengan absorbansi yang

dihasilkan [44]. Hal ini dapat diartikan bahwa kurva kalibrasi yang didapatkan

linier.
51

5.4 Pengamatan Kadar Formalin pada Sampel

Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah daging ayam kampung yang

didapatkan dari Pasar Wonokromo. Pada preparasi sampel, daging ayam kampung

ditimbang sebanyak 5 gram kemudian di rendam selama 60 menit pada larutan

formalin 5.000 mg/L. Proses ini dilakukan pada wadah tertutup untuk menghindari

penguapan formalin, karena formalin adalah bahan yang mudah menguap [25].

Larutan pereduksi lidah buaya dibuat dengan konsentrasi 30%, 60%, dan 90%.

Sebanyak 250 gram daging lidah buaya yang mempunyai kematangan sama

dibersihkan dan diambil daging daunnya, kemudian dilumatkan menggunakan

blender dan ditimbang masing-masing 30, 60, dan 90 g. Selanjutnya masing-masing

kelompok dicampur dengan 100 mL aquadest pada labu ukur, kemudian

dihomogenkan menggunakan blender. Larutan daging lidah buaya diperas dan

disaring menggunakan kain katun, dan filtrat dari masing-masing kelompok

kemudian diambil sebanyak 50 mL pada labu ukur. Metode ini mengacu pada

penelitian yang sudah dilakukan oleh Sopandi dan Nurfi [3]. Tujuan pelumatan

lidah buaya adalah untuk melarutkan senyawa saponin, dikarenakan saponin

merupakan senyawa yang mudah larut dalam air [45].

Larutan lidah buaya kemudian digunakan untuk merendam sampel daging

ayam kampung berformalin selama 60 menit. Setelah proses reduksi selesai,

kemudian dilakukan proses ekstraksi sampel daging ayam, yaitu dengan merendam

sampel dalam aquades 50 mL disertai dengan pemanasan pada suhu 50±2 °C

selama 1 jam dan dilakukan pengadukan selama 1 menit setiap 15 menit. Hal ini

bertujuan untuk membantu mengeluarkan formalin dari sampel daging ayam agar

larut ke dalam air [44]. Setelah di ekstraksi, kemudian dilakukan penyaringan


52

menggunakan kertas saring untuk memisahkan sampel daging ayam dengan

pelarutnya. Penyaringan ini dilakukan karena hasil filtrat yang diuji harus jernih

dan tidak mengandung zat pengotor atau partikel-partikel yang dapat menganggu

saat proses pengujian [44].

Filtrat dari masing-masing sampel selanjutnya dilakukan uji kuantitatif

menggunakan spektrofotometer UV-Vis. Pengujian ini dilakukan dengan memipet

5 mL filtrat masing-masing sampel kemuadian direaksikan dengan 5 mL reagen

nash. Larutan filtrat dan nash kemudian dipanaskan pada suhu 50±2 °C selama 30

menit. Pemanasan ini bertujuan untuk membantu reaksi antara formalin dengan

reagen nash sehingga terbentuk senyawa kompleks yang berwarna kuning [44].

Setelah ditambahkan reagen nash, semua larutan dari sampel tidak berwarna.

Sedangkan setelah dipanaskan, terjadi perubahan warna pada tiap larutan sampel

yaitu menjadi kuning. Warna kuning tersebut sebagai indikator adanya kandungan

formalin di dalam larutan sampel. Terbentuknya warna kuning ini berdasarkan

reaksi antara reagen nash dengan formalin yang menghasilkan senyawa kompleks

3,5-diasetil-1,4-dihidrolutidin (DDL) [33]. Kemudian dilanjutkan pengujian untuk

mengetahui kadar formalin secara tepat dan akurat menggunakan spektrofotometer

UV-Vis yang diukur pada panjang gelombang 350-700 nm.

Setelah diukur pada spektrofotometer UV-Vis, sampel larutan kontrol

(pereduksi 0%) diperoleh absorbansi sebesar (1) 0,269; (2) 0,268; (3) 0,267.

Dimana setelah dihitung dengan kurva kalibrasi didapatkan kadar formalin larutran

kontrol sebesar (1) 379,56 µg/g, (2) 378,89 µg/g, dan (3) 378,21 µg/g. Dari hasil

ini dapat diketahui kadar formalin pada sampel tanpa perendaman dengan larutan

lidah buaya masih sangat tinggi. Maka dari itu perlu adanya tindakan untuk
53

mengurangi kadar formalin yang ada dalam makanan salah satunya dengan cara

mereduksi dengan lidah buaya [10].

Sampel yang direndam dengan larutan pereduksi lidah buaya 30% diperoleh

rata-rata kadar formalin sebesar 294,13 µg/g, dimana persentase penurunan kadar

formalin mencapai 22,37%. Pada sampel larutan pereduksi 60% diperoleh rata-rata

kadar formalin sebesar 269,52 µg/g, dan persentase penurunan kadar formalin

mencapai 28,87 % . Sedangkan pada sampel larutan pereduksi 90% diperoleh rata-

rata kadar formalin sebesar 265,70 µg/g, dimana persentase penurunan kadar

formalin mencapai 29,87 % . Ini menunjukkan bahwa tanaman lidah buaya (Aloe

vera L.) dapat mereduksi kandungan formalin pada daging ayam kampung. Hal ini

juga sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Sopandi dan Nurfi [3] yang

menyatakan bahwa penurunan kadar formalin dalam daging ayam broiler

berformalin sejalan dengan semakin tingginya konsentrasi larutan lidah buaya.

Lidah buaya dapat mereduksi kadar formalin pada daging ayam karena adanya

senyawa saponin yang tinggi di dalamnya, yaitu sekitar 5,651% per 100 g [3]. Cara

kerja saponin pada gel lidah buaya dapat menurunkan kadar formalin yang dikenal

sebagai reaksi saponifikasi (proses pembentukan sabun) dimana sabun termasuk

golongan zat surfaktan. Zat surfaktan memiliki daya pembersih yang lebih baik

dibandingkan air saja. Surfaktan memiliki gugus amfipatik yang dapat membentuk

emulsi air dan formalin. Setelah formalin diikat oleh senyawa saponin, saponin

akan larut membentuk misel [11].


BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan, dapat diperoleh kesimpulan

bahwa larutan lidah buaya (Aloe vera L.) memiliki pengaruh terhadap penurunan

kadar formalin pada daging ayam kampung. Dari penelitian ini diketahui bahwa

semakin besar konsentrasi lidah buaya yang digunakan, maka penurunan

konsentrasi formalin pada sampel juga semakin besar.

6.2 Saran

1. Diperlukan adanya penelitian lanjutan untuk mengetahui konsentrasi terbaik

larutan lidah buaya (Aloe vera L.) yang dapat digunakan untuk mereduksi

kadar formalin pada daging ayam kampung.

2. Pada penelitian selanjutnya dapat menggunakan bahan pereduksi selain lidah

buaya (Aloe vera L.) dalam mereduksi kadar formalin pada ayam kampung.

3. Pada penelitian selanjutnya dapat menggunakan pereaksi selain nash dalam

pengujian kadar formalin, yaitu asam kromatopat dan schryver.

4. Pada penelitian selanjutnya dapat menggunakan metode analisis selain

spektrofotometri UV-Vis dalam pengujian kadar formalin, yaitu metode

kromatografi gas dan kromatografi cair kinerja tinggi.

54
DAFTAR PUSTAKA

1. Almanaf R. BPOM: Makanan Mengandung Formalin Sering Ditemukan di


Pasar Tradisional. TribunJateng.com [Internet]. [cited 2020 Oct 11];
Available from: https://jateng.tribunnews.com/2019/06/30/bpom-makanan-
mengandung-formalin-sering-ditemukan-di-pasar-tradisional.

2. Matondang RA, Rochima E, Kurniawati N. Studi Kandungan Formalin dan


Zat Pemutih pada Ikan Asin di Beberapa Pasar Kota Bandung. J Perikan dan
Kelaut Unpad [Internet]. 2015;6(2). Available from:
http://jurnal.unpad.ac.id/jpk/article/view/8781.

3. Sopandi T, Nurfi NL. Degradasi Kandungan Formalin pada Daging Ayam


Broiler (Gallus domesticus) Berformalin dengan Perendaman Larutan Lidah
Buaya (Aloe vera). J Mat Dan Ilmu Penetahuan Alam Unipa [Internet].
2014;07(02):12–7. Available from:
https://doi.org/10.36456/stigma.vol7.no2.a518.

4. Antoni S. Analisa Kandungan Formalin pada Ikan Asin dengan Metode


Spektrofotometri di Kecamatan Tampan Pekanbaru (Skripsi). Fak Tarb Dan
Kegur Univ Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau Pekanbaru. 2015;2–3.
Available from: http://repository.uin-suska.ac.id/id/eprint/1343.

5. Depkes RI. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 033


Tahun 2012 Tentang Bahan Tambahan Pangan. Available from:
https://kesmas.kemkes.go.id/perpu/konten/permenkes/pmk-nomor-033-
tahun-2012-bahan-tambahan-pangan.

6. Widyaningsih TD, Murtini ES. Alternatif Pengganti Formalin pada Produk


Pangan [Internet]. Cet. 1. Surabaya: Trubus Agrisarana; 2006 [cited 2021 Jan
4]. Available from:
https://opac.perpusnas.go.id/DetailOpac.aspx?id=520375.

7. Inci M, Zararsiz I, Davarci M, Görür S. Toxic Effects of Formaldehyde on


the Urinary System [Internet]. Turk Urol Derg. 2013;39(1):48–52. Available
from: Doi:10.5152/tud.2013.010.

8. Chen X, Lu P, Wang D dan, Yang S jin, Wu Y, Shen HY, et al. The Role of
MiRNAs in Drug Resistance and Prognosis of Breast Cancer Formalin-fixed
Paraffin-embedded Tissues. Gene. 2016 Dec 31;595(2):221–6. Available
from: Doi: 10.1016/j.gene.2016.10.015.

9. Cahyadi KD, Yuliawati AN, Lestari GAD. Studi Efektivitas Reduksi Kadar
Formalin pada Tahu dengan Perendaman Air Kunyit, Air Cuka dan Air
Garam dalam Upaya Penyediaan Pangan Aman. J Ilm Ibnu Sina Ilmu Farm
55
56

dan Kesehat [Internet]. 2020 Mar 30 [cited 2020 Oct 16];5(1):156–64.


Available from: http://jiis.akfar-
isfibjm.ac.id/index.php?journal=JIIS&page=article&op=view&path[]=409.

10. Juliadi D, Yuliasih NW, Pramitha DAI, Agustini NPD. Uji Pengaruh Variasi
Konsentrasi Perendaman Larutan Asam Jawa terhadap Penurunan Kadar
Formalin pada Sosis. J Ilm Medicam [Internet]. 2018 Sep 29 [cited 2021 Jan
4];4(2):71–7. Available from: http://e-
journal.unmas.ac.id/index.php/Medicamento/article/view/853.

11. Gusviputri Arwinda, Njoo Meliana P. S., Aylianawati NI. Pembuatan Sabun
dengan Lidah Buaya (Aloe vera) sebagai Antiseptik Alami. J Ilm Widya Tek
[Internet]. 2017 Oct 3 [cited 2020 Oct 16];12(1):11–21. Available from:
http://journal.wima.ac.id/index.php/teknik/article/view/1439.

12. Rianingsih, P Anisa Fadhilah, Ma’ruf W RL. Efektivitas Lidah Buaya (Aloe
vera) di dalam Mereduksi Formalin pada Fillet Ikan Bandeng (Chanos
chanos Forsk) Selama Penyimpanan Suhu Dingin [Internet]. J Pengolah dan
Bioteknol Has Perikan. 2013;2(434):1–32. Available from:
https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/jpbhp/article/view/3780.

13. I F. Khasiat dan Manfaat Lidah Buaya Si Tanaman Ajaib [Internet].


Agromedia Pustaka, Jakarta. 2002 [cited 2020 Nov 17]. Available from:
https://publikasiilmiah.ums.ac.id/xmlui/bitstream/handle/11617/3435/4.
Mekar Saptarini.pdf?sequence=1&isAllowed=y.

14. Purwaningsih D. Prospek dan Peluang Usaha Pengolahan Produk Aloe vera
L. Jurdik Kimia, FMIPA UNY [Internet]. 2016 [cited 2020 Nov
17];14(01):59-76. Available from: http://staff. uny. ac.
id/sites/default/files/tmp/makalah% 20lidah% 20buaya. pdf.

15. Afzal M, Ali M, Hassan R, Sweedan N, Dhami M. Identification of Some


Prostanoids in Aloe vera Extracts. Planta Med [Internet]. 1991 Feb 5 [cited
2020 Nov 18];57(01):38–40. Available from: http://www.thieme-
connect.de/DOI/DOI?10.1055/s-2006-960012.

16. Sudarsono. Tumbuhan Obat: Hasil Penelitian, Sifat-Sifat dan Penggunaan.


Yogyakarta: Pusat Penelitian Obat Tradisional UGM; 1996.

17. Robinson T. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi [Terjemahan].Bandung:


Penerbit ITB; 1995.

18. Febrianto F, Wahyudi I, Kwon JH, Kim N. Effect of Pre-treatment


Techniques on Physical, Mechanical and Durability Properties of Oriented
Strand Board Made from Sentang Wood (Melia excelsa Jack). J Fac Agr
57

[Internet]. 2010 [cited 2020 Nov 18];55(2):371–7. Available from:


https://www.researchgate.net/publication/273023271.

19. Williamson G, WJA P. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis (Penerjemah


SGN Djiwa Darmadja). Ed. III. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press;
1993. Available from:
http://kin.perpusnas.go.id/DisplayData.aspx?pId=694&pRegionCode=JIUN
MAL&pClientId=111.

20. Rasyaf M. Beternak Ayam Petelur [Internet]. Jakarta: Penebar Swadaya;


2004. Available from: http://laser.umm.ac.id/catalog-detail-
copy/050004612/.

21. Lengur ERA. Pemodelan Pertumbuhan Anak Ayam Kampung Dikaitkan


dengan Profil Habitat, Diversitas Pakan dan Kesehatan di Beberapa
Desa/Kelurahan di Propinsi NTT (Skripsi). Malang: Universitas Brawijaya;
2013. Available from: http://repository.ub.ac.id/id/eprint/159025.

22. Sarwono B. Beternak Ayam Buras [Internet]. Jakarta: Penebar Swadaya;


2002 [cited 2020 Nov 18]. Available from: /free-
contents/index.php/buku/detail/beternak-ayam-buras-b-sarwono-2856.html

23. Resnawati H, Bintang IAK. Produktivitas Ayam Lokal yang Dipelihara


Secara Intensif [Internet]. Lokakarya Nas Inov Teknol Pengemb Ayam
Lokal. 2004;121–6 [cited 2020 Nov 18]. Available from:
http://balitnak.litbang.pertanian.go.id/index.php/publikasi/category/27-
2?download=430%3A3.

24. Puspawiningtyas E, Pamungkas RB, Hamad A. Upaya Meningkatkan


Pengetahuan Bahan Tambahan Pangan Melalui Pelatihan Deteksi
Kandungan Formalin dan Boraks. Jurnal Pengabdian dan Pemberdayaan
Masyarakat. 2017 Mar 16;1(1). 2017;1(1). Available from:
http://jurnalnasional.ump.ac.id/index.php/J/article/view/1220.

25. Wisnu C. Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan. Edisi
Kedua. Jakarta: Bumi Aksara; 2009.

26. Astawan, Made. Mengenal Formalin dan Bahayanya [Internet]. Jakarta:


Penebar Swadaya; 2006. Available from:
http://repositorio.unan.edu.ni/2986/1/5624.pdf.

27. Alsuhendra, Ridawati. Bahan Toksik dalam Makanan. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya; 2013.

28. Depkes RI. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.


58

1168/Menkes/Per/X/1999 tentang Bahan Tambahan Pangan. Available


from:
https://peraturan.bkpm.go.id/jdih/userfiles/batang/permenkes_1168_1999.p
df.

29. Uzairu A, Harrison GFS, Balarabe ML, Nnaji JC. Concentration Levels of
Trace Metals in Fish and Sediment from Kubanni River, Northern Nigeria.
Bull Chem Soc Ethiop [Internet]. 2009 Apr 1 [cited 2020 Nov 19];23(1):9–
17. Available from:
https://www.ajol.info/index.php/bcse/article/view/21293.

30. Nash T. The Colorimetric Estimation Of Formaldehyde by Means of the


Hantzsch Reaction. London: Air Hygiene Laboratory, Public Health Service.
1953. 416–421 p.

31. Saptarini Mekar N, Wardati Y, Usep Supriatna D. Deteksi Formalin dalam


Tahu di Pasar Tradisional Purwakarta [Internet]. Jurnal Penelitian Sains &
Teknologi. April 2011 [cited 2020 Nov 17];12(1): 37 - 44. Available from:
http://hdl.handle.net/11617/3435.

32. Kuswan A. Optimisasi Pereaksi Schryver dan Penerapannya pada Analisis


Formaldehid dalam Sampel Hati dan Usus Ayam Secara Spektrofotometri
(Skripsi). Jakarta: FMIPA Universitas Indonesia [Internet]; 2011 [cited 2020
Nov 19]. Available from: https://adoc.pub/universitas-indonesia-optimasi-
pereaksi-schryver-dan-penerap.html.

33. Suryadi H, Kurniadi M. Analisis Formalin dalam Sampel Ikan dan Udang
Segar dari Pasar Muara Angke. Pharm Sci Res [Internet]. 2014 Jul 1 [cited
2020 Nov 19];7(3):16–31. Available from:
http://psr.ui.ac.id/index.php/journal/article/view/3458.

34. Sastrohamidjojo H. Dasar-Dasar Spektroskopi. Yogyakarta : Liberty. Ed. 2,


cet. Liberty; 1991.

35. Yahya S. Spectrophotometric Determination of Food Dyes in Soft Drinks by


Second Order Multivariate Calibration of the Absorbance Spectra-pH Data
Matrices. J Zarqa Jordan [Internet]. 2013 Jan 18 [cited 2021 Jan
4];2(97):330-339. Available from:
https://doi.org/10.1016/j.dyepig.2013.01.007.

36. Jati, Anisa Rahma G. Perbedaan Kadar Total Protein Berdasarkan


Penggunaan Kuvet dan Tabung Reaksi Baru (Thesis). Semarang: Universitas
Muhammadiyah Semarang; 2018. Available from:
http://repository.unimus.ac.id/id/eprint/3062.
59

37. Suhartati T. Dasar-Dasar Spektrofotometri UV-Vis dan Spektrometri Massa


Untuk Penentuan Struktur Senyawa Organik [Internet]. Bandar Lampung :
Aura. 2017 [cited 2020 Nov 19]. Available from:
https://opac.perpusnas.go.id/DetailOpac.aspx?id=996403.

38. Standar Nasional Indonesia. 2015. Cara Uji Kadar Formalin yang Dilepas
(Metode Absorbsi Uap ). Jakarta: Badan Standarisasi Nasional. Available
from:https://jdih.bsn.go.id/public_assets/file/512139c6e0faf9bf7fdb7d4ef1c
75b46.pdf, editor.

39. Lusiana U. Penerapan Kurva Kalibrasi, Bagan Kendali Akurasi dan Presisi
sebagai Pengendalian Mutu Internal pada Pengujian COD dalam Air
Limbah. Jurnal Biopropal Industri [Internet]. 2012 Jun 1 [cited 2021 Jul
1];3. Available from: https://media.neliti.com/media/publications/54685-
ID-none.pdf.

40. Nasution H, Alfayed M, Helvina, Siti, Ulfa R, Annisa. Analisa. Kadar


Formalin dan Boraks pada Tahu dari Produsen Tahu di Lima (5) Kecamatan
di Kota Pekanbaru. J Photon [Internet]. 2018 Apr [cited 2021 Jul 1];8(2).
Available from:
https://ejurnal.umri.ac.id/index.php/photon/article/view/714/377.

41. Susanti S. Penetapan Kadar Formaldehid pada Tahu yang Dijual di Pasar
Ciputat dengan Metode Spektrofotometri UV-Vis Disertai Kolorimetri
Menggunakan Pereaksi Nash (Skripsi). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta:
Fakultas Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan, 2010; 2010 [cited 2021 Sep 1].
Available from:
https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/handle/123456789/2545.

42. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Farmakope Indonesia, Edisi III,


1979. Jakarta: DepKes; 1979.

43. Wiryawan A, Retnowati R, Sabarudin A. Kimia Analitik [Internet]. Malang;


2007 [cited 2021 Jul 1]. Available from:
https://www.yumpu.com/id/document/view/15946569/kimia-analitik-
adam-wiryawanpdf.

44. Yulianti CH, Safira AN. Analisis Kandungan Formalin pada Mie Basah
Menggunakan Nash dengan Metode Spektrofotometri UV-Vis. J Pharm Sci
[Internet]. 2020 Jan [cited 2021 Jul 1];5(1). Available from:
http://www.ejournal.akfarsurabaya.ac.id/index.php/jps/article/view/156/132

45. Rachman A, Wardatun S, Yulia Weandarlina I. Isolasi dan Identifikasi


Senyawa Saponin Ekstrak Metanol Daun Binahong (Anredera cordifolia
(Ten.) Steenis). J Pharmacy [Internet]. 2015 Jan [cited 2021 Jul 1];1.
60

Available from:
https://jom.unpak.ac.id/index.php/Farmasi/article/viewFile/704/644#:~:text
=Saponin memiliki karakteristik berupa buih,serta iritasi pada selaput lendir.

46. Gorur S, İnci M, Zararsız İ, Davarcı M. Toxic Effects of Formaldehyde on


the Urinary System. Turkish Journal of Urology [Internet]. 2013 Mar [cited
2020 Nov 19] ;39(1):48. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4548585/.

47. Tang W, David FB, Wilson MM, Barwick BG, Leyland-Jones BR, Bouzyk
MM. DNA Extraction from Formalin-fixed, Paraffin-embedded Tissue.
Cold Spring Harbor Protocols [Internet]. 2009 Feb 1 [cited 2020 Nov 11].
Available from:
https://www.researchgate.net/profile/Mark_Bouzyk/publication/41421454
_.
LAMPIRAN

Lampiran 1 Perhitungan Pembuatan Larutan

A. Perhitungan kebutuhan massa untuk membuat NaOH 0,02 N sebanyak

100 mL

Diketahui : Mr NaOH = 40 g/mol

Valensi NaOH = 1

Massa 1.000
Jawab :N= x x Valensi NaOH
Mr NaOH Volume

Massa 1.000
0,02 N = x x 1
40 g/mol 100 mL

Massa = 0,08 gram

 Hasil penimbangan NaOH sebenarnya = 0,1713 gram (Lampiran 3), yang

dilarutkan dalam 200 mL

B. Perhitungan kebutuhan massa untuk membuat H2C2O4 0,02 N sebanyak

50 mL

Diketahui : Mr H2C2O4 = 126,07 g/mol

Valensi H2C2O4 = 2

Massa 1.000
Jawab :N= x x Valensi H2C2O4
Mr H2C2O4 Volume

Massa 1.000
0,02 N = x x 2
126,07 g/mol 50 mL

Massa = 0,0630 gram

 Hasil penimbangan H2C2O4 sebenarnya = 0,0630 gram (Lampiran 3)

61
62

 Normalitas H2C2O4 sebenarnya:

Massa 1.000
N = x x Valensi H2C2O4
Mr H2C2O4 Volume

0,0630 g 1.000
N = x x 2
126,07 g/mol 50 mL

N = 0,02 N

C. Standarisasi NaOH menggunakan H2C2O4

Tabel 1 Data Standarisasi NaOH

Replikasi Volume Titran NaOH (mL)


1 8,3
2 8,2
3 8,2
Rata-rata 8,23

 Pehitungan Normalitas NaOH hasil standarisasi dengan H2C2O4

V (NaOH) x N (NaOH) = V (H2C2O4) x N (H2C2O4 sebenarnya)

8,23 mL x N (NaOH) = 10 mL x 0,02 N

N (NaOH) = 0,0243 N

D. Perhitungan pembuatan H2SO4 0,02 N sebanyak 250 mL

 Pembuatan H2SO4 3 N sebanyak 25 mL dari H2SO4 36 N

V1 x N1 = V2 x N2

V1 x 36 N = 25 mL x 3 N

V1 = 2,08 mL ~ 2 mL

 Pembuatan H2SO4 0,02 N sebanyak 250 mL dari H2SO4 3 N

V1 x N1 = V2 x N2

V1 x 3 N = 250 mL x 0,02 N

V1 = 1,67 mL ~ 1,7 mL
63

Keterangan:

V1 = Volume yang diambil

V2 = Volume yang akan dibuat

N1 = Normalitas yang tersedia

N2 = Normalitas yang akan dibuat

E. Standarisasi H2SO4 menggunakan NaOH

Tabel 2 Data Standarisasi H2SO4

Replikasi Volume Titran H2SO4 (mL)


1 14,2
2 14,2
3 14,1
Rata-rata 14,16

 Pehitungan Normalitas H2SO4 hasil standarisasi dengan NaOH

V (H2SO4) x N (H2SO4) = V (NaOH) x N (NaOH hasil standarisasi)

14,16 mL x N (H2SO4) = 10 mL x 0,0243 N

N (H2SO4) = 0,0172 N

F. Standarisasi larutan baku induk formalin

 Perhitungan larutan formalin 37% b⁄v

b 37 gram 37.000 mg
= = = 370.000 mg/L
v 100 mL 0,1 L

 Pembuatan larutan formalin 1.500 mg/L sebanyak 250 mL

V1 x N1 = V2 x N2

V1 x 370.000 mg/L = 250 mL x 1.500 mg/L

250 mL x 1.500 mg/L


V1 =
370.000 mg/L

V1 = 1,01 mL ~ 1 mL
64

 Perhitungan kebutuhan natrium sulfit (Na2SO3) = 1 mol/L

 Dibuat dengan melarutkan 126 gram Na2SO3 dalam 1 L aquades

Normalitas Na2SO3 = Molalitas x Ekuivalensi Na2SO3

N(Na2SO3) = 1 mol/L x 2

N(Na2SO3) = 2 N

G. Perhitungan kadar sebenarnya larutan formalin 37% hasil standarisasi

Tabel 3 Data Standarisasi Formalin

Replikasi Volume Titran H2SO4 (mL)


1 26,0
2 25,1
Rata-rata 25,55

 Penyetaraan asam sulfat dan formalin

 1 mL asam sulfat 0,02 N setara dengan 0,6 mg formalin [38]. Maka dapat

dihitung massa formaldehid hasil pengenceran adalah sebagai berikut:

Normalitas asam sulfat hasil standarisasi


Massa formaldehid = x0,6 mg/mL
0,02 N

0,0172 N
Massa formaldehid = x 0,6 mg/mL
0,02 N

Massa formaldehid = 0,516 mg/mL

 Kadar formalin dapat dihitung sebagai berikut:

VA x massa formaldehid penyetaraan x 1.000


Kadar formalin (mg/L) =
V

25,55 mL x 0,516 mg/mL x 1.000


Kadar formalin =
10 mL

Kadar formalin = 1.318,38 mg/L

1.318,38 mg/L
- Persentase : x 37% = 32,5 %
1.500 mg/L
65

H. Perhitungan pembuatan larutan pereduksi lidah buaya 100 mL

 Perhitungan berat teoritis:

30 gram
Konsentrasi 30 % : x 100 mL = 30 gram
100 mL

60 gram
Konsentrasi 60 % : x 100 mL = 60 gram
100 mL

90 gram
Konsentrasi 90 % : x 100 mL = 90 gram
100 mL

 Hasil penimbangan lidah buaya sebenarnya:

Tabel 4 Massa Sampel Ayam


Konsentrasi Massa Teoritis Massa Sebenarnya
No
(%) (gram) (gram)
1 30 30 30,0404
2 60 60 60,3598
3 90 90 90,3839

I. Penimbangan sampel daging ayam

Tabel 5 Massa Sampel Ayam

Massa
Massa Teoritis
No Sampel Larutan Sebenarnya
(gram)
(gram)

1 a Kadar awal 5,0731


2 b Pereduksi 0% 5,0585
5
3 c Pereduksi 30% 5,0507
4 d Pereduksi 60% 5,0662
66

Lampiran 2 Perhitungan Kadar Formalin dalam Sampel

A. Kadar formalin awal

Tabel 6 Absorbansi Kadar Awal Formalin


Replikasi Absorbansi
1 0,368
2 0,369
3 0,367

Tabel 7 Kadar Awal Formalin pada Sampel


µg
Replikasi Kadar Formalin ( ⁄g)
1 4.454,28
2 4.460,98
3 4.447,58
Rata-rata 4.454,28

 Replikasi 1

- Kadar formaldehid dalam larutan uji (C):

Y = 0,2915 X – 0,2907

0,368 = 0,2915 X – 0,2907

0,368 + 0,2907
X =
0,2915

µg
X = 2,2597 ⁄mL

Dilakukan pengenceran sebanyak 100 x.

µg
C = 2,2597 ⁄mL x 100

µg
C = 225,97 ⁄mL

- Massa formalin dalam larutan uji (Wf):

Wf = V x C

µg
Wf = 100 mL x 225,97 ⁄mL

Wf = 22.597 µg
67

- Kadar formalin pada sampel:

Wf
Kadar formalin sampel =
Ws

22.597 µg
Kadar formalin sampel =
5,0731 g

µg
Kadar formalin sampel = 4.454,28 ⁄g

 Replikasi 2

- Kadar formaldehid dalam larutan uji (C):

Y = 0,2915 X – 0,2907

0,369 = 0,2915 X – 0,2907

0,369 + 0,2907
X =
0,2915

µg
X = 2,2631 ⁄mL

Dilakukan pengenceran sebanyak 100 x.

µg
C = 2,2631 ⁄mL x 100

µg
C = 226,31 ⁄mL

- Massa formalin dalam larutan uji (Wf):

Wf = V x C

µg
Wf = 100 mL x 226,31 ⁄mL

Wf = 22.631 µg

- Kadar formalin pada sampel:

Wf
Kadar formalin sampel =
Ws

22.631 µg
Kadar formalin sampel =
5,0731 g
68

µg
Kadar formalin sampel = 4.460,98 ⁄g

 Replikasi 3

- Kadar formaldehid dalam larutan uji (C):

Y = 0,2915 X – 0,2907

0,367 = 0,2915 X – 0,2907

0,367 + 0,2907
X =
0,2915

µg
X = 2,2563 ⁄mL

Dilakukan pengenceran sebanyak 100 x.


µg
C = 2,2563 ⁄mL x 100

µg
C = 225,63 ⁄mL

- Massa formalin dalam larutan uji (Wf):

Wf = V x C

µg
Wf = 100 mL x 225,63 ⁄mL

Wf = 22.563 µg

- Kadar formalin pada sampel:

Wf
Kadar formalin sampel =
Ws

22,563 µg
Kadar formalin sampel =
5,0731 g

µg
Kadar formalin sampel = 4.447,58 ⁄g

 Rata-rata kadar formalin awal pada sampel:

µg µg µg
4.454,28 ⁄g + 4.460,98 ⁄g + 4.447,58 ⁄g
Kadar formalin awal =
3
69

µg
13.362,84 ⁄g
Kadar formalin awal =
3

µg
Kadar formalin awal = 4.454,28 ⁄g

B. Pereduksi konsentrasi 0%

Tabel 8 Data Absorbansi Konsentrasi Pereduksi 0%


Replikasi Absorbansi
1 0,269
2 0,268
3 0,267

Tabel 9 Kadar Formalin Sampel Pereduksi 0%


µg
Replikasi Kadar Formalin ( ⁄g)
1 379,56
2 378,89
3 378,21
Rata-rata 378,89

 Replikasi 1

- Kadar formaldehid dalam larutan uji (C):

Y = 0,2915 X – 0,2907

0,269 = 0,2915 X – 0,2907

0,269 + 0,2907
X =
0,2915

µg
X = 1,9200 ⁄mL

Dilakukan pengenceran sebanyak 10 x.

µg
C = 1,92 ⁄mL x 10

µg
C = 19,2 ⁄mL

- Massa formalin dalam larutan uji (Wf):

Wf = V x C
70

µg
Wf = 100 mL x 19,2 ⁄mL

Wf = 1.920 µg

- Kadar formalin pada sampel:

Wf
Kadar formalin sampel =
Ws

1.920 µg
Kadar formalin sampel =
5,0585 g

µg
Kadar formalin sampel = 379,56 ⁄g

 Replikasi 2

- Kadar formaldehid dalam larutan uji (C):

Y = 0,2915 X – 0,2907

0,268 = 0,2915 X – 0,2907

0,268 + 0,2907
X =
0,2915

µg
X = 1,9166 ⁄mL

Dilakukan pengenceran sebanyak 10 x.

µg
C = 1,9166 ⁄mL x 10

µg
C = 19,166 ⁄mL

- Massa formalin dalam larutan uji (Wf):

Wf = V x C

µg
Wf = 100 mL x 19,166 ⁄mL

Wf = 1.916,6 µg
71

- Kadar formalin pada sampel:

Wf
Kadar formalin sampel =
Ws

1.916,6 µg
Kadar formalin sampel =
5.0585 g

µg
Kadar formalin sampel = 378,89 ⁄g

 Replikasi 3

- Kadar formaldehid dalam larutan uji (C):

Y = 0,2915 X – 0,2907

0,267 = 0,2915 X – 0,2907

0,267 + 0,2907
X =
0,2915

µg
X = 1,9132 ⁄mL

Dilakukan pengenceran sebanyak 10 x.

µg
C = 1,9132 ⁄mL x 10

µg
C = 19,132 ⁄mL

- Massa formalin dalam larutan uji (Wf):

Wf = V x C

µg
Wf = 100 mL x 19,132 ⁄mL

Wf = 1.913,2 µg

- Kadar formalin pada sampel:

Wf
Kadar formalin sampel =
Ws

1.913,2 µg
Kadar formalin sampel =
5,0585 g
72

µg
Kadar formalin sampel = 378,21 ⁄g

 Rata-rata kadar formalin konsentrasi pereduksi 0%:

µg µg µg
379,56 ⁄g + 378,89 ⁄g + 378,21 ⁄g
Kadar formalin =
3

µg
1.136,66 ⁄g
Kadar formalin =
3

µg
Kadar formalin = 378,89 ⁄g

C. Pereduksi konsentrasi 30%

Tabel 10 Data Absorbansi Konsentrasi Pereduksi 30%


Replikasi Absorbansi
1 0,142
2 0,144
3 0,141

Tabel 11 Kadar Formalin Sampel Pereduksi 30%


µg
Replikasi Kadar Formalin ( ⁄g)
1 293,90
2 295,25
3 293,23
Rata-rata 294,13

 Replikasi 1

- Kadar formaldehid dalam larutan uji (C):

Y = 0,2915 X – 0,2907

0,142 = 0,2915 X – 0,2907

0,142 + 0,2907
X =
0,2915

µg
X = 1,4844 ⁄mL

Dilakukan pengenceran sebanyak 10 x.


µg
C = 1,4844 ⁄mL x 10
73

µg
C = 14,844 ⁄mL

- Massa formalin dalam larutan uji (Wf):

Wf = V x C

µg
Wf = 100 mL x 14,844 ⁄mL

Wf = 1.484,4 µg

- Kadar formalin pada sampel:

Wf
Kadar formalin sampel =
Ws

1.484,4 µg
Kadar formalin sampel =
5,0507 g

µg
Kadar formalin sampel = 293,90 ⁄g

 Replikasi 2

- Kadar formaldehid dalam larutan uji (C):

Y = 0,2915 X – 0,2907

0,144 = 0,2915 X – 0,2907

0,144 + 0,2907
X =
0,2915

µg
X = 1,4912 ⁄mL

Dilakukan pengenceran sebanyak 10 x.

µg
C = 1,4912 ⁄mL x 10

µg
C = 14,912 ⁄mL

- Massa formalin dalam larutan uji (Wf):

Wf = V x C

µg
Wf = 100 mL x 14,912 ⁄mL
74

Wf = 1.491,2 µg

- Kadar formalin pada sampel:

Wf
Kadar formalin sampel =
Ws

1.491,2 µg
Kadar formalin sampel =
5.0507 g

µg
Kadar formalin sampel = 295.25 ⁄g

 Replikasi 3

- Kadar formaldehid dalam larutan uji (C):

Y = 0,2915 X – 0,2907

0,141 = 0,2915 X – 0,2907

0,141 + 0,2907
X =
0,2915

µg
X = 1,4810 ⁄mL

Dilakukan pengenceran sebanyak 10 x.

µg
C = 1,4810 ⁄mL x 10

µg
C = 14,81 ⁄mL

- Massa formalin dalam larutan uji (Wf):

Wf = V x C

µg
Wf = 100 mL x 14,81 ⁄mL

Wf = 1.481 µg

- Kadar formalin pada sampel:

Wf
Kadar formalin sampel =
Ws
75

1.481 µg
Kadar formalin sampel =
5,0507 g

µg
Kadar formalin sampel = 293,23 ⁄g

 Rata-rata kadar konsentrasi pereduksi 30% pada sampel:

µg µg µg
293,90 ⁄g + 295.25 ⁄g + 293,23 ⁄g
Kadar formalin =
3

µg
882.38 ⁄g
Kadar formalin =
3

µg
Kadar formalin = 294,13 ⁄g

 Persen penurunan kadar formalin:

µg µg
378,89 ⁄g - 294.13 ⁄g
Persen penurunan (%) = µg x 100%
378,89 ⁄g

Persen penurunan (%) = 22,37 %

D. Pereduksi konsentrasi 60%

Tabel 12 Data Absorbansi Konsentrasi Pereduksi 60%


Replikasi Absorbansi
1 0,108
2 0,107
3 0,107

Tabel 13 Kadar Formalin Sampel Pereduksi 60%


µg
Replikasi Kadar Formalin ( ⁄g)
1 269,99
2 269,29
3 269,29
Rata-rata 269,52

 Replikasi 1

- Kadar formaldehid dalam larutan uji (C):

Y = 0,2915 X – 0,2907
76

0,108 = 0,2915 X – 0,2907

0,108 + 0,2907
X =
0,2915

µg
X = 1,3678 ⁄mL

Dilakukan pengenceran sebanyak 10 x.

µg
C = 1,3678 ⁄mL x 10

µg
C = 13,678 ⁄mL

- Massa formalin dalam larutan uji (Wf):

Wf = V x C
µg
Wf = 100 mL x 13,678 ⁄mL

Wf = 1.367,8 µg

- Kadar formalin pada sampel:

Wf
Kadar formalin sampel =
Ws

1.367,8 µg
Kadar formalin sampel =
5,0662 g

µg
Kadar formalin sampel = 269,99 ⁄g

 Replikasi 2

- Kadar formaldehid dalam larutan uji (C):

Y = 0,2915 X – 0,2907

0,107 = 0,2915 X – 0,2907

0,107 + 0,2907
X =
0,2915

µg
X = 1,3643 ⁄mL
77

Dilakukan pengenceran sebanyak 10 x.

µg
C = 1,3643 ⁄mL x 10

µg
C = 13,643 ⁄mL

- Massa formalin dalam larutan uji (Wf):

Wf = V x C

µg
Wf = 100 mL x 13,643 ⁄mL

Wf = 1.364,3 µg

- Kadar formalin pada sampel:

Wf
Kadar formalin sampel =
Ws

1.364,3 µg
Kadar formalin sampel =
5,0662 g

µg
Kadar formalin sampel = 269,29 ⁄g

 Replikasi 3

- Kadar formaldehid dalam larutan uji (C):

Y = 0,2915 X – 0,2907

0,107 = 0,2915 X – 0,2907

0,107 + 0,2907
X =
0,2915

µg
X = 1,3643 ⁄mL

Dilakukan pengenceran sebanyak 10 x.

µg
C = 1,3643 ⁄mL x 10

µg
C = 13,643 ⁄mL
78

- Massa formalin dalam larutan uji (Wf):

Wf = V x C

µg
Wf = 100 mL x 13,643 ⁄mL

Wf = 1.364,3 µg

- Kadar formalin pada sampel:

Wf
Kadar formalin sampel =
Ws

1.364,3 µg
Kadar formalin sampel =
5,0662 g

µg
Kadar formalin sampel = 269,29 ⁄g

 Rata-rata kadar konsentrasi pereduksi 60% sampel:

µg µg µg
269,99 ⁄g + 269,29 ⁄g + 269,29 ⁄g
Kadar formalin =
3

µg
808,57 ⁄g
Kadar formalin =
3

µg
Kadar formalin = 269,52 ⁄g

 Persen penurunan kadar formalin:

µg µg
378,89 ⁄g - 269,52 ⁄g
Persen penurunan (%) = µg x 100%
378,89 ⁄g

Persen penurunan (%) = 28,87 %

E. Pereduksi konsentrasi 90%

Tabel 14 Data Absorbansi Konsentrasi Pereduksi 90%


Replikasi Absorbansi
1 0,101
2 0,101
3 0,101
79

Tabel 15 Kadar Formalin Sampel Pereduksi 90%


µg
Replikasi Kadar Formalin ( ⁄g)
1 265,70
2 265,70
3 265,70
Rata-rata 265,70

 Replikasi 1,2, dan 3

- Kadar formaldehid dalam larutan uji (C):

Y = 0,2915 X – 0,2907

0,101 = 0,2915 X – 0,2907

0,101 + 0,2907
X =
0,2915

µg
X = 1,3437 ⁄mL

Dilakukan pengenceran sebanyak 10 x.

µg
C = 1,3437 ⁄mL x 10

µg
C = 13,437 ⁄mL

- Massa formalin dalam larutan uji (Wf):

Wf = V x C

µg
Wf = 100 mL x 13,437 ⁄mL

Wf = 1.343,7 µg

- Kadar formalin pada sampel:

Wf
Kadar formalin sampel =
Ws

1.343,7 µg
Kadar formalin sampel =
5,0573 g

µg
Kadar formalin sampel = 265,70 ⁄g
80

 Persen penurunan kadar formalin:

µg µg
378,89 ⁄g - 265,70 ⁄g
Persen penurunan (%) = µg x 100%
378,89 ⁄g

Persen penurunan (%) = 29,87 %

Keterangan:

Wf = massa formaldehid dalam larutan uji (µg).

V = volume larutan yang digunakan untuk uji kuantitatif sampel (mL).

C = kadar formaldehida dalam larutan uji (µg/mL)

F. Data pengukuran sampel pada spektrofotometer UV-Vis

1. Penentuan panjang gelombang maksimal formalin

Larutan Formalin 6 mg/L


1
0.8
Absorbansi

0.6
0.4
0.2
0
392

490
350
364
378

406
420
434
448
462
476

504
518
532
546
560
574
588
602
616
630
644
658
672
686
700
-0.2

Panjang gelombang
6 ppm
- panjang gelombang maksimal = 412 nm - absorbansi = 0,9

2. Pembuatan kurva kalibrasi

Kurva Kalibrasi
2
y = 0,2915x - 0,2907
Absorbansi

1.5 R² = 0,997
1
0.5
0
0.5 2 4 6 8 10
Konsentrasi (mg/L)
81

3. Pengukuran sampel dengan pereduksi 0% pada panjang gelombang 350-600 nm

Pereduksi 0% (Replikasi 1) Pereduksi 0% (Replikasi 2)

0.3 0.3

0.2 0.2

Absorbansi
Absorbansi

0.1 0.1

0 0

350
365
380
395
410
425
440
455
470
485
500
515
530
545
560
575
590
406
350
364
378
392

420
434
448
462
476
490
504
518
532
546
560
574
588
-0.1 -0.1
Panjang Gelombang (nm) Panjang Gelombang (nm)

- λ maks. = 412 nm - absorbansi = 0,269 - λ maks. = 412 nm - absorbansi = 0,268


Series1 Series1

Pereduksi 0% (Replikasi 3)
0.3

0.2
Absorbansi

0.1

0
350
365
380
395
410
425
440
455
470
485
500
515
530
545
560
575
590
-0.1
Panjang Gelombang (nm)

- λ maks. = 412 nm - absorbansi = 0,267


Series1

4. Pengukuran sampel dengan pereduksi 30% pada panjang gelombang 350-600 nm

Pereduksi 30% (Replikasi 1) Pereduksi 30% (Replikasi 2)

0.15 0.2

0.1 0.15
Absorbansi

Absorbansi

0.1
0.05
0.05
0 0
382

542
350
366

398
414
430
446
462
478
494
510
526

558
574
590

382

542
350
366

398
414
430
446
462
478
494
510
526

558
574
590

-0.05 -0.05
Panjang Gelombang (nm) Panjang Gelombang (nm)

- λ maks. = 412 nm - absorbansi = 0,142 - λ maks. = 412 Series1


nm - absorbansi = 0,144
Series1

Pereduksi 30% (Replikasi 3)

0.15

0.1
Absorbansi

0.05

0
430

590
350
366
382
398
414

446
462
478
494
510
526
542
558
574

-0.05
Panjang Gelombang (nm)

- λ maks. = 412 nm - absorbansi = 0,141


Series1
82

5. Pengukuran sampel dengan pereduksi 60% pada panjang gelombang 350-600 nm

Pereduksi 60% (Replikasi 1) Pereduksi 60% (Replikasi 2)

0.15 0.15
Absorbansi

Absorbansi
0.1 0.1

0.05 0.05

0 0

560
350
365
380
395
410
425
440
455
470
485
500
515
530
545
560
575
590

350
365
380
395
410
425
440
455
470
485
500
515
530
545

575
590
Panjang Gelombang (nm) Panjang Gelombang (nm)

- λ maks. = 412 nm - absorbansi = 0,108 - λ maks. = 412 nm - absorbansi = 0,107


Series1 Series1

Pereduksi 60% (Replikasi 3)

0.15
Absorbansi

0.1

0.05

0
350
365
380
395
410
425
440
455
470
485
500
515
530
545
560
575
590
Panjang Gelombang (nm)

- λ maks. = 412 nm - absorbansi = 0,107


Series1

5. Pengukuran sampel dengan pereduksi 90% pada panjang gelombang 350-600 nm

Pereduksi 90% (Replikasi 1) Pereduksi 90% (Replikasi 2)

0.15 0.15
Absorbansi

0.1 0.1
Absorbansi

0.05 0.05

0 0
560
350
365
380
395
410
425
440
455
470
485
500
515
530
545

575
590
382

542
350
366

398
414
430
446
462
478
494
510
526

558
574
590

-0.05
Panjang Gelombang (nm) Panjang Gelombang (nm)

- λ maks. = 412 nm - absorbansi = 0,101


Series1 - λ maks. = 412 nm - absorbansi = 0,101
Series1

Pereduksi 90% (Replikasi 3)

0.15
Absorbansi

0.1

0.05

0
350
365
380
395
410
425
440
455
470
485
500
515
530
545
560
575
590

Panjang Gelombang (nm)

- λ maks. = 412 nm - absorbansi = 0,101


Series1
83

6. Pengukuran kadar awal formalin pada panjang gelombang 350-600 nm

Kadar Awal (Replikasi 1) Kadar Awal (Replikasi 2)

0.4 0.4
0.3 0.3
Absorbansi

Absorbansi
0.2 0.2
0.1 0.1
0 0
350
365
380
395
410
425
440
455
470
485
500
515
530
545
560
575
590

350
365
380
395
410
425
440
455
470
485
500
515
530
545
560
575
590
-0.1 -0.1
Panjang Gelombang (nm) Panjang Gelombang (nm)

- λ maks. = 412 nm - absorbansi = 0,368


Series1 - λ maks. = 412 nm - absorbansi = 0,369
Series1

Kadar Awal (Replikasi 3)

0.4
0.3
Absorbansi

0.2
0.1
0
350
365
380
395
410
425
440
455
470
485
500
515
530
545
560
575
590
-0.1
Panjang Gelombang (nm)

- λ maks. = 412 nm
Series1
- absorbansi = 0,367
84

Lampiran 3 Dokumentasi Penelitian

A. Standarisasi larutan natrium hidroksida (NaOH)

Penimbangan NaOH Penimbangan H2C2O4 Larutan H2C2O4 0,02 N

Larutan NaOH 0,02 N Larutan H2C2O4 0,02 N setelah


dititrasi dengan larutan NaOH
0,02 N menjadi warna merah
muda

B. Standarisasi larutan asam sulfat (H2SO4)

Larutan H2SO4 3 N Larutan H2SO4 0,02 N Larutan NaOH 0,02 N

Larutan NaOH 0,02 N setelah dititrasi


dengan larutan H2SO4 0,02 N menjadi
warna kemerahan
85

C. Standarisasi larutan formalin (CH2O)

Larutan Na2SO3 2 N Larutan formalin Larutan formalin setelah


1.500 mg/L dititrasi dengan larutan
Na2SO3 2 N sampai warna
biru tepat hilang

D. Preparasi sampel

Daging ayam kampung Daging ayam kampung Perendaman daging


dibersihkan setelah ditimbang ayam kampung dalam
larutan formalin 5.000
mg/L

E. Reduksi kadar formalin pada sampel

Tanaman lidah buaya Lumatan daging daun Penyaringan larutan


lidah buaya setelah lidah buaya konsentrasi
ditimbang 30%, 60%, dan 90%
86

Larutan lidah buaya 50 Perendaman sampel Penyaringan sampel


mL konsentrasi 0%, pada larutan pereduksi daging ayam
30%, 60%, dan 90%

F. Ekstraksi formalin

Ekstraksi sampel yang Penyaringan filtrat Filtrat sampel ditambah


dipanaskan dengan sampel aquades ad 100 mL
aquades

Pengenceran filtrat Pemanasan filtrat sampel Filtrat sampel setelah


sampel sebanyak 10x dengan reagen nash pemansan
87

Pengenceran filtrat Pemanasan filtrat sampel Filtrat sampel kadar


sampel kadar awal kadar awal dan larutan awal setelah pemanasan
sebanyak 100x blanko dengan reagen
nash

Anda mungkin juga menyukai