Anda di halaman 1dari 52

BAB 1

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Laparatomi merupakan prosedur pembedahan mayor dengan membuka

abdomen melalui penyayatan melalui lapisan-lapisan dinding abdomen untuk

mendapatkan bagian organ di dalamnya yang mengalami masalah baik karena

hemoragi, perforasi, kanker, dan obstruksi. Tindakan laparatomi biasanya

dilakukan pada pasien dengan indikasi apendisitis perforasi, hernia inguinalis,

kanker lambung, kanker kolon, dan rectum, obstruksi usus, inflamasi usus kronis,

kolestisitis, dan peritonitis (Sjamsurihidayat, 2010).

Menurut World Health Organization, (2013), diperkirakan setiap tahun

ada 230 juta pembedahan yang dilakukan diseluruh dunia. Laparatomi

merupakan salah satu jenis pembedahan yang memiliki prevalensi tinggi.

Berdasarkan laporan Departemen Kesehatan RI, (2011), tindakan pembedahan

menempati urutan ke-10 dari 50 pertama pola penyakit di Rumah Sakit se-

Indonesia dengan persentase 15,7% yang diperkirakan 45% diantaranya

merupakan tindakan laparatomi.

Di RSUPN Cipto Mangunkusumo Indonesia sebanyak 18,4 % pasien yang

menjalani operasi laparatomi non-kardiak mengalami komplikasi paru pasca

operasi (Post-operative Pulmonary Complication/PPC) yang terdiri atas 12,9%

mengalami komplikasi gagal napas dan 8,4% mengalami komplikasi pneumonia

pasca operasi (Rumoning, 2018). Dari 485.850 pasien yang menjalani

pembedahan, sebanyak 4.038 (0.7%) diantaranya mengalami kematian, dengan

penyebab terbanyak akibat adanya kondisi komorbid pasien tersebut (1:95),

1
2

faktor kesalahan pembedahan (1:420), dan kesalahan anestesi (1:2680). Insiden

komplikasi paru pasca operasi (postoperative pulmonary complications – PPC)

cukup tinggi dengan angka bervariasi dari 2 hingga 19% (Adi, 2014).

Berdasarkan data yang didapat oleh peneliti di Rumah Sakit Umum Daerah

Meuraxa Kota Banda Aceh, didapatkan jumlah pasien dengan laparatomi selama

Januari sampai dengan Desember 2019 sebanyak 209 pasien (Medical Record,

2019).

Pembedahan dengan menggunakan anestesi umum juga mempunyai efek

negatif. Salah satunya adalah dapat menimbulkan penumpukan sekret di dalam

tenggorokan dan mikroorganisme mudah sekali masuk ke dalam jalan nafas dan

paru-paru karena selama tidak sadar. Refleks batuk untuk melindungi jalan nafas

tidak lagi memadai, bahkan hilang akibat dari efek obat anastesinya. Selain itu

faktor imobilitas yang biasa dijumpai pada pasien setelah operasi dapat

menyebabkan pengumpulan sekret pada jalan nafas dan paru-paru yang dapat

menyebabkan peningkatan kolonisasi bakteri serta menutup sebagian jalan udara

yang kecil sehingga menyebabkan ventilasi menjadi tidak adekuat dan gangguan

pernafasan yang mengakibatkan hipoventilasi, hiperkapnea dan hipoksemia.

Napas dalam dapat membuka kembali jalan nafas yang kecil ini dan dapat

menimbulkan relaksasi pada pasien selain itu batuk juga memudahkan

pembuangan sekresi pernafasan (Rondhianto, 2016).

Komplikasi Paru Pasca Operasi (Post-operative Pulmonary

Complication/PPC) merupakan penyebab utama peningkatan morbiditas,

mortalitas, lama perawatan dan biaya. Angka kejadian ini berbeda bergantung
3

operasi apa yang dijalani oleh pasien. Beberapa studi telah meneliti faktor-faktor

yang berkaitan dengan kejadian PPC antara lain usia lanjut, durasi operasi,

lokasi tumor yang proksimal, perdarahan, penggunaan ventilasi mekanik pasca

operasi, penurunan kesadaran pasca operasi, riwayat penyakit paru kronik dan

riwayat merokok. Komplikasi Paru Pasca Operasi diantaranya terdapat pada

komplikasi gagal nafas dan pneumonia (Rumoning, 2018).

Angka kejadian komplikasi paru akibat tindakan laparatomi perlu

dilakukan pencegahan. Salah satu program pencegahan komplikasi paru adalah I

COUGH yang diperkenalkan oleh Cassidy pada tahun 2013. Program I COUGH

meliputi mobilisasi dini, latihan paru-paru, kebersihan mulut dan pendidikan

untuk mengurangi komplikasi pasca operasi.

Untuk menggambarkan I COUGH singkatan dari Incentive spirometry,

proses yang terjadi pada saat melakukan latihan insentif spirometri dapat

meningkatkan fungsi paru. Coughing dan deep breathing, Napas dalam dan

batuk efektif dilakukan untuk menghindari komplikasi pernafasan pasca bedah

serta meningkatkan fungsi ventilasi pada paru (Rondhianto, 2016). Oral hygiene

(perawatan menyikat gigi dan menggunakan obat kumur dua kali sehari).

Understanding (pendidikan pasien dan keluarga). Getting out of bed keluar dari

tempat tidur sering (minimal 3 kali sehari), Komplikasi dari lamanya tirah baring

salah satunya perubahan pada paru akan terjadi atelektasis dan pneumonia

(Hendra, 2011). Dan Head-of-bed elevation, elevasi kepala 30 derajat dapat

memperbaiki ventilasi dan menurunkan resiko aspirasi pada pasien dengan

ventilasi mekanik.
4

Hal tersebut didukung oleh Widiastuti (2015) mengatakan bahwa latihan

nafas dalam meningkatkan fungsi paru, hal ini di lihat dari perbedaan hasil yang

signifikan pada pengukuran tekanan darah, denyut jantung, frekuensi pernafasan

serta saturasi oksigen. Latihan batuk efektif juga memberikan pengaruh

terhadap suhu, kondisi batuk dan frekuensi pernafasan, dapat di lihat pada

penelitian (Arifuddin, 2017) yaitu ada pengaruh yang signifikan sebelum dan

sesudah dilakukan latihan batuk efektif dengan Suhu nilai P Value = 0,009 (p <

0,05), kondisi batuk dengan nilai P Value = 0,006 (p < 0,05), dan frekuensi nafas

dengan nilai P Value = 0,000 (p < 0,05).

Pasien pasca operasi memerlukan perawatan yang maksimal untuk

mempercepat pengembalian fungsi tubuh. Hal ini dilakukan segera setelah

operasi dengan latihan napas dan batuk efektif serta mobilisasi dini. Kebanyakan

dari pasien masih mempunyai kekhawatiran kalau tubuh digerakkan pada posisi

tertentu pasca pembedahan akan mempengaruhi luka operasi yang masih belum

sembuh yang baru saja selesai dikerjakan. Padahal tidak sepenuhnya masalah ini

perlu dikhawatirkan, bahkan justru hampir semua jenis operasi membutuhkan

mobilisasi atau pergerakan badan sedini mungkin asalkan rasa nyeri dapat

ditahan dan keseimbangan tubuh tidak lagi menjadi gangguan (Majid, 2011).

Berdasarkan uraian permasalahan diatas penulis tertarik untuk melakukan

literature review dengan judul “Keefektifan Program I COUGH Terhadap

Fungsi Paru Pada Pasien Pasca Operasi Laparatomi”.


5

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan sebelumnya, maka rumusan

masalah dalam tinjauan literatur adalah “Bagaimana Keefektifan Program

I COUGH Terhadap Fungsi Paru Pada Pasien Pasca Operasi Laparatomi”.

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk melakukan kajian secara mendalam melalui

tinjauan literatur bagaimana keefektifan program I COUGH terhadap fungsi paru

pada pasien pasca operasi laparatomi.

D. Manfaat Penelitian

Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai

berikut :

1. Manfaat Teoritis

Hasil tinjauan literatur ini diharapkan dapat menjadi salah satu referensi

untuk keefektifan program I COUGH terhadap fungsi paru pada pasien pasca

operasi laparatomi.

2. Manfaat Praktis

Hasil tinjauan literatur ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi

pasien dan keluarga, perawat dan tenaga kesehatan lainnya dalam merawat

pasien pasca operasi laparatomi.


6

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Program I COUGH

1. Pengertian Program I COUGH

Program I COUGH adalah program perawatan paru yang meliputi

mobilisasi dini, latihan paru-paru, kebersihan mulut dan pendidikan untuk

mengurangi komplikasi pasca operasi (Cassidy, 2013). Program pencegahan

pneumonia terstandarisasi mencapai pengurangan substansial dan

berkelanjutan dalam insiden pneumonia pasca operasi di bangsal bedah, adopsi

yang lebih luas dapat meningkatkan hasil pasca operasi dan mengurangi biaya

perawatan kesehatan secara keseluruhan (Kazaure, 2014).

Tujuan program I COUGH yaitu untuk merancang, menerapkan, dan

menentukan keefektifan rangkaian intervensi untuk mengurangi komplikasi

paru pasca operasi. Setelah meninjau kembali tentang komplikasi paru

postoperatif dan pencegahannya, program ini bertujuan untuk menciptakan

program perawatan paru sederhana yang murah yang dapat dengan mudah

dipahami dan diingat oleh pasien, keluarga pasien. Program perawatan paru-

paru ini adalah untuk memasukkan latihan ekspansi paru-paru, mobilisasi

pasien yang dini dan sering, kebersihan mulut, dan pendidikan sebagai

komponen kunci dari strategi untuk mengurangi komplikasi pasca operasi.

Untuk kemudahan mengingat, perwakilan keperawatan di kelompok kerja


7

perawatan paru-paru merekomendasikan sebuah akronim untuk memasukkan

komponen utama program ini, dan menciptakan I COUGH untuk

menggambarkan:

a. Incentive spirometri, (penggunaan spirometri insentif).

b. Coughing dan deep breathing, (batuk efektif dan tarik nafas dalam).

c. Oral hygiene (perawatan menyikat gigi dan menggunakan obat kumur dua

kali sehari).

d. Understanding (pendidikan pasien dan keluarga).

e. Getting out of bed (keluar dari tempat tidur sering, minimal 3 kali sehari).

f. Head-of-bed elevation (elevasi kepala 30 derajat dapat memperbaiki

ventilasi) (Cassidy, 2013).

Meskipun tidak termasuk dalam akronim I COUGH, aspek penting lain

dari program ini adalah pengendalian nyeri pasca operasi. Meskipun tidak

distandarisasi dengan cara yang sama seperti intervensi paru-paru, bahwa

pengendalian nyeri yang memadai sangat penting untuk tujuan mobilisas.

2. Program I COUGH Penekanan pada Pendidikan

Program ini penekanan pada Pendidikan, Inisiatif utama program

COUGH adalah pendidikan pasien, keluarga, perawat, dan dokter. Pendidikan

pasien dan keluarga dimulai di klinik dokter bedah dan klinik penilaian pra

operasi. Penggunaan spirometri insentif yang tepat ditunjukkan dan diajarkan

di lingkungan pra operasi. Prinsip-prinsip ini diperkuat di area holding

preoperative segera sebelum operasi. Pasien diinstruksikan lagi tentang elemen


8

I COUGH setelah operasi mereka oleh staf perawat dan oleh ahli bedah. Upaya

kelembagaan ini didasarkan pada pasien dan keluarga mereka untuk

memahami, mengantisipasi, dan menghargai standar perawatan pasca operasi

yang tinggi, termasuk mobilisasi dini (Cassidy, 2013).

3. Pembahasan Tentang Program I COUGH

Pneumonia dan insufisiensi paru pasca operasi relatif umum di antara

pasien bedah, dan jelas bahwa mereka sangat melemahkan dan mahal.

Meskipun demikian, ada kekurangan data mengenai perawatan paru

nonventilator. Karena pedoman praktik untuk perawatan paru pasca operasi

yang tidak berventilasi terbatas, tinjauan strategi yang sistematis untuk

mengurangi komplikasi paru dilakukan oleh American College of Physicians

namun ternyata kualitas bukti kurang untuk sebagian besar intervensi. Di

antara strategi yang umum digunakan, beberapa bukti ada untuk modalitas

ekspansi paru-paru pasca operasi, seperti spirometri insentif, latihan

pernapasan dalam-dalam, dan tekanan saluran nafas positif yang kontinyu,

menunjukkan bahwa intervensi ini dapat mengurangi risiko morbiditas paru

yaitu:

a. Spirometri insentif

1) Pengertian

Terapi latihan pernafasan dengan menggunakn alat ukur untuk

menambah kemampuan inspirasi pernafasan pasien. Napas dalam dan

spirometri insentif salah satu faktor utama yang berkontribusi terhadap


9

komplikasi pasca operasi dan komplikasi terkait adalah berkurangnya

volume paru-paru akibat pola pernapasan yang dangkal dan tanpa

napas yang disebabkan oleh efek anestesi umum, analgesia, dan nyeri.

Ajari pasien untuk mengambil tiga atau empat napas dalam-dalam

setiap 5 hingga 10 menit. Perluasan paru-paru penuh adalah penting,

dan setiap upaya harus dilakukan untuk meningkatkan kemampuan

pasien untuk mencapainya. Napas dalam ini merangsang pelepasan

surfaktan dari sel alveolar tipe II, yang mendukung ekspansi alveoli

(Urden, 2014). 

Napas dalam dan IS membantu dengan pembersihan sekresi. Mereka

juga mengembangkan pelepasan dan distribusi surfaktan yang

mengurangi tegangan permukaan alveolar dan mendukung ekspansi

ulang alveolar setelah operasi (McCance, 2014). Napas dalam juga

membuka pori-pori Kohn yang mengarah ke ventilasi alveoli yang

runtuh dari alveoli yang berventilasi baik. IS juga mengembangkan

pernapasan dalam, ekspansi paru-paru, dan pertukaran gas yang lebih

baik. Ini harus dilakukan 10 kali setiap jam sambil bangun dalam

kombinasi dengan latihan pernapasan dalam. Kapan pun

memungkinkan, pasien harus diajari cara menggunakan spirometer

insentif, serta latihan batuk dan pernapasan dalam, sebelum operasi

(Freitas, 2012).

2) Prosedur

a) Cuci tangan.
10

b) Beri tahu pasien.

c) Persiapan pasien dan beri posisi yang nyaman (lebih diutamakan

posisi duduk atau semi powler).

d) Instruksikan pasien untuk meletakkan selang spirometri di mulut

dan tarik nafas dalam selama 3 detik.

e) Instruksikan pasien untuk expansi secara lambat dan bernafas

secara normal kembali.

f) Instruksikan pasien untuk nafas dalam kembali dan usahakan

agar kekuatan inspirasi bertambah 100 ml–250 ml tiap kali nafas

dalam.

g) Setelah volume maksimal tercapai instruksikan pasien untuk

latihan nafas dalam 10 kali. Anjurkan pasien untuk latihan

minimal 3 kali/hari.

b. Batuk efektif dan nafas dalam

a) Pengertian

Latihan mengeluarkan sekret yang terakumulasi dan mengganggu

disaluran nafas dengan cara batuk. Batuk efektif membersihkan jalan

napas sekresi. Selama periode pemulihan postanesthesia awal dan

menengah, penggunaan teknik cascade cough adalah manuver yang

sangat efektif untuk mengembangkan pembersihan jalan nafas dari

sekresi kental.  Ajari pasien untuk mengambil napas dalam-dalam

yang lambat, tahan napas selama 2 detik, kemudian lakukan

serangkaian batuk dari awal hingga akhir ekspirasi, diikuti dengan


11

bernapas perlahan dan istirahat. Teknik ini paling efektif ketika

dilakukan dalam posisi duduk. Manajemen rasa sakit yang memadai

dan pembedahan sayatan memudahkan batuk. Dalam kasus di mana

pasien tidak dapat duduk di kursi atau tegak di tempat tidur, letakkan

pasien dalam posisi berbaring miring dengan pinggul dan lutut

tertekuk, atau dalam posisi semi-Fowler dengan kepala dan lengan

ditopang dengan bantal dan bantal. lutut tertekuk. Posisi-posisi

alternatif ini mengurangi ketegangan perut dan masih memungkinkan

gerakan diafragma sepenuhnya, meningkatkan efektivitas batuk

(Urden, 2014). Pasien pasca operasi berisiko tinggi dapat mengambil

manfaat dari penggunaan perangkat yang membantu dalam

membersihkan sekresi.

b) Prosedur

a) Menjaga privasi pasien.

b) Mempersiapkan pasien.

c) Meminta pasien meletakkan satu tangan di dada dan 1 tangan di

abdomen.

d) Melatih pasien melakukan nafas perut (menarik nafas dalam

melalui hidung hingga 3 hitungan, jaga mulut tetap tertutup).

e) Meminta pasien merasakan mengembangnya abdomen (cegah

lengkung pada punggung).

f) Minta pasien menahan nafas 3 hitungan.


12

g) Meminta menghembuskan nafas perlahan dalam 3 hitungan

(lewat mulut bibir seperti meniup).

h) Meminta pasien merasakan mengempisnya abdomen dan

kontraksi dari otot.

i) Memasang perlak pengalas dan bengkok (dipangkuan pasien bila

duduk, atau didekat pasien bila tidur miring.

j) Meminta pasien untuk melakukan nafas dalam 2 kalil, yang ketiga

inspirasi, tahan nafas, dan batukkan dengan kuat.

k) Menampung lendir dalam sputum pot.

l) Merapikan pasien.

c. Oral hygiene

1) Pengertian oral hygiene

Oral hygiene adalah tindakan keperawatan yang dilakukan pada

pasien yang tidak mampu memenuhi kebutuhan untuk merawat gigi

dan mulut secara mandiri (pasien yang tidak sadar) maupun pasien

yang mampu melakukan sendiri. Perawatan menyikat gigi dan

menggunakan obat kumur dua kali sehari.

2) Prosedur oral hygiene dengan sikat gigi

a) Mencuci tangan.

b) Memberikan salam dan menyapa nama pasien.

c) Menjelaskan tujuan dan prosedur pelaksanaan.

d) Menanyakan persetujuan dan kesiapan klien.


13

e) Menjaga privasi dan memasang perlak dan alasnya/handuk

dibawah dagu pasien.

f) Memakai sarung tangan

g) Membantu pasien untuk berkumur sambil menyiapkan bengkok.

h) Membantu menyiapkan sikat gigi dan pastanya.

i) Membantu pasien menyikat gigi bagian depan, samping dan

dalam.

j) Membantu pasien untuk berkumur sambil menyiapkan bengkok.

k) Mengulangi membantu pasien menyikat gigi bagian depan,

samping dan dalam.

l) Membantu pasien untuk berkumur sambil menyiapkan bengkok.

m) Mengeringkan bibir menggunakan tissue.

n) Merapikan pasien dan memberikan posisi senyaman mungkin.

o) Membereskan dan kembalikan alat ke tempat semula.

p) Mencuci tangan.

3) Prosedur oral hygiene dengan spatel lidah

a) Mencuci tangan.

b) Memberikan salam dan menyapa nama pasien.

c) Menjelaskan tujuan dan prosedur pelaksanaan.

d) Menanyakan persetujuan dan kesiapan klien.

e) Menjaga privasi dan memasang perlak dan alasnya/handuk

dibawah dagu pasien.

f) Memakai sarung tangan.


14

g) Letakkan perlak disalah satu sisi wajah diatas bantal.

h) Letakkan handuk di bawah dagu.

i) Miringkan kepala pasien kesalah satu sisi.

j) Letakkan bengkok dibawah dagu.

k) Periksa gigi dengan menggunakan tongue spatel dan senter.

l) Berikan air untuk berkumur.

m)Gosok gigi pasien dengan gerakan ke ataske bawah dan gerakakan

kearah luar dalam untuk gigi dalam.

n) Berikan air untuk berkumur.

o) Bersihkan sisa kotoran yang masih menempel pada gusi dengan

menggunakan tongue spatel.

p) Keringkan bibir dengan tissue.

q) Angkat handuk dan berikan pelembab bibir.

r) Cuci tangan.

d. Pendidikan pasien dan keluarga

Pasien dan keluarga mengerti cara perawatan pada pencegahan penyakit

secara benar dan bisa melakukan dengan mandiri (Rondhianto, 2016).

e. Mobilisasi dan ambulasi dini

1) Pengertian

Mobilisasi setelah operasi yaitu proses aktivitas yang dilakukan

setelah operasi dimulai dari latihan ringan diatas tempat tidur sampai

dengan bisa turun dari tempat tidur, berjalan ke kamar mandi dan

berjalan ke luar kamar. Mobilisasi pasien meningkatkan pergerakan


15

sekresi di paru-paru, yang merangsang batuk dan pernapasan dalam

dan mengarah pada pembersihan sekresi kental dan produksi

surfaktan, mengurangi ketegangan permukaan alveolar dan atelektasis.

Ini juga berkontribusi pada ekspansi paru-paru dan mengurangi

hipoventilasi pada pasien pasca operasi. Dalam program pemulihan

jalur cepat pasca operasi tidak ada konsensus tentang cara

mendefinisikan ambulasi dini (Kibler, 2012). Namun, tergantung pada

pembedahan dan kondisi pasien, ambulasi dini dapat dimulai dengan

aman paling cepat 4 hingga 8 jam setelah pemulihan dari anestesi

umum.

2) Tahap-tahap mobilisasi

a) Setelah operasi, pada 6 jam pertama pasien harus tirah baring

dahulu. Mobilisasi dini yang bisa dilakukan adalah menggerakkan

lengan, tangan, menggerakkan ujung jari kaki dan memutar

pergelangan kaki, mengangkat tumit, menegangkan otot betis

serta menekuk dan menggeser kaki.

b) Setelah 6-10 jam, pasien diharuskan untuk dapat miring kekiri

dan kekanan mencegah trombosis dan trombo emboli.

c) Setelah 24 jam pasien dianjurkan untuk dapat mulai belajar untuk

duduk.

d) Setelah pasien dapat duduk, dianjurkan pasien belajar berjalan.

f. Elevasi kepala

1) Pengertian
16

Elevasi kepala adalah menaikkan kepala dari tempat tidur

sekitar 30 derajat. Posisi pasien yang lurus mengembangkan dan

memfasilitasi ekspansi paru-paru, mempertahankan jalan napas yang

tidak terhalang, mencegah aspirasi, dan mendukung pembersihan jalan

napas. Pemindahan posisi teratur juga berkontribusi pada mobilisasi

sekresi yang merangsang batuk dan pernapasan dalam serta

mengurangi atelektasis. Elevasi kepala 30 derajat dapat memperbaiki

ventilasi dan menurunkan resiko aspirasi pada pasien dengan ventilasi

mekanik (Urden, 2014). 

2) Prosedur

a) Memberikan salam.

b) Menjelaskan tujuan tindakan.

c) Menanyakan kesiapan pasien.

d) Mencuci tangan.

e) Mengangkat bagian kepala tempat tidur 15-30 derajat dengan

menggunakan blok penganjal tempat tidur atau tempat tidur yang

bisa di stel.

f) Merapikan pasien.

Menurut Wren (2010) menggambarkan program perawatan paru yang

membantu mengurangi kejadian komplikasi paru pasca operasi pada

populasi Rumah Sakit Veteran. Program mereka didasarkan pada intervensi

keperawatan pasca operasi termasuk spirometri insentif, kebersihan mulut,

ambulasi, elevasi kepala-tempat tidur, dan pendidikan dokter dan staf


17

lingkungan yang terus-menerus. Bersama-sama, strategi ini berhasil, namun

ini merupakan satu-satunya penelitian untuk mengkarakterisasi dan

menggambarkan hasil program perawatan paru pasca operasi yang

sistematis dan standar pada pasien bangsal bedah non-ICU. Pedoman umum

lainnya telah diajukan oleh Centers for Disease Control and Prevention ini

dan pedoman dari Wren merekomendasikan modalitas perluasan paru-paru

dan mobilisasi dini.

Setelah diperkenalkannya I COUGH, seperangkat standarisasi yang

telah ditetapkan, beserta persyaratan dokumentasi keperawatan,

menunjukkan bahwa pasien dan keluarga mereka dididik oleh perawat dan

oleh ahli bedah sebagai praktik rutin di banyak tempat sehingga mobilisasi

sekarang terjadi secara standar. Setelah mengamati bahwa prinsip-prinsip I

COUGH telah mulai mengurangi kejadian komplikasi paru pasca operasi di

antara pasien. Program ini telah melakukannya dengan melibatkan tim

multidisiplin dalam semua tahap perencanaan dan pengembangan. Dengan

cara ini, menemukan bahwa keterlibatan perwakilan dari masing-masing

disiplin secara signifikan meningkatkan penerimaan program I COUGH dan

menanamkan rasa komitmen dan kebanggaan yang tidak dapat dicapai

dengan hanya melembagakan dan menerapkan sebuah kebijakan tanpa

masukan dari semua pihak yang terlibat. Manajer perawat sangat kritis

terhadap keberhasilan program ini dengan mendorongnya di tingkat unit

(Cassidy, 2013).
18

B. Konsep Komplikasi Paru Paska Operasi

1. Pengertian Fungsi Paru

Paru adalah salah satu organ vital yang memiliki fungsi utama sebagai

alat respirasi dalam tubuh manusia, paru secara spesifik memiliki peran untuk

terjadinya pertukaran oksigen (O2) dengan karbon dioksida (CO2). Pertukaran

ini terjadi pada alveolus di paru melalui kapiler (Sherwood, 2011).

Fungsi utama dari paru-paru adalah untuk pertukaran gas antara darah

dan atmosfer. Pertukaran gas tersebut bertujuan untuk menyediakan oksigen

bagi jaringan dan mengeluarkan karbon dioksida. Kebutuhan oksigen dan

karbon dioksida terus berubah sesuai dengan tingkat aktivitas dan metabolisme

seseorang, akan tetapi pernafasan harus tetap dapat berjalan agar pasokan

kandungan oksigen dan karbon dioksida bisa normal (Jayanti, 2013).

Fungsi paru adalah sebagai alat pernapasan yaitu melakukan ventilasi

pertukaran udara yang bertujuan menghirup masuknya udara dari atmosfer

kedalam paru-paru (inspirasi) dan mengeluarkan udara dari alveolar ke luar

tubuh (ekspirasi). Fungsi pernapasan ada dua yaitu sebagai pertukaran gas dan

pengaturan keseimbangan asam basa. Pernapasan dapat berarti pengangkutan

oksigen ke sel dan pengangkutan karbondioksida dari sel kembali ke atmosfer

(Rahajoe, 2010).

2. Mekanisme Pernafasan

Menurut Sari (2015) Ventilasi merupakan proses pergerakan udara

keluar-masuk paru secara berkala, dimana terjadi pertukaran O2 dan CO2


19

diantara darah kapiler paru dengan udara atmosfer segar. Ventilasi secara

mekanis dilaksanakan dengan mengubah secara berselang-seling arah gradien

tekanan untuk aliran udara antara atmosfer dan alveolus melalui ekspansi dan

penciutan berkala paru (Gambar 2.1). Kontraksi dan relaksasi otot-otot

inspirasi (terutama diafragma) yang berganti-ganti secara tidak langsung akan

menimbulkan inflasi dan deflasi periodik paru dengan cara berkala

mengembang kempiskan rongga thorak, dan paru secara pasif mengikuti

gerakannya. Kontraksi aktif dari m. diafragma dan m. intercostalis externus

meningkatkan volume rongga thorak, sehingga menyebabkan tekanan

intrapleura yang sekitar 2,5 mmHg disaat mulainya inspirasi, menurun sekitar

-6 mmHg dan paru ditarik ke posisi yang lebih diperluas. Tekanan dalam

saluran pernapasan menjadi sedikit negatif dan pada akhirnya udara mengalir

ke dalam paru.

Gambar 2.1 Mekanisme Ventilasi Paru (Sherwood, 2011)

Laju aliran udara berbanding terbalik terhadap gradien resistensi

saluran pernapasan. Hal ini dikarenakan resistensi saluran pernapasan, yang

bergantung pada kaliber saluran pernapasan, dalam keadaan normal sangat

rendah, dan laju aliran udara biasanya bergantung pada gradien tekanan yang
20

tercipta antara alveolus dan atmosfer. Apabila resistensi pernapasan

meningkat secara patologis akibat dari penyakit paru obstruktif kronik,

gradien tekanan harus juga meningkat melalui peningkatan aktivitas otot

pernapasan agar laju aliran udara konstan.

Pada saat inspirasi dalam, m. scalenus dan m. sternocleidomastoideus

berkontraksi sebagai otot pernapasan tambahan, membantu mengangkat

rongga dada, menyebabkan tekanan intrapleura berkurang sampai -30 mmHg,

dan menyebabkan derajat inflasi paru yang lebih besar. Paru dapat diisi

sampai > 5,5 liter dengan usaha inspirasi maksimum atau dikosongkan

sampai sekitar 1 liter dengan ekspirasi maksimum. Volume paru bervariasi

dari sekitar 2 sampai 2,5 liter karena volume udara tidal rata-rata sebesar 500

ml keluar masuk paru tiap kali seseorang bernapas. Volume dan kapasitas

paru merupakan gambaran fungsi ventilasi sistem pernapasan. Dengan

mengetahui besarnya volume dan kapasitas paru dapat diketahui besarnya

kapasitas ventilasi maupun ada tidaknya kelainan fungsi paru.

a. Volume tidal

Merupakan jumlah udara yang masuk ke dalam paru setiap kali inspirasi

atau ekspirasi pada setiap pernapasan normal. Nilai rerata pada orang sehat

kondisi istirahat adalah 500 ml.

b. Volume cadangan inspirasi

Merupakan volume udara tambahan pada inspirasi maksimal melebihi

volume tidal, digunakan pada saat aktivitas fisik. Volume cadangan

inspirasi dihasilkan oleh adanya kontraksi maksimal diafragma, musculus


21

intercostalis eksternus dan otot inspirasi tambahan. Nilai rata-rata pada

orang sehat sekitar 3.000 ml.

c. Volume cadangan ekspirasi

Merupakan volume udara tambahan yang dapat secara aktif dikeluarkan

dari dalam paru melalui kontraksi otot ekspirasi secara maksimal setelah

ekspirasi biasa. Nilai rata-rata pada orang sehat sekitar 1.000 ml.

d. Volume residual

Merupakan volume udara minimal yang tersisa di dalam paru setelah

ekspirasi maksimum. Nilai rata-rata pada orang sehat sekitar 1.200 ml.

e. Kapasitas vital

Merupakan volume udara maksimal yang dapat dikeluarkan selama satu

kali bernapas setelah inspirasi maksimal, bermanfaat untuk menilai

kapasitas fungsional paru. Subyek mula-mula melakukan inspirasi

maksimum, kemudian melakukan ekspirasi maksimum. Nilai rata-rata

pada orang sehat sekitar 4.500 ml.

f. Kapasitas inspirasi

Merupakan volume udara maksimal yang dapat dihirup pada akhir

ekspirasi biasa. Nilai rata-rata pada orang yang sehat adalah sekitar 3.500

ml.

g. Kapasitas residual fungsional

Merupakan volume udara dalam paru pada akhir ekspirasi pasif normal.

Nilai rata-rata pada orang sehat sekitar 2.200 ml.

h. Kapasitas total paru


22

Merupakan volume udara dalam paru sesudah inspirasi maksimal.

Kapasitas total paru merupakan penjumlahan dari keempat volume paru

atau penjumlahan dari kapasitas vital dengan volume residual Nilai rata-

rata pada orang sehat sekitar 5.700 ml (Sari, 2015).

3. Komplikasi Paru Pasca Operasi

Menurut Miskovic (2017) komplikasi paru pasca operasi atau sering

disebut PPC (Postoperative Pulmonary Complication) sering terjadi, hal ini

menyebabkan bertambahnya biaya perawatan, dan meningkatkan angka

kematian pasien. Perubahan pada sistem respirasi terjadi saat induksi anestesi

umum menyebabkan dorongan pernafasan dan fungsi otot berubah, volume

paru berkurang, dan atelektasis berkembang. Ada beberapa komplikasi paru

yang didapat pasca bedah yaitu infeksi pernafasan, kegagalan pernafasan, efusi

pluera, atelektasis, pneumotoraks, bronkospasme, pneumonitis aspirasi,

pneumonia, gagal nafas akut, tracheobronchitis, edema paru, eksaserbasi

penyakit paru yang sudah ada embolisme paru dan kematian.

Salah satu komplikasi paru adalah pneumonia. Pneumonia terjadi karena

Sumbat lendir pasca operasi dan penurunan produksi surfaktan berhubungan

langsung dengan agen anestesi, hipoventilasi, imobilitas, batuk tidak efektif,

dan riwayat merokok yang luas, yang mengarah pada atelektasis. Pasien dapat

mengembangkan atelektasis penyerapan dan gangguan surfaktan, yang


23

mengarah pada pengurangan tegangan permukaan alveolar. Karena efek agen

anestesi, oksigen pekat, dan posisi selama operasi. Akibatnya, ekspansi paru

terganggu, dan runtuhnya alveoli tergantung terjadi (McCance, 2014).

1. Manifestasi Klinis Pneumonia

Menurut Warganegara (2017), Manifestasi klinik dari pneumonia adalah

demam, menggigil, berkeringat, batuk (produktif, atau non produktif, atau

produksi sputum yang berlendir dan purulent), sakit dada karena pleuritis

dan sesak. Sering berbaring pada posisi yang sakit dengan lutut bertekuk

karena nyeri dada. Pada pemeriksaan fisik didapati adanya retraksi dinding

dada bagian bawah saat bernafas, tachypneu, meningkat dan menurunnya

taktil fremitus, perkusi redup sampai pekak akibat terjadi konsolidasi atau

cairan pada pleura, ronchi, suara nafas brochial, dan peural friction rub.

2. Etiologi pneumonia pasca operasi

Pasien bedah cenderung mengalami infeksi saluran pernapasan bawah

karena kombinasi dari:

a. Mengurangi ventilasi dada - mengurangi mobilitas pada pasien yang

terbaring di tempat tidur menghasilkan ketidakmampuan untuk

sepenuhnya ventilasi paru-paru mereka, yang menyebabkan akumulasi

sekresi cairan yang kemudian menjadi terinfeksi

b. Debilitasi - banyak pasien yang menjalani operasi cenderung sakit

atau memiliki beberapa komorbiditas, membahayakan sistem

kekebalan tubuh mereka dan predisposisi infeksi paru-paru.


24

c. Intubasi - pasien yang menjalani operasi besar mungkin perlu dirawat

di ICU dan memerlukan intubasi dan ventilasi, faktor risiko utama

untuk HAP (Hospital-Acquired Pneumonia).

d. Perubahan komensal - mikroflora lingkungan rumah sakit akan

bervariasi dibandingkan dengan apa yang biasanya pasien terpapar,

juga tidak memiliki kekebalan terhadap patogen umum untuk HAP

(Hospital-Acquired Pneumonia) sebagian besar kasus pneumonia

pasca operasi disebabkan oleh bakteri gram-negatif, aerobik termasuk

pneumococcus, Pseudomonas, Klebsiella. dan spesies

Enterobacter. Berkenaan dengan bakteri gram positif, Staphyloccocus

aureus yang resisten methicillin adalah penyebab paling umum. Yang

lebih meresahkan adalah meningkatnya resistensi terhadap obat

antimikroba, sehingga membuat intervensi dan pengobatan semakin

sulit (Chughtai, 2017).

4. Faktor-Faktor Resiko Komplikasi Paru Pasca Operasi

Faktor resiko komplikasi paru pasca operasi menurut Miskovic, (2017) yaitu:

a. Usia

Usia lanjut, bahkan ketika disesuaikan dengan komorbiditas, merupakan

prediksi PPC. Berbagai penelitian telah menemukan usia> 60 atau 65 tahun

menjadi faktor risiko. Stratifikasi usia yang lebih rinci menunjukkan suatu

peningkatan risiko PPC seiring bertambahnya usia. Dibandingkan dengan

pasien <60 tahun. Studi-studi ini belum dipertimbangkan kelemahan saat


25

menyesuaikan usia. Pasien yang lebih tua lebih cenderung menjadi lemah,

dan kelemahan juga telah terbukti berhubungan dengan PPC, bahkan ketika

disesuaikan dengan usia.

b. Jenis operasi

Pasien berisiko tinggi terkena PPC setelah jenis tertentu surgery.

Dibandingkan dengan 'jenis operasi lain', kejadian pneumonia secara

signifikan lebih tinggi setelah perbaikan aneurisma aorta abdominal, thorak,

perut bagian atas, atau operasi leher, bedah saraf, dan vaskular. Sedangkan

jenis operasi lain termasuk telinga, hidung, dan tenggorokan, operasi perut

bagian bawah, urologis, pembuluh darah perifer, dan tulang belakang

sebagai pembanding kolektif.

Prosedur perut dan pembuluh darah telah berulang kali dilakukan terbukti

berisiko tinggi untuk pengembangan PPC. Laparotomi dengan sayatan perut

bagian atas mungkin memiliki hingga 15 kali lipat risiko PPC dibandingkan

dengan sayatan perut bagian bawah. Operasi darurat dibandingkan dengan

operasi elektif memberikan dua hingga enam kali lipat peningkatan risiko

untuk PPC.

c. Ko-morbiditas

Skor ASA II atau lebih tinggi atau diagnosis obstruktif kronis penyakit paru-

paru (COPD), gagal jantung kongestif, atau kronis penyakit hati adalah

faktor risiko independen untuk PPCs. Sebuah meta-analisis baru-baru ini

menunjukkan bahwa pasien dengan OSA adalah lebih dari dua kali lebih

mungkin dibandingkan mereka yang tidak memiliki OSA untuk


26

mengembangkan akut kegagalan pernafasan setelah operasi non-jantung.

Ko-morbiditas dapat dimodifikasi sampai batas tertentu dalam hal

optimisasi medis pra operasi dimungkinkan. Obstruktif kronis penyakit

paru-paru dan asma harus dirawat secara optimal dengan bronkodilator dan

steroid inhalasi atau oral.

d. Merokok

Merokok adalah faktor risiko untuk PPC. Sebuah meta-analisis

membandingkan saat ini dan mantan perokok (untuk > 4 minggu)

menunjukkan penurunan PPC yang signifikan secara statistik untuk mantan

perokok. Empat kohort retrospektif besar penelitian telah menggunakan

American College of Surgeons National Database Surgical Quality

Improvement Program (NSQIP) untuk mengumpulkan informasi tentang

komplikasi pasca operasi saat ini, sebelumnya (penghentian> 1 tahun), dan

tidak pernah perokok menjalani mayor operasi. Perokok saat ini lebih

cenderung memiliki PPC dibandingkan dengan mantan perokok, yang pada

gilirannya lebih mungkin daripada mereka yang tidak pernah merokok, 88-

90 khususnya jika mereka merokok > 10 bungkus-tahun. Pada perokok

aktif, kejadian PPC meningkat secara bertahap dengan jumlah paket-tahun

yang dihisap secara signifikan jadi untuk> 20 paket-tahun.

e. Anestesi umum

Anestesi umum mengganggu banyak aspek fungsi pernapasan, dan karena

itu mungkin tampak jelas bahwa kejadian PPC dikurangi pada pasien yang

memiliki anestesi regional (RA) sentral atau perifer. Sifat prosedur bedah
27

yang mengharuskan GA serupa dengan yang tercantum di atas risiko tinggi

untuk mengembangkan PPC, yang orang mungkin berpikir akan

menjelaskan proporsi peningkatan risiko GA vs RA. Durasi operasi dan

anestesi > 2 jam secara meningkat lebih lanjut dengan meningkatnya waktu

operasi, menjadi tanpa > 2 jam dan ketika> 3 jam.

f. Ventilasi pelindung untuk pasien obesitas

Ada bukti beragam mengenai apakah pasien obesitas, sebagai kelompok

individu, berada pada peningkatan risiko PPC. Namun, karena perubahan

fisiologi pernapasan pada obesitas, terutama selama GA, strategi ventilasi

pelindung khusus disarankan, terutama untuk mengurangi atelektasis.

Volume pasut harus 6-8 ml/kg berdasarkan prediksi berat badan.

C. Konsep Laparatomi

1. Pengertian Laparatomi

Laparatomi merupakan prosedur pembedahan yang melibatkan suatu

insisi pada dinding abdomen hingga ke cavitas abdomen (Sjamsurihidayat,

2010). Laparatomi merupakan teknik sayatan yang dilakukan pada daerah

abdomen yang dapat dilakukan pada bedah digestif dan obgyn.

Adapun tindakan bedah digestif yang sering dilakukan dengan tenik

insisi laparatomi ini adalah herniotomi, gasterektomi, kolesistoduodenostomi,

hepatorektomi, splenoktomi, apendektomi, kolostomi, hemoroidektomi dfan

fistuloktomi. Sedangkan tindakan bedah obgyn yang sering dilakukan dengan

tindakan laparatomi adalah berbagai jenis operasi pada uterus, operasi pada
28

tuba fallopi, dan operasi ovarium, yang meliputi histerektomi, baik

histerektomi total, radikal, eksenterasi pelvic, salpingooferektomi bilateral

(Smeltzer, 2013).

2. Indikasi Laparatomi

Menurut Jitowiyono (2010) ada beberapa indikasi laparatomi yaitu trauma

abdomen (tumpul/ tajam) / ruptur hepar, peritonitis, perdarahan saluran

pencernaan, sumbatan pada usus halus dan usus besar, adanya masa pada

abdomen. Sedangkan menurut Sjamsurihidayat (2010), indikasi laparatomi

terdiri dari tumor perut, pankreatitis (radang pankreas), abses (area infeksi

lokal), adhesi (pita jaringan parut yang terbentuk setelah trauma atau operasi),

divertikulitis (radang struktur mirip kantung di dinding usus), perforasi usus,

kehamilan ektopik (kehamilan terjadi di luar rahim), benda asing (misalnya,

peluru pada korban tembak), pendarahan internal.

3. Jenis-Jenis Tindakan Laparatomi

Jenis- jenis pembedahan laparatomi menurut Jitowiyono (2010):

a. Midline incision, yaitu sayatan ke tepi dari garis tengah abdomen

b. Paramedian, yaitu sedikit ke tepi dari garis tengah (± 2,5 cm), panjang

(12,5 cm).

b. Transverse upper abdomen incision, yaitu insisi di bagian atas, misalnya

pembedahan colesistotomy dan splenektomy

c. Transverse lower abdomen incision, yaitu insisi melintang di bawah ± 4cm

diatas anterior spinal iliaka, misalnya: operasi appendictomy.


29

4. Komplikasi – Komplikasi Laparatomi

Komplikasi yang seringkali ditemukan pada pasien operasi laparatomi

berupa ventilasi paru tidak adekuat, gangguan kardiovaskuler (hipertensi,

aritmia jantung), gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, dan gangguan

rasa nyaman dan kecelakaan (Azis, 2010).

a. Tromboplebitis

Tromboplebitis post opersi biasanya timbul 7-14 hari setelah operasi.

Bahaya besar tromboplebitis timbul bila darah tersebut lepas dari dinding

pembuluh darah vena dan ikut aliran darah sebagai emboli ke paru-paru,

hati dan otak. Pencegahan tromboplebitis yaitu latihan kaki post operasi,

dan ambulatif dini.

b. Infeksi

lnfeksi luka sering muncul pada 36-46 jam setelah operasi. Organisme

yang paling sering menimbulkan infeksi adalah stapilokokus aureus,

organisme gram positif. Stapilokokus mengakibatkan pernanahan. Untuk

menghindari infeksi luka yang paling penting adalah perawatan luka

dengan mempertahankan aseptik dan antiseptik

c. Eviserasi

Eviserasi luka adalah keluarnya organ-organ dalam melalui insisi. Faktor

penyebab eviserasi adalah infeksi luka, kesalahan menutup waktu

pembedahan, ketegangan yang berat pada dinding abdomen sebagai akibat


30

dari batuk dan muntah. Komplikasi penyembuhan luka meliputi infeksi,

perdarahan, dehiscence dan eviscerasi (Sjamsurihidayat, 2010).

Menurut Gangwal (2018) komplikasi paru setelah laparatomi yaitu

termasuk pneumonia, atelektasis dan pernapasan kegagalan, merupakan

penyebab signifikan bagi pasien yang menderita, masa inap yang lama di

rumah sakit dan peningkatan angka kematian. Ada juga kasus atelektasis,

pneumonia, pneumonitis aspirasi, sindrom distres pernapasan akut, pleural

efusi, empiema, trakeobronkitis, dll.

5. Jenis Anastesi Pada Laparatomi

Pada pembedahan laparatomi umumnya jenis anastesi yang digunakan

adalah jenis anastesi umum inhalasi. Anastesi umum adalah suatu keadaan

tidak sadar yang bersifat sementara yang diikuti oleh hilangnya rasa nyeri di

seluruh tubuh akibat pemberian obat anestesia (Mangku G, 2010).

Anestesi umum inhalasi merupakan satu teknik anestesia umum yang

dilakukan dengan jalan memberikan kombinasi obat anastesia inhalasi yang

berupa gas dan atau cairan yang mudah menguap melalui alat/mesin anestesia

langsung ke udara. Jenis obat anastesi umum inhalasi, umumnya mengunakan

jenis obat seperti N2O, enfluran, isofluran, sevofluran yang langsung

memberikan efek hipnotik, analgetik serta relaksasi pada seluruh otot klien.

Umumnya konsentrasi yang diberikan pada udara inspirasi untuk pemberian

obat bius secara inhalasi adalah 2,0–3,0% bersama–sama dengan N2O dengan
31

efek lama penggunaan tergantung lama jenis operasi tindakan yang akan

dilakukan dan penggunaanya selalu dikombinasikan dengan obat lain yang

berkasiat sesuai dengan target trias anestesia yang ingin dicapai (Mangku G,

2010).

BAB III

METODELOGI PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah Literature Review atau

tinjauan pustaka, dengan menggunakan data dari beberapa jurnal ilmiah. Data

yang diperoleh dikompilasi, dianalisis, dan disimpulkan sehingga mendapatkan

kesimpulan mengenai studi literatur.

B. Kriteria Tinjauan Literatur

Adapun kriteria yang menjadi landasan pada studi literatur ini adalah

jurnal yang di publikasi menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa iInggris dari

tahun 2013-2017. Jenis publikasi yang akan menjadi acuan merupakan jurnal
32

original atau bukan merupakan hasil review dari peneliti lainnya. Tema isi

publikasi yang diambil pada studi literature ini adalah pencegahan komplikasi

paru pasca operasi sehingga tema publikasi yang akan dibahas juga berhubungan

dengan program I COUGH.

C. Metode Pencarian Literatur

Penelusuran literatur yang digunakan adalah google scholar dengan

menggunakan kata kunci yang terpilih yakni “I COUGH program, preventing

pulmonary postoperative complications, dan pulmonary postoperative

complications after laparotomy”. Literature Review ini menggunakan literature

terbitan tahun 2013-2017 yang diakses fulltext dalam format pdf dan scholarly

(peer reviewed journals).

D. Sintesis Data

Tabel 3.1 Sintesis Data

Nama Tahun Lokasi Judul Metode Ringkasan

Cassidy 2013 Boston I COUGH: Cohort study I COUGH, program


Medical Reducing perawatan postoperatif
Center, Postoperative standar yang
New Pulmonary menekankan pada
England Complications pendidikan pasien,
with a mobilisasi dini, dan
Multidisciplinary intervensi paru,
Patient Care mengurangi kejadian
Program pneumonia pasca
operasi dan intubasi
yang tidak
direncanakan di antara
pasien.
33

Kazaure 2014 Palo Alto Long-term Cohort study Program pencegahan


surgical Outcomes of pneumonia
ward, Postoperative terstandarisasi
California, Pneumonia mencapai
Amerika Prevention pengurangan
Serikat Program for substansial dan
Inpatient berkelanjutan dalam
Surgery kejadian pneumonia
pasca operasi di
bangsal bedah;
pengangkatan yang
lebih luas dapat
meningkatkan hasil
pasca operasi dan
mengurangi biaya
perawatan kesehatan
secara keseluruhan.
Moore 2017 London Impact of the Cohort study Komplikasi paru pasca
perioperative operasi adalah umum,
quality dengan kejadian yang
improvement dilaporkan 2-40%, dan
program on berhubungan dengan
postoperative hasil yang merugikan
pulmonary termasuk kematian,
complications tinggal di rumah sakit
lebih lama dan
mengurangi
kelangsungan hidup
jangka
panjang. Pemulihan
yang ditingkatkan
sekarang
standar perawatan
untuk pasien yang
menjalani operasi
besar
elektif. Meskipun
prevalensi tinggi
komplikasi paru
Dalam populasi ini,
beberapa elemen
pemulihan yang
disempurnakan secara
khusus menangani
pengurangan
komplikasi ini.
34

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Berikut adalah hasil temuan tinjauan literatur dari beberapa publikasi ilmiah atau

jurnal.

Tabel 4.1 Hasil Tinjauan Literatur Tentang Pencegahan Komplikasi Paru


Pada Pasien Pasca Laparatomi

No Nama, Tahun Judul Metode Penelitian Ringkasan Hasil


& Lokasi Penelitian Penelitian

1 Cassidy, 2013 I COUGH: a. Penelitian ini Program I COUGH


Boston Reducing menggunakan studi efektif untuk
Medical Postoperative kohort. pencegahan komplikasi
Center, New Pulmonary b. Populasi penelitian ini paru.
England Complications adalah Semua pasien
with a yang menjalani operasi Hasil Pertama: Sebelum
Multidisciplin umum atau vaskular di penerapan I COUGH,
ary Patient Boston Medical Center kejadian pneumonia
Care Program selama periode 1 tahun. pasca operasi adalah
c. Teknik sampling pada 2,6%, turun menjadi
35

penelitian ini 1,6% setelah


menggunakan sampling penerapannya, dan hasil
jenuh yaitu teknik yang disesuaikan
penentuan sampel bila dengan risiko turun dari
semua anggota populasi rasio OE (Observed-
digunakan sebagai Expected) 2,13 ke OR
sampel. (Odds Ratios) 1,58.
d. Instrumen yang
digunakan pada Hasil Kedua:
penelitian ini adalah Insidensi intubasi yang
pengukuran ada atau tidak direncanakan
tidaknya komplikasi adalah 2,0% sebelum I
pulmonal pasca operasi COUGH dan 1,2%
setelah di berikan setelah I COUGH,
tentang program I dengan hasil yang
COUGH. disesuaikan dengan
e. Teknik analisa data risiko menurun dari
menggunakan analisa rasio OE 2,10 ke OR
univariat dan bivariat 1,31
dengan uji Chi-square.

a. Penelitian ini
2 Kazaure, 2014 Long-term menggunakan studi Program I COUGH
Palo Alto Outcomes of kohort. efektif untuk
surgical ward, Postoperative b. Populasi penelitian ini pencegahan komplikasi
California, Pneumonia adalah semua pasien paru dan mengurangi
Amerika Prevention bedah dengan resiko biaya lama perawatan
Serikat Program for pneumonia pasca di Rumah Sakit.
Inpatient operasi yang didapat di
Surgery bangsal Palo Alto Hasil Pertama:
surgical ward. Program I COUGH
c. Teknik sampling pada Diantara 2008 sampai
penelitian ini 2012 ada 18 kasus
menggunakan sampling pneumonia pasca
jenuh yaitu teknik operasi di antara 4.099
penentuan sampel bila pasien berisiko yang
semua anggota populasi dirawat di bangsal
digunakan sebagai bedah, menghasilkan
sampel. tingkat kasus 0,44%. Ini
d. Instrumen yang mewakili penurunan
digunakan pada 43,6% dari tingkat pra-
penelitian ini intervensi kami (0,78%)
Pengumpulan data ( P = 0,01). Tingkat
prospektif diikuti oleh pneumonia di semua
36

tinjauan retrospektif tahun lebih rendah


dilakukan dari semua daripada tingkat pra-
kasus pneumonia rawat intervensi (0,25%,
inap yang terjadi di 0,50%, 0,58%, 0,68%,
antara pasien yang dan 0,13% pada 2008-
dirawat di bangsal 2012, masing-masing).
bedah yang Tingkat pneumonia
didokumentasikan keseluruhan di ACS-
dalam database VA- NSQIP adalah 2,56%
SQIP di VA Palo Alto (14.033 kasus
selama periode 5 tahun pneumonia di antara
(2008-2012). 547.571 pasien
e. Teknik analisa data berisiko), yang 582%
menggunakan analisa lebih tinggi dari tingkat
univariat dan bivariat post-intervensi di
dengan uji Chi-square. bangsal kami.
Hasil kedua:
Menggunakan rata-rata
nasional $ 46.400
dalam biaya perawatan
kesehatan yang timbul
dari pneumonia pasca
operasi dan patokan
penurunan 43,6%
dalam tingkat
pneumonia yang
dicapai di fasilitas kami
selama periode studi 5
tahun, persentase yang
sama dari penurunan
kejadian pneumonia di
ACS-NSQIP rumah
sakit akan mewakili
sekitar 6118 kasus
pneumonia yang
dicegah dan
penghematan biaya
lebih dari $ 280 juta.

Program I COUGH
3 a. Penelitian ini efektif untuk
Moore, 2017 Impact of the menggunakan studi pencegahan komplikasi
London perioperative kohort. Penelitian
quality tentang ERAS
37

improvement (Enhanced recovery


program on after surgery) ini paru.
postoperative menggabungkan
pulmonary dengan program I Hasil setelah
complications. COUGH sehingga implementasi ERAS +
menjadi ERAS +. (Enhanced recovery
b. Populasi penelitian ini after surgery dan I
adalah semua pasien di COUGH), komplikasi
Central Yayasan NHS paru pasca operasi
Rumah Sakit dikurangi menjadi
Universitas Manchester 24/228 (10,5%).
Trust, penyedia layanan Peningkatan
bedah utama di Greater berkelanjutan terbukti
Manchester. satu tahun setelah
c. Teknik sampling pada implementasi, dengan
penelitian ini paru tingkat komplikasi
menggunakan sampling 16/183 (8,7%). Median
jenuh yaitu teknik (IQR [range]) lama
penentuan sampel bila tinggal di rumah sakit
semua anggota populasi satu tahun setelah
digunakan sebagai implementasi ERAS +
sampel. juga meningkat dari 12
d. Instrumen pada (9–15 [4-101]) menjadi
penelitian ini 9 (5.5–10.5 [3-81]) hari.
menggunakan skor Jalur ERAS + berlaku
ARISCATE terkait untuk pasien yang
dengan kejadian menjalani operasi
komplikasi paru. mayor elektif dan
e. Teknik analisa data tampak efektif dalam
menggunakan analisa mengurangi komplikasi
univariat dan bivariat paru pasca operasi.
dengan uji Chi-square.

B. Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian jurnal yang pertama yang telah dilakukan

sebelumnya menyatakan bahwa sebelum penerapan I COUGH, kejadian

pneumonia pasca operasi adalah 2,6%, turun menjadi 1,6% setelah


38

penerapannya, dan hasil yang disesuaikan dengan risiko turun dari rasio OE

(Observed-Expected) 2,13 ke OR (Odds Ratios) 1,58. Insidensi intubasi yang

tidak direncanakan adalah 2,0% sebelum I COUGH dan 1,2% setelah I COUGH,

dengan hasil yang disesuaikan dengan risiko menurun dari rasio OE 2,10 ke OR

1,31 (Cassidy, 2013).

Hasil penelitian di atas ini sejalan dengan beberapa penelitian yang

menggunakan salah satu intervensi dari program I COUGH mengatakan bahwa

latihan nafas dapat meningkatkan fungsi paru, hal ini di lihat dari perbedaan

hasil yang signifikan pada pengukuran tekanan darah, denyut jantung, frekuensi

pernafasan serta saturasi oksigen (Widiastuti, 2015). Selain itu latihan batuk

efektif juga memberikan pengaruh terhadap suhu, kondisi batuk dan frekuensi

pernafasan, dapat di lihat pada penelitian (Arifuddin, 2017) yaitu ada pengaruh

yang signifikan sebelum dan sesudah dilakukan latihan batuk efektif dengan

Suhu nilai P Value = 0,009 (p < 0,05), kondisi batuk dengan nilai P Value =

0,006 (p < 0,05), dan frekuensi nafas dengan nilai P Value = 0,000 (p < 0,05).

Sedangkan menurut Paulo (2014), pada percobaan klinis yang

membandingkan penggunaan Insentif Spirometri pasca operasi untuk tidak

menggunakan Insentif Spirometri setelah operasi bariatrik. Insentif Spirometri

pasca operasi lakukan tidak menunjukkan efek pada hipoksemia pasca operasi

atau komplikasi paru pasca operasi. Menariknya, meskipun Insentif Spirometri

diresepkan untuk digunakan 10 kali per jam, namun tingkat kepatuhan jauh lebih

rendah sekitar 4 kali sehari hari pasca operasi pertama dan 10 kali per hari pada

hari pasca operasi kedua.


39

Hasil temuan diatas menunjukkan bahwa program I COUGH lebih efektif

digunakan untuk pencegahan komplikasi paru pasca operasi karena

menggabungkan beberapa intervensi perawatan paru di dalamnya, dibandingkan

dengan dilakukan salah satu interversi saja yang ada pada program I COUGH.

Sehingga program ini terdapat perbedaan yang signifikan dalam mengurangi

komplikasi paru pada pasien pasca operasi

Selanjutnya pada hasil penelitian jurnal kedua didapatkan program I

COUGH diantara 2008 sampai 2012 ada 18 kasus pneumonia pasca operasi di

antara 4.099 pasien berisiko yang dirawat di bangsal bedah, menghasilkan

tingkat kasus 0,44%. Ini mewakili penurunan 43,6% dari tingkat pra-intervensi

kami (0,78%) ( P = 0,01). Tingkat pneumonia di semua tahun lebih rendah

daripada tingkat pra-intervensi (0,25%, 0,50%, 0,58%, 0,68%, dan 0,13% pada

2008-2012, masing-masing). Tingkat pneumonia keseluruhan di ACS-NSQIP

adalah 2,56% (14.033 kasus pneumonia di antara 547.571 pasien berisiko), yang

582% lebih tinggi dari tingkat post-intervensi di bangsal kami. Menggunakan

rata-rata nasional $ 46.400 dalam biaya perawatan kesehatan yang timbul dari

pneumonia pasca operasi dan patokan penurunan 43,6% dalam tingkat

pneumonia yang dicapai di fasilitas kami selama periode studi 5 tahun,

persentase yang sama dari penurunan kejadian pneumonia di ACS-NSQIP

rumah sakit akan mewakili sekitar 6118 kasus pneumonia yang dicegah dan

penghematan biaya lebih dari $ 280 juta (Kazaure, 2014).

Hal ini sejalan dengan Cassidy (2013), yang mengatakan bahwa program I

COUGH dapat mengurangi komplikasi paru yang mengurangi biaya perawatan


40

di Rumah Sakit. Komplikasi paru pasca operasi relatif umum dan mahal.

Diperkirakan terjadi 2,7% sampai 3,4% pasien yang menjalani operasi

noncardiac, masalah pernapasan pasca operasi, seperti yang didefinisikan oleh

National Surgical Quality Improvement Programme (NSQIP), dapat meliputi

pneumonia, intubasi yang tidak direncanakan, dan kegagalan menyapih dari

ventilasi mekanis setelah 48 jam. Data NSQIP dari satu institusi memperkirakan

biaya komplikasi pernafasan untuk menjadi $ 52.466 per pasien. Dibandingkan

dengan hasil buruk lainnya, termasuk komplikasi tromboembolik,

kardiovaskular, dan infeksius, komplikasi paru paling mahal dan dikaitkan

dengan peningkatan lama tinggal 14 hari dibandingkan dengan biaya dan lama

tinggal pada pasien tanpa komplikasi.

Begitu juga dengan penelitian Sabate, (2014) Di antara berbagai kondisi

yang dikelompokkan sebagai PPC adalah pneumonia, pneumonitis aspirasi,

kegagalan pernapasan, reintubasi dalam waktu 48 jam, kegagalan menyapih,

efusi pleura, atelektasis, bronkospasme, dan pneumotoraks. Tingkat insiden PPC

berkisar dari 2 hingga 40% tergantung pada konteksnya. Peristiwa ini

meningkatkan mortalitas, lama rawat inap pasca operasi, perawatan di ICU,

penerimaan di rumah sakit, dan biaya. Kematian terkait PPC bervariasi, tetapi

dapat mencapai hingga 48% dalam beberapa konteks. Tingkat masuk ICU

adalah antara 9,5 dan 91% lebih tinggi pada pasien dengan PPC. Peningkatan

rata-rata lama tinggal pasca operasi terkait PPC adalah sekitar 8 hari. Biaya

operasi bisa dua kali lipat hingga 12 kali lipat lebih tinggi ketika PPC

berkembang. Strategi yang diusulkan untuk mengurangi dampak faktor risiko


41

yang dapat dimodifikasi termasuk alkohol dan berhenti merokok sebelum

operasi, memperpendek durasi operasi, dan fisioterapi dan teknik insentif

spirometri.

Berdasarkan hasil penelitian di atas menyebutkan bahwa program I

COUGH efektif digunakan karena mengurangi biaya perawatan di Rumah Sakit.

Dengan program ini mencegah komplikasi paru sehingga mengurangi lama

tinggal pasien di Rumah Sakit dan biaya pun berkurang.

Pada hasil penelitian jurnal ketiga, Hasil setelah implementasi ERAS +

(Enhanced recovery after surgery), komplikasi paru pasca operasi dikurangi

menjadi 24/228 (10,5%). Peningkatan berkelanjutan terbukti satu tahun setelah

implementasi, dengan paru tingkat komplikasi 16/183 (8,7%). Median (IQR

[range]) lama tinggal di rumah sakit satu tahun setelah implementasi ERAS +

juga meningkat dari 12 (9–15 [4-101]) menjadi 9 (5.5–10.5 [3-81]) hari. Jalur

ERAS + berlaku untuk pasien yang menjalani operasi mayor elektif dan tampak

efektif dalam mengurangi komplikasi paru pasca operasi ( Moore, 2017 ).

Hasil penelitian di atas gabungan antara ERAS dengan Program I COUGH

sehingga menjadi sebutan ERAS +. Kelebihan Program ini adalah pada tahap 1,

studi prevalensi tingkat PPC pada pasien elektif yang menjalani operasi besar

dirawat dengan perawatan kritis. Tahap 2, elemen kunci ERAS + dijelaskan

bertujuan untuk menghasilkan jalur bedah baru untuk mengurangi PPC

menggabungkan I COUGH, aktivitas pasien dan pendidikan sumber daya

dikembangkan. Tahap 3, audit PPC menegaskan tingkat masih tinggi Pendidikan

semua staf yang terlibat dalam jalur, data kepatuhan I COUGH mingguan
42

dikumpulkan dan dibagikan. Tahap 4, Semua pasien operasi elektif perawatan

kritis sekarang diperiksa untuk PPC Pasien mulai menghadiri Sekolah Bedah. I

COUGH setiap minggu data kepatuhan berlanjut Pada Mei 2015 - tingkat PPC

menunjukkan peningkatan yang signifikan dengan Implementasi ERAS +. Tahap

5, Pengumpulan data lebih lanjut menegaskan bahwa berkelanjutan terus

berlanjut pengurangan PPC Lama tinggal di rumah sakit juga berkurang.

Penelitian ini sejalan dengan Wren (2010), yang menyatakan bahwa

Program pencegahan pneumonia sangat berhasil dalam mengurangi pneumonia

pasca operasi di bangsal bedah. Ada penurunan kejadian pneumonia 4 kali lipat

yang signifikan secara statistik setelah implementasi program. Intervensi tidak

mahal tetapi memang membutuhkan komunikasi dan kerjasama yang

berkelanjutan antara dokter dan kepemimpinan keperawatan untuk mencapai

kepatuhan dengan langkah-langkah. Program ini memiliki potensi besar untuk

disebarluaskan ke bangsal bedah rumah sakit dan dapat mengurangi pneumonia

pasca rawat inap.

Hasil penelitian di atas menyebutkan bahwa menggabungkan program

ERAS dengan I COUGH sehingga menjadi ERAS +. Program ini dapat

mengurangi komplikasi paru dan mengurangi lama tinggal di rumah sakit

sehingga program I COUGH efektif untuk digunakan pada pasien pasca operasi.

Pembahasan selanjutnya dari sisi beberapa intervensi dari I COUGH yang

dipisahkan. Menurut Haines (2013), insiden komplikasi paru pasca operasi

adalah 39%. Jenis sayatan dan waktu untuk memobilisasi menjauh dari tempat

tidur secara independen terkait dengan diagnosis komplikasi paru pasca operasi.
43

Pasien 3,0 (interval kepercayaan 95% 1,2 hingga 8,0) kali lebih mungkin untuk

mengembangkan komplikasi paru pasca operasi untuk setiap hari pasca operasi

mereka tidak memobilisasi jauh dari tempat tidur. Lima puluh dua persen pasien

memiliki penghalang untuk mobilisasi jauh dari tempat tidur pada hari pertama

pasca operasi, dengan penghalang yang paling umum adalah hipotensi,

meskipun kriteria penghentian tidak didefinisikan secara objektif oleh

fisioterapis. Perkembangan komplikasi paru pasca operasi meningkatkan median

lama rawat inap (16 vs 13 hari; P = 0,046).

Sedangkan menurut Tyson (2015) Pendidikan dan penyediaan spirometri

insentif untuk penggunaan pasien yang tidak dipantau tidak menghasilkan

peningkatan yang signifikan secara statistik dalam dinamika paru setelah

laparotomi. Kami tidak akan merekomendasikan penambahan spirometri insentif

ke standar perawatan saat ini di lingkungan yang terbatas sumber daya ini. Hasil

yang didapatkan rata-rata FVC awal tidak berbeda secara signifikan antara

kelompok intervensi dan kelompok kontrol (masing-masing 0,92 dan 0,90 L; P  

= 0,82 [95% CI, 0,52-2,29]). Meskipun pasien dalam kelompok intervensi

cenderung memiliki pengukuran FVC akhir yang lebih tinggi, perubahan antara

FVC pertama dan terakhir yang diukur tidak signifikan secara statistik (masing-

masing 0,29 dan 0,25 L; P = 0,68 [95% CI, 0,65-1,95]). Demikian juga, lama

tinggal di rumah sakit tidak berbeda secara signifikan antara

kelompok. Kematian pasca operasi secara keseluruhan adalah 6,0%, dengan

tingkat kematian yang lebih tinggi pada kelompok kontrol dibandingkan dengan
44

kelompok intervensi (10,7% dan 1,3%, masing-masing; P  = 0,02 [95% CI, 0,01-

0,92]).

Adapun salah satu peneliti mengatakan bahwa mengingat biaya penerapan

IS, tingkat kepatuhan yang rendah, dan kurangnya manfaat yang dilaporkan,

perlu dipertimbangkan apakah IS harus terus ditentukan. Meskipun kurangnya

data efikasi dan kepatuhan, dokter sering meresepkan IS dalam upaya untuk

melakukan sesuatu untuk mengurangi komplikasi paru pasca operasi tanpa

mengetahui apa yang sebenarnya diresepkan, upaya yang diperlukan pasien, dan

tingkat kepatuhan yang relatif rendah. Mengingat keahlian mereka dalam

bekerja untuk mengoptimalkan hasil paru pasca operasi pasien, terapis

pernapasan dapat memainkan peran integral dalam mendidik penyedia layanan

tentang kelangkaan bukti yang mendukung IS. Penelitian lebih lanjut diperlukan

untuk menentukan kelompok pasien spesifik mana, jika ada, yang mendapat

manfaat dari IS ( Eltorai, 2018).

Pada batuk efektif pun Colucci (2015) mengatakan aliran batuk puncak

turun menjadi 54% dari nilai pra operasi pada hari pertama pasca operasi dan

secara bertahap meningkat pada hari pasca operasi 3 (65%) dan 5 (72%) (P

<0,05). Pada semua hari pasca operasi, aliran batuk puncak sangat berkorelasi

dengan FVC (P <0,001) dan berkorelasi lemah dengan nyeri (P = 0,006). Enam

subjek (6%) mengembangkan PPC. Hubungan antara aliran batuk puncak dan

risiko PPC tidak signifikan secara statistik (rasio odds tidak disesuaikan 0,80,

95% CI 0,45-1,40, P = 0,44; rasio odds yang disesuaikan 0,66, 95% CI 0,32-

1,38, P = 0,41 ). Batuk efektif terganggu setelah operasi perut bagian atas.
45

Disfungsi paru restriktif pasca operasi tampaknya berhubungan dengan

gangguan ini. Tidak ada hubungan yang signifikan antara aliran batuk puncak

dan PPC; Namun, gangguan batuk dapat mengakibatkan konsekuensi klinis yang

penting pada populasi berisiko tinggi.

Dari beberapa penemuan diatas yang hanya menggunakan salah satu

intervensi saja dari program I COUGH menyebutkan bahwa ternyata kurang

efektif di lakukan, karena kurangnya kepatuhan pasien dalam melakukan

implementasi tersebut. Sehingga hasil dari beberapa penelitian menyebutkan

tidak ada hubungan yang signifikan atau tidak ada perbedaan hasil yang

signifikan untuk membedakan antara sebelum di lakukan implementasi dan

setelah di lakukannya implementasi pada pasien.

Sedangkan untuk program I COUGH yang di teliti beberapa peneliti

menyebutkan terdapat perbedaan yang signifikan antara sebelum di lakukan

intervensi dan setelah di lakukannya intervensi pada pasien. Sehingga

perbandingan dari setiap jurnal program I COUGH dari jurnal pertama

membahas tentang program I COUGH yang di lakukan untuk mengurangi

komplikasi paru pasca operasi dengan program perawatan pasien multidisiplin,

sehingga mendapatkan hasil yang signifikan sebelum di lakukannya intervensi

dan sesudah di lakukannya intervensi. Dan dinyatakan efektif dilakukan pada

pasien pasca operasi laparatomi.

Selanjutnya pada jurnal kedua menyebutkan bahwa program I COUGH

dapat membuat berkurangnya biaya perawatan di rumah sakit, serta adanya

perbedaan hasil yang signifikan antara pengurangan pasien yang mengalami


46

komplikasi paru. Setelah di lakukan program I COUGH, membuat berkurang

lama hari rawatan pasien sehingga berkurangnya biaya perawatan pasien di

Rumah Sakit. Maka dari hasil penelitian ini Program I COUGH efektif untuk di

lakukan pada pasien pasca operasi laparatomi.

Dan pada jurnal ketiga membahas tentang penggabungan program

perawatan pasca operasi, yang menggabungkan ERAS dengan I COUGH

sehingga menjadi sebutan ERAS +. Program ini menyebutkan bahwa terdapat

perbedaan hasil yang signifikan sebelum dilakukan intervensi dengan sesudah

dilakukannya intervensi. Sehingga program ini efektif di lakukan untuk

mengurangi komplikasi paru pasca operasi pada pasien dengan laparatomi.

Pada akhirnya asumsi penulis menyatakan bahwa beberapa penelitian yang

menggunakan salah satu intervensi saja dari I COUGH kurang efektif di lakukan

karena tidak ada perbedaan hasil yang signifikan antara sebelum dan sesudah

dilakukan intervensi. Sedangkan dari ketiga hasil temuan jurnal di atas

menyebutkan bahwa Program I COUGH efektif digunakan karena terdapat

gabungan beberapa intervensi perawatan paru sehingga program I COUGH

terbukti bisa mengurangi atau mencegah terjadinya komplikasi paru pada pasien

pasca operasi laparatomi.


47

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Program I COUGH merupakan program perawatan paru yang meliputi

mobilisasi dini, latihan paru-paru, kebersihan mulut dan pendidikan untuk

mengurangi komplikasi pasca operasi.

2. Dengan melakukan program I COUGH dapat mencegah terjadinya

komplikasi paru pada pasien sehingga efektif digunakan pada pasien pasca

operasi laparatomi.

3. Melakukan implementasi program I COUGH yang sesuai dengan prosedur

terbukti efektif untuk dilakukan pada pasien pasca operasi dan mengurangi

komplikasi paru serta meminimalkan biaya perawatan di Rumah Sakit.


48

B. Saran

1. Diharapkan kepada pasien pasca operasi laparatomi untuk dapat mencegah

komplikasi paru dengan cara menggali, memahami dan mengaplikasikan

informasi tentang program I COUGH.

2. Diharapkan kepada perawat dapat mengikut sertakan keluarga untuk

mencegah komplikasi paru pada pasien pasca operasi laparatomi dengan cara

memberikan pendidikan tentang program I COUGH sehingga dapat

mempercepat proses penyembuhan dan tidak terjadinya komplikasi paru pada

pasien.

3. Diharapkan kepada institusi pendidikan untuk dapat memberikan informasi

pada mahasiswanya mengenai pentingnya program I COUGH dalam

meningkatkan fungsi paru bagi pasien sebagai salah satu program mengurangi

komplikasi paru pasca operasi khususnya operasi laparatomi dan melakukan

pelaksanaannya pada saat mahasiswa melakukan praktik belajar lapangan.


49

DAFTAR PUSTAKA

Adi, P. R. (2014). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 6. Jakarta: Interna
Publishing.

Arifuddin, dkk. (2017). Pengaruh Latihan Batuk Efektif Terprogram Terhadap


Risiko Infeksi Pernafasan Pada Pasien Post Operasi Laparatomi Dengan
General Anestesi. Jakarta: UMJ

Azis, (2010). Laparatomy, http://medicastore.laparatomi.co.id, diakses 10 Maret


2020.

Cassidy, M. R. (2013). I COUGH: reducing postoperative pulmonary


complications with a multidisciplinary patient care program. JAMA Surg.
148 (8): 740-745.

Chughtai, M. (2017). The Epidemiology and Risk Factors for Postoperative


Pneumonia. J Clin Med Res. 9(6): 466–475.

Colucci, D. B. (2015). Cough Impairment and Risk of Postoperative Pulmonary


Complications After Open Upper Abdominal Surgery. Respiratory
Care May. 60(5): 673-678.
50

Departemen Kesehatan (Depkes), R. I. (2011). Peraturan Menteri Kesehatan RI


Nomor 1171/MENKES/PER/VI/2011 tentang Sistem Informasi Rumah
Sakit. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Eltorai, A. E. (2018). Clinical Effectiveness of Incentive Spirometry for the


Prevention of Postoperative Pulmonary Complications. Respiratory Care.
63(3): 347-352.

Gangwal, M. & Singh, B. (2018). Incidence of post-operative pulmonary


complications following emergency laparotomy in tertiary care centre in
Vindhya region of Madhya Pradesh, India. International Surgery Journal,
5, 979. doi: 10.18203/2349-2902.isj20180815.

Haines, K. J. (2013). Association of postoperative pulmonary complications with


delayed mobilisation following major abdominal surgery: an
observational cohort study. Physiotherapy. 99 (2): 119-125

Hendra, E. H. (2011). Pengaruh Mobilisasi Dan Fisioterapi Dada Terhadap


Kejadian Ventilator Associated Pneumonia Di Unit Perawatan Intensif.
Ners Jurnal Keperawatan. 7 (2) : 129.

Jayanti N. (2013). Perbandingan Kapasitas Vital Paru Pada Atlet Pria Cabang
Olahraga Renang dan Lari Cepat Persiapan Pekan Olahraga Provinsi
2013 di Bandar Lampung. Majority Journal. 2(5):113-118.

Jitowiyono S. (2010). Asuhan Keperawatan Post Operasi. Yogyakarta : Muha


Medika.

Kazaure, H. S. (2014). Hasil Jangka Panjang Program Pencegahan Pneumonia


Pasca Operasi untuk Ruang Bedah Rawat Inap. JAMA Surg. 149 (9): 914-
918.

Kibler V. A, Hayes R. M, Johnson D. E, Anderson L. W, Just S. L, Wells N. L.


(2012). Quality of cultivation: postoperative initial ambulation: return to
baseline. Am J Nurs; 112 (4): 63-69.

Majid, A. (2011). Keperawatan Perioperatif. Edisi 1. Yogyakarta: Goysen


Publishing.

Mangku, G. & Senapathi, T. G. A. (2010). Buku ajar Ilmu Anestesia dan.


Reanimasi. Jakarta Pusat: Indeks.

McCance K. L. & Huether, S. E. (2014). Pathophysiology: Biological Basis for


Disease in Adults and Children. 7th edition. St. Louis, MO: Elsevier:
1256.

Miskovic, A. (2017). Postoperative pulmonary complications. British Journal of


Anaesthesia, 118 (3): 317–34.
51

Moore, J. A. (2017). Impact of the peri-operative quality improvement program


on postoperative pulmonary complications. Association of Anesthetists
from the United Kingdom and Ireland (AAGBI). 72: 317–327.

Nascimento, P. (2014). Incentive spirometry for prevention of postoperative


pulmonary complications in upper abdominal surgery. Cochrane
Systematic Review: Issue 2. Art. No.: CD006058.

Rahajoe, N. (2010). Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi ke 2. Jakarta : Badan


Penerbit IDAI.

Rondhianto, dkk. (2016). Batuk Efektif Dan Napas Dalam Untuk Menurunkan
Kolonisasi Staphylococcus Aureus Dalam Sekret Pasien Pasca Operasi
Dengan Anastesi Umum Di Rsd Dr. Soebandi Jember. NurseLine Journal.
1 (1):152-153.

RSUD Meuraxa. (2019). Medical Record. Banda Aceh

Rumoning, S. (2018). Durasi Operasi Sebagai Prediktor Komplikasi Paru Pasca


Operasi Non Kardiak di RSCM. Indonesian Journal Chest. 5 (1): 17-18.

Sabate. (2014). Predicting postoperative pulmonary complications: implications


for outcomes and costs. Current Opinion in Anaesthesiology. 27 (2 ): 201-
209.

Sari, L. W. I. & Yosef, P. (2015). Perbedaan Nilai Arus Puncak Ekspirasi


Sebelum Dan Sesudah Pelatihan Senam Lansia Menpora Pada Kelompok
Lansia Kemuning, Banyumanik, Semarang." Jurnal Kedokteran
Diponegoro. 4 (4). pp. 1132-1139.

Sherwood, L. (2011). Fisiologi Manusia: Dari Sel Ke Sistem edisi 6, Penertbit


Buku Kedokteran . Jakarta: EGC.

Sjamsurihidajat. (2010). Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi II. Jakarta : EGC.

Smeltzer, S. C. (2013). Keperawatan Medikal Bedah Brunner and Suddarth. Edisi


12. Jakarta: Kedokteran EGC.

Tyson, A. F. (2015). The Effect of Incentive Spirometry on Postoperative


Pulmonary Function Following Laparotomy. JAMA Surg. 150(3):229-
236.

Urden, L. D. & Stacy K. M. (2014). Critical Care Nursing: Diagnosis and


Management. 7th ed. St. Louis, MO: Elsevier : 524.

Warganegara, E. (2017). Pneumonia Nosokomial (Hospital-acquired, Ventilator-


associated, dan Health Care-associated Penumonia). Fakultas
Kedokteran, Universitas Lampung: JK Unila 1 (3): 615.
52

Widiastuti, A. (2015). Latihan Otot Pernafasan dan Nafas Dalam untuk


Meningkatkan Ekspansi Dada dan Paru pada Pasien Post Op Coronary
Artery By Pass Graft (CABG). Jakarta: Bina Widya 26 (3): 145-154.

World Health Organization (WHO). (2013). Surgical care at the district hospital.
London: Malta.

Wren, S. M. & Martin, M. (2010). Postoperative pneumonia prevention program


for inpatient surgical wards. J Am Coll Surg. 210 (4): 491-495.

Anda mungkin juga menyukai