Anda di halaman 1dari 157

TESIS

PERAN NOTARIS TERHADAP FINANCIAL TECHNOLOGY DALAM

AKAD SYARIAH DI INDONESIA

Disusun Oleh :

BILQIS ZUHRIYAH

NIM : 12219021

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN


FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS NAROTAMA SURABAYA


2021
TESIS

PERAN NOTARIS TERHADAP FINANCIAL TECHNOLOGY DALAM AKAD

SYARIAH DI INDONESIA

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan


Program Studi Magister Kenotariatan

Fakultas Hukum
Universitas Narotama Surabaya

Disusun Oleh :
BILQIS ZUHRIYAH
NIM : 12219021

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NAROTAMA SURABAYA
2021

ii
ABSTRAK
PERAN NOTARIS TERHADAP FINANCIAL TECHNOLOGY DALAM AKAD
SYARIAH DI INDONESIA

Notaris menduduki posisi yang sangat penting dalam industri perbankan


syariah saat ini, karena notaris memiliki peranan dalam pembuatan akta-akta
kontrak-kontrak produk perbankan syariah. Dalam praktik perjanjian bisnis di
dunia perbankan dewasa ini tentu sangat membutuhkan notaris yang mampu
memahami konsep-konsep akad syariah dan penerapannya dalam praktek
perbankan. Dalam perkembangan teknologi, terdapat pemanfaatan teknologi
dalam dunia perbankan syariah. Layanan ini tentunya akan memudahkan
konsumen, sehingga akan semakin berkembang dan menghasilkan industri
tersendiri yang produknya bekerja sama dengan komoditas berbagai lembaga
keuangan yang bersifat konvensional. Hal tersebut dapat dilihat dari industri
financial technology yang bekerja sama seperti perusahaan perbankan, investasi,
dan asuransi.
Jenis penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dengan pendekatan
statute approach dan conceptual approach. Penelitian ini dibatasi dengan
permasalahan yang dirumuskan sebagai berikut : 1. Apa akad syariah dapat
diterapkan dalam financial technology syariah berbasis online? 2. Apa peran
notaris dalam pelaksanaan akad online pada financial technology syariah ?
Berdasarkan rumusan serta analisis, maka hasil dari penelitian ini adalah:
Penerapan akad syariah dalam financial technology berbasis online masih berlaku
asas-asas hukum kontrak pada umumnya maupun hukum kontrak sesuai syariah.
Dalam penggunaan aplikasi tersebut, berbeda dengan aplikasi penyedia kredit
konvensional berbasis online, aplikasi penyedia pembiayaan berbasis online harus
memperhatikan prinsip-prinsip syariah dalam melakukan aktivitas usahanya
seperti jenis akad yang digunakan, rukun dan syarat akad pembiayaan hingga
pelaksanaan pengembalian pembiayaannya. Notaris yang merupakan alat bukti
yang kuat dapat menjadikan para pihak lebih aman bertransaksi menggunakan
aplikasi financial technology syariah berbasis online.

Kata Kunci: Peran Notaris, Financial Technology , Akad Syariah

vi
ABSTRACT

THE ROLE OF NOTARIES IN FINANCIAL TECHNOLOGY IN SHARIA


CONTRACTS IN INDONESIA

Notaries occupy a very important position in the Islamic banking industry


today, because notaries have a role in making contracts for sharia banking
products. In the practice of business agreements in the banking world today, of
course, there is a great need for a notary who is able to understand the concepts of
sharia contracts and their application in banking practice. In the development of
technology, there is the use of technology in the world of Islamic banking. This
service will certainly make it easier for consumers, so that it will grow and
produce its own industry whose products work together with commodities of
various conventional financial institutions. This can be seen from the financial
technology industry that works together such as banking, investment, and
insurance companies.
This type of research is a normative juridical research with a statute
approach and a conceptual approach. This research is limited by the problems that
are formulated as follows: 1. Can sharia contracts be applied in online-based
sharia financial technology? 2. What is the role of a notary in the implementation
of online contracts in Islamic financial technology?
Based on the formulation and analysis, the results of this study are: The
application of sharia contracts in online-based financial technology still applies
the principles of contract law in general and contract law according to sharia.
In using this application, in contrast to conventional online-based credit provider
applications, online-based financing provider applications must pay attention to
sharia principles in carrying out their business activities, such as the type of
contract used, the pillars and terms of the financing contract to the implementation
of the financing return. Notaries who are strong evidence can make it safer for the
parties to transact using online-based sharia financial technology applications.

Keywords: Role of Notary, Financial Technology, Sharia Contract

vii
RINGKASAN

PERAN NOTARIS TERHADAP FINANCIAL TECHNOLOGY DALAM AKAD


SYARIAH DI INDONESIA

Tesis ini dibagi dalam 4 bab atau bagian sebagai berikut:

Bab I, pendahuluan, yang menguraikan latar belakang pemikiran dasar dari

penulis mengenai fakta hukum atau isu hukum yang akan diteliti. Isu hukum yang

timbul dari fakta hukum tersebut kemudian dirumuskan ke dalam rumusan

masalah. Setelah ditetapkan rumusan masalah, timbul tujuan dan manfaat

penelitian yang akan dirasakan bagi kepentingan akademis dan kepentingan

praktisi. Kemudian diterangkan metode penelitian yang digunakan peneliti untuk

menganalisis guna menentukan hasil penelitian. Setelah itu sistematika penulisan

yang menjelaskan gambaran umum dari penelitian yang akan ditulis oleh penulis.

Bab II, penerapan akad syariah dalam financial technology berbasis

online. Bab ini mengulas sekaligus menjawab rumusan masalah pertama. Hasil

analisis bab kedua ini adalah bahwa Penerapan akad syariah dalam financial

technology berbasis online yang merupakan fenomena yang baru namun masih

berlaku asas-asas hukum kontrak pada umumnya maupun hukum kontrak sesuai

syariah. Dalam segi perikatan sesuai hukum Islam atau sesuai syariah, kontrak

melalui media teknologi informasi tetap harus memenuhi rukun dan syarat akad.

Bab III, peran notaris dalam pelaksanaan akad online pada financial

technology syariah. Hasil analisis bab kedua ini adalah bahwa peran notaris dalam

pembuatan akta otentik dalam setiap perjanjian bisnis khususnya dalam hal ini

adalah akad yang dilakukan pada Fintech syariah sangatlah penting. Pada

viii
umumnya para pihak sangat menghendaki dituangkan akad syariah di dalam

bentuk akta notaris, sehingga seorang notarispun dituntut untuk membekali diri

dengan pengetahuan yang cukup memadai tentang jenis-jenis akad dan produk-

produk keuangan di bank syariah.

Bab IV, penutup yang merupakan kesimpulan atas pembahasan semua

bab dalam tesis ini yang menghasilkan suatu konklusi, selanjutnya dari konklusi

tersebut dalam bab keempat ini diberikan saran untuk dijadikan alternatif

pemecahan masalah atas masalah yang dibahas.

ix
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala Rahmat, Taufik dan

Hidayah-Nya sehingga tesis dengan judul “PERAN NOTARIS TERHADAP

FINANCIAL TECHNOLOGY DALAM AKAD SYARIAH DI INDONESIA” ini

dapat terselesaikan dengan baik. Tesis ini disusun untuk memenuhi persyaratan

guna memperoleh gelar Magister Kenotariatan dari Program Studi Magister

Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya.

Penulisan tesis ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak, untuk itu

dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada

yang terhormat:

1. Bapak Dr. Ir. H. Sri Wiwoho Mudjanarko, S.T., M.T., IPM , selaku Rektor

Universitas Narotama Surabaya.

2. Bapak Dr. Rusdianto Sesung, S.H., M.H , selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Narotama Surabaya.

3. Bapak Dr. Habib Adjie, S.H., M.Hum , selaku Ketua Prodi Magister

Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya.

4. Bapak Dr. H. R. Ibnu Arly, S.H., M.Kn , selaku Dosen Pembimbing yang telah

bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing dan mengarahkan penulis

selama penyusunan Tesis ini.

5. Seluruh Bapak/Ibu staf pengajar Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas

Hukum Universitas Narotama Surabaya, yang tidak dapat penulis sebutkan satu

persatu, dan telah banyak memberikan ilmu yang bermanfaat bagi penulis.

x
6. Seluruh staf administrasi Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas

Hukum yang telah banyak membantu penulis selama mengikuti perkuliahan

dan penulisan Tesis ini.

7. Kepada Keluarga saya, Ibu saya Hj. Indah Nunik terimakasih atas doa yang

tiada henti, Paklek saya dr. Moch. Fatchul Karim atas dukungannya untuk

dapat menyelesaikan studi saya ini. Kakak saya, Diyanaturrochimah dan

Suami saya, Aditya Indiarto yang selalu support saya dalam menyelesaikan

Tesis ini.

8. Teman-teman Mkn Universitas Narotama Surabaya angkatan XVIII serta

semua pihak yang telah membantu penulis namun tidak dapat saya sebutkan

satu persatu pada kesempatan ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan Tesis ini masih terdapat

kekurangan yang perlu dilengkapi. Karena itu, dengan rendah hati penulis

mengaharapkan masukan, koreksi dan saran untuk perbaikan Tesis ini.

Surabaya, Agustus 2021

xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .......................................................................................i
LEMBAR PERSYARATAN GELAR ............................................................ii
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING DAN KAPRODI ......................iii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA PENGUJI ...........................................iv
SURAT PERNYATAAN ................................................................................v
ABSTRAK........................................................................................................vi
RINGKASAN ...................................................................................................viii
KATA PENGANTAR ......................................................................................x
DAFTAR ISI ....................................................................................................xii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................1
1.1. Latar Belakang ...............................................................................1
1.2. Rumusan Masalah ..........................................................................7
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................................8
1.3.1. Tujuan Penelitian ..................................................................8
1.3.2. Manfaat Penelitian ................................................................8
1.4. Originalitas Penelitian .....................................................................9
1.5. Tinjauan Pustaka ............................................................................12
1.5.1. Teori Perlindungan Hukum ...................................................12
1.5.2. Teori Kepastian Hukum……………………………………14
1.5.3. Akad Syariah .........................................................................15
1.5.4. Tugas Jabatan Notaris ............................................................18
1.5.5. Financial Technology ............................................................21
1.6. Motede Penelitian ...........................................................................22
1.6.1. Tipe Penelitian ......................................................................22
1.6.2. Pendekatan Masalah ..............................................................23
1.6.3. Sumber Bahan Hukum ..........................................................23
1.6.4. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Bahan Hukum ..........24
1.6.5. Analisis Bahan Hukum ..........................................................25
1.7. Sistematika Penulisan .....................................................................25

xii
BAB II PENERAPAN AKAD SYARIAH DALAM FINANCIAL
TECHNOLOGY BERBASIS ONLINE ............................................................27
2.1. Hukum Islam Dalam Sektor Ekonomi Syariah .................................27
2.2. Perkembangan Financial Technology Syariah di Indonesia………...37
2.3. Rukun dan Syarat Syahnya Akad .....................................................46
2.4. Pelaksanaan Akad Syariah Online Dalam Financial Technology......51
BAB III PERAN NOTARIS DALAM PELAKSANAAN AKAD ONLINE
FINANCIAL TECHNOLOGY SYARIAH .......................................................61
3.1. Perkembangan Regulasi Financial Technology ................................61
3.2. Potensi Resiko Financial Technology di Indonesia ..........................76
3.3. Agunan Dalam Financial Technology ..............................................82
3.4. Kekuatan Pembuktian Akta Otentik dan Akta Di Bawah Tangan .....83
3.5. Peran Notaris Terhadap Financial Technology Dalam Akad Syariah94
BAB IV PENUTUP ..........................................................................................114
4.1. Kesimpulan ………………………………………………………. ...114
4.2. Saran ……………………………………………………………... ...115
DAFTAR PUSTAKA

xiii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Notaris menduduki posisi yang sangat penting dalam industri perbankan

syariah saat ini, karena notaris memiliki peranan dalam pembuatan akta-akta

kontrak-kontrak produk perbankan syariah. Dalam praktik perjanjian bisnis di

dunia perbankan dewasa ini tentu sangat membutuhkan notaris yang mampu

memahami konsep-konsep akad syariah dan penerapannya dalam praktek

perbankan. Pemahaman terhadap kontrak kontrak bisnis dalam berbagai produk

keuangan dan perbankan syariah merupakan suatu hal yang mutlak dan harus

dikuasai oleh notaris perbankan syariah.

Praktik bisnis yang kini dilaksanakan dan senantiasa bersandar pada

perjanjian bisnis syariah belum sepenuhnya menerapkan ketentuan syariah.

Menurut Aunur Rohim Faqih, hal ini terjadi pada perjanjian pembiayaan syariah

yang dilakukan oleh perbankan syariah. Tidak adanya prinsip-prinsip syariah di

dalam kontrak-kontrak pembiayaan dalam perbankan syariah ini, harus dipelajari

secara komprehensif, yaitu ada dalam tahapan prakontrak (pre-contractual),

pelaksanaan (contractual) dan pasca (post-contractual). Oleh karena itu, Islam

dengan tegas dan jelas mendorong seutuhnya pada setiap subyek hukum yang

terdiri dari individu maupun badan ketika mengadakan suatu kontrak perjanjian

(akad) agar berhati-hati dan senantiasa menaati rukun dan syarat sahnya

1
2

akad sesuai yang ditentukan dalam hukum Islam. 1

Menurut Noor Hafidah, baik dari segi teori maupun praktisnya, yaitu

masalah dari suatu aspek jaminan dan dalam lembaganya di dalam perbankan

syariah di Indonesia, yang tidak atau belum tentu mengikuti pada prinsip-prinsip

syariah itu sendiri. Pemakaian badan jaminan konvensional seperti dalam hak

tanggungan dan fidusia menjadi pilihan dari bank-bank syariah. Syarat adanya

suatu jaminan (collateral) pada pembiayaan syariah yang di-cover dengan

menggunakan lembaga jaminan konvensional, penting untuk diperhatikan bahkan

di kritik dari keberadaannya. 2

Dalam kegiatan lembaga perbankan dilakukan dengan cara menerima

simpanan yaitu berupa tabungan dan deposito dan melaksanakan kegiatan dengan

menyalurkan dana berupa pembiayaan dan pemberian jasa yakni berupa

pengiriman uang, save deposit dan jasa-jasa perbankan lainnya. Kegiatan tersebut

harus dilakukan berdasarkan perjanjian tertulis (akad).3

Lembaga keuangan yang berbasis syariah sangat dibutuhkan di sebuah

negara yang penduduknya mayoritas Islam. Karena tujuan pokok dalam prinsip

syariah adalah sesuai aturan dalam hukum Islam yang melarang adanya riba,

terdapatnya maisir, sifat gharar, barang haram dan zalim dalam kegiatan

perbankan syariah. Adanya nilai-nilai keadilan, kebersamaan, pemerataan dan

kemanfaatan merupakan asas demokrasi ekonomi. Sedangkan prinsip kehatihatian

1
Aunur Rohim Faqih, Kontrak Bisnis Syariah Studi Mengenai Penerapan Prinsip-
Prinsip Syari’ah dalam Pembiayaan Pada Bank Syariah di Indonesia, Ringkasan Desertasi,
Program Doktor (S-3) Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia, 2014, hlm.28.
2
Noor Hafidah, Hukum Jaminan Syariah; Implementasinya dalam Perbankan Syariah di
Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2017, h. 8.
3
Nugroho Any. Hukum Perbankan Syariah, Aswaja Pressindo, Yogyakarta 2015, h. 4.
3

mengharuskan pihak bank untuk selalu berhati-hati dalam menjalankan kegiatan

usahanya. 4

Bank sebagai lembaga keuangan, memerlukan serta mengambil manfaat

jasa hukum notaris dalam setiap kontrak bisnisnya, seperti akad dalam

pembiayaan, perjanjian kredit, termasuk tambahannya yakni pengikatan jaminan.

Menurut Deni K Yusup, bank-bank konvensional lebih menggunakan jasa Notaris

dalam setiap penyusunan akta perjanjian / perikatan dibanding dengan bank

syariah. Namun sekarang ini bank-bank syariah merupakan bagian dari sistem

perbankan nasional yang sudah diatur dalam perundangan khusus yaitu Undang-

Undang Perbankan Syariah juga memanfaatkan jasa hukum dari seorang Notaris

pada setiap usaha perkembangan bisnisnya, terutama dalam hal Akta Akad

Pembiayaan (AAP). Hal ini dapat diketahui bahwa produk dari bank syariah harus

selalu menggunakan prinsip serta asas-asas hukum ekonomi syariah. Dengan

demikian, dalam hal pencatatan dari suatu kontrak bisnis yang dituangkan dalam

akta notarisnya pun harus merujuk kepada aturan-aturan hukum secara ekonomi

syariah. 5

Menurut Abdul Ghofur Anshori, produk hukum yang dikeluarkan oleh

Notaris adalah berupa akta-akta yang bersifat otentik dan mempunyai kekuatan

alat bukti yang sempurna. Akta ialah suatu surat yang bisa dijadikan sebagai alat

pembuktian yang di dalamnya terdapat tanda tangan, yang menerangkan suatu

kejadian yang menjadi landasan suatu hak atau perikatan, dibuat dari awal dengan

4
Ibid h. 11.
5
Deni K Yusup, “Peran Notaris dalam Praktek Perjanjian Bisnis di Perbankan Syariah
(Tinjauan dari Perpektif Hukum Ekonomi Syariah” dalam Al-‘ADALAH Volume XII. No 4,
Desember 2015
4

sengaja untuk suatu pembuktian. 6 Salah satu akta yang wajib dibuat dengan akta

Notaris adalah Akta Jaminan Fidusia. Akta Jaminan Fidusia sebagai akta Notaris

harus memenuhi unsur-unsur yang sudah ditentukan oleh Undang-undang didalam

proses pembuatannya sehingga memenuhi kriteria untuk disebut sebagai akta

otentik, diantaranya adanya unsur pembacaan akta, penandatanganan akta pada

saat itu dan hal tersebut dinyatakan secara tegas dalam akta tersebut.

Ada dua jenis akta yaitu :

1. Akta otentik adalah tulisan-tulisan otentik berupa akta otentik ,yang

dibuat dalam bentuk yang sudah ditentukan oleh undang-undang, dibuat

dihadapan pejabat-pejabat (pegawai umum)yang diberi wewenang dan di

tempat dimana akta tersebut dibuat.7

2. Akta dibawah tangan adalah “suatu akta yang dibuat dan ditandatangani

oleh para pihak saja dengan tanpa bantuan seorang pejabat umum”. 8

Selain akta otentik yang dibuat oleh notaris, terdapat akta lain yang disebut

sebagai akta dibawah tangan, yaitu akta yang disengaja dibuat oleh para pihak

untuk pembuktian tanpa perantara dari seorang pejabat pembuat akta. Dengan kata

lain, akta dibawah tangan atau onderhands acte adalah akta yang dibuat tanpa

perantaraan seseorang pejabat umum, namun dibuat serta ditandatangani sendiri

oleh pihak yang mengadakan perjanjian.9

6
Abdul Ghofur Anshori, 2009, Lembaga kenotariatan Indonesia prespektif hukum dan
Etika, Yogyakarta : UII Pres, hlm 18
7
Pasal 1868 B.W.
8
Racmadi Usman, 2009, Hukum Jaminan Keperdataan. Jakarta : Sinar Grafika, hlm 87
9
R. Soeroso., Perjanjian Di Bawah Tangan Pedoman Praktis Pembuatan dan Aplikasi
Hukum , Jakarta : Sinar Grafika, 2010, hlm.8
5

Dalam hal apabila para pihak yang terlibat penandatanganan dalam surat

perjanjian tersebut telah memberikan pengakuan dan tidak memberikan sangkalan

tanda tangannya, tidak menyangkal isi dan yang tertuang pada surat tersebut,

maka akta dibawah tangan tersebut mempunyai kekuatan pembuktian yang sama

dengan suatu akta otentik. Pasal 1875 KUH Perdata menyatakan bahwa :

“Suatu tulisan dibawah tangan yang diakui oleh orang terhadap siapa tulisan
itu hendak dipakai, atau yang dengan cara menurut undang-undang dianggap
sudah diakui, memberikan terhadap orang-orang yang menandatanganinya
serta para ahli warisnya dan orang-orang yang mendapat hak dari
mereka,bukti yang sempurna seperti suatu akta otentik”.
Dan demikian pula berlakulah ketentuan Pasal 1871 untuk tulisan itu yang dalam

ayat (2) berbunyi :

“Jika apa yang termuat disitu sebagai sebagai suatu penuturan belaka tidak ada
hubungannya langsung dengan pokok isi akta, maka itu hanya dapat berguna
sebagai permulaan pembuktian dengan tulisan”.

Notaris didalam perkembangannya semakin meningkat karena telah

banyak berdiri bank-bank berbasis Syariah, dan berakibat para Notaris untuk

dapat mampu membuat akta Syariah yang pada umumnya di buat antara Bank

Syariah dengan para nasabahnya.

Perbankan Syariah mengatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor

21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Menurut Pasal 1 angka 1 pada

undang-undang tersebut, Perbankan Syariah adalah semua yang berhubungan

dengan Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mulai dari kelembagaan, kegiatan

usaha, dan cara serta proses saat melakukan kegiatan usahanya. Kemudian yang

dimaksud dengan akad yang terdapat dalam Pasal 1 angka 13 Undang-Undang

Perbankan Syariah adalah kesepakatan tertulis antara Bank Syariah dan pihak lain

yang memuat adanya hak dan kewajiban masing-masing pihak sesuai dengan
6

prinsip syariah.10 Hal tersebut diakui saat ada kata sepakat dari para pihak

kemudian dituangkan dalam akta notaris itu sesuai dengan ketentuan prinsip

syariah.

Dalam perkembangannya, terdapat pemanfaatan teknologi dalam dunia

perbankan syariah. Layanan ini tentunya akan memudahkan konsumen, sehingga

akan semakin berkembang dan menghasilkan industri tersendiri yang produknya

bekerja sama dengan komoditas berbagai lembaga keuangan yang bersifat

konvensional. Hal tersebut dapat dilihat dari industri financial technology yang

bekerja sama seperti perusahaan perbankan, investasi, dan asuransi.

Mayoritas penduduk Negara Indonesia merupakan pemeluk agama Islam,

sehingga produk atau jasa yang berlabelkan halal sangat diminati oleh hampir

seluruh penduduk Negara Indonesia. Para pelaku usaha tentunya sangat gencar

dalam mendapatkan label halal untuk dapat bersaing dalam pemasaran produk.

Hal ini juga berdampak pada produk yang ditawarkan dalam financial technology.

Financial Technology menurut peraturan Bank Indonesia Nomor

19/12/PBI/2017 adalah penggunaan teknologi sistem keuangan yang

menghasilkan produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis baru serta dapat

berdampak pada stabilitas moneter, stabilitas sistem keuangan, efesiensi,

kelancaran, kemananan dan keandalan sistem pembayaran. Penyelenggara

Financial Technology yakni meliputi sistem pembayaran, pendukung pasar,

manajemen investasi dan manajemen resiko, pinjaman, pembiayaan dan penyedia

10
Lihat Pasal 1 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
7

modal, dan jasa finansial lainnya. Usaha dibidang ini menggunakan prinsip-

prinsip Islam yang disebut dengan financial technology syariah.

Financial technology syariah selalu berkaitan dengan rukun akad bisnis

syariah, dan harus disesuaikan terhadap hal tersebut karena merupakan bagian dari

sesuatu yang tak dapat terpisahkan darinya dan sesuatu tidak utuh jika tanpa

keberadaannya. Berkembangnya financial technology yang konvensional diikuti

pula dengan perkembangan yang berbasis syariah. Adapun perbedaan diantara

keduanya. Dalam suatu transaksi yang dilakukan harus memenuhi aturan yang

berbasis syariah termasuk dalam rukun serta syarat dalam pelaksanaan akad.

Prinsip Syari’ah untuk dapat diterapkan dalam segala aspek kehidupan

yang didasarkan pada aturan-aturan Syari’ah. Sebagaimana dijelaskan dalam

surah Al-Baqarah ayat (208) yang maknanya: Hai kalian orang-orang yang

beriman, masuklah ke dalam Islam menyeruluh, dan janganlah ikut ke dalam

langkah-langkah syaitan. Sunnguh syaitan itu adalah musuh yang jelas bagi

kalian.

Berdasarkan dari latar belakang tersebut, maka peneliti mengambil judul

tesis: “PERAN NOTARIS TERHADAP FINANCIAL TECHNOLOGY

DALAM AKAD SYARIAH DI INDONESIA”

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah

yang diajukan dalam penulisan tesis ini adalah sebagai berikut :

1. Apa akad syariah dapat diterapkan dalam financial technology syariah

berbasis online?
8

2. Apa peran notaris dalam pelaksanaan akad online pada financial technology

syariah ?

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1. Tujuan Penelitian

1. Untuk menganalisis penerapan akad syariah dalam financial technology

berbasis online.

2. Untuk menganalisis dan mengetahui peran Notaris dalam pelaksanaan

akad online pada financial technology syariah.

1.3.2. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Memberikan sumbangan pemikiran pada ilmu kenotariatan

khususnya mengenai peran Notaris dalam pelaksanaan akad online pada

financial technology syariah.

2. Manfaat Praktis

1. Bagi Notaris untuk dijadikan pedoman dalam menyusun akta

otentik berprinsip syariah dan bersifat online sesuai dengan

standar akta otentik berdasarkan peraturan yang berlaku dan

tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Dengan adanya

peraturan ynag khusus mengatur keterlibatan Notaris dalam

pembiayaan berbasis online, keilmuan Notaris dapat selalu

mengikuti perkembangan zaman.

2. Bagi Penyedia Pembiayaan Online, untuk dapat dijadikan

pedoman dalam melakukan aktivitas pembiayaan berbasis


9

online. Dengan memasukkan akta otentik yang dikeluarkan

oleh Notaris ke dalam akad pembiayaan di financial

technology berbasis online dapat menjadikan pengaman bagi

para pihak yang melakukan transaksi sehingga dapat

meminimalisasi terjadinya permasalahan di kemudian hari.

1.4. Originalitas Penelitian

Peneliti mencari referensi-referensi penelitian dalam bentuk tesis yang

membahas tentang persekutuan perdata Notaris. Dari sekian banyak pencarian

judul penelitian yang serupa dan juga peneliti mencari alat ukur untuk mengukur

originalitas penelitian. Peneliti menemukan beberapa judul yang serupa dan alat

ukur yang dipakai oleh peneliti berasal dari Estelle Phillips. 11

a. Saying something nobody has said before;


b. Carrying out empirical work that hasn’t been done made before;
c. Making a synthesis that hasn’t been made before;
d. Using already know material but with a new interpretation;
e. Trying out something in this country that has previously only been
done in other countries;
f. Taking a particular technique and applying it in a new area;
g. Bringing new evidence to bear on an old issue;
h. Being cross-diciplinary and using different methodologies;
i. Taking someone else’s ideas and reinterpreting them in a way no one
else has;
j. Looking at areas that people in your discipline haven’t looked at
before;
k. Adding to knowledge in a way that hasn’t previously been done
before;
l. Looking at existing knowledge and testing it;
m. Playing with words. Putting thing together in ways other haven’t.

Pendapat Estelle Phillips tersebut diterjemahkan bebas sebagai berikut:

11
Estelle Phillips dalam Rusdianto Sesung, Prinsip Kesatuan Hukum Nasional Dalam
Pembentukan Produk Hukum Pemerintah Daerah Otonomi Khusus atau Sementara, Disertasi
Program Pasca sarjana Universitas Airlangga Surabaya, 2016.
10

a. Mengemukakan sesuatu yang belum pernah dikemukakan sebelumnya;


b. Menyelesaikan pekerjaan empiris yang belum terselesaikan
sebelumnya;
c. Membuat sintesa yang tidak pernah dibuat sebelumnya;
d. Menggunakan materi yang sama namun dengan pendekatan lain;
e. Mencoba sesuatu di Negara-negaranya terhadap sesuatu yang telah
diterapkan di Negara lain;
f. Mengambil teknik tertentu dan menerapkannya di bidang baru;
g. Menggunakan bukti baru untuk menyelesaikan masalah lama;
h. Menjadi ilmu interdisipliner dan menggunakan metodologi yang
berbeda dengan metodologi sebelumnya;
i. Mengambil gagasan orang lain dan menafsirkannya kembali dengan
cara yang berbeda;
j. Menunjukkan sesuatu yang baru dari disiplin ilmu si peneliti yang
belum pernah ditunjukkan oleh peneliti sebelumnya;
k. Menambah pengetahuan yang belum pernah dilakukan sebelumnya;
l. Melihat pengetahuan yang ada saat ini dan mengujinya;
m. Menjelaskan/ menguraikan kata-kata. Kata-kata yang diuraikan
tersebut kemudian disusun dengan cara lain yang belum pernah
dilakukan oleh peneliti sebelumnya.
Sebelum penulisan tesis ini, Penulis telah melakukan penelitian terhadap

tesis dan tulisan ilmiah yang terkait dengan judul tesis dan jurnal hukum yang

dibuat oleh penulis, dan sebagai hasilnya adalah sebagai berikut :

Tesis Sentia Dwi Ningsih yang berjudul “Peran Notaris Dalam

Pelaksanaan Pembuatan Akta Akad pembiayaan di Bank Syariah Menurut

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris”,dengan rumusan

masalah: Bagaimana perbedaan perjanjian kredit di bank konvensional dengan

akad pembiayaan di bank syariah menurut Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014

tentang Jabatan Notaris, peran Notaris dalam pelaksanaan pembuatan akta akad

pembiayaan di Bank Syariah menurut Undang-undang tersebut dan akibat hukum

yang timbul dalam hal tersebut.12

12
Sentiya Dwi Ningsih, Peran Notaris Dalam Pelaksanaan Pembuatan Akta akad
pembiayaan di Bank Syariah Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan
Notaris, Tesis, Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan
Agung, 2017.
11

Penelitian Sentia Dwi Ningsih berbeda dengan penelitian yang ditulis oleh

peneliti, perbedaannya terletak pada permasalahan yang diangkat, dimana peneliti

dalam hal ini melakukan penelitian tentang peran notaris terhadap financial

technology terhadap akad perbankan syariah di Indonesia. Sedangkan penelitian

Sentia Dwi Ningsih membahas mengenai perjanjian kredit di bank konvensional

dengan akad pembiayaan di bank syariah menurut Undang-undang Nomor 2

Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris serta akibat hukum yang timbul.

Tesis Yudi Mashudi yang berjudul “Kajian Hukum Terhadap Peran

Notaris Dalam Pembuatan Akad Pembiayaan Murabahah Dengan Jaminan Atas

Tanah Yang Belum Bersertifikat” dengan rumusan masalah: Bagaimana peran

Notaris dalam Pembuatan Akta Jaminan dalam Akad Pembiayaan Murabahah

atas Tanah yang belum Bersertifikat dan resiko bank terhadap pembiayaan

murabahah atas tanah yang belum bersertipikat ?13

Penelitian Yudi Mashudi berbeda dengan penelitian yang ditulis oleh

peneliti, perbedaannya terletak pada permasalahan yang diangkat, dimana peneliti

dalam hal ini melakukan penelitian tentang peran notaris terhadap financial

technology terhadap akad syariah di Indonesia. Sedangkan Yudi Mashudi

membahas mengenai peran Notaris dalam Pembuatan Akta Jaminan dalam Akad

Pembiayaan Murabahah atas Tanah yang belum Bersertifikat.

Tesis Ida Fitriyana yang berjudul “Kepastian Hukum Akad Syariah yang

dibuat Dalam Bentuk Akta Notaris (Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 02

Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004

13
Yudi Mashudi, Kajian Hukum Terhadap Peran Notaris Dalam Pembuatan Akad
Pembiayaan Murabahah Dengan Jaminan Atas Tanah Yang Belum Bersertifikat, Tesis, Program
Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 2011.
12

tentang Jabatan Notaris)” dengan rumusan masalah: Apakah pembuatan Akad

Syariah yang dibuat dalam bentuk Akta Notaris sesuai dengan UUJN baik dari

segi Format maupun Substansi dan bagaimana kepastian akta dan perlindungan

hukum terhadap para pihak dalam Akta tersebut 14

Penelitian tersebut berbeda dengan penelitian yang ditulis oleh peneliti,

perbedaannya terletak pada permasalahan yang diangkat, dimana peneliti dalam

hal ini melakukan penelitian tentang peran notaris terhadap financial technology

terhadap akad syariah. Sedangkan Ida Fitriyana membahas tentang pembuatan

Akad Syariah dan kepastian akta dan perlindungan hukum dalam akta tersebut.

1.5. Tinjauan Pustaka

1.5.1. Teori Perlindungan Hukum

Terkait dengan teori perlindungan hukum, ada beberapa ahli yang

menjelaskan bahasan ini, antara lain yaitu Fitzgerald, Satjipto Raharjo, Phillipus

M Hanjon dan Lily Rasyidi.

Fitzgerald mengutip istilah teori perlindungan hukum dari Salmond

bahwa hukum bertujuan mengintegrasikan dam mengkoordinasikan berbagai

kepentingan dalam masyrakat karena dalam suatu lalulintas kepentingan,

perlindungan terhadap kepentingan tertentu dapat dilakukan dengan cara

membatasi berbagai kepentingan di lain pihak. Kepentingan hukum adalah

mengurusi hak dan kepentingan manusia, sehingga hukum memiliki otoritas

14
Ida Fitriyana, Kepastian Hukum Akad Syariah yang dibuat Dalam Bentuk Akta Notaris
(Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 02 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris), Tesis, Program Studi Magister Kenotariatan
Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 2011.
13

tertinggi untuk menentukan kepentingan manusia yang perlu diatur dan

dilindungi. Perlindungan hukum harus melihat tahapan yakni perlindungan hukum

lahir dari suatu ketentuan hukum dan segala peraturan hukum yang diberikan oleh

masyarakat yang pada dasarnya merupkan kesepakatan masyarakat tersebut untuk

mengatur hubungan perilaku antara anggota-anggota masyarakat dan antara

perseorangan dengan pemerintah yang dianggap mewakili kepentingan

masyarakat.15

Menurut Satjipto Rahardjo, Perlindungan hukum adalah memberikan

pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan

perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-

hak yang diberikan oleh hukum. 16

Selanjutnya menurut Phillipus M. Hadjon bahwa perlindungan hukum

bagi rakyat sebagai tindakan pemerintah yang bersifat preventif dan resprensif.

Perlindungan Hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya

sengketa, yang mengarahkan tindakan pemerintah bersikap hati-hati dalam

pengambilan keputusan berdasarkandiskresi dan perlindungan yang resprensif

bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, termasuk penanganannya di

lembaga peradilan..17

15
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum , Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2000, hlm. 53
16
Ibid , hlm.69
17
Ibid, hlm. 54
14

Sedangkan menurut Lili Rasjidi dan I.B Wysa Putra bahwa hukum dapat

didifungsikan untuk menghujudkan perlindungan yang sifatnya tidak sekedar


18
adaptif dan fleksibel, melaikan juga predektif dan antipatif.

Dari uraian para ahli diatas memberikan pemahaman bahwa perlindungan

hukum merupakan gambaran dari bekerjanya fungsi hukum untuk mewujudkan

tujuan-tujuan hukum, yakni keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.

Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan kepada subyek

hukum sesuai dengan aturan hukum, baik itu yang bersifat preventif maupun

dalam bentuk yang bersifat represif, baik yang secara tertulis maupun tidak

tertulis dalam rangka menegakkan peraturan hukum.

1.5.2. Teori Kepastian Hukum

Menurut Sudikno Mertukusumo, kepastian hukum merupakan sebuah

jaminan bahwa hukum tersebut harus dijalankan dengan cara yang baik. Kepastian

hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam perundang-

undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa, sehingga

aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian

bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati. 19 Teori

Kepastian hukum menurut Jan Michiel Otto mendefenisikan sebagai

kemungkinan bahwa dalam situasi tertentu, antara lain: 20

a. Tersedia aturan -aturan yang jelas (jernih), konsisten dan mudah diperoleh,

18
Lili Rasjidi dan I.B Wysa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung : Remaja
Rusdakarya, 1993, hlm. 118
19
Asikin zainal, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, 2012, hlm.
30
20
Soeroso,Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Pt. Sinar Grafika, 2011, hlm. 45
15

diterbitkan oleh dan diakui karena (kekuasaan) nagara.

b. Instansi-instansi penguasa (pemerintah) menerapkan aturan-aturan hukum

tersebut secara konsisten dan juga tunduk dan taat kepadanya.

c. Warga secara prinsipil menyesuaikan prilaku mereka terhadap aturan-aturan

tersebut.

d. Hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpikir menerapkan

aturan- aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu mereka menyelesaikan

sengketa hukum.

1.5.2. Akad Syariah

Indonesia sebagai sebuah Negara banyak oran muslim terbesar di dunia

baru pada akhir abad XX ini mempunyai bank-bank yang mendasarkan

pengelolaannya pada prinsip Syariah. Pada awal-awal berdirinya Negara

Indonesia, perbankan masih berpegang pada sistem konvensional atau sistem

bunga Bank (interest System). Perbankan yang saat kemerdekaan sampai dengan

adanya deregulasi perbankan pada tahun 1988 merupakan bank yang secara

keseluruhan mendasarkan pengelolaannya pada prinsip bunga (interest), seiring

dengan banyaknya tuntutan masyarakat yang menghendaki suatu lembaga

keuangan bebas dari bunga (riba), maka dibutuhkan rangkaian upaya secara

yuridis dan kelembagaan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat tersebut. Secara

hukum telah terakomodasi dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan , yang

secara eksplisit telah membuka peluang kegiatan usaha dalam perbankan yang

memiliki dasar operasional bagi hasil yang kemudian secara rinci dijabarkan lebih
16

lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 1992 tentang Bank

Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. 21

Eksistensi perbankan Syariah di Indonesia lebih tegas terdapat dalam

Undang-Undang Perbankan. Dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2) menyatakan bahwa

Bank adalah suatu badan lembaga yang mengumpulkan modal masyarakat dalam

bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya kepada masyarakat dalam sistem

kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya untuk meningkatkan kualitas hidup rakyat

banyak. Lebih lanjut dalam Pasal 1 ayat (3) menyatakan bahwa Bank Umum

adalah bank yang dapat melaksanakan suatu kegiatan usaha secara konvensional

atau menerapkan prinsip Syariah dalam kegiatannya serta memberikan jasa dalam

lalu lintas pembayaran. Kemudian dalam Pasal 1 ayat (4) dinyatakan bahwa Bank

Perkreditan Rakyat adalah bank yang melakukan kegiatan usahanya secara

konvensional atau dengan Prinsip Syariah yang dalam hal tersebut tidak

memberikan jasa dalam lau lintas pembayaran. 22

Dengan demikian secara tegas dapat dikatakan bahwa melalui Undang-

Undang Perbankan, eksistensi dari Perbankan Syariah di Indonesia benar-benar

telah diakui. Hal ini tampak dalam kata-kata bank berdasarkan Prinsip Syariah.

Dalam ketentuan Pasal 1 ayat (13) Undang- Undang Perbankan diterangkan

bahwa Prinsip Syariah adalah peraturan perjanjian dari hukum Islam antara bank

dengan pihak lain untuk menyimpan dana dan/atau pembiayaan suatu usaha, atau

ainnya yang dinyatakan sesuai dengan Syariah, antara lain pembiayaan

21
Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah di Indonesia, Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 2009, hlm. 36.
22
Ibid, hlm. 39.
17

berdasarkan prinsip bagi hasil (mudhorobah), penyertaan modal (musharokah),

jual-beli barang dengan memperoleh keuntungan (murhobahah), atau sewa murni

tanpa pilihan (ijarah) atau dengan pilihan pemindahan kepemilikan atas barang

yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).23

Dari uraian di atas mengenai macam-macam pembiayaan di Perbankan

Syariah dapat terealisasikan jika antara kedua belah pihak melakukan kesepakatan

menggunakan pembiayaan di perbankan Syariah yang dituangkan dalam akad.

Secara etimologis perjanjian dalam Bahasa Arab diartikan dengan Mu’ahadah

Ittifa’ atau Akad. Sedangkan menurut Bahasa Indonesia dikenal dengan kontrak,

perjanjian atau persetujuan yang diartikan suatu perbuatan di mana seseorang atau

lebih mengikatkan dirinya terhadap seseorang lain atau lebih. 24

Akad menurut Kompilasi Hukum EKonomi Syariah (KHES) dalam Pasal

20 ayat (1) adalah menyatakan: suatu kesepakatan dalam perjanjian antara kedua

belah pihak atau lebih untuk melakukan dan/atau tidak melakukan suatu perbuatan

hukum tertentu.25 Dan sahnya suatu perjanjian, harus dipenuhi rukun dan syarat

dari suatu akad. Rukun adalah unsur yang mutlak harus terpenuhi dalam sesuatu

hal, peristiwa dan tindakan. Sedangkan syarat adalah unsur yang harus ada untuk

sesuatu hal, peristiwa dan tindakan tersebut.26 Rukun akad yang utama adalah Ijab

dan Kabul. Syarat yang harus ada dalam rukun bisa menyangkut subyek dan

23
Ibid
24
Chairuman Pasaribu dan Suhrawadi K Lubis, Hukum Perjanjian Dalam
Islam, Jakarta: SInar Grafika, 2004, hlm. 1.
25
Lihat Pasal 20 ayat (1) Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Edisi Revisi,
Jakarta: Kencana, 2009.
26
Fathurahman Djamil (et. al), Hukum Perjanjian Syariah dalam Kompilasi
Hukum Perikatan, Bandung: PT. Citra Aditya, 2001, hlm. 252.
18

obyek dari suatu perjanjian. Adapun syarat yang harus dipenuhi agar kesepakatan

para pihak (ijab kabul) mempunyai akibat hukum:27

a. Ijab dan kabul harus didapatkan dari pernyataan orang yang sekurang-

kurangnya telah mencapai umur tamyiz yang secara sadar dan memahami

isi perkataan yang disampaikan hingga ucapannya itu sesuai meyatakan

keinginan apa yang dimaksud. Dengan kata lain harus oleh orang yang

mampu melakukan tindakan hukum;Ijab dan Kabul tertuju pada obyek

dalam suatu perjanjian;

b. Ijab dan kabul nantinya akan berhubungan langsung dalam suatu Majelis

bila dua belah pihak hadir bersama;

c. Jumhur ulama mengatakan bahwa Ijab dan Kabul ialah unsur penting

dalam suatu perjanjian/akad, di samping unsur-unsur lain yang juga

termasuk rukun akad.

Dari penjelasan tersebut maka rukun dan syarat suatu perjanjian harus

mutlak terpenuhi agar suatu perjanjian tersebut terdapat akibat hukum dan kedua

belah pihak yang membuatnya mempunyai kepastian hukum dalam melakukan

perjanjian, sehingga terjaminlah hak dan kewajiban para pihak.

1.5.3. Tugas Jabatan Notaris

Profesional hukum yang bermutu adalah profesional yang menguasai

hukum Indonesia, mampu menganalisis masalah hukum yang timbul dalam

masyarakat dan menggunakan hukum sebagai sarana untuk memecahkan masalah

27
Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam),
Yogyakarta: UII Press, 2000, hlm. 66
19

dengan bijaksana. Atas dasar ini lah setiap profesional dituntut untuk bertindak

sesuai dengan tuntutan profesi serta diharuskan memiliki nilai moral yang baik.

Seorang profesional juga harus bertindak objektif, artinya bebas dari rasa malu,

sentimen dan sifat pemalas. Daryl Koehn mengatakan ada beberapa kriteria

untuk menjadikan patokan syarat sebagai profesional bermacam-macam, ada lima

ciri utama seorang profesional, sebagai berikut: 28

1) Memperoleh izin dari Negara untuk melaksanakan suatu tindakan tertentu;

2) Menjadi anggota organisasi yang sama;

3) Memilik pengetahuan “Esoterik” (yang hanya dapat dipahami oleh orang

orang tertentu) yang tidak dimiliki anggota masyarakat lain;

4) Mempunyai otonomi dalam melaksanakan pekerjaan mereka;

5) Secara terbuka di hadapan umum menjanjikan untuk memberi bantuan

kepada yang membutuhkan.

Profesi Notaris telah lama dikenal di Indonesia, bahkan jauh sebelum

Indonesia merdeka yaitu pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Dewasa ini

profesi Notaris kian populer di kalangan masyarakat. Notaris dalam kehidupan

sehari-hari dikenal dengan pengertian sebagai seseorang yang dapat membuat

sebuah surat berharga, seperti sertifikat tanah, pendirian perseroan dan surat

sejenis lainnya. Notaris adalah profesi kepercayaan yang berlainan dengan profesi

seorang pengacara, di mana dalam melaksanakan tugas jabatannya tidak boleh

memihak.

28
Daryl Koehn, Landasan Etika Profesi, Ctk. Keenam, Yogyakarta: Kanisius, 2009,
hlm.,75.
20

Notaris adalah pejabat umum yang satu- satunya berwenang untuk membuat akta

autentik mengenai seluruh perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan

oleh sebuah peraturan umum untuk dituangkan ke dalam suatu akta autentik.29

Mengenai tugas dari jabatan Notaris terdapat dalam Ketentuan Pasal 1

Peraturan Jabatan Notaris juncto Pasal 1 ayat (1) UUJN-P tidak hanya

memberikan pengertian tentang Notaris, tetapi juga memberikan penjelasan

mengenai tugas jabatan Notaris. Tugas jabatan Notaris sebagaimana disebutkan

dalam Pasal tersebut dapat disimpulkan dari kalimat: Notaris ialah pejabat umum

yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya.

Kewenangan lainnya dalam hal ini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15

Undang- Undang Jabatan Notaris seperti:

a. Notaris berwenang membuat akta otentik tentang perbuatan, perjanjian dan

ketetapan yang ada dalam peraturan perundang-undangan dan/atau yang

dikendaki oleh yang memiliki kepentingan untuk dituangkan dalam akta

otentik, menjamin kepastian tanggal dalam pembuatan akta, menyimpan

akta, memberi grosse, salinan serta kutipan akta, sepanjang pembuatan akta-

akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain

ataupun orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang;

b. Notaris berwenang pula :

1. Mengesahkan tanda tangan dan menetapakan kepastian tanggal surat di

bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;

29
G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Jakarta:Erlangga,1992,
hlm.31
21

2. Membukukan surat-surat di bawah tangan dan mendaftarkan dalam buku

khusus;

3. Membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang

memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang

bersangkutan;

4. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;

5. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta;

6. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau

7. Membuat akta risalah lelang.

Selain hal tersebut di atas, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat

(2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-

undangan. Sebagai pejabat umum, Notaris mempunyai wewenang, yaitu:

1) Notaris mempunyai wewenang sepanjang yang menyangkut akta yang

dibuatnya;

2) Notaris hanya berwenang sepanjang mengenai orang, untuk kepentingan

pada siapa akta itu dibuat;

3) Notaris hanya berwenang sepanjang mengenai tempat, di mana akta itu

dibuat;

4) Notaris hanya berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu.

1.5.4. Financial Technology

Salah satu yang tidak asing beberapa tahun terakhir khususnya di dunia

bisnis Indonesia adalah Fintech. Istilah Fintech merupakan singkatan dari

Financial Technology, jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia berarti


22

teknologi finansial. Pasal 1 angka 1 Peraturan Bank Indonesia Nomor

19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial, teknologi finansial

diartikan sebagai penggunaan teknologi dalam sistem keuangan yang

menghasilkan produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis baru serta dapat

berdampak pada stabilitas moneter, stabilitas sistem keuangan, dan/atau efisiensi,

kelancaran, keamanan, dan keandalan sistem pembayaran. 30

Financial Technology berdasarkan Bank Indonesia menggambarkan

penggabungan dari jasa keuangan dengan teknologi, yang dapat merubah model

bisnis dari konvensional menjadi moderat. Selain itu, National Digital Research

Centre (NDRC), merujuk pada inovasi dalam bidang finansial atau inovasi

finansial yang diberi sentuhan teknologi modern atau dikenal dengan “innovation

in financial services” atau “inovasi dalam layanan keuangan”. Transaksi yang

dahulu dilakukan face to face dan membawa sejumlah uang, saat ini tindakan

tersebut dapat dilakukan dalam bentuk jarak jauh serta pembayaran pun hanya

dalam hitungan detik.

1.6. Metode Penelitian

1.6.1. Tipe Penelitian

Peneliti menggunakan tipe penelitian normatif karena penelitian ini guna

menemukan koherensi, Menurut Peter Mahmud Marzuki yaitu adakah aturan,

perintah atau larangan, dan adakah tindakan dari seseorang sesuai dengan norma

30
Nuzul Rahmayani, “Tinjauan Hukum Perlindungan Konsumen Terkait Pengawasan
Perusahaan Berbasis Financial Technology di Indonesia”, Pagaruyuang Law Journal, Edisi No. 1
Vol. 2, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat, 2018, hlm.25.
23

hukum dan apakah norma itu sesuai dengan prinsip hukum,, norma hukum atau

prinsip hukum. 31

1.6.2. Pendekatan Masalah

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan dua metode pendekatan masalah

yaitu, diantaranya:

1. Pendekatan Perundangan-Undangan (statute approach)

Pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan menelaah semua

undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang

sedang ditangani. 32 Pendekatan perundang-undangan diperlukan guna

mengkaji lebih lanjut mengenai akad syariah dan peranan notaris terhadap

financial technology.

2. Pendekatan Konseptual (conseptual approach)

Pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-

doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Peneliti akan dapat

menemukan ide-ide yang yang melahirkan pengertian-pengertian hukum,

konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang

dihadapi. 33

1.6.3. Sumber Bahan Hukum

Bahan hukum merupakan hal penting dalam suatu penelitian

hukum yang digunakan untuk memecahkan isu hukum sekaligus untuk

31
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Edisi Revisi, Prenada Media Group, 2014
selanjutnya disebut Peter Mahmud Marzuki III, hlm. 47.
32
Ibid, hlm.133
33
Ibid, hlm.135-136
24

memberikan preskripsi apa yang seharusnya dilakukan. Bahan hukum

yang digunakan penulis dalam karya tulis ini meliputi :

1.6.3.1 Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat

autoritataif, artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari

perundang-undangan, catatan resmi atau risalah dalam pembuatan

perundang-undangan.

1.6.3.1 Bahan Hukum Sekunder

Sumber sekunder yaitu bahan yang menjelaskan bahan primer,

seperti Al-Quran, Hadis, buku-buku ilmiah, Kompilasi Hukum Ekonomi

Syariah, Fatwa Dewan Syariah Nasional, dan litelatur yang berkaitan

dengan tesis ini.

1.6.4 Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Bahan Hukum

Prosedur pengumpulan bahan hukum pada penelitian ini langkah

pertama yang dilakukan adalah mengumpulkan bahan hukum baik primer

maupun sekunder yang berkaitan dengan metode penelitian yang

digunakan guna menjawab isu hukum. Pengumpulan bahan hukum oleh

peneliti dengan membaca buku, putusan pengadilan dan mahkamah agung

dan perundang-undangan yang telah dimiliki peneliti atau dengan

meminjam buku diperpustakaan kampus dan perpustakaan daerah Kota

Surabaya serta jurnal-jurnal hukum yang ada di internet yang berkaitan

dengan isu hukum yang akan dibahas.


25

1.6.5 Analisis Bahan Hukum

Menurut Peter Mahmud Marzuki yang mengutip pendapat Philipus

M. Hadjon memaparkan metode deduksi sebagaimana silogisme yang

diajarkan oleh Aristoteles. Penggunaan metode deduksi berpangkal dari

pengajuan premis mayor (bersifat umum). Kemudian diajukan premis

minor (bersifat khusus), dari kedua premis itu kemudian ditarik suatu

kesimpulan atau conclusion.34 Pada penelitian ini, analisis bahan hukum

yang digunakan adalah dengan cara deduktif, yaitu menjelaskan suatu hal

yang bersifat umum kemudian menariknya menjadi khusus.

1.7. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan pada tesis ini, peneliti membagi menjadi empat bagian

sebagai berikut :

BAB I Pendahuluan menguraikan latar belakang pemikiran dasar dari peneliti

mengenai fakta hukum melahirkan isu hukum yang akan diteliti. Isu hukum yang

timbul dari fakta hukum tersebut kemudian dirumuskan ke dalam rumusan masalah.

Dari rumusan masalah, timbul tujuan penelitian ini dilakukan dengan manfaat

penelitian yang akan dirasakan bagi kepentingan akademis dan kepentingan praktisi.

Kemudian diterangkan metode penelitian yang digunakan peneliti untuk menganalisis

guna menentukan hasil penelitian. Setelah itu sistematika penulisan yang menjelaskan

gambaran umum dari penelitian yang akan ditulis oleh peneliti.

BAB II Pembahasan atas rumusan yang pertama yaitu menganalisis penerapan

akad syariah dalam financial technology berbasis online.

34
Peter Mahmud Marzuki II, Op. Cit., hlm. 14.
26

BAB III Pembahasan atas rumusan yang kedua yaitu menganalisis dan

mengetahui peran Notaris dalam pelaksanaan akad online pada financial technology

syariah.

BAB IV Penutup yang terdiri dari simpulan atas pembahasan dari rumusan

masalah pertama dan kedua, kemudian disebutkan saran atas pokok permasalahan dari

penelitian yang diteliti demi kemajuan akademis dan praktis.


BAB II

PENERAPAN AKAD SYARIAH DALAM FINANCIAL TECHNOLOGY

BERBASIS ONLINE

2.1 . Hukum Islam Dalam Sektor Ekonomi Syariah

Pada era modern saat ini, manusia memiliki kehidupan dengan segala

aktivitas yang tidak pernah lepas dari perkembangan teknologi. Teknologi

informasi dan komunikasi dalam perkembangannya telah menyebabkan

perubahan baik dibidang sosial, ekonomi, maupun budaya yang berlangsung

dengan cepat. Salah satu perkembangan yang sedang marak di Indonesia adalah

Financial Technology (Fintech).35

Salah satu akademisi Ahmad Wira, Financial Technology yang digunakan

di Indonesia tidak sejalan dengan hukum Islam. Contoh yang banyak

dilaksanakan di Indonesia adalah jual beli online, dalam hukum Islam transaksi

jual beli online tersebut dapat dilakukan dengan ijab Kabul. Namun dalam

mazhab Hanafi diperbolehkan melakukannya tanpa menggunakan akad. Mazhab

Hanafi tersebut memiliki prinsip adanya rasa kepercayaan dan ketertarikan antar

pembeli dan penjual sehingga tidak perlu melakukan pertemuan secara langsung.

Penggunaan Fintech ini dapat dikatakan bentuk dari muamalah dalam Islam yang

berkembangan akibat perkembangan zaman.36

35
Iska Sri Mawarni, Analisis Presepsi Masyarakat Pengguna Layanan Transaksi Digital
Pada Financial Technology (Studi kasus terhadap layanan Go-Pay “Gojek” di Kota Bandung
2017), Universitas Telkom, 2017.
36
Pegadaian Syariah, Posisi Financial Technology di Mata Ekonomi Islam, dalam skripsi
Sri Devi Febrianti, 2018, “Financial technology dalam sistem ekonomi islam”, Fakultas Ekonomi
dan Bisnis Islam, Institut Agama Islam Negeri Palangkaraya, hlm. 107.

27
28

Terdapat beberapa acuan yang menjadi sumber bahwa Financial

technology tidak sejalan dengan ekonomi Islam yaitu sebagai berikut :37

1. Kaidah Ushul Fiqh

Ushul Fiqh adalah suatu ilmu yang menjelaskan tentang macam-

macam peraturan dan kaidah- kaidah yang bisa digunakan untuk mendalami

dan merumuskan hukum Islam melalui sumber yang terpercaya. Ilmu ini

diterapkan sebagai penetapan dalil untuk suatu hukum. Selain itu juga

digunakan sebagai penetapan hukum dengan menerapkan dalil Al-Qur'an dan

Sunnah Rasul yang berkaitan dengan perbuatan muslim yang telah dikenai

perbuatan hukum dalam bentuk hukum Fiqh agar bisa digunakan dan

dimanfaatkan dengan lacar dan mudah. Demikian juga permasalahan yang

terdapat dalam kehidupan bisa ditetapkan oleh hukum dengan menggunakan

dalil.

Sasaran yang paling prioritas dalam membahas Ushul Fiqh adalah

dalil-dalil syari yang bersumber dari hukum dalam ketentuan Islam. Selain

membahas tentang pengertian dan kedudukannya, dalam hukum Adillah

Syariah ini juga dipenuhi oleh bermacam-macam peraturan dalam meringkas

hukum dengan menggunakan dalil-dalil tersebut. Ushul Fiqh adalah ilmu

yang digunakan dalam peningkatan untuk melaksanakan ketentuan hukum

Islam. Jika mendalami ilmu Ushul Fiqh, seseorang mengetahui tentang

formulasi dari sumber Hukum Fiqh itu sendiri.

37
Ibid, hlm 107 – 108.
29

Hubungan ushul fiqh dengan masalah-masalah kontemporer adalah

sebagai berikut: 38

a. Ushul fiqh merupakan contoh sebagai pelaksanaan riset ilmiah. Jika

akan mengadakan suatu hukum syariah, diwajibkan menetapkan

referensi yang ingin digunakan terlebih dahulu. Setelah itu

menguraikan referensi itu berdasarkan standar ilmiah yang sudah

ditetapkan oleh ulama. Hal tersebut meyakinkan bahwa tidak

melenceng dari koridor syariah terkait produk hukum yang dihasilkan.

b. Ushul fiqh merupakan contoh sebagai pelaksanaan dialog yang

sistematis dan berguna dengan baik. Hal tersebut bisa dipastikan di

dalam penjelasan qiyas dan etika dialog yang tersusun didalamnya.

c. Relasi antara ushul fiqh dan masalah sosial. Ushul fiqh merupakan

suatu ilmu yang inheren dengan kehidupan masyarakat, menyatu

dengan semua permasalahan didalamnya, justru menawarkan banyak

sekali solusi yang cukup relevan dan strategis.

d. Relasi ushul fiqh dan kemashlahatan umat. Maslahah Mursalah

merupakan salah satu uraian dari ushul fiqh yang menguraikan tentang

hal yang berkaitan dengan kebaikan kehidupan mayarakat. Tidak

berlebihan, jika dikatakan bahwa fenomena kehidupan manusia tidak

ada satupun yang bebas dari pengawasan ushul fiqh.

2. Al-Qur’an dan Hadist Sebagai Sumber Ijtihad

38
Mohammad Mufid, Ushul Fiqh Ekonomi dan Keuangan Kontemporer dari Teori ke
Aplikasi, Prenadamedia Group, 2018 .hlm 11-12.
30

Sebagaimana dikatakan bahwa Islam memiliki cakupan ajaran yang

luas. Transaksi jual beli pun di atur dalm Islam berdasarkan hukum utama

Islam yang bersumber dari Al-Qur’an sebagai sumber hukum umat Islam.

Spirit jual beli dalam Islam dapat ditemukan dalam beberapa ayat, yang artinya

bahwa Allah telah mengahalakan transaksi jual-beli dan tidak menghalalkan

riba (Q.S al-Baqarah (2): 25).

Ayat tersebut memberikan penegasan secara jelas bahwa status yuridis

kegiatan transaksi bisnis dalam Islam, yaitu kegiatan yang dihalalkan

sepanjang tidak ditemukan ayat yang secara eksplisit menghalalkannya.

Kebalikan dari itu, ayat tersebut juga menuju status yuridis dari kegiatan yang

mengandung unsur riba, termasuk juga tadli dan taghrir. Tadlis merujuk pada

pemahaman bahwa para pihak yang ikut serta didalam sebuah bisnis memiliki

kesempatan yang sama untuk mengetahui beberapa informasi berhubungan

dengan objek atau barang yang dibisniskan. Setidaknya ada empat informasi

utama yang melekat sebagai hak kedua belah pihak (penjual atau pembeli,

produsen dan konsumen) yaitu informasi yang berkaitan dengan jumlah,

kualitas, harga dan waktu pengiriman. Apabila dalam transaksi tidak tersirat

empat informasi tersebut kedua belah pihak, maka menurut hukum Islam telah

terjadi kebohongan terhadap satu pihak dan raktek semacam ini disebut

tadlis.39

Berbeda dengan tadlis, thagrir merujuk pada ketidakmenentuan suatu

transaksi yang dilakukan kedua belah pihak. Hukum Islam tidak memberikan

39
Muhammad & Rahmad Kurniawan, Visi dan Aksi Ekonomi Islam: Kajian Spirit Ethico
– Legal Atas Prinsip Taradin Dalam Praktik Bank Islam Modern, Malang: Intimedia, 2014,
hlm.61
31

ruang praktek tadlis karena bertentangan dengan tujuan syari’ah. Apabila

praktek thagrir ini diperbolehkan, maka pelaku bisnis akan memperoleh

keuntungan dari bisnis akan memperoleh keuntungan dari bisnis yang tidak

jelas. Praktek semacam ini tidak dapat dibenarkan dalam hukum Islam karena

tujuannya adalah mencegah terjadinya praktek yang tidak merugikan pihak lain

dan tidak membuka ruang terjangkitnya model transaksi bisnis yang tidak

sejalan dengan kemanusiaan dan hukum Islam.40

Berdasarkan prinsip berekonomi dalam QS. Al-Baqarah [2] : 168-169, QS.

An-Nisa [4] : 29, QS. Al-Hadid [57] : 25 dan QS. Al-Maidah [5] : 2, dapat

disimpulkan berdasarkan perspektif Islam, yang digunakan sebagai tolak ukur

dalam melaksanakan macam-macam aktivitas perekonomian yaitu asas saling

menguntungkan, asas manfaat dan kehalalan komoditas, asas suka sama suka, asas

keadilan dan asas saling tolong menolong. Dengan demikian, seluruh aktivitas

ekonomi harus didasarkan pada konfirmasi dari Al-Qur’an dan Hadis. Karena

pada prinsipnya, segala sesuatu yang diajarkan Al-Qur’an dan Hadis sudah pasti

mengandung kemaslahatan. Jika indikator maslahat terdapat dalam bidang

muamalah, maka hal tersebut merupakan tujuan dari hukum Islam, karena Islam

disyariatkan memang untuk menjaga kebaikan manusia sebagai kehidupan di

dunia maupun di akhirat.41

Selain Al-Qur’an, dasar hukum akad yang kedua adalah hadist Nabi.

Anjuran akad yang dilakukan atas dasar saling meridhoi, sebagaimana dijelaskan

dalam beberapa surat di atas, juga ditemukan dalam beberapa hadis yang

40
Ibid.., h. 62.
41
Ibid,. h. 22-25.
32

menghedaki akad jual beli hendaklah dilakukan dengan rela dan suka sama suka

tanpa harus menipu sesama sebagaimana ditemukan dalam ketentuan yang

dilantarkan oleh Ibnu Hibban dan Ibnu Majah dan Abu Daud yaitu: Jual beli harus

dipastikan harus saling meridhai. (HR Baihaqi dan Ibnu Majjah). Dan

Sesungguhnya jual beli adalah yang dilakukan dengan suka sama suka.(HR. Abu

Daud).42

3. Ijma

Mayoritas ulama sudah bersepakat bahwa jual-beli dihalalkan dengan

pertimbangan bahwa semua orang sedikit kemungkinan untuk bisa mencukupi

kebutuhannya sendiri tanpa bantuan orang lain. Sebagai makhluk madani,

manusia senantiasa memerlukan keterlibatan dan peran aktif orang lain dalam

rangka menyempurnakan kelemahan-kelemahan yang yang terbangun dalam

dirinya. Islam telah menghendaki kemudahan dan tidak memberikan kesulitan

bagi umatnya, bahkan Islam pasti memudahkan pemeluknya agar lebih mudah.

Hal tersebut diuraikan dalam surah Al-Baqarah ayat 185 yang artinya bahwa

Allah menghendaki kemudahan bagi umatnya, dan tidak menghendaki kesulitan

bagi umatnya.

Posisi Fintech ini tujuannya untuk mempermudah seorang dalam

melaksanakan kegiatan bisnis keuangan. Oleh karena itu, berdasarkan uraian ayat

tersebut, Fintech bisa dipraktekkan dalam kegiatan ekonomi islam. Bahkan DSN-

MUI pun telah mengeluarkan fatwa mengenai uang elektronik syariah dan fatwa

megenai pelayanan pembiayaan berbasis teknologi untuk mendukung transaksi

42
Ibid., h. 63.
33

Fintech ini berdasarkan dari prinsip-prinsip ekonomi Islam, agar terhindar dari

gharar, riba dan sebagainya yang dapat menimbulkan kemudharatan.

4. Maslahah Mursalah Dalam Ekonomi Financial Technology

Sebagimana dikutip oleh Rahmad Syafi’i di dalam kitab Lisanul Arab

bahwa al-mashlahah juga merupakan bentuk tunggal (mufrad) dari al-mashalih.

Semuanya berarti terdapat manfaat, baik secara asal maupun melalui suatu proses,

semacam memperoleh kemanfaatan dan faedah, maupun penangkalan dan

penjagaan, semacam menghindari kemadharatan dan penyakit.

Asy-Syatibi berpendapat bahwa metode istilah atau maslahah-mursalah

bisa menentukan hukum Islam tidak mengacu kepada nass tertentu, tetapi hanya

mengacu kepada maslahat yang sepemikiran dengan tujuan ketentuan hukum

syara’. Kesimpulannya bahwa jika Financial Technology harus sejalan dan tidak

berlawanan dengan dalil syara’.

5. Ijtihad dan Aplikasinya Dalam Ekonomi Financial Technology

Khusus untuk ijtihad dalam ekonomi (Islam), ijtihad wajib dapat

pengakuan bahwa ijtihad memiliki peran yang sangat penting. Dengan

berkembangnya ekonomi yang semakin kompleks, yang mana perkembangan

tersebut secara teknis berbeda dengan yang dipraktekkan pada masa Nabi dan

Sahabat, maka hal tersebut menjadikan ijtihad menjadi suatu kebutuhan yang

sangat penting. Dengan perkembangan mutakhir dari ekonomi khususnya di

sektor Fintech dalam ekonomi syariah, ijtihad berperan menjadi makin sentral.

Karena hampir disetiap pengembangannya, baik itu operasional maupun produk,

selalu bersentuhan dan di back up dengan ijtihad.


34

Contoh ijtihad dalam ekonomi Islam adalah sebuah pendirian Bank

Syariah di Indonesia dengan fokus meningkatkan kualitas masyarakat muslim di

Indonesia adalah sebuah keniscayaan dalam ijtihad. Segalanya dimulai dari dalil

awal bahwa mempersiapkan sebuah sistem perbankan tanpa riba adalah

berdasarkan pada ketentuan dalil qathi yakni jual beli dihalalkan dan riba

diharamkan. Oleh sebab itu supaya mencapai konsep tanpa riba, semua wasilah

menuju ke arah tersebut, dan sangat memungkinkan untuk diusahakan.43

Di Indonesia, ijtihad kolektif yang menjadi bahan dalam membentuk

hukum baru adalah fatwa yang dikeluarkan oleh DSN-MUI. Bahkan fatwa DSN-

MUI ini sudah memperoleh lokasi sebagai mitra Bank Indonesia dalam

mengeluarkan peraturan-peraturan perbankan Syariah yang telah ditentukan dalam

UU Perbankan Syariah. Dalam UU Perbankan syariah produk dan jasa syariah

diwajibkan patuh pada Prinsip Syariah. Prinsip Syariah yang dimaksudkan

merupakan fatwa dari Majelis Ulama Indonesia.44

6. Fatwa Dewan Syari’ah Nasional-Majelis Ulama Indonesia mengenai Financial

Technology

Adapun fatwa dari DSN-MUI yang berkaitan dengan Fintech yaitu

sebagai berikut :

a. Uang Elektronik Syariah (Fatwa No 116/DSN-MUI/IX/2017)

Fatwa mengenai Uang Elektronik Syariah (Fatwa No 116/DSN-

MUI/IX/2017) yang salah satunya mengatur tentang tautan hukum antara

43
Ijtihad untuk Perbankan Syariah pada Kasus Bai’u Hukmi dan Qabdlu Hukmi, diakses
dalam https://islam.nu.or.id/post/read/84854/ijtihad-untuk-perbankan-syariah-pada-kasus-baiu-
hukmi-dan-qabdlu-hukmi, pada tanggal 29 Juni 2021 pukul 22.23 WIB.
44
M.Roem Syibly, Ms.Si dan Prof. Dr. Amir Mu’allim, MIS, “Ijtihad Ekonomi Islam
Modern”, digilib.uinsby.ac.id, Surabaya, hlm. 1822.
35

pihak yang andil dalam transaksi uang elektronik dan prinsip umum yang

harus di taati pada waktu melangsungkan transaksi uang elektronik. Dalam

fatwa tersebut ditekankan bahwa akad antara penerbit dengan pemegang

uang elektronik adalah akad wadi’ah dan qardh. Akad yang bisa dipakai

penerbit dengan kedua belah pihak dalam pelaksanaan uang elektronik,

pelaksanaan kliring, dan pelaksanaan penyelesai akhir adalah akad ijarah,

akad ju’alah, dan akad wakalah bi al-ujrah.

Pelaksanaan dan penggunaan uang elektronik harus menghindari

transaksi yang riba, gharar, maysir, tadlis, riswah, dan israf serta transaksi

yang mengandung indikator haram atau maksiat. Kemudian nominal uang

elektronik yang terdapat dalam penerbit wajib dialokasikan di bank syariah

dan terkait kartu yang dipakai sebagai sarana uang elektronik hilang maka

jumlah nominal uang yang terdapat pada penerbit tidak boleh hilang.45

b. Layanan Pembiayaan Berbasis Teknologi Informasi No. 117/DSA-

MUI/II/2018

Akad yang dipakai oleh kedua belah pihak dalam Pelaksanaan

Layanan Pembiayaan berbasis teknologi informasi bisa dalam bentuk

akad-akad yang sejalan dengan karakteristik layanan pembiayaan,

diantaranya adalah akad mudharabah, musyarakah, wakalah bi al ujrah, al-

ba’i, ijarah, dan qardh. 46

45
Dewan Syariah Nasional MUI, Uang Elektronik Syariah, Fatwa Dewan Syariah
Nasional–Majelis Ulama Indonesia No. 116/DSN-MaUI/IX/2017.
46
Dewan Syariah Nasional MUI, Layanan Pembiayaan Berbasis Teknologi Informasi
Berdasarkan Prinsip Syariah, Fatwa Dewan Syariah Nasional–Majelis Ulama Indonesia No.
117/DSN-MUI/IX/2017.
36

Pelaksanaan dalam pelayanan pembiayaan berbasis teknologi

informasi dalam akad-akad tersebut diatas wajib memenuhi prinsip

keseimbangan, keadilan, dan kewajaran sesuai syariah dan ketentuan

perundang-undangan yang berlaku. Tandatangan elektronik digunakan

dalam sertifikat elektronik yang diselenggarakan oleh pelaksana harus

dilaksanakan dengan persyaratan yang bisa menjamin validitas dan

autentikasinya. Penyelenggara diperbolehkan menggunakan biaya berdasar

pada ketentuan ijarah atas sistem dan sarana prasarana layanan

pembiayaan berbasis teknologi informasi. Jika informasi pembiayaan atau

jasa melalui media elektronik yang ditawarkan atau diungkapkan dalam

dokumen elektronik berbeda dengan realitanya, maka para pihak yang

dirugikan mempunyai hak untuk tidak lanjutkan transaksinya. 47

Jika dilihat melalui sudut pandang akad, Fintech sejalan dengan

syariah selama menganut prinsip-prinsip syarat sahnya akad, serta

terpenuhinya syarat-syarat dan rukun serta hukum yang sedang berlaku.

Fintech wajib merujuk kepada salah satu ketentuan dan kepercayaan

muamalah yaitu asas kerelaan kedua belah pihak pihak yang melaksanakan

akad. Asas tersebut mengharuskan adanya kesempatan yang sama untuk

kedua belah pihak guna penyampaian proses ijab dan qabul. Syarat yang

wajib terpenuhi adalah diharuskan terdapat objek, subjek, dan kemauan

47
Ibid.
37

untuk melaksanakan akad dan rukun yang harus berwujud adalah harus

ada harga/upah beserta manfaatnya.48

2.2. Perkembangan Financial Technology Syariah di Indonesia

Dewasa ini tugas utama digital sangat luar biasa, hampir semua

perekonomian memakai teknologi dan komunikasi atau digitalisasi, mulai dari

cara pengemasan produk hingga memasarkan produk tersebut. Sehingga lebih

cepat dan lebih mudah untuk peredaran informasi yang digunakan untuk membuat

perkembangan ekonomi semakin mudah dan cepat dan tidak ada batas dengan

dorongan teknologi digital dan teknologi informasi.49

Hal tersebut bukti bahwa perkembangan teknologi bukan hanya

mempengaruhi sektor politik, sosial, pendidikan, tetapi juga mempengaruhi sektor

perekonomian. Hal ini diketahui dengan adanya perkembangan usaha pada bidang

teknologi keuangan. Teknologi informasi sudah dipakai untuk pengembangan

industri keuangan yang bisa mendukung tumbuhnya alternatif alat transaksi untuk

masyarakat. Fintech menjadi bahan pembahasan disemua kalangan, karena

Fintech tersebut merupakan hal yang baru dalam bidang perekonomian yang

mempunyai peluang cukup besar, sehingga banyaknya start up fintech yang

bermunculan di Indonesia. Selain itu, kemudahan lain yang dapat ditandai dari

melaksanakan fintech ini bisa menjadi pertimbangan orang untuk memulai bisnis.

Perkembangan bisnis Fintech di Indonesia sangat pesat karena adanya Fintech

banyak menawarkan kemudahan bagi kebutuhan semua orang dalam

48
Murniati Mukhlisin, Fintech syariah dan keuangan keluarga kita, Sekolah Tinggi
Ekonomi Islam Tazkia. 2017.
49
Aan Ansori, Digitalisasi Ekonomi Syariah, Jurnal Ekonomi Keuangan dan Bisnis
Islam, Volume 7 No. 1 Januari- Juni 2016 P-ISSN: 2085-3696: E-ISSN, h. 1.
38

melaksanakan transaksi keuangan, seperti jual-beli saham, pembayaran,

peminjaman, jual beli saham, dan transaksi lain melalui teknologi. 50

Hadirnya teknologi internet menjadi solusi untuk permasalahan kesenjangan

pemerataan. Jika satu dekade lalu, daftar 10 situs paling sering dikunjungi di

Indonesia hanya diisi oleh situs pencari informasi dan komunikasi, kini dalam

daftar tersebut muncul beberapa situs platform untuk bertransaksi. Ini menjadi

fakta bahwa masyarakat Indonesia sudah mulai bertransaksi secara online. 51 Salah

satu contoh bukti nyata berkembangnya teknologi di Indonesia adalah dengan

hadirnya sebuah jasa keuangan berbasis teknologi modern yaitu Financial

Technology.

Fintech juga mempunyai tugas penting untuk merubah tingkah laku

konsumen serta harapan konsumen antara lain yaitu bisa membuka dan

menjangkau data dan informasi kapanpun dan dimanapun. Selain itu juga bisa

menyamakan bisnis kecil dan besar supaya cenderung mempunyai harapan tinggi

meskipun kepada bisnis kecil yang baru dibangun.52

Sebagaimana negara Indonesia adalah negara dengan populasi terbesar di

Asia Tenggara dan terbesar ke empat di dunia, Indonesia adalah pasar besar bagi

Fintech. Kehadiran fintech di Indonesia diperkuat dengan momentum

pertambahan jumlah middle-class and affluent consumer (MAC). MAC adalah

50
Sasmita Flouridaningrum, Mengapa Memilih Fintech Syariah, Jurnal Hukum Fintech,
Teknologi, Telekomunikasi & Perbankan Syariah Prihatwono Law Research Vol. 1, Juni
2018.
51
Fintech Talk, Fintech dalam E-commerce: Motor Pendorong Pemerataan Ekonomi
Secara Digital, Fintech Indonesia. 2017.
52
Muzdalifa, et. al., “Peran Fintech Dalam Meningkatkan Keuangan Inklusif Pada
UMKM di Indonesia (Pendekatan Keuangan Syarian)”, Jurnal Masharif al-Syariah:Jurnal
Ekonomi dan Perbankan Syariah, No. 1 Vol. 3, Surabaya, 2018.
39

sekelompok masyarakat yang menurut sosial-ekonomi akan dimulai memakai

uangnya antara lain sebagai kebutuhan kendaraan, layanan keuangan, dan rumah

tangga.53

Berdasarkan IOSCO Research Reports on Financial Technology (2017),

istilah Fintech dipakai guna melambangkan macam-macam model bisnis yang

inovatif serta teknologi baru yang berpotensi untuk mengubah atau mengganggu

industri jasa keuangan. Fintech melalui digitalisasi saat ini telah ada tanpa batas

diberbagai lapisan masyarakat. Masyarakat dapat dengan mudah mengakses

peluang investasi private maupun alternatif dan patform peminjaman online.

Secara tidak langsung keberadaan layanan Fintech ini dapat menggantikan

layanan bank. 54

Evolusi Financial technology yang tergambar belakangan ini sebenarnya

diawali dari inovasi kartu kredit sekitar tahun 1960 an, kartu debit dan terminal

yang menyajikan uang tunai, contohnya anjungan tunai mandiri (automatoiic

teller machiine, ATM) sekitar tahun 1970an. selanjutnya diikuti dengan hadirnya

telephone bankiing sekitar tahun 1980 an dan macam-macam produk keuangan

mengikuti deregulasi pasar modal dan obligasi sekitar tahun 1990an. Kemudian,

hadir internet banking yang selanjutnya mendukung tenarnya perbankan tidak ada

cabang (branchless banking) dan kegiatan perbankan yang dilaksanakan jarak

cukup jauh, melalui pergantian ini nasabah-nasabah tidak lagi dperlukan untuk

menghadap bersama pihak perbankan. Selanjutnya, hadir teknologi perangkat

53
Posma Sariguna Johnson Kennedy, “Tantangan terhadap Ancaman Disruptif dari
Financial Technology dan Peran Pemerintah dalam menyikapinya”. Jurnal Forum Keuangan dan
Bisnis Indonesia (FKBI), VI, 2017, hlm.174.
54
Rizal Silalahi & Dynda Puspa Pramedia, Analisis Faktor Keberhasilan Fintech
Payment dengan Menggunakan Delone dan Mclean, Universitas Bakrie, 2018.
40

selular (mobiile) yang semakin mempermudah dalam hal transaksii keuangan.

Perubahan tersebut sudah mendukung hadirnya pembiayaan dan intermediasi

secara langsung, yang diperkirakan akan mengganti pembiayaan tidak langsung

dan intermediasi keuangan yang tidak efisien dan mahal. 55

Industri Financial technology adalah salah satu cara layanan jasa keuangan

yang sudah dikenal secara global di era digital saat ini. 56 Secara Global

menunjukkan bahwa pesatnya perkembangan Financial Technology ditandai

dengan macam-macam sektor, mulai dari Start-Up pembayaran, riset keuangan,

perencanaan keuangan (personal finance), peminjaman (lending), remitansi,

investasi riitel, pembiayaan (crowdfunding), dan lain-lain. Pelaku Fintech

Indonesia masih lebih banyak yang berbisnis payment (43%), pinjaman (17%),

dan sisanya berbentuk agregator (13%), crowdfunding (8%) dan lain-lain. 57

Dari berbagai sektor yang telah disebutkan, menunjukkan bahwa

pembayaran digital menjadi salah satu sektor dalam industri Financial technology

yang sangat berkembang di Indonesia. Sektor tersebut yang selanjutnya sangat

diharapkan oleh masyarakat dan pemerintah untuk mendukung kenaikan jumlah

masyarakat yang mempunyai jalan kepada layanan keuangan. 58

Financial technology memiliki kemampuan guna memberi keuntungan bagi

beberapa pihak yang terdapat di dalam industri keuangan. Menurut Peraturan

55
Muhammad Afdi Nizar, Teknologi Keuangan (Fintech): Konsep dan Implementasinya
di Indonesia, Warta Fiskal, edisi 5/2017, hlm. 7.
56
Irma Muzdalifa, dkk, “Peran Fintech Dalam Meningkatkan Keuangan inklusif Pada
UMKM Di Indonesia (Pendekatan Keuangan Syariah)”, Jurnal Masharif al-Syariah: Jurnal
Ekonomi dan Perbankan Syariah/Vol. 3, No. 1, 2018
57
Mekar, Fintech di Indonesia: Perkembangannya di 2017 dan Proyeksi untuk 2018,
dalam www.mekar-fintech-di-indonesia2018.id , diakses pada 14 Februari 2021 pukul 20.05
WIB.
58
Irma Muzdalifa, dkk, 2018, Op.Cit.
41

Bank Indonesia No.18/40/PBI/2016 tentang Penyelenggaraan Pemrosesan.

Transaksi Pembayaran mempertimbangan bahwa perkembangan teknologi dan

sistem informasi terus menghadirkan macam-macam inovasi baru, khusus untuk

yang ada kaitannya dengan Fintech dalam rangka melengkapi kebutuhan

masyarakat termasuk pula dibidang jasa sistem pembayaran, baik dari sisi

penyelenggara, mekanisme, instrumen, maupun infrastruktur penyelenggaraan

pemrosesan transaksi pembayaran.59 Hal tersebut memperjelas peluang keuangan

digital, diperkokoh dengan realita baru sekitar 36% manusia dewasa di Indonesia

yang mempunyai rekening di bank atau sekitar 160 juta manusia yang masuki

kategori unbanked.60

Kontradiksinya, Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII)

mendata 132,7 juta masyarakat Indonesia sudah tersambung ke internet, akibat

adanya perkembangan infrastruktur dan dengan mudah memperoleh smartphone

atau telephone genggam. 61 Dalam jangka waktu 4 tahun sesudah itu cuma terjadi

penambahan sejumlah 9 perusahaan yang melaksamalam kegiatan Fintech, dan

totalnya jadi 25 perusahaan dalam tahun 2011-2012. Jumlah perusahaan FinTech

dalam tahun tersebut cuma berkembang sekitar 177,78%, lebih rendah

perbandingannya dengan perkembangan tahun 2006-2007 yang totalnya hingga

sekitar 300%. Pada tahun 2013-2014 jumlah perusahaan Fintech menambah

59
Iska Sri Mawarni, Analisis Presepsi Masyarakat Pengguna Layanan Transaksi Digital
Pada Financial Technology (Studi kasus terhadap layanan Go-Pay “Gojek” di Kota Bandung
2017), Universitas Telkom, 2017.
60
Ivan Mulyadi, Perkembangan Financial Technology (Fintech) Tahun 2018, diakses
dalam www.marketing.co.id,
61
R. Andi Kartiko Utomo, Bisnis Model Baru Bank-Tekfin dan Ekonomi Digital, Fintech
Talk Indonesia Journal. 2017.
42

kembali sejumlah 15 perusahaan sampai menjadi 40 perusahaan, atau berkembang

sekitar 60%.62

Menurut Indonesia’s Association (IFA), pertumbuhan yang terhebat terjadi

pada tahun 2015-2016, ketika itu jumlah pelaku Fintech di Indonesia berkembang

78%, sampai November 2016, IFA mendata sekitar 135 hingga 140 perusahaan

Start Up yang terdata.63 Artinya terjadi peningkatan jumlah perusahaan Fintech

sekitar 312,5% dibandingkan tahun sebelumnya. 64 Perkembangan tersebut

mengalami kenaikan yang cepat mulai tahun 2014 yang jumlahnya 88 juta

orang.65 Semakin bertumpunya konsumen pada teknologi pun menjadi penyebab

kunci cepatnya pertumbuhan Fintech guna mendorong macam-macam layanan

keuangan di Indonesia.66

Beberapa negara berkembang telah menggunakan konsep Fintech, baik

secara sebagian ataupun penuh, sebagai contoh di Tanzania. Tanzania adalah

negara yang mendapati transformasi perkembangan yang dapat dibilang secara

tiba-tiba pada bidang industri keuangan islam terhitung dari beberapa waktu

terakhir. Namun, kemajuan didalam bidang industri keuangan islam tidak

diimbangi dengan kemajuan dalam hal fasilitas teknologi yang dapat menampung

perubahan tersebut. Bila kelemahan tersebut tidak diindahkan, maka akan

62
Muhammad Afdi Nizar, Teknologi Keuangan (Fintech) : Konsep dan Implementasinya
di Indonesia, Warta Fiskal, edisi 5/2017, hlm. 7
63
Posma Sariguna Johnson Kennedy, “Tantangan terhadap Ancaman Disruptif dari
Financial Technology dan Peran Pemerintah dalam menyikapinya”. Jurnal Forum Keuangan dan
Bisnis Indonesia (FKBI), VI, 2017, hlm.174
64
Muhammad Afdi Nizar, Teknologi Keuangan (Fintech): Konsep dan Implementasinya
di Indonesia, Warta Fiskal, edisi 5/2017, hlm. 7.
65
R. Andi Kartiko Utomo, Bisnis Model Baru Bank-Tekfin dan Ekonomi Digital, Fintech
Talk Indonesia Journal. 2017.
66
Budi Rahardjo, Fintech: Layanan Baru, Ancaman Baru, Fintech Talk Indonesia
Journal. 2017.
43

membuat semakin buruknya keadaan sosial ekonomi masyarakat. Untuk menjaga

keseimbangan kenaikan industri keuangan islam dan supaya bisa bertahan, maka

diperlukan dilaksanakannya beberapa macam langkah, yaitu memasarkan literasi

keuangan Islami, mengambil langkah pada saatnya, bertahan dengan nilai-nilai

etika Islami, menggunakan dengan baik upaya pembangunan sosial-ekonomi di

wilayah-wilayah itu, dan menaikkan jumlah investasi ekonomi di tingkat makro.67

Fintech syariah telah terjadi perkembangan di Indonesia dikarenakan

beberapa macam alasan yang rasional: 68

a. Indonesia dapat dikatakan negara yang penduduknya muslim terbesar di

dunia dengan jumlah lebih dari 200 juta penduduk Muslim.

b. tingkat literasi keuangan yang masih dibawah, hal itu dibuktikan dengan

jumlah penduduk yang memiliki rekening di bank masih rendah sekitar

37% saja.

c. akses UMKM dalam memperoleh pembiayaan ke sektor perbankan juga

cukup rendah, hanya sekitar 30% dari total UMKM di Indonesia

(Widyaningsih, 2018); dan

d. tingkat pemakai internet di Indonesia cukup tinggi sekitar 54,7% dari total

penduduk atau sebanding dengan 143,3 juta penduduk.

67
Sulayman, H. I. (2015). Growth and Sustaining of Islamic Finance Practice in the
Financial System of Tanzania: Challenges and Prospects. Procedia Economics and Finance, 361-
366.
68
Rahadiyan, I., & Sari, A. R. S. (2019). Peluang dan Tantangan Implementasi Fintech
Peer-to-Peer Lending sebagai Salah Satu Upaya Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat
Indonesia, Jurnal Defendonesia, 4(1), 18–28.
44

Hal tersebut pasti menjadi kesempatan bagi Fintech syariah guna mengalihkan

peran untuk bisa menyediakan pelayanan menggunakan akad-akad transaksi

syariah.

Sehubungan dengan kemampuan berkembangnya Fintech syariah tersebut,

DSN-MUI melihat pentingnya diterbitkannnya Fatwa Nomor 117/DSN-

MUI/II/2018 tentang Layanan Pembiayaan Berbasis Teknologi Informasi

Berdasarkan Prinsip Syariah untuk memberikan kepastian landasan syariah bagi

pelaksanaan transaksi akad-akad syariah yang diselenggarakan oleh operator

penyedia platform Fintech syariah baik dengan model peer-to-peer financing

ataupun crowdfunding. Subyek hukum yang ketentuannya terdapat dalam fatwa

ini juga memuat penerima pembiayaan (mitra usaha), penyelenggara (operator

platform fintech syariah), maupun pemberi pembiayaan (investor).

Pertumbuhan Fintech menawarkan beberapa kegunaan antara lain adalah

:69

a. keguanaan untuk konsumen:

1) Penambahan pilihan produk;

2) Kualitas layanan ditingkatkan;

3) Penurunan harga.

b. Kegunaan untuk pelaku bisnis:

1) Mempersempit rantai transaksi;

2) Efisiensi modal dan resiliensi operasional ditingkatkan;

3) Iklusi keuangan ditingkatkan;

69
Bank Indonesia, “Financial Technology Perkembangan dan Respons Kebijakan Bank
Indonesia”, Bank Indonesia-Fintech Office, hlm.11.
45

4) Arus informasi diperlancar.

c. Kegunaan untuk ekonomi:

1) Mempersingkat transmisi kebijakan moneter;

2) Kecepatan uang beredar ditingkatkan;

3) Pertumbuhan ekonomi ditingkatkan.

Alasan hadirnya Fintech adalah masyarakat tidak bisa diberikan pelayanan

di industri keuangan tradisional, alasannya adalah perbankan terkutat pada

ketentuan yang ketat dan adanya industri perbankan yang terbatas dalam

memberikan pelayanan terhadap masyarakat di daerah-daerah tertentu. Alasan lain

hadirnya Fintech adalah masyarakat mencari jalan lain untuk keperluan

pendanaan selain jasa industri keuangan tradisional karena masyarakat

membutuhkan alternatif pembiayaan yang lebih transparan dan demokratis serta

biaya pelayanan keuangan yang efisien dan menjangkau untuk masyarakat umum

di Indonesia.70

Akad yang dapat digunakan dalam jasa tersebut diantaranya adalah jual-

beli, musyarakah,, mudharabah, ijarah, wakalah, wakalah bil al-ujrah, dan qardh.

Ketentuan itu juga mengatur macam-macam ketentuan syariah yang secara umum

diketahui bersama diantaranya adalah menjauhkan transaksi riba, yang

memunculkan gharar, maysir tadlis, dharar dan haram. Selain itu, transaksi harus

mencermati nilai-nilai keadilan, keseimbangan, serta kewajaran dalam bidang

syariah dan aturan hukum positif yang berlaku di Indonesia. Pembenaran

dilaksnakannya transaksi nyata juga harus diciptakan dalam bentuk sertifikat

70
Muliaman D. Hadad, Financial Technology (Fintech) di Indonesia, Kuliah Umum
Tentang Fintech-IBS, Jakarta, 2017, hlm. 4.
46

elektronik yang relevan dan valid. Sebagai imbuhan bahwa transaksi yang

dilaksanakan harus memastikan porsi bagi hasil, harga, biaya jasa (ujroh) yang

sejalan dengan prinsip syariah. Dengan demikian Fintech syariah dapat menjamin

masyarakat dengan produk halal yang dipasarkan. 71

2.3. Rukun dan Syarat Sahnya Akad

Dalam Islam, akad dikenal dengan penyebutan 2 istilah yaitu rukun dan

syarat akad. Rukun bisa diterjemahkan sebagai unsur esensial dalam menyusun

akad dimana wajib dipenuhi dalam transaks yang terdiri dari : 72

a. Subjek Akad

Merupakan pihak yang melaksanakan akad yang terdiri dari minimal 2 pihak

yang sudah dewasa, mempunyai akal yang sehat serta mampu melaksanakan

perbuatan yang mempunyai kaitan dengan hukum secara sendiri.

b. Objek yang diakadkan

Merupakan objek akad yang mempunyai banyak macam, tergantung dari

bentuk dan wujudnya. Di dalam murabahah, objek akad merupakan suat benda

yang dilakukan jual-beli dengan harga yang disepakati. Suatu akad bisa disebut

sah jika objek tersebut mempunyai syarat seperti sebagai berikut:

1) Benda telah ada pada waktu akad dilangsungkan. Objek akad harus

berwujud dan telah ada pada saktu akad dilangsungkan. Menurut pendapat

fukaha, barang yang belum tersedia pada saat akad dilakukan tidak dapat

71
Rifqi Muhammad dan Izzun Khoirun Nissa, Analisis Resiko Pembiayaan Dan Resolusi
Syariah Pada Peer-To-Peer Financing, EQUILIBRIUM Jurnal Ekonomi Syariah , Volume 8,
Nomor 1, 2020, 63- 88.
72
Ascarya, Diana Yumanita, Bank Syariah: Gambaran Umum, Seri Ke bank sentralan
Nomor 14, Bank Indonesia Pusat Pendidikan dan Studi Ke bank sentralan, Jakarta, 2005, hlm.14.
47

dijadikan objek akad karena penyebab terjadinya hukum dan akibat akad

tidak bisa terjadi ketika objek akad belum berwujud;

2) Hukum akad dapat diterima. Dalam murabahah, objek yang akan

dilakukan jual-beli wajib memiliki nilai dan harga untuk kedua belah pihak

yang melaksanakan jual beli tersebut;

3) Objek akad diketahui dan dapat ditentukan. Objek akad harus dapat

diketahui dan ditentukan oleh kedua belah pihak yang berakad. Objek akad

yang tidak jelas dapat menyebabkan permasalahan di masa mendatang

sehingga objek akad tida terpenuhi sebagai syarat akad. Dengan

persyaratan ini, para pihak yang melangsungkan akad dilandasi sikap rela

bersama. Oleh karena itu, fuqaha menyepakati syarat ini;

4) Objek akad bisa diserahkan ketika dilakukan akad. Pada saat akad

dilakukan, objek akad diharuskan dapat diberikan. Namun, syarat ini

bukan berarti objek akad bisa langsung diberikan. Maksud dari objek akad

diberikan pada waktu akad adalah objek akad sudah harus dikuasai oleh

pihak yang bersangkutan secara sah.

Secara garis besar, syarat objek akad yang disebutkan diatas dapat

dikatakan bahwa suatu hal bisa dijadikan objek akad dalam hal bisa

mendapatkan hukum akad dan tidak mempunyai unsur yang dapat

menyebabkan permasalahan di masa mendatang bagi para pihak. Syarat

terakhir dalam pemaparan diatas mewajibkan objek akad harus berwujud, dapat

diberikan dan jelas.

c. Akad/Sighat terdiri dari :


48

1) Penawaran atau serah (ijab);

2) Penerimaan ijab atau terima (qabul) merupakan sebuah penjelasan awal

yang dikeluarkan oleh para pihak yang melangsungkan akad untuk

menunjukkan keinginan dan kehendak dalam melaksanakan akad, pihak

yang mengawali akad tersebut. Kabul merupakan sebuah tanggapan dari

pihak yang membuat ijab dan menyatakan persetujuanya.

Sighat akad merupakan sebuah cara yang dilakukan untuk ijab dan kabul

dimana hal tersebut adalah rukun sebuah akad itu dibentuk. Sighat akad bisa

dilaksanakan dengan lisan, tulisan, perbuatan atau isyarat yang sudah dijadikan

kebiasaan dalam hal tersebut. Mazhab Hanaf i mempunyai pendapat bahwa rukun

akad hanya satu yaitu, sighatal-‘aqd. Bagi Mazhab Hanafi, pengertian dari rukun

akad adalah unsur dasar dan pokok yang menyusun sebuah akad. Unsur tersebut

berbentuk pernyataan kehendak dari para pihak yang berupa ijab dan qabul.

Kedua belah pihak dan objek akad adalah bagian luar, bukan bentuk esensi dari

akad sehingga kedua belah pihak dan objek akad bukan suatu rukun. Namun

demikian, mereka tetap berpendapat bahwa kedua belah pihak yang

melangsungkan akad dan objek akad adalah bagian yang wajib terpenuhi dalam

akad. Hal tersebut disebabkan oleh letaknya yang di luar esensi, pihak dan objek

akad merupakan syarat, bukan merupakan sebuah rukun.73

Sedangkan syarat merupakan sebuah unsur yang membuat sah tidaknya

rukun akad. Sehingga keabsahan akad bergantung terhadap seberapa rukun dan

73
Yazid Afandi, Fiqh Muamalah dan Implementasinya Dalam Lembaga Keuangan
Syariah, Yogykarta : Logung Pustaka, 2009, hlm. 34.
49

syarat akad dapat terpenuhi, dimana syarat keabsahan perjanjian sebagai berikut

:74

a. Tidak bertentang dengan hukum syariah yang disepakati. Maksud dari syarat

ini adalah bahwa akad yang dilakukan oleh para pihak merupakan bukan

suatu perbuatan yang dilarang oleh hukum atau perbuatan yang bertentangan

dengan syariah, hal tersebut dikarenakan akad yang bertolak belakang dengan

hukum syariah adalah tidak sah sehingga para pihak tidak mempunyai

kewajiban untuk melaksanakan dan menepati isi dari perjanjian yang

disepakati atau dengan kata lain dalam hal isi akad merupakan perbuatan

yang bertentang dengan hukum ( khususnya syariah ), maka akad tersebut

batal demi hukum.

b. Perjanjian dilakukan atas dasar ridho dan terdapat pilihan, hal tersebut tidak

diperkenankan terdapat sebuah paksaan dalam kesepaaktan perjanjian

tersebut. Hal tersebut mempunyai maksud bahwa perjanjian yang

dilaksanakan antara para pihak harus berdasar pada kesepakatan para pihak,

yaitu para pihak saling ridho dan rela terhadap perjanjian yang dibuat

tersebut, atau dengan maksud lain perjanjian itu harus kehendak bebas kedua

belah pihak. Dalam hal ini berarti tidak diperbolehkan terdapat paksaan dari

pihak manapun, sehingga perjanjian yang diadakan tidak mempunyai

kekuatan hukum dalam hal tidak dilandasi kebebasan keinginan kedua belah

pihak yang melaksanakan perjanjian.

74
Ascarya, dan Diana Yumanita, 2005, Loc.Cit.
50

c. Isi perjanjian harus gamblang dan jelas. Maksudnya adalah sesuatu yang akan

dilakukan perjanjian oleh kedua belah pihak diharuskan sudah merasa jelas

tentang sesuatu yang merupakan isi perjanjian, supaya tidak memberikan

akibat kesalahpemahaman antara para pihak terkait yang diperjanjikan di

masa mendatang. Dengan demikian pada saat perjanjian dilaksanakan oleh

para piha yang melaksanakan perjanjian atau yang melakukan pengikatan diri

dalam perjanjian harus memiliki interpretasi yang sama tentang apa yang

diperjanjikan, baik terhadap isi atau akibat yang muncul daripada perjanjian

itu. Sama halnya dengan perjanjian BW, perjanjian dalam hukum Islam juga

berdasar pada kesepakatan para pihak dengan syarat objek perjanjian wajib

berwujud ketika akad dilakukan.

Notaris dalam menyusun akta akad perbankan syariah, harus

mempertimbangkan dan menerapkan hal-hal yang tertuang dalam UUJN, serta

urgensi pendalaman ilmu di sektor perbankan khususnya perbankan syariah.

Selain itu, notaris harus menguasai rukun dan syarat keabsahan akad seperti yang

diatur dalam syariat Islam, kalimat yang termuat setiap pasal di akad syariah dapat

diperjelas konstruksi hukumnya apakah sesuai dengan hukum kontrak syariah atau

tidak.

Akad pembiayaan pada perbankan syariah dapat dibuat dalam dua jenis,

yakni akta yang disusun di bawah tangan dan akta yang disusun secara notariil.

Sejauh ini, belum ada peraturan khusus yang mengatur tentang bentuk-bentuk akta

syariah ataupun susunan-susunan akta akad syariah. Pada kenyataannya, akad


51

yang disepakatai antara bank dan debitur masih berdasar pada hukum yang

berlaku, begitu juga dengan akad pembiayaan yang disusun Notaris.

Akad pembiayaan yang disusun secara notariil supaya disebut akta otentik,

ketentuan Pasal 1868 KUH Perdata harus terpenuhi di akad tersebut dimana

muatannya sebagai berikut:

“suatu akta otentik adalah sebuah akta yang disusun dalam bentuk yang
diatur undang-undang oleh dan/atau didepan pejabat umum yang
mempunyai kewenangan terhadap hal tersebut dimana akta tersebut
disusun”.

Unsur-unsur dari pasal tersebut di atas dapat dijabarkan bahwa akta

disusun dalam bentuk yang diatur oleh undang-undang. Kemudian, akta

tersebut disusun dengan menghadap pada pejabat umum yang mempunyai

kewenangan atas hal itu dimana akta itu disusun.

2.4. Pelaksanaan Akad Syariah Online Dalam Financial Technology

Akad Merupakan hubungan antara dua permasalahan, baik hubungan

secara riil maupun secara maknawi, dari dua segi maupun satu segi.” Sedangkan

dalam hukum Indonesia lebih dikenal dengan “perjanjian”. Definisi akad secara

terminologis ulama fikih dilihat dari dua segi yaitu secara khusus dan secara

umum. Secara umum definisi akad dalam pengertian yang lebih luas hampir sama

dengan definisi akad dari segi bahasa menurut pendapat ulama Mazhab Syafii,

Maliki dan Hambali yaitu: “Segala sesuatu yang dilakukan oleh seorang

berdasarkan kehendaknya sendiri seperti wakaf, talak, pembebasan, atau sesuatu


52

yang penyusunannya memerlukan kehendak dua orang seperti jual-beli gadai, dan

perwakilan”. 75

Sedangkan definisi akad dalam arti yang lebih sempit diuraikan oleh

ulama fikih , antara lain: “Ikatan antara Ijab dan Kabul berdasarkan ketentuan

syara’’ yang berimplikasi pada objeknya. 76 Penyelengaraaan layanan pinjam

meminjam berbasis teknologi informasi yang mempergunakan akad syariah

memberikan beberapa pilihan kepada para pengguna layanan baik itu peminjam

maupun pihak yang memberikan pinjaman. Pemberi pinjaman maupun peminjam

disediakan skema berdasarkan kebutuhan mereka masing-masing namun harus

sesuai koridor syariah. Penerapan skema syariah yang dilakukan penyenggara

harus mencermati aturan yang diatur oleh regulator supaya dapat menyediakan

pelayanan yang maksimal dan memberikan perlindungan serta kepastian untuk

pengguna layanan.

Penyelenggaran layanan yang dilaksanakan oleh Investree dan Dana

Syariah dengan mempergunakan skema syariah tidak bertentangan dengan

ketentuan yang ada dalam POJK Nomor 77/POJK.01/2016 yang menjadi dasar

penyelenggaran layanan pinjam meminjam berbasis teknologi informasi. Namun

dalam pelaksanaan pada Investree maupun Dana Syariah masih terdapat hal hal

yang harus ada dan dilengkapi oleh lembaga jasa keuangan yang melaksanakan

transaksi berdasar syariah. Dalam pelaksaan transaksi syariah lembaga jasa

keuangan wajib tunduk pada peraturan peraturan penyelenggaran layanan

75
Gemala Dewi, Hukum Perikatan Islam Indonesia, Jakarta, Kencana, 2006, h. 45.
76
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2003, hlm. 44.
53

berdasar syariah yang dikeluarkan oleh pihak terkait. Fatwa No 117/DSN-

MUI/II/2018 Tentang Layanan Pembiayaan Berbasis Teknologi Informasi

Berdasarkan Prinsip Syariah, penyelenggaraan layanan yang dilakukan oleh

Invetree maupun Dana Syariah wajib mengikuti ketentuan tersebut.

Dalam transaksi layanan pinjam meminjam tersebut terdapat beberapa

pihak antara lain: 77

a. Pemberi pinjaman merupakan perorangan, badan hukum, dan/atau badan

usaha yang memiliki piutang akibat perjanjian Layanan Pinjam Meminjam

Uang Berbasis Teknologi Informasi. Didalam praktek pemberi pinjaman

disebut sebagai (lender) atau Investor yang memiliki modal dan hendak di

salurkan ke pihak yang membutuhkan dengan persyaratan tertentu kepada

penerima pinjaman (borrower)

b. Penerima pinjaman merupakan perorangan dan/atau badan hukum yang

memiliki utang akibat perjanjian Layanan Pinjam Meminjam Uang

Berbasis Teknologi Informasi. Didalam praktek penerima pinjaman

disebut juga sebagai (borrower) yang merupakan pihak yang

membutuhkan dana untuk kepentingan usaha peminjam.

c. Penyelenggara Layanan. Penyelenggara layanan pinjam meminjam uang

berbasis teknologi informasi yang kemudian disebut Penyelenggara

merupakan badan hukum Indonesia yang mengelola, menyediakan, dan

77
Sovia Hasanah, “Dasar Hukum Layanan Pinjam-meminjam Uang Berbasis Teknologi
Informasi”, dalam https://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5a8a27073caf8/dasarhukum-
layanan-pinjam-meminjam-uang-berbasis-teknologi-informasi, diakses 07/03/2021, pukul 20.51
WIB.
54

menjalankan Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi

Informasi.

Mekanisme pinjam meminjam atau pembiayaan yang berdasarkan akad

syariah dilaksanakan dengan mekanisme dibawah ini :78

a. Penerima pinjaman yang melakukan permohonan pinjaman melaui website

penyelenggara layanan.

b. Penerima pinjaman mengirim identitas berupa berkas-berkas.

c. Penerima pinjaman mengirim dokumen yang berkaitan dengan keperluan

pembiayaan sebagai contoh adalah dokumen legalitas usaha, tagihan

(Invoice) atas piutang usaha dan dokumen pendukung lain. Untuk

mempertahankan prinsip Pembiayaan Syariah supaya masih berjalan

sesuai aturannya, maka tidak semua tagihan bisa diterima untuk pinjam-

meminjam. Jenis tagihan yang diutamakan adalah yang tujuannya untuk

perusahaan-perusahaan besar, seperti perusahaan multinasional, institusi

yang terdaftar dibursa saham, atau instansi pemerintahann.

d. Dokumen tersebut dibutuhkan oleh Penyelenggara layanan sebab layanan

ini bertujuan untuk mendukung pembiayaan untuk usaha kecil (UMKM).

Namun bagi penerima pinjaman yang memiliki sifat perorangan yang tidak

mempunyai usaha, dokumen yang diserahkan sekedar yang berhubungan

dengan sumber pengembalian dalam bentuk slip gaji dan fotcopy rekening

tabungan.

78
Admin, “General FAQ Syariah”, dalam https://www.investree.id/how-itworks/general-
faq-syariah, diakses pada tanggal 07 Maret 2021, pukul 21.45 WIB.
55

e. Pihak Penyelenggara menganalisa kaitannya dengan layaknya pemberian

pinjaman pada calon penerima pinjaman berdasarkan jangka wakt dan

bunga pinjaman dan mampunya peminjam untuk mengembalikan

pembayarannya.

f. Seusai melakukan penilaian dan dinyatakan layak untuk mendapatkan

pinjaman, penyelengara menginformasikan pada pemberi pinjaman bahwa

ada pihak yang mengajukan pinjaman yang pantas diberi pinjaman serta

bersedia melaksanakan akad pinjam meminjam.

g. Akad pembiayaan dilaksanakan antara penerima pinjaman dan pemberi

pinjaman dengan akad Al Qardh. Pemberi pinjaman memberi pinjaman

atau talangan atas tagihan yang diberikan, selanjutnya dengan akad

Wakalah bilujrah, Pemberi pinjaman mewakilkan kepada penyelenggara

layanan untuk bantu melaksanakan urusan tagihan yang diberi oleh

peminjam. Akad Al Qardh maupun wakalah bi al-ujrah dilakukan dengan

cara online melalui website penyelenggara layanan. Bisa juga dengan

memnggunakan akad Musyarakah untuk segmentasi tertentu. Segala

aktivitas akad yang dilaksanakan antara pemberi pinjaman dan peminjam

taat dan patuh terhadap aturan yang terdapat dalam UU ITE dan hukum

perjanjian lainnya.

h. Penerima pinjaman memberi jaminan berupa tagihan dan giro mundur

berdasarkan tanggal jatuh tempo pinjaman. Untuk pinjaman perorangan

pemberi pinjaman bisa minta jaminan lain berdasarkan persetujuan para

pihak.
56

i. Pinjaman dicairkan melalui rekening Virtual penerima pinjaman di Bank

yang bekerjasama dengan peyelenggara layanan.

Penyelenggaraan layanan yang dilakukan Investree maupun Dana Syariah

wajib memenuhi ketentuan dan menyesuaikan penyelenggaran layanan dengan

ketentuan syariah yang berkaitan dengan usaha tersebut. Ketaatan pada aturan

syariah merupakan kewajiban bagi lembaga jasa keuangan yang menjalankan

usahanya dengan prinsip syariah. Dalam peyelenggaraan kegiatan layanan

Lembaga Jasa Keuangan Syariah wajib memperhatikan hal hal berikut antara lain

:79

1. Jaminan kepatuhan syariah (shariah compliance assurance) atas

keseluruhan aktivitas penyelenggara Layanan. Hal tersebut adalah salah

satu yang sangat penting bagi pengguna layanan. Beberapa ketentuan yang

dapat digunakan sebagai ukuran secara kualitatif untuk menilai ketaatan

syariah bagi pelaksana layanan pinjam meminjam berbasis teknologi

informasi :

a. Akad atau kontrak yang digunakan untuk pengumpulan dan

penyaluran pembiayaan berdasarkan dengan aturan syariah yang

berlaku.

b. Pendanaan zakat diperhitungkan dan dibayarkan serta diolah

berdasarkan dengan perinsip dan aturan syariah.

79
Adrian Sutedi, Perbankan Syariah: Tinjauan dan Beberapa Segi Hukum, Jakarta:
Ghalia, 2009, hlm. 145.
57

c. Semua transaksi dan kegiatan ekonomi dicatatkan secara wajar

disesuaikan dengan akuntansi syariah yang berlaku.

d. Lingkungan kerja dan corporate culture berdasarkan syariah.

e. Bisnis usaha yang didanai sejalan dengan Syariah.

f. Terdapat Dewan Pengawas Syariah yang berperan menjadi

pembimbing syariah atas seluruh kegiatan operasional penyelenggara

layanan.

g. Semua dan berasal dari sumber yang halal dan sah sesuai syariah.

2. Perlindungan bagi pengguna layanan

Aspek kesesuaian dengan prinsip syariah merupakan aspek yang

mendasar dan menjadikan pembeda antara Penyelenggara layanan

konvensional dengan penyelenggaran layanan berdasar syariahkarena

dalam syariah tidak hanya profit oriented, namun juga falah oriented

dimana tidak hanya keuntungan semata mata yang di peroleh namun

kemenangan didunia dan di akhirat menjadi salah satu yang ingin dicapai

dalam penyelenggaraan layanan. 80

Untuk mencapai hal tersebut, maka dalam peraturan lembaga jasa

keuangan syariah diatur mengenai ketaatan syariah (syariah compliance)

yang wewenangnya terdapat pada Majelis Ulama Indonesia yang

disampaikan melalui Dewan Pengawas Syariah yang wajib dibentuk pada

masingmasing Pelaksana Layanan pinjam meminjam berbasis teknologi

informasi yang berdasar syariah.

80
Trisadini UP dan Abdul Shomad, Hukum Perbankan, Surabaya : FH Universitas
Airlangga dan Lutfansah Media, 2015, hlm. 60.
58

Kepatuhan Syariah merupakan prinsip utama yang harus dipenuhi

sekaligus pembeda dengan Penyelenggara Layanan jasa keuangan yang

lain (Konvensional) sebagai bentuk perlindungan hukum preventif bagi

para pengguna jasa layanan. Makna kepatuhan syariah dalam perbankan

syariah menurut konsep sebenarnya adalah pengaplikasian beberapa

prinsip perjanjian Islam, syariah, dan kebiasaannya ke dalam transaksi

keuangan serta bisnis lainnya yang ada kaitannya secara konsistensi, dan

menjadikan syariah menjadi kerangka kerja untuk sistem dan keuangan

penyelenggara jasa keuangan syariah dalam penempatan sumberdaya,

manajemen,produksi, kegiatan pasar modal, dan peredaran kekayaan. 81

Dengan kata lain kepatuhan syariah dalam layanan pinjam

meminjam berbasis teknologi informasi adalah tercipta dan terpenuhinya

budaya kepatuhan pada prinsip syariah serta perundang-undangan yang

berlaku.dalam bidang muamalah (transaksi fintech berbasis syariah)

termasuk moral etika dalam setiap aktivitasnya.

Penerapan akad syariah dalam financial technology berbasis online yang

merupakan fenomena yang baru namun masih berlaku asas-asas hukum kontrak

pada umumnya maupun hukum kontrak sesuai syariah. Dalam segi perikatan

sesuai hukum Islam atau sesuai syariah, kontrak melalui media teknologi

informasi terkait rukun dan syarat akad harus tetap terpenuhi. Dalam ketentuan

Pasal 21 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 tentang kompilasi

81
Adrian Sutedi, 2009, h.147. Loc Cit.
59

Hukum Ekonomi Syariah disebutkan bahwa akad dilakukan berdasarkan asas,

yaitu:82

1. Iktiyari/Sukarela; semua akad dilangsungkan atas keingunan kedua belah

pihak, terhindar dari keterpaksaan karena teknan salah satu pihak atau pihak

lain.

2. Amanah/Menepati janji; setiap akad wajib dilakasanakan oleh para pihak

sesuai dengan kesepakatan yang di tetapkan oleh yang bersangkutan saat

yang sama terhindar dari cidera janji.

3. Iktiyati/Kehati hatian; semua akad dilangsungkan secara tepat dan cermat

dengan mempertimbangkan beberapa alasan yang matang.

4. Luzum/Tidak Berubah; semua akad dilangsungkan dengan perhitungan yang

cermat dan dengan tujuan yang jelas supaya dapat menghindari praktik-

praktik maisir atau spekulasi.

5. Sama-sama menguntungkan, semua akad dilangsungkan untuk memenuhi

kepentingan para pihaksehingga mecegah dari praktik manipulasi dan

merugikan salah satu pihak.

6. Tsawiyah/Kesetaraan, kedua belah pihak dalam pelaksanaan akad

mempunyai kedudukan yang sejajar dan memiliki hak dan kewajiban yang

sama rata.

7. Transparansi, semua akad dengan pertanggungjawaban kedua belah pihak

yang sama rata.

82
Trisadini Prasastinah Usanti, Pengantar Lembaga Keuangan Syariah, Sidoarjo:
Zifatama Jawara , 2017, hlm. 9.
60

8. Kemampuan; semua akad dilangsungkan berdasarkan dengan kemampuan

kedua belah pihak, sehingga bagi pihak terkait tidak menjadikan beban yang

berlebih.

9. Taisir/Kemudahan; semua akad dilangsungkan dengan mekanisme yang

saling memberikan kemudahan bagi kedua belah pihak guna bisa

melakukannya berdasarkan kemampuan.

10. Itikad baik; akad dilangsungkan dengan tujuan penegakan kemaslahatan,

tidak mengandung unsur jebakan dan perbuatan buruk lainnya.

11. Sebab yang halal; sejalan dengan hukum, diperbolehkan oleh hukum dan

halal.
BAB III

PERAN NOTARIS DALAM PELAKSANAAN AKAD ONLINE

FINANCIAL TECHNOLOGY SYARIAH

3.1. Perkembangan Regulasi Financial Technology

Saat ini Indonesia sedang mengalami perkembangan dalam hal

pemanfaatan teknologi di berbagai sektor. Hadirnya pemakaian tekhnologi

informasi sebagai solusi kebutuhan sehari-hari masyarakat memicu

perkembangan-perkembangan pemakaian tekhnologi informasi dibidang lain.

Didahului dengan hadirnya pemakaian tekhnologi informasi dibidang jasa

transportasi umum sebagai contoh perusahaan taksi online, maka bidang jasa

keuanganpun juga mengalami perkembangan.

Berkembangnya Financial technology tersebut membutuhkan kesediadaan

pemerintah dan para pembuatan aturan di Indonesia untuk mengaturnya. Terutama

yang berhubungan dengan bidang kegiatan usaha, kelembagaan, dan mitigasi

risikonya. Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bank Indonesia (BI), dan Kementerian

yang terkait atas hal tersebut masih menyiapkan dan melakukan penyusunan

terkait ketentuan untuk pengaturan Financial technology di Indonesia.

1. Otoritas Jasa Keuangan

Mekihat semakin ramainya Fintech di Indonesia, OJK sudah menyusun

Tim Pengembangan Inovasi Digital Ekonomi dan Keuangan atau disingkat

PIDEK yang didalamnya terdapat dari kumpulan beberapa satuan kerja di OJK

yang menelaah dan mendalami pertumbuhan Fintech dan mempersiapkan

peraturan dan strategi pertumbuhannya. Kemudian, terkait dengan kenaikan

61
62

permohonan perizinan dan pendaftaran perusahaan start-up Fintech, keperluan

akan pengawasan Fintech, dan makin berganggangnya Fintech dibidang jasa

keuangan, OJK menganggap bahwa pertumbuhan internal organisasi yang

mengatur Fintech sangat diperlukan.83 Oleh karena itu, OJK menyusun dua satuan

kerja baru yang ada hubungannya dengan Fintech, yaitu Grup Inovasi Keuangan

Digital dan Keuangan Mikro dan Direktorat Pengaturan, Perizinan dan

Pengawasan Fintech.

OJK juga sudah menyusun Forum Pakar Fintech (Fintech Advisory

Forum) untuk wadah perkembangan arah industri Fintech, yang akan

menyediakan fasilitas dan meyakinkan koordinasi antar kementerian, lembaga,

dan para pihak yang terkait dengan pelaksana start-up Fintech berlangsung

dengan lancar, konstruktif, dan konsisten. Forum Pakar Fintech tersebut

anggotanya terdiri dari individu-individu yang dianggap mempunyai kemampuan

dibidang teknologi informasi dan dinamika dalam bidang inovasi digiital

keuangan yang bersumber dari OJK, BI, Kementerian Keuangan, Kementerian

Perdagangan, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian

Komunikasi dan Informatika, Kementerian Perindustrian, Kementerian Dalam

Negeri, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Selain itu juga dari Kliring

Penjaminan Efek Indonesia (KPEI), Badan Ekonomi Kreatif, Badan Reserse

Kriminal Kepolisian RI, Bursa Efek Indonesia, Himpunan Bank Milik Negara

(HIMBARA), Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia, Asosiasi Fintech Indonesia,

83
Rudi Saleh Susetyo dkk, Kajian Perlindungan Konsumen sektor Jasa Keuangan:
Perlindungan Konsumen Pada Fintech, Jakarta: Departemen Perlindungan Konsumen-Otoritas
Jasa Keuangan, 2017, hlm.48.
63

Asosiasi Perusahaan Efek Indonesia (APEI), Universitas Indonesia dan Institut

Teknologi Bandung , Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI).84

Pertumbuhan sementara dari pengkajian yang dilaksanakan oleh OJK

merupakan terbentuknya perkumpulan perusahaan Fintech yang termasuk dalam

kewenangan OJK atau tidak, yang terdiri dari macam-macam jenis usaha sebagai

contoh adalah perbankan, asuransi, investasi, pembiayaan, pinjam meminjam

(peer to peer lending), crowd funding, chanelling kredit dan lain sebagainya.

Sedangkan klasifikasi perusahaan Fintech di bidang sistem pembayaran akan

diatur oleh Bank Indonesia. 85

Dalam melaksanakan manfaatnya sebagai pembuat aturan, OJK telah

mengeluarkan peraturan terkait Fintech, antara lain :

a. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK)

OJK sudah mengeluarkan POJK No.77/POJK.01/2016 tentang

Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi

(selanjutnya disbeut POJK P2PLending) yang selanjutnya mempunyai

aturan lanjutan dalam bentuk Surat Edaran OJK (SEOJK)

No.18/SEOJK.02/2017. POJK tersebut mengatur tentang beberapa jenis

Fintech yang berkembang di Indonesia saat ini yaitu Peer-to-Peer Lending

(P2P Lending). Hal itu terjadi karena OJK memandang prntingnya

ketentuan yang hadir untuk mengatur Fintech pinjam-meminjam.

Selanjutnya, perusahaan Fintech dengan skema Peerto-Peer Lending

84
Ibid.., h. 49.
85
Ibid.., h. 51.
64

merupakan lingkup kewenangan OJK karena perusahaan itu menyediakan

layanan jasa keuangan. Tetapi perusahaan itu belum mempunyai dasar

hukum kelembagaan dalam melangsungkan aktivitas usahanya.

Berdasarkan POJK P2PLending, perusahaan Fintech atau

penyelenggara dinyatakan sebagai Lembaga Jasa Keuangan Lainnya

dengan bentuk perusahaan berbentuk badan hukum perseroan terbatas dan

koperasi (Pasal 2 ayat (2)). Aktivitas usaha yang bisa dilaksanakan oleh

penyelenggara berupa penyediaan, pengelolaan, dan pengoperasian

Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi dari para

pihak yang dananya bersumber dari pihak Pemberi Pinjaman dan/atau

penyelenggara bisa bekerjasama dengan penyelenggara layanan jasa

keuangan berbasis teknologi informasi berdasarkan dengan beberapa

ketentuan dalam peraturan perundang-undangan (Pasal 5).86

POJK P2P Lending mengatur bahwa sebelum melakukan kegiatan

usaha, penyelenggara wajib melaksanakan perizinan maupun pendaftaran

(Pasal 7). Pendaftaran dilakukan sebelum penyelenggara melakukan

kegiatan usaha. Setelah terdaftar, penyelenggara wajib memberikan

pelaporan dengan cara berkala tiap tiga bulan kepada OJK. Setelah itu,

paling lambat 1 tahun setelah melakukan pendaftaran, penyelenggara

wajib melakukan perizinan. Dalam hal penyelenggara tidak mengajukan

izin kepada OJK selama jangka waktu yang telah ditentukan, maka surat

86
Ibid., h. 52.
65

tanda pendaftaran penyelenggara dinyatakan batal dan tidak bisa

melakukan penyampaian permohonan pendaftaran kepada OJK (Pasal 10).

Terkait subyek penerima dan pemberi pinjaman, penerima

pinjaman merupakan perorangan atau badan hukum yang bersumber dan

berkedudukan diwilayah hukum Indonesia (Pasal 15). Sedangkan Pemberi

Pinjaman berlandaskan POJK P2PLending, bisa dalam bentuk perorangan

WNI atau WNA, badan usaha Indonesia/asing, badan hukum Indonesia

atau asing, dan/atau lembaga internasional. Pemberi Pinjaman bisa

bersumber dari dalam negeri dan/atau luar negeri (Pasal 16). Perjanjian

penyelenggaraan yang dimaksudkan dalam POJK tersebut, dijelaskan

dalam Dokumen Elektronik.

Sehubungan dengan sistem teknologi informasi, penyelenggara

harus mempersiapkan jalannya informasi kepada pemberi dan penerima

pinjaman terkait penggunaan dana dan pinjaman yang telah diterima.

Penyelenggara juga harus memakai esscrow account dan viirtual account,

memakai pusat data dan pusat penanggulangan bencana yang harus

dialokasikan di Indonesia. Penyelenggara harus mencakup standar

minimum sistem teknologi informasi, pengamanan teknologi informasi,

ketahanan terhadap gangguan, pengelolaan risiko teknologi informasi, dan

alih kelola sistem teknologi informasi, serta kegagalan sistem. 87

Sebagai upaya mitiigasi risiko, penyelenggara juga harus

melakukan penjagaan terhadap keutuhan, kerahasiaan, dan kesediaan

87
Ibid.., h. 55.
66

semua data yang dikelola mulai data didapatkan sampai data itu

dimusnahkan. Penyelenggara wajib pula menyediakan rekam jejak audit

terhadap seluruh kegiatannya dan melaksanakan tindakan keamanan pada

komponen sistem teknologi informasi dengan mempunyai dan

melangsungkan tata cara dan media sebagai pengamanan.

Di sisi lain, jika ada suatu bank umum yang ingin menggunakan

teknologi informasi sebagai media pemasaran dan penjualan produknya,

maka selain melihat kepada peraturan mengenai kegiatan usaha bank

umum dan RBB, maka bank umum tersebut harus juga mengacu dan

mengikuti ketentuan POJK No. 38/ POJK.03/2016.88

Sampai pada 10 Juni 2021, perhitungan penyelenggara fintech

peer-to-peer lending atau fintech lending yang tercatat dan telah

mendapatkan izin di OJK sejumlah 125perusahaan. 89 Sejatinya ketika

berkehendak melaksanakan pinjaman online seharusnya betul-betul

mencermati bahwa fintech memang benar-benar terdaftar di OJK. Hal

tersebut bertujuan menghindar dari terjadinya kejadian yang kurang baik

sebagai contoh yang telah dialami beberapa orang saat melaksanakan

pinjaman online dari fintech yang ilegal. 90

Keberadaan P2P lending syariah diIndonesia dewasa ini tidak

sedikit di antara P2P lending konvensional. Mereka merupakan Ammana,

88
Ibid.., h. 56.
89
https://www.ojk.go.id/id/kanal/iknb/financial-technology/Pages/Penyelenggara-
Fintech-Lending-Terdaftar-dan-Berizin-di-OJK-per-10-Juni-2021.aspx , diakses tanggal 9 Juli
2021, pukul 19.00.
90
https://infokomputer.grid.id/read/121852524/terdaftar-di-ojk-inilah-deretan-fintech-
syariah-di-indonesia , diakses jam 11.55 12 nov 2020
67

Amartha, Investree, dan masih banyak yang lain. Hal yang membedakan

P2P lending syariah dengan P2P lending konvensional selain tidak ada

bunga atau riba adalah adanya konsep akad yang dipakai dalam proses

pinjam meminjam.

Terdapat macam-macam konsep akad dalam P2P lending syariah

yang harus diketahui. 91 Kesatu adalah Akad Al-Qardh yang mengharuskan

kreditur menyerahkan kembali uang pinjamannya berdasarkan dengan

waktu dan persetujuan yang sudah ditentukan.

Kedua terdapat Akad Wakalah Bil-Ujrah yang pihak pemberi

pinjaman atau lender memberikan kuasa kepada pihak ketiga mengenai

investasi atau pinjamannya. Kemudian pihak ketiga itu memiliki hak untuk

mengelola uang pinjaman atas nama pemberi kuasa dan akan memperoleh

imbalan dalam bentuk upah atas jasa dalam menyediakan media untuk

pinjaman.

Ketiga terdapat Akad Mudharabah Muqayyadah yang menyertakan

kata sepakat tentang pemberian modal antara pemegang dana

selaku lender atau pemberi pinjaman dan pengelola dana. Apabila terdapat

kerugian, maka pemberi pinjaman yang memberikan modal kepada

pengelola dana akan menanggung sepenuhnya terkait kerugian tersebut.

Keempat terdapat Akad Musyarakah yang ketentuannya tentang

dua pihak atau lebih bertujuan melaksanakan beberapa usaha yang telah

ditentukan dengan menyediakan modal untuk melaksanakan pendanaan

91
https://www.idntimes.com/business/economy/ridwan-aji-pitoko-1/mengenal-p2p-
lending-syariah-pinjol-halal-tanpa-riba/3 , diakses jam 08.46, 17 Juli 2021
68

bersama-sama. Untung dan rugi yang diperoleh sejak pembentukan usaha

tersebut, sesuai kesepakatan diawal juga akan ditanggung bersama-sama.

Kelima terdapat Akad Ijarah untuk melakukan sewa terhadap suatu

barang. Akad tersebut mengwajibkan pihak yang menyediakan persewaan

untuk membayar sewa untuk barang yang dipinjam berdasarkan dengan

batas waktunya.

Dengan demikian, harusnya perlu adanya peran Notaris dalam setiap

proses akad yang dilakukan dalam setiap perjanjian. Karena Notaris

memiliki peran besar dalam penegakan hukum dan Notaris adalah

sebagian dari strukur hukum yang akan mempengaruhi penegakan hukum

dalam bidang syariah. Sehingga peminjam dan pemberi pinjaman yang

sama-sama telah memenuhi hak dan kewajibannya , tidak akan ada satu

pun pihak yang merasa dirugikan dalam kesepakatan.

b. Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (SEOJK)

Seusai diberlakukannya POJK No.77/POJK.01/2016, OJK sudah

menyusun aturan tentang pelaksanaan tata kelola dan manajemen risiko

Teknologi Informasi pada layanan pinjam meminjam uang berbasis

teknologi dalam SEOJK No.18/ SEOJK.02/2017 yang berlaku pada

tanggal yang telah ditetapkan, yaitu pada tanggal 18 April 2017.

Adapun ruang lingkup yang diatur antara lain :92

1) Pengalokasian pusat data dan penanggulangan bencana serta rencana

pemulihan bencana

92
Ibid.., h. 58.
69

2) Tata Kelola Sistem Elektronik dan teknologi Informasi yang mencakup

Sumber Daya manusia, Pengelolaan Perubahan Teknologi Informasi,

dan Rencana Strategis Sistem Elektronik.

3) Alih Kelola Teknologi

4) Pengelolaan Data dan Informasi

5) Pengelolaan Risiko Teknologi Informasi

6) Pengamanan Sistem Elektronik

7) Penanganan Insiden dan Ketahanan Terhadap Gangguan

8) Penggunaan Tanda Tangan Elektronik

9) Ketersediaan Layanan dan Kegagalan Transaksi, serta Keterbukaan

Informasi Produk dan Layanan.

2. Bank Indonesia (BI)

Bank Indonesia sudah menyusun Fintech Office (BI-FTO) sebagai media

mitigasi risiko, asesmen, dan evaluasi atas model bisnis dan produk/layanan

dari Fintech serta inisiator riset yang berhubungan dengan aktivitas layanan

keuangan berbasis teknologi. Penyusunan Fintech Office berdasarkan pada

posisi Bank Indonesia sebagai otoritas sistem pembayaran dan butuhnya

mendorong pertumbuhan transaksi keuangan berbasis teknologi yang stabil.

BI-FTO didirikan dengan 4 tujuan utama, antara lain :

a) Memberikan fasilitas pertumbuhan inovasi dalam ekosistem keuangan

berbasis technology diIndonesia;

b) Melakukan persiapan untuk Indonesia optimal

c) Pertumbuhan teknologi dan pertumbuhan perekonomian;


70

d) Menaikkan daya saing industri keuangan berbasis teknologi Indonesia; dan

e) Memahami informasi dan menyediakan umpan balik sebagai pendukung

perumusan kebijakan Bank Indonesia, bertujuan untuk respon terhadap

perkembangan berbasis teknologi

Supaya memenuhi tujuan utama itu, Fintech Office beroperasi dengan

empat fungsi, yaitu :

a) Fungsi katalisator atau fasilitator, bagi penukaran ide inovatif

pertumbuhan Fintech diIndonesia;

b) Fungsi business intelligence, BI-FTO akan rutin merekomendasikan

update melalui diseminasi dari kajian dan pertemuan dengan kementerian

dan otoritas yang berkaitan dengan itu dan lembaga internasional;

c) Fungsi asesmen, BI-FTO akan melaksanakan pengontrolan dan

penggambaran lokasi atas kemampuan manfaat beserta risiko dari inovasi

model bisnis dan produk yang disediakan. Hasil dari asesmen itu akan jadi

landasan untuk perumusan kebijakan di Bank Indonesia;

d) Fungsi koordinasi dan komunikasi, yang bertugas memberi pemahaman

atas kerangka peraturan yang berlaku, dan mendukung keharmonisan

regulasi lintas otoritas.

BI-FTO dilengkapi juga dengan regulatorry sandbox, yang mungkin

unit usaha Fintech melaksanakan aktivitas secara terbatas, tentu saja seusai

pemenuhan syarat-syarat yang ditentukan oleh Bank Indonesia. 93 Regulatory

sandbox berlaku supaya pelaksana Fintech yang lebih banyk adalah perusahaan

93
Ibid.., h. 59.
71

start-up dengan skala lebih kecil, memperoleh kesempatan untuk

memantapkan konsep dan mengalami perkembangan dengan stabil serta pada

saatnya bisa memberikan pelayanan finansial yang terjamin untuk masyarakat.

Dengan regulatory sandbox, Fintech Office menjadi ujung tombak BI dalam

mendalami Fintech untuk berikutnya menyiapkan peraturan yang dapat

menyediakan dorongan maksimal untuk pertumbuhannya. BI-FTO juga jadi

media untuk pertukaran ide inovatif antara pelaku Fintech sekaligus kolaborasi

antar pelaku Fintech dan regulator.

Untuk mendorong kelangsungan Fintech di Indonesia, Bank Indonesia

pun sudah menghadirkan pengaturan tentang pelaksanaan transaksi

pembayaran, dengan Peraturan Bank Indonesia No.18/40/PBI/2016. Peraturan

itu adalah bentuk komitmen Bank Indonesia guna mendorong kelangsungan

pembayaran transaksi e-commerce yang lebih efisien dan aman.94

Bank Indonesia sebagai pemegang regulasi sistem pembayaran sudah

menyusun pengaturan tentang Fintech di Indonesia melalui PBI

No.11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik (Electronic Money). PBI itu

sudah dilakukan perubahan sejumlah 2 kali yaitu dengan PBI No.16/8/

PBI/2014 dan PBI No.18/17/PBI/2016 tentang Uang Elektronik (PBI E-

Money). Berdasarkan PBI E-Money, Uang Elektronik (Electronic Money)

diartikan sebagai media pembayaran yang mencakup unsur-unsur, antara lain :

a) Dilakukan penerbitan berdasarkan jumlah dana yang disetorkan dulu pada

penerbit;

94
Ibid.., h. 60.
72

b) jumlah dana yang disimpan melalui elektronik dalam media server atau

chip;

c) dimanfaatkan sebagai media pembayaran pada pedagang yang bukan

penerbit uang elektronik itu; dan

d) jumlah dana elektronik yang dilakukan pengelolaan dari penerbit bukan

termasuk simpanan yang mana dimaksudkan didalam undang-undang yang

mengatur tentang perbankan.

Lembaga yang dapat mengeluarkan Uang Elektronik atau disebut Penerbit

berdasarkan PBI E-Money adalah Bank atau Lembaga Selain Bank. Untuk

Lembaga Selain Bank yang akan melaksanakan aktivitas usaha uang elektronik

yang beroperasi diIndonesia diharuskan berstatus badan hukum Indonesia dan

berbentuk PT. Lembaga yang dimaksudkan dalam PBI E-Money terdiri dari

Penerbit, principal, Penyelenggara Kliring, Acquirer, dan/atau Penyelenggara

Penyelesaian Akhir. Lembaga-lembaga itu sekedar bisa bekerja sama dengan

pihak yang lain dalam hal ppelaksanaan aktivitas Uang Elektronik.

Uang elektronik tersebut, dikategorikan menjadi dua macam, antara lain

Uang Elektronik yang data identitas Pemegangnya tercatat dan terdaftar di dalam

Penerbit (registered); dan Uang Elektronik yang data identitas Pemegangnya tidak

tercatat dan tidak terdaftar didalam Penerbit (unregistered). Kategori itu

membuktikan fasilitas yang bisa disediakan Penerbit (Pasal 1A). E-Money

digolongkan sebagai Digital Payment didalam Fintech. Penerbit sekedar

melaksanakan permohonan ijin tanpa melakukan pendaftaran dulu seperti halnya

penyelenggara.
73

PBI E-Money mengatur pula tentang Layanan Keuangan Digital. Layanan

Keuangan Digital yang berikutnya disingkat LKD merupakan aktivitas layanan

jasa sistem pembayaran dan keuangan yang dilaksanakan dengan cara kerjasama

dengan pihak ketiga dan memakai media dan seperangkat teknologi berbasis

mobile ataupun berbasis web dalam rangka keuangan inklusif. LKD cuma bisa

dilaksanakan oleh Penerbit berupa Bank. 95

Mengenai penerbitan, Penerbit tidak diperbolehkan menerbitkan Uang

Elektronik dengan jumlah Uang Elektronik yang lebih kecil atau lebih besar dari

pada jumlah uang yang disetor pada Penerbit. Penerbit harus melaksanakan

pengelolaan dan/atau pembukuan jumlah uang elektronik diharuskan terpisah dari

pengelolaan dan/atau pembukuan jumlah yang sama rata dengan jumlah uang

lainnya (Pasal13). Penerbit tidak diperbolehkan menetapkan minimum, menahan

atau memblokir secara sepihak nilai uang elektronik, memakai biaya akhir

pemakaian uang elektronik (Pasal 13A).

3. Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia

a. Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik

Salah satu perlindungan konsumen yang diatur dalam UU ITE

adalah mengenai perlindungan data pribadi. UU ITE mewajibkan

pemakaian tiap-tiap informasi dari sarana elektronik yang berkaitan

dengan data pribadi dari seorang, wajib dilaksanakan berdasarkan

persetujuan dari pihak terkait.

95
Ibid.., h. 61.
74

UU ITE juga mengharuskan tiap pelaku usaha yang melaksanakan

sistem elektronik wajib melaksanakan sistem yang aman dan handal, dan

juga tanggungjawab pada berjalannya sistem elektronik yang semestinya. 96

b. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia

Nomor 4 Tahun 2016 tentang Sistem Manajemen Pengamanan Informasi

Peraturan Menteri tersebut memuat aturan mengenai sistem

menejemen untuk keamanan informasi dengan menentukan batas-batas

istilah yang dipakai dalam peraturannya. Dalam materi pokok terdapat

beberapa ketegori sebagai berikut : Standar Sistem Manajemen

Pengamanan Informasi, Penerbitan Sertifikat, Standar Sistem Manajemen

Pengamanan Informasi, Sistem Elektronik, Penilaian Mandiri, Lembaga

Sertifikasi, Sertifikat Sistem Manajemen Pengamanan Informasi,

Pelaporan Hasil Sertifikasi, Pencabutan Sertifikat, Pembinaan,

Pengawasan, dan Ketentuan Sanksi.

c. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia

Nomor 20 Tahun 2016 mengenai Perlindungan Data Pribadi Dalam Sistem

Electronic.

Dalam Peraturan Menteri tersebut ditentukan mengenai

perlindungan data milik pribadi pada sistem elektronik dengan

menentukan batas-batas istilah yang dipakai dalam peraturannya.

Perlindungan Data Pribadi pada Sistem Electronic memuat perlindungan

pada pendapatan, perkumpulan, pengelolaan, menganalisa, menyimpan,

96
Ibid.., h. 62
75

penampilan, mengumumkan, mengirim, menyebarluaskan, dan

memusnahkan data pribadi. Semua itu diatur pada Bab II Peraturan

Menteri ini terkait Perlindungan.

Disamping hal tersebut, Permen ini menentukan pula mengenai

Hak Pemilik Data Pribadi, Kewajiban Penyelenggara Sistem Elektornik,

Peyelesaian Sengketa, Kewajiban Pengguna, Tugas Pemerintah dan

Masyarakat, Pengawasan, dan Sanksi Administratif. 97

d. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia

Nomor 5 Tahun 2016 mengenai Uji Coba Teknologi Telekomunikasi,

Informatika, Dan Penyiaran

Dalam Permen ini, uji coba dilakukan bertujuan melaksanakan

penelitian terkait aspek non teknis dan aspek teknis tentang pelaksanaan

informatica, telecomunikasi, dan penyiaran. Aspek teknis yakni dapat

mencakup cara kerja sistem, perakatan, dan perangkat-perangkat serta

aspek non teknis yakni mencakup bentuk bisnis pelaksanaan. Uji coba

dilaksanakan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika dan bisa

diperbantukan oleh pemegang keperluan terkait. Penyelenggaraan uji coba

ditetapkan dengan Keputusan Menteri. Uji coba bersifat tidak komersial

dan berbatas waktu.98

Dalam hal pelaksanaan pelayanan pinjam-meminjam berbasis teknologi

informasi wajib memiliki payung hukum sebagai dasar pelaksanaan pelayanan

pinjam-meminjam berbasis teknologi informasi tentunya berdasarkan syariah.

97
Ibid.., h. 63.
98
Ibid.., h. 64.
76

Sampai saat ini Otoritas Jasa Keuangan maupun Dewan Syariah Nasional Majelis

Ulama Indonesia belum menerbitkan peraturan atau fatwa terkait penyelenggaraan

pelayanan pinjam-meminjam berbasis technology information dan berdasarkan

syariah.

3.2. Potensi Risiko Financial Technology di Indonesia

Terdapat celah dan perbedaan yang luas diantara sistem syari’ah dan

sistem konvensional mengenai bermacam-macam bidang. Masyarakat lebih

percaya terkait keuangan mereka kepada lembaga keuangan dengan prinsip

syariah. Prinsip yang mendasar dalam melaksnaakan transaksi keuangan adalah

sejalan dengan al-hadis dan al-Quran. Pada intinya akad yang ada didalam Fintech

sepanjang masih sejalan dengan prinsip syariah maka hal itu tidak dilarang.

Disamping itu fintech memilih kepada salah satu asas muamalah yang lain yakni

an-taradhin yang artinya sama-sama ridho antar kedua belah pihak. Perlu

diperhatikan dengan cermat pula unsur-unsur syariah, sebagaimana yang

disampaikan al-Ghazali dalam hifz ad-din, hifz-an-nafs, hifz al-aql, hifz-annasl,

dan hifzal-mal. Dengan adanya fintech ini merupakan upaya untuk mempermudah

orang-orang dalam melakukan transaksi dan investasi yang menggunakan

landasan prinsip syariah. Prinsip syariah tersebut memuat aturan tentang tata cara

dan proses hingga pada tujuan akhir supaya bisa dilaksanakan dengan baik dan

benar. 99

99
Salman, A., & Nawaz, H. (2018). Islamic Financial System and Conventional Banking:
A Comparison. Arab Economic and Business Journal, 155-167.
77

Dewasa ini masalah yang sedang dialami oleh fintech berbasis syariah,

yakni mengenai bedanya akad yang digunakan. Beberapa jenis fintech yang sudah

diatur tentang prinsip syariahnya adalah jenis PeertoPeer Lending (pinjaman

berbasis teknologi), gerbang pembayaran (payment gateway), dan uang elektronik

(e-Money). Prinsip syariah yang terdapat ketentuan tentang fintech belum

memiliki kepastian hukumnya beberapa jenis fintech seperti crowdfunding,

market aggregator, risk and investment management belum mempunyai fatwa

syariahnya. Maka diperlukan kepastian hukum syariah yang diharuskan sejalan

dengan dinamika pertumbuhan technology.

Islamic Financial Service Board (IFSB) yang bertempat di Kuala Lumpur,

Malaysia melansir standar mengenai menejemen risiko terhadap materi keuangan

syariah yang pada dasarnya juga bisa dimanfaatkan oleh industri fintech syariah.

Standar yang dilansir pada tahun 2005 menguraikan adanya 6 (enam) risiko yang

memiliki potensi dihadapi oleh industri keuangan syariah diantaranya adalah

risiko kredit, risiko investasi berbasis ekuitas, risiko pasar, risiko likuiditas, risiko

tingkat bagi hasil, dan risiko operasional. Pada bagian akhir standar juga

diuraikan mengenai tugas Dewan Pengawas Syariah (DPS) sebagai pemberi

kontribusi dalam mengendalikan risiko tersebut.100

Risiko pembiayaan berkaitan dengan risiko potensi kegagalan pembiayaan

yang dilakukan oleh fintech syariah yang diakibatkan oleh kurangnya kecermatan

dalam hal pengelolaan dan dalam hal monitor terhadap pertumbuhan usaha atau

100
IFSB. (2005). Guiding Principles of Risk Management for Institutions ( Other Than
Insurance Institutions ) Offering Only Islamic Financial Services. In Islamic Financial Service
Board (Issue December). IFSB.
78

kemampuan bayar nasabah atau mitra usaha yang ada. Terlebih lagi pembiayaan

syariah mempunyai jenis yang tidak sama dengan perjanjian pinjaman

konvensional yang sekedar memakai satu sarana penelitian harga yakni tingkat

bunga (interest rate). Sementara pembiayaan syariah bisa menggunakan pola jual

beli, bagi hasil, dan sewa menyewa dimana masing-masing skema pembiayaan

memiliki potensi risiko sendiri-sendiri. Seperti pembiayaan murabahah

mempunyai risiko yang rendah dari pada mudharabah dikarenakan pembiayaan

murabahah memakai aturan margin dan harga pokok, sedangkan mudharabah

memakai pola bagi hasil dimana modal pokok kemungkinan tidak dikembalikan

dengan cara bertahap.101

Terdapat beberapa risiko yang mungkin terjadi pada fintech syariah, antara

lain :

1. Risiko investasi berbasis ekuitas merupakan risiko yang secara khusus

dialami dalam pelaksanaan akad mudharabah dan musyarakah dimana

kedua akad ini berorientasi pada pembiayaan dengan pola kerja sama dan

model bagi hasil baik dengan bagi pendapatan atau Profit or Loss Sharing

(PLS).

2. Risiko pasar adalah risiko yang mempunyai kaitan dengan kemampuan

adanya perbedaan harga yang disebabkan produk pembiayaan yang

disediakan oleh provider berkaitan dengan komoditas tertentu seperti

perbedaan harga produk (dalam transaksi murabahah), nilai tukar mata

101
Muhammad, R. (2019). Akuntansi Keuangan Syariah: Konsep dan Implementasi
PSAK Syariah. P3EI Press.
79

uang (jika melibatkan komoditas dengan harga berbasis valuta asing),

harga komoditas tertentu yang fluktuatif di pasar, dan perubahan nilai aset

tertentu. Dalam transaksi fintech syariah dengan pola P2P lending sangat

dimungkinkan terjadi potensi risiko semacam ini misalnya dengan pola

jual beli barang yang melibatkan komoditas tertentu dimana provider perlu

menyediakan barang yang dipesan oleh nasabah atau mitra dengan jangka

waktu tertentu hingga dimungkinkan adanya perbedaan harga yang

melenceng dari perencanaan penjual sedangkan akad telah ditandatangani

sebelum itu.

3. Risiko likuiditas merupakan risiko atas kemampuan entitas dalam

menjalankan kewajiban dalam durasi waktu yang pendek. Sementara

provider fintech syariah memiliki karakter yang tidak sama dengan

lembaga keuangan syariah sebagai contoh bank syariah dan asuransi

syariah yang menggunakan likuiditas untuk sebuah instrument yang

penting. Sementara provider fintech syariah menempati posisi yang mana

likuiditas tidak dijadikan aspek yang utama dalam bisnis yang dijalankan

sebab berdasarkan prinsip mereka sekedar menjadi perantara antara

nasabah dengan investor. Terkait hal itu, risiko paling besar akan

melempar beban pada investor sebagai pemegang dana. Namun demikian,

provider fintech syariah juga memerlukan cadangkan dana guna

membiayai kegiatan operasionalnya yang melibatkan SDM yang

mempunyai kemampuan kompetensi yang cukup tinggi sebab

berhubungan dengan penguasaan teknologi informasi.


80

4. Risiko bagi hasil adalah risiko yang akan dihadapi oleh investor yang

mana tingkat bagi hasil yang akan dihadapi memiliki kemungkinan jauh

dariketidakstabilan sebab bentuk pembiayaan yang dilaksanakan memakai

akad mudharabah atau musyarakah. Meskipun subtansi dalam transaksi di

fintech syariah adalah keterkaitan antara mitra usaha dan investor, tetapi

pfasilitator platform bertanggung jawab dalam melaksanakan pengontrolan

pada keberhasilan pembiayaan dan tingkat bagi hasil yang dihadapi oleh

investor. Konsekuensi yang akan dialami apabila investor menilai adanya

ketidakpuasan dengan proses transaksi yang disebabkan tingkat bagi hasil

yang didapat tidak sejalan dengan ekpektasi yang diperkirakan, maka akan

timbul risiko permindahan dana investasi (displaced commercial risk)

sehingga menyebabkan terjadi penurunan reputasi dari provider fintech

syariah. Risiko tersebut terjadi pula pada praktik diindustri perbankan

syariah meskipun melalui karakter penghimpunan dana yang berbeda.102

Mitigasi risiko yang dapat dilaksanakan yakni dengan melakukan

perhitungan bisnis di awal terkait dengan potensi usaha atau kemampuan

mitra usaha sehingga didapatkan tingkat bagi hasil yang optimal yang

mungkin diperoleh sehingga provider fintech syariah dapat menyediakan

penawaran yang mempunyai daya tarik bagi investor khususnya nisbah

bagi hasil atau estimasi margin/ujroh yang dapat disetorkan sebagai

investasi dalam jangka waktu tertentu.

102
Yusof, R. M., Bahlous, M., & Tursunov, H. (2015). Are profit sharing rates of
mudharabah account linked to interest rates? An investigation on Islamic banks in GCC
Countries. Jurnal Ekonomi Malaysia, 49(2), 77–86. https:// doi.org/10.17576/JEM-2015-4902-07.
81

5. Risiko operasional berhubungan dengan macam-macam risiko yang

memiliki potensiyang timbul karena sistem dan proses pemantauan

internal yang tidak berlangsung dengan stabil atau faktor eksternal,

sehingga menyebabkan kegagalan suatu proses atau aktivitas operasional

entitas keuangan syariah. Risiko operasional juga secara eksplisit ada

kaitannya dengan adanya tidak mematuhi kepatuhan syariah selama

aktivitas operasional baik dalam proses pengajuan pembiayaan, pembuatan

akad, termasuk pula implementasi dari macam-macam akad. Isu kepatuhan

syariah merupakan suatu yang mempunyai arti penting dalam materi

keuangan syariah sebagai contoh praktik dalam kegiatan fintech syariah

karena memasukkan akad-akad transaksi syariah dan stakeholder yang

mempunyai pengetahuan tentang hal-hal yang seharusnya

diimplementasikan dalam transaksi keuangan syariah. 103

Mitigasi risiko yang dapat dilaksanakan untuk meminimalisir

risiko ini antara lain: (a) membuat sistem dan prosedur monitoring

aktivitas dalam kerangka pengendalian internal baik aspek komersial

maupun kepatuhan syariah; (b) menjalankan fungsi pengendalian internal

dan kepatuhan syariah dengan adanya auditor internal dan DPS; dan (c)

melaksanakan efisiensi dan kegunaan dalam kelangsungan aktivitas

operasional dengan pembuatan rencana kinerja dan anggaran yang

memiliki kualitas tinggi dan cermat.

103
Todorof, M, 2018, Shariah-compliant FinTech in the banking industry. ERA Forum,
19(1), 1–17. https://doi.org /10.1007/s12027-018-0505-8.
82

3.3. Agunan dalam Financial Technology

Bidang Kelembagaan dan Humas Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama

Indonesia (AFPI) Tumbur Pardede mengatakan Otoritas Kepala Jasa Keuangan

(OJK) tidak mengatur soal bentuk aset yang bisa diagunkan ke perusahaan

fintech. Dengan demikian, masing-masing pelaku usaha memiliki kebebasan

menentukan apa-apa saja yang harus dijaminkan oleh calon peminjam. Dalam

Peraturan OJK (POJK) Nomor 77 Tahun 2016 mengenai Layanan Pinjam

Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi tidak diatur masalah agunan, jadi

dibebaskan kepada penyelenggara fintech.104

POJK Nomor 77-POJK.01-2016 lebih khususnya dalam pasal 19 dan pasal

20 yang mengatur mengenai perjanjian antara para pihak dalam fintech tidak

mengatur adanya jaminan kredit dalam perjanjian pinjam meminjam.

Sesungguhnya dalam peraturan ini telah muncul terkait pencantuman jika adanya

objek jaminan dalam dokumen elektronik yang disebutkan dalam Pasal 20 ayat

(2), tetapi tetap tidak dinyatakannya kewajiban jaminan kredit tersebut. Objek

jaminan inilah salah satu hal yang seharusnya dikembangkan oleh OJK terkait

bagaimana penggunaan objek jaminan dan bentuk dari objek jaminan tersebut

dalam bentuk regulasi agar terciptanya kepastian hukum atas resiko gagal

bayar. 105 Dalam hal terkait dengan akad yang memerlukan jaminan, maka ada

keharusan hadirnya Notaris dalam pembuatan akta jaminan.

104
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20191002092810-78-435951/fintech-p2p-
lending-izinkan-kekayaan-intelektual-jadi-agunan , 20 Juli 2021, 19.30
105
https://kliklegal.com/pencegahan-dan-penanggulangan-kehilangan-uang-kreditur-
dalam-siklus-peer-peer-lending-ailrc/ , 31 Juli 2021, 15.00
83

Adapun akta jaminan yang mempunyai kekuatan akta otentik adalah akta

jaminan fidusia dan pembuatan APHT. Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5

ayat (1) UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, “Pembebanan Benda

dengan Jaminan Fidusia dibuat dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia dan

merupakan akta Jaminan Fidusia.” Dalam pembuatan APHT, Menurut Pasal 1

ayat 5 Undang-Undang Hak Tanggungan, “Akta Pemberian Hak Tanggungan

adalah akta PPAT yang berisi pemberian Hak Tanggungan kepada kreditor

tertentu sebagai Jaminan untuk pelunasan utang.”

Khususnya dalam pembuatan akta notaris terkait adanya jaminan, maka

ada pengeculian tanpa harus ada kehadiran fisik dalam pembuatan akta yang

terdapat dalam Pasal 5 ayat (4) UU ITE yaitu mengecualikan akta notaris dalam

konteks dokumen elektronik sebagai alat bukti sah.

3.4. Kekuatan Pembuktian Akta Otentik dan Akta di Bawah Tangan

R. Subekti berpendapat bahwa pembuktian adalah hal yang dapat

meyakinkan hakim mengenai kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan

dalam suatu persengketaan.106 Riduan Syahrani berpendapat bahwa pembuktian

adalah hal yang digunakan sebagai penyediaan alat-alat bukti yang sah menurut

hukum pada hakim yang melakukan pemeriksaan terhadap suatu perkara untuk

memberikan kepastian mengenai kebenaran perkara yang dikemukakan.107

106
R. Subekti, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramitha, Jakarta, 2004, hlm. 83.
107
Riduan Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, Jakarta: Citra Aditya
Bakti, 2004.
84

Sedangkan Hasbie As Shiddieqie mengatakan, pembuktian itu adalah segala yang

dapat menampakkan kebenaran, baik ia merupakan saksi atau sesuatu yang lain. 108

Didalam Hukum Acara Perdata, alat-alat bukti sah atau yang telah diakui

oleh hukum salah satunya adalah alat bukti tulisan. Pembuktian dalam bentuk

tulisan dilaksanakan menggunakan tulisan otentik ataupun tulisan-tulisan dibawah

tangan. Tulisan-tulisan otentik dalam bentuk akta otentik yang disusun kedalam

bentuk yang telah diatur oleh undang-undang, disusun berhadapan dengan pejabat

umum yang mempunyai kewenangan atas itu dan di lakukan ditempat akta itu

dibuat.109

Berkaitan dengan pengertian akta, menurut hukum Romawi akta dianggap

sebagai gesta atau instrumentta forenssia, dianggap pula sebagai publicca

monumentta atau akta publicca. Akta-akta itu disusun oleh pejabat publik. Melalui

beberapa istilah tersebut selanjutnya timbul istilah publicaree dan insinuarri, acctis

inserii, yang dapat diartikan untuk mendaftarkan secara publik.110

Menurut A.Pitlo akta itu sebagai surat-surat yang ditanda tangani, disusun

dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat bukti, dan dipergunakan oleh orang,

untuk kebutuhan siapa akta tersebut disusun. Kemudian menurut Sudikno Merto

kusumo akta merupakan surat yang ditandatangani, yang mencakup peristiwa atau

108
Hasbie As Shiddieqie, Filsafah Hukum Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1970, hlm.139.
109
Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia; Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun
2004 Tentang Jabatan Notaris, Refika Aditama, Bandung, 2009),hlm.120.
110
Muhammad Adam,Ilmu Pengetahuan Notariat, Sinar Baru, Bandung, 1985, hlm.252.
85

kronologi tertentu, yang menjadi landasan dari suatu perjanjian atau perikatan,

yang disusun sejak awal untuk pembuktian dengan unsur kesengajaan. 111

Pasal 1867 KUH Perdata menguraikan mengenai alat bukti melalui tulisan

dilangsungkan melalui akta autentik maupun dengan akta dibawah tangan. Makna

dari pasal tersebut dapat dibedakan antara akta autentik dan akta dibawah tangan

sebagai berikut :

a. Akta otentik

Mengenai akta otentik diatur dalam Pasal 165 HIR, yang bersamaan

bunyinya dengan Pasal 285 Rbg, bahwa akta otentik merupakan akta yang

disusun oleh dan atau di hadapan pejabat yang mempunyai kewenangan atas

itu, dan juga merupakan bukti yang komplit antara para pihak.112

Pasal 165 HIR dan Pasal 285 Rbg mencakup penjelasan dan kekuatan

pembuktian akta otentik sekaligus. Pengertian akta otentik dapat ditemui juga

dalam Pasal 1868 KUHPerdata, pasal tersebut menjelaskan bahwa suatu akta

otentik merupakan akta yang berbentuk sesuai dengan ketentuan dalam

undang-undang terkait, disusun oleh atau dihadapan pejabat umum yang

mempunyai kuasa atas itu dilokasi pembuatan akta tersebut. Akta yang disusun

dihadapan atau oleh notaris sebagai akta otentik menurut bentuknya dan tata

caranya telah diatur dalam UUJN.

111
Daeng Naja, Teknik Pembuatan Akta, Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2012, hlm. 1.
112
G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Jakarta: Erlangga, 1996, hlm.42.
86

Tan Thong Kie menguraikan beberapa deskripsi tentang penjelasan akta

dan akta otentik yaitu: 113

1. Bedanya tulisan dan akta terdapat pada tandatangan yang ada dibawah

tulisan.

2. Pasal 1874 ayat 1 KUHPerdata menjelaskan tentang tulisan di bawah

tangan merupakan akta dibawah tangan, surat, registrasi atau pendaftaran,

dan tulisan-tulisan lainnya yang disusun tanpa perantara pejabat umum.

3. Pasal 1867 KUHPerdata kemudian menjelaskan tentang akta otentik dan

tulisan di bawahtangan dinilai sebagai bukti yang tertulis.

Pasal 38 UUJN yang menentukan tentang Sifat dan Bentuk Akta.

Dalam Pasal 1 angka 7 UUJN menjelaskan bahwa akta Notaris merupakan

akta otentik yang disusun oleh atau dihadapan Notaris sesuai dengan bentuk

dan mekanisme yang ditentukan didalam UUJN, dan secara tidak langsung

dalam Pasal 58 ayat (2) UUJN dijelaskan bahwa Notaris harus menyusun

Daftar Akta dan mencatat setiap akta yang disusun oleh atau dihadapan

Notaris.

b. Akta dibawah tangan

Selain akta otentik, terdapat akta lainnya yang disebut sebagai akta

dibawahtangan, yakni akta yang disusun oleh pihak yang berkepentingan untuk

alat bukti tanpa dibantu dari pejabat pembuat akta. Artinya adalah akta

dibawah tangan atau onderhands acte merupakan akta yang disusun tanpa 6

113
Tan Thong Kie, Studi Notariat, Beberapa Mata Pelajaran dan Serba-Serbi praktek
notaris, Buku I, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, cet. ke-2, 2000, hlm.14.
87

(enam) perantaraan seseorang pejabat umum, melainkan dibuat dan ditanda

tangani oleh pihak yang mengadakan perjanjian.114 Sudikno Mertokusumo

berpendapat bahwa akta dibawahtangan merupakan akta yang disusun sebagai

alat bukti oleh pihak-pihak yang berkepentingan dan tidak menggunakan

bantuan dari seorang pejabat. Artinya seolah-olah disusun antara para pihak

berkepentingan. 115

Yang termasuk kategori akta dibawah tangan yaitu sebagai berikut :

1) Legalisasi adalah akta dibawahtangan yang belum ditandatangani,

diberikan kepada Notaris dan berhadapan dengan Notaris, ditandatangani

oleh pihak-pihak yang berkepentingan, ketika isi akta sudah dijelaskan

oleh Notaris pada pihak-pihak tersebut. Tanda tangan dilangsungkan

dihadapan yang melakukan legalisasi.

2) Waarmerking adalah akta dibawahtangan yang dilakukan pendaftaran

untuk memastikan tanggal. Akta yang telah ditandatangani diserahkan

pada Notaris supaya dilakukan pendaftaran dan diberi kepastian tanggal.

Tidak dijelaskan tentang siapa yang melakukan tandatangan dan apakah

proses tandatangan mencermati isi daria akta tersebut. Hanya memiliki

tanggal yang pasti dan tidak ada kepastian tanda tangan.

Telah disebut bahwa akta dapat dibedakan dalam akta dibawah tangan

dan akta otentik, maka akta dibawah tangan merupakan akta yang memang

direncanakan dilakukan pembuatan untuk pembuktian oleh pihak-pihak dan

114
R. Soeroso., Perjanjian Di Bawah Tangan Pedoman Praktis Pembuatan dan Aplikasi
Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, 2010, hlm.8.
115
Sudikno Mertokusumo, Op Cit, h. 125.
88

tidak dibantu oleh pejabat lain. Tidak sama halnya dengan akta otentik yang

merupakan alat bukti sempurna. Undang-undang menentukan terkait akta

dibawahtangan dapat diartikan sebagai alat bukti yang komplit selama

tandatangan di dalam akta itu keasliannya telah diakui.

Akta yang disusun oleh atau dihadapan pejabat umum menjadi akta

dibawah tangan, apabila pejabat tersebut tidak mempunyai kewenangan yang

tujuannya menyusun akta itu jika timbul adanya cacat pada akta tersebut, yang

mana hal tersebut diuraikan pada Pasal 1869 KUHPerdata bahwa akta, yang

pegawai yang dimaksud tidak cakap atau karena cacat dalam hal bentuknya,

maka tidak bisa dianggap menjadi akta otentik, tetapi memiliki kekuatan

sebagai akta dibawahtangan.

Dari ketentuan pasal 1878 KUHPerdata secara khusus akta dibawah

tangan, yakni akta diharuskan penulisannya dengan tangan oleh pihak yang

bertandatangan sendiri, atau setidaknya selain tandatangan yang wajib ditulis

dengan pihak-pihak merupakan suatu yang mencakup nilai atau jumlah barang

yang terhutang. Dengan pengecualian ini dimaksudkan bahwa jika

persyaratannya tidak bisa dipenuhi, maka akta itu sekedar menjadi suatu

permulaan dari pembuktian dengan tulisan. Permulaan pembuktian tulisan

menurut pasal 1902 KUHPerdata yakni semua akta tertulis, yang bersumber

dari pihak-pihak kepada siapa tuntutan diajukan atau dari pihak-pihak yang

diwakilinya, dan yang berprasangka tentang kebenaran peristiwa-peristiwa

yang diajukan oleh pihak tersebut. Jadi, dalam halnya adanya pengecualian dari
89

akta dibawah tangan tersebut, maka untuk menjadi bukti yang lengkap harus

ditambah dengan alat-alat pembuktian lainnya.

Dengan demikian, dapat diketahui bahwa perbedaan yang khusus antara

akta otentik dengan akta dibawahtangan yakni mekanisme pembuatan/terjadinya

atas akta itu. Akta otentik cara pembuatannya oleh dan/atau dihadapan pegawai

umum, sedangkan akta dibawahtangan cara pembuatan tidak dilaksanakan oleh

dan/atau dihadapan pegawai umum, namun hanya oleh para pihak yang memiliki

kepentingan. Tugas Notaris sebagai pejabat umum tidak dibatasi untuk pembuatan

akta otentik namun ditugaskan pula untuk melaksanakan pendaftaran dan

melaksanakan pengesahan surat-surat dibawahtangan, melakukan nasehat hukum

dan penguraian dari ketentuan undang-undang terhadap pihak-pihak yang

bersangkutan.

Tujuan dari pembuatan akta adalah untuk dipergunakan sebagai alat bukti,

berkaitan dengan akta-akta yang disusun oleh Notaris, berdasarkan ketentuan

dalam Peraturan Jabatan Notaris (ordonansi staatblad 1860, Nomor 3 yang sudah

berlaku tanggal 1 juli 1860), Pasal 1 menyatakan bahwa Notaris merupakan

pejabat umum yang diberikan kewenangan untuk menyusun akta otentik tentang

semua perbuatan perjanjian dan penetapan yang diwajibkan oleh aturan umum

atau oleh yang mempunyai kepentingan berkehendak untuk menyatakan dalam

suatu akta otentik, tanggalnya sudah terjamin kepastiannya, menyimpan akta dan
90

memberikan grosse akta, salinan dan kutipannya, semua selama pembuatan akta

tersebut oleh aturan umum tidak dikecualikan pada pejabat atau orang lain. 116

Penggunaan perkataan satu-satunya dalam Pasal 1 dari Peraturan Jabatan

Notaris dimaksudkan untuk memberi ketegasam bahwa Notaris adalah satu-

satunya yang memiliki kewenangan atas itu, bukan pejabat lain, semua pejabat

yang lain hanya memangku jabatan tertentu saja. Artinya kewenangan pejabat lain

tersebut bukan melakukan pembuatan akta otentik yang dengan tegas diberikan

tugas kepada Notaris oleh undang-undang. Itulah sebabnya apabila didalam suatu

perundang-undangan untuk suatu perbuatan hukum harus menggunakan akta

otentik, kecuali telah ditentukan secara tegas bahwa selain Notaris, pejabat umum

lainnya turut berwenang atau sebagai satu-satunya berwenang untuk itu.117

Meskipun Peraturan Jabatan Notaris berdasarkan suatu Reglement, namun

reglement tersebut tidak perlu dipertentangkan apakah reglement itu mempunyai

kekuatan yang sama dengan wet atau perundang-undangan, sebab didalam

perkembangannya pada tahun 1954 telah diundangkan Undang-Undang Nomor 34

tahun 1954 mengenai Wakil Notaris dan Wakil Sementara Notaris, sehingga

jabatan Notaris telah eksis sebagai pejabat umum dalam pembuatan akta

otentik.118

Dalam penyelenggaraan penyusunan akta yang disusun dihadapannya,

Notaris sekedar memenuhi keinginan para pihak yang menghadap berdasar data-

116
G.H.S.Lumban Tobing, 1999, Peraturan Jabatan Notaris, Penerbit Erlangga. Jakarta.
hlm.40.
117
Ibid, h. 45
118
Irawan Soeroredjo, Makalah Pembuatan Akta Tanah Sebagai Profesi, Pusat
Pengkajian Hukum, Newsletter Nomor.29/juni/1997, hlm.13.
91

data yang disampaikan kepada kepadanya. Dalam hal apabila para pihak yang

melakukan tanda tangan surat perjanjian tersebut mengaku dan tidak menentang

tandatangannya, tidak menentang isi dan apa yang telah ditulis didalam surat

tersebut, maka akta dibawahtangan memiliki kekuatan pembuktian yang setara

dengan kekuatan pembuktian akta otentik.

Fungsi akta yang paling penting di dalam hukum adalah akta sebagai alat

pembuktian, maka daya pembuktian atau kekuatan pembuktian akta dapat

dibedakan ke dalam tiga macam yaitu :119

a. Kekuatan Pembuktian Lahir

Kekuatan pembuktian lahir merupakan kekuatan pembuktian yang

berlandaskan kondisi lahirnya dari akta tersebut, maksudnya adalah bahwa

suatu surat yang terlihat seperti akta, seharusnya diberlakukan layaknya akta,

hingga dilakukan pembuktian sebaliknya.

Akta otentik memiliki kekuatan pembuktian lahir, sejalan dengan asas

“actaa publicca probantt sesseipsa”, yang artinya bahwa akta yang lahir sebagai

akta otentik, serta syarat-syarat yang ditentukan telah terpenuhi, maka akta itu

wajib dikatakan sebagai akta otentik, terkecuali apabila bisa dilakukan

pembuktian sebaliknya.

Beda dengan akta otentik yang disusun oleh atau dihadapan pejabat, yang

mana tandatangan pejabat tersebut adalah jaminan otentisitas dari akta tersebut,

oleh karena akta tersebut memiliki kekuatan pembuktian lahir, maka akta

dibawahtangan tidak memiliki kekuatan pembuktian lahir. Hal demikian

119
Teguh Samudera, Hukum Pembuktian Dalam Acara Perdata, Bandung: Alumni, 2004,
hlm..47.
92

artinya bahwa akta dibawahtangan dapat dikatakan sah jika yang melakukan

tandatangan mengaku kebenaran dari tandatangannya tersebut, maksudnya

adalah jika tandatangan sudah diakui kebenarannya oleh yang berkepentingan,

maka akta tersebut dapat diberlakukan sebagai pembuktian yang sempurna

bagi pihak-pihak yang berkepentingan.

b. Kekuatan Pembuktian Formal

Yang dimaksudkan dengan kekuatan pembuktian formal dari akta yaitu

suata kekuatan pembuktian yang berlandaskan benar atau tidaknya pernyataan

yang ditandatangani dalam akta,bahwa oleh penanda tangan akta diterangkan

apa yang terdapat dalam akta. Pembuktiannya bersumber atas kebiasaan dalam

masyarakat, bahwa orang yang menandatangani suatu surat itu untuk

menerangkan bahwa hal-hal yang tercantum diatas tanda tangan tersebut

adalah keterangannya.

c. Kekuatan Pembuktian Materil

Kekuatan pembuktian materil akta yaitu suatu kekuatan pembuktian yang

berlandaskan benar atau tidaknya isi dari pernyataan yang ditandatangani

dalam akta, bahwa perkara hukum yang ditentukan dalam akta tersebut benar

telah terjadi. Jadi,kepastian tentang materi akta. Pembuktiannya bersumber

pada kehendak agar orang lain yang menilai bahwa isi keterangan itu berlaku,

sebagai benar dan persetujuan sebagai pengadaan alat bukti untuk dirinya

sendiri. Kekuatan pembuktian materil, suatu akta hanya memberikan bukti

terhadap si penanda tangan. Seperti halnya suatu surat yang berlaku balik juga

membuktikan terhadap dirinya sendiri dari masing-maing si penanda tangan.


93

Perbedaan antara akta otentik dengan akta dibawahtangan, yakni : 120

1. Akta Otentik – Pasal 1868 KUHPerdata

a. Akta otentik disusun sesuai dengan yang ditetapkan oleh undang-

undang;

b. Akta otentik memiliki tanggal yang sudah mempunyai kepastian

c. Wajib disusun oleh dan/atau dihadapan pejabat umum yang

mempunyai kewenangan

d. Grosse akta otentik memiliki kekuatan eksekutorial sebagai contoh

putusan hakim. Yang lebih utama terkait waktu, tanggal penyusunan,

isi perjanjian, proses tanda tangan, tempat penyusunan dan landasan

hukumnya.

e. Akta otektik hilang, kemungkinannya sangat kecil.

2. Akta dibawah tangan

a. Akta di bawah tangan tidak mempunyai keterikatan bentuk formal,

namun bebas;

b. Bisa disusun bebas oleh tiap-tiap subjek hukum yang memiliki

kepentingan;

c. Tanggal dari akta yang disusun dibawahtangan tidak memungkinankan

akta yang disusun dibawahtangan tidak pernah memiliki kekuatan

eksekutorial;

d. Hilangnya akta yang dibuat di bawah tangan lebih besar

kemungkinannya;

120
Otong Satyagraha, Aspek Hukum Kekuatan Pembuktian Akta Otentik Di Pengadilan,
Tesis Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 2016, hlm. 40 – 41.
94

e. Jika proses tanda tangan diakui oleh para pihak yang melakukan tanda

tangan akta atau tidak menentang kebenarannya, akta itu sama dengan

akta otentik.

3.5. Peran Notaris Terhadap Financial Technology Dalam Akad Syariah

Dalam memformulasikan isi atau membuat kerangka akta yang

dikehendaki para pihak, Notaris wajib menerapkan amanat UUJN mengenai

kewenangan dan kewajiban Notaris. Kewenangan Notaris ketentuannya terdapat

dalam Pasal 15 dari ayat (1) sampai dengan ayat (3) UUJN, yang bisa

digolongkan menjadi 3 (tiga), yakni :

a. Kewenangan Umum Notaris

Pasal 15 ayat(1) UUJN menjelaskan bahwa salahsatu kewenangan

Notaris yakni menyusun akta secara umum, hal tersebut dapat dikatakan

sebagai kewenangan umum dari Notaris, batasannya selama tidak

dikecualikan pada pejabat lain yang ditentukan dalam undang-undang.

Menyangkut akta yang wajib disusun atau mempunyai kewenangan

menyusun akta autentik tentang semua prilaku, perikatan, dan ketentuan yang

diwajibkan oleh peraturan hukum atau diharapkan oleh yang berkepentingan.

Serta tentang subjek hukum (perorangan ataupun badan hukum) untuk

keperluan siapa akta tersebut disusun atau diharapkan oleh yang

berkepentingan. 121

Menurut Pasal 15 ayat(1) menjelaskan tentang kewenangan yang

dimiliki Notaris adalah menyusun akta, bukan menyusun sebuah surat,

121
Habib Adjie, 2007, op.cit, h.78.
95

sebagai contoh Surat Kuasa Membebankann Hak Tangggungan (SKMHT)

atau menyusun surat lainnya, sebagai contoh Surat Keterangan Wariss

(SKW). Ada macam-macam akta autentik yang termasuk pula kewenangan

Notaris dan termasuk pula kewenangan pejabat atau instasi lain, seperti akta

pengakua anak di luar kawin, akte berita acara mengenai kealpaan pejabat

yang menyimpan hipotik, dan akte berita acara mengenai penawarann

pembayaran konsinyasi dan tunai, akta proteswesel dan cek, Surat Kuasa

Membebankan Hak Tangggungan (SKMHT), dan membuat akta risalah

lelang. 122

Mengingat kewenangan yang terdapat pada Notaris yang mana telah

disebutkan dalam Pasal15 UUJN dan kekuatan pembuktian dalam akta

Notaris, maka dapat disimpulkan menjadi ada 2 (dua) kesimpulan. Pertama,

tugas dan jabatan Notaris merupakan menyusun kehendak/perbuatan para

pihak kedalam akta autentik, serta mencermati ketentuan hukum yang

berlaku. Kedua, akta Notaris merupakan akta autentik yang memiliki

kekuatan pembuktian yang terbaik, sehingga tidak diperlukan dilakukan

pembuktian atau ditambahi menggunakan pembuktian lain. Apabila terdapat

pihak-pihak yang menganggap bahwa akta itu tidak dapat dibenarkan, maka

pihak-pihak yang menganggap bahwa akta itu harus melakukan pembuktian,

penilaian atau pernyataan yang sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku.

122
Ibid, h. 78 - 80.
96

Kekuatan pembuktian akta Notaris berkaitan dengan sifat publik melalui

jabatan Notaris. 123

b. Kewenangan Khusus Notaris.

Kewenangan khusus Notaris dimaksudkan pada ketentuan Pasal15

ayat (2) yang menjelaskan tentang wewenang khusus bagi Notaris guna

melaksanakan perbuatan hukum tertentu. Sebagai contoh menentukan sahnya

tandatangan dan menentukan tanggal yang pasti atas surat dibawahtangan

Mencatatkan surat-surat dibawahtangan melalui pendaftaran pada buku

khusus. Membuat copy dari keaslian surat dibawahtangan dalam bentuk

salinan yang berisi uraian yang dituliskan dan digambar dalam surat yang

bersangkutan. Melaksanakan pengecekan sahnya kesesuaian fotocopy dari

surat yang asli, mengadakan penyuluhan hukum berkaitan dengan

penyusunan akta, menyusun akta yang berhubungan dengan pertanahan, dan

membuat akta risalah lelang. 124

Terdapat wewenang khusus Notaris yang lain selain yang disebutkan

diatas, yakni menyusun akta berupa InOriginali, yakni akta yang dalam

bentuk pembayaran uang sewa, bungga dan pensiun. Kemudian akta

penawaran pembayaran tunai, akta prottes pada kelalaian tidak membayar

atau tidak diterima terkait surat berharga, akta kuasa, keterangan kepemilikan,

atau akta lain berlandaskan aturan undang-undang. Notaris memiliki

wewenang khusus yang lain sebagai contoh mempunyai kewenangan untuk

123
Ibid, h. 80 – 81.
124
Ibid, h. 81-82.
97

membenarkan jika terjadi salah tulis atau salah pengetikan yang ada didalam

Minuta akta yang sudha ditandatangani dengan menyusun Berita Acara

Pembenaran, dan Salinan atas Berita Acara Pembenaran itu Notaris harus

menjelaskannya pada pihak-pihak yang hadir. 125

c. Kewenangan Notaris yang Akan Ditentukan Kemudian

Pasal15 ayat (3) UUJN adalah kewenangan yang akan diatur

kemudian berdasarkan pada peraturan hukum lain yang akan hadir

dikemudian (ius constituendum). Berhubungan dengan kewenangan itu,

apabila Notaris melaksanakan perbuatan diluar kewenangan yang sudah

ditentukan, maka Notaris sudah melaksanakan perbuatan diluar

kewenangannya. Maka akta Notaris itu tidak mempunyai ikatan secara

hukum atau tidak bisa dilaksanakan. Pihak-pihak yang menganggap dirugikan

oleh perbuatan Notaris diluar kewenangannya, maka Notaris bisa digugat

perdata kePengadilan Negeri.

Wewenang Notaris yang akan diatur dikemudian, adalah

kewenangan yang akan hadir dan ditentukan berdasarkan peraturan

perundang-undangan. Dalam hal ini perlu diberikan betas an mengenaii

peraturan perundang-undangan, yang dimaksud batasan peraturan perundang-

undangan adalah bahwa semua aturan yang memiliki sifat terikat secara

125
Ibid.
98

umum yang dihadirkan oleh Badan Perwakilan Rakyaat dengan Pemerintah

dalam ditingkat pusat maupun tingkat daerah. 126

Berdasarkan uraian diatas, bahwa wewenang Notaris yang akan

diatur dikemudian, dalam peraturan undang-undangan yang dibuat oleh

Lembaga Negara atau Pejabat Negara yang memiliki kewenangan atau

terikat secara umum, dengan batas-batas seperti ini maka aturan undang-

undangan yang dimaksudkan harus dalam bentuk undang-undang (bukan

dibawah undang-undang). Jika ingin menambah kewenangan Notaris, bukan

dengan cara menambahkan wewenang Notaris berdasarkan undang-undang

saja, karena hal tersebut telah dicakup dalam kewenangan umum Notaris.

Tetapi bisa juga dilakukan untuk mewajibkan agar tindakan hukum tertentu

wajib disusun melalui akta Notaris, contohnya dalam pendirian partai politik

wajib dibuat dengan akta Notaris.127

Menurut G.H.S. Lumban Tobing, Wewenang Notaris meliputi 4

(empat) hal, yaitu : 128

a. Notaris diharuskan memiliki kewenangan atas hal-hal yang bersangkutan

dengan akta yang dibuatnya. Yang dimaksud adalah bahwa tidak semua akta

boleh disusun oleh Notaris. Akta-akta yang boleh disusun oleh Notaris hanya

akta tertentu yang dikecualikan bagi Notaris berdasar pada aturan undang-

undang.

126
Ibid. h. 83.
127
Ibid.
128
G.H.S. Lumban Tobing. Peraturan Jabatan Notaris. Cet. II, Erlangga, Jakarta, 1983,
hlm. 15.
99

b. Notaris wajib memiliki kewenangan selama menyangkut pihak-pihak yang

berkepentingan tas pembuatan akta tersebut. Yang dimaksud adalah Notaris

tidak mempunyai kewenangan untuk menyusun akta untuk keperluan semua

pihak. Sebagai contoh Notaris tidak dipebolehkan menyusun akta bagi dirinya

sendiri, suami atau istri, orang-orang yang memiliki iikatan keluarga dengan

Notaris, baik dikarenakan perkawinan ataupun ikatan darah dalam garis

keturunan lurus keatas atau kebawah tanpa dibatasi oleh derajat, dan dalam

garis kesamping hingga derajat ketiga, serta menjadi pihak bagi dirinya

sendiri, maupun didalam suatu kondisi ataupun dengan perantara kuasa.

Pelanggaran pada aturan itu mengakibatkan akta Notaris tidak lagi disebutkan

sebagai akta autentik, tapi sekedar sebagai akta dibawahtangan.

c. Notaris wajib memiliki kewenangan terkait lokasi pembuatan akta itu. Yang

dimaksud adalah untuk Notaris-notaris ditetapkan daerah jabatan sesuai

dengan lokasi kedudukannya. Maka dari itu Notaris memiliki kewenangan

menyusun akta yang terdapat didalam wilayah jabatan Notaris. Akta yang

disusun diluar daerah jabatan notaris hanya berkedudukan layaknya akta

dibawahtangan.

d. Notaris wajib memiliki kewenangan mengenai waktu akta tersebut dibuat.

Yang dimaksud adalah Notaris tidak diperbolehkan menyusun akta dalam

masa cuti dan/atau dipecat dari jabatan. Demikian pula Notaris tidak memiliki

kewenangan menyusun akta sebelum memperoleh Surat Pengangkatan (SK)

dan sebelum melakukan sumpah jabatan.


100

Jika salahsatu syarat-syarat kewenangan tidak dapat dipenuhi maka akta

yang disusun dan berhadapan dengan Notaris tidak mempunyai status sebagai akta

autentik dan sekedar memiliki kekuatan pembuktian layaknya akta dibawahtangan

jika akta tersebut ditandatangani para pihak yang menghadap. Notaris dalam

menjalankan tugas jabatannya selain diberikan wewenang, diharuskan juga taat

kepada kewajiban yang diatur oleh UUJN dan Kode Etik Notaris serta diwajibkan

untuk menghindari larangan-larangan dalam menjalankan jabatannya tersebut.

Dalam berbagai literatur dinyatakan bahwa wewenang yang berasal dari

aturan undang-undang bisa didapatkan dengan tiga cara yakni atribusi, delegasi,

dan mandate yang pengertiannya masing-masing antara lain :

1. Atribusi merupakan pelimpahan kewenangan pemerintah dari pembuat

undang-undang kepada organ pemerintahan, dengan arti lain adalah wewenang

atributif digariskan atau berasal dari adanya pembagian kekuasaan Negara oleh

UUD 1945. Wewenang secara atributif adalah kewenangan yang asalnya dari

undang-undang. Pengertian lain untuk wewenang atributif pendapat Lutfi

Effendi adalah wewenang yang tidak dapat terbagi bagi siapa pun. Dalam

kewenangan atributif pelaksanaannya dilakukan oleh pejabat dan terdapat

dalam aturan dasar. Pada kewenangan atribusi tentang tanggungjawab dan

tanggungggugatnya ada pada pejabat atau badan yang mana telah ada dalam

aturan dasar.

2. Delegasi adalah penyerahan kewenangan dari satu organ pemerintahan pada

organ pemerintah yang lainnya. Pada kewenangan delegasi ini, berkaitan


101

dengan tanggungjawab dan tanggunggugatnya berpindah pada yang diberi

limpahan wewenang tersebut (delegataris).

3. Mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya

dijalankan oleh organ lain atas namanya. Kewenangan mandate adalah

wewenang yang berasal dari mekanisme pelimpahan atau badan-badan yang

lebih tinggi pada pejabat atau badan-badan yang lebih rendah.

Benang merah dari ketiganya bahwa suatu atribusi menunjukkan pada

wewenang yang asli berdasarkan konstitusi atau ketentuan hukum tata Negara.

Pada kewenangan delegasi harus ditegaskan penyerahan kewenangan pada organ

pemerintah yang lainnya. Sedangkan pada kewenangan atas dasar mandate tidak

terdapat penyerahan apa pun dalam arti penyerahan kewenangan, tetapi pejabat

yang diberikan mandat berperan atasnama pemberi mandat.

Kewenangan yang sah dapat pula dilihat dari segi batas kewenangan,

dalam arti suatu kewenangan itu dibatasi oleh isi/materi, wilayah dan waktu.

Cacat dalam aspek-aspek tersebut menimbulkan cacat kewenangan. Dengan

demikian bila dilihat dari segi batas kewenangan maka terdapat :

1. Kewenangan absolut, yakni kewenangan berdasar atas materi/isi dari

wewenang yang dimaksud atau kewenangan tersebut tentang objek apa.

2. Kewenangan relatif, yakni kewenangan berdasarkan atas wilayah hukum atau

lokasi dimana kewenangan tersebut dapat dilakukan secara operasional.

3. Kewenangan temporis, yakni kewenangan berdasar atas waktu atau kapan

kewenangan tersebut dilakukan. Dalam kewenangan temporis ini akan terlihat

masa berlakunya suatu kewenangan.


102

Berdasarkan teori kewenangan tersebut, notaris mendapatkan kewenangan

dari undang-undangan atau secara atributif. Atribusi merupakan penyerahan

kewenangan pemerintah oleh penyusun undang-undang kepada organ

pemerintahan, kewenangan atributif digariskan atau berasal dari adanya

pembagian kekuasaan Negara oleh UUD 1945. Wewenang secara atributif adalah

wewenang yang bersumber dari undang-undang.

Sebagai Jabatan dan Profesi yang terhormat, Notaris memiliki kewajiban

yang wajib dilakukan baik berdasar pada aturan dalam undang-undang yang

mengatur tentang Notaris, yakni UUJN ataupun aturan undang-undang lain yang

wajib dipatuhi oleh Notaris. Notaris diangkat untuk keperluan publik.

Kewenangan dari Notaris dilimpahkan oleh perundang-undangan untuk keperluan

publik dan tidak untuk keperluan dirinya sendiri. Maka dari itu kewajiban Notaris

merupakan kewajiban jabatannya.

Menurut UUJN, dalam melaksanakan jabatan, Notaris memiliki keharusan

yang wajib dilakukan, kewajiban Notaris ditentukan dalam Pasal16, yakni :

a. berperilaku jujur, seksama, tidak berpihak, mandiri, dan menjaga

keperluan pihak-pihak yang mempunyai keterkaitan atas tindakan hukum;

b. menyusun akta berupa Minuta dan menyimpan akta tersebut menjadi

bagian dari Protokol Notaris;

c. membuat Grosse Akta, Salinan Akta, dan Kutipan Akta yang berdasar

pada Minuta Akta;

d. menyediakan layanan berdasarkan pada aturan dalam undang-undang,

kecuali terdapat alasan untuk menolak;


103

e. menjaga kerahasiaan atas sesuatu tentang akta yang disusun dan semua

keterangan yang didapatkan untuk membuat akta berdasarkan sumpah/

janji jabatan, kecuali undang-undang mengatur lain;

f. melakukan penjilidan akta yang dibuat dalam satu bulan menjadi buku

yang berisi tidak lebih dari lima puluh akta, dan apabila akta berjumlah

tidak bisa menjadi satu buku, maka akta titu bisa dijilid menjadi lebih dari

satu buku, dan menulis jumlah Minuta Akta, bulan, dan tahun

penyusunannya pada sampul disetiap bukunya;

g. menyusun daftar dari akta protes yang tidak dibayar atau tidak diterima

surat berharganya;

h. menyusun daftar akta yang berkaitan dengan wasiat berdasarkan urutan

saat penyusunan akta disetiap bulannya;

i. mengirim daftar akta yang mana dimaksud dalam huruf “h” atau daftar

nihil yang berkaitan dengan wasiat ke Daftar Pusat Wasiat Departemen

yang peran dan tanggungjawabnya dibidang kenotariatan dalam jangka

waktu lima hari dalam minggu pertama disetiap bulan berikutnya;

j. menuliskan dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat disetiap

akhirbulan;

k. memiliki stempel yang mencakup lambang negara Republik Indonesia dan

pada garis yang melingkari ditulis nama, jabatan, dan wilayah kedudukan

Notaris;
104

l. membaca akta didepan para penghadap dan disaksikan paling sedikit dua

orang saksi dan ditandatangani pada waktu itu juga oleh para penghadap,

saksi, dan Notaris;

m. menerima magang calon Notaris.

Kewajiban Notaris adalah suatu yang harus dilaksanakan oleh Notaris,

yang apabila tidak dilaksanakan atau dilakukan pelanggaran, maka atas

pelanggaran itu Notaris akan dikenakan sanksi. Hadirnya masyarakat untuk

menutup keperluan pihak yang membutuhkan bukti autentik. Maka dari itu

layanan pada pihak-pihak terkait harus diprioritaskan berdasarkan UUJN, tetapi

dalam lain bisa melakukan penolakan guna memberikan layanan dengan alasan-

alasan tertentu (Pasal 16 ayat 1 huruf d UUJN). Dari uraian pasal itu secara

liminatif dijelaskan yang dimaksud dengan alasan untuk menolak, alasan yang

menyebabkan Notaris tidak berpihak. 129

Penjelasan kewajiban notaris berdasarkan pendapat Ira Koesoemawati &

Yunirman Rijan dalam Ke Notaris (2009), bahwa notaris harus berperilaku jujur,

seksama, dan tidak berpihak. Berperilaku jujur sangat penting karena apabila

notaris berperilaku dengan ketidakjujuran akan banyak merugikan masyarakat.

Ketidakjujuran juga akan menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat yang

berakibat merendahkan lembaga notaris. Seksama, dalam artian seorang notaris

tidak boleh bertindak ceroboh. Kecerobohan, misalnya kesalahan penulisan nama,

akan sangat merugikan pemilik akta. Karena di mata hukum orang yang ada

dalam perjanjian adalah orang yang namanya tertera dalam akta.

129
Habib Adjie, 2017, op.cit. h. 87.
105

Notaris diwajibkan untuk menyusun dokumen atau akta yang dikehendaki

masyarakat. Notaris tidak boleh melakukan penolakan permohonan dari

masyarakat karena hal tersebut merupakan salah satu tugas pokok Notaris. Notaris

dapat di tuntut apabila melakukan penolakan untuk menyusun akta tanpa

kejelasan alasan karena keharusan menyusun dokumen merupakan amanat

undang-undang. Apabila dilakukan penolakan artinya Notaris telah melakukan

pelanggaran terhadap undang-undang. Apabila Notaris mempunyai alasan yang

logis untuk menolak maka hal itu boleh dilakukan. Sebagai contoh adalah orang

yang berkehendak untuk melaksanakan sewa menyewa mobil, sementara pihak

yang akan menyewakan mobil bukan pemilik yang sebenarnya. 130

Berdasar pada aturan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf d UUJN, dalam

kondisi tertentu Notaris diperbolehkan menolak untuk memberi layanan dengan

alasan tertentu. Pada uaraian pasal tersebut, dijelaskan bahwa “alasan untuk

menolaknya” adalah alasan yang menyebabkan Notaris memihak, sama halnya

dengan adanya keterikatan darah atau semenda dengan Notaris sendiri atau

dengan istri/suaminya, salah satu pihak tidak memiliki kompetensi untuk

melakukan perbuatan, Notaris tidak mengenal para pihak, para pihak tidak bisa

menyampaikan keinginan/kehendaknya, atau yang tidak diperbolehkan oleh

undang-undang, kesusilaan dan ketertiban ummum.

Notaris harus menyusun daftar dari akta-akta yang sudah dikeluarkan dan

menyimpan minuta akta dengan baik. Minuta akta adalah asli akta notaris yang

mana telah diatur pada Pasal1 angka8 UUJN. Setelah minuta akta ditandatangani
130
Ira Koesoemawati dan Yunirman Rijan, Ke Notaris, Mengenal Profesi Notaris,
Memahami Praktik Kenotariatan, Ragam Dokumen Penting yang diurus Notaris, Tips agar tidak
tertipu Notaris, CV. Raih Asa Sukses, Jakarta, 2009, hlm. 42.
106

para pihak di atas meterai dan telah sesuai dengan ketentuan, selanjutnya

ditandatangani oleh saksi-saksi, dan terakhir oleh notaris. Setelah itu, notaris akan

mengeluarkan salinan akta resmi untuk pegangan para pihak. Hal ini perlu

dilakukan agar jika terjadi sesuatu terhadap akta yang dipegang kedua belah

pihak maka notaris masih memiliki bukti perjanjian/penetapan. Demikian harus

dipahami oleh pihak-pihak yang membuat akta karena tidak sedikit peristiwa yang

mana pihak-pihak yang mmebuat akta berkehendak melakukan pembatalan

subtansi perjanjian didalam akta yang dilaksanakan dengan merobek akta.131

Seorang notaris diwajibkan membaca akta dihadapan para pihak yang

memohon penyusunan akta dan para saksi. Setelah para pihak dan saksi paham

dan setuju atas subtansi akta kemudian dilanjutkan dengan penandatanganan akta

oleh para pihak, para saksi, dan Notaris. Pembacaan akta tersebut adalah poin

penting sebab apabila tidak bacakan maka akta yang dibuat dapat dikatakan

sebagai akta dibawahtangan.132

Negara melimpahkan wewenang terhadap Notaris untuk melakukan

beberapa peran negara dibidang hukum private, berkaitan dengan

keberlangsungan akad-akad syariah, seringkali ada permintaan untuk

mengautentikkan ikatan hukum pihak-pihak yang bersangkutan. Untuk

terjaminnya suatu kepastian, perlindungan hukum, dan ketertiban, membutuhkan

alat bukti berupa tulisan yang mempunyai sifat autentik tentang perbuatan,

perikatan, penetapan dan perkara hukum yang disusun oleh atau dihadapan

Notaris.

131
Ibid., hlm. 43.
132
Ibid.
107

Notaris menyusun akta autentik yang dapat dikatakan sebagai alat

pembuktian yang sempurna, memiliki peran penting didalam tiap-tiap ikatan

hukum dalam setiap kehidupan dimasyarakat. Terhadap beberapa ikatan bisnis,

kegiatan sosial, perbankan, dan lain-lain, keperluan terkait pembuktian tertulis

dalam bentuk akta autentik semakin mengalami meningkatan selaras dengan

perkembangan tuntutan atas kepastian hukum dalam beberapa kegiatan sosial

ekonomi, pada tingkat nasional maupun internasional. Adanya akta autentik bisa

menjamin kepastian hukum bagi pemegang akat tersebut, dan terhindar dari

terjadinya permasalahan dikemudian hari, dan meskipun kiranya permasalahan

tersebut tidak bisa terhindar, akta autentik itu merupakan alat pembuktian tertulis

terkuat dan terpenuh dalam mekanisme penyelesaian sengketa.133

Keperluan masyarakat terhadap peran Notaris dan akta yang dibuat oleh

Notaris berkembang semakin luas. Masyarakat dewasa ini semakin sadar akan

hukum dalam melaksanakan ikatan-ikatan hukumnya, baik ikatan hukum dalam

bidang perikatan bisnis dan perbankan maupun aktivitas-aktivitas sosial lain yang

memakai jasa Notaris untuk menyusun akta autentik yang mengikat pihak-pihak

dalam aktivitasnya. Peningkatan pengetahuan dan sadarnya masyarakat terhadap

hukum dewasa ini sudah membawa pengaruh tinggi pada macam-macam

perikatan bisnis dibidang keuangan syariah. Masyarakat sudah mengetahui bahwa

peran Notaris sangat penting dalam transaksi operasional, utamanya terkait

penyusunan akta pembiayaan, surat pengakuan hutang, grossse akta, legallisasi

133
Lihat penjelasan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
108

dan waarmerrking, serta peran lain dari Notaris yang sudah ditentukan oleh aturan

undang-undang.

Dalam sudut pandang hukum ekonomi syariah, setidaknya terdapat tiga

teori yang bisa dipakai untuk dilakukan pengkajian terhadap tugas Notaris dalam

praktek perjanjian bisnis diperbankan syariah. Landasan teori yang dimaksudkan

yakni teori iltizâm, teori perjanjian dan teori kritik hukum. Ketiga teori tersebut

bisa di reduksi dengan pendekatan filsafat hukum melalui prinsip universal hukum

ekonomi syariah yang tertuang dalam Al-Quran, al-Sunnah, dan ijtihad. 134

Teori pertama adalah iltizam. Secara bahasa, iltizam artinya kewajiban.

Iltizâm adalah keharusan yang disebabkan berlangsungnya akad yang berakibat

pada timbulnya hak dan kewajiban.135

Dalam konteks hukum ekonomi Islam, iltizâm mengandung makna

keharusan bagi seseorang untuk mengerjakan sesuatu atau tidak mengerjakan

sesuatu untuk kemaslahatan orang lain. seseorang diharuskan membayar atau

mengganti barang yang dirusaknya, dapat dikatakan iltizâm disebabkan ia harus

dilaksanakan oleh yang meneruskannya. Demikian pula dengan ta‘wîdh, atau

tadhmin terhadap suatu kerugian yang tertimpa atas orang lain, baik langsung

ataupun tidak langsung. Iltizâm merupakan tindakan hukum yang menjadi sebab

bagi dilakukannya suatu kewajiban untuk memberikan kemaslahatan bagi orang

134
Deni K. Yusup, Peran Notaris Dalam Praktik Perjanjian Bisnis Di Perbankan Syariah
(Tinjauan Dari Perpektif Hukum Ekonomi Syariah), Fakultas Syariah Dan Hukum UIN Sunan
Gunung Djati Bandung, H. 4.
135
‘Abd. al-Razâq al-Sanhûrî, Mashâdir al-Haqq fi al-Fiqh al-Islâmî, Dirâsah Muqâranah
bî al-Fiqh al-Gharbî, (Bayrût: Dâr al-Hana li al-Thibâ‘ah wa al-Nasyr, 1958), Jilid I, h. 130-131.
109

yang dirugikan. Maka nafkah kerabat yang fakir atas kerabat yang kaya dalam

batasbatas tertentu, merupakan iltizâm atas kerabat yang kaya itu.136

Syarat untuk melaksanakan iltizâm diperlukan sekurang-kurangnya dua

pihak, yaitu: multazim (orang yang diharuskan untuk memenuhi hak) dan

multazam lahu (seseorang yang harus dipenuhi haknya). Apakah kedua belah

pihak harus tertentu sejak pada permulaan iltizâm ataukah tidak. Hal tersebut

tidak dipertentangkan karena multazim harus ada dan tertentu orangnya sejak dari

permulaan iltizâm. Multazim menjadi orang yang dikenai kewajiban itu

(mukallaf), atau dialah yang dikatakan madin dalam masalah ini. 137

Teori kedua adalah teori perjanjian (nazhariyyah al-’uqûd). Teori ini

menjadi dasar bagi perindahan hak milik antara individu dengan individu atau

korporasi. Menurut Wahbah al-Zuhaylî, hak milik atas harta, baik individu

maupun kolektif, merupakan hak bagi manusia untuk mengelola dan mengambil

manfaat atas harta itu (tasharruf ‘ala al-mâl). Penggunaan fungsi atas pengelolaan

terkait harta dibetulkan berdasarkan aturan syara’ dengan pembatasan yang diatur

oleh Allah dan rasul-Nya.138

Penerapan teori perjanjian dalam hukum ekonomi syariah bisa bermakna

bahwa sesuatu yang dikeluarkan dari manusia dengan kehendak nya dan syara’

menetapkan beberapa haknya. Para ahli hukum telah membagi kategori akad

136
Penulis mengutip contoh iltizâmdari Yahya Abdurrahman, “Al-Iltizâm”, artikel yang
dipublikasikan dalam http://fiqh1. wordpress.com/2010/05/15/al-iltizâm/ diunduh pada tanggal 28
Februari 2011. Lihat pula penjelasan T.M. Hashbi Ash-Shiddieqy, Fiqh Muamalah, (Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 1997), hlm. 58.
137
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam: Fiqh Muamalat, cet. 1,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003, hlm. 44.
138
Wahbah Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâm wa Adillatuh, (Damsyiq: Dâr al-Fikr, 1989), juz 4,
hlm.102-103.
110

menjadi dua, yakni akad dengan ucapan (‘aqd al-qawlî) dan akad dengan

perubatan (‘aqd al-fi‘lî). Maka dari itu, semua bentuk perjanjian bisnis

diperbankan syariah dinilai sah jika ia sejalan dengan prinsip, asas, syarat, rukun,

dan etika hukum dalam berbisnis syariah.

Berdasarkan opini para ulama mazhab, suatu akad wajib dipenuhi dulu

syarat dan rukunnya. Disatu sisi, rukun menunjuk bahwa ada atau tidaknya suatu

perbuatan. Disisi lain, syarat menunjuk pada unsur dari rukun namun bukan isi

dari perbuatan. Oleh karena itu wajib dipenuhi syarat dan rukunnya.139 Rukun

yang pertama ialah adanya Ijâb dan Qâbul yang menunjukkan maksud dari kedua

belah pihak, seperti keselarasan das sein dan das sollen, serta dilakukan dalam

satu tempat dan terhubungkan satu sama lain. Rukun kedua adalah mukallaf,

yakni orang yang miliki kemampuan melangsungkan akad. Kemampuan itu

membuat pihak-pihak yang bersangkutan dalam akad diharuskan cakap dan terikat

dari segi hak ataupun kewajibannya. Rukun ketiga adalah ada obyek akad dalam

bentuk riil, baik untuk sekarang atau dimasa depan, objek yang halal, dan bisa

disamakan berdasarkan dengan ketentuan hak dan kewajibannya baik secara

kuantitatif maupun kualitatif. Terakhir yakni akad bertujuan harus sejalan dengan

syari’at. Apabila akad tersebut melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Al-

Quran dan al-Hadis, maka akad itu wajib dilakukan pembaruan.

Mengarah pada teori akad tersebut, dapat ditarik dikatakan bahwa adanya

Notaris sangat penting untuk menyusun akta autentik atas sebuah perjanjian bisnis

139
Ghufron A. Mas’adi, Fiqih Muamalah Kontekstual, Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2002, cet. 1, hlm. 79.
111

diperbankan syariah. Keberadaan notaris yang paham terkait akad syariah akan

terjamin atas semua bentuk perjanjian bisnis dikalangan kaum Islam berdasarkan

dengan prinsip dan asas hukum ekonomi syariah.

Teori ketiga adalah teori kritik hukum (criticcal legal theoriy).

Terminologi “teori kritis” pertama kali di kembangkan oleh Mazhab Frankfurt,

dirintis oleh para anggota Institute for Social Research, University of Frankfurt,

Jerman. Pada umumnya mereka merupakan para sarjana hukum yang berhaluan

kiri. Tetapi “teori kritis” dimaknai menjadi tidak terlalu jelas batasannya

beriringan dengan berkembangnya berbagai bidang ilmu, yang dikembangkan

yakni oleh sarjana atau perkumpulan dari sarjana lain dalam beberapa teori antara

lain : Teori Marxisst dari Frankfurtt Schoool, Teori Semiotick and Linguistick

dari Juliya Kristeva dan Roland Barthess, Teori Psychoanaliythic dari Jackquest

Lackan, Critikal Legal Theoriy dari Robertho Ungeer dan Duncan Kennediy

dengan Teori Queerr, Teori Gendeer, Teori Kulturall, Teori Criticall Racee, dan

Teori Radikal Criminology. 140

Berdasarkan teori kritik hukum, hukum tidak dapat dilepas dari ekonomi,

begitu teriak Marx. Hukum adalah “alat legitimasi” dari kelas ekonomi tertentu.

Menurut Marx, hukum dibidang perburuhan lebih membuat gelisah para buruh

karena pemilik modal telah menguasi hukum. Permasalahan yang utama dalam

hukum bukan keadilan, karena menurut ia hukum merupakan susunan keadilan

adalah omong kosong. Kenyataannya, hukum memberikan pelayanan bagi orang-

140
Roberto Mangabeira Unger, The Critical Legal Studies Movement, Harvard:
University Press, 1986, hlm. 114.
112

orang yang mempunyai kepentingan atas itu. Hukum tidak lebih dari media

penguasaan untuk memakainya berdasarkan dengan kepentingan mereka. 141

Mengacu kepada teori kritik hukum tersebut, dapat dirumuskan bahwa

adanya Notaris pada perbankan syariah adalah penting dalam setiap praktik

perjanjian bisnis diperbankan syariah. Adanya Notaris di perbankan syariah bisa

digaransi baik dari legislasi UUJN Syariah atau amandemen pada UUJN yang

telah ada. Oleh sebab itu kepastian hukum untuk setiap perjanjian bisnis

diperbankan syariah dapat dilakukan sepenuhnya berdasarkan prinsip-prinsip dan

asas-asas hukum ekonomi syariah.

Kajian terhadap fakta akta Notaris pada sistem hukum Indonesia tidak

sederhana mengumpulkan dua kutub hukum yaitu hukum perdata barat dan

hukum perdata Islam. Kenyataan ini tidak terlepas oleh keberadaan dan

pengakuan terkait hukum Islam dalam negara hukum Indonesia yang memang

penduduk Indonesia sebagaian besar pemeluk agama Islam.

Abdul Gofur Ansori berpendapat bahwa akta adalah surat yang digunakan

sebagai pembuktian yang mencakup perkara yang menjadi dasar atas hak atau

perikatan, yang sejak awal dengan sengaja untuk pembuktian. Penandatanganan

surat harus dilaksanakan supaya bisa berbentuk akta namun tidak dapat berlaku

menjadi akta autentik sebab di sahkan oleh pejabat yang tidak mempunyai

kewenangan atau cakap. Akta yang telah dilakukan penandatanganan oleh para

pihak mempunyai kekuatan yang disebut tulisan dibawahtangan. Ada dua teori

141
Ibid. h. 115.
113

dalam penyusunan akta autentik. Secara teoritis, akta yang ditandatangani oleh

Notaris menjadi akta.142

Peran notaris dalam penyusunan akta autentik terhadap semua perjanjian

bisnis khususnya dalam hal ini adalah akad yang dilakukan pada Fintech syariah

sangatlah penting. Notaris tidak hanya berhubungan langsung dengan

kewenangannya dalam penyusunan akta otentik yang diperlukan dalam kerjasama

itu, tetapi juga perjanjian lain yang disusun antara perbankan syariah dengan

nasabah untuk lebih memperoleh kepastian hukum yang terjamin untuk para

pihak. Pada umumnya para pihak berkehendak untuk menuangkan akad syariah

didalam bentuk akta Notaris, sehingga seorang Notaris pun dianjurkan untuk

membekali diri dengan ilmu yang memadai mengenai jenis-jenis akad dan

produk-produk keuangan diperbankan syariah.

142
Abdul Ghofur Anshori, Lembaga Kenotariatan Indonesia: Perspektif Hukum dan
Etika, Yogyakarta: UII Press, 2009, hlm. 23.
BAB IV

PENUTUP

4.1. Kesimpulan

1. Akad syariah dapat diterapkan dalam financial technology berbasis online

namun masih berlaku asas-asas hukum kontrak pada umumnya maupun

hukum kontrak sesuai syariah. Dalam segi perikatan sesuai hukum Islam atau

sesuai syariah, kontrak melalui media teknologi informasi tetap harus

memenuhi rukun dan syarat akad. Dalam penggunaan aplikasi tersebut,

berbeda dengan aplikasi penyedia kredit konvensional berbasis online,

aplikasi penyedia pembiayaan berbasis online harus memperhatikan prinsip-

prinsip syariah dalam melakukan aktivitas usahanya seperti jenis akad yang

digunakan, rukun dan syarat akad pembiayaan hingga pelaksanaan

pengembalian pembiayaannya. Sejauh ini DSN-MUI telah mengeluarkan

Fatwa No. 117/DSN-MUI/II/2018 tentang Layanan Pembiayaan Berbasis

Teknologi Informasi Berdasarkan Prinsip Syariah untuk memberikan

kepastian landasan syariah bagi pelaksanaan transaksi akad-akad syariah yang

diselenggarakan oleh aplikasi penyedia jasa pembiayaan tersebut. Selain itu,

Otoritas Jasa Keuangan juga mengatur tentang hal tersebut di POJK Nomor

77/POJK.01/2016 yang menjadi dasar penyelenggaraan layanan pinjam

meminjam berbasis teknologi informasi. Sehingga, dalam penerapan akad

syariah harus memperhatikan dua peraturan tersebut agar terhindar dari

gharar, riba dan sebagainya yang dapat menimbulkan kemudharatan.

114
115

2. Peran Notaris dalam pelaksanaan akad online pada financial technology

syariah mempunyai peran dan keterlibatan sebagai pihak ketiga dalam

financial technology berbasis syariah. Notaris berwenang membuat akta

sepanjang tidak dikecualikan oleh undang-undang lain, termasuk di

dalamnya, termasuk akta otentik berbasis syariah. Untuk menjamin kepastian

hukum dan perlindungan hukum bagi para pihak, Keberadaan akta otentik

yang dibuat oleh Notaris yang merupakan alat bukti yang kuat dapat

menjadikan para pihak lebih aman bertransaksi menggunakan aplikasi

financial technology syariah berbasis online. Namun sejauh ini, tidak terdapat

peraturan khusus yang melibatkan Notaris dalam aplikasi tersebut.

4.2. Saran

1. Notaris sebagai pejabat umum yang dipercaya oleh masyarakat sudah

seharusnya menjadi bagian dari aplikasi financial technology syariah berbasis

online. Akta otentik yang dikeluarkan oleh Notaris menjadi pengaman bagi

para pihak yang melakukan transaksi. Oleh karena itu, Otoritas Jasa

Keuangan diharapkan membuat aturan tentang keterlibatan Notaris menjadi

pihak ketiga atau pengharusan penggunaan akta otentik dalam aplikasi

financial technology syariah berbasis online. Selain itu, Notaris yang ikut

terlibat dalam aplikasi financial technology syariah berbasis online juga harus

memahami dan menguasai tentang prinsip-prinsip syariah dengan mengikuti

sertifikasi syariah agar Notaris tidak salah dalam menerapkan dan

menafsirkan akad syariah. Peran notaris diperlukan untuk suatu jaminan,

sepanjang adanya permintaan agunan harus diikatkan dalam akta otentik.


116

2. Bahwa untuk penyedia pembiayaan financial technology syariah berbasis

online, penerapan akad syariah dapat dilakukan dengan memperhatikan rukun

dan syarat akad sesuai prinsip syariah. Aplikasi financial technology syariah

berbasis online saat ini semakin banyak ditemukan di media online. Harapan

kedepan bisa lebih dipermudah untuk proses pengajuan pinjamannya dan bila

kedepannya diperlukan notaris didalamnya, maka akta notaris dapat dalam

bentuk dokumen elektronik.


DAFTAR PUSTAKA

A. Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas
Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik

Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/40/PBI/2016 Tentang Penyelenggaraan Pemrosesan


Transaksi Pembayaran.

Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/12/PBI/2009 Tentang Uang Elektronik.

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi
Syariah.

Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2016
Tentang Sistem Manajemen Pengamanan Informasi.

Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2016
Tentang Uji Coba Teknologi Telekomunikasi, Informatika, Dan Penyiaran.

Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2016
Tentang Perlindungan Data Pribadi Dalam Sistem Elektronik.

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/PJOK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam


Meminjam Uang Berbasis Teknologi.

Dewan Syariah Nasional MUI, Uang Elektronik Syariah, Fatwa Dewan Syariah Nasional-
Majelis Ulama Indonesia No. 116/DSN-MaUI/IX/2017.
Dewan Syariah Nasional MUI, Layanan Pembiayaan Berbasis Teknologi Informasi
Berdasarkan Prinsip Syariah, Fatwa Dewan Syariah Nasional–Majelis Ulama
Indonesia No. 117/DSN-MUI/IX/2017.

Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 18 /SEOJK.02/2017 Tentang Tata Kelola Dan
Manajemen Risiko Teknologi Informasi Pada Layanan Pinjam Meminjam Uang
Berbasis Teknologi Informasi.

B. Buku

……………………………, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Edisi Revisi, Jakarta:


Kencana, 2009.

Abd. Al-Razaq al-Sanhuri Mashadir al-Haqq fi al-Fiqh al-Islami, Dirasah Muqaranah bi al-
Fiqh al-Gharbi, Bayrut: Dar al-Hana li al-Thiba’ah wa al-Nasyr, Jilid I, 1958.

Abdul Ghofur Anshori, Lembaga Kenotariatan Indonesia: Perspektif Hukum dan Etika, UII
Press, Yogyakarta, 2009.

Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah di Indonesia, Gadjah Mada


University Press, Yogyakarta, 2009.

Adrian Sutedi, Perbankan Syariah: Tinjauan dan Beberapa Segi Hukum, Ghalia, Jakarta
2009.

Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam), UII
Press, Yogyakarta, 2000.

Ascarya, Diana Yumanita, Bank Syariah: Gambaran Umum, Seri Ke bank sentralan Nomor
14, Bank Indonesia Pusat Pendidikan dan Studi Ke bank sentralan, Jakarta, 2005.

Asikin Zainal, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, 2012.

Chairuman Pasaribu dan Suhrawadi K Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam,


Sinar Grafika, Jakarta, 2004.

Daeng Naja, Teknik Pembuatan Akta, Pustaka Yustisia, Yogyakarta,2012.

Daryl Koehn, Landasan Etika Profesi, Ctk. Keenam, Kanisius, Yogyakarta, 2009.

Deni K Yusup, “Peran Notaris dalam Praktek Perjanjian Bisnis di Perbankan Syariah
(Tinjauan dari Perpektif Hukum Ekonomi Syariah” dalam Al-‘ADALAH Volume
XII. No 4, Desember 2015.

Fathurahman Djamil (et. al), Hukum Perjanjian Syariah dalam Kompilasi Hukum
Perikatan, PT. Citra Aditya, Bnadung, 2001.
Fintech Talk, Fintech dalam E-commerce: Motor Pendorong Pemerataan Ekonomi Secara
Digital, Fintech Indonesia. 2017.

Gemala Dewi, Hukum Perikatan Islam Indonesia, Kencana, Jakarta, 2006.

G.H.S. Lumban Tobing. Peraturan Jabatan Notaris. Cet. II, Erlangga, Jakarta, 1983.

G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta, 1992.

G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta, 1996.

G.H.S.Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Penerbit Erlangga, Jakarta, 1999.

Ghufron A. Mas’adi, Fiqih Muamalah Kontekstual, Raja Grafindo Persada, cet. 1, Jakarta,
2002.

Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia; Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004
Tentang Jabatan Notaris, Refika Aditama, Bandung, 2009.

Hasbie As Shiddieqie, Filsafah Hukum Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1970.

Ira Koesoemawati dan Yunirman Rijan, Ke Notaris, Mengenal Profesi Notaris, Memahami
Praktik Kenotariatan, Ragam Dokumen Penting yang diurus Notaris, Tips agar
tidak tertipu Notaris, CV. Raih Asa Sukses, Jakarta, 2009.

Irawan Soeroredjo, Makalah Pembuatan Akta Tanah Sebagai Profesi, Pusat Pengkajian
Hukum, Newsletter Nomor.29/juni/1997

Lili Rasjidi dan I.B Wysa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Remaja Rusdakarya,
Bandung,1993.

Muhammad Adam, Ilmu Pengetahuan Notariat, Sinar Baru, Bandung, 1985.

M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam: Fiqh Muamalat, cet. 1, PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2003.

Muhammad & Rahmad Kurniawan, Visi dan Aksi Ekonomi Islam: Kajian Spirit Ethico –
Legal Atas Prinsip Dalam Praktik Bank Islam Modern, Malang, Intimedia, 2014.

Mohammad Mufid, Ushul Fiqh Ekonomi dan Keuangan Kontemporer dari Teori ke Aplikasi,
Prenadamedia Group , 2018.

Muliaman D. Hadad, Financial Technology (Fintech) di Indonesia, Kuliah Umum Tentang


Fintech-IBS, Jakarta, 2017.

Murniati Mukhlisin, Fintech syariah dan keuangan keluarga kita, Sekolah Tinggi Ekonomi
Islam Tazkia. 2017.
Noor Hafidah, Hukum Jaminan Syariah; Implementasinya dalam Perbankan Syariah di
Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2017.

Nugroho Any. Hukum Perbankan Syariah, Aswaja Pressindo, Yogyakarta, 2015.

Pegadaian Syariah, Posisi Financial Technology di Mata Ekonomi Islam, dalam skripsi Sri
Devi Febrianti, “Financial technology dalam sistem ekonomi islam”, Fakultas
Ekonomi dan Bisnis Islam, Institut Agama Islam Negeri Palangkaraya, 2018.

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Edisi Revisi, Prenada Media Group, 2014.

Racmadi Usman, Hukum Jaminan Keperdataan. Sinar Grafika, Jakarta, 2009.

Rizal Silalahi & Dynda Puspa Pramedia, Analisis Faktor Keberhasilan Fintech Payment
dengan Menggunakan Delone dan Mclean, Universitas Bakrie, 2018.

R. Soeroso., Perjanjian Di Bawah Tangan Pedoman Praktis Pembuatan dan Aplikasi


Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2010.

R. Subekti, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramitha, Jakarta, 2004.

Riduan Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, Citra Aditya Bakti, Jakarta,
2004.

Roberto Mangabeira Unger, The Critical Legal Studies Movement, Harvard: University
Press, 1986.

Rudi Saleh Susetyo dkk, Kajian Perlindungan Konsumen sektor Jasa Keuangan:
Perlindungan Konsumen Pada Fintech, Jakarta: Departemen Perlindungan
Konsumen-Otoritas Jasa Keuangan, 2017

Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum , PT. Citra Aditya Bakti, Bandung , 2000.

Tan Thong Kie, Studi Notariat, Beberapa Mata Pelajaran dan Serba-Serbi Praktek Notaris,
Buku I, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, cet. ke-2, 2000.

Trisadini Prasastinah Usanti, Pengantar Lembaga Keuangan Syariah, Zifatama Jawara,


Sidoarjo, 2017.

Trisadini UP dan Abdul Shomad, Hukum Perbankan, FH Universitas Airlangga dan


Lutfansah Media, Surabaya, 2015.

Teguh Samudera, Hukum Pembuktian Dalam Acara Perdata, Alumni, Bandung, 2004.

Wahbah Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâm wa Adillatuh, Damsyiq: Dâr al-Fikr, juz 4, 1989.

Yazid Afandi, Fiqh Muamalah dan Implementasinya Dalam Lembaga Keuangan Syariah,
Logung Pustaka,Yogyakarta, 2009.
C. JURNAL

Aan Ansori, Digitalisasi Ekonomi Syariah, Jurnal Ekonomi Keuangan dan Bisnis Islam,
Volume 7 No. 1 Januari- Juni 2016 P-ISSN: 2085-3696: E-ISSN.
Budi Rahardjo, Fintech: Layanan Baru, Ancaman Baru, Fintech Talk Indonesia Journal.
2017.

IFSB, Guiding Principles of Risk Management for Institutions ( Other Than Insurance
Institutions ) Offering Only Islamic Financial Services. In Islamic Financial Service
Board (Issue December). IFSB, 2015.

Irma Muzdalifa, dkk, “Peran Fintech Dalam Meningkatkan Keuangan inklusif Pada UMKM
Di Indonesia (Pendekatan Keuangan Syariah)”, Jurnal Masharif al-Syariah: Jurnal
Ekonomi dan Perbankan Syariah/Vol. 3, No. 1, 2018

Iska Sri Mawarni, Analisis Presepsi Masyarakat Pengguna Layanan Transaksi Digital Pada
Financial Technology (Studi kasus terhadap layanan Go-Pay “Gojek” di Kota
Bandung 2017), Universitas Telkom, 2017.

Muhammad Afdi Nizar, Teknologi Keuangan (Fintech): Konsep dan Implementasinya di


Indonesia, Warta Fiskal, edisi 5/2017.

Muhammad, R., Akuntansi Keuangan Syariah: Konsep dan Implementasi PSAK Syariah.
P3EI Press, 2019.

Muzdalifa, et. al., “Peran Fintech Dalam Meningkatkan Keuangan Inklusif Pada UMKM di
Indonesia (Pendekatan Keuangan Syarian)”, Jurnal Masharif al-Syariah:Jurnal
Ekonomi dan Perbankan Syariah, No. 1 Vol. 3, Surabaya, 2018.

Nuzul Rahmayani, “Tinjauan Hukum Perlindungan Konsumen Terkait Pengawasan


Perusahaan Berbasis Financial Technology di Indonesia”, Pagaruyuang Law
Journal, Edisi No. 1 Vol. 2, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera
Barat, 2018.

Posma Sariguna Johnson Kennedy, “Tantangan terhadap Ancaman Disruptif dari Financial
Technology dan Peran Pemerintah dalam menyikapinya”. Jurnal Forum Keuangan
dan Bisnis Indonesia (FKBI), VI, 2017.

R. Andi Kartiko Utomo, Bisnis Model Baru Bank-Tekfin dan Ekonomi Digital, Fintech Talk
Indonesia Journal. 2017.

Rahadiyan, I., & Sari, A. R. S., Peluang dan Tantangan Implementasi Fintech Peer-to-Peer
Lending sebagai Salah Satu Upaya Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat
Indonesia. Jurnal Defendonesia, 4(1), 2019.
Rifqi Muhammad dan Izzun Khoirun Nissa, Analisis Resiko Pembiayaan Dan Resolusi
Syariah Pada Peer-To-Peer Financing, EQUILIBRIUM Jurnal Ekonomi Syariah,
Volume 8, Nomor 1, 2020.

Salman, A., & Nawaz, H. Islamic Financial System and Conventional Banking: A
Comparison. Arab Economic and Business Journal, 2018.

Sasmita Flouridaningrum, Mengapa Memilih Fintech Syariah, Jurnal Hukum Fintech,


Teknologi, Telekomunikasi & Perbankan Syariah Prihatwono Law Research Vol. 1,
Juni 2018.

Sulayman, H. I, Growth and Sustaining of Islamic Finance Practice in the Financial System
of Tanzania: Challenges and Prospects. Procedia Economics and Finance, 2015.

D. INTERNET

Bank Indonesia, “Financial Technology Perkembangan dan Respons Kebijakan Bank


Indonesia”, Bank Indonesia-Fintech Office.

Ijtihad untuk Perbankan Syariah pada Kasus Bai’u Hukmi dan Qabdlu Hukmi, diakses dalam
https://islam.nu.or.id/post/read/84854/ijtihad-untuk-perbankan-syariah-pada-kasus-
baiu-hukmi-dan-qabdlu-hukmi, pada tanggal 29 Juni 2021 pukul 22.23 WIB.

M.Roem Syibly, Amir Mu’allim, “Ijtihad Ekonomi Islam Modern”, digilib.uinsby.ac.id,


Surabaya, hlm. 1822.

Mekar, Fintech di Indonesia: Perkembangannya di 2017 dan Proyeksi untuk 2018, dalam
www.mekar-fintech-di-indonesia2018.id , diakses pada 14 Februari 2021 pukul
20.05 WIB.

Ivan Mulyadi, Perkembangan Financial Technology (Fintech) Tahun 2018, diakses dalam
www.marketing.co.id,

Sovia Hasanah, “Dasar Hukum Layanan Pinjam-meminjam Uang Berbasis Teknologi


Informasi”, dalam
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5a8a27073caf8/dasarhukum-layanan-
pinjam-meminjam-uang-berbasis-teknologi-informasi, diakses 07/03/2021, pukul
20.51 WIB.

Admin, “General FAQ Syariah”, dalam https://www.investree.id/how-itworks/general-faq-


syariah, diakses pada tanggal 07 Maret 2021, pukul 21.45 WIB.
https://www.ojk.go.id/id/kanal/iknb/financial-technology/Pages/Penyelenggara-
Fintech-Lending-Terdaftar-dan-Berizin-di-OJK-per-10-Juni-2021.aspx ,diakses
tanggal 9 Juli 2021, pukul 19.00.
Yusof, R. M., Bahlous, M., & Tursunov, H. (2015). Are profit sharing rates of mudharabah
account linked to interest rates? An investigation on Islamic banks in GCC
Countries. Jurnal Ekonomi Malaysia, 49(2), 77–86. https:// doi.org/10.17576/JEM-
2015-4902-07.

Todorof, M, 2018, Shariah-compliant FinTech in the banking industry. ERA Forum, 19(1),
1–17. https://doi.org /10.1007/s12027-018-0505-8.

https://infokomputer.grid.id/read/121852524/terdaftar-di-ojk-inilah-deretan-fintech-syariah-
di-indonesia , diakses pada pukul 11.55 tanggal 12 november 2020

https://www.idntimes.com/business/economy/ridwan-aji-pitoko-1/mengenal-p2p-lending-
syariah-pinjol-halal-tanpa-riba/3 , diakses pada pukul 08.46 tanggal 17 Juli 2021

https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20191002092810-78-435951/fintech-p2p-lending-
izinkan-kekayaan-intelektual-jadi-agunan , diakses pada pukul 19.30 WIB tanggal
20 Juli 2021.

https://kliklegal.com/pencegahan-dan-penanggulangan-kehilangan-uang-kreditur-dalam-
siklus-peer-peer-lending-ailrc , diakses pada pukul 15.00 WIB tanggal 31 Juli 2021.

Yahya Abdurrahman, “Al-Iltizâm”, artikel yang dipublikasikan dalam http://fiqh1.


wordpress.com/2010/05/15/al-iltizâm/ diunduh pada tanggal 20 Juli 2021. Lihat pula
penjelasan T.M. Hashbi Ash-Shiddieqy, Fiqh Muamalah, (Semarang: Pustaka Rizki
Putra, 1997), hlm. 58.

D. TESIS DAN DISERTASI

Aunur Rohim Faqih, Kontrak Bisnis Syariah Studi Mengenai Penerapan Prinsip-Prinsip
Syari’ah dalam Pembiayaan Pada Bank Syariah di Indonesia, Ringkasan Desertasi,
Program Doktor (S-3) Ilmu Hukum Universitas Islam Indo nesia, 2014.

Estelle Phillips dalam Rusdianto Sesung, Prinsip Kesatuan Hukum Nasional Dalam
Pembentukan Produk Hukum Pemerintah Daerah Otonomi Khusus atau Sementara,
Disertasi Program Pasca sarjana Universitas Airlangga Surabaya, 2016.

Ida Fitriyana, Kepastian Hukum Akad Syariah yang dibuat Dalam Bentuk Akta Notaris
(Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 02 Tahun 2014 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris), Tesis, Program
Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 2011.

Otong Satyagraha, Aspek Hukum Kekuatan Pembuktian Akta Otentik Di Pengadilan, Tesis
Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 2016.
Sentiya Dwi Ningsih, Peran Notaris Dalam Pelaksanaan Pembuatan Akta akad
pembiayaan di Bank Syariah Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014
Tentang Jabatan Notaris, Tesis, Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas
Hukum Universitas Islam Sultan Agung, 2017.

Yudi Mashudi, Kajian Hukum Terhadap Peran Notaris Dalam Pembuatan Akad Pembiayaan
Murabahah Dengan Jaminan Atas Tanah Yang Belum Bersertifikat, Tesis, Program
Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 2011.

Anda mungkin juga menyukai