Anda di halaman 1dari 17

Analisis

Analisis Perencanaan
Perencanaan Indonesia

Indonesia

Dalam
Dalam Membangun
Membangun Bandar

Bandar

Antariksa
Antariksa di
di Biak,
Biak, Papua
Papua
introduction
introduction
ISU :
Pada tahun 2019, ketika pertemuan Presiden Indonesia, Joko widodo, yang berberbincang
mengenai kemitraan investasi, jokowi meminta Musk untuk melihat kemungkinan
mendirikan stasiun peluncuran luar angkasa di Indonesia. Indonesia menawarkan salah
satu wilayahnya dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Indonesia (LAPAN)
berencana membangun pelabuhan antariksa dan berlokasi di Biak, Papua.

Dalam proyeksi nya, LAPAN akan bekerjasama dengan SpaceX sesuai dengan Draft
Rencana Induk Penyelenggaraan Keantariksaan Tahun 2016-2040. nantinya, badan
antariksa ini diharapkan mampu meluncurkan roket orbit observasi bumi, sistem
telekomunikasi dan sistem navigasi nantinya.
Apa
Apa itu
itu Bandar
Bandar Antariksa
Antariksa ??
Berdasarkan Pasal 1 Angka 10 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2013 Tentang Keantariksaan menyebutkan “
Bandar Antariksa adalah kawasan di daratan yang dipergunakan sebagai landasan dan/atau peluncuran
wahana Antariksa yang dilengkapi dengan fasilitas keamanan, keselamatan serta fasilitas penunjang
lainnya.

Beberapa peraturan lain seperti Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 2017 tentang Rencana Induk
Penyelenggaraan Keantariksaan yang diatur mengenai strategi yang akan diterapkan dalam membangun
kemandirian dalam peluncuran wahana antariksa melalui pembangunan bandar antariksa di wilayah
Indonesia, salah satunya yaitu meningkatkan kerja sama dalam pembangunan, pengoperasian, dan
pengembangan bandar antariksa. Dalam peraturan tersebut juga telah tertuang Draft Rencana Induk
Penyelenggaraan Keantariksaan Tahun 2016-2040

Dalam kata lain, Bandar antariksa dapat dikatakan sebagai pelabuhan angkasa, pusat peluncuran luar
angkasa atau kosmodrom (tempat luncurkannya atariksa). Umumnya sebuah bandar antariksa harus memiliki
luas yang cukup besar agar tidak membahayakan nyawa manusia disekitarnya pada saat peluncuran
Pembangunan Bandar Antariksa
Berdasarkan kajian pembangunan bandar antariksa oleh Pusat Kajian Kebijakan Penerbangan dan
Antariksa LAPAN, pembangunan bandar antariksa merupakan salah satu amanat dalam Undang-
Undang RI Nomor 21 Tahun 2013 tentang Keantariksaan.

Dalam peta Rencana Induk Penyelenggaraan Keantariksaan Tahun 2016-2040, dijelaskan bahwa pada
periode tahun 2036-2040 teknologi peroketan Indonesia diharapkan sudah memiliki program
peluncuran roket pengorbit satelit ke orbit rendah. Indonesia direncanakan mampu meluncurkan dan
mengoperasikan satelit observasi bumi, telekomunikasi, dan navigasi. Hal ini supaya indonesia tidak
lagi bergantung kepada negara lain.

Alasan lain dapat disebutkan karena nilai ekonomi antariksa global diproyeksikan akan meningkat
menjadi lebih dari US$1 triliun per tahun pada 2040. Sehingga, dinilai sangat menguntungkan jika
Indonesia bisa berpartisipasi dalam sektor tersebut.
Mengapa Biak?

dekat
menghadap
merupakan

Aset lahan

dengan garis
samudera
daerah yang

lapan
equator pasifik luas
disebutkan bahwa bandar antariksa dibangun di Biak karena
LAPAN memiliki aset lahan di Kabupaten Biak Numfor tepatnya
desa Saukobye, Biak Utara, sekitar 40 km dari Kota Biak. LAPAN
disebut memiliki lahan seluas 1 juta meter persegi atau 100
hektar di desa Saukobye.

letaknya dekat dengan garis khatulistiwa atau equator, yaitu

Mengapa

terletak antara 0º55` - 1º27` Lintang Selatan (LS) dan 134º47` -


136º48` Bujur Timur (BT) sehingga sangat ideal untuk
peluncuran roket dikarenakan roket hanya memerlukan lebih
sedikit bahan bakar untuk dapat mencapai orbit

Biak? Biak memiliki luas mencapai 1.746 KM Persegi dan memiliki


sumber daya yang penting dalam manufaktur roket seperti
nikel dan tembaga.

oleh karena hal diatas, saat ini telah diupayakan kerjasama


antara LAPAN dengan akademisi untuk penyusunan dokumen master
plan dan studi kelayakan bersama dengan Pemerintahan Daerah
Biak Numfor dan perwakilan masyarakat adat biak
TANTANGAN PEMBANGUNAN BANDAR

ANTARIKSA
Rencana pembangunan ini memiliki tantangan tersendiri yang dapat
ditinjau berdasarkan aspek sosial budaya, aspek politik, dan aspek
lingkungan. Antara lain :

Aspek Sosial budaya


dalam Adat istiadat pulau biak kepemilikan tanah dapat dimiliki secara turun temurun. hal
ini nantinya dapat menyulitkan peralihan kepada pihak lain.

Aspek Politik
Adanya keterbatasan dukungan politik yang berdampak terhadap kurang seriusnya para
pembuat keputusan. Salah satu dampaknya adalah keputusan2 politik yang kurang
mendukung pembiayaan penyelenggaraan kegiatan antariksa.

Aspek Lingkungan
Menimbulkan sampah luar angkasa di orbit bumi maupun ruang angkasa yang berdampak
negatif. Hal ini juga dapat menghambat peluncuran roket dan satelit
Dampak
Mewujudkan Perkembangan Teknologi

Positif
Meningkatkan penguasaan teknologi dan operasional peluncuran satelit
pemerintah dan pemerintah setempat akan memperoleh keuntungan yang

besar karena nilai investasi yang tinggi


Meningkatkan nilai tambah ekonomi di daerah setempat khususnya biak

Terjalinnya hubungan kerjasama yang baik dengan negara lain

Menimbulkan sampah luar angkasa

Meningkatnya angka penebangan pohon pada saat proses pembangunan

Negatif Membahayakan Penduduk sekiitar meski dibangun pada lokasi sepi

penduduk
Membahayakan biota laut biak yang dimana wilayah biak terkenal

dengan potensi ekspor ikan yang besar ( kontribusi 13,7 % )


Terdapat beberapa penolakan dari masyarakat adat
Praktek & Pengaturan
Tanggung Jawab Negara untuk negara dengan space objects
Diatur dalam Convention on International Liability for Damage Caused by Space Objects,
konvensi ini menganut prinsip tanggung jawab negara dalam Article VII Outer Space Treaty
1967 :

"Each State Party to the Treaty that launches or procures the launching of an object into
outer space, including the Moon and other celestial bodies, and each State Party from
whose territory or facility an object is launched, is internationally liable for damage to
another State Party to the Treaty or to its natural or juridical persons by such object or
its component parts on the Earth, in air space or in outer space, including the Moon and
other celestial bodies.”
Pertanggungjawaban Negara dalam Article II dan III Liability Convention 1972
Dapat dilakukan dengan dua cara, pertanggungjawaban mutlak dan secara kesalahan
kepada pihak yang dirugikan secara nyata. Tetapi, di dalam konvensi ini tidak adanya
pengaturan mengenai kerugian yang dialami oleh Warga Negara dan WNA yang hadir atau
terlibat dalam peluncuran.

WNA dianggap telah sepakat sedangkan Warga negara peluncur dapat melakukan tuntutan
kompensasi menurut hukum nasional negara tsb memungkinkan sehingga dapat diartikan
bilamana hukum nasional negara tersebut tidak memungkinkan diberikannya kompensasi maka
Warga Negara yang mengalami kerugian tidak bisa melakukan tuntutan.

Aspek Tanggung Jawab


Aspek ini juga diatur dalam Agreement Between the United States of America and other
Goverments (USA, EROPA, JEPANG, dan Russia)

salah satu negara dengan hukum nasional yang mengatur aspek tanggung jawab spaceport
adalah Rusia, diatur dalam Law of the Russian Federation No.5663-1 of August 20, 1993 on
Space Activities.
Pengaturannya Di Indonesia
ndonesia sendiri terhadap Aspek tanggung jawab Spaceport diatur dalam Pasal 51 Ayat
(1) UU Nomor 21 tahun 2013 tentang Keantariksaan “Setiap Penyelenggara Keantariksaan
bertanggung jawab terhadap keamanan Penyelenggaraan Keantariksaan.”

pengaturan mengenai praktek spaceport di Indonesia sendiri masih kurang. Namun,


berdasarkan UU No. 16 tahun 2002 dimana Indonesia telah meratifikasi Treaty on
Principles Governing the Activities of States in the Exploration and Use of Outer Space,
including the Moon and Other Celestial Bodies, 1967. Maka berlakulah asas Pacta Sunt
Servanda, sehingga Indonesia harus mematuhi isi dari Outer Space Treaty 1967. Termasuk
peraturan mengenai aspek tanggung jawab dan praktek yang lain.

ndonesia juga melakukan kerjasama dengan China dalam Cooperation agreement in the
Exploration and Peaceful Uses of Outer Space, 2 Oktober 2013. Cnsa dan Lapan
menyepakati bahwa kedua lembaga tsb sebagai penyelenggara yang memegang koordinasi
dalam pelaksanaan kerjasama dan pertanggung jawaban thdp kerugian yang terjadi
dikoordinasikan bersama.
relevansi

relevansi

Hukum Internasional yang mengatur mengenai pembangunan


Pengaturan
Pengaturan di
di
stasiun luar angkasa adalah Outer Space Treaty. Perjanjian ini
telah diratifikasi oleh 105 negara di dunia, termasuk Indonesia.
Indonesia

Indonesia
Pengaturan ini telah diratifikasi oleh Indonesia Pada tahun 2002
melalui UU No.16 2002 tentang Pengesahan Treaty on Principles
Terhadap
Terhadap Dasar

Dasar
Governing the Activities of States in the Exploration and Use of
Outer Space, including the Moon and Other Celestial Bodies, 1967.
Hukum

Hukum
Dengan ini seluruh aturan dalam traktat tersebut otomatis
berlaku di Indonesia.

Internasional
Internasional
Perjanjian tsb dikenal sebagai Space Treaty 1967 dengan prinsip
fundamental (kebebasan bereksplorasi, kebebasan menggunakan
ruang angkasa, non-diskriminasi antar negara, serta gagasan
ruang angkasa sebagai wilayah seluruh umat manusia. Prinsip
kebebasan bereksplorasi dan menggunakan ruang angkasa
tersebut dibatasi dengan beberapa ketentuan, antara lain:

Kegiatan antariksa yang harus mengutamakan kepentingan


seluruh negara sesuai prinsip non-diskriminasi (Article I Space
Space
Space Treaty
Treaty Treaty 1967)
Larangan memiliki ruang angkasa dan/atau benda ruang
angkasa lainnya (Article II Space Treaty 1967)
Larangan memiliki ruang angkasa dan/atau benda ruang
angkasa lainnya (Article II Space Treaty 1967)
Mengawasi dan memberikan perizinan terhadap seluruh
aktivitas nasional yang memiliki relevansi dengan kegiatan
ruang angkasa (Article VI Space Treaty 1967)
Memberikan tanggung jawab berupa ganti rugi terhadap pihak
yang dirugikan akibat aktivitas ruang angkasa (Space Treaty
1967)
Pembatasan tersebut menjadi dasar bagi Indonesia untuk Menyusun
kegiatan ruang angkasa. Pada 2013, Indonesia mengesahkan UU No.21
Tahun 2013 Tentang Keantariksaan yang turut mengafirmasi
ketentuan-ketentuan dalam Space Treaty 1967.

Salah satunya Pasal 45 Ayat (2) UU Keantariksaan yang


menyatakan bahwa “Dalam menentukan lokasi, pembuatan rancang

Space
Space Treaty
Treaty bangun, perencanaan dan pembangunan Bandar Antariksa,
termasuk kawasan di sekelilingnya, wajib memperhatikan
kepentingan nasional, keamanan dan keselamatan peluncuran
wahana antariksa serta kelestarian lingkungan kawasan Bandar
Antariksa.” Hal serupa juga dinyatakan pada Article IX Space
Treaty 1967.
kesimpulan
Pembangunan bandar antariksa di Indonesia memiliki relevansi dengan Liability Convention
1972. Pemerintah Indonesia telah meratifikasi konvensi melalui Keputusan Presiden Republik
Indonesia Nomor 20 Tahun 1996 Tentang Pengesahan Convention on International Liability for
Damage Caused by Space Objects. Dalam ketentuan di Pasal 76 Ayat (2) UU Keantariksaan,
dinyatakan bahwa “Dalam hal terdapat Kerugian akibat dari Penyelenggaraan
Keantariksaan, ganti rugi menjadi tanggung jawab Penyelenggara Keantariksaan.”

Maksud dengan penyelenggaraan keantariksaan adalah mencakup lembaga atau para pihak
yang melaksanakan penyelenggaraan keantariksaan yang mencakup Pemerintah. Ketentuan
tersebut relevan dengan Article II Liability Convention 1972 yang menyatakan: “A launching
State shall be absolutely liable to pay compensation for damage caused by its space
object on the surface of the earth or to aircraft flight.”

Dengan demikian, apabila ada kerugian akibat pembangunan bandar antariksa yang akan
dilakukan di Biak, maka setiap penyelenggara keantariksaan memiliki kewajiban untuk
bertanggung jawab dan mengganti rugi sebagaimana tercantum pada dasar hukum UU
Keantariksaan juga Liability Convention 1972 .

Anda mungkin juga menyukai