Belakangan ini semakin banyak muncul perusahaan-perusahaan yang menjual produknya melalui sistem Multi
Level Marketing (MLM). Karena itu, perlu dibahas hukumnya menurut syari’ah Islam. Kajian ini dianggap
semakin penting setelah lahirnya perusahaan MLM yang menamakan perusahaannya dengan label syariah.
Oleh karena banyaknya perusahaan MLM yang berkembang, maka Dewan Syariah Nasional MUI telah
mengeluarkan fatwa terkait MLM tersebut, Nama fatwa DSN tersebut adalah Penjualan Langsung Berjenjang
Syariah (PLBS) atau at-Taswiq asy-Syabakiy,
Sistem Pemasaran MLM
Pakar marketing ternama Don Failla, membagi marketing menjadi tiga macam. Pertama, retail (eceran),
Kedua, direct selling (penjualan langsung ke konsumen), Ketiga multi level marketing (pemasaran berjenjang
melalui jaringan distribusi yang dibangun dengan memposisikan pelanggan sekaligus sebagai tenaga
pemasaran). Bahkan Robert Kiyosaki, menempatkan orang yang bergerak di bidang MLM ini berada pada
quadran III, termasuk sebagai profesional yang strategis.
Kemunculan trend strategi pemasaran produk melalui sistem MLM di dunia bisnis modern sangat
menguntungkan banyak pihak, seperti pengusaha (baik produsen maupun perusahaan MLM).Hal ini
disebabkan karena adanya penghematan biaya dalam iklan, Bisnis ini juga menguntungkan para distributor
yang berperan sebagai simsar (Mitra Niaga) yang ingin bebas (tidak terikat) dalam bekerja.
Sistem marketing MLM yang lahir pada tahun 1939 merupakan kreasi dan inovasi marketing yang melibatkan
masyarakat konsumen dalam kegiatan usaha pemasaran dengan tujuan agar masyarakat konsumen dapat
menikmati tidak saja manfaat produk, tetapi juga manfaat finansial dalam bentuk insentif, hadiah-hadiah, haji
dan umrah, perlindungan asuransi, tabungan hari tua dan bahkan kepemilikan saham perusahaan.(Ahmad
Basyuni Lubis, Al-Iqtishad, November 2000).
Perspektif Islam
Bisnis dalam syari’ah Islam pada dasarnya termasuk kategori muamalat yang hukum asalnya adalah boleh
berdasarkan kaedah Fiqh,”Al-Ashlu fil muamalah al-ibahah hatta yadullad dalilu ‘ala tahrimiha (Pada
dasarnya segala hukum dalam muamalah adalah boleh, kecuali ada dalil/prinsip yang melarangnya)
Islam memahami bahwa perkembangan sistem dan budaya bisnis berjalan begitu cepat dan dinamis.
Berdasarkan kaedah fikih di atas, maka terlihat bahwa Islam memberikan jalan bagi manusia untuk melakukan
berbagai improvisasi dan inovasi melalui sistem, teknik dan mediasi dalam melakukan perdagangan.
Namun, Islam mempunyai prinsip-prinsip tentang pengembangan sistem bisnis yaitu harus terbebas dari
unsur dharar (bahaya), jahalah (ketidakjelasan) dan zhulm ( merugikan atau tidak adil terhadap salah satu
pihak). Oleh karena itu, sistem pemberian bonus harus adil, tidak menzalimi dan tidak hanya menguntungkan
orang yang di atas. Bisnis juga harus terbebas dari unsur MAGHRIB, singkatan dari lima unsur. 1, Maysir
(judi), 2, Gharar (penipuan), 3 Haram,4, Riba (bunga) dan 5 Bathil.
Kalau kita ingin mengembangkan bisnis MLM, maka ia harus terbebas dari unsur-unsur di atas. Oleh karena
itu, barang atau jasa yang dibisniskan serta tata cara penjualannya harus halal, tidak syubhat dan tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip syari’ah.di atas..
MLM yang menggunakan strategi pemasaran secara bertingkat (levelisasi) mengandung unsur-unsur positif,
asalkan diisi dengan nilai-nilai Islam dan sistemnya disesuaikan dengan syari’ah Islam. Bila demikian, MLM
dipandang memiliki unsur-unsur silaturrahmi, dakwah dan tarbiyah. MenurutMuhammad Hidayat, Dewan
syari’ah MUI Pusat, metode semacam ini pernah digunakan Rasulullah dalam melakukan dakwah Islamiyah
pada awal-awal Islam. Dakwah Islam pada saat itu dilakukan melalui teori gethok tular (mulut ke mulut) dari
sahabat satu ke sahabat lainnya. Sehingga pada suatu ketika Islam dapat di terima oleh masyarakat
kebanyakan.(Lihat, Azhari Akmal Tarigan, Ekonomi dan Bank Syari’ah, FKEBI IAIN, 2002, hlm. 30)
Bisnis yang dijalankan dengan sistem MLM tidak hanya sekedar menjalankan penjualan produk barang, tetapi
juga jasa, yaitu jasa marketing yang berlevel-level (bertingkat-tingkat) dengan imbalan berupa marketing fee,
bonus, hadiah dan sebagainya, tergantung prestasi, dan level seorang anggota. Jasa marketing yang bertindak
sebagai perantara antara produsen dan konsumen. Dalam istilah fikih Islam hal ini disebut Samsarah / Simsar.
(Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, jilid II, hlm 159)
Kegiatan samsarah dalam bentuk distributor, agen, member atau mitra niaga dalam fikih Islam termasuk dalam
akad ijarah. yaitu suatu transaksi memanfaatkan jasa orang lain dengan imbalan, insentif atau bonus (ujrah)
Semua ulama membolehkan akad seperti ini (Fikih Sunnah, III, hlm 159).
Sama halnya seperti cara berdagang yang lain, strategi MLM harus memenuhi rukun jual beli serta akhlak
(etika) yang baik. Di samping itu komoditas yang dijual harus halal (bukan haram maupun syubhat),
memenuhi kualitas dan bermafaat. MLM tidak boleh memperjualbelikan produk yang tidak jelas status
halalnya. Atau menggunakan modus penawaran (iklan) produksi promosi tanpa mengindahkan norma-norma
agama dan kesusilaan.
Multi Level Marketing (MLM) konvensional tentulah belum bisa disebut syariah, kecuali lolos sekian syarat
kesyariahan. Berikut ini syarat-syarat agar sebuah perusahaan MLM menjadi syariah.
10. Tidak menitik beratkan barang-barang tertier ketika ummat masih bergelut dengan pemenuhan kebutuhan
primer.
11. MLM tidak boleh menggunakan sistem piramida yang merugikan orang yang paling belakangan masuk
sebagai member. .Dalam MLM yang produknya jasa (umrah- dan haji), sistem ini persis berbentuk money
game. Pada hakikatnya, orang yang paling bawah memberi ongkos kepada up linenya untuk berangkat haji
duluan, sementara down line yang paling bawah harus berjuang mencari down linenya, dan begitulah
seterusnya. Dalam sistem ini, pasti ada orang yang belakangan masuk, dan jumlahnya cukup besar. Merekalah
yang membiayai up linenya pergi haji dan umrah. Jadi harus dibedakan MLM yang menjual produk barang,
dengan MLM yang menjual jasa. MLM yang menjual produk barang saja, bisa terjebak menjadi money game,
jika biaya masuk demikian tinggi, sedangkan barang yang diperjualbelikan hanya kedok belaka.
ApalagiMLMyang produknya jasa. Masih ingat MLM yang menjual produk penghemat listrik yang dijual Rp
150.000,-, Padahal harga sebenarnya hanya Rp 15.000,-.
12. Cara penghargaan kepada mereka yang berprestasi tidak boleh mencerminkan hura-hura dan pesta yang
tidak syari’ah.
Kalau ada para profesor yang sempat mendukung MLM yang berkedok money game, pastilah mereka bukan
pakar ekonomi keuangan, dan mungkin bukan professor di bidang hukum ekonomi Islam, melainkan mereka
adalah Professor di bidang pendidikan atau filsafat, sehingga tidak memahami masalah ekonomi keuangan
dengan baik.
Insentif dan penghargaan
Perusahaan MLM biasa memberi reward atau insentif pada mereka yang berprestasi. Islam membenarkan
seseorang mendapatkan insentif lebih besar dari yang lainnya disebabkan keberhasilannya dalam memenuhi
target penjualan tertentu, dan melakukan berbagai upaya positif dalam memperluas jaringan dan levelnya
secara produktif. Kaidah Ushul Fiqh mengatakan:” Besarnya ijrah (upah) itu tergantung pada kadar kesulitan
dan pada kadar kesungguhan.”
Penghargaan kepada Up Line yang mengembangkan jaringan (level) di bawahnya (Down Line) dengan cara
bersungguh-sungguh, memberikan pembinaan (tarbiyah, pengawasan serta keteladanan prestasi (uswah)
memang patut di lakukan. Dan atas jerih payahnya itu ia berhak mendapat bonus dari perusahaan, karena ini
selaras dengan sabda Rasulullah:” “Barangsiapa di dalam Islam berbuat suatu kebajikan maka kepadanya
diberi pahala, serta pahala dari orang yang mengikutinya tanpa dikurangi sedikitpun”(hadist).
Intensif diberikan dengan merujuk skim ijarah. Intensif ditentukan oleh dua kriteria, yaitu dari segi prestasi
penjualan produk dan dari sisi berapa berapa banyak down line yang dibina sehingga ikut menyukseskan
kinerja.
Dalam hal menetapkan nilai insentif ini, ada tiga syarat syari’ah yang harus dipenuhi, yakni:adil, terbuka, dan
berorientasi falah (keuntungan dunia dan akhirat). Insentif (bonus) seseorang (Up line ) tidak boleh
mengurangi hak orang lain di bawahnya (down line), sehingga tidak ada yang dizalimi. Sistem intensif juga
harus transparan diinformasikan kepada seluruh anggota, bahkan dalam menentukan sistemnya dan pembagian
insentif (bonus), para anggota perlu diikutsertakan, sebagaimana yang terjadi di MLM Syari’ah Ahad-Net
Internasional. Dalam hal ini tetap dilakukan musyawarah, sehingga penetapan sistem bonus tidak sepihak.
Selanjutnya, keuntungan dalam bisnis MLM, berorientasi pada keuntungan duniawi dan ukhrawi. Imam Al-
Ghazali dalam Ihya Ulumuddin mengatakan bahwa keuntungan dalam Islam adalah keuntungan dunia dan
akhirat. Keuntungan akhirat maksudnya, bahwa dengan menjalankan bisnis itu, seseorang telah dianggap
menjalankan ibadah, (asalkan bisnisnya sesuai dengan syari’ah). Dengan bisnis, seseorang juga telah
membantu orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Penting disadari, pemberian penghargaan dan cara menyampaikannya hendaknya tetap dalam koridor tasyakur,
untuk menghindarkan penerimanya dari takabur (bangga/sombong) dan kufur nikmat, apalagi melupakan
Tuhan. MLM yang Islami senantiasa berpedoman pada akhlak Islam..
Sebagaimana disebut di atas bahwa penghargaan yang diberikan kepada anggota yang sukses
mengembangkan jaringan, dan secara sungguh-sunguh memberikan pembinaan (tarbiyah), pengawasan serta
keteladanan prestasi (uswah), harus selaras dengan ajaran agama Islam. Karena itu, applause ataupun
gathering party yang diberikan atas prestasi seseorang, haruslah sesuai dengan nilai-nilai aqidah dan akhlak.
Banyak MLM yang cara dan budaya pemberian penghargaannya, bertentangan dengan syariah, hura-hura,
berpelukan antara pria wanita, aurat yang dipertontonkan, dsb.
Ekspressi penghargaan atas kesuksesan anggota MLM, tidak boleh melampaui batas (bertantangan dengan
ajaran Islam). Applause yang diberikan juga tidak boleh mengesankan kultus individu, mendewakan
seseorang. Karena hal itu dapat menimbulkan penerimanya menjai takabbur, dan ‘ujub. Perayaan kesuksesan
seharusnya dilakukan dalam bingkai tasyakkur. (Lihat, Drs.H.Muhammad Hidayat, MBA, Analisis Teoritis
Normatif MLM dalam Perspektif Muamalah, 2002)
Karena itu pula, Islam sangat mengecam seseorang yang dalam menjalankan aktivitas bisnis dan
perdagangannya semakin jauh dari nilai-nilai ketuhanan. Firman Allah, “ Mereka tidak lalai dari mengingat
Allah dalam melakukan bisnis dan jual beli. Mereka mendirikan shalat dan membayar zakat”… (QS.24:37)
Dari ayat tersebut dapat ditarik pemahaman bahwa seluruh aktivitas bisnis tidak boleh melupakan Tuhan dan
jauh dari nilai-nilai keilahian, baik dalam kegiatan produksi, distribusi, strategi pemasaran, maupun pada saat
menikmati kesuksesan (menerima penghargaan dan applause).
Jadi, dalam menjalankan bisnis MLM perlu diwaspadai dampak negatif psikologis yang mungkin timbul,
sehingga membahayakan kepribadian, seperti yang dilansir Dewan Syari’ah Partai Keadilan, yaitu adanya
eksploitasi obsesi yang berlebihan untuk mencapai terget jaringan dan penjualan. Karena terpacu oleh sistem
ini, suasana yang tak kondusif kadang mengarah pada pola hidup hura-hura ala jahiliyah, seperti ketika
mengadakan acara pertemuan para members .
1. Mengangkat derjat ekonomi ummat melalui usaha yang sesuai dengan tuntunan syari’at Islam.
2. Meningkatkan jalinan ukhuwah ummat Islam di seluruh dunia
3. Membentuk jaringan ekonomi ummat yang berskala internasional, baik jaringan produksi, distribusi
maupun konsumennya sehingga dapat mendorong kemandirian dan kejayaan ekonomi ummat.
4. Memperkokoh ketahanan akidah dari serbuan idiologi, budaya dan produk yang tidak sesuai dengan nilai-
nilai Islami.
5. Mengantisipasi dan mempersiapkan strategi dan daya saing menghadapi era globalisasi dan teknologi
informasi.
6. Meningkatkan ketenangan konsumen dengan tersedianya produk-produk halal dan thayyib.
Lima Alasan NU Rekomendasikan Bisnis MLM
Haram, Apa Saja?
Pembahasan mengenai MLM ini dilakukan oleh para kiai dalam Komisi
Bahtsul Masail Waqiiyyah, Munas Alim Ulama NU. Pimpinan sidang komisi,
Asnawi Ridwan, mengatakan para kiai NU melihat adanya pelanggaran
syariat yang terselubung sehingga menyebabkan adanya korban dari
bisnis ini, baik yang mendapatkan legalitas dari pemerintah maupun tidak.
Selain MLM, hal sama berlaku pula untuk bisnis model ponzi atau gali
lubang tutup lubang. Asnawi menyebut bisnis model ini adalah bisnis
yang menjual barang, namun barangnya tidak ada. "Skema ponzi seperti
bitcoin. Beli password, namun barangnya tidak ada. Beli barang, namun
barangnya tidak ada," kata dia.
Bagaimana Hukum MLM dalam Islam?
Simak Penjelasannya Berikut Ini
Ada syarat yang harus dipenuhi untuk menentukan status keabsahan bisnis MLM.
Dream – Multilevel Marketing atau yang biasa disingkat dengan MLM menjadi salah satu bisnis
yang telah menjamur di tengah masyarakat. Tak hanya di Indonesia, di negara-negara lain pun
banyak orang yang menjalankan bisnis MLM dan mampu meraup keuntungan fantastis.
Meskipun bisnis MLM tengah marak di masyarakat, sayangnya MLM kerap mendapatkan
respons negatif dari masyarakat.
Sehingga sebagian masyarakat pun menjadi sangat berhati-hati dengan bisnis tersebut, bahkan
sampai-sampai anti jika mendengar istilah MLM. Meski begitu, tidak sedikit produk dari bisnis
MLM yang beredar dan diterima oleh masyarakat. Namun image dari bisnis tersebut bisa
tercoreng kapan saja yang tak lain karena adanya praktek ilegal yang sangat merugikan.
Lalu, bagaimana jika dilihat dari perspektif Islam? Bagaimana sebenarnya hukum MLM dalam Islam ini?
Tentunya umat Islam pun penasaran dengan keabsahan dari bisnis MLM tersebut. Untuk mengetahuinya
lebih jelas, berikut sebagaimana hukum MLM dalam Islam yang telah dirangkum oleh Dream dari
berbagai sumber.
Pengertian MLM
Multilevel Marketing atau MLM merupakan suatu strategi pemasaran, di mana penjualnya bisa
mendapatkan keuntungan dari penjualan yang sudah dilakukan dan juga keuntungan dari penjual-penjual
lain yang sebelumnya sudah turut bergabung dalam bisnis tersebut.
Biasanya orang yang menjalankan bisnis MLM ini harus mencari orang sebanyak-banayknya agar
keuntungan yang diperoleh juga lebih besar lagi. Dalam bisnis MLM ini ada istilah populer, yakni Up
line dan Down line. Up line adalah penjual yang memiliki bawahan dengan sebutan Down line.
Dan Down line juga bisa menjadi Up line ketika memiliki bawahan.
Sah Tidaknya Bisnis MLM
Keberadaan bisnis MLM di tengah masyarakat masih kerap kali mendapat respons yang negatif.
Namun, bagaimana sebenarnya hukum MLM dalam Islam?
Dari aspek produk barang atau jasa yang dijual, maka harus diketahui terlebih dahulu apakah
kandungannya halal atau haram. Hal yang diharamkan misalnya saja dalam produk tersebut
terdapat kandungan khamr, bangkai, dan babi.
Sedangkan jika dalam bentuk jasa, maka apakah jasa tersebut mengandung kemaksiatan atau
tidak. Misalnya saja berupa spekulatif, judi, perzinaan, dan gharar (ketidakpastian dalam
transaksi karena tidak terpenuhinya syariah).
Sistem Penjualan
Aspek ke dua yang harus diperhatikan dari bisnis MLM ini adalah sistem penjualan yang
digunakan. Seperti diketahui sebelumnya hahwa dalam bisnis MLM ini tidak hanya menjual
produk berupa barang saja, tetapi juga menawarkan jasa. Jasa tersebut adalah berupa marketing
yang nantinya akan mendapatkan imbalan marketing fee, bonus, status keanggotaan distributor,
prestasi dari penjualan, dan biasanya disesuaikan dengan level yang diraihnya.
Keberadaan marketing ini adalah pihak yang menjembatani antara produsen dan konsumen yang
dalam fikih disebut dengan samsarah/simsar. Dalam hal ini banyak ulama yang
memperbolehkan jasa marketing atau hukumnya adalah mubah.
Untuk bisnis MLM ini sendiri bisa dikatakan sah jika telah memenuhi syarat. Di mana antara
distributor dan perusahaan haruslah menjunjung sikap yang jujur, transparan, ikhlas, tidak
melakukan tindak penipuan, dan tidak menjalankan bisnis yang haram dan syubhat. Kemudian di
pihak distributor memiliki hak untuk bisa menerima imabalan jika sudah berhasil. Dan pihak dari
perusahaan juga memberikan imbalan tersebut.
Hal tersebut sebenarnya juga telah dijelaskan dalam Al-Quran, lebih tepatnya surat Al-A’rf ayat
85:
س َأ ْشيَاءه ُ ْم ْ وا ْال َكي َْل َو ْال ِمي َزانَ َوالَ تَ ْب َخ س
َ ُوا النَّا ْ ُفََأوْ ف
Artinya: “ Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah kamu kurangkan bagi
manusia barang-barang takaran dan timbangannya.” (QS. Al-A’raf:85.
Sedangkan dalam hadis terdapat dalam hadis dari Abdullah bin Umar sebagai berikut:
“ Berilah para pekerja itu upahnya sebelum kering keringatnya.” (HR Ibn Majah)
Sedangkan untuk imbalan atau jumlah upah jasa yang diberikan kepada distributor juga sudah
dijelaskan dalam Alquran. Yakni dalam surat Al-Maidah ayat 1:
1. Transaksi antara pihak penjual dan pembeli dilakukan karena saling suka sama suka, tanpa
adanya unsur paksaan.
2. Produk atau barang yang diperjualbelikan bersifat suci, memiliki manfaat, dan transparan.
Dalam artian semuanya jelas tanpa adanya penipuan.
3. Dari segi harga, barang-barang yang diperjualbelikan tersebut memiliki harga yang
sewajarnya.
Sehingga jika bisnis MLM tidak memenuhi syarat-syarat tersebut atau tidak berdasarkan syariat
Islam, maka hukum MLM dalam Islam tergolong haram untuk dijalankan.
Batasan Hukum dalam Bisnis MLM
Multi Level Marketing (MLM) adalah model pemasaran yang menggunakan mata rantai down line,
dimana pihak produsen dapat mengurangi biaya marketing sehingga sebagian biaya marketing dipakai
untuk bonus bagi orang yang memperoleh jaringan yang besar. Memang banyak alasan orang yang
bergabung dalam bisnis MLM ini, di antaranya karena iming-iming bonus tetapi ada juga yang memang
karena motivasi ingin memiliki produknya. Bagaimana menurut hukum Islam tentang bisnis MLM ini?
Multi Level Marketing (MLM) adalah menjual/memasarkan langsung suatu produk baik berupa barang
atau jasa kepada konsumen. Sehingga biaya distribusi barang sangat minim atau sampai ketitik nol. MLM
juga menghilangkan biaya promosi karena distribusi dan promosi ditangani langsung oleh distributor
dengan sistem berjenjang (pelevelan). Dalam MLM ada unsur jasa, artinya seorang distributor menjualkan
barang yang bukan miliknya dan ia mendapatkan upah dari prosentasi harga barang dan jika dapat
menjual sesuai target dia mendapat bonus yang ditetapkan perusahaan. MLM banyak sekali macamnya
dan setiap perusahaan memiliki spesifikasi tersendiri. Sampai sekarang sudah ada sekitar 200 perusahaan
yang mengatasnamakan dirinya menggunakan sistem MLM. Kami akan memberi jawaban yang bersifat
batasan-batasan umum sebagai panduan bagi umat Islam yang akan terlibat dalam bidang MLM. Memang
pada dasarnya segala bentuk mu’amalah atau transaksi hukumnya boleh (mubah) sehingga ada
Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (QS Al Baqarah: 275) ْ و َتَع َاو َنُوا ْ عَلَى ال ْبرِّ و ََالت ّقْو َى و َلا َ تَع َاو َنُوا
ن
ِ عَلَى الِإ ْث ِم و َال ْع ُ ْدو َاTolong menolonglah atas kebaikan dan taqwa dan jangan tolong menolong atas dosa dan
permusuhan. (QS Al Maidah: 2) Rasulullah SAW bersabda: ٍ َإن ّمَا ال ْبَي ْ ُع ع َنْ ت َر َاضPerdagangan itu atas dasar
sama-sama ridha. (HR al-Baihaqi dan Ibnu Majah) المُسْل ِمُوْنَ عَلي شُر ُ ْوطِه ِ ْمUmat Islam terikat dengan
persyaratan mereka. (HR Ahmad, Abu Dawud dan al-Hakim) Berdasarkan penjelasan tersebut bisa
disimpulkan sebagai berikut: 1.Pada dasarnya sistem MLM adalah muamalah atau buyu' yang prinsip
dasarnya boleh (mubah) selagi tidak ada unsur: - Riba' - Ghoror (penipuan) - Dhoror (merugikan atau
mendhalimi fihak lain) - Jahalah (tidak transparan). 2.Ciri khas sistem MLM terdapat pada jaringannya,
sehingga perlu diperhatikan segala sesuatu menyangkut jaringan tersebut: - Transparansi penentuan biaya
untuk menjadi anggota dan alokasinya dapat dipertanggungjawabkan. Penetapan biaya pendaftaran
anggota yang tinggi tanpa memperoleh kompensasi yang diperoleh anggota baru sesuai atau yang
mendekati biaya tersebut adalah celah dimana perusahaan MLM mengambil sesuatu tanpa hak dam
hukumnya haram. - Transparansi peningkatan anggota pada setiap jenjang (level) dan kesempatan untuk
berhasil pada setiap orang. Peningkatan posisi bagi setiap orang dalam profesi memang terdapat disetiap
usaha. Sehingga peningkatan level dalam sistem MLM adalah suatu hal yang dibolehkan selagi dilakukan
secara transparan, tidak menzhalimi fihak yang ada di bawah, setingkat maupun di atas. - Hak dan
kesempatan yang diperoleh sesuai dengan prestasi kerja anggota. Seorang anggota atau distributor
biasanya mendapatkan untung dari penjualan yang dilakukan dirinya dan dilakukan down line-nya.
Perolehan untung dari penjualan langsung yang dilakukan dirinya adalah sesuatu yang biasa dalam jual
beli, adapun perolehan prosentase keuntungan diperolehnya disebabkan usaha down line-nya adalah
sesuatu yang dibolehkan sesuai perjanjian yang disepakati bersama dan tidak terjadi kedholiman. 3. MLM
adalah sarana untuk menjual produk (barang atau jasa), bukan sarana untuk mendapatkan uang tanpa ada
produk atau produk hanya kamuflase. Sehingga yang terjadi adalah money game atau arisan berantai yang
sama dengan judi dan hukumnya haram. 4. Produk yang ditawarkan jelas kehalalannya, karena anggota
bukan hanya konsumen barang tersebut tetapi juga memasarkan kepada yang lainnya. Sehingga dia harus
tahu status barang tersebut dan bertanggung-jawab kepada konsumen lainnya. Demikan batasan-batasan
ini barangkali dapat bermanfaat, khususnya dan bagi kaum muslimin Indonesia agar dapat menjadi salah
satu jalan keluar dari krisis ekonomi. Wallahua’lam bishshawab. HM Cholil Nafis Lc MA Wakil Ketua
Sumber: https://islam.nu.or.id/syariah/batasan-hukum-dalam-bisnis-mlm-xlSYN
Tiga Skema Bisnis MLM dan Perlunya Waspada
Kita umumnya mengenal MLM (Multi-level Marketing) dengan ciri adanya upline dan downline.
Sebagian pihak menyebutnya sponsor dan afiliate. Karena ada istilah afiliate ini, kemudian bisnis MLM
juga sering dikenal sebagai bisnis afiliasi. Hukumnya bagaimana? Sudah barang tentu, setiap praktik
muamalah pada dasarnya adalah boleh, selagi tidak ditemui adanya illat (alasan dasar) keharaman. Illat
keharaman dari semua praktik bisnis, pada dasarnya adalah karena adanya riba, judi (kalah-menang),
barang/skema bisnis, dan perilaku yang merugikan pada orang lain (dlarar). Semua illat ini, pada dasarnya
Itu sebabnya, jika penulis ditanya mengapa ada orang yang berpendapat bahwa bisnis A halal atau boleh
padahal jelas di situ tidak ada barang riil atau barang yang dijadikan jaminan (fi al-dzimmah)/underlying
asset, serta skemanya condong pada mencari penghasilan tanpa kerja yang bisa dibenarkan oleh syara’,
serta tidak ada ladang investasi, maka jawabnya simpel: mungkin pihak tersebut tidak tahu. Tidak tahu,
dalam konteks ini, sudah pasti dimaknai sebagai tidak mengenal (ma’lum/ma’ruf) terhadap entitas yang
dibisniskannya, apakah benar memenuhi kategori harta atau tidak. Inilah poin pentingnya. Nah, kali ini
kita akan masuk pada mencermati skema bisnis MLM alias bisnis afiliasi alias direct selling (penjualan
langsung). Ada tiga model yang diperkenalkan bisnis afiliasi atau MLM ke masyarakat Indonesia, yaitu:
MLM pola binary MLM pola matriks MLM pola tersebar. Ketiganya membentuk suatu bangun yang
sama, yaitu piramida dengan ciri anggota bagian bawah sebagai yang lebih lebar dan luas. Kita akan rinci
satu per satu masing-masing dari ketiga pola tersebut. Pertama, MLM dengan Pola Binary Untuk bisnis
dengan pola binary ini, kita umumnya mengenal sebagai skema kaki 2. Ada sisi kanan dan sisi kiri. Seolah,
setiap anggota yang terdaftar dalam jaringan bisnis berskema binary ini, hanya diperintah untuk merekrut
Sebagai contoh, misalnya adalah skema bisnis MSI (Mahkota Sukses Indonesia) dan MCI (Millionare
Club Indonesia). Meski kedua entitas bisnis ini seolah memiliki skema bisnis yang sama, bahkan untuk
MSI baru diakui lagi oleh Kominfo dengan bukti hak penyiaran perdagangan lewat situs resminya
Izin Usaha Penjualan Langsung (SIUPL) dari Kementerian Perdagangan, sementara untuk MCI meski
sudah mengantonginya jauh-jauh hari sebelum MSI, akan tetapi buntut hukum keduanya bisa berbeda
dalam pandangan peneliti. Hukum muamalah MSI untuk Plan A adalah boleh (jawaz) (per 10
September 2020), sementara hukum MCI world adalah tidak boleh. Penyebabnya karena MCI
menyimpan adanya praktik ighra’, yaitu lalainya anggota dari melaksanakan tugas utama jual beli.
Adanya praktik ighra’ menandakan produk yang dijual, hakikatnya tidak sesuai dengan manfaatnya,
padahal dalam setiap jual beli, hak konsumen yang perlu mendapat perlindungan adalah bisanya
mengambil manfaat terhadap barang yang dibeli. Singkat ceritanya, barang tersebut sejatinya adalah
murah, namun dijual mahal. Dalam kasus EDCCASH, barang yang dijualbelikan adalah ibarat sampah
yang tidak berharga di pasar terbuka. Namun, pihak EDCCASH menjualnya seolah sebagai barang
berharga. Ketidakterlindunginya konsumen memang bukan illat hukum. Namun, unsur ketidaktahuan
konsumen terhadap cacat barang, cacat yang disembunyikan oleh produsen sebab kecilnya manfaat, itu
adalah bagian dari illat hukum yang harus dipegang kuat-kuat. Pelanggaran terhadap illat ini, adalah sama
dengan perbuatan dosa. Menurut Imam asy-Syafi’i, bagi pihak yang sudah tahu unsur keharamannya tapi
nekad maka hukumnya adalah haram, sehingga jual belinya adalah fasad (rusak). Praktik MLM dengan
sistem binary juga boleh, asalkan sistem ujrah dan ju’alah bisa dipisahkan dan diperinci antara keduanya.
Maksud dari perincian (tafriq al-shafqah) ini adalah, pembedaan mana bagian yang menerima skema bai’
murabahah (jual beli dengan keuntungan), dan mana bagian yang menerima skema jualah
(komisi/bonus). Penilaian hasil akhirnya (verifikasi data ketiadaan praktik ighra’), adalah dilakuka
dengan cara menghitung akumulasi dari total harga yang masuk lewat akad bai’ murabahah (jual beli
dengan keuntungan) dan jualah (bonus), tidak sampai melebihi ketentuan 40% dari biaya yang
dipergunakan untuk menyetok barang. Prosentase 40% ini, adalah angka patokan yang ditetapkan lewat
Peraturan Kementerian Perdagangan. Sebagai catatan bahwa, skema binary merupakan yang sama persis
dengan skema piramida. Itu sebabnya, skema ini cenderung diwaspadai oleh para ulama’, disebabkan
karena susah sekali dibedakan. Namun, dalam temuan akhir penulis, sekalipun MLM itu memiliki skema
piramida dalam sistem penjualannya, jika praktik muamalahnya terhindar dari illat keharaman di atas,
hakikatnya hilang sifat piramidanya. Jika sifat piramidanya hilang, maka yang dominan adalah skema akad
jual beli murabahah-nya dan akad ju’alah (prestasi kerja). Karena meniscayakan akan adanya akad
ju’alah (sayembara) ini, maka dalam setiap bisnis pola MLM ini, meniscayakan adanya istilah tutup poin.
Mengapa? Sebab, akad ju’alah umumnya dicirikan oleh keberadaan tutup poin, yaitu tercapainya target.
Relasi antara tutup poin dan akad ju’alah ini, kelak kita akan uji di kesempatan tulisan lain. Ketiadaan
tutup poin disinyalir hanya sebagai yang benar, jika relasi yang dibangun dalam MLM tersebut merupakan
hasil dari akad ijarah (sewa jasa). Kedua, MLM dengan Pola Matriks MLM dengan pola matriks,
merupakan perkembangan dari MLM pola binari. Seolah, MLM pola ini adalah untuk menghindari
disebut sebagai binari karena dicirikan oleh jumlah anggota dari upline adalah terdiri dari 3 orang
anggota. Setiap anggota, seolah memiliki kewajiban mencari 3 orang anggota. Kiranya illat kebolehan
dan keharaman dari skema MLM matriks ini adalah sama dengan MLM binari. Tentu, verifikasi hasil
akhirnya juga memiliki tata cara yang sama. Tujuan dari verifikasi ini adalah untuk menengarai, adanya
praktik ighra’ atau tidak. Ketiga, MLM dengan Sistem Terbuka Banyak pihak menyebut pola ini sebagai
sistem matahari. Ciri khas sistem ini, adalah seolah-olah setiap peserta terhubung langsung dengan
perusahaan. Padahal, dalam faktanya tidak. Justru setiap peserta dalam sistem ini terhubung langsung
dengan pihak leadernya. Satu orang leader (upline) bisa membawahi lebih dari 20 downline. Bagi,
perusahaan MLM yang curang, mereka hanya menampakkan skema 1 jaring hubungan saja, semisal 1
orang leader membawahi referral sebanyak 20 orang saja. Jarang sekali mereka mahu terbuka, bahwa
dalam skema bisnis tersebut, setiap referral ternyata juga harus memiliki lebih dari 20 orang juga.
Alhasil, sistem bisnis ini juga menyimpan resiko yang sama dengan kedua sistem bisnis sebelumnya,
bahkan bisa lebih jahat. Sebab, seolah 1 member, diwajibkan memiliki anggota/referral/afiliate sebanyak
20 orang. Jadi, bagian bawahnya justru lebih lebar dibanding kedua sistem MLM binari dan matriks.
Apakah pola pemasaran dari skema ini lantas diputus sebagai haram mutlak? Jawabnya, adalah tentu tidak,
selagi tidak menyimpan adanya illat-illat keharaman sebagaimana di atas. Hanya saja, bagi masyarakat
yang tidak pandai-pandai dalam menelaah dan mencermati sistemnya, ia bisa juga terjebak. Mengapa?
Sebab, total akumulasi komisi pencarian anggota yang diatasnamakan bonus/income passive dari pola
terakhir ini, jauh lebih besar dibanding kedua sistem MLM sebelumnya. Nah, masyarakat umumnya hanya
tertipu dari melihat secara sekilas dari hasil potensi bonus itu. Jadilah kemudian lahir praktik ighra’.
Kesimpulan Apa pun sistem bisnis MLM dan bagaimanapun skema bisnis yang diberikan, potensi
merugikan (mudlarat) terhadap masyarakat itu sudah pasti ada. Oleh karena itu, Islam hanya
menggariskan bahwa jika di dalam suatu skema bisnis, terdapat illat keharaman yang dipraktikkan, seperti
adanya judi, riba, spekulasi, curang, menyembunyikan cacat dan aib dari barang yang dijualbelikan,
manfaat barang sangat kecil sehingga tidak sesuai dengan harga, atau bahkan sama sekali tidak ada barang
riil yang diperjualbelikan, serta tidak ada skema dzimmah (penjaminan) yang diperankan, maka dapat
dipastikan bahwa skema bisnis itu adalah haram. Jadi, tidak peduli, apakah skema bisnisnya memakai
sistem matahari atau tidak, berskema piramida atau tidak, jika terdapat illat keharaman itu semua, maka
sistem bisnis tersebut adalah haram. Bagaimana solusinya? Dengarkan pihak yang lebih berhati-hati
dalam mengambil keputusan, atau setidaknya ada skema pertanggungjawaban ganti rugi yang bisa dijamin.
Tanpa solusi adanya penjamin ganti rugi, maka bisnis tersebut rata-rata adalah haram. Contoh dari sistem
penjaminan itu adalah barang yang tidak laku, bisa diretur kembali. Namun, kembali bahwa solusi ini
adalah hanyalah sekadar teknis semata. Adapun penilaian terhadap praktik di lapangan, maka perlu
mendengarkan suara pihak yang ‘adil dalam menilai. Syarat pihak yang adil dalam menilai (secara fiqih),
adalah: pihak tersebut merupakan entitas independen (hurriyah) dan “bukan” bagian yang digaji oleh
entitas bisnis yang tengah diverifikasinya. Wallahu a’lam bi al-shawab Muhammad Syamsudin, M.Ag,
Sumber: https://islam.nu.or.id/ekonomi-syariah/tiga-skema-bisnis-mlm-dan-perlunya-waspada-zTsai
APLI yang memiliki kepanjangan Asosiasi Penjualan Langsung Indonesia, merupakan sebuah asosiasi yang
beranggotakan para praktisi perusahaan yang menangani praktik pemasaran produk secara langsung
berjenjang di Indonesia. Rekam jejak organisasi ini sepertinya menarik untuk disimak. Perlu diketahui
bahwa ternyata APLI ini juga membawahi para pelaku MLM (Multi-level Marketing). Padahal di antara
jargon yang diusung oleh APLI adalah memerangi segala praktik money game.
Dengan melihat organisasi yang dibawahinya adalah melibatkan pula pelaku pemasaran langsung
berjenjang atau MLM (Multi-level Marketing) tapi ternyata ruang gerak asosiasi ini memerangi money
game, tampak bahwa: 1. Meskipun MLM sering diidentikkan dengan money game, tapi tidak semua MLM
adalah money game 2. Jika money game merupakan alasan utama diharamkannya MLM, berarti ada MLM
yang diperbolehkan dalam syariat Nah, yang penting untuk diketahui adalah MLM yang bagaimanakah
yang tidak dilarang dalam syariat?
Jika kita cermati dengan sungguh-sungguh alur pemasaran Multi-level Marketing (MLM), maka
sebenarnya hampir tidak ada beda antara MLM dengan money game atau skema Ponzi. Masing-masing
menyerupai bangunan piramida di mana bagian atas merupakan upline dan bagian yang melebar adalah
downline. Akan tetapi, upline dan downline bukanlah illat keharaman dalam suatu praktik muamalah.
Illat keharaman sesungguhnya dari praktik MLM yang masuk kelompok money game adalah
adanya passive income berupa bonus yang diperoleh tidak berdasarkan akad prestasi dalam kerja atau
capaian target kerja. Prestasi yang didasarkan capaian target kerja ini disebut dengan istilah akad ju'alah.
Ciri khas akad prestasi ini gampang sekali dikenali. Misalnya PT Luxindo Raya, salah satu produsen
mesin cuci dan vacuum cleaner dengan merek Lux, memiliki skema pemasaran langsung sebagai berikut:
1. Cabang perusahaan yang berada di tiap-tiap kabupaten dipimpin oleh seorang Branch Manager 2.
Setiap manajer mengepalai 5 - 10 Kepala Divisi Pemasaran 3. Setiap Kepala Divisi Pemasaran membawahi
5 tenaga Marketing Executive. Dengan demikian, total tenaga marketing executive adalah sebanyak 50
orang untuk 10 Divisi yang dipimpin oleh 1 orang Branch Manager. Jika kondisi ini digambarkan, maka
menyerupai struktur piramida. Struktur seperti ini juga dikenal dengan istilah MLM (Multi-level
Marketing). Namun, ia tidak bisa disebut sebagai money game disebabkan ada target operasional dan
capaian. Capaian yang ditarget adalah banyaknya penjualan mesin cuci dan vacuum cleaner. Suatu misal,
setiap anggota yang berhasil menjual 1 unit mesin cuci atau vaacuum cleaner, maka dia akan mendapatkan
bonus sebesar 300 ribu. Semakin banyak ia menjual, semakin banyak pula bonus yang ia terima. Tipe
pemasaran semacam ini adalah masuk akad wan prestasi (ju'alah). Hukumnya boleh, disebabkan tidak ada
passive income yang terlibat. Andaikata ada target capaian lainnya, misalnya barangsiapa bisa menjual 10
mesin cuci, maka dia akan mendapatkan gaji ekstra di luar bonus penjualan sebesar 1 juta rupiah. Target
seperti ini juga tidak masuk sebagai passive income, sebab ada kulfah dan batasan sayembara/musâbaqah
yang jelas dan diketahui oleh semua peserta yang terlibat. Dalam konteks syariah, bonus ekstra ini dikenal
dengan istilah ja'lu. Apakah dengan sistem MLM yang baru kita sebutkan ini tidak menutup
kemungkinan adanya unsur maisir (judi)? Perlu diketahui bahwa, maisir itu ada manakala setiap anggota
yang masuk harus dipungut 'iwadl (biaya pendaftaran). Selanjutnya, biaya pendaftaran ini dipertaruhkan.
Bagi pihak yang kalah, maka dia tidak mendapat apa-apa. Sementara bagi pihak yang menang, dia bisa
memboyong seluruh iwadl yang dipertaruhkan tersebut. Inilah maisir. Dalam kelompok MLM semacam
Luxindo Raya ini tidak ada unsur penyerahan 'iwadl. Akhir-akhir ini marak diperbincangkan soal Paytren
yang merupakan salah satu produk dari Ustadz Yusuf Mansur. Apakah Paytren masuk kelompok MLM?
Jawabnya adalah iya, karena ada bukti sistem upline dan downline-nya. Namun, apakah MLM yang
dipraktikkan Paytren ini sama dengan MLM yang merupakan money game? Inilah yang perlu dicari
jawabannya dengan jalan meneliti masing-masing komponen yang terlibat. Untuk mengenali adanya
money game ini pertanyaan pertama yang harus ditemukan jawabannya adalah apakah ada passive
income yang turut serta di dalam Paytren tersebut? Apakah ada biaya pendaftaran yang dipungut oleh
Paytren ke store-store kecil jaringan anggotanya? Apakah ada produk yang dijual? Bagaimana penentuan
akad wan prestasinya? Semua ini memerlukan telaah yang mendalam. Paytren Memiliki Produk yang
Dijual Menurut situs resmi Paytren, Paytren pada dasarnya menjual produk aplikasi. Harga produk ini
adalah sebesar 350 ribu. Melalui pembelian produk ini, maka pembeli langsung dinyatakan sebagai mitra
Paytren. Melalui aplikasi ini, mitra Paytren sudah langsung bisa menjalankan produk tersebut untuk
bisnis. Dari setiap transaksi yang dilakukan oleh setiap mitra, Paytren menjanjikan bonus dan cashback
langsung. Cashback yang dimaksud di sini menurutnya adalah fee (ujrah) yang diberikan perusahaan saat
si mitra atau jaringan yang dimiliki mitra melakukan transaksi. Misalnya A (upline 1) memiliki aplikasi
bermitra dengan B (downline 1) dan B bermitra dengan C (downline 2 anggota B). Dari setiap transaksi
yang dilakukan oleh C, si A mendapat cashback (passive income) dengan besaran tertentu. Demikian pula
dengan si B yang menjadi upline dari si C, ia mendapat cashback karenai referensi yang dimilikinya.
Sampai di sini, jika kita telaah lebih lanjut, memang benar bahwa ada passive income uang dimiliki oleh A
atau B akibat pekerjaan yang dilakukan oleh C melalui transaksi. Selanjutnya, kita perlu mencari tahu
tentang makna transaksi yang dilakukan oleh si C ini. Apakah maksud transaksi ini adalah mencari anak
buah, atau berasal dari penjualan produk? Jika berasal dari mencari anak buah, maka hakikatnya benar
bahwa Paytren adalah berbasis money game. Namun, jika berbasis penjualan produk, maka Paytren tidak
bisa dikategorikan sebagai money game, karena cashback hasil penjualan produk yang berasal dari anak
buah ini kedudukannya sama dengan ja'lu (bonus penjualan). Transaksi dalam Paytren Berdasar
penelusuran penulis, menurut situs resmi Paytren, ternyata Paytren memiliki bisnis Fintech yang bisa
dipergunakan menyerupai bisnis PPoB. PPoB ini adalah aplikasi yang bisa dipergunakan untuk membeli
tiket atau tagihan bulanan, baik dilakukan untuk keperluan sendiri maupun orang lain. Berbagai tagihan
ini meliputi PDAM, Telepon, Pulsa, Paket data, TV berbayar, cicilan mulfinance dan lain sebagainya. Yang
membedakan antara Paytren dan PPoB, aplikasi tidak didapatkan dengan jalan membeli. Aplikasi PPoB
bisa didapat secara gratis berikut sandinya. Sementara itu, aplikasi Paytren harus didapatkan dengan jalan
membeli password terlebih dahulu agar bisa login dan memanfaatkan produk Treni. Mencermati akan hal
ini, maka yang patut ditelusuri apa manfaat dari uang 350 ribu yang dipergunakan oleh Paytren? Setelah
penulis telusuri, ternyata uang tersebut dipergunakan untuk memberikan passive income terhadap upline
1 dan 2, dengan besaran masing-masing adalah sebesar 25 ribu untuk upline 1 dan 75 ribu untuk upline
2. Selebihnya uang tersebut masuk ke rekening perusahaan. Uang yang masuk ke upline 1 dan 2 ini secara
otomatis masuk ke rekening upline 1 dan 2 dari perusahaan setelah terjadinya transaksi pendaftaran mitra
anggota. Jadi, dapat disimpulkan bahwa uang inilah yang masuk kategori money game itu. Tentu saja
pandangan ini kunci utamanya adalah fokus pada harga password aplikasi yang diperjualbelikan. Jika
benar bahwa aplikasi tersebut hakikatnya bisa didapat secara gratis, maka uang 350 ribu adalah murni
biaya pendaftaran kemitraan dan aplikasi hanyalah berperan sebagai pengelabuhan semata. Hukum akan
berlaku sebaliknya, jika aplikasi Paytren memiliki nilai lebih dibanding PPoB. Walhasil, pembacalah yang
harus menilai. Hukum Bonus yang Dihasilkan dari Penjualan Produk Paytren Bonus yang didapat oleh
mitra Paytren diperoleh dari hasil penjualan aplikasi Treni. Melihat sumber asal produk ini, maka semakin
sering transaksi produk dilakukan oleh mitra, maka semakin sering ia mendapat bonus. Karena berasal
dari penjualan produk, maka bonus dalam Paytren ini masuk akad ja'lu (bonus) yang sah karena berbasis
penjualan, sementara kita tahu bahwa penjualan ini tidak harus mutlak ke anggota saja, melainkan ke
orang di luar mitra paytren. Sampai di sini, pembaca digiring untuk bisa membedakan antara cashback
dengan bonus yang ditawarkan oleh Paytren. Sejauh kajian penulis, cashback itulah yang haram sementara
bonus penjualan adalah halal. Alhasil, dengan mencermati dua pola penjualan langsung berjenjang ini,
sebagaimana dipraktikkan oleh Luxindo Raaya dan Paytren, maka dapat diambil kesimpulan bahwa tidak
semua MLM dengan sistem jual beli piramida bisa disamakan kedudukannya sebagai money game yang
dilarang syariat. Apa yang dipraktikkan oleh PT Luxindo Raya adalah contoh MLM yang diperbolehkan
karena ketiadaan passive income dan ketiadaan unsur permainan uang didalamnya. Namun, unsur MLM
yang dilarang adalah sebagaimana dicontohkan pada penerapan sistem cashback Paytren. Dengan begitu
jelas sudah bahwa tidak semua MLM adalah money game dan tidak semua sistem piramida penjualan
adalah berbasis money game. Teliti dan cermati! Wallahu a'lam bish shawab. Ustadz Muhammad
Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur
Sumber: https://islam.nu.or.id/ekonomi-syariah/mlm-yang-diharamkan-dan-yang-diperbolehkan-7oemq
Hukum Uang yang Didapat dari Bisnis MLM
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Kepada pengasuh rubrik Bahtsul Masail yang saya
hormati. Berikut ini, saya ada permasalahan yang menghendaki penjelasan sebagai solusi untuk pribadi
saya. Saya adalah orang yang berhenti dari melakukan bisnis MLM X (Redaksi) yang saya yakini ada
praktik money game di dalamnya. Sebelumnya, saya terinspirasi dengan penjelasan NU Online mengenai
MLM yang diperbolehkan dan diharamkan. Untuk itu saya ucapkan terima kasih. Selepas saya keluar
Bagaimana hukumnya untuk uang yang saya dapat dari MLM sebelum saya mengetahui hukum MLM itu?
Jika tetap haram, lalu uang tersebut diapakan? Bapak saya masih membutuhkan produk X itu karena
untuk membantu penyembuhan. Bagaimana ya hukumnya, di satu sisi saya membeli lewat MLM yang
haram, di sisi lain saya masih membutuhkan suplemen X itu untuk bapak saya? Terima kasih banyak,
wabarakatuh. Penanya yang budiman yang dirahmati oleh Allah subhanahu wata’ala. Sebelumnya kami
mohon maaf bila pertanyaan saudara kami ringkas agar tidak terlalu panjang, namun kami berharap
ringkasan ini tidak mengurangi esensi dari pertanyaan Saudari. Insyaallah! Penanya yang budiman! Pada
dasarnya, dalam Islam ada aturan bahwa sebelum seseorang terjun bergabung ke dalam suatu bisnis,
hendaknya ia mencermati dulu, apakah entitas bisnis yang hendak diterjuni itu sebagai yang bergerak di
dalam perkara halal atau tidak. Demikian halnya, hendaknya seorang Muslim juga memperhatikan segi
haramnya bisnis terseubut. Mengapa? Sebab segala sesuatu yang dikonsumsi oleh manusia kelak akan
‘alaihi wasallam telah bersabda, “Setiap daging yang tumbuh dari perkara haram, maka api neraka
merupakan yang lebih utama baginya.” Bagaimana bila tidak mengetahui cara mengenal halal dan haram?
Jawabnya adalah bertanya kepada para ulama. Sebab bertanya itu memang sebuah kewajiban. Allah
subhanahu wata'ala berfirman: “Bertanyalah kalian kepada ahli dzikir (baca: ulama) jika kalian tidak
mengetahui.”
Lantas, bagaimana bila hal itu juga tidak bisa dilakukan, dan anda terlanjur terjun di dalamnya, kemudian
anda tahu bahwa ternyata di tempat tersebut terdapat penghasilan haram? Dalam hal ini, ada sebuah
tuntunan dalam syariat Islam, bahwasanya salah satu udzur (kendala) yang ditoleransi oleh syara’
sehingga pelakunya tidak terkena hukum haram adalah udzur karena tidak tahu. Kecuali bila udzur itu
berkaitan dengan ‘uqubah (sanksi). Misalnya, orang tidak tahu bahwa di dalam transaksi bisnis itu ada
praktik yang diharamkan, maka dalam kondisi semacam ini, pelakunya termasuk bagian dari yang
ditoleransi oleh syara’ sebab ketidaktahuannya. Namun, sifat ditoleransinya ketidaktahuan ini adalah
menempati derajat takhfif (keringanan) saja, sehingga pelakunya harus terus berupaya lepas dari jerat
ketidaktahuan tersebut.
وإلا كان الجهل خيرا من العلم، واعلم أن أعذار الجاهل من باب التخفيف لا من حيث جهله "Ketahuilah bahwa pihak yang
tidak tahu ini dianggap udzur adalah karena faktor keringanan (dispensasi) untuk orangnya, dan bukan
karena faktor ketidaktahuan itu sendiri. Seandainya keringanan itu karena faktor “tidak tahunya”, maka
pastilah kebodohan akan jauh lebih baik dibanding mengetahui.” (I’anatu al-Thalibin, juz 1, halaman:
258) Selain itu, sudah barang tentu, toleransi di atas harus disertai dengan catatan lain, yaitu selagi kasus
yang tidak diketahuinya bukan berkaitan dengan semacam pencurian, perampokan, dan sejenisnya. Dua
contoh terakhir ini, meskipun pelakunya bersifat tidak tahu haramnya pencurian dan perampokan, maka
ia tetap wajib mengembalikan hak orang lain yang dicuri atau diambil secara paksa tersebut olehnya.
Mengapa? Sebab pencurian dan perampokan adalah termasuk jenis pelanggaran yang berbasis ‘uqubah
(sanksi pidana) yang mana hal itu termasuk jenis muamalah yang dilarang secara ma’lum bi al-dlarurah
(diketahui umum secara pasti). Lantas bagaimana dengan hukum harta yang sebelumnya diperoleh dari
ikut bisnis haram itu? Jawaban dari penulis dalam hal ini adalah bertumpu pada sifat ketidaktahuan
penanya sebelumnya, bahwa MLM yang diikutinya sebagai yang melakukan praktik haram. Alhasil, solusi
yang penulis tawarkan adalah dengan memperhatikan pesan para ulama sebagai berikut: Pertama, jika
objek barang yang dijualbelikan dalam bisnis itu adalah terdiri dari harta halal, maka perolehan
penghasilan dari bisnis MLM tersebut dihukumi sebagai halal. Demikian pula sebaliknya. Pendapat ini
dsampaikan oleh Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi al-Hanbali, sebagai berikut: وإذا اشترى ممن في ماله حرام
فهو حرام، وإن علم أنه حرام، فهو حلال، فإن علم أن المبيع من حلال ماله، والمرابي، وحلال؛ كالسلطان الظالم “Bila seseorang
membeli harta orang lain yang mayoritas hartanya merupakan harta haram, misalnya seperti harta seorang
pemimpin yang telah berbuat aniaya (dhalim), maka jika dia mengetahui bahwa barang yang dijual
tersebut merupakan harta halal, maka halal pula membelinya. Dan apabila ia tahu bahwa barang yang
dijual itu adalah haram, maka haram pula harta itu” (Ibnu Qudamah al-Maqdisi, al-Mughny, Kairo: Dar
Ihyai al-Turats al-‘Araby, tt., juz 4, halaman 180). Kedua, karena di dalam MLM terdapat bagian
penghasilan yang haram, maka bagi pelaku yang sudah tobat dianjurkan agar memisahkan komposisi
penghasilan haram tersebut, dan mana komposisi yang halal. Anjuran ini disampaikan oleh Ibnu Nujaim
al-Hanafi sebagai berikut: فلا يخلو الحال من أن يكون مقدار المال،أما إذا اختلط حلال المال بحرامه ولم يمكن التمييز بينهما
أو تكون النسبة بينهما مجهولة، أو يكون قد تساوى حلال المال وحرامه، أو هو الأقل، الحرام هو الأكثر الغالب “Apabila terjadi
percampuran antara halal dan haramnya harta, sementara tidak bisa membedakan keduanya, maka tidak
bisa tidak dalam kondisi seperti ini untuk mempertimbangkan kadar harta haram itu sebagai yang
mayoritaskah, atau minimalkah, atau samakah. Atau setidaknya menurut nisbah yang tidak diketahui dari
keduanya.” (Ibnu Nujaim, Al-Asybah wa al-Nadhair, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt., halaman 84).
Ketiga, apabila di dalam MLM tersebut secara mutlak melakukan praktik haram seluruhnya, yang ditandai
oleh ketiadaan barang yang diperjualbelikan sama sekali, sehingga pihak member hanya mengoper-oper
uang pelanggan, maka dalam konteks ini, tuntunan yang disampaikan oleh ulama kalangan Madzhab
Maliki adalah sebagai berikut: وأما من كان كل ماله حرام – إلى أن قال – فهذا تمنع معاملته ومداينته ويمنع من التصرف
المالي وغيره “Orang yang semua hartanya terdiri dari harta haram,…., maka ia dicegah dari menggunakan
harta itu dalam muamalah dan utang piutang (mudayanah). Ia juga dicegah dari melakukan penyaluran
yang bersifat hartawi dan selainnya.” (Al-Dasuqy, Hasyiyah ‘ala Syarhi al-Kabir, Kairo: Dar Ihyai al-Kutub
al-‘Arabiyyah, tt., Juz 3, halaman 277). Ayah penanya masih membutuhkan bantuan obat yang hanya
bisa didapat dari MLM haram. Bolehkah membeli obat dari MLM itu? Untuk menjawab pertanyaan ini,
Syekh Jalaluddin al-Suyuthi memerinci hukumnya menjadi dua, yaitu: (1) hukumnya adalah boleh yang
disertai kemakruhan khususnya bila memungkinkan untuk mencari solusi, dan (2) boleh secara mutlak.
Beliau menyampaikan masalah yang sejenis, dalam salah satu kitabnya sebagai berikut: أما إذا كان الحرام هو
لكن إذا ترتب على ترك المعاملة في هذه الحالة وقوع أحد الطرفين في الحرج أو، فالأصل حينئذ أن المعاملة تجوز مع الكراهة،الغالب
بينما،ل ظن
ّ جاز التعامل بلا كراهة؛ لأن وقوع التعامل بالمال الحرام يكون حينئذ مح، أو عمت بلوى الناس بذلك،حالة الضرورة
كما أنه قد تقرر في قواعد الفقه الإسلامي أنه إذا تعارضت مفسدتان، والقطع مقدم على الظن،ل قطع
ّ وقوع الحرج أو البلوى يكون مح
روعي أعظمهما ضررا بارتكاب أخفهما “Apabila harta haram itu yang menduduki mayoritas, maka hukum asal
bermuamalah (baca: membeli obat) dengan pihak sedemikian ini adalah boleh yang disertai dengan
kemakruhan. Bahkan, apabila karena meninggalkan muamalah (baca: membeli obat dari MLM itu) justru
bisa menyebabkan salah satu pihak jatuh dalam kesulitan atau kondisi memprihatinkan, atau apabila
kondisi bermuamalah dengan pemilik harta haram itu sudah merupakan ‘ammati al-balwa (tidak bisa
dihindari lagi), maka bermuamalah dengan pemilik mayoritas harta haram adalah boleh tanpa adanya
kemakruhan. Mengapa? Karena bermuamalah dengan harta haram dalam kondisi ini menduduki posisi
dhan (prasangka). Sementara kesulitan dan kondisi balwa merupakan sesuatu yang pasti (bila
ditinggalkan). Oleh karenanya sesuatu yang bersifat pasti harus didahulukan dibandingkan prasangka.
Sebagaimana hal ini merupakan yang disinggung dalam qaidah fikih islami sebagai “apabila terjadi
pertentangan dua mafsadah, maka yang harus dihindari pertama kalinya adalah mafsadah yang terbesar
dalam menimbulkan kerugian sembari tetap berusaha mencari solusi dlarar yang paling ringan dari kedua
mafsadah itu.” (Jalaluddin Al-Suyuthi, Al-Asybah wa al-Nadhair, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt.,
halaman 87). Alhasil, berangkat dari anjuran yang disampaikan oleh beliau Syekh Jalaluddin al-Suyuthi
ini, maka boleh bagi penanya untuk membeli obat guna membantu kesembuhan orang tua, disebabkan
karena memenuhi syarat adanya masyaqqah bila meninggalkan produk MLM tersebut. Namun, pembelian
ini sifatnya adalah karena faktor dlarurah lil hajat (darurat karena kebutuhan). Dengan demikian, hukum
keringanan sifatnya hanya berlaku sampai batas darurat itu sudah tidak terjadi lagi. Wallahu a’lam bish
shawab. Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU
Jatim
Sumber: https://islam.nu.or.id/bahtsul-masail/hukum-uang-yang-didapat-dari-bisnis-mlm-su6Kn
Hukum Berbisnis dengan Model
Multi Level Marketing
Salah satu yang marak di negeri ini adalah bisni dengan model Multi Level
Marketing atau MLM. Tidak sedikit yang berhasil mengembangkan bisnis ini,
bahkan dengan keuntungan yang menggiurkan. Namun pada saat yang sama, ada
juga yang gagal meraih untung, bahkan buntung.
Pada dasarnya, dalam Islam ada aturan bahwa sebelum seseorang terjun
bergabung ke dalam suatu bisnis, hendaknya ia mencermati dulu, apakah entitas
bisnis yang hendak diterjuni itu sebagai yang bergerak di dalam perkara halal
atau tidak.
Demikian halnya, hendaknya seorang muslim juga memperhatikan segi
haramnya bisnis tersebut. Mengapa? Sebab segala sesuatu yang dikonsumsi oleh
Baginda Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam telah bersabda: Setiap daging yang
tumbuh dari perkara haram, maka api neraka merupakan yang lebih utama
baginya.
Bagaimana bila tidak mengetahui cara mengenal halal dan haram? Jawabnya
adalah bertanya kepada para ulama. Sebab bertanya itu memang sebuah
kewajiban. Allah SWT berfirman: Bertanyalah kalian kepada ahli dzikir (baca:
ulama) jika kalian tidak mengetahui.
Lantas, bagaimana bila hal itu juga tidak bisa dilakukan, dan anda terlanjur
terjun di dalamnya, kemudian tahu bahwa ternyata di tempat tersebut terdapat
penghasilan haram? Dalam hal ini, ada sebuah tuntunan dalam syariat Islam,
bahwasanya salah satu udzur (kendala) yang ditoleransi oleh syara sehingga
pelakunya tidak terkena hukum haram adalah udzur karena tidak tahu.
Kecuali bila udzur itu berkaitan dengan ‘uqubah (sanksi). Misalnya, orang tidak
tahu bahwa di dalam transaksi bisnis itu ada praktik yang diharamkan, maka
dalam kondisi semacam ini, pelakunya termasuk bagian dari yang ditoleransi
oleh syara sebab ketidaktahuannya. Namun, sifat ditoleransinya ketidaktahuan
ini adalah menempati derajat takhfif (keringanan) saja, sehingga pelakunya
harus terus berupaya lepas dari jerat ketidaktahuan tersebut.
وإلا كان الجهل خيرا من العلم، واعلم أن أعذار الجاهل من باب التخفيف لا من حيث جهله
Artinya: Ketahuilah bahwa pihak yang tidak tahu ini dianggap udzur adalah karena
faktor keringanan (dispensasi) untuk orangnya, dan bukan karena faktor
ketidaktahuan itu sendiri. Seandainya keringanan itu karena faktor ‘tidak tahunya’,
maka pastilah kebodohan akan jauh lebih baik dibanding mengetahui. (I’anatu al-
Thalibin, juz 1, halaman: 258)
Selain itu, sudah barang tentu, toleransi di atas harus disertai dengan catatan
lain, yaitu selagi kasus yang tidak diketahuinya bukan berkaitan dengan
semacam pencurian, perampokan, dan sejenisnya.
Dua contoh terakhir ini, meskipun pelakunya bersifat tidak tahu haramnya
pencurian dan perampokan, maka ia tetap wajib mengembalikan hak orang lain
yang dicuri atau diambil secara paksa tersebut olehnya. Mengapa? Sebab
pencurian dan perampokan adalah termasuk jenis pelanggaran yang berbasis
uqubah (sanksi pidana) yang mana hal itu termasuk jenis muamalah yang
dilarang secara ma’lum bi al-dlarurah (diketahui umum secara pasti).
Lantas bagaimana dengan hukum harta yang sebelumnya diperoleh dari ikut
bisnis haram itu? Jawaban dari pertanyaan hal ini adalah bertumpu pada sifat
ketidaktahuan penanya sebelumnya, bahwa MLM yang diikutinya sebagai yang
melakukan praktik haram. Alhasil, solusi yang penulis tawarkan adalah dengan
memperhatikan pesan para ulama sebagai berikut:
Pertama, jika objek barang yang dijualbelikan dalam bisnis itu adalah terdiri dari
harta halal, maka perolehan penghasilan dari bisnis MLM tersebut dihukumi
sebagai halal. Demikian pula sebaliknya. Pendapat ini dsampaikan oleh Imam
Ibnu Qudamah al-Maqdisi al-Hanbali, sebagai berikut:
فإن علم أن المبيع من حلال، والمرابي،وإذا اشترى ممن في ماله حرام وحلال؛ كالسلطان الظالم
فهو حرام، وإن علم أنه حرام، فهو حلال، ماله
Artinya: Bila seseorang membeli harta orang lain yang mayoritas hartanya
merupakan harta haram, misalnya seperti harta seorang pemimpin yang telah berbuat
aniaya (dhalim), maka jika dia mengetahui bahwa barang yang dijual tersebut
merupakan harta halal, maka halal pula membelinya. Dan apabila ia tahu bahwa
barang yang dijual itu adalah haram, maka haram pula harta itu. (Ibnu Qudamah
al-Maqdisi, al-Mughny, Kairo: Dar Ihyai al-Turats al-‘Araby, tt., juz 4, halaman
180).
Kedua, karena di dalam MLM terdapat bagian penghasilan yang haram, maka
bagi pelaku yang sudah tobat dianjurkan agar memisahkan komposisi
penghasilan haram tersebut, dan mana komposisi yang halal. Anjuran ini
disampaikan oleh Ibnu Nujaim al-Hanafi sebagai berikut:
فلا يخلو الحال من أن يكون مقدار المال،أما إذا اختلط حلال المال بحرامه ولم يمكن التمييز بينهما
أو تكون النسبة، أو يكون قد تساوى حلال المال وحرامه، أو هو الأقل،الحرام هو الأكثر الغالب
بينهما مجهولة
Artinya: Apabila terjadi percampuran antara halal dan haramnya harta, sementara
tidak bisa membedakan keduanya, maka tidak bisa tidak dalam kondisi seperti ini
untuk mempertimbangkan kadar harta haram itu sebagai yang mayoritaskah, atau
minimalkah, atau samakah. Atau setidaknya menurut nisbah yang tidak diketahui dari
keduanya. (Ibnu Nujaim, Al-Asybah wa al-Nadhair, Beirut: Dar al-Kutub al-
Ilmiyyah, tt., halaman 84).
Ketiga, apabila di dalam MLM tersebut secara mutlak melakukan praktik haram
seluruhnya, yang ditandai oleh ketiadaan barang yang diperjualbelikan sama
sekali, sehingga pihak member hanya mengoper-oper uang pelanggan, maka
dalam konteks ini, tuntunan yang disampaikan oleh ulama kalangan Madzhab
Maliki adalah sebagai berikut:
وأما من كان كل ماله حرام – إلى أن قال – فهذا تمنع معاملته ومداينته ويمنع من التصرف المالي
وغيره
Artinya: Orang yang semua hartanya terdiri dari harta haram,…., maka ia dicegah
dari menggunakan harta itu dalam muamalah dan utang piutang (mudayanah). Ia
juga dicegah dari melakukan penyaluran yang bersifat hartawi dan selainnya. (Al-
Dasuqy, Hasyiyah ‘ala Syarhi al-Kabir, Kairo: Dar Ihyai al-Kutub al-‘Arabiyyah,
tt., Juz 3, halaman 277).
Bagaimana kalau ada orang yang membutuhkan bantuan obat yang hanya bisa
didapat dari MLM haram. Bolehkah membeli obat dari MLM itu?
Untuk menjawab pertanyaan ini, Syekh Jalaluddin al-Suyuthi memerinci
hukumnya menjadi dua, yaitu: (1) hukumnya adalah boleh yang disertai
kemakruhan khususnya bila memungkinkan untuk mencari solusi, dan (2)
boleh secara mutlak. Beliau menyampaikan masalah yang sejenis, dalam salah
satu kitabnya sebagai berikut:
لكن إذا ترتب على، فالأصل حينئذ أن المعاملة تجوز مع الكراهة،أما إذا كان الحرام هو الغالب
أو عمت بلوى الناس،ترك المعاملة في هذه الحالة وقوع أحد الطرفين في الحرج أو حالة الضرورة
بينما وقوع،ل ظن
ّ جاز التعامل بلا كراهة؛ لأن وقوع التعامل بالمال الحرام يكون حينئذ مح،بذلك
كما أنه قد تقرر في قواعد الفقه الإسلامي، والقطع مقدم على الظن،ل قطع
ّ الحرج أو البلوى يكون مح
أنه إذا تعارضت مفسدتان روعي أعظمهما ضررا بارتكاب أخفهما
Artinya: Apabila harta haram itu yang menduduki mayoritas, maka hukum asal
bermuamalah (baca: membeli obat) dengan pihak sedemikian ini adalah boleh yang
disertai dengan kemakruhan. Bahkan, apabila karena meninggalkan muamalah (baca:
membeli obat dari MLM itu) justru bisa menyebabkan salah satu pihak jatuh dalam
kesulitan atau kondisi memprihatinkan, atau apabila kondisi bermuamalah dengan
pemilik harta haram itu sudah merupakan ‘ammati al-balwa (tidak bisa dihindari
lagi), maka bermuamalah dengan pemilik mayoritas harta haram adalah boleh tanpa
adanya kemakruhan. Mengapa? Karena bermuamalah dengan harta haram dalam
kondisi ini menduduki posisi dhan (prasangka). Sementara kesulitan dan kondisi
balwa merupakan sesuatu yang pasti (bila ditinggalkan). Oleh karenanya sesuatu
yang bersifat pasti harus didahulukan dibandingkan prasangka. Sebagaimana hal ini
merupakan yang disinggung dalam qaidah fikih islami sebagai ‘apabila terjadi
pertentangan dua mafsadah, maka yang harus dihindari pertama kalinya adalah
mafsadah yang terbesar dalam menimbulkan kerugian sembari tetap berusaha mencari
solusi dlarar yang paling ringan dari kedua mafsadah itu.’ (Jalaluddin Al-Suyuthi,
Al-Asybah wa al-Nadhair, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt., halaman 87).
Alhasil, berangkat dari anjuran yang disampaikan oleh beliau Syekh Jalaluddin
al-Suyuthi ini, maka boleh untuk membeli obat guna membantu kesembuhan
orang tua, disebabkan karena memenuhi syarat adanya masyaqqah bila
meninggalkan produk MLM tersebut. Namun, pembelian ini sifatnya adalah
karena faktor dlarurah lil hajat (darurat karena kebutuhan). Dengan demikian,
hukum keringanan sifatnya hanya berlaku sampai batas darurat itu sudah tidak
terjadi lagi.
Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU
Center PWNU Jatim
Bisnis MLM Jadi Pembahasan Serius Munas-Konbes 2019
Kota Banjar, NU Online Pimpinan Sidang Komisi Bahtsul Masail Diniyyah Waqiiyyah Ustadz Asnawi
Ridwan mengatakan, hukum bisnis money game model multi level marketing (MLM), baik menggunakan
skema piramida atau matahari, dan ponzi adalah haram. Bisnis dengan menggunakan sistem MLM, baik
yang menggunakan skema piramida maupun skema matahari, memiliki lima ketentuan sebagaimana
berikut : Pertama, adanya uang pendaftaran atau dibarengi dengan pembelian produk yang merupakan
syarat pula dalam mengikuti kegiatan penjualan berjenjangnya atau mencari mitra, dan dalam pendaftaran
Kedua, adanya bonus-bonus yang didapatkan ketika jaringannya semakin banyak ke bawah hingga
membentuk skema piramida. Terkait skema matahari pada dasarnya bisa dikatakan dengan skema
piramida ketika adanya ketergantungan pada setoran dari member baru untuk survive dan untuk
Ketiga, rancangan pemasarannya menghasilkan bonus atau komisi dan penghargaan lainnya berdasarkan
dari kegiatan tertentu. Keempat, pada dasarnya produk bisa didapatkan secara gratis atau dalam kasus lain
harga produk jauh lebih murah atau dalam kasus lain manfaat produk tidak sesuai dengan apa yang
diiklankan. Kelima, bonus rekrut jauh lebih besar dibandingkan dengan bonus dari manfaat produk itu
sendiri. Begitupun dengan bisnis model ponzi atau gali lubang tutup lubang. Ustadz Asnawi menyebut
bisnis model ini adalah bisnis yang menjual barang, namun barangnya tidak ada. "Skema ponzi seperti
bitcoin. Beli password, namun barangnya tidak ada. Beli barang, namun barangnya tidak ada," paparnya.
Menurut Ustadz Asnawi, sebagaimana hasil sidang, ada tiga alasan yang mendasari mengapa bisnis model
seperti itu tidak diperbolehkan. Pertama, penipuan (gharar). Bisnis money game model MLM dan ponzi
mengandung unsur gharar. Kedua, menyalahi prinsip akad transaksi. Ketiga, motivasi akad transaksi
adalah bonus, bukan barang. "Haram karena terdapat gharar dan syarat yang menyalahi prinsip akad
sekaligus motifasi (ba’its) dari transaksi tersebut adalah bonus bukan barang," kata Ustadz Asnawi dalam
Sidang Bahtsul Masail Diniyyah Waqiiyyah di Mushollah Pesantren Putri Miftahul Huda Al-Azhar
Cotangkolo, Kota Banjar, Jawa Barat, Kamis (28/2). Demikian keputusan sementara Komisi Diniyyah
Waqiiyyah. Keputusan final akan digulirkan dalam sidang pleno dan diputuskan secara resmi nanti malam.
(Muhlishon/Aryudi AR)
Sumber: https://www.nu.or.id/nasional/bisnis-mlm-jadi-pembahasan-serius-munas-konbes-2019-K5AHF