Anda di halaman 1dari 11

KAJIAN HUKUMAN MATI DALAM HUKUM PIDANA ADAT DI INDONESIA

Nelvitia Purba, SH, M.Hum1

Abstrak

Sebelum KUHPid di berlakukan di Indonesia oleh Pemerintah Belanda Pidana Mati telah dikenal
diseluruh Indonesia dari Aceh sampai ke Papua. Juga di kenal pada zaman Majapahit, Kerajaan Goa,
Aceh dan lain-lain.
Pidana mati yang dikenal oleh adat budaya bangsa sebelum kedatangan penjajah, hendaknya
menjadi dasar untuk penyusunan KUHP mendatang, di sesuaikan dengan kebutuhan masyarakat
sekarang. Pidana mati yang disorot dari Segi Hukum Pidana Adat merupakan hasil galian dari bumi
Indonesia yang tidak bisa di lepaskan dari adat budaya serta agama yang di anut di Indonesia.
Di Aceh seorang istri yang melakukan zinah dibunuh. Di Batak jika pembunuh tidak dapat membayar
wang salah, dan keluarga dari yang terbunuh menyerahkan untuk dihukum mati, maka hukum mati
segera dilaksanakan
Di Pulau Bonerate pencuru-pencuri dihukum mati dengan jalan tidak diberi makan, pencuri itu diikat
kaki tangannya kemudian ditidurkan di matahari hingga mati
Potong kepala yang selalu terdapat di Tanah Toraja, jarang sekali terjadi pada orang Bugis Makassar.
Yang biasa dipakai ialah menusuk dengan tombak, mencekik, dimana yang bersalah kepalanya dibalik
kebelakang kemudian ditarik dengan tali dari samping. Tapi yang umumnya ialah membunuh dengan
keris
Di Timor tiap-tiap kerugian dari kesehatan atau milik orang harus dibayar atau dibalaskan.
Balasan itu dapat berupa: hukuman mati, menyakiti, disamping dipenjara sementara waktu,
pembuangan, denda dan lain-lain. Cara melaksanakan hukuman mati ditetapkan sendiri oleh keluarga
yang terbunuh. Mungkin dlemaskan didalam air, ditombak, diperangi atau dengan pentung.
Hukuman mati juga dijalankan terhadap tukang sihir, demikian juga keluarganya.
Orang sedang kedapatan melakukan zina, dapat dibunuh oleh suaminya. Dan jika kejahatan zina itu baru
kemudian diketahui maka yang dikenakan hukuman mati ialah si laki-laki yang dianggap paling
bersalah.
Ditinjau dari hukum adat Aceh sampai Irian ini menunjukkan kepada kita bahawa hukuman mati
dikenal oleh semua suku. Dari sana juga dapat ditarik suatu kesimpulan bahawa jauh sebelum penjajah
datang ke Indonesia, hukuman mati telah ada di Indonesia. Bukanlah Belanda dengan W.v.S. (Undang
undang hukum jenayah) yang mulai memperkenalkan hukuman mati itu kepada bangsa Indonesia.

I Pendahuluan
Tujuan hukum adalah untuk mencapai kedamaian dalam masyarakat pada umumnya. Agar di dalam
hidup bersama terwujud suatu ketentraman, maka di ciptakan norma-norma yang juga dikatakan kaedah
patokan atau ukuran atau pun pedoman untuk berprilaku atau bersikap dalam hidup. Sedangkan yang
dimaksud dalam hukum adalah seluruh ketentuan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang mengatur
tata tertib dalam masyarakat dan apabila hukum itu di langgar di kenakan sanksi yaitu ancaman hukuman.
A.Z.Abidin menulis, bahwa Hukum Pidana itu merupakan cermin suatu masyarakat yang merefleksi
nilai-nilai yang menjadi dasar masyarakat itu. Bila mana nilai-nilai itu berubah, hukum pidana juga berubah.

1
Dosen Yayasan UMN Al Washliyah Medan
Hukum pidana secara tepat di sebut sebagai One of the most faithful mirros of a given civilization, reflecting
the pundamental values on which latter erst.
Penjatuhan pidana adalah merupakan suatu nestapa kepada pelanggar yang merupakan obat terakhir
(Ultimum Remedium) yang hanya di jalankan jika usaha lain seperti pencegahan sudah tidak bisa berjalan.
Salah satu bentuk sanksi yang paling berat adalah Hukuman Mati
Hukuman mati (death penalty) dalam praktek penghukuman masih mengundang perdebatan.
Jika kriminalitas di Indonesia sudah sedemikian meningkatnya maka menurut penulis Hukuman Mati
masih perlu dicantumkan dalam KUH Pidana Mendatang khususnya terhadap kejahatan-kejahatan yang berat
yang sangat menyinggung asas-asas kemanusiaan yang adil dan beradab.
Menurut ahli Kriminologi Lombrosso dan Garofalo, hukuman mati adalah alat yang mutlak yang harus
ada pada masyarakat untuk melenyapkan pelaku-pelaku kejahatan yang tidak mungkin dapat diperbaiki lagi,
dengan adanya hukuman mati maka hilanglah pula kewajiban untuk memelihara mereka dalam penjara yang
sedemikian besar biayanya. Begitu pula hilanglah ketakutan-ketakutan para pelaku-pelaku kejahatan tersebut
melarikan diri dari penjara dan membikin kejahatan lagi didalam masyarakat.
Sebelum WvS di berlakukan di Indonesia oleh Pemerintah Belanda Pidana Mati telah dikenal diseluruh
Indonesia dari Aceh sampai ke Papua. Juga di kenal pada zaman Majapahit, Kerajaan Goa, Aceh dan lain-lain.
Pidana mati yang dikenal oleh adat budaya bangsa sebelum kedatangan penjajah, hendaknya menjadi
dasar untuk penyusunan KUHP menadatang, di sesuaikan dengan kebutuhan masyarakat sekarang. Pidana
mati yang disorot dari Segi Hukum Pidana Adat merupakan hasil galian dari bumi Indonesia yang tidak bisa di
lepaskan dari adat budaya serta agama yang di anut di Indonesia.
II. Hukuman Mati Dalam Hukum Adat
Hukuman mati merupakan bahagian dari hukuman adat, maka harus meninjau secara tentang
kedudukan Hukuman Adat dalam Hukum Positif.
Menurut plakat tertanggal 22 April 1808, Mahkamah diperkenankan menjatuhkan hukuman dengan
jenisnya iaitu :
1. Dibakar hidup pada suatu tiang
2. Dimatikan dengan menggunakan keris
3. Dicap bakar
4. Dipukul
5. Kerja paksa pada pekerjaan umum.
Oleh Louwes dikatakan bahawa Daendels hanya bermaksud menyesuaikan sistem penghukuman
dalam hukum jenayah tertulis dengan sistem penghukuman dalam hukum adat.
Ternyata hukum adat dahulu, mengenal hukuman mati , dengan amalan yang kejam seperti Aceh, seorang istri
yang berzinah dibunuh. Ketika Sultan berkuasa disana, dapat dijatuhkan lima macam hukuman yang utama:
1. Tangan dipotong (pencuri)
2. Dibunuh dengan lembing
3. Dipalang dipohon
4. Dipotong daging dari badan penjenayah (sajab)
5. Ditumbuk kepala penjenayah di lesung.
Di Sulawesi Selatan ketika Aru Palaka berkuasa (sekutu VOC yang mengalahkan Sultan Hasanuddin),
penjenayah yang menurut pandangan Aru Palaka membahayakan kekuasaannya seperti La Sunni
(seorang raja setempat), di pancung kepalanya, kemudian kepala itu diletakkan diatas baki dan di perhadapkan
kapada Aru Pelaka sebagai telah dilaksanakan.
Sistem penghukuman tersebut dalam plakat masih berlangsung hingga tahun 1848 dengan keluarnya
peraturan hukum jenayah yang terkenal dengan nama Intermaire strafbepalingen LNHB 1848 Nr. 6 pasal 1
dari peraturan ini meneruskan keadaan hukum jenayah yang sudah ada sebelum tahun 1848, terkecuali
beberapa perubahan dalam hukum penjara, yang penting antaranya ialah hukuman mati tidak lagi dilaksanakan
dengan cara yang ganas seperti menurut plakat 22 April 1808 itu, tetapi dengan hukuman gantung.
Dan setelah Undang-Undang Hukum Jenayah 1915 dikenakan, maka hakim jenayah pada Mahkamah
negara tidak dapat memakai hukum jenayah adat dan istiadat sebagai strabaar (dapat dihukum), tetapi
strafmaat (ukuran jenayah) boleh kerana ia terikat oleh pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Hukum Jenayah.
Akan tetapi, Undang-undang Hukum Jenayah seperti yang kita kenal sekarang ini oleh kerananya sangat
dirasa perlu untuk mengadakan kodifikasi yang baru dilapangan hukum jenayah dengan mendasarkan pada
hukum adat.
Demi suksesnya usaha pengkodifikasian itu, alangkah baiknya kalau mengemukakan suatu bahagian kecil
daripada hukum jenayah adat, iaitu tentang hukuman mati di beberapa daerah.
Di Aceh seorang istri yang melakukan zinah dibunuh. Pada zaman dahulu Sang Sultan berkuasa
menjatuhkan lima bentuk hukuman yang istimewa: pencuri dipotong tangannya, dibunuh dengan lembing
badan yang dihukum, menumbuk kepala yang penjenayah dalam lesung.
Di Gayo hukuman penjara menggantikan hukuman mati. Kalau seseorang dengan sengaja membakar
desa, maka semua langit semua miliknya termasuk istri dan anak-anaknya) dibalas supaya jangan lagi
melakukan hal itu. Pencuri, penculik-penculik, pembunuh-pembunuh dan penghianat dimana-mana mereka
diketemukan dapat saja ditembak mati, sekalipun dia di pesta. Di sana juga dulu dikenal pembalasan terhadap
pembunuh.
Di Batak jika pembunuh tidak dapat membayar wang salah, dan keluarga dari yang terbunuh
menyerahkan untuk dihukum mati, maka hukum mati segera dilaksanakan.
Tetapi, kejahatan-kejahatan terhadap negara atau terhadap orang-orang yang memerintah, demikian juga
berzinah dengan seorang istri raja, maka tiada dibicarakan denda, atau ganti rugi, tetapi terhadap kejahatan-
kejahatan itu hukuman mati diamalkan.
Sistem perkahwinan di Batak adalah eksogami dan hal ini sangat ditaati. Dahulu kala orang yang melanggar
perintah ini dihukum mati.
Kalau di Minangkabau menurut pendapat konservatif dari Datuk Ketemanggungan di kenal hukum balas
membalas, siapa yang pernah mencurahkan darahnya.
Kalau ”bangun” (pembeli darah) itu tidak dapat dibayar oleh famili atau suku dari si penjenayah itu
maka penjenayah itu dapat dibunuh.
Hukuman dilaksanakan di muka umum pada suatu tempat di negeri itu dan seluruh penduduk harus datang
melihat. Kepala dibalut seperti haji kemudian di ikat pada tiang, yang harus melaksanakan ialah ”mamak” atau
salah seorang keluarga dari yang dibunuh, tapi tak boleh begitu saja terjadi, si pendendam harus menarik
”tandak” dengan keris terhunus di muka penjahat itu dan kadang-kadang memberi tusukan kepada si penjahat
itu. Dan kalau jiwa si pendendam sudah panas, maka barulah ia boleh memberikan tikaman yang menentukan
pada bagian batang leher sebelah kiri.
Kalau keluarganya tidak melaksanakan hal tersebut, maka ”Dubalang” yang menjalankan tugas
tersebut, ini dinamakan talio.
Seperti kejahatan-kejahatan lainnya juga untuk pembunuhan dikenakan sistem solidaritas, ini berarti
keluarga dan atau dari yang berulang berkewajiban membayar jika tidak berakibat sipesalah mati.
Peraturan-peraturan hukum berbunyi djoko basmehiduiq djoko tak basme mati artinya jika orang tak
punya emas harus mati.
Tetapi, jika kelurga si terbunuh tak menuntut hukuman mati maka hukuman badan diterapkan dengan
kata lain si pesalah dijadikan budak atau digadaikan pada keluarga si terbunuh.
Di sini ternyata bahawa banyak sekali hukuman itu mempunyai watak perdata.
Jawa (Tengah, Timur, dan Madura)
Penculik-penculik atau perompak wanita apakah penduduk asli atau asing yang menculik atau
menggadaikan pada orang Cirebon, ini dianggap kejahatan yang dapat dihukum mati, kalau penculikan itu
terjadi di luar Cirebon, sebab di luar batas-batas Cirebon, bukanlah kejahatan yang dapat dihukum mati tetapi
disiksa berat.
Zaman Yaya Prasiyaga yang dapat dihukum mati hanyalah jika dengan sengaja melukai sampai mati.
Undang-undang Djawa Nawolo Pradoto. Di situ dikenal aluning Surjono sebagai kejahatan yang tak
terampun. Termasuk kategori kejahatan ini adalah perkahwinan sumbang terhadap kejahatan ini selalu
hukuman mati dan bukan denda.
Di Bali perkahwinan sumbang yang dulu dihukum mati sekarang diganti dengan pembuangan 10 tahun.
Perkahwinan sumbang iaitu bersetubuh dengan istri dari pendeta rumah, kakak atau adik perempuan
dari pendeta itu istri dari gurunya, saudara perempuan bapaknya, saudara perempuan ibunya, istri pamannya
atau dari pihak bapaknya atau pihak ibu baik lebih tua maupun lebih muda dari orang itu, saudara perempuan
dari nenek atau dari kakeknya baik dari pihak bapak maupun dari pihak ibu istrinya/menentunya, mertuanya
perempuan atau laki-laki anak cucunya dari saudara laki-laki atau perempuan. Hal ini menyebabkan celaka
atas marga dari orang yang membuat ini, mereka itu harus dihukum mati dengan dilemaskan di dalam laut,
kerana mereka tidak boleh dikuburkan secara mulia.
Umumnya hukuman jenayah amat keras, apakah perkawinan sumbang kejahatan terhadap kaisar dan
seterusnya terus dihukum mati. Yang bersalah itu dibunuh dengan keris atau kaki diikat kemudian dibuang ke
laut.
Terutama perkawinan sumbang yang sering terdapat di Bali, hukumannya sangat keras. Pernah anak
seorang raja dihukum mati dengan cara dilemaskan.
Pada pencurian juga dapat dihukum mati, umpamanya kalau barang curian pusaka dari raja .
Hukuman-hukuman yang kejam telah diganti misalnya hukuman mati dengan jalan dilemaskan,
dibakar, ditikam dengan keris.
Biasanya dalam keputusan ditetapkan bagaimana hukuman mati akan dilaksanakan. Dan cara pelaksanaan itu
tergantung dari kemauan dewa yang telah dihinakan, kerana dia harus dipuaskan dengan suatu mangsa.
Kalau kejahatan itu dilakukan terhadap Brahma Batara Baruna (Dewa Laut), maka hukuman mati
dilaksanakan dengan dilemaskan dilaut, (mararung, mapulang kapasih, labuh batu, , lima bahakem ring
telenging samudera).
Dan kalau seorang wanita lupa kastanya kerana kesalahan, maka ia akan dikutuk dari cendana dan dulu dia
dikurbankan kepada Brahma dengan kata lain dibakar.
Di kalangan suku dari Tenggara Kalimantan, orang yang bersumpah palsu dihukum mati dengan jalan
dilemaskan didalam air.
Di Sulawesi Tengah seorang wanita iaitu seorang bangsawan yang berhubungan dengan seorang pria betua
iaitu budak, maka tanpa melihat proses dihukum mati.
Di Sulawesi Selatan pemberontakkan terhadap pemerintah, kalau yang salah tidak mau pergi ke
tempat pembuangannya maka ia boleh di bunuh oleh setiap orang.
Untuk semua kejahatan berat yang dilakukan terhadap raja dan adat, harus dihukum mati.
Di daerah Bugis Makassar bentuk-bentuk pelaksanaan hukuman.
Umpamanya hukuman mati, orang yang dihukum mati itu dikuburkan setengah badan hidup-hidup
disamping sebuah mesjid, kemudian dilempari batu sampai mati. Hukuman dilakukan kepada orang yang
melakukan zina dan cara yang demikian sekarang tak ada lagi di Sulawesi Selatan.
Di Pulau Bonerate pencuru-pencuri dihukum mati dengan jalan tidak diberi makan, pencuri itu diikat
kaki tangannya kemudian ditidurkan di matahari hingga mati.
Matthes menceritakan bagaimana kejamnya hukuman mati dijalankan, pada suatu waktu seorang ratu di
pedalaman menyuruh menginjak-nginjak dayang-dayangnya sampai mati karena terlalu dekat pada suaminya.
Potong kepala yang selalu terdapat di Tanah Toraja, jarang sekali terjadi pada orang Bugis Makassar.
Yang biasa dipakai ialah menusuk dengan tombak, mencekik, dimana yang bersalah kepalanya dibalik
kebelakang kemudian ditarik dengan tali dari samping. Tapi yang umumnya ialah membunuh dengan keris.
Hukuman mati yang dilaksanakan dengan melemaskankan didalam air biasanya pada mukah dan
perkawinan sumbang. Sekarang pelaksanaan hukuman mati itu sesuai dengan kemauan masing-masing.
Jika budak yang membunuh, ia harus dibunuh tetapi seorang membunuh budak, ia cuma di denda.
Menurut Undang-undang Amanna Gappa:
Kalau seorang merdeka membunuh seorang raja diatas kapal tetapi anak koda yang mengadilinya
tidak memberikan putusan hukuman mati (yang seharusnya dijatuhkan) dan hanya manjatuhkan hukuman
denda saja, maka anak koda tidak dapat dipidana karena hal itu.
Menurut Matthes ( yang melihatnya sendiri kejadian itu) ini merupakan pengecualian satu-satunya,
karena raja sangat berkuasa kalau didarat apalagi di istana.
Didaerah Wajo juga Matthes pernah melihat seorang raja iaitu Aru Padali dari Tempe menjatuhkan hukuman
mati terhadap orang yang mencuri sarung Matthes dengan jalan menikamnya dengan keris.
Mungkin hal ini dijalankan oleh Aru Padali, karena pencurian yang dilakukan dimuka seorang raja
sangat memalukan raja. Menurut Latoa 11 hal sehingga seorang dapat dijatuhi hukuman mati.
1. Lejja sutappere artinya memasuki kamar tidur seorang wanita sedang suaminya bepergian
2. Gegok paso artinya menggoyangkan tiang negara, ialah membunuh terhadap raja dan pembantu-
pembantu adat.
3. Poppo gamaru artinya mengacau rapat adat
4. Suloi liang artinya menerangi gua, ialah menunjukkan tempat persembunyian raja (berkhianat)
5. Mappolo lila artinya mematahkan lidah, ialah dengan sengaja melanggar perintah-perintah raja.
6. Melakukan zina dengan ratu
7. Sapa tanah artinya mengotori tanah, ialah berbuat cabul.
8. Lewu sepe artinya, menutup jalan air, ialah merusakkan pendapatan raja
9. Mapaiboko artinya membelakangi, ialah menyalahgunakan nama raja untuk melakukan kejahatan yang
sama sekali bertentangan dengan maksud raja.
10. Pelo weloi arajang artinya mencoba untuk mendapatkan keuntungan sendiri dari penguasa raja.
11. Makkai resaliwengeng arunge enrenge tanah naonroie artinya: makkai menggali, risaliwengeng:
diluar, arung: raja, enrenge: dan, tanah naonroie: tanah tempat tinggalnya, ialah bekerjasama dengan
musuh di luar negeri terhadap raja didalam negeri.
Pada Raja Bugis Bone, jika orang menjatuhkan seorang raja menyebabkan hukuman mati.
Di Nias hukuman mati dijalankan oleh orang yang tunduk dan bukan oleh orang yang hendak
membalas dendam.
Seorang (si pendendam) akan membunuh si pembunuh dimana saja dia bertemu. Hal ini adalah agak aneh
dalam hubungan-hubungan politik, tetapi biasa dipakai dalam hubungan/peraturan-peraturan adat.
Pada hal-hal tertentu adat itu juga mengenal hukuman mati tetapi sekarang banyak dipakai pendirian-
pendirian yang agak lunak, sehingga dipakai saja penuntutan sipil.
Pada orang Nias sesudah jatuh putusan diberikan tiga hari tempo kepada keluarga terhukum, untuk
mengumpul wang sebagai harga darah. Jika mereka tidak membayarnya dalam tempo tiga hari itu, maka
hukuman mati diamalkan. Dia bukan lagi keluarga yang mengatur tetapi dengan perantaraan campur tangan
kekuasaan umum.
Di Kei ternyata bahawa telah terjadi sihir, iaitu kalu peristiwa-peristiwa sudah membuktikan dengan
God oordeel bahawa seseorang membunuh diri karena sihir, maka hukuman mati atau pembuangan segera
dijalankan dan tidak ada harapan untuk mendapat pengampunan.
Di Timor tiap-tiap kerugian dari kesehatan atau milik orang harus dibayar atau dibalaskan. Balasan itu
dapat berupa: hukuman mati, menyakiti, disamping dipenjara sementara waktu, pembuangan, denda dan lain-
lain. Cara melaksanakan hukuman mati ditetapkan sendiri oleh keluarga yang terbunuh. Mungkin dlemaskan
didalam air, ditombak, diperangi atau dengan pentung.
Hukuman mati juga dijalankan terhadap tukang sihir, demikian juga keluarganya.
Orang sedang kedapatan melakukan zina, dapat dibunuh oleh suaminya. Dan jika kejahatan zina itu baru
kemudian diketahui maka yang dikenakan hukuman mati ialah si laki-laki yang dianggap paling bersalah.
Pembunuhan dibalaskan dengan hukuman mati, tetapi dibolehkan bahawa yang bersalah hanya
membayar denda yang banyak.
Hal ini di jelaskan oleh Wijngaarden bahawa hukuman mati hanya dapat diganti dengan denda kalau
keluarga yang terbunuh menerimanya.
Menurut Ten Kate bahawa hukuman mati sekarang jarang dilaksanakan pada bangsa Timor dari
Amarasi, tetapi terhadap tukang sihir tetap dijalankan.
Hukuman mati dijalankan kepada orang yang melakukan pembunuhan, percobaan pembunuhan, pencurian
dalam rumah raja dan pelanggaran kesusilaan dalam kraton.
Hukuman mati dilaksanakan dengan jalan menikam dengan keris, dirajam atau dilemaskan didalam air.
Mennes juga menerangkan bahwa hukuman mati amat jarang dijalankan. Yang dihukum mati ialah
orang yang sudah melakukan kejahatan dan ia harus dihukum mati, karena orang takut kepadanya.
Di ambon dan Maluku dalam hukum adat hampir semua jenayah dapat dibayar dengan denda. Hanya
kejahatan yang amat berat pernah ada yang dihukum mati. Tetapi karena kepala-kepala kurang bebas maka
hukuman-hukuman yang sudah diputuskan biasanya tak dapat dilaksanakan.
Di kepulauan Aru orang yang membawa dengan senjata, zinah kalau ia dapat membayar denda ia di
hukum mati.
Pembunuh harus di bunuh oleh keluarga terbunuh. Tetapi apabila sanggup membayar ganti rugi berupa
piring emas, rantai yang berharga sama dengan piring emas, mutiara sama dengan 50 souverings dan lola atau
gigi gading harga sama dengan 3 piring emas, papan putar dari tembaga harga sama dengan souverings dan
lola atau gigi gading harga sama dengan 40 atu 50 Souverings dia dapat dibebaskan.
Di kisar ada tiga tingkatan yaitu:
1. Marus adalah bangsawan
2. Orang Bur adalah rakyat
3. Budak
Perikatan antar seorang wanita dari golongan tinggi dan pria golongan rendah dapat dihukum mati,
tetapi kalau laki-laki harus kawin dengan wanita bur tak apa-apa.
Di Ternate keputusan hukuman mati dapat diganti dengan denda uang, denda itu separuhnya dibagi antara
orang yang hadir disidang.
Hilman Hadikusuma menyebut beberapa jenayah adat di Lampung yang dapat dijatuhi hukuman mati.
Jenayah-jenayah tersebut sebagai berikut:
1. Jika kerabat si terbunuh mendakwa, maka terlebih dahulu diperiksa pangkat kedudukan siterbunuh dan
si pembunuh untuk dapat menghitung tepung bangunnya (hukuman terhadap pembunuh). Jika
pembunuh ternyata tidak dapat memenuhi tepung bangun si terbunuh, maka pembunuh harus di
bunuh sampai mati. Tetapi hukuman tersebut dapat dibatalkan jika ada para pihak yang berkeberatan
karena sayang pada pembunuh, apabila demikian maka pelaku pembunuhan itu diserahkan kepada
kerabat si terbunuh untuk penyelesaiannya dengan maksud tercapai perdamaian diantara kerabat dua
pihak dengan saling memaafkan dunia dan akhirat (pasal 69 KRN).
2. Jenayah, perbuatan zina yang dilakukan antara bapak atau ibu dengan anaknya atau antara mertua
dengan manantu atau sebaliknya. Hukuman selain pepadun tengkurap, dibunuh atau dibuang (pasal 94
KRN).
3. Berzina dengan istri orang lain, jika perbuatan itu terjadi kerana si wanita tidak mau tetapi kerana
dipaksa, maka semua denda dibayar oleh si pria. Dan jika si pria tidak mau membayar dendanya,
maka ia harus dibunuh sampai mati (pasal 100 KRN).
Menurut Hilman Hadikusuma jenayah-jenayah dimana sipelaku jenayah tersebut dapat dibunuh tanpa
melalui proses dan orang yang membunuh si pelaku tersebut tidak dapat dihukum. Jenayah-jenayah tersebut
adalah:
1. Jika pembunuhan dilakukan terhadap orang yang rompak di dalam pekarangan rumah atau di dalam
pekarangan rumah atau masih dalam jarak tiga depan dari sisi rumah, maka si pembunuh tidak dapat
dihukum (Pasal 170 KRN)
2. Jika seseoramg membunuh penjahat yang sedang berada dalam rumah, maka tiada dikenakan (Pasal 40
Bab V h. 30 Simbur Tjahaja).
3. Jika seseorang lelaki masuk kedalam rumah orang lain, dengan maksud yang nyata hendak berbuat jahat
dengan istri atau anak gadis yang empunya rumah (kerap gawe namanya), dan tertangkap dalam rumah itu
lalu dibunuh, maka tiada dijadikan perkara
Dalam perundang-undangan Majapahit pun hukuman mati telah dikenal. Selamat Mulyana menulis
bahawa dalam perundang-undangan Majapahit tidak dikenal hukuman penjara dan kurungan.
A. Hukuman Pokok
1. Hukuman mati
2. Hukumanpotong anggota badan yang bersalah
3. Hukuman denda
4. Ganti kerugian atau panglicawa atau patukucawa
B. Hukuman Tambahan
1. Tebusan
2. Penyitaan
3. Patibajampi (pembeli obat)
Yang dijatuhi hukuman mati ialah: pembunuhan, menghalangi terbunuhnya orang yang bersalah kepada
raja, perbuatan-perbutan perusuh, yaitu pencurian, membegal, menculik, berkahwin wanita larangan, meracuni
dan menenung.
Ditinjau dari hukum adat Aceh sampai Irian ini menunjukkan kepada kita bahawa hukuman mati
dikenal oleh semua suku. Dari sana juga dapat ditarik suatu kesimpulan bahawa jauh sebelum penjajah datang
ke Indonesia, hukuman mati telah ada di Indonesia. Bukanlah Belanda dengan W.v.S. (Undang undang hukum
jenayah) yang mulai memperkenalkan hukuman mati itu kepada bangsa Indonesia.

Daftar Pustaka

Adam Chazawi, 2001, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-teori
Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Andi Hamzah, 1993, Pelaksanaan Peradilan Pidana Berdasarkan Teori dan Praktek, Rineka Cipta,
Jakarta.
Andi Hamzah, 1987, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia dari Retribusi ke Reformasi, Pradya
Paramita, Jakarta.
Andi Hamzah, 1985, Pidana Mati Di Masa Lalu, Kini dan Masa Depan, Ghalia, Indonesia.
Adhi, (2007), Hukuman Mati di Tengah Perdebatan, http:// pitoyoadhi.wordpress.com/
2007/01/03/hukuman-mati-pro-atau-kontra/. Diakses pada tanggal, 9 Juli 2009.
Bambang Sunggono, (1998), Metodologi Penelitin Hukum, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada,
Bambang Waluyo, (1996) Penelitian Hukum Dalam Praktek, Jakarta Sinar Grafika,
Gayus Lumbuun, (2008), Hentikan Pidana Mati. http://www2.kompas.com/kompas
cetak/0302/28/OPINI/152606.htm. Diakses pada tanggal, 7 Juli 2009
Joko Prakoso, 1987, Masalah Pidana Mati (soal tanya jawab), Bina Aksara, Jakarta.
Joko Prakoso, 1984, Masalah Pemberian Pidana Dalam Teori Dan Praktek Peradilan, Bina Aksara,
Jakarta.
Koeswadji Hadiati Hermien, 1995, Perkembangan Macam-Macam Pidana Dalam Rangka Pembangunan
Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Lamintangm 1984, Hukum Penentensir Indonesia, Armico, Bandung.
Lili Rasjidi, (1999), Hukuman Mati dalam Tinjauan Filsafat, Cetakan Pertama, Bandung,
Masyhur Effendi, 1994, Dimensi Dinamika HAM Dalam Hukum Nasional dan Internasional, Ghalia, Indonesia.
Mangasa Sidabutar, 1995, Hak Terdakwa Terpidana Penuntut Umum Menempuh Upaya Hukum, Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
Nurwahchi, 1994, Pidana Mati dala Hukum Pidana Islam, Al-Ikhlas, Surabaya.
Nurwahchi, 1985, Studi Tentang Pendapat-pendapat Mengenai Efektivitas Pidana Mati di Indonesia,
Ghalia, Indonesia.
Moleong, 1989, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Karya, Bandung.
Pensra, Dalam tesis berjudul, Pidana Mati Ditinjau Dari Sudut Pandang HAM,
Posman Hutapea, (2001), Mempersoalkan Pelaksanaan Hukuman Mati, Edisi Kedua, Bandung,
Paskalis Pieter, (2007), Hukuman Mati dan Hak Asasi Manusia, Cetakan I, Jakarta, PT. Grafindo
Persada
Rahmad A. Ghani, (2007), Makna Yuridis Pelaksanaan Hukuman Mati, Semarang, UNDIP
Ronny Hanitijo, (1982) Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta, Ghalia Indonesia,
Roger Hood, The Death Penalty; A Worldwide perspective (Oxford University Press,(2002).
www.amnesty.org
Sholehuddin, 2003, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track Sistem dan
Implementasiny, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
SR. Sianturi, 2002, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta.
Tibor R. Machan dengan penerjemah Masri Maris, (2006), Kebebasan dan Kebudayaan,Jakarta
Yayasan Obor Indonesia
Waluyo Bambang, 2000, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta.
Yahya AZ, 2007, Problematika Penerapan Pidana Mati dalam Kaitannya dengan Hak Asasi Manusia
(HAM), PUSHAM UII, Yogyakarta.

Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar 1945 Hasil Amandemen.
Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 Tentak Tindak Pidana Psikotropika.
Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 Tentang Tindak Pidana Narkotika.
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Rancangan Undang-Undang Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 2002, Direktorat
Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Kehakiman HAM RI.
Putusan Mahkamah Konstusi terhadap Yudicial Review Undang-Undang No. 22 Tentang Narkotika
terhadap Undang-Undang Dasar 1945.

Anda mungkin juga menyukai