Anda di halaman 1dari 15

Bisnis MLM (Multi Level Marketing) dalam perspektif Etika Bisnis Islam

Oleh : Zunly Nadia*

Abstrak
MLM (multi level marketing) adalah istilah yang merujuk pada
sebuah sistem bisnis, dimana pemasaran produk atau jasa dilakukan
oleh individu yang independen (artinya yang tidak terikat kontrak
kerja dengan perusahaan pengelola bisnisnya). Individu ini lalu
membentuk sebuah jaringan kerja untuk memasarkan produk atau
jasa Dari hasil penjualan pribadi dan jaringannya, setiap bulan
perusahaan akan memperhitungkan bonus atau komisi sebagai
hasilnya. MLM dianggap sebagai cara yang efektif untuk
memindahkan atau mendistribusikan produk atau jasa tanpa biaya
yang biasanya berkaitan dengan biaya iklan, promosi dan
pemasaran. Karenanya tidak mengherankan jika bisnis MLM
berkembang dengan cukup pesat di Indonesia.
Secara normatif (al-Qur’an dan hadis), MLM memang tidak secara
langsung dibahas, namun demikian banyak ayat al-Qur’an dan teks
hadis yang berbicara tentang etika dan prinsip-prinsip bisnis dalam
Islam. Diantaranya adalah prinsip kerja keras, usaha yang halal,
menghindari riba, kejujuran, amanah, larangan gharar dan lain
sebagainya. Disini kemudian, jika dalam prakteknya bisnis MLM
ini melanggar etika dan prinsip-prinsip bisnis dalam Islam, maka
bisnis ini tentu saja bertentangan dengan ajaran agama dan begitu
sebaliknya jika dalam prakteknya bisnis MLM ini tidak melanggar
etika dan prinsip-prinsip dalam bisnis Islam, maka bisnis ini
tidaklah bertentangan dengan ajaran agama dan menjadi solusi
bagi pemberdayaan ekonomi umat.
Kata kunci: MLM, etika dan prinsip bisnis Islam.

Pengantar

Bisnis MLM memang sedang marak akhir-akhir ini di Indonesia. Bisnis ini begitu
menjamur ditengah krisis ekonomi yang mendera bangsa ini. Di satu sisi MLM dianggap
menjadi solusi bagi masyarakat yang sedang mengalami krisis ekonomi, tetapi di sisi lain
banyak orang meragukan bisnis dengan sistem ini, karena pada kenyataannya tidak sedikit
orang yang pada akhirnya “menyerah” kecewa dan gagal mendapatkan apa yang telah
dijanjikan di awal memulai bisnis.
Dalam catatan APLI (Asosiasi Penjualan Langsung Indonesia) saat ini terdapat lebih
dari 200-an perusahaan yang menggunakan sistem MLM dan masing-masing memiliki
karakteristik, spesifikasi, pola, sistem dan model tersendiri sebutlah misalnya CNI, Amway,
Avon, Tupperware, Sun Chlorella, DXN, Propolis Gold, Kamyabi-Net, Persada Network,
Tianshi. Hal ini menunjukkan bahwa bisnis MLM memang banyak diminati oleh masyarakat

1
Indonesia mengingat jumlah populasi penduduk Indonesia yang sangat besar mencapai 200
juta jiwa, dimana hal ini menjadi aset bagi berkembangnya bisnis MLM.
Sejalan dengan pertumbuhannya yang pesat, muncul pro kontra seputar MLM. Bagi
pihak yang pro, kegiatan MLM ini sudah banyak digunakan oleh banyak perusahaan di dunia
dan tentu saja tidak ada yang salah dengan sistem tersebut. Sedangkan bagi pihak-pihak yang
kontra, MLM dianggap sistem yang melanggar berbagai “pakem” yang ada pada ilmu
pemasaran konvensional dan merupakan kegiatan yang tidak etis.
Tulisan ini tidak akan terjebak pada pada pihak yang pro dan kontra terhadap MLM,
juga tidak berupaya untuk melakukan justifikasi terhadap perusahaan-perusahaan yang
menggunakan sistem MLM, apakah dia sesuai dengan standar norma agama atau tidak, tetapi
berusaha mengulas lebih jauh bagaimana bisnis MLM jika dilihat dalam perspektif agama
(dalam hal ini dalam perspektif etika bisnis Islam). Etika bisnis Islam disini berupa prinsip-
prinsip bisnis yang di ambil dari sumber ajaran agama yakni Al-Qur’an dan hadis. Hal ini
dikarenakan, sebagai sumber kedua dalam ajaran Islam, aturan-aturan normatif terkait dengan
perdagangan dapat dijelaskan disana, dimana dalam hal ini MLM sebagai salah satu sistem
dalam perdagangan modern tentu saja seharusnya tidak lepas dari aturan-aturan normatif
dalam ajaran agama (baca: prinsip dasar dari substansi ajaran).

Tentang MLM (Multi Level Marketing)

MLM (Multi level Marketing) atau disebut juga dengan network marketing merupakan
salah satu dari ilmu marketing yang sudah menjadi trend tersendiri. Konsep marketing
(pemasaran) sendiri senantiasa berubah dan berkembang dari waktu ke waktu. Pada awalnya
pemasaran menfokuskan diri pada produk dan untuk membuat produk yang lebih baik serta
bertujuan untuk mendapatkan laba dengan cara menjual1. Kemudian definisi marketing
berkembang dan didefinisikan sebagai managemen aliran barang dan jasa dari produsen
kepada konsumen. Dari definisi ini, konsep marketing diperluas lagi, meliputi kegiatan-
kegiatan dari lembaga/organisasi non laba dan kemudian marketing dipandang sebagai semua
kegiatan pertukaran. Dari sini konsep marketing merupakan proses sosial dan manajerial
yang menjadi sarana bagi individual dan kelompok untuk memperoleh apa yang mereka
butuhkan melalui penciptaan dan pertukaran balik produk dan nilai dengan orang lain2.

1
Warren J Keegan, manajemen Pemasaran Global, Terj. Alexander Sindoro Prenhallindo, (Jakarta:
1996), hlm 4
2
Philip Kotler dan Gary Amstrong, Dasar-dasar Pemasaran, Edisi Indonesia, Terj. Alexander Sindoro,
Prenhallindo, (Jakarta: 1997), hlm 6

2
Pemasaran atau marketing oleh banyak orang disebut sebagai perpaduan antara sebuah
ilmu yang mendasarkan diri pada berbagai metode yang sistematis dan ilmiah, dengan sebuah
seni yang mengandalkan intuisi seseorang untuk melihat peluang. Dengan perpaudan tesebut
telah muncul berbagai variasi dalam usaha untuk memasarkan produk-produknya. Dari
sinilah kemudian MLM menjadi salah satu dari variasi dari ilmu marketing tersebut.
Istilah MLM merujuk pada sebuah sistem bisnis, dimana pemasaran produk atau jasa
dilakukan oleh individu yang independen (artinya yang tidak terikat kontrak kerja dengan
erusahan pengelola bisnisnya). Individu ini lalu membentuk sebuah jaringan kerja untuk
memasarkan produk atau jasa Dari hasil penjualan pribadi dan jaringannya, setiap bulan
perusahaan akan memperhitungkan bonus atau komisi sebagai hasilnya.
MLM merupakan cara yang cukup efektif untuk memindahkan atau mendistribusikan
produk atau jasa tanpa biaya yang biasanya berkaitan dengan biaya iklan, promosi dan
pemasaran. Bagi pabrikan MLM hemat biaya dan meningkatkan volume penjualan terus-
menerus tanpa harus mengeluarkan biaya iklan dan gaji staf penjualan tetap. MLM juga
banyak melibatkan orang dengan berbagai pengetahuan dan menjunjung sikap serta
komitmen.
MLM pertama kali diperkenalkan di Amerika pada tahun 1945 oleh Dr. Karl Ramburg.
Menurut Rozani Pawam Chek, seorang yang telah malang melintang di dunia bisnis MLM
dalam bukunya “Mint Theraphy of MLM: Sukses merangkai Gurita Bisnis Paling Luas dan
Menguntungkan” nilai bisnis MLM lebih dari 100 miliar dolar AS dan lebih dari 40 juta
orang diseluruh dunia bergabung di bisnis MLM, dari 500 jutawan Amerika 20 persennya
terlibat dalam bisnis MLM, dari 100 perusahaan 37 berjalan dengan MLM3.

Sistem Kerja MLM

Sebagai sebuah bisnis, sebagaimana bisnis lainnya MLM harus dilakukan secara
profesional. Dalam kegiatannya, setidaknya ada tiga pihak yang terkait di dalamnya, yakni
perusahaan MLM, distributor, dan konsumen. Ketiganya tidak ada yang boleh dirugikan,
karena jika ada yang dirugikan salah satu pihak, maka sistem ini tidak akan berjalan. Adapun
sistem kerja MLM, adalah : pertama, menjual4. Karena MLM adalah sistem pendistribusian

3
Moh Rozani Pawan Chek, Mint Theraphy of MLM: Sukses merangkai Gurita Bisnis Paling Luas dan
Menguntungkan, ( Jakarta: PT Hikmah, 2006), hlm 3
4
Menjual dalam MLM bukan saja menjual untuk mendapatkan keuntungan langsung, tetapi lebih dari itu,
menjual berarti menyebarkan informasi tentang produk. Dengan menjual berarti semakin banyak orang yang
mengenal produk. Orang-orang yang sudah mengenal itu, pada akhirnya akan diajak untuk ikut bergabung

3
produk, barang atau jasa, maka keuntungan perusahaan diperoleh dari hasil penjualan produk
tersebut. Tanpa penjualan berarti tidak ada pendapatan dan keuntungan. Oleh karena itu jika
ada MLM yang tidak menjual produk, maka MLM tersebut tidak layak disebut sebagai bisnis
marketing. Dalam hal ini tidak ada perbedaan dengan penjualan konvensional. Kedua,
mengajak dan mengajarkan. Bisnis ini adalah bisnis yang melibatkan banyak orang atau
seringkali disebut sebagai people business. Semakin banyak orang yang diajak akan semakin
baik. Hal ini didasarkan pada kemampuan menjual sendiri tidak akan sebanyak kalau dijual
oleh banyak orang, sehingga bagi perusahaan, semakin banyak anggota yang menjual akan
semakin baik karena kan semakinb anyak keuntungan. Ketiga, membangun organisasi.
Menjalankan MLM ada strateginya, dan tidak asal jalan. Karenya penting membangun
organisasi yang sesuai dengan rencana bisnis masing-masing perusahaan MLM. Pada
umumnya, organisasi MLM dibangun mendalam dan melebar. Mendalam berarti membangun
suatu organisasi MLM seperti akar tunggang, sementara melebar artinya jangkauannya
semakin jauh, sebagai terlihat di dalam gambar berikut ini:

Ada beberapa perbedaan antara bisnis dengan sistem MLM dengan sistem
konvensional. Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, bisnis dengan sistem konvensional
melibatkan banyak biaya untuk promosi, sedangkan dalam pendistribusian produk tidak

menjalankan bisnis ini. Jadi menjual dalam MLM mempunyai fungsi ganda, selain mendapatkan keuntungan
langsung juga sebagai sarana pensponsoran, yaitu mengajak orang ikut bergabung.

4
hanya melibatkan distributor tetapi juga pengecer dan kemudian baru ke konsumen.
Sedangkan sistem MLM ini, dari perusahaan kemudian ke distributor MLM dan langsung ke
konsumen, sebagaimana dalam skema dibawah ini:
Sistem konvensional
Perusahaan Berbagai Agen Distributor Pengecer
Konsumen
Sistem MLM
Perusahaan Distributor MLM Konsumen
Dari gambar diatas terlihat bagaimana sistem MLM telah memutus banyak mata rantai
distribusi dari perusahaan yang langsung kepada konsumen hanya melalui distributor MLM.

MLM dalam kerangka etika Bisnis Islam


Persoalan bisnis sudah menjadi perhatian semenjak masa Nabi Saw. Hal ini bisa dilihat
dalam sejarah Nabi Saw, dimana semenjak kecil beliau sudah berkecimpung dalam dunia
bisnis. Nabi Muhammad lahir dari orang tua yang bekerja sebagai seorang pedagang dan
setelah ditinggal oleh kedua orang tuanya dan dibawah pengasuhan pamannya, semenjak
kecil beliau mengikuti pamannya Abu Thalib untuk berdagang yakni di usia 8 tahun.
Kemudian beliau juga menjadi seorang marketer yang handal, hal ini terbukti ketika beliau
menjadi CO dan direktur marketing perusahaan milik Khadijah5. Selain itu banyak dari
sahabat Nabi yang bekerja sebagai pengusaha atau bisnisman seperti Abu Bakar yang dikenal
sebagai pengusaha kain, Umar bin Khattab pernah menjadi seorang pedagang jagung,
Ustman bin Affan juga menjadi seorang pengusaha tekstil. Karenanya tidak mengherankan
jika di dalam kitab-kitab hadis ada bab-bab khusus yang membahas tentang bisnis (Al-
Buyu’/jual-beli ) yang masuk dalam katagori muamalah.
Mencari nafkah dengan bisnis atau berdagang memang sudah menjadi sesuatu yang
sudah biasa. Terlebih lagi berdagang karena berdagang dianggap salah satu pekerjaan yang
baik dalam agama. Sebagaimana hadis-hadis dibawah ini:

Nabi Muhammad Saw,pernah ditanya: “mata pencaharian apa yang paling baik ya
Rasulullah?” jawab beliau: “ialah seseorang yang bekerja dengan tangannya sendiri dan
setiap jual beli yang bersih” (H. R. A Bazzar).

Sembilan dari sepuluh rezeki ada dalam perdagangan (ilaajatul mushilah Al iqtishaadiyah bil
islam). Seperti yang ditekankan Rasulullah Saw. “apabila kalian selesai shalat subuh, jangan
kalian tidur dan malas mencari rezeki” (H. R. Tabrani).

5
Lihat Muhammad Sulaiman PhD dan Aizuddinur Zakaria, Jejak Bisnis Rasul, (Jakarta : Hikmah, 2010)

5
Allah memberi rahmatNya kepada setiap orang yang bersikap baik dalam menjual, membeli
dan membuat suatu pernyataan (HR. Bukhari)

Pedagang yang jujur dan dapat dipercaya termasuk dalam golongan para Nabi, orang-orang
yang benar-benar tulus, dan para syuhada (HR Tirmidzi, Al-Darimi, al-Daruquthni)

Dalam pandangan fiqh, pada dasarnya semua bisnis, hukum asalnya dari aspek hukum
jual-belinya boleh berdasarkan kaidah fiqih sebagaimana dikemukakan oleh Ibnul Qayyim
Al-Jauziyah “Pada dasarnya semua ibadah hukumnya haram kecuali kalau ada dalil yang
memerintahkannya, sedangkan asal dari hukum transaksi dan mu’amalah adalah halal kecuali
kalau ada dalil yang melarangnya”.
Dalam al-Qur’an ada beberapa terma yang mewakili apa yang dimaksud dengan bisnis,
al-Tijarah, al-nai’u, isytara dan tadayantum. Kata tijaroh terdapat dalam QS Al-Baqarah: 282,
QS Al-Fatir: 29, QS An-Nisa:29, QS As-Shaf : 10, QS At-Taubah: 24, QS Aal-Jumu’ah:11,
QS An-Nur:37, QS Al-Baqarah:10. Sedangkan kata Ba’i yang berasal dari kata ba’a dengan
terdapat dalam QS At-Taubah: 111, QS AL-Mumtahanah: 12, QS Al-Fath: 10,18, QS Al-
Baqarah 282, 254, 275, QS Ibrahim : 31, QS An-Nur:37, QS Al-Jumuah:9, QS Al-Haj: 40.
Kata isyara tersebut sebanyak 25 kali di dalam al-Qur’an dengan berbagai derivasinya dan
kata tadayantum terdapat dalam QS Al-Baqarah: 282.
Kata tijaroh dalam al-Qur’an menurut Ar-Raghib al-Asfahani sebagaimana dikutip oleh
Drs. Muhammad M.Ag dan R Lukman Faurani dalam bukunya “Visi Al-Qur’an tentang Etika
dan Bisnis” bermakna pengelolaan harta benda untuk mencari keuntungan6. Dalam
penggunaannya kata tijarah pada ayat-ayat al-Qur’an terdapat dua macam pemahaman.
Pertama, dipahami dengan perdagangan dan kedua dipahami dengan perniagaan dalam
pengertian umum. Jika dilihat dalam konteksnya, pengertian perniagaan tidak hanya
berhubungan dengan hal-hal yang bersifat materi atau kuantitas7, tetapi kebanyakan dari
pengertian perniagaan lebih ditujukan kepada hal yang bersifat immaterial-kualitatif8.
Sedangkan terma bai’un dalam al-Qur’an digunakan dalam dua pengertian, yakni
pertama jual beli dalam konteks tidak ada jual beli pada hari kiyamat, karena itu al-Qur’an
menyeru agar membelanjakan, mendayagunakan dan mengembangkan harta benda berada
dalam proses dan tujuan yang tidak bertentangan dengan keimanan9. Kedua, al-Ba’i dalam

6
Drs. Muhammad M.Ag dan R Lukman Faurani, Visi Al-Qur’an tentang Etika dan Bisnis, (Jakarta:
Salemba Diniyah, 2002), hlm 30
7
Lihat QS At-Taubah:24, QS AN-Nur:37, QS Al-Jumu’ah: 11
8
Lihat QS Al-Fatir: 29, QS Al-Shaf: 10-11, QS Al-Baqarah: 16
9
Lihat QS Al-Baqarah: 254, QS Ibrahim: 31

6
pengertian jual beli yang halal, dan larangan untuk memperoleh atau mengembangkan harta
beda dengan jalan riba10. Dalam konteks ini al-Qur’an menjelaskan bahwa jual beli
merupakan media untuk mencari penghidupan.
Sementara itu dalam terma isytara di dalam al-Qur’an dengan berbagai derivasinya
lebih banyak mengandung makna transaksi antara manusia dengan Allah atau transaksi
sesama manusia yang dilakukan karena dan untuk Allah juga transaksi dengan tujuan
keuntungan manusia walaupun dengan menjual ayat-ayat Allah. Dari terma ini dapat diambil
kesimpulan bahwa bisnis dalam al-Qur’an tidak bertujuan jangka pendek, semata-mata
keuntunngan dalam pandangan manusia, tetapi bertujuan jangka pendek sekaligus jangka
panjang, yaitu keuntungan dan kebahagiaan abadi11.
Terakhir, dalam terma tadayantum yang disebutkan satu kali dalam QS Al-Baqarah:
282 digunakan dalam pengertian mu’amalah yakni jual beli, utang piutang, sewa menyewa
dan lain sebagainya.
Dilihat dari keempat terma diatas, maka bisa dikatakan bahwa bisnis dalam Islam tidak
semata-mata bersifat material atau hanya bertujuan untuk mencari keuntungan tetapi juga
bersifat immaterial. Bisnis tidak hanya dilakukan antara manusia dengan manusia tetapi juga
manusia dengan Allah. Karenanya di dalam al-Qur’an juga didapati terma yang berdekatan
dengan dunia bisnis seperti anfaqa dan la ta’kulu amwalakum.
Sedangkan di dalam hadis sebagai bayan dari al-Qur’an, persoalan bisnis juga banyak
dibahas, terutama terkait dengan etika dalam bisnis Islam, Nabi Saw sebagai seorang
bisnisman juga mencontohkan bagaimana seharusnya seseorang menjalankan bisnis dengan
baik. Adapun konsep kerja dan prinsip-prinsip bisnis dalam Islam diantaranya adalah12:
1. Keimanan, bahwa tujuan manusia dalam melakukan pekerjaan adalah ibadah dan
memakmurkan kehidupan dengan mengelola bumi beserta isinya.
Sebagaimana hadis Nabi Saw: “Apabila pada hari kiamat nanti seeorang diantara kamu
memiliki sebatang pohon kurma, jika mampu menanam hingga tumbuh dan berkembang
maka pertumbuhan dan perkembangannya itu merupakan pahala” (HR. Ahmad)

2. Kerja adalah usaha untuk mewujudkan keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan jiwa
dan jasmani.
Sebagaimana hadis Nabi Saw: “Sesungguhnya jiwamu memiliki hak, jasadmu memiliki
hak, pasanganmu (keluarga) memiliki hak, maka penuhilah hak mereka. (HR. Bukhari)

10
Lihat QS Al-Baqarah: 275, QS An-Nur: 37, QS Al-Jumu’ah: 9
11
Drs Muhammad M.Ag dan R Lukman Faurani, Visi Al-Qur’an...hlm 36
12
Drs. Faisal Badrun MBA dkk, Etika Bisnis dalam Islam, (Jkarta: UIN Jakarta press, 2007)) cet-2, hlm
145-166

7
3. Bekerja keras untuk mendapatkan rezeki disertai dengan tawakkal dan takwa kepada
Allah.
Sebagaimana hadis Nabi Saw: “Mencari rezeki yang halal merupakan kewajiban setelah
melaksanakan kewajiban-kewajiban yang lain (HR. Baihaqi). Sabda beliau yang lain:
“Sebaik-baik usaha adalah jual beli yang diterima dan usaha seseorang dengan tangannya
sendiri”(HR. Al-Bazzar dan Ahmad)

4. Usaha yang halal dan menghindari usaha yang haram.

Sebagaimana hadis Nabi Saw: “Sesungguhnya seorang hamba jika memasukkan sesuap
makanan yang haram ke dalam rongga perutnya maka Allah tidak akan menerima amal
perbuatannya selama 40 hari, begitupun seorang hamba yang menumbuhkan dagingnya
dari sesuatu yang haram, maka api neraka lebih utama baginya. (HR Ahmad).
“Mencari rezeki yang halal itu merupakan kewajiban setelah melaksanakan kewajiban-
kewajiban yang lain” (HR Baihaqi)

5. Menghindari transaksi riba.

Sebagaimana hadis Nabi Saw: “Allah melaknat orang yang memakan riba, mediator
interaksi riba, saksi pelaksanaan kegiatan riba, dan orang yang mencatatnya (HR
Bukhari-Muslim).

6. Menjaga kepemilikan materi dan mengembangkannya di jalan yang halal.

Sebagaimana sabda Nabi Saw: “Barangsiapa yang gugur dalam memperjuangkan


penjagaan hartanya, maka ia telah gugur secara sahid. Hadis Nabi Saw yang lain :
“Barangsiapa yang menjadi wali bagi harta anak yatim, maka kelolalah barang tersebut
dengan berdagang, jangan biarkan harta tersebut menjadi habis karena kewajiban
membayar zakat dari harta tersebut”.

7. Jujur, amanah dan paham akan segala aspek perdagangan

Sebagaimana Hadis Nabi Saw:”Seorang pedagang yang jujur dan dapat dipercaya akan
dibangkitkan bersama kelompok para Nabi, orang shaleh dan para syuhada. (HR
Tirmidzi). Dalam hadis lain:”Akad jual beli harus diiringi dengan khiyaat (tenggang
waktu yang diberikan kepada si pembeli untuk memilih antara membeli atau tidak)
apabila kedua belah pihak saling jujur dan transparan maka perjanjian akad jual beli
tersebut akan diberkahi Allah SWT. Dan apabila keduanya saling berbohong dan tidak
transparan (menyembunyikan cacat pada barang), maka akad perjanjian jual beli tersebut
tidak akan mendapatkan berkah Allah SWT” (HR Muttafaqun ‘Alaihi)

8. Larangan Gharar (Kontrak yang tidak Lengkap dan Jelas);

Dari Abu Hurairah ra. berkata : “Rasulullah shalallahu ‘alahi wasallam melarang jual
beli gharar”. (HR. Muslim)

9. Larangan penipuan (Tadlis/Ghisy);

8
Dari Abu Hurairah ra. berkata: “Rasulullah shalallahu ‘alahi wasallam melewati
seseorang yang menjual makanan, maka beliau memasukkan tangannya pada makanan
tersebut, ternyata beliau tertipu. Maka beliau bersabda: “Bukan termasuk golongan kami
orang yang menipu”. (HR. Muslim 1/99/102, Abu Dawud 3435, Ibnu Majah 2224)

10. Perjudian (Maysir atau Transaksi Spekulatif Tinggi yang tidak terkait dengan
Produktifitas Riil);

Firman Allah Ta’ala: “Hai orang-orang beriman, sesungguhnya meminum khamr,


berjudi, berkorban untuk berhala, mengundi nasib, adalah perbuatan syaithan maka
jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan..” (QS. Al-Maidah:
90)

11. Larangan kedhaliman dan eksploitatif (Dzulm).

Sebagaimana Hadis Nabi Saw: “Untuk sesama muslim diharamkan darah, harta dan
barangnya masing-masing” (HR Muslim)

12. Barang/Jasa yang dijual adalah berunsur atau mengandung hal yang haram.

Dari Ibnu ‘Abbas ra. berkata :”Rasulullah shalallahu ‘alahi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah apabila mengharamkan atas suatu kaum untuk memakan sesuatu,
maka Dia pasti mengharamkan harganya”. (HR. Abu Dawud dan Baihaqi dengan sanad
shahih).

Selain prinsip-prinsip dan etika dalam berbisnis yang disebutkan diatas, dalam konteks
marketing, Rasulullah Saw sendiri memberikan contoh teladan yang kemudian dijadikan
sebagai acuan dalam memasarkan produk perdaganngan, yakni13:
1. Dalam hal kemasan produk. Rasulullah tidak pernah membohongi pelanggan, baik yang
menyangkut kualitas maupun kuantitas.
Sebagaimana Sabda beliau: “Apabila dilakukan penjualan, katakanlah:” tidak ada
penipuan”
“Tidak ada suatu kelompok yang mengurangi timbangan dan takaran tanpa diganggu
oleh kerugian”

2. Pelayanan yang baik dengan memberikan waktu untuk melunasi bagi pelanggan yang
tidak sanggup membayar kontan, bahkan Rasulullah Saw memberikan pengampunan jika
ia benar-benar tidak sanggup membayarnya.
3. Menjauhi sumpah yang berlebihan dalam menjual suatu barang.
Sebagaimana sabda Nabi Saw:”Sumpah dengan maksud melariskan barang dagangan
adalah penghapusan berkah”
4. Pemuasan. Hanya dengan kesepakatan bersama, penjualan akan sempurna.

13
Muhammad, Etika Bisnis Islami, (Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2002), hlm 102

9
Sebagaimana sabda Nabi Saw: “Kamu tidak boleh berpisah kecuali dengan kesepakatan
bersama”

Untuk lebih jelasnya bagaimana karakter bisnis dalam Islam, bisa dilihat dalam bagan di
bawah ini14:
Karakteristik Bisnis Prinsip Islam dalam bisnis
Asas Ajaran Islam (Aqidah Islam)
Motivasi Dunia- Akhirat
Orientasi Profit dan benefit (non materi)
Pertumbuhan, keberlangsungan, keberkahan
Etos Kerja Tinggi, bisnis adalah bagian dari ibadah
Sikap mental Maju dan produktif
Konsekuensi keimanan dan manifestasi
kemusliman
Keahlian Cakap dalam bidangnya
Konsekuensi dari kewajiban seorang muslim
Amanah Terpercaya dan bertanggungjawab
Tujuan tidak menghalalkan segala cara
Modal Halal

Sumber Daya Manusia Sesuai dengan akad kerjanya


Sumber Daya Halal
Manajemen strategis Visi dan misi terkait erat dengan misi
penciptaan manusia di dunia
Manajemen operasi Jaminan halal pada input, proses dan output,
mengedepankan produktivitas dalam koridor
islam
Manajemen keuangan Jaminan halal bagi setiap input, proses, dan
output keuangan
Mekanisme keuangan dengan bagi hasil
Manajemen pemasaran Selalu dalam koridor halal
Manajemen SDM Profesionalisme berkepribadian Islami, SDM
pengelola bisnis, bertanggungjawab kepada
diri, majikan dan Allah SWT

Dari prinsip-prinsip diatas, maka kita bisa melihat bagaimana posisi bisnis MLM.
Bisnis MLM dalam perspektif Islam bisa dilihat dari dua aspek, yakni produk barang atau
jasa yang dijual dan cara ataupun sistem penjualan dan pemasarannya (trading/marketing).
Mengenai produk barang yang dijual, apakah halal atau haram tergantung kandungannya
apakah terdapat unsur maupun komposisi yang diharamkan secara syariah ataukah tidak,

14
Muhammd, Etika Bisnis....hlm 97-98, Dalam kategori yang berbeda, Hermawan Kartajaya dan
Muhammad Syakir Sula menyimpulkan ada ada empat panduan bagi seorang syariah marketer yakni:
Teistis (rabbaniyah), Etis (akhlaqiyah), Realis (al-Waqi’iyyah), dan Humanis (Insaniyah). Lihat
Hermawan Kartajaya dan Muhammad Syakir Sula, Syari’ah Marketing, (Bandung : Mizan, 2006), hlm 28

10
demikian halnya jasa yang dijual. Terkait halal dan haramnya sebuah produk ini MUI melalui
LPPOMnya memberikan sertifikasi halal sebagai salah satu upaya untuk menyeleksi produk-
produk yang berkembang dalam masyarakat. Hanya saja menurut penulis, ada problem
terkait dengan persoalan halal dan haram ini karena selama ini LPPOM-MUI menyandarkan
persoalan halal haram pada fikih klasik yang seharusnya menurut penulis perlu dikritisi dan
direkonstruksi. Fikih klasik hanya memandang produk-produk haram itu yang mengandung
babi, khamr, bangkai, darah. Padahal dalam perkembangannya berbagai produk yang ada saat
ini banyak mengandung bahan-bahan kimia, seperti natrum benzoat, monosodium glutamat
dan lain sebagainya, yang secara medis jelas dinyatakan berbahaya. Hal ini bisa dilihat dalam
memberikan fatwa halal dan haram suatu produk, misalnya fatwa haram MUI terhadap
vaksin meningitis karena dianggap mengandung unsur babi, padahal sebagai produk, vaksin
meningitis sudah tidak mengandung unsur babi, unsur babi memang dipakai tetapi sebagai
katalisator. Sebaliknya MUI memberikan fatwa halal bagi makanan-makanan yang
mengandung bahan pengawet yang cukup tinggi, seperti yang terdapat dalam snack anak-
anak dan lain sebagainya, yang justru bagi penulis berbahaya dan berdampak serius bagi
kesehatan masyarakat. Disini penulis bisa mengatakan bahwa LPPOM MUI menghiraukan
kemaslahatan umat terkait dengan fatwa halal dan haram yang diberikan, dimana vaksin
meningitis yang sangat diperlukan bagi pertahanan tubuh untuk menghindari penyakit
meningitis justru diharamkan hanya karena dianggap terdapat unsur babi, sebaliknya MUI
memberikan fatwa halal bagi produk-produk makanan yang meski dianggap tidak terdapat
unsur babi, khamr dll tetapi sangat berbahaya meski dampak yang dirasakan adalah jangka
panjang.
Kembali pada persoalan MLM, jika dilihat dari sistem penjualannya, perusahaan yang
menjalankan bisnisnya dengan sistem MLM tidak hanya sekedar menjalankan penjualan
produk barang tetapi juga produk jasa yaitu jasa marketing yang berlevel-level (bertingkat-
tingkat) dengan imbalan berupa marketing fee, bonus dan sebagainya tergantung level,
prestasi penjualan dan status keanggotaan distributor. Jasa perantara penjualan ini (makelar)
dalam terminologi fiqih disebut “Samsarah/simsar” ialah perantara perdagangan (orang yang
menjualkan barang atau mencarikan pembeli) atau perantara antara penjual dan pembeli
untuk memudahkan jual beli. Bisnis dengan sistem ini memang sangat menguntungkan
pengusaha dengan adanya penghematan biaya (minimizing cots) dalam iklan, promosi dan
lainnya. Disamping menguntungkan para distributor sebagai simsar
(makelar/broker/mitrakerja/agen/distributor) yang ingin bekerja secara mandiri dan bebas.

11
Secara normatif, tidak ada teks yang berbicara tentang sistem MLM yang berlevel-level,
tetapi alQur’an dan hadis memberikan garis-garis besar (prinsip-prinsip) dalam bisnis yang
harus diterapkan, seperti prinsip keadilan, tidak ada unsur riba, penipuan dan lain sebagainya
sebagaimana yang tersebut diatas. Sehingga selama sistem MLM tidak masih berada dalam
koridor prinsip-prinsip Islam, maka sistem ini tidak bertentangan dengan ajaran agama.

MLM : Antara Pemberdayaan Ekonomi dan Money Game

Tidak dapat dipungkiri bahwa bisnis dengan sistem MLM memang membawa angin
segar bagi persoalan ekonomi yang tengah membelit bangsa ini. MLM menjadi salah satu
cara yang cukup efektif untuk mengurangi angka pengangguran. MLM memberikan peluang
bagi siapa saja yang ingin berkecimpung dalam bidang bisnis dengan modal yang kecil tetapi
bisa menghasilkan keuntungan yang besar. Disisi lain maraknya perusahaan MLM yang saat
ini ada di Indonesia, ternyata justru dianggap sebagai permainan uang yang hanya akan
membawa kerugian lebih besar bagi anggotanya tetapi juga dipersoalkan keabsahannya jika
dilihat dari perspektif agama. Hal ini dikarenakan obsesi berlebihan yang dikemukakan oleh
para distributor MLM ketika menawarkan produknya, seperti cepat kaya dengan cara yang
mudah, atau dengan iming-iming komisi yang besar, misalnya berupa mobil BMW, kapal
pesiar dan lain sebagainya. Bahkan untuk dapat “merayu” calon konsumen, para distributor
MLM ini mempunyai trik dengan merubah penampilan seolah menjadi orang yang sudah
sukses. Penampilan menjadi hal yang penting karena akan memberikan image bagi para calon
konsumen dan anggota bahwa bisnis MLM ini adalah bisnis yang elitis dan akan
mendatangkan banyak keuntungan. Seringkali produk MLM menjadi nomor dua, karena para
distributor ini lebih mementingkan pada perekrutan anggota, padahal dalam sebuah
transaksi/perdagangan penjualan produk menjadi syarat utamanya. Selain obsesi yang
berlebihan banyak bisnis MLM juga menjanjikan keuntungan yang besar tanpa banyak
bekerja dan bersusah payah, hal ini banyak menjadi sebuah pertanyaan sekaligus daya tarik
sehingga banyak orang tertarik untuk mencoba bisnis ini.
Dari sini muncul kerancuan antara MLM dengan permainan uang atau seringkali
disebut dengan money game. Karena tidak jarang, banyak orang terjebak dengan bisnis MLM
padahal ternyata di dalamnya hanya permainan uang yang tentu saja memberikan keuntungan
sepihak, yakni pihak perusahaan.
Ada beberapa perbedaan mendasar antara MLM dengan money game, diantaranya
adalah penggunakan sistem piramid dimana dengan sistem ini anggota yang lebih dahulu

12
masuk akan diuntungkan daripada anggota yang belakangan. Sehingga perekrutan anggota
menjadi sangat penting. Saat ini banyak sekali perusahaan yang mengklaim menggunakan
sistem MLM tetapi sebenarnya adalah money game, sehingga MLM dijadikan sebagai kedok.
Untuk lebih jelasnya, di bawah ini adalah perbedaan bisnis MLM dengan money game, yakni:

Direct Selling/MLM Money Game


Biaya Pendaftaran Tidak terlalu mahal, masuk Sangat tinggi, biasanya
akal disertai dengan pembelian
produk yang harganya sangat
mahal
Produk -Ada produk/ jasa yang dijual Tidak ada produk/jasa yang
-Kualitas produk/jasa dapat dijual. Kalau ada, hanya
dipertanggungjawabkan sebagai kedok dan
kualitasnya dipertanyakan
Peluang keberhasilan Semua anggota berpeluang Yang mendaftar lebih dahulu
sama berpotensi mendapat
keuntungan dengan
mengorbankan anggota yang
bergabung belakangan
Penentu keberhasilan Berdasarkan hasil penjualan Berdasarkan banyaknya uang
produk/jasa yang nyata serta yang disetor oleh sejumlah
pengembangan jaringan. orang yang direkrut. Tidak
Perlu kerja keras untuk perlu kerja apa-apa. Hanya
mencapai keberhasilan setor uang dan tunggu
hasilnya

Jika dilihat dari perbedaan antara bisnis sistem MLM dengan money game diatas, maka
bisnis MLM jika dilakukan dengan baik (dalam arti sesuai dengan sistem MLM yang
sebenarnya) akan menjadi salah satu jalan bagi pemberdayaan ekonomi masyarakat.
Sedangkan money tentu saja hanya akan merugikan banyak pihak terutama para anggota.
Lebih dari itu money game telah menyalahi prinsip-prinsip etika dalam bisnis. Karenanya jeli
dan kritis dalam memilih perusahaan MLM menjadi keniscayaan bagi siapapun yang akan
menjadi anggota dan memutuskan untuk bekerja dalam bisnis MLM. Karena pada
kenyataannya memang banyak perusahaan yang mempromosikan penggunaan sistem MLM
tetapi hanya sebagai kedok padahal hanya money game. Karenanya bagi seorang muslim, ada
beberapa hal yang hendaknya diperhatikan sebelum masuk dalam bisnis MLM ini,
diantaranya adalah:

1. Produk yang dipasarkan harus halal, thayyib (berkualitas)


2. Sistem akadnya harus memenuhi kaedah dan rukun jual beli

13
3. Operasional, kebijakan, corporate culture, maupun sistem akuntansinya harus sesuai
dengan etika dalam bisnis.
4. Tidak ada excessive mark up harga barang (harga barang di mark up sampai dua kali
lipat), sehingga anggota terzalimi dengan harga yang amat mahal, tidak sepadan
dengan kualitas dan manfaat yang diperoleh.
5. Struktur manajemennya memiliki Dewan Pengawas (DP) yang terdiri dari orang-
orang yang memahami masalah ekonomi.
6. Formula intensif harus adil, tidak menzalimi down line dan tidak menempatkan up
line hanya menerima pasif income tanpa bekerja, up line tidak boleh menerima
income dari hasil jerih payah down linenya.
7. Pembagian bonus harus mencerminkan usaha masing-masing anggota.
8. Tidak ada eksploitasi dalam aturan pembagian bonus antara orang yang awal menjadi
anggota dengan yang akhir.
9. Bonus yang diberikan harus jelas angka nisbahnya sejak awal.
10. Tidak menitik beratkan barang-barang tertier ketika ummat masih bergelut dengan
pemenuhan kebutuhan primer.
11. Cara penghargaan kepada mereka yang berprestasi tidak boleh mencerminkan sikap
hura-hura dan pesta pora. Praktik ini banyak terjadi pada sejumlah perusahaan MLM.
12. Perusahaan MLM harus berorientasi pada kemaslahatan ekonomi ummat.

Dengan kehati-hatian dan kejelian yang dilihat dari berbagai macam sisi, para calon
konsumen akan mengentahui apakah perusahaan betul-betul menerapkan sistem MLM yang
tidak menyalahi etika bisnis ataukah sebaliknya. Dan dengan demikian maka konsumen akan
terhindar dari penipuan yang banyak terjadi pada perusahaan yang menerapkan money game.

*Penulis adalah Mahasiswa Studi Qur’an dan Hadis Program Pasca Sarjana UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta

Daftar Bacaan

Warren J Keegan, manajemen Pemasaran Global, Terj. Alexander Sindoro Prenhallindo,


Jakarta: 1996.

14
Philip Kotler dan Gary Amstrong, Dasar-dasar Pemasaran, Edisi Indonesia, Terj. Alexander
Sindoro, Prenhallindo, Jakarta: 1997.

Moh Rozani Pawan Chek, Mint Theraphy of MLM: Sukses merangkai Gurita Bisnis Paling
Luas dan Menguntungkan, Jakarta: PT Hikmah, 2006.

Muhammad Sulaiman PhD dan Aizuddinur Zakaria, Jejak Bisnis Rasul, Jakarta : Hikmah,
2010

Drs. Muhammad M.Ag dan R Lukman Faurani, Visi Al-Qur’an tentang Etika dan Bisnis,
Jakarta: Salemba Diniyah, 2002.

Drs. Faisal Badrun MBA dkk, Etika Bisnis dalam Islam, Jakarta: UIN Jakarta press, 2007.

Muhammad, Etika Bisnis Islami, Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2002.

Hermawan Kartajaya dan Muhammad Syakir Sula, Syari’ah Marketing, Bandung : Mizan,
2006

CD maktabah syamilah

15

Anda mungkin juga menyukai