Anda di halaman 1dari 29

BAB IV

PRELIMINARY DESIGN

4.1 Perencanaan Awal Dimensi Balok


Balok memikul beban vertikal berupa beban mati dan beban hidup dalam arah
memanjang dan arah melintang, serta kolom yang menjadi tumpuan balok dianggap
jepit. Perencanaan awal dimensi balok menggunakan rumus tinggi minimum balok
pada Tabel 2.26.

Gambar 4.1 Denah lantai 1 yang ditinjau

63
64

Tabel 4.1 Penentuan Dimensi Balok


Tinggi Minimum Balok (mm)
Dimensi
Menerus Satu Sisi Menerus Dua Sisi Nama
Bentang (mm) 𝓵 Balok
𝓵 Balok
(mm)
𝟏𝟖, 𝟓 𝟐𝟏
9000 486,486 - 300/500
6000 324,324 285,714 300/500
Balok
5000 - 238,095 300/500 B1
Induk
4500 243,243 214,286 300/500
2000 108,108 95,238 300/500
6000 324,324 285,714 250/500
5000 - 238,095 250/500
4500 243,243 214,286 250/500
3500 189,189 - 250/500
3000 162,162 142,857 250/500
Balok
2500 135,135 119,048 250/500 B2
Anak
1875 101,351 - 250/500
1500 81,081 71,429 250/500
1300 70,270 - 250/500
1200 64,865 57,143 250/500
1000 54,054 47,619 250/500

4.2 Perencanaan Awal Dimensi Pelat Lantai


Pelat lantai memikul beban vertikal berupa beban mati dan beban hidup
dalam arah memanjang dan melintang, serta balok yang menjadi tumpuan pelat
lantai dianggap jepit. Perencanaan awal tebal pelat lantai menggunakan rumus
ketebalan minimum pelat lantai pada Tabel 2.23 untuk pelat satu arah, Tabel 2.24
dan Tabel 2.25 untuk pelat dua arah.

Gambar 4.2 Denah pelat lantai 1


65

Gambar 4.3 Pelat lantai yang ditinjau

Adapun analisis perhitungan dalam menentukan tebal pelat lantai dengan


tinjauan pelat seperti pada Gambar 4.3 adalah sebagai berikut:
1. Menentukan jenis pelat lantai
1 1
𝐿 𝑌 4500− ×300− ×300 4200
𝛽 = 𝐿𝑛𝑋 = 2
1
2
1 = 3850 = 1,091 ≤ 2 (Pelat Dua Arah)
𝑛 4125− ×300− ×250
2 2

Untuk perhitungan selanjutnya diasumsikan tebal pelat lantai (t) yaitu 110 mm.

2. Menghitung nilai rasio kekakuan lentur penampang balok terhadap kekakuan


lentur pelat (af)
a. af1 Balok T B1 (300/500)

bw = 300 mm
H = 500 mm
t = 110 mm
66

• Lebar efektif (be)


be = bw + 2(H - t) = 300 + 2(500 - 110) = 1080 mm
be = bw + 8t = 300 + 8(110) = 1180 mm
diambil nilai be terkecil, sehingga be = 1080 mm.
• Momen inersia balok (Ib)
𝑏 𝑡 𝑡 𝑡 2 𝑏 𝑡 3
1+( 𝑒 −1)( )[4−6( )+4( ) +( 𝑒 −1)( ) ]
𝑏𝑤 𝐻 𝐻 𝐻 𝑏𝑤 𝐻
k = 𝑏𝑒 𝑡
1+( −1)( )
𝑏𝑤 𝐻

1080 110 110 110 2 1080 110 3


1+( −1)( )[4−6( )+4( ) +( −1)( ) ]
300 500 500 500 300 500
k = 1080 110
1+( −1)( )
300 500

= 1,692
𝑏𝑤 𝐻 3 (300)(5003 )
Ib = 𝑘 = 1,692 = 5,287 × 109 mm4
12 12

• Momen inersia pelat (Is)


𝐿𝑝𝑒𝑙𝑎𝑡 𝑡 3
Is = 12
1
( (4500+4500))(1103 )
2
= 12

= 4,991 × 108 mm4


• Rasio kekakuan lentur penampang balok terhadap kekakuan lentur
pelat (af1)
𝐸𝑐𝑏 𝐼𝑏
af1 = , dengan Ecb = Ecs
𝐸𝑐𝑠 𝐼𝑠

9,276×109
=
4,991×108

= 10,592

b. af2 Balok T B1 (300/500)

bw = 300 mm
H = 500 mm
t = 110 mm
67

• Lebar efektif (be)


be = bw + (H - t) = 300 + (500 - 110) = 690 mm
be = bw + 4t = 300 + 4(110) = 740 mm
diambil nilai be terkecil, sehingga be = 690 mm.
• Momen inersia balok (Ib)
𝑏 𝑡 𝑡 𝑡 2 𝑏 𝑡 3
1+( 𝑒 −1)( )[4−6( )+4( ) +( 𝑒 −1)( ) ]
𝑏𝑤 𝐻 𝐻 𝐻 𝑏𝑤 𝐻
k = 𝑏𝑒 𝑡
1+( −1)( )
𝑏𝑤 𝐻

690 110 110 110 2 690 110 3


1+( −1)( )[4−6( )+4( ) +( −1)( ) ]
300 500 500 500 300 500
k = 690 110
1+( −1)( )
300 500

= 1,420
𝑏𝑤 𝐻 3 (300)(5003 )
Ib = 𝑘 = 1,420 = 4,437 × 109 mm4
12 12

• Momen inersia pelat (Is)


𝐿𝑝𝑒𝑙𝑎𝑡 𝑡 3
Is = 12
1
( (4125+0))(1103 )
2
= 12

= 2,288 × 108 mm4


• Rasio kekakuan lentur penampang balok terhadap kekakuan lentur
pelat (af2)
𝐸𝑐𝑏 𝐼𝑏
af2 = , dengan Ecb = Ecs
𝐸𝑐𝑠 𝐼𝑠

4,437×109
=
2,288×108

= 19,394

c. af3 Balok T B2 (250/500)

bw = 250 mm
H = 500 mm
t = 110 mm
68

• Lebar efektif (be)


be = bw + 2(H - t) = 250 + 2(500 - 110) = 1030 mm
be = bw + 8t = 250 + 8(110) = 1130 mm
diambil nilai be terkecil, sehingga be = 1030 mm.
• Momen inersia balok (Ib)
𝑏 𝑡 𝑡 𝑡 2 𝑏 𝑡 3
1+( 𝑒 −1)( )[4−6( )+4( ) +( 𝑒 −1)( ) ]
𝑏𝑤 𝐻 𝐻 𝐻 𝑏𝑤 𝐻
k = 𝑏𝑒 𝑡
1+( −1)( )
𝑏𝑤 𝐻

1030 110 110 110 2 1030 110 3


1+( −1)( )[4−6( )+4( ) +( −1)( ) ]
250 500 500 500 250 500
k = 1030 110
1+( −1)( )
250 500

= 1,776
𝑏𝑤 𝐻 3 (250)(5003 )
Ib = 𝑘 = 1,776 = 4,625 × 109 mm4
12 12

• Momen inersia pelat (Is)


𝐿𝑝𝑒𝑙𝑎𝑡 𝑡 3
Is = 12
1
( (4125+1875))(1103 )
2
= 12

= 3,328 × 108 mm4


• Rasio kekakuan lentur penampang balok terhadap kekakuan lentur
pelat (af3)
𝐸𝑐𝑏 𝐼𝑏
af3 = , dengan Ecb = Ecs
𝐸𝑐𝑠 𝐼𝑠

4,625×109
=
3,328×108

= 13,900
69

3. Menghitung nilai afm pada pelat yang ditinjau

Gambar 4.4 Nilai af pada pelat lantai yang ditinjau


1
afm = 4 (af1 + af1 + af2 + af3)
1
= 4 (10,592 + 10,592 + 19,394 + 13,900)

= 13,620

4. Menentukan tebal pelat lantai


Untuk pelat lantai yang ditinjau didapat nilai afm > 2, maka tebal minimum pelat
𝑓𝑦
ℓ𝑛 (0,8+ )
1400
lantai (hmin) adalah nilai terbesar dari nilai hmin = dan 90.
36+9𝛽
𝑓𝑦 420
ℓ𝑛 (0,8+ ) 4200(0,8+ )
1400 1400
hmin = = = 103,083 mm
36+9𝛽 36+9(1,091)

Berdasarkan persyaratan diatas maka tebal pelat lantai (t) yang digunakan
sebesar 110 mm.
70

4.3 Perencanaan Awal Dimensi Kolom


Perencanaan awal dimensi kolom ditentukan dengan menghitung beban-
beban yang bekerja pada kolom tersebut. Perhitungan total beban yang bekerja pada
kolom menggunakan metode Tributary Area. Beban yang ditinjau dalam
perencanaan awal dimensi kolom adalah beban vertikal berupa beban mati dan
beban hidup.

Gambar 4.5 Denah kolom lantai 1

Gambar 4.6 Kolom yang ditinjau


71

Adapun pembebanan yang diperhitungkan dalam menentukan dimensi awal


kolom adalah sebagai berikut:
1. Beban mati (D)
a. Berat pelat lantai t = 110 mm
110
Q1 = 1000 × 24 × 4,5 × 4

= 47,520 kN
b. Berat penutup lantai berupa adukan semen 3 cm dan keramik 1 cm (lantai
1 sampai lantai 8)
Q2 = (0,03 × 21 × 4,5 × 4) + (0,01 × 0,24 × 4,5 × 4)
= 15,660 kN
c. Berat penutup lantai berupa adukan semen 3 cm (lantai atap)
Q3 = 0,03 × 21 × 4,5 × 4
= 11,340 kN
d. Berat balok B1 300/500
300 (500−110)
Q4 = 1000 × × 24 × (2,25 + 2,25 + 1 + 3)
1000

= 23,868 kN
e. Berat balok B2 250/500
250 1 (500−110)
• Lantai 1 dan atap, Q5 = (100 × 2) × × 24 × (2,25 + 2,25)
1000

= 5,265 kN
250 (500−110) 250 1
• Lantai 2 - 8, Q6 = 100 × 1000
× 24 × (2,25) + (100 × 2) ×
(500−110)
× 24 × (2,25)
1000

= 7,898 kN
g. Berat plafond dan rangka
Q7 = 0,18 × 4,5 × 4
= 3,240 kN
h. Berat mekanikal dan elektrikal
Q8 = 0,25 × 4,5 × 4
= 4,500 kN
72

i. Berat dindin pasangan batako berlubang (HB 10 cm) dan plesteran 2 × 1,5
cm
• Lantai 1, Q9 = (1,2 × 4 × 4,5) + (2 × 0,015 × 21 × 4 × 4,5)
= 32,940 kN
• Lantai 2 - 8, Q10 = (1,2 × 4 × 9,75) + (2 × 0,015 × 21 × 4 ×
9,75)
= 71,370 kN

Total beban mati yang bekerja pada setiap lantai yaitu:


a. Lantai 1
D1 = Q1 + Q2 + Q4 + Q5 + Q7 + Q8 + Q9
= 47,520 + 15,660 + 23,868 + 5,265 + 3,240 + 4,500 + 32,940
= 132,993 kN
a. Lantai 2 - 8
D2 - 8 = Q1 + Q2 + Q4 + Q6 + Q7 + Q8 + Q10
= 47,520 + 15,660 + 23,868 + 7,898 + 3,240 + 4,500 + 71,370
= 174,056 kN
a. Lantai atap
Datap = Q1 + Q3 + Q4 + Q5
= 47,520 + 11,340 + 23,868 + 5,265
= 87,993 kN

2. Beban hidup (L)


a. Beban hidup untuk kantor, koridor (lantai 1)
L1 = (3 × 4,5 × 2,4) + (1 × 4,5 × 4,79)
= 53,955 kN
b. Beban hidup untuk kantor, koridor, pantry, ruang rapat (lantai 2 - 8)
L2 - 8 = (3 × 2,25 × 2,4) + (1 × 4,5 × 3,83) + (2,5 × 2,25 × 7,18) +
(0,5 × 2,25 × 4,79)
= 79,211 kN
73

c. Beban hidup untuk lantai atap


Beban hidup untuk lantai atap terdiri dari beban hidup atap datar dan
genangan air hujan setinggi 5 cm.
Latap = (4 × 4,5 × 0,96) + (0,05 × 4 × 4,5 × 10)
= 26,280 kN

Untuk menghitung nilai beban ultimit (Pu) setiap lantai digunakan kombinasi
pembebanan Pu = 1,2D + 1,6L yang dapat dilihat pada tabel sebagai berikut.

Tabel 4.2 Hasil Perhitungan Beban Ultimit (Pu) Setiap Lantai.


Lantai Beban Mati (kN) Beban Hidup (kN) Pu (kN)
1 132,993 53,955 245,920
2 174,056 79,211 335,605
3 174,056 79,211 335,605
4 174,056 79,211 335,605
5 174,056 79,211 335,605
6 174,056 79,211 335,605
7 174,056 79,211 335,605
8 174,056 79,211 335,605
Atap 87,993 26,280 147,640
Berdasarkan denah kolom lantai 1 yang ditinjau, kolom direncanakan
berbentuk persegi dimana dimensi kolom yang direncanakan menggunakan
dimensi kolom yang seragam di setiap lantainya. Oleh karena itu, tinjauan luas
penampang hanya perlu dilakukan terhadap kolom lantai 1 yang menerima beban
paling besar dari lantai-lantai diatasnya. Direncanakan dimensi kolom dengan
ukuran 500 mm × 500 mm.
Berat kolom K1 500/500 (Wk)
Wk = Ag × Tinggi Total Bangunan × 𝛾beton
500 500
=( × ) × 32 × 24
1000 1000

= 192,000 kN
Sehingga, total beban ultimit (Pu) yang bekerja pada kolom lantai 1 adalah:
Pu = Pu1 + Pu2 + Pu3 + Pu4 + Pu5 + Pu6 + Pu7 + Pu8 + Pu atap + 1,2 Wk
= 245,920 + 335,605 + 335,605 + 335,605 + 335,605 + 335,605 + 335,605 +
335,605 + 147,640 + (1,2 × 192,000)
= 2973,191 kN
74

Kekuatan desain kolom harus memenuhi salah satu persyaratan yaitu 𝜙Pn ≥
Pu. Kekuatan tekan aksial nominal Pn tidak boleh melebihi Pn maks sesuai Tabel 2.29
dimana untuk komponen nonprategang dengan tulangan tranversal berupa
sengkang persegi, nilai Pn maksnya adalah 0,80Po.
𝜙Pn = Pu
𝜙Pn maks = Pu
𝜙(0,80Po) = Pu
𝜙[0,80 × (0,85fc'(Ag − Ast) + fyAst)] = Pu
0,65[0,80 × (0,85 × 30(Ag − 0,01Ag) + 420 × 0,01Ag)] = Pu
15,311Ag = Pu
𝑃
𝑢
Ag = 15,311

Keterangan:
𝜙 = Faktor reduksi kekuatan (0,65)
fc' = Mutu beton (30 MPa)
fy = Mutu baja (420 MPa)
Ag = Luas penampang kolom (mm2)
Ast = 0,01Ag
Sehingga, luas penampang kolom yang diperlukan adalah:
𝑃
𝑢
Ag = 15,311
2973,191×103
= 15,311

= 194.181,551 mm2
Sperlu = √𝐴𝑔

= √194.181,551
= 440,660 mm
Karena Srencana > Sperlu, maka dimensi kolom 500 mm × 500 mm dapat digunakan.
75

4.4 Perencanaan Tangga


Tangga adalah suatu konstruksi yang dirancang untuk menghubungkan dua
tingkat vertikal yang memiliki jarak satu sama lain. Tangga terdiri dari anak tangga
dan bordes. Anak tangga adalah tempat berpijak pada saat menaiki atau menuruni
tangga yang mana terdiri dari tinggi anak tangga (optrade) dengan ukuran berkisar
15 sampai 20 cm dan lebar anak tangga (antrade) dengan ukuran berkisar 20 sampai
30 cm. Sedangkan bordes adalah bagian dari tangga yang berfungsi sebagai tempat
beristirahat sebelum menaiki atau menuruni anak tangga selanjutnya dan juga
sebagai pengubah arah tangga.
Adapun analisis perhitungan dalam menentukan rencana awal tangga adalah
sebagai berikut:
Beda elevasi (H) = 4000 mm
Lebar tangga (Lt) = 1500 mm
Lebar bordes (Lb) = 4900 mm
Jumlah anak tangga (n) = 21 buah
Tinggi anak tangga (O) = 180 mm
Lebar anak tangga (A) = 300 mm
Sudut tangga (𝛼) = 30,964°
76

Gambar 4.7 Tangga


Tebal pelat tangga dan bordes direncanakan seragam agar momen inersia pelat
tangga sama besarnya dengan momen inersia pelat bordes. Tangga direncanakan
sebagai pelat satu arah karena pelat hanya memiliki tumpuan di arah dengan kedua
ujung menerus yaitu:
𝐿 𝑓𝑦 4643,318 420
tmin = (0,4 + )= (0,4 + ) = 165,832 mm
28 700 28 700

dengan L adalah bentang bersih terpanjang pelat tangga.


L = √39002 + 25202 = 4643,318 mm
Dari perhitungan tersebut maka tebal pelat tangga dan bordes yang digunakan untuk
tangga adalah 170 mm.
77

4.5 Perencanaan Lift


Selain penggunaan tangga, alat bantu transportasi vertikal yang direncanakan
pada gedung bertingkat ini adalah lift. Pemilihan kapasitas lift akan menentukan
jumlah lift yang digunakan dimana jumlah lift tersebut juga mempengaruhi kualitas
pelayanan gedung. Dalam menentukan jumlah lift perlu dilakukan secara realistis
terhadap kebutuhan sekarang dan perkiraan di masa yang akan mendatang,
mengingat sulitnya dilakukan modifikasi setelah lift terpasang. Sistem lift yang baik
adalah menghasilkan waktu tunggu yang minimal pada setiap lantai, kecepatan
yang cukup agar pengguna lift tetap merasa nyaman, daya angkut vertikal yang
besar, serta pemuatan dan penurunan yang cepat pada setiap lantai.
Kriteria-kriteria yang mempengaruhi kualitas pelayanan lift adalah sebagai
berikut:
1. Waktu perjalanan bolak-balik lift (round trip time)
Waktu perjalanan bolak-balik lift (round trip time) adalah waktu yang
dibutuhkan seseorang secara total dari mulai masuk lift sampai ke lantai yang
dituju. Waktu perjalanan bolak-balik lift (round trip time) dapat dihitung secara
pendekatan yang terjadi dari:
a. Pintu lift terbuka di lantai dasar.
b. Penumpang memasuki lift di lantai dasar.
c. Pintu lift tertutup kembali.
d. Pintu lift terbuka di setiap lantai.
e. Penumpang meninggalkan lift di setiap lantai.
f. Pintu lift tertutup kembali di setiap lantai.
g. Perjalanan bolak-balik.
sehingga round trip time dapat dirumuskan sebagai berikut:
(2ℎ+4𝑠 )(𝑛−1)+𝑠(3𝑚+4)
RTT = 𝑠

Keterangan:
RTT = Waktu perjalanan bolak-balik lift atau round trip time (detik)
h = Tinggi antar lantai (m)
s = Kecepatan rata-rata lift (m/detik)
n = Jumlah lantai dalam satu zona
m = Kapasitas lift (orang)
78

2. Waktu tunggu (waiting time)


Waktu tunggu (waiting time) adalah waktu maksimum yang diukur dalam
detik, antara pemanggilan lift (ditekannya tombol lift) di lantai dasar pada
beban puncak dan datangnya lift (terbukanya pintu lift). Waktu tunggu juga
beragam tergantung pada jenis gedung.
𝑅𝑇𝑇
WT = 𝑁

Keterangan:
WT = Waktu tunggu atau waiting time (detik)
RTT = Waktu perjalanan bolak-balik lift atau round trip time (detik)
N = Jumlah lift
3. Daya angkut (handling capacity)
Daya angkut lift tergantung dari kapasitas dan frekuensi pemuatannya yang
diukur untuk jangka waktu 5 menit pada jam sibuk (rush hour).
5×60×𝑚
HC =
𝑊𝑇

Keterangan:
HC = Daya angkut atau handling capacity (orang/detik)
m = Kapasitas lift (orang)
WT = Waktu tunggu atau waiting time (detik)
Beban puncak lift (L) dihitung berdasarkan persentase pendekatan terhadap
jumlah penghuni gedung yang harus diangkut lift dalam waktu 5 menit pada
jam sibuk yaitu:
a. Perkantoran = 4% × jumlah penghuni gedung (4 m2/orang)
b. Flat = 3% × jumlah penghuni gedung (3 m2/orang)
c. Hotel = 5% × jumlah penghuni gedung (5 m2/orang)
79

Adapun analisis perhitungan dalam menentukan jumlah lift yang digunakan


adalah sebagai berikut:
1. Data-data yang digunakan
Tinggi antar lantai (h) =4m
Kecepatan rata-rata lift (s) = 1 m/detik
Jumlah lantai (n) = 8 lantai
Kapasitas lift (m) = 11 orang
Luas bangunan = 5328 m2
2. Waktu perjalanan bolak-balik lift (round trip time)
(2ℎ+4𝑠)(𝑛−1)+𝑠(3𝑚+4)
RTT = 𝑠
(2×4+4×1)(8−1)+1(3×11+4)
= 1

= 121 detik
3. Beban puncak lift
𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑏𝑎𝑛𝑔𝑢𝑛𝑎𝑛
L = 4% × 4
5328
= 4% × 4

= 53,28 ≈ 54 orang
4. Jumlah lift
5×60×𝑚 𝑅𝑇𝑇
HC = , dengan WT =
𝑊𝑇 𝑁
300×𝑚×𝑁
HC = , dengan Daya angkut (HC) = Beban puncak lift (L)
𝑅𝑇𝑇
300×𝑚×𝑁
L = 𝑅𝑇𝑇

Sehingga, jumlah lift (N) yang diperlukan pada gedung ini yaitu:
𝐿×𝑅𝑇𝑇
N = 300×𝑚
54×121
= 300×11

= 1,98 ≈ 2 buah

Berdasarkan perhitungan tersebut maka direncanakan 2 buah lift pada gedung


ini dengan data-data yang ditunjukkan pada tabel sebagai berikut.
80

Tabel 4.3 Spesifikasi Lift dari Hyundai Elevator Co., Ltd.


Spesifikasi Lift dari Hyundai Elevator Co., Ltd.
Tipe Lift Passenger Elevator
Kecepatan Lift 1 m/detik
Kapasitas Lift 11 orang (750 kg)
Opening (OP) 800 mm
Internal (CA × CB) 1400 × 1350 mm
Car
External (A × B) 1460 × 1505 mm
Hoistway (X2 × Y) 3700 × 1950 mm
M/C Room (MX2 ×
4000 × 3700 × 2200 mm
MY × MH)
R1 = 4550 kg
M/C Room Reaction
R2 = 2800 kg
Overhead (OH) 4200 mm
Pit (PD) 1300 mm

Gambar 4.8 Denah dan potongan lift

4.6 Perencanaan Awal Perhitungan Gempa


Berdasarkan SNI 1726-2019 mengenai Tata Cara Perencanaan Ketahanan
Gempa untuk Struktur Bangunan Gedung dan Non Gedung, adapun analisis
perhitungan gempa adalah sebagai berikut:
1. Menentukan Kategori Risiko Struktur Bangunan Gedung
Melalui Tabel 4.4 berikut ini, adapun kategori resiko struktur untuk
bangunan Gedung Kantor Kedinasan Lantamal XII Mempawah ini adalah
81

sebagai gedung kantor (gedung perkantoran). Oleh karena itu, melalui


penjelasan sebelumnya pada Tabel 2.6, maka Gedung Kantor Kedinasan
Lantamal XII Mempawah ini dikategorikan dalam Kategori Risiko II.

Tabel 4.4 Kategori Risiko Bangunan Gedung Kantor Kedinasan Lantamal XII
Mempawah

Sumber : SNI 1726-2019, Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Struktur
Bangunan Gedung dan Nongedung

2. Menentukan Nilai Faktor Keutamaan Gempa (Ie) Struktur Bangunan


Gedung
Berdasarkan fungsinya, bangunan Gedung Kantor Kedinasan Lantamal
XII Mempawah ini termasuk dalam bangunan dengan Kategori Risiko IV, yang
mana nilai faktor keutamaan gempa (Ie) untuk kategori tersebut adalah sebesar
1,00. Adapun nilai faktor keutamaan gempa tersebut didasarkan pada Tabel 4.5
berikut ini.
Tabel 4.5 Faktor Keutamaan Gempa Gedung Kantor Kedinasan Lantamal XII
Mempawah
Kategori Risiko Faktor Keutamaan Gempa (Ie)
I atau II 1,00
III 1,25
IV 1,50
Sumber : SNI 1726-2019, Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Struktur
Bangunan Gedung dan Nongedung

3. Menghitung Nilai N-SPT untuk Menentukan Klasifikasi Situs Tanah


Dalam melakukan penentuan klasifikasi situs untuk bangunan ini,
̅) yang
diperlukannya nilai tahanan penetrasi standar lapangan rata-rata (𝑁
dihitung melalui rumus berikut ini:
𝑛
̅ = ∑𝑖=1 𝑑𝑑𝑖
𝑁 𝑛
∑𝑖=1 𝑖
𝑁𝑖
82

Keterangan:
di = ketebalan total dari lapisan tanah 0 − 30 m;
Ni = tahanan penetrasi standar untuk tanah non kohesif, kohesif atau batuan.
Adapun pada Tabel 4.6 berikut ini merupakan hasil perhitungan nilai
N−SPT tanah berdasarkan data bor log yang telah diberikan.
Tabel 4.6 Hasil Perhitungan Nilai N−SPT
Nilai Rasio
Lapisan Tebal Lapisan Kedalaman Nilai
Lapisan
Tanah ke (n) Tanah (di) (m) Tanah (m) N−SPT
N−SPT (di/Ni)
1 9 9 2 4,500
2 6 15 3 2,000
3 3 18 4 0,750
4 3 21 7 0,429
5 3 24 8 0,375
6 3 27 14 0,214
7 3 30 31 0,097
Σ 30 8,365
Adapun kemudian berdasarkan persamaan di atas, didapatkan nilai
̅) sebesar:
tahanan penetrasi standar lapangan rata-rata (𝑁
𝑛
̅ = ∑𝑖=1 𝑑𝑑𝑖 = 30 = 3,587 < 15
𝑁 𝑛
∑𝑖=1 𝑖 8,365
𝑁𝑖

̅ < 15, yakni sebesar 3,587, maka kategori tanah dapat


Dikarenakan nilai 𝑁
diklasifikasikan sebagai jenis tanah lunak (SE) sesuai Tabel 4.7 berikut ini.
83

Tabel 4.7 Penentuan Klasifikasi Situs

Sumber : SNI 1726-2019, Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Struktur
Bangunan Gedung dan Nongedung

4. Menentukan Nilai Parameter Percepatan Gempa Terpetakan


Adapun berdasarkan SNI 1726-2019 tentang Tata Cara Ketahanan
Gempa untuk Struktur Bangunan Gedung dan Non Gedung, parameter respons
spektral percepatan gempa MCER terpetakan untuk periode pendek (Ss) dan
parameter respons spektral percepatan gempa MCER terpetakan untuk periode
1,0 detik (S1) pada lokasi bangunan sebagai berikut.
a. Parameter gerak tanah periode 0,2 detik, Ss = 0,1272 g
b. Parameter gerak tanah periode 1,0 detik, S1 = 0,0475 g
c. Parameter transisi periode panjang, TL = 6 detik

5. Menentukan Nilai Koefisien Situs dan Parameter Respons Spektral


Percepatan Gempa Maksimum yang Dipertimbangkan Risiko-Tertarget
(MCER)
Adapun nilai koefisien situs itu sendiri didasarkan pada Tabel 2.10
mengenai Koefisien Situs, Fa (faktor amplifikasi getaran periode pendek) dan
Tabel 2.11 tentang Koefisien Situs, Fv (faktor amplifikasi getaran periode 1,0
detik). Koefisien situs dapat ditentukan berdasarkan kelas situs tanah yang
84

telah ditentukan sebelumnya, maka dalam hal ini adapun nilai koefisien situs
untuk periode pendek dan periode 1,0 detik (Fa dan Fv) adalah sebagai berikut:
a. Koefisien situs untuk periode pendek, Fa = 2,4
b. Koefisien situs untuk periode 1,0 detik, Fv = 4,2
Nilai parameter respons spektral percepatan pada periode pendek (SMS)
dan periode 1,0 detik (SM1) dapat dihitung berdasarkan persamaan (2.1) dan
(2.2) sebagai berikut.
SMS = Fa . Ss SM1 = Fv . S1
= 2,4 × 0,1272 = 4,2 × 0,0475
= 0,305 g = 0,200 g
Nilai parameter percepatan spektral desain untuk periode pendek (SDS)
dan pada periode 1,0 detik (SD1) dihitung berdasarkan persamaan (2.3) dan
(2.4) sebagai berikut.
2 2
SDS = 3 SMS SD1 = 3 SM1
2 2
= 3 × 0,305 = 3 × 0,200

= 0,204 g = 0,133 g

6. Membuat Kurva Spektrum Respons Desain


Adapun berdasarkan hasil perhitungan nilai parameter percepatan
spektral desain untuk periode pendek (SDS) dan periode 1,0 detik (SD1), dapat
dihitung nilai periode waktu gempa (T) yang akan dibuat dalam bentuk kurva
spektrum respons desain. Kurva tersebut dibuat dengan beberapa persyaratan
sebagai berikut.
a. Nilai T0
𝑆𝐷1 0,133
T0 = 0,2 ( ) = 0,2 ( ) = 0,131 detik
𝑆𝐷𝑆 0,204

b. Nilai Ts
𝑆 0,133
Ts = 𝑆𝐷1 = 0,204 = 0,653 detik
𝐷𝑆

c. Untuk periode yang lebih kecil dari T0 (T < T0)


𝑇
Sa = SDS (0,4 + 0,6 𝑇 )
0
85

d. Untuk periode yang lebih besar dari atau sama dengan T0 dan lebih kecil
dari atau sama dengan Ts (T0 ≤ T ≤ Ts)
Sa = SDS
e. Untuk periode lebih besar dari Ts, tetapi lebih kecil atau sama dengan TL (Ts
< T ≤ TL)
𝑆𝐷1
Sa = 𝑇

f. Untuk periode lebih besar dari TL (T > TL)


𝑆𝐷1 𝑇𝐿
Sa = 𝑇2

Adapun Kurva Respon Spektrum Desain untuk kelas situs SE bangunan


Gedung Kantor Kedinasan Lantamal XII Mempawah ini adalah sebagai
berikut:

Kurva Respon Spektrum Desain


Kelas Situs SE (Tanah Lunak), Kantor Kedinasan Lantamal XII Mempawah
0,250
Respons Spektra Percepatan, Sa (g)

0,200

0,150

0,100

0,050

0,000
0 1 2 3 4 5 6 7 8
Periode, T (detik)

Gambar 4.9 Kurva respon spektrum desain


86

Adapun rekapitulasi hasil perhitungan nilai percepatan respons


spektrum, Sa terhadap periode, T (detik) adalah sebagai berikut:
Tabel 4.8 Rekapitulasi Perhitungan Nilai Sa
T (detik) Sa (g) T (detik) Sa (g)
Untuk T < T0 0 0,081 3,750 0,035
T0 0,131 0,204 4,000 0,033
Ts 0,653 0,204 4,250 0,031
0,750 0,177 4,500 0,030
1,000 0,133 Untuk 4,750 0,028
1,250 0,106 (Ts < T ≤ TL) 5,000 0,027
1,500 0,089 5,250 0,025
1,750 0,076 5,500 0,024
Untuk 2,000 0,067 5,750 0,023
(Ts < T ≤ TL) 2,250 0,059 6,000 0,022
2,500 0,053 6,250 0,020
2,750 0,048 6,500 0,019
Untuk
3,000 0,044 6,750 0,018
(T > TL)
3,250 0,041 7,000 0,016
3,500 0,038 7,250 0,015

7. Menentukan Kategori Desain Seismik Gempa


Suatu struktur harus ditetapkan memiliki suatu kategori desain seismik
(KDS) yang sesuai dengan Pasal 6.5, SNI 1726-2019 mengenai Tata Cara
Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Struktur Bangunan Gedung dan Non
Gedung. Adapun dalam melakukan penentuan kategori desain seismik suatu
bangunan perlu didasarkan pada kategori risiko bangunan beserta parameter
respons spektral percepatan desainnya. Kategori desain seismik ditentukan
berdasarkan Tabel 2.12 dan 2.13 yang mana akan dipilih dengan kategori
tertinggi dari tinjauan terhadap nilai SDS dan SD1.
a. Kategori Desain Seismik berdasarkan Parameter Respons Percepatan
pada Periode Pendek (SDS)
Nilai SDS = 0,204; maka berada pada rentang 0,167 ≤ SDS < 0,33. Adapun
kemudian karena kategori risiko bangunan Gedung Kantor Kedinasan
Lantamal XII Mempawah ini tergolong kedalam kategori II, maka kategori
desain seismiknya tergolong dalam KSD B.
87

b. Kategori Desain Seismik berdasarkan Parameter Respons Percepatan


pada Periode 1,0 detik (SD1)
Nilai SD1 = 0,133; maka berada pada rentang 0,133 ≤ SD1 < 0,20. Adapun
kemudian karena kategori risiko bangunan Gedung Kantor Kedinasan
Lantamal XII Mempawah ini tergolong kedalam kategori II, maka kategori
desain seismiknya tergolong dalam KDS C.
Oleh karena itu terdapat dua kategori desain seismik melalui hasil
perhitungan yang dilakukan, maka struktur harus ditetapkan ke dalam kategori
desain seismik yang lebih parah sehingga dipergunakan Kategori Desain
Seismik (KDS) C.
Pada struktur dengan Kategori Desain Seismik (KDS) C, ada beberapa
persyaratan yang perlu dipenuhi. Persyaratannya sebagai berikut:
1) Pada masing-masing dua arah ortogonal, perkiraan periode fundamental
struktur, Ta, yang ditentukan sesuai dengan Pasal 7.8.2.1 SNI 1726-2019
adalah kurang dari 0,8Ts, di mana Ts ditentukan sesuai dengan Pasal 6.4
SNI 1726-2019.
2) Pada masing-masing dua arah ortogonal, periode fundamental struktur
yang digunakan untuk menghitung simpangan antar tingkat adalah kurang
dari Ts.
3) Persamaan (31) SNI 1726-2019 digunakan untuk menentukan koefisien
respons seismik, Cs.
4) Diafragma struktural adalah kaku sebagaimana disebutkan di Pasal 7.3.1
SNI 1726-2019 atau untuk diafragma yang fleksibel, jarak antara elemen-
elemen vertikal pemikul gaya seismik tidak melebihi 12 m.
5) Laporan investigasi geoteknik yang sesuai dengan pasal 6.7.2 SNI 1726-
2019, harus dipersiapkan untuk struktur dengan kategori desain seismik C
hingga F. Suatu investigasi harus dilakukan dan laporan yang meliputi
evaluasi potensi bahaya geologis dan seismik seperti di bawah ini harus
dimasukkan:
a. Ketidakstabilan lereng;
b. Likuifasi;
c. Penurunan total dan beda penurunan;
88

d. Perpindahan permukaan akibat sesar/patahan atau serakan lateral


(lateral spread) atau aliran lateral (lateral flow) akibat getaran seismik.
Laporan harus berisi rekomendasi untuk desain fondasi atau langkah-
langkah penanggulangan lainnya untuk mitigasi bahaya yang dijelaskan di
atas.
Pengecualian apabila disetujui oleh pihak berwenang, laporan geoteknik
spesifik situs tidak diperlukan jika telah ada suatu evaluasi yang dilakukan
sebelumnya pada situs disekitarnya dengan kondisi tanah yang memiliki
kemiripan memberikan pedoman atau arahan terhadap konstruksi yang
diusulkan.
6) Faktor redundansi, 𝜌, harus diaplikasikan pada masing-masing kedua arah
ortogonal untuk semua sistem struktur pemikul gaya seismik. Nilai 𝜌
diizinkan sama dengan 1,0.
7) Gaya seismik desain diizinkan untuk diterapkan secara terpisah dalam
masing-masing arah dari dua arah ortogonal dan pengaruh interaksi
ortogonal diizinkan untuk diabaikan.
Struktur yang mempunyai ketidakberaturan struktur horizontal Tipe 5
dalam Tabel 13 SNI 1726-2019 harus menggunakan salah satu dari
prosedur berikut:
a. Prosedur kombinasi ortogonal. Struktur harus dianalisis menggunakan
prosedur analisis gaya lateral ekivalen dalam Pasal 7.8 SNI 1726-2019,
prosedur analisis ragam respons spektral dalam Pasal 7.9 SNI 1726-
2019, atau prosedur riwayat respons waktu linier dalam Pasal 11.1 SNI
1726-2019, seperti diizinkan dalam Pasal 7.6 SNI 1726-2019, dengan
pembebanan yang diterapkan secara terpisah dalam sebarang dua arah
ortogonal. Pengaruh beban paling kritis akibat arah penerapan gaya
seismik pada struktur dianggap terpenuhi jika elemen struktur dan
fondasinya didesain untuk memikul kombinasi beban-beban yang
ditetapkan berikut: 100% gaya untuk satu arah ditambah 30% gaya
untuk arah tegak lurus. Kombinasi yang mensyaratkan kekuatan
komponen maksimum harus digunakan.
89

b. Penerapan serentak gerak tanah ortogonal. Struktur harus dianalisis


menggunakan prosedur riwayat respons waktu linier dalam Pasal 7.9.2
SNI 1726-2019 atau prosedur riwayat respons waktu nonlinier dalam
Pasal 11.1 SNI 1726-2019, seperti diizinkan dalam Pasal 7.6 SNI 1726-
2019, dengan pasangan ortogonal riwayat percepatan gerak tanah yang
diterapkan secara bersamaan.
8) Sebagai tambahan pada persyaratan dari Pasal 6.7.2 SNI 1726-2019
persyaratan desain fondasi berikut harus diterapkan pada struktur yang
didesain untuk kategori desain seismik C.
Jika konstruksi menggunakan tiang sebagai kolom yang ditanamkan dalam
tanah atau ditanamkan dalam fondasi telapak beton dalam tanah untuk
menahan beban lateral, kedalaman penanaman yang disyaratkan pada
tiang untuk menahan gaya gempa harus ditentukan melalui kriteria desain
yang disusun dalam laporan investigasi fondasi.
Penutup tiang fondasi (pile-cap) individu, tiang bor, atau kaison harus
dihubungkan satu sama lain dengan pengikat. Semua pengikat harus
mempunyai kuat tarik atau tekan desain paling sedikit sama dengan gaya
sebesar 10% SDS dikali nilai terbesar dari beban mati terfaktor ditambah
beban hidup terfaktor pada penutup tiang fondasi atau kolom yang lebih
besar kecuali jika ditunjukkan bahwa kekangan ekivalen akan disediakan
oleh balok beton bertulang dalam pelat di atas tanah atau pelat beton
bertulang pada permukaan tanah atau pengekangan oleh batu yang
memenuhi syarat, tanah kohesif yang keras, tanah berbutir yang sangat
padat, atau cara lain yang disetujui.

8. Menentukan Sistem Struktur Penahan Gaya Gempa


Adapun kemudian sistem struktur penahan gaya gempa didasarkan
seutuhnya pada SNI 1726-2019 yang telah dimuat dalam Tabel 2.14, dan
berdasarkan tabel tersebut, untuk Kategori Desain Seismik (KDS) C tidak
dibatasi untuk digunakan Sistem Rangka Pemikul Momen Khusus dan
Menegah. Pada tugas akhir ini, sistem struktur penahan gaya gempa yang
dipergunakan adalah SRPMM dengan data dan ketentuan sebagai berikut:
90

a. Koefisien modifikasi respons (R) = 5


b. Faktor kuat lebih sistem (Ω0) = 3
c. Faktor pembesaran defleksi (Cd) = 4,5

Tabel 4.9 Faktor R, Cd, dan Ω0 SRPMM Beton Bertulang


hn
Sistem Pemikul Gaya Seismik R Ω0 Cd Kategori Desain Seismik
B C D E F
Rangka Beton Bertulang
5 3 4½ TB TB TI TI TI
Pemikul Momen Menengah

9. Menetukan Prosedur Analisis Beban Gempa


Adapun kemudian prosedur analisis beban gempa didasarkan seutuhnya
pada SNI 1726-2019 yang telah dimuat dalam Tabel 2.19, dan berdasarkan
tabel tersebut, untuk Kategori Desain Seismik (KDS) C diizinkan untuk
digunakan analisis gaya lateral ekuivalen, analisis spektrum respons ragam,
dan prosedur respons riwayat waktu seismik. Pada tugas akhir ini, Prosedur
analisis beban gempa yang dipergunakan adalah analisis gaya lateral ekuivalen.
91

Tabel 4.10 Penentuan Prosedur Analisis yang Diizinkan


Prosedur
Analisis Analisis
Kategori Respons
Gaya Spektrum
Desain Karakteristik Struktur Riwayat
Lateral Respons
Seismik Waktu
Ekuivalen Ragam
Seismik
B, C Semua Struktur I I I
Bangunan dengan kategori
risiko I atau II yang tidak
I I I
melebihi 2 tingkat di atas
dasar
Struktur tanpa
ketidakberaturan struktural
I I I
dengan ketinggiannya tidak
melebihi 48,8 m
Struktur tanpa
ketidakberaturan struktural
D, E, F I I I
dengan ketinggian melebihi
48,8 m dan T < 3,5 Ts
Struktur dengan ketinggian
tidak melebihi 48,8 m dan
hanya memiliki
ketidakberaturan horizontal I I I
tipe 2, 3, 4, atau 5 atau
ketidakberaturan vertikal tipe
4, 5a, atau 5b
Semua struktur lainnya TI I I
Catatan :
1. I adalah Diizinkan, TI adalah Tidak Diizinkan.
2. Analisis gaya lateral ekuivalen diatur dalam Pasal 7.8 SNI 1726-2019.
3. Analisis spektrum respons ragam diatur dalam Pasal 7.9.1 SNI 1726-2019.
4. Prosedur respons riwayat waktu seismik diatur dalam Pasal 11 SNI 1726-
2019.

Anda mungkin juga menyukai