Anda di halaman 1dari 13

TUGAS MEMBUAT RINGKASAN MATERI TENTANG

LABA AKUNTANSI DALAM PRESPEKTIF,


MARXISME, DAN SPRITUAL

Dosen Pengampu

La Ode Kamaluddin Mursidi, SE, M.Si., CTA., ACPA

Disusun

Oleh

Dera Ladeka

{ 22320039 }

PROGRAM STUDI AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS DAYANU IKHSANUDDIN
BAUBAU
2023
A. LABA AKUNTANSI DALAM PRESPEKTIF KAPITALISME.

Penelitian ini bertujuan untuk memaknai laba berdasar pandangan kapitalisme,


Marxisme, dan spiritualisme Islam. Dalam penelitian ini Laba Kapitalisme dianalisis dengan
menggunakan cara berpikir filsafat dialektika idealisme Hegel, untuk laba Marxisme
menggunakan cara berpikir filsafat dialektia materialisme Karl Marx, dan untuk laba
spiritualisme Islam menggunakan cara berpikir filsafat spiritualisme Islam Al-Ghazali. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa Laba Kapitalisme adalah laba hasil dari kapital yang
berkembang menurut waktu dan diakumulasi menjadi kapital baru untuk ekspansi, kemudian
melahirkan kolonialisme, imperalisme dan fasisme. Manusia diposisikan sebagai obyek dalam
proses produksi komoditi untuk menghasilkan laba, dan sebagai barang dagangan yang
dieksploitasi melalui sistem kerja upahan. Laba Marxisme adalah nilai lebih hasil kerja buruh,
hasil eksploitasi kapitalis terhadap kerja buruh, dan kerja buruh yang tidak dibayar, Laba
dipengaruhi oleh tingkat upah, kapital konstan, kapital pinjaman, dan tenaga ahli manajemen.
Manusia diposisikan sebagai pencipta laba, tetapi hanya dilihat dari kerjanya saja. Laba
Spiritualisme Islam adalah hasil kerja manusia yang diridhoi Tuhan untuk kesejahteraan seluruh
umat manusia, kelestarian lingkungan sosial dan alam. Di samping itu laba digunakan untuk
membangun akhlak mulia: rendah hati ( tawadhu ), mengutamakan kepentingan umum
( itsar ), hidup sederhana, senang membantu orang lain, dan selalu berbuat baik.

Pencapaian laba sebesar-besarnya menjadi landasan dari setiap pelaku ekonomi dalam
melakukan kegiatan perekonomian (Hutagalung, 2015). Hal ini kerap disandingkan dengan
adanya praktik paham kapitalisme. Secara spesifik, Marzuki (2003) menjelaskan bahwa
kapitalisme memiliki prinsip kerja yang secara optimal mendorong pencapaian maksimum dalam
akumulasi modal,produksi, konsumsi, serta berbagai dimensi mekanisme pasar lainnya. Individu
maupun kelompok seakan-akan dicetak untuk menjadi homo economicus yang semata-mata
digerakkan oleh rasionalitas instrumen pencapaian laba dan penghimpunan materi sebanyak-
banyaknya, serta penghamburan materi untuk memenuhi hasrat konsumerisme individu
maupun kelompok yang tak ada batasnya. Hal tersebut searah dengan semboyan kapitalis,
“berproduksi untuk dapat berproduksi lebih besar” (Abbas, 2009).

Tujuan perusahaan dalam maksimalisasi laba secara ekstrim negatif dapat berdampak cukup
besar. Estes (1996) menyampaikan bahwa, secara ektsrem,maksimalisasi laba sebagai tujuan
dari perusahaan dapat mengakibatkan cedera
dan kematian pegawai, kerusakan lingkungan dan limbah yang mematikan, desolasi bagi
golongan tertentu, dan penghamburan yang tidak tepat sasaran dalam suatu negara. Secara
mendalam, Fischer (2002) juga menerangkan, demi mencapai maksimalisasi laba, karyawan
bawah, seperti karyawan magang, digaji secara minimal namun dituntut untuk bekerja secara
maksimal. Sejalan dengan yang dikemukakan Estes (1996), maksimalisasi laba dapat
menimbulkan tirani pada pegawai bawah. Hal ini membuat aspek kesehatan dan kesejahteraan
karyawan bawah menjadi nomor dua. Selain itu, hal yang tidak dapat dianggap sepele adalah
adanya kerusakan lingkungan dan produksi limbah yang mematikan. Dalam usaha untuk
mencapai tujuannya, perusahaan secara sadar maupun tidak, telah mengganggu keseimbangan
alam. Eksploitasi alam terjadi dimana-mana. Akuntansi pada hakikatnya memiliki sifat yang
mencerminkan filsafat kapitalisme.
Kapitalisme dalam akuntansi sendiri secara ekstrem dapat menyebabkan kesenjangan sosial
dan keserakahan individu maupun kelompok. Dalam praktiknya, setiap perusahaan
menggunakan akuntansi untuk membantu tercapainya tujuan perusahaan, yaitu pencapaian
laba secara maksimal. Hal ini sejalan dengan konsep kapitalis (Ikhsan dan Suwarno, 2003).
Lebih lanjut lagi,
salah satu hal yang menjadi bukti bahwa akuntansi merupakan suatu praktik kapitalisme adalah
informasi akuntansi didesain hanya untuk memberikan informasi yang relevan terhadap
kepentingan investor saja, semakin tinggi laba semakin bagus suatu perusahaan (Safitri, 2005).

Disampaikan lebih lanjut oleh Al Attas (1998) bahwa praktik akuntansi kini dilandasi dengan
kerangka sistem kapitalisme yang berdasarkan pada asas sekularisme yang berarti pemisahan
antara agama dan kehidupan. Tidak dilibatkannya “yang gaib” kedalam urusan keduniawian
benar-benar merupakan contoh praktikal dari kebenaran fenomena sekularisme. Berdasarkan
beberapa pernyataan tersebut, dapat diartikan bahwa adanya pemisahan dalam praktik- praktik
ekonomi-akuntansi dengan ajaran-ajaran agama. Pendapatan laba secara maksimal menjadi
tujuan utama dari informasi akuntansi telah terpisah dari tujuan hakiki keberadaan manusia
didunia.

Dalam perkembangannya terdapat dua pengertian utama kapitalisme yaitu: pertama, berpikir
mengenai kapitalisme dalam pengertian-pengertian abstraknya,yaitu sebagai hubungan di
antara orang-orang. Kedua, berfikir dalam kontekshistoris, yaitu bagaimana kapitalisme muncul
dan berkembang menjadi sistem yang kita kenal sebelum menjadi bentuknya seperti yang
sekarang ini.Kapitalisme sekarang ini memperluas relasi pasar dimanapun dan menciptakan
divisi buruh yang berkembang. Kapitalisme juga menumbangkan semua aturan,nilai-nilai, dan
struktur-struktur tradisional yang membelenggu produksi dan transaksi (Best dan Kellner, 2003:
95).
Kita hidup dalam suatu sistem kapitalisme jika terdapat ciri-ciri sebagai berikut:

1.Kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi seperti tanah, pabrik, dan bisnis.
2.Tenaga kerja yang digaji atau sering juga disebut ‘buruh upahan’
3.Produksi barang atau jasa-untuk mendapatkan laba melalui sistem pertukaran di pasar
(Tormey, 2005:3).

Kapitalisme merupakan sebuah sistem sosial yang didasarkan pada hak-hak individual. Manusia
diibaratkan sebagai makhluk rasional. Realitas mengharuskan manusia untuk bertindak rasional.
Pikiran manusia menentukan pilihan dan tindakan manusia itu sendiri, sehingga manusia itu
dapat menentukan nasibnya sendiri. Sesuatu dianggap baik bila hal tersebut mendukung
kehidupan manusia,sebaliknya suatu hal akan dianggap buruk bila hal tersebut menghancurkan
kehidupannya. Kapitalisme merupakan sesuatu yang terus berubah karena kapitalisme
merupakan sistem masyarakat yang membebaskan masyarakat itu mengejar dan meraih
kebahagiannya sendiri (Capitalism.org, 2006). Kapitalisme lahir dari paham yang menganggap
kemakmuran masyarakat hanya akan timbul jika kegiatan produksi diserahkan pada individu-
individu. Ide dari konsep ini terus berkembang dan mencari bentuk sampai pada saat sekarang
ini. Menurut ideologi ini, untuk mendapatkan kemakmuran, masyarakat harus membebaskan
individu-individu untuk memiliki faktor produksi, mengolahnya dan memanfaatkannya untuk
kepentingannya yang dilaksanakan secara rasionaldan pertimbangan ekonomis.Secara
fundamental, kapitalisme adalah sebuah keadaan ekonomi yang didasarkan atas motif
pencarian laba, sehingga karakteristik utama yang mendasarinya adalah kepemilikan pribadi
dari alat-alat produksi. Tujuan utama produksi dalam kapitalisme adalah mendapatkan laba
atau menghasilkan uang.
Dalam perkembangan tahapan sejarah manusia, sesungguhnya aktivitas ekonomi terutama
ditujukan untuk mempertahankan kehidupan keluarga dan juga kelompok daripada untuk
memperoleh laba seperti yang terjadi saat ini dalam kapitalisme. Laba bukan sekadar
dibutuhkan oleh pemilik modal untukmempertahankan hidupnya saja. Namun laba juga
dibutuhkan untuk ditanam kembali dalam kegiatan bisnis mereka, khususnya untuk teknologi
dan peralatan baru yang akan membuat mereka mampu bersaing dengan kapitalis lain dan bila
tidak maka sebuah perusahaan kapitalis akan bangkrut (Tormey, 2005: 6).Dalam perekonomian
kapitalisme, barang dan jasa yang dihasilkan didasarkan pada petunjuk pemberi kerja
(kapitalis) yang akan menghasilkan laba dengan menjual barang dan jasa tersebut di pasar.
Sedangkan sebagian besar orang yang lainnya bekerja kepada pemberi kerja (kapitalis) untuk
memperoleh gaji atau upah sebagai timbal baliknya (Bowles dan Edwards, 1993: 18).

AKUNTANSI DAN KAPITALIS

Akuntansi yang dipraktikkan sekarang ini menekankan pada terciptanya laba bagi para
pemegang saham. Pandangan ini tidak lain adalah pandangan konsep entitas. Menurut
pandangan konsep ini, perusahaan akan eksis bila ia mampu menciptakan laba. Dan laba ini
semata-mata diperuntukkan untuk para pemegang saham.

Secara historis akuntansi double entry menganut spirit kapitalisme. Kekuatan ini memotivasi
dan mengakibatkan orang-orang untuk memebentuk organisasi bisnis untuk tujuan pencarian
laba. Akuntansi digunakan oleh perusahaan yang berorientasi laba maupun non-laba baik di
negara sosialis,komunis maupun kapitalis. Penggunaan istilah semangat kapitalistik karena
akuntansi berkembang di bawah kapitalisme (Kam, 1986: 3).Tujuan laporan keuangan adalah
untuk memberikan informasi mengenai posisi keuangan, kinerja, arus kas perusahan yang
bermanfaat bagi sebagian besar kalangan pengguna laporan dalam rangka membuat
keputusan-keputusan ekonomi serta menunjukkan pertanggung jawaban ( stewardship )
manajemen atas penggunaan sumber-sumber daya yang dipercayakan kepada mereka.
Informasi tersebut digunakan untuk membantu pengguna laporan keuangan dalam
memprediksi arus kas pada masa depan khususnya dalam waktu dan kepastian diperolehnya
kas oleh perusahaan (SAK, 2002: 1.2). Berbagai pihak tertarik dengan laporan keuangan yang
memuat laporanlaba-rugi sebagai salah satu komponennya. Pihak yang terkait dengan laba
akan berbeda-beda karena hubungan mereka yang berbeda terkait dengan bisnis perusahaan.
Pemakai laporan laba-rugi yang terdapat dalam laporan keuangan meliputi investor sekarang
dan investor potensial, karyawan, pemberi pinjaman,pemasok dan kreditur usaha lainnya,
pelanggan, pemerintah serta lembaga-lembaganya, dan masyarakat. Mereka menggunakan
laporan keuangan untuk memenuhi beberapa kebutuhan informasi yang berbeda. Tujuan
utama dari pelaporan laba yaitu untuk menyediakan informasi yang berguna untuk mengukur
efisiensi dari manajemen perusahaan, untuk memprediksi keadaan masa depan perusahaan
atau distribusi dividen di masa depan dan pengukuran prestasi dansebagai petunjuk dari
keputusan manajemen di masa depan (Hendriksen dan Van Breda, 1992: 310-311). Laporan
keuangan merupakan sarana untuk mempertanggung jawabkan apa yang telah dilakukan oleh
manajemen atas sumber daya dari pemilik. Laporan laba rugi merupakan salah satu bentuk
laporan keuangan yang dijadikan sebagai dasar bagi pengukuran kinerja dari suatu perusahaan.
Laba bersih dalam akuntansi dihitung melalui alokasi aliran kas antar periode dari aktivitas
bisnis selama satu periode yang juga dipengaruhi oleh konsep realisasi, penandingan dan
alokasi. Laba diterima secara umum sebagai alat pengukur kinerja dari perusahaan. Namun
terkadang jumlah laba dihitung dengan alokasi tidak nyata yang dibuat berdasarkan perkiraan
dan asumsi serta kewenangan dari manajemen, sehingga terkadang investor menggunakan
laporan arus kas untuk pembuatan keputusan karena terbebas dari kewenangan
manajemen.Menurut Kieso dkk. (2001: 131), perhitungan laba-rugi merupakan hal yang
penting karena perhitungan laba-rugi menyediakan informasi kepada investor dan kerditor yang
membantu mereka dalam meramalkan jumlah, waktu dan ketidakpastian dari arus kas masa
depan. Ramalan yang akurat atas arus kas masadepan membantu investor untuk menilai nilai
ekonomi perusahaan dan kreditor untuk menentukan probabilitas dari pembayaran kembali
lainnya terhadap perusahaan.Sedangkan menurut Belkaoui (2000: 124-125) secara umum laba
diyakini sebagai dasar untuk:

a). Perpajakan dan pendistribusian kembali kesejahteraan di antara individual , versi ini dikenal
sebagai laba kena pajak, dihitung sesuai dengan aturan yang ditetapkan oleh badan fiskal
pemerintah.

b). Kebijakan dividen perusahaan dan penyimpanan. Laba yang diakui merupakan indikator
jumlah maksimum yang dapat didistribusikan sebagai dividen dan ditahan untuk ekspansi atau
diinvestasikan kembali dalam perusahaan.

c). Petunjuk investasi dan pembuatan keputusan secara umum, karena investor dihipotesiskan
akan memaksimalkan kembalian atas modal yang diinvestasikan, sepadan dengan tingkat risiko
yang dapat diterima.

d). Prediksi yang membantu dalam memprediksi laba masa mendatang dan kejadian ekonomi di
masa mendatang. Pada kenyataannya, nilai laba masa lalu yang didasarkan pada biaya historis
dan nilai sekarang,telah ditemukan bermanfaat dalam memprediksi nilai laba di masa
mendatang untuk kedua versi tersebut.

e). Pengukuran efisiensi. Laba merupakan ukuran pengelolaan manajemen atas sumber daya
perusahaan dan efisiensi manajemen dalam menjalankan usaha perusahaan.

Pemegang ekuitas perusahaan tidak hanya tertarik pada berapa banyak mereka terima
dari perusahaan untuk periode berikutnya tetapi juga perubahan bersih dari kemampuan
perusahaan untuk menyediakan aliran kas masa depan.Konsep pemeliharaan modal ( capital
maintenance concept ) juga penting untuk pemegang ekuitas perusahaan karena terkait
dengan kemungkinan pembayaran kembali pada masa akan datang. Prospek pembayaran
kembali akan lebih besar jika total modal yang diinvestasikan dijaga atau meningkat hingga
tingkatan tertentu.\

Pemegang saham dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok yaitu jangka panjang dan jangka
pendek. Pembebanan depresiasi aktiva tetap dapat dilihat dari dua sudut pandang pemegang
saham yaitu penyusutan yang dipercepat akan menurunkan laba dan dividen yang tidak sesuai
dengan pemegang saham jangka pendek yang lebih menginginkan keuntungan dengan segera.
Sedangkan pemegang saham jangka panjang akan memperoleh keuntungan dari pengambilan
keputusan itu karena akan menguntungkan perusahaan dalam jangka panjang yang berarti
keuntungan untuk pihak mereka juga.

B. LABA AKUNTANSI DALAM PERSPEKTIF MARXISME.

Penelitian ini bertujuan untuk memaknai laba berdasar pandangan kapitalisme,


Marxisme, dan spiritualisme Islam. Dalam penelitian ini Laba Kapitalisme dianalisis dengan
menggunakan cara berpikir filsafat dialektika idealisme Hegel, untuk laba Marxisme
menggunakan cara berpikir filsafat dialektia materialisme Karl Marx, dan untuk laba
spiritualisme Islam menggunakan cara berpikir filsafat spiritualisme Islam Al-Ghazali. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa Laba Kapitalisme adalah laba hasil dari kapital yang
berkembang menurut waktu dan diakumulasi menjadi kapital baru untuk ekspansi, kemudian
melahirkan kolonialisme, imperalisme dan fasisme. Manusia diposisikan sebagai obyek dalam
proses produksi komoditi untuk menghasilkan laba, dan sebagai barang dagangan yang
dieksploitasi melalui sistem kerja upahan. Laba Marxisme adalah nilai lebih hasil kerja buruh,
hasil eksploitasi kapitalis terhadap kerja buruh, dan kerja buruh yang tidak dibayar, Laba
dipengaruhi oleh tingkat upah, kapital konstan, kapital pinjaman, dan tenaga ahli manajemen.
Manusia diposisikan sebagai pencipta laba, tetapi hanya dilihat dari kerjanya saja. Laba
Spiritualisme Islam adalah hasil kerja manusia yang diridhoi Tuhan untuk kesejahteraan seluruh
umat manusia, kelestarian lingkungan sosial dan alam. Di samping itu laba digunakan untuk
membangun akhlak mulia: rendah hati ( tawadhu ), mengutamakan kepentingan umum
( itsar ), hidup sederhana, senang membantu orang lain, dan selalu berbuat baik.

Karya ini adalah pengantar singkat mengenai filsafat Marxisme, yang terdiri dari
tiga bagian: 1) Materialisme Dialektis; 2) Materialisme Historis; dan 3) Ekonomi
Marxis.

Hari ini, di bawah imbas krisis kapitalis, banyak buruh yang semakin haus ingin belajar
ekonomi. Mereka berusaha memahami kekuatan-kekuatan yang mendominasi kehidupan
mereka. Pengantar singkat ekonomi Marxis ini mencoba memberi para buruh sadar-kelas
bukannya penjelasan lengkap tentang ekonomi, tetapi panduan untuk hukum-hukum dasar
mengenai gerak masyarakat kapitalis yang mendominasi kehidupannya.

Kedangkalan ilmu ekonomi kapitalis ditunjukkan oleh ketidak mampuannya untuk memahami
krisis yang mempengaruhi sistemnya. Tugas ilmu ini adalah untuk menutupi fakta eksploitasi
kelas pekerja dan “membuktikan” superioritas masyarakat kapitalis. “Teori-teori” dan “solusi-
solusi” palsu mereka tidak mampu menambal watak kapitalisme yang busuk dan penuh
penyakit. Hanya transformasi masyarakat dalam jalur sosialis dan pengenalan ekonomi terpadu
yang dapat menghentikan mimpi buruk pengangguran, krisis ekonomi dan kekacauan.

Pemimpin-pemimpin buruh sayap kanan telah menolak dewa lama mereka, Keynes, dan
menggantinya dengan solusi-solusi ekonomi yang “ortodoks”: pemotongan, pembatasan gaji
dan deflasi. Reformis-reformis kiri masih berpegang pada kebijakan-kebijakan kapitalis yang
sudah usang (reflasi, kontrol impor, dll.), yang telah terbukti tidak efektif di bawah kapitalisme.

Hanya dengan pemahaman Marxis mengenai masyarakat kapitalis maka para buruh yang
sadar-kelas dapat membongkar kebohongan dan distorsi para ekonom kapitalis dan melawan
pengaruh mereka dalam Gerakan Buruh.
Kerja rata-rata

Jika kita memandang komoditas sebagai nilai-guna (kegunaan mereka), kita melihatnya sebagai
sebuah “sepatu”, “jam tangan”, dll., sebagai produk-produk dari suatu bentuk kerja … kerja
yang dilakukan pembuat sepatu, pembuat jam, dll. Namun dalam pertukaran, komoditas dilihat
dengan cara yang berbeda. Karakter spesial mereka menghilang dan mereka muncul menjadi
sekian unit kerja manusia. Sebagai gantinya kita sekarang membandingkan jumlah kerja
manusia secara umum yang terkandung dalam komoditas. Semua kerja, sebagai gantinya,
direduksi menjadi unit kerja rata-rata yang sederhana.

Memang benar bahwa komoditas yang diproduksi oleh pekerja terampil mengandung nilai yang
lebih tinggi dibandingkan dengan yang diproduksi pekerja tidak terampil. Maka sebagai
gantinya, unit kerja terampil direduksi menjadi sedemikian banyak unit kerja yang sederhana
dan tidak terampil. Sebagai contoh, rasio 1 unit terampil = 3 unit tidak terampil, atau
sederhananya kerja terampil dihargai tiga kali lipat dibandingkan yang tidak terampil.

Sederhananya, nilai komoditas ditentukan oleh jumlah dari kerja rata-rata yang digunakan
dalam produksi. (Atau berapa lama waktu yang diperlukan untuk produksi). Namun jika seperti
ini, kelihatannya seorang pekerja yang malas memproduksi lebih banyak nilai dibandingkan
pekerja yang paling efisien!

Mari kita ambil contoh seorang pembuat sepatu yang memilih metode-metode kedaluwarsa dari
Abad Pertengahan untuk membuat sepatu. Dengan metode ini, perlu seharian untuk membuat
sepasang sepatu. Ketika ia hendak menjualnya di pasar, ia menemukan bahwa sepatu
buatannya harganya sama dengan yang dibuat di pabrik-pabrik yang lebih modern dengan
mesin yang lebih lengkap.

Jika pabrik-pabrik ini memproduksi sepasang sepatu dalam waktu misalnya setengah jam,
mereka mengandung lebih sedikit kerja (dan oleh karena itu nilainya juga lebih sedikit) dan
akan dijual lebih murah. Ini akan mendorong si pembuat sepatu yang menggunakan cara-cara
Abad Pertengahan menuju kebangkrutan. Kerjanya dalam memproduksi sepasang sepatu
setelah setengah jam berlalu adalah kerja yang sia-sia, dan tidak perlu dilakukan di bawah
kondisi-kondisi modern. Ia akan terpaksa memperkenalkan teknik-teknik modern dan
memproduksi sepatu yang setidaknya setara dengan waktu yang diperlukan yang
dikembangkan oleh masyarakat.

Dimana pun dan kapan pun, dengan kerja, mesin, metode, dll., yang rata-rata, semua
komoditas membutuhkan rentang waktu produksi tertentu. Hal ini tergantung pada tingkat
teknologi dalam masyarakat. Dalam kata-kata Marx, semua komoditas harus diproduksi dalam
waktu yang diperlukan secara sosial. Waktu-kerja yang melampaui ini akan menjadi kerja sia-
sia, yang menyebabkan naiknya ongkos produksi dan membuat perusahaan menjadi tidak
kompetitif.
Jadi, lebih tepatnya, nilai suatu komoditas ditentukan oleh jumlah kerja yang diperlukan secara
sosial yang terkandung di dalamnya. Secara alami, waktu-kerja ini terus-menerus berubah
seiring munculnya teknik dan metode kerja yang baru. Kompetisi menyingkirkan siapapun yang
tidak efisien.Maka kita juga bisa memahami mengapa batu permata memiliki nilai yang lebih
tinggi daripada barang-barang sehari-hari. Lebih banyak waktu-kerja yang diperlukan secara
sosial untuk menemukan dan mengekstraksi permata, dibandingkan produksi komoditas-
komoditas biasa. Maka nilai permata jauh lebih tinggi.
Suatu barang dapat memiliki nilai-guna tanpa memiliki nilai, dengan kata lain suatu barang
yang berguna yang tidak memiliki waktu-kerja untuk memproduksinya: udara, sungai, tanah,
padang rumput, dll. Maka kerja bukan satu-satunya sumber kekayaan, atau sumber nilai-guna,
namun alam juga merupakan sumber.

Dari penjelasan di atas kita dapat melihat bahwa peningkatan produktivitas akan meningkatkan
jumlah barang yang diproduksi (kekayaan material), namun dapat mengurangi nilai dari
barang-barang tersebut, dalam kata lain, jumlah kerja yang terkandung dalam tiap-tiap
komoditas berkurang. Produktivitas yang meningkat oleh karenanya akan menghasilkan
peningkatan kekayaan. Dengan dua jaket dua orang bisa berpakaian, dengan satu jaket hanya
satu orang. Bagaimanapun juga, peningkatan dalam jumlah kekayaan material dapat
berhubungan dengan penurunan dalam jumlah nilainya.

Uang

Karena kesulitan pertukaran dengan metode barter, semakin sering suatu benda dijadikan
“uang”. Selama berabad-abad satu komoditas – yaitu emas – dipilih untuk memainkan peran ini
sebagai “ekuivalen universal”. (Marx, Das Kapital Vol. I)

Daripada mengekspresikan nilai suatu barang dengan sejumlah mentega, daging, kain, dll., nilai
barang itu diekspresikan dengan emas. Ekspresi uang dari suatu nilai disebut harga. Emas
digunakan karena kualitasnya. Emas mengkonsentrasikan nilai yang besar dalam jumlah yang
kecil, dapat dibagi menjadi koin-koin dengan mudah, dan juga tangguh.

Seperti semua komoditas lainnya, nilai emas itu sendiri ditentukan oleh jumlah waktu-kerja
yang dihabiskan untuk produksi. Sebagai contoh, ambillah 40 jam kerja untuk memproduksi
satu ons emas. Lalu semua barang lainnya yang memerlukan waktu yang sama untuk
diproduksi adalah setara dengan satu ons emas itu. Barang yang memerlukan waktu
setengahnya untuk diproduksi adalah setara dengan setengah ons emas, dan seterusnya.

Satu ons emas = 40 jam kerja, ½ ons emas = 20 jam kerja, ¼ ons emas = 10 jam kerja. Oleh
karena itu: satu mobil (40 jam kerja) = 1 ons emas. Satu meja (10 jam kerja) = ¼ ons emas.

Karena perubahan-perubahan dalam teknik produksi dan peningkatan produktivitas tenaga


kerja, semua nilai komoditas berfluktuasi terus-menerus, seperti banyak kereta dalam suatu
stasiun yang datang dan pergi dalam waktu yang berbeda-beda. Jika kita naik kereta manapun
sebagai standar bergerak relatif dengan gerakan kereta lainnya, tentu akan menyebabkan
kebingungan. Hanya dengan diam berdiri di peron yang tidak bergerak kita bisa melihat secara
akurat apa yang terjadi. Dalam hubungannya dengan perubahan setiap barang, emas berlaku
sebagai ukuran. Walaupun paling stabil, bahkan emas pun terus berubah-ubah, karena tidak
ada komoditas yang nilainya benar-benar tetap.
Harga komoditas

Hukum nilai mengatur harga barang. Seperti dijelaskan di atas, nilai komoditas adalah setara
dengan jumlah kerja yang terkandung di dalamnya. Dalam teori, nilai adalah setara dengan
harga. Namun kenyataannya, harga suatu komoditas cenderung entah di atas atau di bawah
nilai aslinya. Fluktuasi ini disebabkan oleh berbagai pengaruh terhadap harga pasar, seperti
perkembangan monopoli. Perbedaan antara persediaan dan permintaan juga memiliki efek yang
besar. Sebagai contoh, bisa jadi ada surplus suatu komoditas di pasar, dan harganya pada hari
itu bisa jadi jauh di bawah nilai aslinya, atau jika ada kelangkaan, harga akan melonjak
melampaui nilai asli. Efek dari persediaan dan permintaan telah menggiring ekonom-ekonom
borjuis untuk percaya bahwa hukum ini adalah satu-satunya faktor dalam menentukan harga.
Yang mereka tidak mampu jelaskan adalah bahwa harga selalu berfluktuasi seputar suatu
tingkat yang pasti. Tingkat ini tidak ditentukan oleh persediaan dan permintaan, namun oleh
waktu-kerja yang dibutuhkan untuk memproduksi barang itu. Sebuah truk lori selalu akan lebih
mahal dibandingkan sebuah ember plastik.

Laba

Beberapa orang “cerdas” telah menciptakan teori bahwa laba muncul dari membeli murah dan
menjual mahal. Di Nilai, Harga dan Laba, Marx menjelaskan mengapa argumen ini omong
kosong:

“Apa yang seseorang menangkan sebagai penjual akan menjadi kehilangan baginya sebagai
pembeli. Kita tidak bisa mengatakan bahwa ada pembeli yang bukan penjual atau konsumen
yang bukan produsen. Yang dibayar orang-orang ini ke produsen, mereka harus pertama-tama
mendapatkannya secara cuma-cuma. Jika seseorang pertama-tama mengambil uangmu dan
kemudian mengembalikan uang itu dengan membeli komoditasmu, kamu tidak akan pernah
memperkaya dirimu dengan menjual komoditasmu terlalu mahal ke orang yang sama.
Transaksi jenis ini dapat mengurangi kerugian, tetapi tidak akan pernah membantu
merealisasikan laba”. (Marx, Nilai, Harga dan Laba)

Daya-Kerja (Labour Power)

Dalam mencari “faktor-faktor produksi”, kapitalis melihat “pasar buruh” seperti halnya pasar
komoditas lainnya secara umum. Kemampuan dan energi buruh hanya dilihat sama seperti
komoditas lainnya. Ia membuka iklan untuk memperkerjakan tangan-tangan tersebut.

Yang harus kita jelaskan di sini adalah apa yang sebenarnya telah dibeli kapitalis. Buruh telah
menjual bukan kerjanya, namun kemampuannya untuk bekerja. Inilah yang disebut oleh Marx
sebagai daya-kerjanya (labour power). Daya-kerja adalah suatu komoditas yang diatur oleh
hukum-hukum yang sama seperti komoditas lainnya. Nilainya ditentukan oleh waktu-kerja yang
diperlukan untuk produksinya. Daya-kerja adalah kemampuan buruh untuk bekerja. Ini
“dikonsumsi” oleh kapitalis dalam proses-kerja yang aktual. Namun ini mengasumsikan
keberadaan dan kesehatan dan kekuatan buruh. Produksi daya-kerja oleh karenanya berarti
perawatan diri buruh dan reproduksi spesiesnya, untuk menyediakan generasi-generasi pekerja
baru untuk kapitalis.

C. LABA AKUNTANSI DALAM PERSPEKTIF SPRITUAL.

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh fenomena pendidikan akuntansi yang terlalu


didominasi oleh sifat maskulinitasnya yang berfokus pada rasionalitas (Intelektualitas) sehingga
mengabaikan berbagai sudut pandang yang seharusnya diintegrasikan sebagai sebuah
keutuhan untuk peradaban. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pemahaman mahasiswa
tentang akuntansi menggunakan perspektif kecerdasan spiritual. Dalam rangka mengeksplorasi
pemahaman mahasiswa dari perspektif kecerdasan ini, fenomenologi digunakan sebagai
metodologi, dengan paradigma interpretif sebagai payung penelitian. Ekplorasi pemahaman dan
kesadaran mahasiswa dengan kecerdasan spiritual dilakukan secara mendalam menggunakan
Epoche. Temuan mengindikasikan bahwa mahasiswa sudah dapat memahami akuntansi dari
kecerdasan spiritual dengan pendapatnya masing-masing, akan tetapi mahasiswa masih
terbelenggu dengan karakter (baik karakter pendidik maupun mahasiswa) serta sistem yang
sudah mengakar padapendidikan akuntansi. Dengan adanya hambatan tersebut, diajukan ide
bahwa dibutuhkan sebuah usaha agar dapat mengupayakan perubahan dalam pendidikan
akuntansi agar dapat mencapai keseimbangan dengan mengintegrasikan berbagai sudut
pandang sebagai sebuah keutuhan.

Kata kunci: Pemahaman Akuntansi, Kecerdasan Spiritual, Pendidikan Akuntansi,


Fenomenologi.

Peran Pendidikan Akuntansi dalam Membangun Kecerdasan Spritual.

Filosofi pendidikan akuntansi Indonesia sebaiknya berpijak pada sebuah pemikiran


bahwa sebuah keberadaan (existence) selalu mengandung dua hal berbeda tetapi keduanya
tidak dapat dipisahkan, yaitu substansi (substance) dan bentuk (form). Substansi adalah
sesuatu yang ada dalam bentuk. Sifat substansi adalah universal, berlaku dalam dimensi ruang
dan waktu yang sangat lebar dan panjang. Sementara bentuk bersifat lokal, berada dalam
dimensi ruang dan waktu yang sangat terbatas. Oleh karena itu, bentuk bersifat sementara,
sering berubah sesuai dengan kondisi yang ada. Keberadaannya selalu berubah tergantung
pada ruang dan waktu di mana bentuk itu berada. Namun demikian, substansi dan bentuk tidak
dapat dipisahkan. Keduanya adalah satu kesatuan. Ibarat ruh (jiwa) dan tubuh fisik pada
manusia. Ruh tidak dapat dipisahkan dari tubuh, atau sebaliknya, tubuh tidak dapat dipisahkan
dari ruh.

Pendidikan akuntansi Indonesia juga demikian. Pendidikan memiliki ruh dan tubuh. Ruh
pendidikan akuntansi Indonesia bersifat universal. Artinya, ruh ini berlaku sepanjang masa dan
berlaku di seluruh Indonesia. Universal juga berarti bahwa ruh melekat pada semua jenjang
dan
jenis pendidikan akuntansi di Indonesia. Ruh pendidikan akuntansi Indonesia yang dimaksud di
sini adalah pendidikan yang mengintegrasikan berbagai perspektif kecerdasan dalam satu
kesatuan yang utuh dan tanpa mengutamakan salah satunya saja. Sedangkan bentuk-bentuk
pendidikan (seperti jenjang, jenis, kompetensi, dan lain-lainnya) bersifat lokal. Karena sifatnya
yang lokal, maka bentuk-bentuk pendidikan akuntansi ini dapat berubah sesuai dengan
perubahan lingkungan sosial dan bisnis.

Pendidikan merupakan proses di mana peserta didik dapat berinteraksi secara bebas untuk
menemukan kodrat (potensi, bakat, kompetensi) yang ada dalam dirinya tanpa intervensi kuat
dari semua hal yang berasal dari luar dirinya. Pendidikan akuntansi Indonesia seyogyanya
memberikan kebebasan penuh pada peserta didik untuk menemukan potensi dirinya. Oleh
karena
itu, filosofi pendidikan akuntansi Indonesia yang digunakan di sini adalah membangkitkan dan
memberdayakan kodrat peserta didik dengan ruh pendidikan yang bersifat universal dan
melekat
pada bentuk-bentuk kompetensi yang bersifat lokal, sementara, dan individual.

Kecerdasan Spiritual

Danah Zohar dan Ian Marshall mendefinisikan kecerdasan spiritual sebagai kecerdasan untuk
menghadapi persoalan makna atau value, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan
hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa
tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain.
Kecerdasan
Spiritual adalah landasan yang diperlukan untuk memfungsikan Kecerdasan Intelektual dan
Emosional secara efektif. Bahkan kecerdasan spiritual merupakan kecerdasan tertinggi kita
(Zohar dan Marshall, dalam Agustian [2005:46]).

Sedangkan menurut Agustian (2005:47), kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk


memberi makna spiritual terhadap pemikiran, perilaku dan kegiatan, serta mampu
menyinergikan berbagai sudut pandang secara komprehensif. Sudut pandang yang dimaksud
dalam penelitian ini adalah sudut pandang Intelektual, Emosional, Spiritual dan Sosial.

Ajaran agama dan ajaran moral mana pun pastilah menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran,
ketulusan, rendah hati, menghargai harkat kemanusian, rela berkorban demi kemaslahatan
orang
banyak, dan semacamnya. Ini juga nilai-nilai pribadi spiritual yang sifatnya universal, lintas
agama dan bersifat langgeng. Artinya melintasi segala zaman dan tempat. Kecerdasan spiritual
dalam akuntansi saya mengambil contoh dari contoh penyusunan pelaporan keuangan
perusahaan. Jika suatu perusahaan ingin langgeng, pencapaian kebijakan keuangan
perusahaan harus menjunjung nilai-nilai yang bersifat langgeng pula, karena hanya dengan
cara itu, perusahaan akan bisa selalu menjadi bagian pertanggungjawaban dari nilai pribadi
manusia. Kehadiran nilai-nilai spiritualitas akan memainkan peran signifikan dalam proses
menjadi kinerja keuangan organisasi yang spiritual, artinya penyusunan laporan keuangan
memberikan informasi yang dapat dipercaya dengan segala kebijakan yang ditetapkan.
Pencapaian yang akan mampu menghasilkan perubahan sikap individu penyusun laporan
keuangan untuk menurunkan praktik penyelewengan dan pelanggaran wewenang (fraud), serta
meningkatkan citra atau kredibilitas perusahaan di mata stakeholder (Prasetyo, 2012).

Nilai-nilai spiritual dalam hasil penyusunan pelaporan keuangan akan mampu memberikan
ketepatan informasi yang dapat dipercaya bagi seluruh pengguna laporan keuangan tersebut,
kehadiran penyusun laporan keuangan yang menumbuhkan kehadiran nilai-nilai spiritualitas
akan memberikan dampak bagi perusahaan mampu bertahan dan terus berkembang seperti
UPS, Southwest, Starbucks dan Timberland. Sebaliknya, tanpa spiritualitas, perusahaan bisa
saja sukses tapi umumnya berjangka pendek, contoh ekstremnya sang raksasa Enron dan
WorldCom
[Zohar dan Marshall, 2005: 22 dalam Prasetyo (2012)].

Pelaksanaan nilai-nilai spiritual penyusun laporan keuangan dalam upaya pemberian informasi
kinerja perusahaan, lebih lanjut dibuktikan dalam penelitian Collins dan Porras (1996),
menyatakan bahwa atas hasil penelitian yang dilakukan pada akhir tahun 1994 pada 18
perusahaan visioner yang kemudian dibandingkan dengan 18 perusahaan lainnya (yang
mewakili
perusahaan-perusahaan pada umumnya). Perusahaan-perusahaan visioner, mampu mencapai
keberhasilan dalam sukses kinerja keuangan terhadap nilai spiritual penyusun laporan
keuangan
dengan tingkat yang jauh di atas rata-rata pencapaian semua perusahaan lain (sebesar 87,5 %
persen), pada umumnya tidak melakukan pilihan atas dua hal yang kontradiktif. Konsep yang
dilakukan dengan upaya penyerasian atau kolaborasi antara keduanya, contohnya mereka tidak
memilih sasaran keuntungan jangka pendek untuk mengorbankan sukses jangka panjang, atau
mungkin sebaliknya. Namun dengan selalu berupaya untuk sukses dalam jangka pendek dan
berupaya pula untuk meraih sukses jangka panjang.

Pemahaman Akuntansi dari Perspektif Kecerdasan Spiritual

Tidak ada definisi autoritatif yang cukup umum untuk dapat menjelaskan apa
sebenarnya akuntansi itu. Oleh karena itu banyak definisi yang diajukan oleh para ahli atau
buku teks tentang
pengertian akuntansi. American Accounting Association dalam Sumarso (1999) mendefinisikan
akuntansi sebagai proses mengidentifikasikan, mengukur dan melaporkan informasi ekonomi,
untuk memungkinkan adanya penilaian dan keputusan yang jelas dan tegas bagi mereka yang
menggunakan informasi tersebut (Melandy dan Aziza, 2006).

Menurut Suwardjono (2005) pengetahuan akuntansi dapat dipandang dari dua sisi pengertian
yaitu sebagai pengetahuan profesi (keahlian) yang dipraktekkan di dunia nyata dan sekaligus
sebagai suatu disiplin pengetahuan yang diajarkan di perguruan tinggi. Akuntansi sebagai objek
pengetahuan di perguruan tinggi, akademisi memandang akuntansi sebagai dua bidang kajian
yaitu bidang praktek dan teori. Bidang praktek berkepentingan dengan masalah bagaimana
praktek dijalankan sesuai dengan prinsip akuntansi. Bidang teori berkepentingan dengan
penjelasan, deskripsi, dan argumen yang dianggap melandasi praktek akuntansi yang
semuanya dicakup dalam suatu pengetahuan yang disebut teori akuntansi (Yuniani, 2010).
Paham dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti pandai atau mengerti benar

sedangkan pemahaman adalah proses, cara, perbuatan memahami atau memahamkan. Ini
berarti bahwa orang yang memiliki pemahaman akuntansi adalah orang yang pandai dan
mengerti benar akuntansi. Dalam hal ini pemahaman akuntansi akan diukur dengan bagaimana
mahasiswa mengutarakan pendapatnya mengenai akuntansi jika ditinjau dari sudut pandang
spiritual sebagaimana dalam tabel telah merangkum bahwa terdapat berbagai pemahaman
Akuntansi tergantung pada kecerdasan Spiritual.

Pemahaman akuntansi dari sudut pandang kecerdasan spiritual lebih


lengkapnya saya coba klasifikasikan dalam tabel berikut ini:

No Tokoh Pemahaman Akuntansi


.
1. Triyuwono, 2009 Akuntansi adalah stimulan yang digunakan untuk
menggiring manusia pada ketundukan, kepasrahan, dan
penyatuan pada Tuhan.

2. Triyuwono, 2009 Akuntansi Syariah tidak terlepas dari konsep organisasi


syariah yang menggunakan metafora "amanah." Dalam
bentuk yang lebih "operasional," metafora "amanah" ini
diturunkan menjadi metafora "zakat," atau realitas
organisasi yang dimetaforakan dengan zakat.

3. Triyuwono, 2009 Akuntansi pada dasarnya ingin membebaskan manusia


dari jaring kuasa kapitalistik, atau jaring kuasa semu
lainnya yang membuat semu orientasi hidup manusia atau
berpaling dari kuasa Tuhan, dan mengikatkan diri pada
jaring kuasa Ilahi yang sejati.

Anda mungkin juga menyukai