Anda di halaman 1dari 4

Dimanakah Hati Mu?

"Aku belum bayar kontrakan 6 bulan jalan 7 bulan, selama ini Sora yang bayar. Belum bayar
kuliah 6 bulan juga, enggak enak sama Sora, belum hutang makannya. Boleh nggak, aku minta
tolong duit yang waktu itu kamu pinjam 75 atau 50 aja dulu, langsung transfer ke Sora aja.
Sekarang aku benar-benar belum ada uang sama sekali." -El-Jiah

"Oh, yaudah nanti ya."-Resa

"Minggu kemarin udah izin kuliah, enggak bisa berangkat soalnya. Yaudah, tolong bnnget ya🙏"
-El-Jiah

"Mending kamu 6 bulan aku 9 Ji."-Resa

"Iya, tapi enggak enak sama Sora. Akunya kepikiran terus, enggak nyaman rasanya ada hutang
tuh."-El-Jiah

"Mendinglah, Sora pasti ngertiin kamu, lah kalau ke kampus bisa enggak masuk, enggak dikasih
tahu nilai dan enggak boleh ikut ujian Ji."-Resa

"Iya Res, tapi hati dan perasaan orang kita mana tahu. Mungkin duitnya mau dipakai buat beli
baju baru, beli kebutuhan atau bahkan untuk mewujudkan mimpinya. Takut mendzolimi orang
yang sudah baik, udah ah cuma mau minta tolong itu aja, maaf ya."-El-jiah

"Gila sih, ini parah banget sumpah menurut aku Ji," Meyra memberikan kembali gawai El-jiah
dari tangannya. Sambil menggelengkan kepalanya, ia juga berdecak geram.

"Ya gitulah Mei, sebenarnya duit yang dia pinjam enggak seberapa Mei cuma 150 ribu aja. Tapi,
udah lama banget sejak tahun 2019 dan sekarang 2021. Selama ini enggak aku tagih karena aku
tahu keadaan dia dan keluarganya juga kekurangan Mei, dia kuanggap seperti saudara kandung
ku. Ku kira setelah bilang aku sedang butuh uang dia akan simpati, ternyata aku salah," El-jiah
menarik nafas dan menghadapkan wajahnya ke langit, menahan deru tangis yang hendak
melompat keluar dan menumpahkan segala sedihnya.

"Aku enggak tau lagi lah Ji, harusnya dia berusaha buat balikin uang kamu. Ya Allah enggak
ngerti lagi lah ya Ji, semoga Allah menjaga kita dan kita enggak bertransformasi jadi dia. Ih ya
Allah pengen banget aku samperin terus aku jitak kepalanya kek gini," Meyra mengambil sendok
teh nya dan memukul-mukul meja semampunya.

"Maaf Mba jangan berisik, ada banyak orang yang terganggu dengan suara sendoknya," Laki-
laki bermata coklat dan berwajah dingin itu menghentikan sendok yang masih bergerak dari
tangan Meyra. Ku rasa dia adalah pemilik kedai unik yang tengah dikunjungi Meyra dan El-jiah.
"Eh maaf ya Mas, kita tidak bermaksud," El-jiah segera mengambil sendok tersebut dari
keduanya dan menyenggol tangan Meyra yang masih diam di tempat menatap terpaku pada si
mata coklat.

"Eh, ya ampun maaf Mas," Meyra bergegas merapikan kerudung dan baju yang sebenarnya baik-
baik saja, isi kepala Meyra yang justru kacau tak karuan.

****

Setelah insiden itu terjadi El-jiah mengajak Meyra pindah, bukan apa-apa selain hati enggak
enak dengan semua, muka juga kadung merona menahan malu.

"Eh maaf loh Ji, gara-gara aku jadi ada iklan deh di selah-selah curhatannya kamu. Kita jadi
harus pindah ke tempat lain, padahal tempat yang tadi bagus banget pemandangannya. Tempat
yang ini agak gelap Ji."

"Sudah enggak apa-apa Mey ini namanya intermezzo kehidupan alias berhenti sejenak, Allah
bilang ini bukan tempat yang indah tapi ini tempat terbaik untuk kita."

Meyra tersenyum haru,

"Wanita kuat," batinnya. "Eh lanjutin lagi ceritanya Ji, keluarin aja semuanya."

"Mey, duit itu selalu bisa dicari tapi ketulusan dalam sebuah persahabatan mana bisa dibeli. Aku
menunggu Resa bertanya kabar ku, mendengarkan cerita ku dan menyebut aku dalam doanya. Eh
ternyata meresahkan, sayang ku bertepuk sebelah tangan," El-jiah tertawa kecil, lebih tepatnya
menertawakan dirinya sendiri yang tampak begitu bodoh.

"Resa, sama dengan meresahkan. Oh iya-iya bener yak, terlintas dalam otakku Ji. Harus ganti
nama keknya tuh anak," Meyra tertawa agak kencang.

"Harus Mey, hahaha. Oh ya kamu tahu enggak, kejadian ini ini mengingatkan aku pada
seseorang. Dia yang pinjam duit ku 10 juta bisa melenggak-lenggok kemana-mana dan lamar
wanita pujaannya, tapi aku yang pinjamkan tidur di kontrakan yang banyak tikusnya, " lagi-lagi
El-jiah tertawa kecil sambil mengaduk lemon tea di hadapannya.

"Oh iya ya Allah itu sih dia enggak kalah meresahkan Ji, waktu aku kerja sama dengan dia. Beuh
15-an juta juga habis, parah si dia mana kerjanya lebih banyak aku. Tapi Ji herannya dia di
luaran sana disanjung abis, dikenal baik dan dipercaya usahanya. Aku setelah kejadian itu cukup
tahu aja Ji, pembelajaran hidup lewat dia enggak bisa aku lupain."

Dua orang yang sama, sama-sama pernah dihantam badai perahu kecil kehidupannya. Barangkali
ini adalah refleksi sebuah kata pepatah "Hidup yang tidak pernah dipertaruhkan, maka tidak akan
pernah dimenangkan." Dulu sama-sama pernah punya dan seroyal itu untuk melakukan aksi
bernama membantu dan percaya, dan akhirnya sama-sama dikhianati oleh orang yang sama.
Sekarang pun sama, sama-sama kehilangan dan harus berjuang dari nol lagi.

"Iya Mey, aku juga sama cukup tahu aja. Mereka enggak paham kalau kita sebagai peminjam
atau yang mau bekerja sama ini bukanlah orang yang punya segalanya. Mereka enggak tahu
bahwa di balik alasan kita mau di dalamnya rasa sayang, iba, percaya dan cinta."

"Iya Ji mereka menutup mata saat kita yang bilang butuh bantuan, ingin ku penjarakan mereka
semua Ji, haha."

"Jangan Mey, aku hanya berkeluh kesah. Aku ingat isi surat Jack Ma untuk anaknya, sebenarnya
tidak ada yang punya kewajiban berbuat baik sama diri ini kecuali orang tua kita. Tapi, jika
sudah menemukannya, genggam erat. Kita hanya belum menemukannya Mey, atau jangan-
jangan belum menyadarinya," El-Jiah tersenyum. "Aku sudah menemukannya Mey, itu kamu.
Tapi, hanya kan kusanjung kamu lewat doa," batin El-jiah menatap binar mata Meyra.

****

El-jiah membawa beberapa kotak hadiah, ditentengnya memasuki gerbang hijau sebuah rumah.
Bila dilihat-lihat sekilas tidak banyak berubah, semua tata letak rumah itu masih sama. Hanya
saja, sekarang lebih rapih. Air mancur dan kolam-kolam ikan telah terisi. Bunga peony ranum
warnanya, bertengger anggun di taman depan rumah.

"Assalammualaikum, Nda, Resa ini ada beberapa kotak untuk kalian," El-Jiah masuk dan
menghampiri Resa juga kedua orang tuanya yang tengah nonton tv, memberikan kotak itu
sekaligus mencium punggun tangan kedua orang tuanya.

"Waalaikumussalam, eh kirain siapa,"Bunda Resa menyambut kedatangan El-Jiah

"Eh apaan ini, makasih ya," sahut Ayah Resa juga menyambut.

"Sama-sama Paman, bukan apa-apa kok cuma sedikit rezeki."

"Eh mau kemana Res kok dandan?" tanya El-jiah mendapati Resa yang baru saja keluar kamar
dan berpakaian rapih.

"Eh kok kamu enggak bilang-bilang datangnya, aku mau keluar ada janji. Kamu seharusnya
sering-sering main kesini, bosan tahu. Yaudah aku pergi dulu ya, kamu nginep ajalah."

"Ta-pi Res...," "Aku harus kerja besok," batin Jiah menatap sendu punggung Resa yang telah
berlalu.

"Iya nginep aja Ji, enggak ngapa-ngapain kan besok?" Bunda membantu Resa meyakinkan Jiah.

"Hehe, besok kerja Nda ini juga mau antar ini doang enggak bisa lama, Aku pamit ya Paman,
Bunda."
"Oalah yaudah tiati ya," jawab keduanya kompak dan Jiah sekali lagi mencium tangan Bunda
dan Ayah Resa.

El-jiah kenal baik dengan keluarga ini, ia tahu Ibu dan Ayah Resa. Hanya saja sepertinya El-jiah
terlalu banyak harap bila ia benar-benar bisa jadi bagian dari keluarga ini. Jiah rasa ia tak lebih
dari orang lain pada umumnya di keluarga Resa. "Kenapa mereka enggak tanya aku apa kabar,
sekarang tinggal dimana dan bisa makan enggak," Resa hanya menggumam dan pulang dengan
perasaan hampa.

Dia tersenyum kecut sepanjang jalan, sambil bertanya di manakah hati mu? wahai orang-orang
yang mengaku punya hati. Dimanakah hati mu? wahai yang mengaku sahabat, tapi malah enggak
peduli. Di manakah hati mu? wahai yang punya hutang, tapi malah jadi lebih galak saat ditagih.
Di manakah hati mu? wahai orang-orang yang suka lupa diri.

Anda mungkin juga menyukai