Anda di halaman 1dari 6

Sebenarnya Tak Punya Apa-Apa

"Itu teh chamomile, candu?" Parakah mengomentari kelakuan Haruma yang tak pernah lepas
dari teh kesukaannya.

"Lebih baik tak pernah lepas dari teh yang bisa bikin nyaman, dari pada tak bisa lepas dari
masa lalu yang menyebabkan penderitaan." Haruma menenggak teh dengan cepat dan menatap
Parakah penuh dengan ejekan.

Satu donat itu lolos dengan mulus ditenggorokan, memberikan rasa pahit sekaligus sakit yang
tak tertahankan. Kalo orang Bengkulu bilang itulah namanya bakelan atau bengkelan dibacanya,
artinya tersedak.

"Nyindir gua asli," ucap Parakah sambil memegangi lehernya.

Haruma tertawa geli, meski begitu mana tega ia melihat Parakah kesakitan.

"Nih minum, besok-besok coba dua donat sekaligus biar enggak nanggung sakitnya." ujar
Haruma memberikan segelas teh chamomile hangat, sekaligus menahan tawa yang belum
kunjung reda sepenuhnya.

"Emang lu doang cewek sadis, " Parakah mengambil teh dengan cepat dan menenggaknya
perlahan.

"Sesadis-sadisnya gua, yang penting enggak pernah morotin duit lu terus kabur. Yang ada
duit gua banyak abis karena lu." Haruma bangkit dan merapihkan bajunya.

Kata-kata Haruma penuh drama, tapi benar adanya. Dengan tangan diatas kepala dan
menarik-narik rambutnya yang tak terasa gatal sama sekali. Hari ini, poin kedua iya dibuat
Haruma kembali tertegun.

"Dah akh melownya , gua kesini mau piknik bukan mau sedih. Gua duluan ketempat ayunan.
Bye-bye." Haruma berlari dengan riang dan berteriak sekencang-kencangnya.

"Woy tunggu gua," Parakah beranjak dan berlari menyusul Haruma, hampir saja ia kembali
tertegun dan mendapatkan poin ketiga. Untungnya ia segera sadar dan bangun dari jatuh yang tak
terlihat.
Kalian tahu, tempat apa yang paling efektif membuat perasaan kembali baik. Sebagian
mungkin akan bilang mall, atau tempat kenangan bersama orang tersayang. Tapi, bagi Haruma
tempat terbaik itu adalah alam. Alam dan segala keindahan isinya telah diciptakan untuk
menyeimbangkan kehidupan, sayang tak banyak yang mau berjuang mempertahankan
keindahannya.

"Padahal taman itu sederhana, malah lebih sederhana dari kata itu sendiri. Tanah, bunga, dan
udara, Parakah apa yang lu paham?" Haruma menoleh dan menatap dalam mata Parakah.

Parakah menoleh dan menggeliatkan badannya diatas tanah, apa yang ia paham tentang
semua yang baru saja diucapkan Haruma.

"Yang gua tahu awan itu hasil penguapan dari air, terus...."

"Ya Rakah mabok lu ya, tanah, bunga dan udara. Dimananya awan sih, " mata Haruma tiba-
tiba mendelik gerget dengan jawaban Parakah.

"Eh ya ampun maaf-maaf, oke-oke nih tanah tuh tempat tumbuhnya tanaman. Terus bunga itu
juga tanaman dan udara itu biar kita bisa bernafas."

"Anak TK juga tahu aish," jawab Haruma mendesah.

"Ya, terus?" Parakah balik bertanya.

"Gua kira yang bikin menyumbat kehidupan itu karena kita enggak paham banyak hal, tapi
ternyata boro-boro paham tau juga enggak.

"Ya emang gitu kan sederhananya Ma," Parakah memastikan.

"Ya emang manusia selalu ingin yang paling sederhana, bahkan lupa kalo cara paling
sederhana untuk banyak hal adalah memahami. "

Poin ketiga, Parakah kembali terdiam akhir-akhir ini percakapannya dengan Haruma selalu
berat. Berisi pesan-pesan tersirat dan nasehat kehidupan. Mungkinkah sebegitu menyedihkan
dirinya saat ini, "dunia ini memang rumit batinnya."
"Ingat baik-baik Parakah, kalo selama ini hidup kita ini banyak banget hambatannya. Jangan-
jangan kita emang enggak banyak tahu dan pahamnya."

"Iya-iya Haruma," Parakah memandangi awan yang seakan saling bekejaran.

"Pesan itu juga berlaku buat gua, suatu saat lu yang bertugas ngingetin gua." Angin taman
menyapu wajah Haruma, mengantarkan angin sepoi yang membuat matanya terpejam.

Taman Kota, Cipayung Jakarta Timur

****

"Ya, apa?" Haruma menempelkan gawainya di telinga, hatinya berdengung penuh amarah.
"Siapa sih, pasti panda Amerika nih" batinnya kesal mendengar panggilan berulang kali.

"Ma buruan bangun, hibernasi mulu sih. Gua butuh bantuan nih buruan lu kesini, gawat
beneran dah." ucap Parakah tanpa koma, lantas mengakhiri panggilannya.

"Aih bener-bener ya nih anak, dikira gua jin gitu seenak jidatnya kalo minta tolong." Haruma
menggerutu kesal sambil memastikan lokasi yang baru saja dikirim oleh Parakah melalui
whats'up.

Ia mengikat rambutnya sembarang, memakai jilbab sekenanya dan tak lupa jaket yang telah
lama menjadi legenda di keluarganya. Jika bukan sudah benar-benar compang-camping maka
Haruma takkan menggantinya.

Motor beat hitam itu melaju dengan kecepatan sedang, jalanan Pamulang lengang. Setidaknya
hari-hari setelah pandemi akhirnya alam punya waktu untuk berbenah dari sibuknya manusia
memenuhi keinginannya. Sudah terlalu lama alam mengalah, lupa merawat diri dan menjadi
sangat kusut karena begitu lelah.

Pamulang, Ciputat, Pondok Ranji dan akhirnya Haruma tiba di Bintaro. Ia bergegas
menghampiri Parakah didepan hotel Citra Dream, sudah tak sabar rasanya ingin menggetok
kepala Parakah. Sayangnya ingin memukuli Parakah, hanya sebatas mimpi Haruma yang selalu
jadi wacana. Rasa kasihnya teramat besar dibanding rasa kesal yang datang.
"Ya Rakah sampai kapan, kapan kamu berhenti menyakiti diri sendiri?" Harumah menarik
nafas dalam-dalam sambil melipat kedua tangannya di dada.

"Ya begitulah Ma, gua kan badut di kala dia gabut. Cuma tadi gua lengah aja, eh pas gua liat
duit gua dalam tas udah enggak ada."

"Tapi kali ini gua bantu lu enggak gratis, ada syaratnya. Gimana?" Haruma mengeluarkan
kartu atm dan memberikannya pada Parakah.

"What'ts that?" tanya Parakah heran.

"Love your self, be your self." Haruma menepuk pundak Parakah kemudian berlalu
meninggalkannya.

"Ya Haruma gimana caranya?" teriak Parakah.

Haruma berhenti, berbalik dan menjawab pertanyaan Parakah.

"I dont know, itu tugas lu cari tahu bukan gua." Suara itu melengking di udara, meangkasa
dan memantul ke ruang dimensi lainnya.

Citra Dream, Bintaro

****

Mungkin saja bumi tengah marah, kesal, sedih atau semacamnya. Lihat saja, sudah melewati
pukul 06.30 pagi tapi masih saja tak kunjung redah. Dingin ikut menyelinap, menusuk dalam-
dalam kulit dan membuat betah tubuh berlindung di balik selimut. Haruma harap air itu turun
lebih lama, ia berharap bisa tidur panjang dengan nyenyak. Lalu, semua gelisah hilang setelah ia
bangun nanti.

"Ya halo siapa ya?" ucap Haruma pada seorang pria di sebrang sambil menggeliat malas
diatas kasurnya.

"Ini Non, mau ambil pesenan bunga kemarin sore atas nama Tuan Alandara." ujar pria
tersebut.
"Oh iya, maaf pak lagi hujan deras. Nanti kalo sudah redah saya kabari untuk ambil
bunganya." jelas Haruma turun dari kasurnya.

"Oh iya baik Non," dan sambungan telpon itu berakhir.

Haruma berjalan gontai sambil membenahi kacamatanya, menarik kerudung dan mengambil
payung kuning kesayangannya. Juliet Rose, itu nama bunganya. Bunga yang butuh 15 tahun
untuk tumbuh dan sudah 5 tahun bersama dirinya. Kini sudah menjadi 3 tangkai dari 2 tangkai
bunga seharga 57 miliar per tangkai. Di jemput dari Luar Negeri, sebagai hadiah dari sahabat
tercinta.

"Jadilah diri lu sendiri Ma, berhenti begitu intens memikirkan orang lain."

Astaga siapa itu, sepertinya suaranya tak asing. Haruma menoleh dan....

"Parakah, what are u doing here?" Hampir saja Haruma terjatuh dan untungnya hanya payung
yang melesat.

"Mau ngapain lagi, mau jemput bunga gua lah. Haha, canda Haruma masa gua ambil hadiah
dari gua lagi. Semua yang terjadi, terjadilah. Yang penting ingat hal ini Haruma, jangan lakukan
apapun sampai kamu benar-benar paham apa yang sedang kamu kerjakan. Wah kece ya gua
sekarang, bisa nasehatin lu." Parakah mengangkat kedua tangan dan bahunya.

Haruma tersenyum, setelah 5 tahun tak bertemu mungkin inilah pembelajarannya. Roda
berputar dan kita harus terus belajar.

"Thanks," ucap Haruma

"Ma, sekarang gua tahu bahwa kita harus paham. Sebenarnya kita tak punya apa-apa, jadi kita
harus belajar dan memahami banyak hal. Perihal menjadi diri sendiri dan mencintai diri itu
sederhana, tapi serumit itu jika kita tidak paham."

Sanggraloka Rasa, Bogor

"Kamu takkan pernah menjadi diri sendiri, sampai kamu mencintai dirimu, dan kamu takkan
mencintai dirimu sampai kamu paham bahwa kita sebenarnya tak punya apa-apa."
Halo Nama saya Thaharah Balqis. Usia 21 tahun, domisili Pamulang Tangerang Selatan.
Seorang mahasiswi jurusan psikologi Master Bussines Corporate University, juga seorang author
dan founder Islambul Academy. Media sosial saya @catatan_qies (instagram, tiktok, kbm app,
facebook dan twitter). Thaharah Balqis (linkedln)

Anda mungkin juga menyukai