Atas berkat rahmat dan hidayah Allah SWT, alhamdulillah kami dapat menyusun dan
menyelesaikan sebuah kajian ilmiah tentang “Lafadz Al’aam” dengan wasilah tugas disertai
bimbingan dan dorongan dari dosen mata kuliah Ushul Fiqih II .Disamping itu, kami sadari
sepenuhnya bahwa kajian makalah yang kami sajikan ini masih jauh dari kesempurnaan,
maka kami selalu berharap atas kritik dan sarannya yang membangun, guna peningkatan di
masa yang akan datang.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Difalam titel IX buku ke satu KUHP terdapat pasal-pasal yang menerapkanarti beberapa
istilah misalnyaapa yang di sebut dengan kejahatan, pejabat, hari, bulan, malam hari adanya
makar dan lain-lain
Penasiran dalam KUHP belum cukup untuk menjelaskan seluruh isi peraturan tyng
terdapat di dalamnya, maka dari itu kami membawakan makalah yang berjudul
B. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini tentu banyak rumusan masalah yang akan kami bahas yaitu :
2. Apa yag dimaksud dengan analogi penafsiran dan perbedaannya dengan penafsiran
eksternal?
1. Mahasiswa mampu menetahui apa yang di maksud dengan penafsiran hukum pidana
2. Mahasiswa mampu mengetahui apa yang di maksud dengan analogi hukum pidana
4. Selain itu juga mahasiswa bisa memahami dengan luas tentang batas batas berlakunya
perundang-undangan hukum menurut waktu dan tempanya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Penafsiran Hukum Pidana
Pentingnya penafsiran dalam hukum pidana itu salah satunya kerena hukum tertulis tidak
dapat dengan segera mengikuti arus, hukum tertulis terlihat baku, tidak dengan mudah
mengikuti perkembangan dan kemajuan masyarakat. Untuk mengikuti perkembangan itu
makaprakrik hukum mengunakan sautu penafsiran.[1]
Penafsiran dalam KUHP belum cukup menjelaskan seluruh isi peraturan yang terdapat di
dalamnya, dan di luar KUHP pun terdapat pula UUD hukum pidana yang memuat hukum
pidana khusus, yang memerlukan penjelasan tersendiri dan memerlukan penfsiran yang di
kenal melalui ilmu pengetahuan.
a. Penafsiran Autentik
Penafsiran autentik di sebut juga penafsiran resmi, dalam pembentukan undang undang telah
di masukan banyak keterangan resmi mengenai beberapa istilah atau kata dalam perundang-
undangan yang bersangkutan. Di sebut penafsiran autentik juga karena tertulis secara jelas
dalam undang-undang, artinya berasal dari pembentuk UU itu sendiri, bukan dari sudut
pelaksana hukum yakni hakim.
b. Penafsiran Historis
Penafsiran Historis yaitu cara penafsiran suatu norma dalam suatu undang-undang, yang di
dasarkan pada sejarah ketika perturan perundang-undangan itu di susun di bicarakan di
tingkat badan-badan pembentukan perundang-undangan. Mencari pengertian dilakukan
dengan meneliti atau mempelajari pendapat-pendapat para anggota parlemen dan pemerintah
dalam pembentukan undang-undang tersebut.
c. Penafsiran Sistematis
Mencari pengertian dari suatu rumusan norma hukum dengan cara melihat hubungan bagian
atau rumussan satu dengan yang lainnya dari suatu undang-umdamg, sehingga dapat di tarik
pengertian tertentu. Secara sistematis artinya dari urut-urutan pemuatan atau bidang-bidang
pengaturan dalam undang-undang ada keterkaitan atau hubungan antara satu dengan yang
lainnya.
d. Penafsiran Logis
Adapun yang ke empat itu ada penafsiran logis yang artinya yaitu, suatu macam penafsiran
dengan cara menyelidiki untuk mencari dari sebnarnya dari di bentuknya sutu rumusan norma
dalam undang-undang degan menghubungkan (Mencari Hubungannya)dengan urusan norma
yang lain yang masih ada sangkut paut nya dengan norma tersebut.
e. Penafsiran Gramatikal
Kit etahui bahwasanya penafsiran gramatikal tersebut juga penafsiran menurut atau atas dasar
bahasa sehari-hari yang digunakan oleh masyarakat yang bersangkutan.
f. Penafsiran teleologis
Penafsiran teleologis ialah suatu penafsiran terhadap suatu runusab norma dalam undang-
undang berdasarkan maksud pembentuk undang-undang dalam merumuskan norma tersebut.
g. Penafsiran Analogis
Penafsiran analogis adalah macam penafsiran terhadap suatu rumusan norma atau
bagian/unsur norma tertentu dalam undang-undang, dengan cara memperluas cara berlakunya
suatu norma dengan meng abstrakan rasio tertentu itu sedimikian rupa luasnya pada suatu
kejadian kongkrit tertentu yang sesungguhnya tidak termasuk dalam isi dan pngertian norma
itu. Dengan cara demikian, kejadian kongkrit tadi menjadi masuk kedalam isi dan pengertian
norma tersebut.
h. Penafsiran ekstensif
Penafsiran ekstensid yaitu penafsiran dengan memperluas dari kata-kata dalam peraturan
sehingga suatu peristiwa dapat di masukin.
i. Penafsiran Acontrario
Menurut van Apeldoorn menjelaskan hakikat dari kegiatan penafsiran itu sebagai
suatu usaha mencari kehendak pembuat undang-undang yang pernyataannya kurang jelas.
c. Menjamin penindakan atau penerapan hukum dapat di lakukan secara tepat, benar dan
adail.
Penafsiran analogi adalah memberi penafsiran pada suatu peraturan hukum dengan
memberi kiyas pada kata-kata dalam peraturan tersebut sesuai dengan azas hukumnya
sehingga suatu peristiwa yang sebenarnya tidak masuk kedalamnya di anggap sesuai dengan
peraturan tersebut, yang di maksud penafsiran analogi ialah memperluas cakupan atau
pengertian dari ketentuan undang-undang. Analogi sangat erat hubungannya dengan
penguraian pasal 1 KUHP. Dari ketentuan pasal1 KUHP di simpulkan bahwa salah satu asas
yang terkandung di dalamnya adalah :” dilarang menggunakan analogi”
· Gesetz Analogi
Ialah analogi terhadap perbuatan yang sama sekali tidak ada dalam hukum pidana.
· Recht analogi
Ialah analogi terhadap perbuatan yang mempunyai kemiripan dengan perbuatan yang dilarang
dalam ketentuan hukum pidana.
Ada alasan yang di kemukakan oleh pihak yang menyetujuai adanya penafsiran
analogi yaitu perkembangan masyarakat yang sangat cepat seingga hukum pidana harus
berkembang sesuai dengan masyarakat tersebut. Sementara yang menentang adanya
penafsiran analogi ini beralasan bahwa penerapan analogi sangat berbahaya karena dapat
menyebabkan ketidak pastian hukum dalam masyarakat.
Dalam tafsiran ekstensif, kita berpegang pada aturan yang ada, memaknai sebuah kata
dengan maka yang hidup dalam masyarakat sekarang, tidak merut maknanya ketika waktu
undang-undang di bentuk. Sedangkan dalam penafsiran analogi, bahwa peraturan yang
menjadi soal itu tidak dapat di msukan dalam aturan yang ada, akan tetapi perbuatan itu
mnurut hakim termasuk kedalam perbuatan yang mirip perbuatan itu. Jadi sesungguhnya jika
di gunakannya analogi, yang di buat untuk menjadikan perbuatan pidana pada sutu perbuatan
yang tertentu, bukanlah lagi aturan yang ada,
Penaafsiran ekstensif dan analogi pada hakikatnya adalah sama, hanya ada perbedaan
grudial saja, tetapi di pandang secara pisycologis bagi orang yang mnggunakannya ada
perbedaan yang besar antara keduanya, yaitu :
a. Penafsisran ekstensif
Masih berpegang pada bunyinya aturan, anya ada perkataan yang tidak lagi di beri makna
seperti pada waktu terjadinya undang-undang, tetapi pada waktu penggunanya, maka dari itu
masih dinamai interpretasi.
b. Penafsiran analogi
Sudah tidaj lagi berpegang pada aturan yang ada, melainkan pada inti, ratio dari adanya. Oleh
karena inilah yang bertentangan dengan asas legalitas, sesbab asas ini mengharuskan adanya
suatu aturan sebagai dasar.[4]
Waktu perbuatan pidana selalu sesuai dengan tempat perbuatan pidana. Ada beberapa
manfaat mengetahui tentangwaktu perbuatan pidana, menurut E.Y. Kante, S.H dan S.R
Sianturi, S.H (1982) di temukan dalam undang-undang hakim pidana, yaitu :
1. Tiada suatu perbuatan dapat di pidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam
perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan di lakukan
2. Jika sesudah perbuatan di lakukan ada perubahan dalam perundang-undangan, di pakai
aturan yang paling ringan bagi terdakwa.
· Bagi seseorang yang tidak terus menerus gila, apakah ketika melakukan tindak pidana, ia
dalam keadaan gila atau tidak
· Apakah telah terjadi “tertangkap tangan” atau tidak dan lain sebagainya.
` Jelaslah bahwa waktu dan tempat dalam perbuatan pidana sangat penting
sebagaimana tertera dalam pasal 121 jo pal 143 ayat (2) hurup b, KUHAP, yang
mengharuskan menyebut tempat dan waktu perbuatan pidana dalam surat dakwaan dengan
ancaman batal demi hukuman.
Tempat suatu tindak pidana, yaitu tempat pelaku melakukan tindakan pidana yang
ketik itu telah sempurna pula dari semua unsurtindak pidana tersebut.
Cara-cara yang lazim di gunakan untuk pemecahannya adalah mengikuti salah satu
pola dari empat macam ajaran, yaitu :
1. Ajaran tidak badaniyah. Untuk mennentukan tempat kejadian, pusat perhatian adalah
tempat pelaku melakukan tindak pidana, dan unsur-unsurt indak pidana saat itu telah
sempurna.
2. Ajaran tentang bekerjanya alat, tempat kejadian adalah tempat bekerjanya alat yang di
gunakan dalam suatu tindak pidana dan telah membuat sempurna (menimbulkan) suatu
tindak pidana.
3. Ajaran dari tindakan. Tempat kejadian suatu tindak pidana adalah tempat terjadinya suatu
akibat yang merupakan penyempurnaan dari tindak pidana yang telah terjadi.
4. Ajaran berbagai tepat tindak pidana. Menurut ajaran ini tempat tindak pidana adalah
gabugan dari ketiga-tiganya atau dua dar ajaran-ajaran di atas.[6]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penafsiran analogi adalah memberi penafsiran pada suatu peraturan hukum dengan
memberi kiyas pada kata-kata dalam peraturan tersebut sesuai dengan azas hukumnya
sehingga suatu peristiwa yang sebenarnya tidak masuk kedalamnya di anggap sesuai dengan
peraturan tersebut.
Perbadaan penafsiran ekstensif dan analogi. Dalam tafsiran ekstensif, kita berpegang
pada aturan yang ada, memaknai sebuah kata dengan makna yang hidup dalam masyarakat
sekarang, tidak menurut maknanya ketika undang-undang di bentuk. Sedangkan dalam
penafsiran analogi, bahwa peraturan yang menjadi soal itu, tidak dapat di masukan ke dalam
aturan yang ada, akan tertapi perbuatan itu menurut hakim termasuk kedalam perbuatan
pidana karena termasuk intinya aturan yang ada yang mengenai perbuataan itu.
DAFTAR PUSTAKA
· Pipin Syarifin, Hukum Pidana Di Indonesia, Pustaka Setia, Bandung , 2008.
· http:// tiaramon.wordpress.com
· Kanter, EY. SH , Dan S.R Sianturi S.H ,1982 Asas-Asas Hukum Di Indonesia Dan
Penerapannya, jakarta: Alumni AHM-PTHN