Secara Etimologi Multi Level Marketing (MLM) berasal dari bahasa Inggris Multi
berarti banyak sedangkan level berarti jenjang atau tingkat. Adapun marketing berarti
pemasaran. Jadi dari kata tersebut dapat dipahami bahwa MLM adalah pemasaran yang
berjenjang banyak. Disebut sebagai “Multi Level” karena merupakan suatu organisasi
distributor yang melaksanakan penjualan yang berjenjang banyak atau
bertingkattingkat.
Pengertian multi level marketing atau di singkat MLM adalah sebuah system pemasaran
modern melalui jaringan distribusi yang dibangun secara permanen dengan
memposisikan pelanggan perusahaan sekaligus sebagai tenaga pemasaran. Dengan kata
lain dapat dikemukakan bahwa MLM adalah pemasaran berjenjang melalui jaringan
distributor yang dibangun dengan menjadikan konsumen sebagai tenaga pemasaran
(Muslih, 2010).
Yusuf dalam (Rozi, 2003) berpendapat bahwa, dikatakan network marketing karena
merupakan sebuah jaringan kerja pemasaran yang di dalamnya terdapat sejumlah orang
yang melakukan proses pemasaran produk/jasa. Pemasaran dan distribusi yang
dilakukan melalui banyak level (tingkatan), yang biasa dikenal dengan istilah Upline
(tingkat atas) dan Downline (tingkat bawah), orang akan disebut Upline jika mempunyai
Downline. Dan inti dari bisnis MLM ini adalah digerakkan dengan jaringan, baik yang
sifatnya vertikal atas bawah maupun horizontal kiri-kanan atau pun bisa juga gabungan
antara keduanya. Setiap orang yang berhasil diajak dan bergabung dalam kelompoknya
akan memberikan manfaat dan keuntungan kepada yang mengajaknya, lazimnya dengan
memakai sistem presentase atau bonus.
Ide kelahiran konsep MLM ini dilatarbelakangi kenyataan bahwa, konsep retail dan
direct selling (tanpa melupakan segala kelebihannya), hanya memberikan manfaat
finansial kepada kalangan tertentu yang jumlahnya terbatas. Yakni pemilik modal dan
pengelola usaha, tenaga adm, karyawan, sales atau kurir. Dan pihak ketiga yang
berkemampuan menjadi jasa perantara (minimal mampu membuka kios). Serta pihak
keempat yang melaksanakan peran advertising (periklanan), seperti stasiun tv, radio,
koran, majalah, papan reklame dan sejenisnya. Sementara masyarakat konsumen hanya
diposisikan sebagai penerima manfaat produk saja. Diakui bahwa konsep MLM non
syariah yang tumbuh dan berkembang di bumi nusantara ini sejak tahun 1986 dan kini
telah mencapai 106 perusahaan. (62 perusahaan diantaranya memiliki Izin Usaha
Penjualan berjenjang dari Deperidag RI) memang telah meningkatkan derajat ekonomi
(sebagian) masyarakat konsumen (distributornya). Namun yang menjadi masalah adalah
soal kehalalan dan kesucian produk, aturan main dan budaya kerjanya, apakah produk
yang dijual bebas dari unsur-unsur yang diharamkan dalam Islam dan apakah cara
kerjanya bebas dari unsur riba, gharar (tipuan atau ketidak pastian), maisir (judi) dan
zulm (eksploitasi)? Akar dari MLM tidak bisa dilepaskan dari berdirinya Amway
Corporation dan produknya nutrilite yang berupa makanan suplemen bagi diet agar
tetap sehat. Konsep ini dimulai pada tahun 1930 oleh Carl Rehnborg, seorang
pengusaha Amerika yang tinggal di Cina pada tahun 1917-1927. Setelah 7 tahun
melakukan eksperimen akhirnya dia berhasil menemukan makanan suplemen tersebut
dan memberikan hasil temuannya kepada teman-temannya. Tak kala mereka ingin agar
dia menjualnya pada mereka, Rehnborg berkata “Kamu yang menjualnya kepada
teman-teman kamu dan saya akan memberikan komisi padamu”. Inilah praktek awal
MLM yang singkat cerita selanjutnya perusahaan Rehnborg ini yang sudah bisa
merekrut 15.000 tenaga penjualan dari rumah kerumah yang kemudian dilarang
beroperasi oleh pengadilan pada tahun 1951, karena mereka melebih-lebihkan peran
dari makanan tersebut. Yang mana hal ini membuat Rich DeVos dan Jay Van Andel
Distributor utama produk nutrilite tersebut yang sudah mengorganisasi lebih dari 2000
distributor mendirikan American Way Association yang akhirnya berganti nama
menjadi Amway.
Adapun yang menjadi ciri-ciri dan bisnis Multi Level Marketing adalah:
Setelah mengetahui tugas pokok dalam menjalankan bisnis MLM ini, maka jika
ingin bergabung dalam bisnis ini, ada beberapa ciri yang patut diketahui oleh orang
yang ingin masuk dalam jaringan ini, antara lain:
a. Adanya uang pendaftaran yang tidak mahal. Uang pnedaftaran hanya sebagai
pengganti biaya formulir, kartu identitas, brosur dan sebagainya.
b. Adanya pelatihan yang teratur, baik dilakukan oleh kelompok maupun di bawah
koordinasi perusahaan
c. Perusahaan dan alamatnya jelas.
d. “Business Plan” atau perencanaan bisnisnya yang mengatur cara kerja ,
perhitungan komisi dan persyaratan kenaikan posisi jelas. Transparan dan dapat
dikateahui oleh semua distributor.
e. Adanya produk yang dijual dan merupakan produk yang berkualitas.
f. Harga produk wajar maksudnya sesuai dengan kwalitasnya.
Dari aspek hukum terdapat perbedaan pendapat mengenai halal atau tidaknya MLM ini.
Padahal, tawaran untuk bergabung dengan bisnis ini semakin gencar saja. Setidaknya,
ada tiga pendapat menurut para ulama mengenai bisnis MLM ini:
Bisnis dalam syari’ah Islam pada dasarnya termasuk kategori muamalat yang hukum
asalnya adalah boleh berdasarkan kaidah Fiqh “ Al-Ashlu fil muamalah alibahah
hatta yadullad dalilu ‘ala tahrimiha” –pada dasarnya segala hukum dalam muamalah
adalah boleh, kecuali ada dalil yang melarangnya).
Islam memahami bahwa perkembangan budaya bisnis berjalan begitu cepat dan
dinamis. Berdasarkan kaedah fikih di atas, maka terlihat bahwa Islam memberikan
jalan bagi manusia untuk melakukan berbagai improvisasi dan inovasi melalui
sistem, teknik dan mediasi dalam melakukan perdagangan.
Dalam kajian fiqh kontemporer bisnis MLM ini dapat ditinjau dari dua aspek, yaitu
produk barang atau jasa yang dijual dan cara atau sistem penjualannya (selling
marketing). MLM yang menggunakan strategi pemasaran secara bertingkat
(levelisasi) mengandung unsur-unsur positif, asalkan diisi dengan nilainilai Islam
dan sistemnya disesuaikan dengan syari’ah Islam. Bila demikian, MLM dipandang
memiliki unsur-unsur silaturrahmi, dakwah dan tarbiyah.
Menurut Muhammad Hidayat, Dewan Syari’ah MUI Pusat, metode semacam ini
pernah digunakan Rasulullah dalam melakukan dakwah Islamiyah pada awalawal
Islam. Dakwah Islam pada saat itu dilakukan melalui teori gethok tular (mulut ke
mulut) dari sahabat satu ke sahabat lainnya. Sehingga pada suatu ketika Islam dapat
di terima oleh masyarakat kebanyakan.
Mengenai produk atau barang yang dijual apakah halal atau haram tergantung
kandungannya, apakah terdapat sesuatu yang diharamkan Allah seperti unsur babi,
khamr, bangkai atau darah. Begitu pula dengan jasa yang dijual apakah mengandung
unsur kemaksiatan seperti praktik perzinaan, perjudian atau perdagangan anak dsb,
dan ini semua bisa kita rujuk pada serifikasi Halal dari LPPOM MUI.
Kegiatan samsarah dalam bentuk distributor, agen, member atau mitra niaga dalam
fikih Islam termasuk dalam akad ijarah. Yaitu suatu transaksi memanfaatkan jasa
orang lain dengan imbalan, insentif atau bonus (ujrah). Pada dasarnya para ulama
seperti Ibnu Abbas, Imam Bukhari, Ibnu Sirin, Atha dan Ibrahim memandang boleh
jasa ini Namun untuk sahnya pekerjaan ini harus memenuhi beberapa syarat, sebagai
berikut:
Distributor dan perusahaan harus jujur, ikhlas, transparan, tidak menipu dan tidak
menjalankan bisnis yang haram dan syubhat (tidak jelas halal dan haramnya).
Distributor dalam hal ini berhak menerima imbalan setelah berhasil memenuhi akadnya.
Sedangkan pihak perusahaan yang menggunakan jasa marketing harus segera
memberikan imbalan para distributor dan tidak boleh menghanguskan atau
menghilangkannya. Pola ini sejalan dengan firman Allah, “Maka sempurnakanlah
takaran dan timbangan dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang
takaran dan timbangannya” (QS. Al-Baqarah[2]: 233)
Dan hadis Rasulullah Saw. “Berilah para pekerja itu upahnya sebelum kering
keringatnya.” (H.R. Ibnu Majah). Jumlah upah atau imbalan jasa yang harus diberikan
kepada makelar atau distributor adalah menurut perjanjian sesuai AlQur’an “Hai orang-
orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu” (QS. AlMa’idah[5]:1) Karena bisnis
MLM merupakan bagian dari perdagangan, oleh sebab itu bisnis ini juga harus
memenuhi syarat dan rukun sahnya sebuah perikatan.
Secara realitas, kini perusahaan MLM sudah banyak tumbuh dan berkembang, baik di
dalam maupun luar negeri. Bahkan di Indonesia sudah ada yang secara terang terangan
menyatakan bahwa MLM tersebut sesuai syariat dan mendapatkan sertifikasi halal dari
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSNMUI). Untuk MLM yang
berdasarkan prinsip syariah ini, masih diperlukan akuntabilitas dari MUI. Ada dua
aspek untuk menilai apakah bisnis MLM itu sesuai dengan syariah atau tidak yaitu, (1)
Aspek produk atau jasa yang dijual, (2) Sistem dari MLM itu sendiri. Dari aspek produk
yang dijual, harus merupakan produk-produk yang halal, bermanfaat dan dapat diserah
terimakan serta mempunyai harga yang jelas. MLM yang dikelola oleh seorang muslim,
jika objeknya tidak memenuhi diatas, hukumnya tidak sah. Adapun dari aspek sistem,
pada dasarnya MLM yang berbasis syariah tidak jauh berbeda dengan MLM
konvensional. Yang membedakan adalah bentuk usaha atau jasa harus memenuhi hal-
hal sebagai berikut: pertama, produk yang dipasarkan harus halal, baik dan menjauhi
syubhat. Kedua, sistem akadnya harus memenuhi kaedah dan rukun jual beli
sebagaimana yang terdapat dalam hukum Islam. Ketiga, Operasional, kebijakan, budaya
oraganisasi, maupun sistem akuntansinya harus sesuai syari’ah. Keempat, tidak ada
mark up harga produk yang berlebihan, sehingga anggota terzalimi dengan harga yang
amat mahal, tidak sepadan dengan kualitas dan manfaat yang diperoleh. Kelima, dalam
struktur organisasinya, perlu ada Dewan Pengawas Syari’ah (DPS) yang terdiri dari
para ulama yang memahami permasalahannya. Selanjutnya, formula insensif harus adil,
tidak menzalimi down line dan tidak menempatkan up line hanya menerima pasif
income tanpa bekerja, up line tidak boleh menerima income dari hasil jerih payah down
linenya. Pembagian bonus harus mencerminkan usaha masing-masing anggota. Tidak
ada eksploitasi dalam aturan pembagian bonus antara orang yang awal menjadi anggota
dengan yang akhir. Oleh karena itu pembagian bonus yang diberikan harus jelas angka
nisbahnya sejak awal. Cara pemberian penghargaan kepada mereka yang berprestasi
tidak hura-hura dan pesta pora. Produk yang dijual tidak menitik beratkan barang-
barang tertier, terutama ketika ummat masih bergelut dengan pemenuhan kebutuhan
primer. Disamping itu, perusahaan MLM harus berorientasi pada kemaslahatan
ekonomi ummat.
KESIMPULAN