Anda di halaman 1dari 24

CINTA DALAM RAHIM AKUNTANSI

Sombart (1924) telah lama menengarai bahwa akuntansi memiliki kekuatan tersembunyi dan
nyata yang powerful dalam menciptakan tatanan sosial dan ekonomi baru yang disebut dengan
kapitalisme (Mathews and Perera 1993). Kapitalisme (dan perkawinannya dengan ilmu
pengetahuan) secara pasti telah melahirkan teknologi yang membawa perubahan radikal dunia
modern. Ilmu pengetahuan, teknologi, dan kapitalisme akhirnya menjadi tiga pilar yang saling
berperan (interplay) dalam membentuk jaringan rasionalitas instrumental, rasionalitas efisiensi,
birokrasi, dan kalkulasi cost/ benefit untuk memerdekaan dan mencerahkan manusia sesuai
dengan cita cita Pencerahan (Budiman, 1997: 73).

Semula Pencerahan berupaya untuk membebaskan manusia dari keterbelengguan untuk


menjadi manusia sejati, tetapi dalam kenyataannya justru manusia terperangkap dalam belenggu
yang lain, yaitu rasionalitas instrumental ilmu pengetahuan dan kapitalisme. Manusia tergolek
tidak berdaya karena rasionalitasnya sendiri dan bahkan diperbudak oleh karya karya
rasionalitasnya, yaitu ilmu pengetahuan dan kapitalisme.

Lebih jauh, ternyata ilmu pengetahuan dan kapitalisme berinteraksi secara aktif melalui
gerak dialektis yang tak bisa dihindarkan. Sepadan dengan substansi dari gerak dialektis ini,
akuntansi juga merupakan ilmu pengetahuan dan praktik yang sama sekali tidak dapat dipisahkan
dengan kapitalisme. Dalam kaitannya dengan gerak dialektis ini, maka bab ini mencoba untuk
mendeskripsikan akuntansi, yaitu suatu bentuk disiplin dan praktik yang mempunyai kekuatan
"magic," yang mampu menghipnotis jalan pikiran manusia, mendikte keputusan-keputusan
manusia, dan memperbudak manusia. Deskripsi dimulai dengan episode carut-marutnya
kapitalisme. dilanjutkan dengan deteksi karakter akuntansi, dekonstruksi akuntansi, dan peran
nilai cinta-kasih akuntansi dalam upaya membentuk masyarakat dengan jaringan realitas
profetik-ilahiyat (jaringan kuasa ontologi tauhid).

Carut-Marut Kapitalisme

Kapitalisme adalah wujud pikiran manusia yang direfleksikan dalam kehidupan nyata.
Kehid pan dengan jaringan realitas dan karakter yang terkandung dalam diri kapitalisme. Bagi
Emile Durkheim, sebagaimana dituturkan oleh Budiman (1997: 57-8), konsekuensi logis dari
dipraktik kannya pabrikasi kapitalisme telah membuat rusak bentuk tatanan sosial tradisional
yang sebetulnya sarat dengan nilai solidaritas dan persaudaraan. Pada tatanan sosial tradisional,
menurut Durkheim, pembagian kerja berdasarkan pada keahlian belum ada. Namun demikian,
pada tatanan yang demikian bukan berarti tidak ada pembagian kerja. Pembagian kerja yang ada
pada waktu itu dalam bentuk dan dalam konteks similaritas yang tinggi, misalnya pembagian
kerja berdasar pada usia atau jenis kelamin. Pada masyarakat semacam ini kohesi sosial sangat
kuat mengikat kebersamaan anggotanya.

Pada masyarakat industri, masih menurut Durkheim, pembagian kerja menghendaki


spesialisasi tinggi yang mengakibatkan individu saling bergantung dan dapat mengembangkan
bentuk-bentuk patologis. Pada ketinggian spesialisasi ini tugas-tugas semakin sulit dilakukan dan
bahkan pada titik tertentu dapat mengisolasi pekerja, sehingga mereka tidak mengerti proses
produksi secara keseluruhan. Kebersamaan anggota masyarakat se makin pudar, karena setiap
individu disibukkan oleh pekerjaannya masing masing. Individualisme, akhirnya diletakkan di
atas kolektivitas, sehingga masyarakat tidak lagi memiliki daya kohesif dan pemaksa yang kuat
untuk tetap membuat utuh kesadaran diri dalam setiap pribadi yang terfragmentasikan.
Masyarakat secara tidak sadar telah meninggalkan kepatuhan terhadap imperatif-imperatif norma
kehidupan, norma agama, dan norma sosial yang semula disepakati bersama. Pada keadaan ini
masyarakat kehilangan pe gangan hidup dan akhirnya terperangkap dalam dunia yang keadaan
hampa norma (normlessness) (Budiman, 1997: 60). Kapitalisme industrial, bagi Durkheim, jelas-
jelas mengandung benih patologis dan benih pribadi yang egois, individualis, dan tercerabut dari
akar sosial-budayanya, kemudian masuk dalam perangkap anomistik (Budiman, 1997:60).
Ketercerabutan manusia dari akar sosial-budayanya juga menjadi per hatian Max Weber Pekerja-
pekerja pada perusahaan industrialis, menurut Weber, menghendaki agar mereka terlepas dari
hukum dan tradisi untuk mendapatkan tempat yang khusus dalam pekerjaan. Mereka juga
dipandang sebagai manusia yang tidak memiliki harta yang tenaganya bisa dibelil dengan
kalkulasi yang rasional (Budiman, 1997: 61).

Pola perusahaan industrialis menghendaki bentuk-bentuk kontrol dan hierarki birokrasi


yang terpusat agar pekerjaan yang terspesialisasi dapat dikendalikan dan mencapai target
produksi dan efisiensi yang maksimum. Manusia dalam kondisi ini terpilin dalam mekanisme
kontrol impersonal yang menolak kepatuhan pada imperatif-imperatif tradisional (lihat Budiman,
1997: 62).

Weber juga melihat bahwa Calvinisme menyuburkan asketisme yang mendukung spirit
akumulasi kapital dalam arti untuk keagungan Tuhan yang lebih besar dan bukan untuk
kesejahteraan duniawi. Semangat ini mampu mengubah feodalisme menjadi kapitalisme. Namun
demikian, kapitalisme industrial yang semula banyak dibantu agama, kemudian justru berbalik
arah dengan membuka jalan bagi kehancuran agama. Artinya, jika semula manusia bekerja untuk
memenuhi panggilan suci Tuhan, kemudian berbalik menikam dirinya sendiri. Hal ini demikian,
karena jaringan kerja kapitalisme menyeret manusia pada sistem ekonomi yang merontokkan
sistem kepercayaan (Budiman, 1997: 138).

Kehidupan manusia menjadi sangat mekanis seperti mesin. Pemahaman pada manusia
hanya dilihat dari aspek rasionalitas efisiensi. Ketika manusia bekerja tidak produktif dan efisien,
maka yang bersangkutan akan diganti dengan manusia yang lebih produktif dan efisien
sebagaimana layaknya mengganti mesin yang sudah tidak lagi produktif. Nilai manusia dalam
kondisi ini tidak berbeda dengan sebuah "benda" (Budiman, 1997: 122). Kepribadian manusia
sebagai esensi utama dan sejati dalam dirinya menjadi bagian yang tidak berharga dan
termarginalkan.

Jaringan yang tercipta dalam kondisi semacam ini adalah jaringan yang dipenuhi oleh,
menurut Max Weber, nilai "rasionalitas-tujuan" (zweckra tionalitat) dengan mengesampingkan
sama sekali "rasionalitas-nilai" (wertrationalitat). Rasionalitas-tujuan dalam wilayah tekno-
ekonomi selalu disibukkan pada kalkulasi laba-rugi tanpa melakukan konsiderasi serius terhadap
aplikasi norma dan nilai etika. Jasa yang ditawarkan manusia tidak lebih dari jual-beli komoditas
dengan prinsip maksimasi utilitas hedonis. Di mana utilitas hedonis ini dapat bertindak sebagai
"prinsip-dalam", yang menurut Hegel sebetulnya berarti the Geist, Roh Absolut (Budiman,
1997:109), dalam arti yang sebenarnya. Dalam kenyataannya, utilitas hedonis memiliki makna
the Geist dalam arti metaforis, namun berfungsi nyata sebagai prinsip-dalam; sebagaimana Karl
Marx memahami mode produksi yang mendeterminasi seluruh relasi kehidupan manusia.
Sebagai prinsip-dalam yang menghubungkan relasi-relasi realitas, maka utilitas hedonis dapat
semakin memperkuat samsara materialisme dalam kehidupan kapitalisme modern saat ini.
Jika semula kapitalisme, menurut Max Weber, tumbuh dan berkembang karena
menggunakan prinsip-dalam etika Protestan, maka kemudian karena adanya pergantian prinsip-
dalam-kapitalisme dengan cepat meng hancurkan agama dan menikam diri manusia. Tengara
Weber sebetulnya telah lama diindikasikan oleh Ibnu Khaldun lima abad sebelumnya. Utilitas
hedonis, menurut Ibnu Khaldun, mengikis habis bentuk kesungguhan dan ketabahan yang ada
dalam diri masyarakat. Artinya, anggota masyarakat dipaksa untuk saling berkompetisi demi
kemewahan hidup individual yang akhirnya meluluh-lantakkan asabiyah, yaitu rasa persaudaraan
yang dilandasi nilai kasih sayang antarsesama.

Lalu apa akibat selanjutnya? Manusia kehilangan dimensi penolakan diri karena proses
desublimasi represif-istilah Marcuse yang menunjukkan. dominasi rasionalitas eksternal atas diri
manusia. Dengan desublimasi represif ini manusia sebagai subjek aktif, akhirnya selalu bertindak
afirmatif, permisif, dan tunduk pada kekuatan impersonal yang berada di luar dirinya.

Karakter Akuntansi

Jaringan kerja dan relasi-relasi yang dibentuk kapitalisme tidak saja mengubah perilaku
seperti yang diuraikan di atas, tetapi juga mewarnai bentuk akuntansi yang disebut-sebut sebagai
instrumen penting dalam dunia bisnis. Akuntansi dalam lingkungan tersebut menjadi tidak
berdaya dan mau tidak mau tergilas dan terseret oleh kapitalisme. Selaras dengan pandangan ini
Tricker (1978: 8) melihat akuntansi sebagai anak dari budaya di mana akuntansi itu berada.
Dengan kata lain, akuntansi dibentuk oleh lingkungannya melalui interaksi sosial yang sangat
kompleks (complicated social interaction) (lihat misalnya Morgan, 1988; Hines, 1989; dan
Francis, 1993).

Namun demikian, meskipun akuntansi memang dibentuk oleh ling kungannya, ia dapat
pula berbalik memengaruhi lingkungannya sebagaimana telah diungkapkan oleh Sombart (1924)
di atas. Substansi dua pandangan di atas dipertegas oleh Mathews dan Perera (1993: dengan
mengatakan:

Although the conventional view is that accounting is socially constructed as a result of


social, economic and political events, there are alternative approaches which suggest that
accounting may be socially constructing.
Hakikatnya adalah jelas; akuntansi laksana pedang bermata dua. Ia dapat dibentuk oleh
lingkungannya (socially constructed) dan sekaligus membentuk lingkungannya (socially
onstructing). Ini akhirnya dapat dijadikan sebuah kepastian bahwa akuntansi bukanlah suatu
bentuk ilmu pengetahuan dan praktik yang bebas dari nilai (value-free), tetapi sebaliknya ia
adalah disiplin dan praktik yang sangat sarat dengan nilai.

Klaim terhadap eksistensi nilai universal boleh dikatakan merupakan sebuah ciri yang
dimiliki oleh akuntansi modern atau modernitas. Klaim ini adalah salah satu bentuk
"logosentrisme," yaitu sistem pola berpikir yang mengklaim adanya legitimasi dengan referensi
kebenaran universal dan eksternal (Rosenau, 1992: xii).

Logosentrisme ini terutama dicirikan dengan: pertama, pola berpikir oposisi biner
(dualistik, díkhotomis) yang hierarkis, dan kedua ilmu penge tahuan positivistik yang mekanis,
linier, dan bebas-nilai. Dengan demikian, dapat dimengerti bahwa logosentrisme sebagai produk
modernisme mempunyai ciri "penunggalan" melalui universalitas. Konsekuensi dari
penunggalan ini adalah bahwa "sang lain" (the others) yang berada di luar dirinya akan selalu
disubordinasikan, dieliminasikan, dan jika mungkin harus "dibunuh."

Berbeda dengan modernisme yang dicirikan oleh logosentrisme, posmodernisme


mengakui dan berusaha menciptakan "kemajemukan" dengan menempatkan "sang lain" pada
relasi yang bersifat terbuka. demokratis, kooperatif, humanis, dan terdesentralisasi ke dalam
wacana yang semula didominasi dan dikuasai oleh logosentrisme. Dengan cara semacam ini,
tatanan sosial dan jaringan kerja yang ada di dalamnya akan bekerja secara lebih baik, lebih
demokratis, dan egalitarian dibanding dengan tatanan sosial modern.

Ontologi

Secara ontologis akuntansi mainstream sangat dipengaruhi oleh physical realism yang
menganggap realitas objektif berada secara bebas dan terpisah di luar diri manusia. Dalam hal ini
Chua mengatakan:

Apa yang ada di luar sana" (objek) dianggap independen dari yang mengetahul (subjek), dan
pengetahuan dicapai ketika subjek merefleksikan secara benar dan "menemukan realitas objektif
(1986: 606).
Anggapan ini meniadakan fakta tentang manusia aktif yang secara sosial mampu
mengonstruksi realitas kehidupannya (lihat Berger dan Luckmann. 1966; Blumer, 1969; Morgan,
1988; Hines, 1989). Realitas (yang sebenarnya diciptakan secara aktif oleh manusia) "diukur,"
"dianalisis," "dideskripsikan" secara objektif sebagaimana layaknya benda mati. Konsekuensinya
adalah adanya jarak antara objek dan subjek.

Karya-karya ilmiah akuntansi keuangan yang dilakukan oleh, misalnya: Ball dan Brown
(1968), Kaplan dan Roll (1972); Beaver et.al. (1979); Beaver et, al. (1980); Grant (1980), dan
semua penulis di Accounting Review, Journal of Accounting and Economics, Journal of
Accounting Research, menggunakan pandangan ontologi physical realism seperti yang
diterangkan di atas.

Pandangan ontologi physical realism yang mekanistis sebetulnya, menurut Capra (1997:
252-53), adalah pandangan ontologi yang tidak tepat untuk memahami fenomena sosial. Capra
berargumentasi bahwa:

- ilmuwan sosial telah mencoba dengan sangat keras untuk memperoleh kehormatan
dengan cara mengadopsi paradigma ala Descartes dan metode metode fisika ala Newton
(yang sangat mekanistis]. Namun demikian, kerangka ala Descartes sering kali sangat
tidak cocok untuk fenomena-fenomena yang mereka gambarkan, dan akibatnya model-
model mereka telah menjadi semakin tidak realistik (1997: 253; huruf miring dari
penulis).

Lebih lanjut Capra mengatakan:

Ilmu ekonomi [dan akuntansi) saat ini ditandai dengan pendekatan reduksionis dan terpecah-
pecah... Para ahli ekonomi [dan akuntansi] biasanya gagal mengetahui bahwa ekonomi [dan
akuntansi] hanyalah satu aspek dari suatu keseluruhan susunan ekologis dan sosial; suatu sistem
hidup yang terdiri manusia dalam interaksi yang terus-menerus... (1997: 253).

Memang, pada umumnya akuntan gagal memahami bahwa realitas yang dihadapinya
adalah sebuah entitas yang tidak berdiri sendiri. Realitas yang sebenarnya adalah realitas
interdependen yang dibentuk melalui proses interaksi sosial yang kompleks dan berlangsung
secara terus-menerus. Sehingga, bukan suatu hal yang aneh bila terjadi gap yang lebar antara
teori dan praktik.
Implikasi logis dari pandangan ontologi di atas adalah bahwa penelitian akuntansi harus
rasional, objektif, kuantitatif, linear, dan causal. Ciri-ciri ini, bila dilihat dari kacamata Tao, tidak
lain adalah sifat maskulin dari Yang. Bila kita melihat lebih kritis, kita dapat memahami bahwa
bentuk ilmu pengetahuan akuntansi yang netral sebetulnya tidak ada sama sekali. Karena apa
yang mereka (proponen akuntansi mainstream) anggap bebas nilai, ternyata mengandung nilai-
nilai maskulin. Anggapan ilmu pengeta-huan akuntansi yang bebas nilai adalah ilmu
pengetahuan yang ilmiah justru tidak ilmiah, sebagaimana dikemukakan oleh Capra di bawah
ini:

tidak ada yang disebut dengan ilmu sosial [akuntansi] yang "bebas nilai." Ilmuwan sosial
[peneliti akuntansi] yang menganggap pertanyaan tentang nilai-nilai sebagai sesuatu yang
"non-ilmiah" dan berpendapat bahwa mereka akan menghindarinya berarti melakukan
suatu yang tidak mungkin. Setiap analisis fenomena sosial yang "bebas nilai" didasarkan
atas asumsi sistem nilai yang ada secara diam-diam yang implisit di dalam seleksi dan
interpretasi data. Dengan menghindari isu tentang nilai, ilmuwan sosial [peneliti
akuntansi] tidak lebih ilmiah, tetapi sebaliknya justru menjadi kurang ilmiah karena
mereka lalai menyatakan asumsi-asumsi yang mendasari teori mereka secara eksplisit
(1997: 255-6).

Dari pendapat Capra (1997) di atas dapat dipahami bahwa ilmu penge tahuan akuntansi
yang "bebas nilai" adalah suatu hal yang mengada-ada. Karena dalam kenyataannya, pertama,
akuntan sendiri tidak akan bisa menanggalkan "nilai" (misal, ilmu pengetahuan, pengalaman,
sifat, dan nilai masyarakat) yang melekat secara inheren dalam "diri"nya. Akuntan bukan "tabula
rasa." Kedua, realitas yang diteliti adalah realitas yang tidak bebas nilai Karena realitas tersebut
dibangun melalui proses interaksi sosial. Dan ketiga, metodologi yang mereka bangun adalah
metodologi yang sarat dengan nilai-nilai maskulin.

Ketika sifat-sifat maskulin Yang ini dominan dan "mematikan" (atau paling tidak
memarginalkan) sifat-sifat feminin Yin, maka ketidakseimbangan, atau destruksi, atau krisis,
tatanan sosial akan tercipta (lihat Rosenau, 1992; Seidman, 1994; Lyotard, 1994; dan Rorty,
1994) di mana keadaan tersebut tidak lain disebabkan oleh metodologi ilmu pengetahuan modern
yang sangat maskulin.

Peran Cinta-Kasih
Destruksi yang ditimbulkan oleh akuntansi pada dasarnya dapat dieli minasi dengan
memasukkan nilai cinta. Cinta adalah karakter Tuhan yang membawa kedamaian. Dalam Al-
Qur'an dikatakan: Apabila arang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami itu datang
kepadamu, maka katakanlah: "Salaamun-alaikum. Rabbmu telah menetapkan atas diri-Nya kasih
sayang, (yaitu) bahwasanya barangsiapa yang berbuat kejahatan di antara kamu lantaran
kejahilan, kemudian ia bertaubat setelah mengerjakannya dan mengadakan perbaikan, maka
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS Al-An'am [6]:54)

Karakter ini juga terdapat pada diri manusia sebagai wakil-Nya di bumi seperti yang
diungkapkan dalam ayat berikut ini. Sesungguhnya orang-orang beriman dan beramal saleh,
kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka kasih sayang. (QS
Maryam [19]: 96) Dan Aku telah melimpahkan kepadamu kasih sayang yang datang dari-Ku;
dan supaya kamu diasuh di bawah pengawasan-Ku. (QS Thaha [20]: 39)

Cinta membutuhkan pengorbanan, yaitu meleburkan "aku" yang kecil dan


menyatukannya dengan "Aku" Semesta. Cinta semacam ini yang mema bukkan Mansur al-
Hallaj, seorang sufi termasyhur, sehingga ia bersajak:

I am He Whom I love and He Whom I love is I, We are two spirits indwelling on body,

When thou seest me, thou seest Him, And when thou seest Him, then thou dost see us
both.

Cinta, kata Krishna (1999: 85), adalah jalan sekaligus tujuan. Seorang pemabuk cinta akan selalu
memasrahkan diri dan menghancurkan keangkuhan dirinya sebagaimana rasa cinta yang
diungkapkan Shah Abdul Latif di bawah ini:

Pasrahkan dirimu, lepaskan keangkuhanmu, Dan kau baru akan mengenal cinta....

Rasa pedih karena berpisah dari-Nya,

Hasrat yang membara untuk menemui-Nya,

Jadikan keduanya teman hidupmu...

Jika ingin disebut seorang pencinta,

Beranikan dirimu terbakar oleh api pengorbanan.....


Cinta kasih akan melenyapkan keangkuhan, keangkaramurkaan, keru sakan, kezaliman,
kenistaan, dan sebaliknya menciptakan sorga atau nirwana bagi semua makhluk.

Makan dan minumlah rezeki (yang diberikan) Allah, dan janganlah kamu berkeliaran di muka
bumi dengan berbuat kerusakan. (QS Al-Baqarah [2]: 60). Kerusakan diciptakan manusia karena
"aku" yang ada dalam diri manusia memiliki kadar yang sangat tinggi, sehingga menghancurkan
"yang lain" (the others). Seorang pencinta mampu merasakan pisau pengorbanan sebagai
kenikmatan. Pencinta Allah mengatakannya demikian (Krishna, 1999: 85):

Jika kau seorang pencinta,

Janganlah mengeluh sewaktu la menyayatmu dengan pisau-Nya...

Nikmatilah setiap luka Yang kau peroleh dari kekasihmu

Rayakan kematianmu di tangan-Nya...

Pencinta Allah akan selalu "memenggal" kepala "ego"nya, memenggal "aku"nya,


sehingga tidak ada lagi keangkuhan, tidak ada lagi kejayaan di atas kenistaan, dan tidak ada lagi
rintihan "sang lain" yang disingkirkan.

Sudah tiba waktunya,

Sesaat lagi kepalamu dipenggal...

Apabila tidak siap,

Tinggalkan tempat ini....

Tempat ini hanya bagi para pemberani, bagi mereka yang berani memenggal kepalanya
sendiri...

Akuntansi harus dapat memenggal kepala "ego"nya yang besar dan menumbuhkan
tanaman altruisme agar dapat menciptakan kedamaian dalam realitas kehidupan bisnis.
Akuntansi harus mengurangi "kejantanannya dan menumbuhkan "kebetinaan nya dengan
menggunakan sudut pandang yang lain, yaitu holistic worldview.
Holistic worldview Capra (1996: 6) juga menamakan pandangan dunia ini dengan ecological
worldview atau deep ecology-memandang dunia (reali tas) sebagai satu kesatuan yang tidak
terpisah sebagaimana yang dikatakan Capra di bawah ini:

Deep ecology tidak memisahkan manusia-atau apa pun-dari lingkungan alam. Deep
ecology memandang dunia bukan sebagai kumpulan objek yang diisolasi, tetapi sebagai jaringan
kerja fenomena yang secara fundamental bersifat saling-berhubungan dan saling-bergantung.
Deep ecology mengakui nilai intrinsik dari semua makhluk hidup dan memandang manusia
hanya sebagai satu mata rantai khusus dalam jaring kehidupan (1996:7).

Paradigma ini jelas memiliki nilai feminin Yin yang eco-action, caring, nurturing,
intuitive, dan spiritual. Capra (1996: 7) memahami deep ecology ini sebagai sebuah konsep yang
bersifat spiritual seperti yang dikatakannya di bawah ini:

... kesadaran ekologis (deep ecological awareness) adalah kesadaran spiritual atau religius.
Ketika konsep spirit (ruh) manusia dipahami sebagai bentuk kesadaran di mana seorang individu
merasakan sense belonging, sense of connectedness, terhadap kosmos secara keseluruhan,
kesadara tersebut menjadi jelas bahwa kesadaran ekologis adalah bersifat spiritual pada esensi
yang paling dalam. Oleh karena itu, bukan suatu hal yang aneh bahwa lahirnya pandangan baru
tentang realitas berdasarkan pada kesadaran ekologis yang konsisten dengan apa yang disebut
filosofi perennial dari tradisi spiritual.

Pendapat Capra (1996) tentang realitas yang spiritual tidak bertentangan dengan tradisi
Islam-paling tidak menurut Iqbal (lihat Danusiri, 1996: 44)-yang melihat realitas sebagai suatu
entitas yang tidak terpisah-pisah sebagaimana dipahami oleh akuntansi mainstream.

Menurut tradisi Islam, realitas bersifat hierarkis (Nasr, 1993; Bakar, 1994; Triyuwono,
1997a, 1998) yang terdiri dari: realitas materi, realitas psikis, realitas spiritual, asma' sifatiyyah
(atribut Tuhan), Realitas Absolut (Tuhan), berturut-turut dari yang paling rendah ke yang paling
tinggi. Antara realitas yang satu dengan yang lain tidak dapat dipisahkan atau intercon nected
[menurut istilah Capra (1996)].

Tingkatan-tingkatan realitas tersebut diciptakan Tuhan agar manusia dapat mengenal


Tuhannya (Bakar, 1994: 36). Untuk itu, Tuhan menciptakan realitas-realitas lain yang lebih
rendah dari Diri-Nya dan sebagai refleksi dari Diri-Nya. Oleh karena itu, bukan suatu hal yang
aneh bahwa ilmu pengetahuan, dalam tradisi Islam, dibangun untuk mengenal Tuhan sebagai
Realitas Nyata.

Pemahaman atas realitas sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Realitas Absolut akan
mengarahkan kita pada pemahaman bahwa tujuan ilmu pengetahuan (akuntansi) dalam tradisi
Islam adalah: mempelajari karakter nyata dari segala sesuatu yang diciptakan Tuhan,
menunjukkan hukum hukum alam dan sosial yang integral sebagai refleksi dari ke-Esaan Tuhan
(Bakar 1994, 83), dan memahami eksistensi Realitas Tertinggi. Ini berarti bahwa ilmu
pengetahuan diarahkan pada pemahaman yang mendalam tentang Sang Pencipta, tujuan akhir
dari semua yang ada.

Pemahaman yang komprehensif ini jelas berbeda dengan pemahaman yang dimiliki oleh
akuntansi mainstream. Secara umum, pemahaman akuntansi mainstream atas realitas terbatas
pada realitas materi. Realitas materi biasanya dicirikan oleh sifatnya yang konkret, nyata, dapat
diukur, berada di luar diri subjek, dan dianggap sebagai realitas tunggal.

Dekonstruksi Bentuk-bentuk (Eksoteris) Akuntansi

Dengan cinta bentuk-bentuk eksoteris akuntansi dapat didekonstruksi, yaitu meleburkan


logosentrisme dan keangkuhan akuntansi mainstream dengan menghadirkan yang marginal.
Cinta kemudian dapat bersemi dalam diri akuntansi.

Egoisme Akuntansi Mainstream

Akuntansi mainstream dengan kepala egonya direfleksikan dalam bentuk konsep income.
Dengan ego yang tertanam dalam dirinya, praktik akuntansi menekankan pada terciptanya
income bagi pemegang saham. Pandangan ini tidak lain adalah pandangan entity theory.
Berkaitan dengan teori ini Kam mengatakan:

Bagi entity theory, penekanan dilakukan pada penentuan income, dan oleh karena itu
laporan rugi-laba lebih penting dibanding dengan neraca. Penekanan pada income
mempunyai dua alasan: (1) equityholders terutama mempunyai kepentingan terhadap
income, karena jumlah ini menunjukkan hasil investasi mereka dalam periode tersebut;
dan (2) perusahaan akan eksis bila menghasilkan laba (1990: 307-8).
Menurut pandangan teori ini, perusahaan akan eksis bila ia mampu menciptakan
profit/income. Dan income ini semata-mata diperuntukkan pada pemegang saham (the concept of
income for stockholders). Secara eksplisit, dalam hal ini, Kam (1990, 315) mengatakan bahwa
"the traditional accounting income is a measure of the wealth created for the benefit of the
stockholders Memperuntukkan income semata-mata kepada pemegang saham merupakan bentuk
pandangan yang sangat sarat dengan nilai egoisme. Nilai ini tidak lain adalah nilai yang dimiliki
oleh Yang. Nilai ini selanjutnya akan berkembang menjadi ekspansif, yang dalam Neraca terlihat
pada Laba yang Ditahan.

Bila kita menggunakan konsep "berpasangan, maka sifat egoistik tidak akan pernah dibiarkan
sendirian. Sifat egoistik harus diimbangi oleh sifat altruistik yang feminin. Sifat altruistik ini
akan terlihat bila akuntansi menggunakan konsep value-added income. Konsep ini, menurut
Kam, adalah: ukuran kinerja, pengukuran nilai atau kekayaan yang diciptakan perusahaan dalam
periode tertentu... ukuran tersebut mengukur kinerja dari partisipan di perusahaan tersebut (1990:
315).

Konsep yang menggunakan enterprise theory ini memandang bahwa income yang
diperoleh perusahaan merupakan hasil dari usaha kooperatif dari banyak partisipan
(stakeholders) (Kam, 1990: 315). Oleh karena itu, income harus didistribusikan kepada
stakeholders. Atau, konsep yang lebih luas menghendaki bahwa income harus didistribusikan
kepada stakeholders dan universe (alam) (lihat Triyuwono, 1997b). Pendistribusian income
kepada stakeholders dan universe ini hanya bisa dilakukan oleh sifat altruistik, yaitu sifat yang
lebih mementingkan orang lain daripada diri sendiri.

Internalities Akuntansi Mainstream

Implikasi lain dari sifat egoistik yang dimiliki oleh akuntansi mainstream adalah terletak
pada konsepnya yang hanya mengakui biaya-biaya pribadi (private costs) yang kerap disebut
internalities-sebagai lawan dari externalities (public costs) yang meliputi biaya-biaya polusi
tanah, air, udara, dan suara. Sementara ini, akuntansi mainstream tidak bertanggung jawab
terhadap public costs yang terjadi akibat aktivitas yang dilakukan oleh perusahaan. tetapi
sebaliknya yang menanggung adalah masyarakat (dan alam) secara keseluruhan (Mathews, 1993:
130-1). Belum banyak upaya yang dilakukan oleh peneliti akuntansi untuk mengembangkan
pada suatu bentuk akuntansi yang dapat mempertanggungjawabkan public cost: ini. Salah satu
upaya yang sedang dikembangkan untuk menginternalisa sikan public costs ini adalah dengan
konsep Total Impact Accounting (TIA). TIA ini, menurut Mathews, didefinisikan sebagai:

upaya-upaya untuk mengukur dalam unit moneter, total biaya yang digunakan untuk
menjalankan perusahaan. Total biaya tersebut dapat dikelompokkan menjadi private costs dan
public costs (1993: 130). TIA adalah bentuk akuntansi yang mencoba menampilkan dua jenis
biaya yang dike luarkan dalam menjalankan operasi perusahaan, yaitu private dan public costs.
Pengakuan (recognition) private costs, menurut Tao, merupakan representasi dari sifat maskulin
(Yang) yang egoistik (ego action), sedangkan internalisasi public costs merupakan tindakan
ekologis (eco-action) yang feminin (Yin).

Upaya mendudukkan public costs pada posisi yang sejajar dengan private costs
merupakan langkah dekonstruksi terhadap akuntansi mainstream. Namun, sayangnya tidak
banyak peneliti akuntansi yang memiliki perhatian. pada isu ini. Karya-karya Linowes (1972),
Dilley dan Weygant (1973), Ullman (1976), Estes (1976,1977), Dierkes dan Preston (1977),
Eichhorn (1979), Gray et al. (1997) (lihat Mathews, 1993) memberikan kontribusi yang sangat
besar dalam upaya mengembangkan TIA yang sadar lingkungan.

Angka-angka Akuntansi

Akuntansi mainstream sangat identik dengan angka-angka. Angka angka adalah "pusat,"
dan ini adalah salah satu bentuk logosentrisme dari akuntansi mainstream. Tanpa angka adalah
suatu hal yang sangat mustahil bagi akuntansi, dan implikasinya adalah bahwa tanpa akuntansi
kita tidak dapat menggambarkan keadaan perusahaan sebagaimana dikemukakan oleh Hines di
bawah ini:

Akan jadi apa "posisi keuangan" atau "kinerja" atau "ukuran" ["size"] sebuah perusahaan tanpa
akuntansi keuangan? Tanpa konsep "aktiva," "kewajiban modal" dan "laba" [yang semuanya
diterjemahkan dalam bentuk angka pertanyaan-pertanyaan tentang kesehatan, kinerja, dan
ukuran perusahaan akan sulit dijawab (1989: 61).

Mitologi angka-angka akuntansi-yang juga ternyata merupakan sifat dari Yung-perlu


dikonstruksi, mengingat informasi kuantitatif tidak cukup memadai untuk memberikan gambaran
yang relatif lebih utuh tentang keadaan perusahaan. Dengan kata lain, informasi kualitatif-yang
selama ini dimarginalkan-perlu diangkat dan diposisikan sejajar dengan informasi kuantitatif.
Penelitian-penelitian di bidang Social Responsibility Accounting (SRA) menunjukkan
keberadaan kedua jenis informasi tersebut. SRA sendiri adalah: Pengungkapan informasi yang
dilakukan secara sukarela, baik kualitatif maupun kuantitatif, yang dibuat oleh organisasi untuk
memberikan informasi atau memengaruhi pihak-pihak yang berkepentingan. Pengungkapan
kuanti tatif bisa dalam bentuk keuangan atau nonkeuangan (Mathews, 1993: 64).

Dalam laporan Committee on Social Costs dari The American Accounting Association
(1975) mengusulkan tiga tingkatan pengukuran, yaitu: Tingkat I di mana aktivitas diidentifikasi
dan dijelaskan. Contohnya bisa tentang identifikasi bahan-bahan polutan yang dike luarkan ke
alam.

Tingkat II di mana aktivitas diukur dengan menggunakan unit non-moneter. Polutan diukur
dalam tingkat emisi, waktu peredaran, dan kepatuhan pada standar yang ada yang diformulasikan
dalam bentuk fisikal seperti parts per million (ppm).

Tingkat III di mana usaha-usaha dilakukan untuk menilai efek dari emisi polutan tadi,
Pengukuran dikonversikan dalam bentuk estimasi finansial dari costs dan benefits pada semua
pihak yang berkepentingan (stakeholders), mulai dari pemegang sahan hingga masyarakat umum
(Mathews, 1993: 60).

Pengukuran tingkat pertama jelas merupakan pengukuran yang akan menghasilkan


informasi kualitatif. Sedangkan pengukuran tingkat kedua dan ketiga adalah pengukuran yang
akan memberikan informasi kuantitatif, yaitu berturut-turut informasi nonmoneter dan moneter.

Penelitian-penelitian SRA yang dilakukan di Australia, Selandia Baru, dan Kanada,


misalnya, oleh Trotman (1979), Kelly (1979), Trotman dan Bradley (1981), Pang (1982),
Guthrie (1982), dan Gul et, al. (1984) (lihat Mathews, 1993: 97-101), menemukan bahwa
beberapa perusahaan secara sukarela menyajikan informasi-informasi kualitatif (di samping
informasi kuantitatif) dalam Laporan Keuangannya.

Dengan melihat hasil penelitian empiris ini, kita dapat memahami bahwa kebutuhan
informasi kualitatif dalam Laporan Keuangan bukan kebutuhan normatif, tetapi kebutuhan yang
benar-benar nyata. Peranan penelitiakuntansi sangat dibutuhkan untuk mengakomodasi
kebutuhan tersebut. Untuk itu, perhatian terhadap model-model yang dibuat oleh, misalnya,
Ramanathan (1976), Burke (1984), Wartick dan Cochran (1985), Logsdon (1985), Brooks
(1986), Gray et al. (1987), dan lain-lainnya (lihat Methews 1993: 66-80) perlu ditingkatkan
untuk mendapatkan model yang komprehensif dan informative .

Positive Accounting

Wacana akuntansi sangat didominasi oleh diskusi yang menekankan pada praktik atau
fungsi akuntansi. Sangat jarang diskusi menyentuh aspek pemikiran yang fundamental bagi
perkembangan akuntansi baik konsep keilmuan maupun praktik. Wacana yang dominan ini
terbatas pada penje lasan dan prediksi atas femomena yang sedang menjadi perhatian. Kajian
tersebut juga terbatas pada pola cause-effect yang sequential (mekanis) dan linear.

Peneliti akuntansi positif terperangkap pada asumsi kaku bahwa "reality exists concretely
and independently of social actors and social practices" (Hines, 1989: 53). Asumsi ini yang
menyebabkan model-model penelitian berpola cause-effect yang sequential dan linear. Sekali
lagi, pola ini tidak lain sifat dari Yang. Wacana dan bentuk akuntansi akan menjadi kaya pola di
atas tidak dijadikan satu-satunya pola yang dianggap sahih. Oleh karena itu, pola lain yang
memiliki ciri Yin, seperti: synchronicity, simultaneous, non-linear perlu dimunculkan ke atas
permukaan wacana akuntansi.

Bentuk pola pikir yang terakhir ini akan memberikan warna yang berbeda dengan yang
pertama. Bentuk ini tidak lain adalah Accounting Thought (atau Non-Mainstream Accounting)
yang sifatnya bertolak belakang dengan Positive (Practical) Accounting. Accounting Thought
memiliki tiga paradigma, yaitu: Paradigma Interpretif (lihat Preston : 1986), Paradigma Kritikal
(lihat misalnya Tinker, 1984; 1988; Tinker, Merino dan Neimark, 1982), dan Paradigma
Posmodernisme (misalnya, Arrington dan Francis. 1989). Di Indonesia kajian non-mainstream
ini sangat kecil, paling tidak diwakili oleh Rasyid (1995) dan Triyuwono (1998b) dari Paradigma
Interpretif. Sawarjuwono (1995) dari Paradigma Kritikal, Sukoharsono (1995) dan Triyuwono
(1995, 1997c) dari Paradigma Posmodernisme.

Kajian akuntansi dari paradigma non-mainstream sangat berguna untuk mengembangkan


akuntansi baik dari segi konsep maupun arah praktik akuntansi itu sendiri. Hal demikian karena
paradigma non-mainstream melihat dengan pandangan mata bird's eyes yang holistik, sedangkan
para digma mainstream menggunakan pedestrian's eyes yang jarak pandangannya sangat
terbatas. Oleh karena itu, hadirnya paradigma non-mainstream sebagai mitra dari paradigma
mainstream sangat membantu untuk mengembangkan akuntansi, khususnya di Indonesia.

Jaringan Kuasa Ontologi Tauhid

Substansi wacana di atas pada dasarnya meletakkan peran subjek sebagai posisi penting
yang menanamkan bibit cinta pada diri akuntansi. Akuntansi dengan ruh yang dimilikinya akan
mampu membentuk jaringan jaringan kuasa. Usaha pencarian jaringan-jaringan kuasa sebetulnya
bukan pekerjaan yang sederhana dan mudah. Karena usaha ini tidak hanya melibatkan kajian
akan hakikat diri manusia (human nature), tetapi juga kajian ontologis, epistemologis,
metodologis dan aksiologis. Hakikat diri manusia dan pandangan ontologis terhadap realitas,
dalam konteks tulisan ini, adalah dua hal yang sangat penting. Karena, hakikat tentang diri akan
memengaruhi cara pandang seseorang terhadap realitas yang ia hadapi dan yang akan
dikonstruksi. Dengan mempersepsikan diri sendiri sebagai homo economicus, misalnya, akan
mengantarkan cara pandang orang tersebut kepada realitas dari sudut pandang ekonomi saja.
Akibatnya tindakan tindakan yang akan dilakukan akan cenderung mengarah pada pembentukan
realitas yang berkonsentrasi pada ekonomi.

Tentu hal ini sangat berbeda bila seseorang mempersepsikan dirinya sebagai
Khalifatullah fil Ardh (QS Al-Baqarah [2]: 30). Dengan persepsi semacam ini, ia secara etis
mempunyai tanggung jawab untuk menyebarkan rahmat bagi seluruh makhluk (QS Al-Anbiya
[21]:107) dengan jalan amr ma'ruf nahy munkar (QS Ali Imran [3]: 110). Pencapaian akan
hakikat diri ini dapat dilakukan dengan melakukan proses dialektik dalam dirinya sendiri
(internal dialectic process of self) yang melibatkan akal dan qalbunya. Bila ia telah mencapai dan
menemukan hakikat dirinya, maka ia dapat menggunakan konsep Khalifatullah fil Ardh sebagai
perspektif untuk melihat dan mem bangun kembali realitas-realitas sosial dalam lingkungannya.
Dan dengan cara yang sama, ia dapat memperoleh kesadaran ontologis, yaitu suatu kesadaran
atau pengertian yang menyatakan bahwa realitas sosial sebetulnya adalah kreasi manusia semata,
realitas yang lekat dengan nilai-nilai yang dimiliki manusia itu sendiri, dan demikian juga tidak
terlepas dengan nilai nilai etika.
Dengan asumsi ontologis semacam itu, seorang akuntan tidak hanya diminta secara kritis
melihat dan mengerti hubungan antara akuntan itu sendiri dengan apa yang harus dia
pertanggungjawabkan (accounted for) (Morgan, 1988: 484), tetapi juga dituntut akuntansi
macam apa yang harus dia ciptakan dan bagaimana menciptakannya. Unttuk menjawab
pertanyaan pertanyaan ini, seorang akuntan, dengan perspektif Khalifatullah fil Ardh yang
dimilikinya akan merujuk pada ayat berikut ini:

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di
antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya
sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang
yang berutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada
Allah Rabbnya, dan janganlah ia mengurangi sedikit pun daripada utangnya (QS Al-Baqarah [2]:
282) Ayat tersebut bisa dijadikan acuan untuk merefleksikan potensi nilai nilai keadilan yang
dimilikinya dalam bentuk tindakan nyata. Kata "dengan adil" atau "keadilan-yang menurut
Departemen Agama diterjemahkan sebagai "dengan benar-dalam pengertian "keadilan Ilahi,
dalam ayat tersebut di atas, pada dasarnya mengandung tiga nilai dasar, yaitu tauhid dan Islam
dalam arti penyerahan dan ketundukan kepada Allah, dan keadilan dalam arti keyakinan bahwa
segala perbuatan manusia kelak akan dinilai oleh Allah. Jadi, dengan melihat unsur yang
terkandung di dalamnya ini, adil tidak terlepas dari nilai-nilai etika atau moralitas yang tidak lain
adalah wahyu atau hukum-hukum Allah itu sendiri (Rahardjo, 1994: 47). Dalam konteks
akuntansi, seorang akuntan harus menjadikan nilai "keadilan Ilahi sebagai dasar pijakan dalam
berinteraksi dan mengonstruksi realitas sosial. Ini berarti bahwa akuntansi-sebagai sebuah
disiplin atau praktik-tidak dapat berdiri sendiri; artinya, bahwa akuntansi selalu terikat pada
realitas sosial di mana akuntansi itu dipraktikkan. Hal ini karena akuntansi dikiaskan sebagai
cermin yang digunakan untuk merefleksi realitas sosial (Morgan, 1988; Dillard, 1991). Dan perlu
diketahui bahwa cermin itu sendiri juga adalah produk dari nilai-nilai ideologis di mana cermin
itu dibuat (Tricker, 1978: 8).

Pernyataan ini juga mempunyai makna bahwa "keadilan Ilahi" harus terkandung dalam
realitas sosial dan akuntansi. Mengapa demikian? Karena jika akuntansi dikonstruksi dengan
nilai ideologis lain yang tidak kompatibel dengan nilai "keadilan Ilahi," maka informasi
akuntansi yang direfleksikan dari realitas sosial yang dibangun dengan nilai "keadilan Ilahi" akan
berbias dan terdistorsi oleh nilai ideologis yang digunakan untuk mengonstruksi ingunan
akuntansi itu. Tentang hal ini Dillard mengisyaratkan, "Persepsi kita tentang 'realitas' adalah
seperti pada saat kita menatap permukaan cermin. Kita hanya dapat melihat apa yang
direfleksikan oleh cermin itu pada kita. Permukaan cermin yang berbeda [karena kerangka
ideologi yang berbeda] akan merefleksikan realitas yang berbeda pula" (1991:9).

Dengan demikian, semakin jelas bahwa akuntansi yang dikonstruk dengan dasar ideologi
yang berbeda akan merefleksikan realitas (yang sama) dengan bentuk yang berbeda. Keadaan ini
akan menjadi semakin krusial, ketika hasil refleksi tersebut-yaitu informasi akuntansi-kemudian
dikonsumsi oleh orang lain yang pada akhirnya akan membentuk realitas realitas baru.

Konsekuensi ontologis yang harus disadari oleh akuntan adalah bahwa ia secara kritis
harus mampu membebaskan manusia dari realitas-realitas semu beserta jaringan-jaringan
kuasanya, untuk kemudian memberikan realitas alternatif dengan seperangkat jaringan-jaringan
kuasa Ilahi yang mengikat manusia dalam kehidupan sehari-hari. Dengan cara demikian, realitas
alternatif diharapka akan dapat membangkitkan kesadaran diri (self-consciousness) secara penuh
akan kepatuhan dan ketundukan seseorang pada kuasa Ilahi. Dan dengan kesadaran ini pula, ia
akan selalu merasakan kehadiran Tuhan dalam dimensi waktu dan tempat di mana ia berada.
Inilah yang dimaksud dengan ontologi tauhid itu. Jadi, dengan asas keadilan Ilahi, realitas sosial
yang direk instruk mengandung nilai tauhid dan ketundukan pada jaringan-jaringan kuasa Ilahi;
yang semuanya dilakukan dengan per spektif Khalifatullah fil Ardh, yaitu suatu cara pandang
yang sadar akan tanggung jawab kelak di kemudian hari di hadapan Tuhan Yang Maha Esa.

Penutup

Ego akuntansi mainstream dapat menebarkan konsekuensi yang sangat imperatif terhadap
realitas yang diciptakan. Dengan ego, realitas yang sangat mungkin tercipta adalah realitas
berdasarkan pada nilai "rasionalitas-tujuan (zweckra-tionalitat) yang tidak saja mengeksploitasi
manusia, tetapi juga alam semesta. "Rasionalitas-tujuan" (zweckra-tionalitat) dapat lebur jika
cinta hadir dan memancarkan sinar "rasionalitas-nilai" (wertrationalitat). Cinta dapat membunuh
benci, sebagaimana yang disenandungkan oleh Rabi'ah al-Ada wiyah, "Cintaku pada Allah tidak
menyisakan ruang di dalam hatiku untuk membenci setan." Cinta, sebaliknya, membawa rahmat
bagi umat manusia dan seluruh alam semesta.
Wahai Kebahagiaanku, wahai Kerinduanku, dan

Wahai Pelindungku,

Wahai Sahabatku, ketentuan Jalanku, dan Tujuanku,

Engkaulah Ruhku,

Engkaulah Harapanku,

Engkaulah Sahabatku, Kerinduanku, dan Keselamatanku,

Tanpa Diri-Mu, wahai Hidup dan Cinta-Mu

Takkan pernah aku mengembara melintasi negeri-negeri tak terbatas ini. Betapa banyak rahmat,
betapa banyak anugerah,

Karunia dan nikmat telah Kau tunjukkan padaku. Cinta-Mulah yang kucari

Dan di dalamnya aku menemukan berkat

Wahai Cemerlang mata kalbu kerinduanku! Engkaulah pembimbing kalbuku!

Selama hayatku masih dikandung badan, Aku takkan pernah lari

Menjauhi-Mu.

Ridhailah aku, wahai Hasrat jiwaku,

Dan aku pun akan berbahagia sejati (Rabi'ah al-Adawiyah)

Dengan cinta, realitas kehidupan manusia akan sarat dengan kasih sayang, sarat dengan
nilai kesadaran ketuhanan (divine consciousness), dan sarat dengan nilai tauhid.

Pokok Pikiran

Akuntansi modern dicirikan dengan berpikir logosentris(me), yaitu sistem pola berpikir
yang mengklaim adanya legitimasi dengan referensi kebenaran universal dan eksternal.
Logosentrisme ini ditandai dengan: pertama, pola berpikir oposisi biner (dualistik, dikhotomis)
yang hierarkis, dan kedua ilmu pengetahuan yang mekanis, linier, dan bebas-nilai. Dengan
demikian, dapat dimengerti bahwa logosentrisme sebagai produk modernisme mempunyai ciri
"penunggalan melalui universalitas. Konsekuensi dari pe nunggalan ini adalah bahwa "sang lain"
(the others, sing liyan, sè laen) yang berada di luar dirinya selalu disubordinasikan,
dieliminasikan, dan jika mungkin harus "dibunuh."

Bentuk logosentrisme lainnya dari akuntansi modern adalah adanya nilai egoistik. Dari
sifat ini akhirnya akuntansi modern hanya mengakui private costs saja. Sementara public costs
yang timbul sebagai akibat operasi yang dilakukan oleh perusahaan tidak pernah diungkapkan
dan dilaporkan. Dengan kata lain, akuntansi modern hanya mengadopsi nilai-nilai maskulin
dalam dirinya. Tidak heran dengan ciri kemaskulinannya ini akhirnya akuntansi modern hanya
melaporkan informasi yang sifatnya kuantitatif.

Logosentrisme akuntansi modern telah melahirkan kerusakan nyata. Kerusakan itu tidak
saja meliputi kerusakan alam, tetapi juga kerusakan pada kehidupan sosial manusia itu sendiri.
Sifat egoistik akuntansi telah memengaruhi pikiran pengguna dalam mengambil keputusan.
Keputusan yang dilakukan secara nyata telah mengeksploitasi alam dan kehidupan manusia.

Destruksi yang diakibatkan akuntansi modern dapat dihentikan jika kita melakukan
dekonstruksi terhadap logosentrisme yang dikandung akuntansi modern. Salah satu cara adalah
dengan menghadirkan cinta ke dalam diri akuntansi. Cara yang lain adalah memasukkan sifat
lawan yang dimiliki akuntansi modern. Sebagai contoh, jika akuntansi modern memiliki sifat
egoistik, maka langkah dekonstruksinya adalah memasukkan sifat kebalikannya, yaitu altruistik.
Jika akuntansi modern bersifat sekuler, maka langkah dekonstruksinya adalah memasukkan
nilai-nilai religius ke dalam dirinya. Dengan cara menyeimbangkan ini, akuntansi akan memiliki
wajah yang lebih humanis dan "religius", sehingga jika dipraktikkan akan mencip takan realitas
ontologi tauhid.

Pertanyaan Tingkat Dasar

1. Bentuk-bentuk logosentrisme apa yang dimiliki oleh akuntansi modern?

2. Perilaku macam apa yang mungkin akan berdampak pada pengguna yang mengonsumsi
informasi akuntansi yang memiliki sifat logosentris yang disebutkan pada pertanyaan nomor 1 di
atas?

Pertanyaan Tingkat Menengah


1. Mengapa akuntansi modern memiliki sifat-sifat logosentris seperti disebutkan di atas?

2. Bagaimana ontologi tauhid dapat dibentuk dari praktik akuntansi syariah?

Pertanyaan Tingkat Atas

Berilah gambaran bentuk akuntansi yang berdasarkan pada nilai cinta!

Daftar Pustaka

Bakar, Osman. 1994. Tauhid & Sains: Esai-esai tentang Sejarah dan Filsafat Sains Islam.
Bandung: Pustaka Hidayah.

Ball, R. J. and P. Brown. 1968. An empirical evalution of accounting income numbers. Journal
of Accounting Research 6 (Autumn): 159-78.

Beaver, B. H., R. Clarke, and W. Wright. 1979. The association between unsystematic security
returns and the magnitute of earnings forecast errors. Journal of Accounting Research 17
(Autumn): 316-40.

Beaver, B. H., R. Lambert, and D. Morse. 1980. The information content of security prices.
Journal of Accounting and Economics 2 (March): 3-28. Berger, Peter L. and Thomas Luckmann.
1966. The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge. London:
PenguinBooks.

Blumer, Herbert, 1969. Symbolic Interactionism: Perspective and Method. Englewood Cliffs, N.
J.: Prentice-Hall, Inc. Brooks, LJ. 1986. Canadian Corporate Social Performance. Society of
Management Accountants of Canada, Toronto.

Budiman, Hikmat 1997. Pembunuhan yang Selalu Gagal: Modernisme dan Krisis Rasionalitas
Menurut Daniel Bell. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Burke, R.C. 1984. Decision Making in Complex Times: The Contribution of a Social
Accounting Information System. Society of Management Accountants of Canada, Ontario.
Capra, Fritjof. 1975. The Tao of Physics. New York: Bantam Books. 1997. Titik Balik
Peradaban: Sains, Masyarakat dan Kebang-kitan Kebudayaan. (Terj. Bahasa Indonesia)
Yogyakarta: Bentang.

Chua, Wai Fong, 1986. Radical developments in accounting thought. The Accounting Review
LXI (4): 601-32 Danusiri. 1996. Epistemologi dalam Tasawuf Iqbal. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar. Dillard, Jesse F. 1991. Accounting as a critical social science. Accounting.

Auditing & Accountability Journal 4 (1): 8-28. Francis, Jere R. 1990. After virtue? Accounting
as a moral and discursive practice. Accounting, Auditing, and Accountability Journal 3 (3): 5-17.

Golshani, Mehdi, 1989. Philosophy of science from the Qur'anic perspective.

In Toward Islamization of Disciplines. IIIT. Herndon: International Institute of Islamic Thought.


Grant, E. B. 1980. Market implications of differential amounts of interim information. Journal of
Accounting Research 18 (Spring): 255-68.

Gray, R. D. Owen, and X Maunders. 1987. Corporate Social Reporting: Accounting and
Accountability. London: Prentice-Hall.

Gul, F.A.K., B.H. Andrew, and H.J. Teoh. 1984. A content analytical study of corporate social
responsibility accounting disclosure in a sample of Australian companies (1983). Working Paper.
The University of Wollongong

Guthrie, J.E. 1982. Social accounting in Australia: social responsibility disclosure in the top 150
listed Australian companies, 1980 annual reports. Unpublished Master Dissertation Western
Australia Institute of Technology.

Hadiwinata, Bob Sugeng, 1994. "Theatrum Politicum": Posmodernisme dan Krisis Kapitalisme
Dunia. Kalam. Edisi 1:23-31.

Budiman, Hikmat. 1997. Pembunuhan yang Selalu Gagal: Modernisme dan Krisis Rasionalitas
Menurut Daniel Bell. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Burke, R.C. 1984. Decision Making in Complex Times: The Contribution of a Social
Accounting Information System, Society of Management Accountants of Canada. Ontario.
Capra, Fritjof. 1975. The Tao of Physics. New York: Bantam Books. 1997. Titik Balik
Peradaban: Sains, Masyarakat dan Kebang-kitan Kebudayaan. (Terj. Bahasa Indonesia)
Yogyakarta: Bentang.

Chua, Wai Fong, 1986. Radical developments in accounting thought. The Accounting Review
LXI (4): 601-32 Danusiri. 1996. Epistemologi dalam Tasawuf Iqbal. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar. Dillard, Jesse F. 1991. Accounting as a critical social science. Accounting.

Auditing & Accountability Journal 4 (1): 8-28. Francis, Jere R. 1990. After virtue7 Accounting
as a moral and discursive practice. Accounting, Auditing, and Accountability Journal 3 (3): 5-17.

Golshani, Mehdi. 1989. Philosophy of science from the Qur'anic perspective.

In Toward Islamization of Disciplines. IIIT. Herndon: International Institute of Islamic Thought.


Grant, E. B. 1980. Market implications of differential amounts of interim information Journal of
Accounting Research 18 (Spring): 255-68.

Gray, R. D. Owen, and K. Maunders. 1987. Corporate Social Reporting: Accounting and
Accountability. London: Prentice-Hall.

Gul, F.A.K., B.H. Andrew, and H.J. Teoh. 1984. A content analytical study of corporate social
responsibility accounting disclosure in a sample of Australian companies (1983). Working Paper.
The University of Wollongong

Guthrie, J.E. 1982. Social accounting in Australia: social responsibility disclosure in the top 150
listed Australian companies, 1980 annual reports. Unpublished Master Dissertation. Western
Australia Institute of Technology Hadiwinata, Bob Sugeng, 1994. "Theatrum Politicum":
Posmodernisme dan Krisis Kapitalisme Dunia. Kalam. Edisi 1:23-31

Hines, Ruth D. 1989. The sociological paradigm in financial accounting research. Accounting,
Auditing, and Accountability Journal 2(1): 52-76.

1992. Accounting filling the negative space. Accounting, Organization, and Society 17(3/4):
313-41. Kam, Vernon. 1990. Accounting Theory. New York: John Wiley and Sons.
Kaplan, R. S. and R. Roll. 1972. Investor evaluation of accounting informa tion: some empirical
evidence. Journal of Business 45 (April): 225-57.

Kelly, G.J. 1979. Australian social responsibilities disclosures: some insights into contemporary
measurement. Accounting and Finance. Vol. 21. No.2:97-107.

Logsdon, J.M. 1985. Organizational responses to environmental issues: oil refining companies
and air pollution, in L.E. Preston (ed.) Research in Corporate Social Performance and Policy.
Vol. 7. New York: JAI Press.

Lyotard, Jean-Francois. 1994. The postmodern condition. in Seidman, Steven (ed.). The
Postmodern Turn: New Perspectives on Social Science. Cambridge: Cambridge University Press.

Mathews, MR and MHB Perera. 1993. Accounting Theory and Development.

Melbourne: Thomas Nelson Australia. Mathews, MR. 1993. Socially Responsible Accounting.
London: Chapman and Hall.

Morgan, Gareth. 1988. Accounting as reality construction: towards a new epistemology for
accounting practice. Accounting. Organizations and Society 13 (5): 477-85.

Nasr, Seyyed Hossein. 1993. The Need for Sacredcience. Richmond: Curzon

Press. Pang, Y.H. 1982. Disclosures of corporate social responsibility. Chartered Accountant in
Australia. Vol. 53. No. 1:32-4.

Procacci, Giovanna. 1991. Social economy and the government of poverty. In Graaham
Burchell, Colin Gordon, and Peter Miller (eds.). The Foucault Effect: Studies in
Governmentality. Chicago: the University of Chicago Press.

Ragab, Ibrahim A. 1993. Islamic perspectives on theory building in the social sciences. The
American Journal of Islamic Social Sciences 10 (1) 1-22.

Anda mungkin juga menyukai