Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PENDAHUUAN

TINDAKAN OPERASI DAN ANESTESI


PADA HIL RESIDIF

OLEH :
KHUSNUL KHOTIMAH

PELATIHAN ANESTESI ANGKATAN 2017


RSUD Dr. Syaiful Anwar Malang
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hernia merupakan kondisi ketika organ di dalam tubuh menekan dan menembus keluar melalui
otot atau celah jaringan di sekitarnya yang melemah. Salah satu jenis hernia yang paling umum
terjadi adalah hernia inguinalis. Hernia inguinalis terjadi ketika sebagian dari usus keluar dari
rongga perut melalui dinding bawah perut ke arah sekitar alat kelamin. Hal ini membuat munculnya
benjolan pada kantung buah zakar (skrotum), yang dapat terasa sakit atau panas. Pada hernia
inguinalis, benjolan sering kali muncul ketika penderita mengangkat sesuatu dan akan menghilang
saat dalam posisi berbaring. Meski hernia inguinalis sendiri tidak berbahaya, kondisi ini berisiko
mengarah pada komplikasi yang bisa membahayakan nyawa. Untuk menangani hernia inguinalis
yang terasa sakit dan membesar, dokter akan menyarankan operasi untuk mengembalikan posisi
usus dan menutup celah yang menyebabkan hernia tersebut.
Hernia inguinalis yang telah dilakukan tindakan operatif dapat berulang. Angka kekambuhan
berkisar antara 1-5%. Timbulnya kekambuhan ini dapat diakibatkan oleh adanya manipulasi
jaringan karena tindakan operasi, seperti terjadinya penipisan fasia atau infeksi luka operasi. Selain
itu, banyak faktor risiko lainnya yang mendukung timbulnya kekambuhan hernia inguinal. Tingginya
angka kejadian hernia dan sering ditemukan kekambuhan hernia setelah operasi, dan pentingnya
mengetahui gejala dan tanda hernia bagi tenaga kesehatan terutama didaerah layanan primer,
serta pentingnya mengetahui teknik anestesi yang dipilih berdasarkan kondisi pasien, sehingga
penulis tertarik untuk menulis laporan kasus dengan judul tindakan operasi dan anestesi pada
hernia inguinalis lateral residif. Diharapkan dengan adanya pembahasan mengenai kasus ini dapat
memberikan tambahan ilmu dan pengalaman untuk menambah wawasan sehingga dapat
menurunkan angka kejadian hernia residif dan dapat memberikan pelayanan anestesi dan bedah
pada pasien yang mengalami hernia residif sesuai standar operasional prosedur.
1.2 Batasan Masalah
1. Penjelasan tentang hernia, penyebab residif dan operasi repair hernia
2. Tatalaksana anestesi pada operasi repair hernia

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum:
Untuk mengetahui gambaran umum mengenai konsep dasar penyakit hernia dan
penatalaksanaan anestesi terhadap penderita yang menjalani operasi repair hernia sesuai
standar operasional prosedur untuk mencegah terjadinya komplikasi inta operasi dan pasca
operasi.
1.3.2 Tujuan Khusus :
1. Mengetahui gambaran klinis mengenai hernia dan terjadinya hernia residif.
2. Mengetahui prosedur anestesi pada penderita dengan hernia inguinal lateralis residif
serta mampu melaksanakan pemberian tindakan anestesi dan mengidentifikasi
berbagai permasalahan yang mungkin timbul sebagai interaksi antara penyakit dengan
prosedur anestesi dan pembedahan.

1.4 Manfaat Penyusunan


1.4.1 Bagi penyusun
Penyusunan ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan secara khusus
mengenai hernia inguinal lateralis residif dalam kaitannya dengan penatalaksanaan
anestesi.

1.4.2 Bagi Pendidikan


Penyusunan ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai bahan bacaan dan referensi
mahasiswa dalam menambah pengetahuan tentang hernia inguinal lateralis residif dalam
kaitannya dengan prosedur penatalaksanaan anestesi.

1.4.3 Bagi Rumah Sakit


Penyusunan ini dapat digunakan untuk menambah wawasan dan pengetahuan tentang
hernia inguinal lateralis residif dalam kaitannya dengan prosedur penatalaksanaan
anestesinya.
BAB 2
TINJAUAN TEORI
2.1 Pengertian Hernia
Hernia merupakan penonjolan isi suatu rongga melalui defek atau bagian lemah dari dinding
rongga bersangkutan. Pada hernia abdomen, isi perut menonjol melalui defek atau bagian lemah
dari lapisan muskulo-aponeurotik dinding perut.
Menurut Made Kusala Girl dan Farid Nur Mantu, hernia adalah penonjolan peritonium yang
berisi alat visera dari rongga abdomen melalui suatu lotus baik bawaan maupun didapat.
Dari kedua pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa hernia adalah penonjolan isi suatu
rongga karena adanya kelemahan pada dinding organ yang dapat terjadi karena faktor bawaan
maupun didapat.

2.2 Anatomi Hernia


Bagian hernia terdiri dari cincin, kantong dan isi hernia itu sendiri. Isi hernia dapat berupa lambung,
usus, ovarium, dan jaringan penyangga usus (omentum). Bila ada lapisan yang lemah dari lapisan
otot diding perut, maka usus dapat keluar ke tempat yang tidak seharusnya yakni bisa ke
diafragma, lipatan paha atau ke pusat.

2.3 Klasifikasi
Berdasarkan penyebab terjadinya hernia dapat dibedakan menjadi hernia bawaan (congenital)
dan hernia didapat. Sedangkan menurut letaknya, hernia dibedakan menjadi hernia diafragma,
umbilikalis, femoralis, inguinalis, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Salah satu jenis hernia yang paling umum terjadi adalah hernia inguinalis. Hernia inguinalis
adalah suatu penonjolan organ abdomen yang dapat berupa peritoneum parietal atau
organ viscera seperti omentum, usus besar/kecil, vesika urinaria karena adanya defek pada fasia
dan muskulo aponeurotik dinding perut terutama di regio inguinal, baik secara kongenital maupun
didapat.
Hernia inguinalis ada yang medialis dan lateralis. Hernia inguinalis lateralis yang mencapai
scrotum disebut hernia scoratis. Hernia inguinalis medialis disebut juga direk karena hernia yang
menonjol langsung melalui segitiga Hesselbach, sedangkan hernia inguinalis lateralis, penonjolan
dari perut dilateral pembuluh epigastrika inferior. Disebut indirek karena keluar melalui dua pintu
dan saluran. Pada pemeriksaan hernia lateralis, akan tampak penonjolan berbentuk lonjong
sedangkan hernia medialis, berbentuk tonjolan bulat. Hernia inguinalis terjadi ketika sebagian dari
usus keluar dari rongga perut melalui dinding bawah perut ke arah sekitar alat kelamin. Hal ini
membuat munculnya benjolan pada kantung buah zakar (skrotum), yang dapat terasa sakit atau
panas. Pada hernia inguinalis, benjolan sering kali muncul ketika penderita mengangkat sesuatu
dan akan menghilang saat dalam posisi berbaring.
Menurut sifatnya, hernia dapat disebut reponibel bila isi hernia dapat keluar masuk. Usus keluar
jika berdiri atau mengedan dan masuk lagi ketika berbaring atau didorong masuk perut, dan juga
tidak ada keluhan nyeri atau obstruksi usus. Bila isi kantong tidak dapat direposisi kembali kedalam
rongga perut disebut hernia ireponibel. Ini biasanya disebabkan oleh perlengketan isi kantong pada
peritoneum kantong hernia. Tidak ada keluhan nyeri ataupun tanda sumbatan usus.

2.4 Etiologi dan Faktor Risiko Hernia


Secara umum, faktor-faktor  penyebab terjadinya hernia adalah:
1. Peningkatan tekanan intraabdominal, dapat terjadi akibat dari batuk kronik,obesitas, asites,
mengejan, aktivitas fisik seperti mengangkat beban berat, berdiri dalam jangka waktu lama.
2. Penurunan integritas dinding abdomen-Kolagen. Kemampuan dinding abdomen untuk
menahan tekan intraabdominal baik fisiologis ataupun patologi tergantung akan jaringan
serat kolagen. Kolagen tipe I merupakan kolagen dalam bentuk matur dan paling stabil,
sedangkan kolagen tipe III adalah kolagen imatur isoform. Pada kasus hernia inguinalis dan
incisionalis, terdapat kolagen tipe III dalam jumlah banyak melebihi kolagen tipe I di dalam
matrix ekstraseluler.
3. Merokok, zat yang terkandung di dalam rokok akan menonaktifkan antiprotease yang
memicu peningkatan level protease dan elastase sirkulasi dan menyebabkan destruksi matrix
ekstraseluler pada muskulus. Keadaan ini juga dapat dipicu oleh stres dan penyakit sistemik.
4. Faktor umum : kelemahan muskulus dan fascia dapat disebabkan oleh usia tua yaitu ketika
otot-otot disekitar perut mulai melemah, kurangnya olahraga, multigravida.
5. Riwayat penyakit hernia. Jika seseorang pernah mengalami kondisi ini di salah satu sisi
tubuh, biasanya dia akan mengalaminya lagi di kemudian hari pada sisi yang satunya.

2.5 Tanda dan Gejala Hernia


a. Benjolan
Munculnya benjolan pada sisi mana pun di daerah lipat paha depan.
b. Rasa perih atau nyeri pada benjolan.
c. Bagian selangkangan terasa lemah atau tertekan.
d. Bagian selangkangan terasa berat atau seperti ada yang tertarik.
e. Muncul rasa sakit dan pembengkakan pada area sekitar testis karena sebagian usus
menembus masuk kantong skrotum.
f. Nyeri, mual dan muntah mendadak jika bagian usus yang keluar terjepit pada celah hernia
dan tidak bisa kembali ke posisi semula.

2.6 Komplikasi Hernia


Komplikasi hernia adalah :
1. Terjadi perlekatan antara isi hernia dengan dinding kantong hernia, sehingga isi hernia tidak
dapat dimasukkan kembali. Keadaan ini disebut hernia inguinalis lateralis irreponibilis.
2. Terjadi penekanan terhadap cincin hernia, akibat makin banyaknya usus yang masuk. Cincin
hernia menjadi relatif sempit dan menimbulkan gangguan penyaluran isi usus. Keadaan ini
disebut hernia inguinalis lateralis inkarserata.
3. Bila inkarserata dibiarkan, maka lama kelamaan akan timbul edema, sehingga terjadi
penekanan pembuluh darah dan terjadi nekrosis. Keadaan ini disebut hernia inguinalis lateralis
strangulator. Keluhan berupa nyeri hebat,daerah benjolan menjadi merah dan penderita
gelisah. Pada keadaan inkarserata dan strangulata, maka timbul gejala ileus yaitu kembung,
muntah dan obstipasi.
4. Dapat terjadi hernia akreta, apabila isi kantong hernia tidak dapat dikembalikan ke dalam
rongga dan terjadi perlekatan isis kantong pada peritoneum.

2.7 Diagnosis
Gold Standard untuk penegakan diagnosis hernia adalah dengan anamnesis dan pemeriksaan
fisik. Gejala dan tanda klinik hernia banyak ditentukan oleh keadaan isi hernia pada hernia
reponibel keluhan satu-satunya adalah adanya benjolan dilipat paha yang muncul pada waktu
berdiri, batuk, bersin, atau mengedan, dan menghilang setelah berbaring. Keluhan nyeri jarang
dijumpai, kalau ada biasanya dirasakan di daerah epigastrium atau paraumbilikal berupa nyeri
viseral karena regangan pada mesenterium sewaktu satu segmen usus halus masuk ke dalam
kantong hernia. Nyeri yang disertai mual dan muntah baru timbul kalau terjadi inkarserasi karena
ileus ataustrangulasi karena nekrosis atau gangren.
Tanda klinik pada pemeriksaan fisik bergantung pada isi hernia pada inspeksi
saat pasien mengedan dapat dilihat hernia inguinalis lateralis muncul sebagai penonjolan di regio in
guinalis yang berjalan dari lateral atas ke medial bawah. Kantong hernia yang kosong kadang dapat
diraba pada funikulus spermatikus. Kalau kantong hernia berisi organ, maka tergantung isinya,
pada palpasi mungkin teraba usus, omentum (seperti karet) atau ovarium.
Jika hasil pemeriksaan fisik masih belum jelas, maka dokter mungkin akan meminta pasien
untuk menjalani pemindaian pada bagian perut. Jenis pemindaian yang biasa dilakukan untuk kasus
ini adalah USG, CT scan dan MRI. Selain itu, dokter mungkin akan menyarankan pasien untuk
melakukan pemeriksaan urine guna mengeliminasi penyebab nyeri pada skrotum selain hernia
inguinalis.

2.8 Pengobatan Hernia Inguinalis


1. Konservatif
Terapi konservatif sambil menunggu penyembuhan melalui proses alamidapat dilakukan pada
hernia umbilikus sebelum anak berumur dua tahun. Terapikonservatif berupa penggunaan alat
penyangga dapat dipakai sementara, misalnya pemakaian korset. Sedang pada hernia inguinalis
pemakaiannya tidak dianjurkankarena selain tidak dapat menyembuhkan, alat ini dapat
melemahkan otot dinding perut.
2. Operatif
Management operatif yang bertujuan untuk menutup defek myofacial di mana menjadi tempat
keluarnya penonjolan organ, untuk mendorong kembali benjolan dan untuk menguatkan
bagian-bagian yang lemah dari dinding abdomen.
Pada hernia inguinalis terdapat dua metode umum,yaitu :
a. Bedah terbuka.
Di sini, dokter bedah akan mendorong benjolan hernia ingunalis kembali ke dalam perut
melalui sebuah sayatan besar.
1) Herniotomy
Operasi dengan cara ini dilakukan dengan pembebasan kantung hernia sampai ke
lehernya, kantung dibuka dan isi hernia dibebaskan kalau ada perlekatan,
kemudian direposisi, kantung hernia dijahit-ikat setinggi mungkin lalu di potong.
2) Hernioplasty
Pada hernioplasty dilakukan tindakan memperkecil anulus inguinalis internus dan
memperkuat dinding belakang kanalis inguinalis. Hernioplasty lebih penting dalam
mencegah terjadinya residif dibandingkan dengan herniotomy.
Herniorapi yaitu dengan melakukan perbaikan pada dinding posterior tanpa
menggunakan bahan asesoris. Apabila dalam melakukan perbaikan dinding
posterior menggunakan bahan asesoris maka disebut dengan Hernioplasti.

b. Laparoskopi.
Dalam teknik ini, dokter bedah akan membuat beberapa sayatan kecil di bagian perut.
Melalui salah satu sayatan, dokter akan memasukkan alat yang disebut laparoskop, yaitu
sebuah selang kecil yang dilengkapi kamera dan lampu kecil pada bagian ujungnya. Kamera
akan memperlihatkan kondisi di dalam perut pada sebuah monitor. Melalui panduan
kamera ini, dokter kemudian akan memasukkan alat-alat bedah khusus melalui lubang
sayatan lainnya untuk menarik hernia kembali ke tempatnya

2.9 Efek Samping dari Operasi


Beberapa efek samping yang dapat timbul akibat operasi perbaikan hernia inguinalis adalah:
1. Komplikasi dini setelah operasi dapat pula terjadi, seperti hematoma (munculnya
pembengkakan dan memar pada bagian testikel), infeksi luka, bendungan vena, fistel urine
atau feses, dan residif ( kekambuhan ). Pada hernia inguinalis lateralis penyebab residif
yang paling sering ialah penutupan anulus inguinalis internus yang tidak memadai, di
antaranya karena diseksi kantong yang kurang sempurna, adanya lipoma preperitoneal,
atau kantung hernia tidak ditemukan. Insidens dari residif bergantung pada umur pasien,
letak hernia, teknik hernioplastik yang dipilih dan cara melakukannya. (Sjamsuhidajat,
1997, hal 718-719).
2. Rasa sakit dan mati rasa di bagian selangkangan karena terjadi cedera atau penekanan
pada saraf saat dilakukannya prosedur operasi.

2.10 Pencegahan Hernia Inguinalis


Pencegahan dengan mengurangi tekanan di dalam rongga perut guna menurunkan risiko
terjadinya hernia inguinalis dengan cara:
• Mengonsumsi makanan kaya akan serat.
• Menghindari mengangkat beban yang terlalu berat atau melakukannya dengan perlahan.
• Menghentikan kebiasaan merokok.
• Menjaga berat badan agar tetap dalam batasan ideal dan sehat.

2.11 Tatalaksan pada operasi repair hernia


Dalam melakukan pembedahan ada tiga proses yang dilalui, yaitu preoperatif, intraoperatif dan
postoperatif yang disebut perioperatif.
1. Preoperatif adalah masa sebelum pembedahan atau anestesi,
a. Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan (elektif / darurat) harus
dipersiapkan dengan baik.
1. Puasa, biasanya 8 jam sebelum operasi untuk puasa makanan dan 4 jam
sebelum operasi untuk minum air putih.
2. Donor dan transfusi darah dipertimbangkan dengan melihat risiko perdarahan
dari segi pembedahan dan hasil evaluasi preoperatif. Pertimbangan yang
dimaksud dari segi usia pasien, kondisi pasien sebelum operasi, penyakit
bawaan pasien, dan hasil pemeriksaan laboratorium; konsentrasi hemoglobin
preoperatif
3. KIE, dukungan moral. Pasien dan keluarga menandatangani informed consent.
Informasi yang harus diberikan kepada pasien diantaranya adalah: komplikasi
umum yang mungkin terjadi terkait tindakan anestesi yang akan dilakukan,
pengalaman dan perasaan yang mungkin dialami selama masa perioperatif,
risiko yang mungkin didapat selama perioperatif.
a. Kunjungan preoperatif pada bedah elektif dilakukan 1-2 hari sebelumnya, dan pada
bedah darurat dilakukan sesingkat mungkin, dengan tujuan mempersiapkan mental
dan fisik pasien secara optimal, menentukan klasifikasi ASA, merencanakan dan
memilih obat-obatan anestesi yang sesuai. Persiapkan preoperatif sangat penting
sekali untuk mengurangi resiko komplikasi yang mungkin terjadi, karena hasil akhir
suatu pembedahan sangat bergantung pada penilaian keadaan awal penderita.
SKALA RESIKO “ASA” “American Society of Anaesthesiologists” (ASA) menetapkan
sistem penilaian yang membagi status fisik penderita ke dalam lima kelompok.

Golongan Status Fisik


Tidak ada gangguan organic, biokimia dan psikiatri, misalnya penderita
I dengan hernia inguinalis tanpa kelainan lain, orang tua sehat dan bayi
muda yang sehat.
Gangguan sistemik ringan sampai sedang yang bukan disebabkan oleh
penyakit yang akan dibedah, misalnya penderita dengan obesitas,
II
penderita bronchitis dan penderita DM ringan yang akan menjalani
apendektomi
Penyakit sistemik berat, misalnya penderita DM dengan komplikasi
III
pembuluh darah dan datang dengan appendicitis akut
Penyakit gangguan sistemik berat yang membahayakan jiwa yang tidak
IV selalu dapat diperbaiki dengan pembedahan, missal insufisiensi koroner
atau MCI
Keadaan terminal dengan kemungkinan hidup kecil, pembedahan
V dilakukan sebagai pilihan terakhir, missal penderita syok berat karena
perdarahan akibat kehamilan di luar uterus yang pecah.
b. Pertimbangkan premedikasi pemberian profilaksis PONV.
c. Persiapan alat-alat dan mesin anestesia preoperative sesuai dengan teknik anestesi
yang ditentukan.
TEKNIK ANESTESI
1. Anestesi umum atau general anestesi
Adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri/sakit secara sentral disertai
hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali (reversible). Komponen trias
anastesi ideal terdiri dari hipnotik, analgesia dan relaksasi otot.
Cara pemberian anastesi umum:
a. Parenteral (intramuscular/intravena), digunakan untuk tindakan yang
singkat atau induksi anastesi.
b. Perektal, dapat dipakai pada anak untuk induksi anastesi atau tindakan
singkat.
c. Anastesi Inhalasi, yaitu anastesi dengan menggunakan gas atau cairan
anastesi yang mudah menguap (volatile agent) sebagai zat anestetik
melalui udara pernapasan. Zat anestetik yang digunakan berupa campuran
gas (denganO2) dan konsentrasi zat anestetik tersebut tergantung dari
tekanan parsialnya.
Stadium Anestesi
Guedel (1920) membagi anestesi umum dengan eter dalam 4 stadium (stadium
III dibagi menjadi 4 plana), yaitu:
a. Stadium I
Stadium I (analgesi) dimulai dari saat pemberian zat anestetik sampai
hilangnya kesadaran. Pada stadium ini pasien masih dapat mengikuti
perintah dan terdapat analgesi (hilangnya rasa sakit). Tindakan
pembedahan ringan, seperti pencabutan gigi dan biopsi kelenjar dapat
dilakukan pada stadium ini.
b. Stadium II
Stadium II (delirium/eksitasi, hiperrefleksi) dimulai dari hilangnya
kesadaran dan refleks bulu mata sampai pernapasan kembali teratur.
c. Stadium III
Stadium III (pembedahan) dimulai dengan tcraturnya pernapasan sampai
pernapasan spontan hilang. Stadium III dibagi menjadi 4 plana yaitu:
1) Plana 1 : Pernapasan teratur, spontan, dada dan perut seimbang,
terjadi gerakan bola mata yang tidak menurut kehendak, pupil
midriasis, refleks cahaya ada, lakrimasi meningkat, refleks faring dan
muntah tidak ada, dan belum tercapai relaksasi otot lurik yang
sempurna. (tonus otot mulaimenurun).
2) Plana 2 : Pernapasan teratur, spontan, perut-dada, volume tidak
menurun, frekuensi meningkat, bola mata tidak bergerak, terfiksasi di
tengah, pupil midriasis, refleks cahaya mulai menurun, relaksasi otot
sedang, dan refleks laring hilang sehingga dikerjakan intubasi.
3) Plana 3 : Pernapasan teratur oleh perut karena otot interkostal mulai
paralisis, lakrimasi tidak ada, pupil midriasis dan sentral, refleks laring
dan peritoneum tidak ada, relaksasi otot lurik hampir sempuma (tonus
otot semakin menurun).
4) Plana 4 : Pernapasan tidak teratur oleh perut karena otot
interkostalparalisis total, pupil sangat midriasis, refleks cahaya hilang,
refleks sfmgter ani dan kelenjar air mata tidak ada, relaksasi otot lurik
sempuma (tonus otot sangat menurun).
d. Stadium IV
Stadium IV (paralisis medula oblongata) dimulai dengan melemahnya
pernapasan perut dibanding stadium III plana 4. pada stadium ini tekanan
darah tak dapat diukur, denyut jantung berhenti, dan akhirnya terjadi
kematian. Kelumpuhan pernapasan pada stadium ini tidak dapat diatasi
dengan pernapasan buatan.

Obat-obat anestesi umum


a. Midazolam
1. Dosis premedikasi 0,05 – 0,2 mg/ kg (IM ).
2. Dosis sedasi 0,025 -0,1 mg/kg (IV)
3. Onset kerja IV 30 detik – 1 menit, IM 15 menit
4. Efek puncak IV 3 – 5 menit, IM 15 – 30 menit
5. Durasi kerja IV/ IM 15 – 80 menit
6. Dosis disesuaikan dengan masing – masing individu dan dimodifikasi
berdasarkan usia pasien, tingkat ansietas dan kebutuhan medis.
7. Eliminasi di ginjal.
8. Efek obat diantagonis oleh flumazenil.

b. Propofol:
1. Dosis sedasi 0,5 – 1,0 mg/kg. Dosis induksi 2-2,5 mg/kgBB.
2. Dosis dikurangi pada lansia, pasien hipovolemik, dan jika digunakan
bersama- sama dengan narkotik dan hipnotik sedasi.
3. Onset kerja < 40 detik
4. Efek puncak 1 menit
5. Durasi kerja 5 – 10 menit.
6. Eliminasi di hepatik
7. Propofol mengurangi aliran darah serebral, TIK, dan kecepatan
metabolic serebral, dan dapat menurunkan tekanan perfusi serebral
(CPP).

c. Ketamin:
1. Dosis sedasi/ analgesia 0,5 – 1,0 mg/kg (IV) dan 2,5 – 5,0 mg/kg (IM)
2. Dosis induksi : 1,0 – 2,5 mg/kg (IV) dan 5 – 10 mg/kg (IM)
3. Onset kerja IV < 30 detik, IM 3 – 4 menit
4. Efek puncak IV 1 menit, IM 5 – 20 menit
5. Durasi kerja IV 5 – 15 menit, IM 12 – 25 menit
6. Eliminasi di hepatik
7. Sebagai zat anestesi disosiatif, induksi dan pemeliharaan anestesi,
terutama pada pasien-pasien hipovolemik dan berisiko tinggi, serta
sebagai zat anestesi tunggal untuk prosedur bedah singkat.

d. Opioid: Fentanyl, Morphin


Fentanyl:
1. Premedikasi dan analgesia : IV/IM 25 – 100 mcg ( 0,7 – 2,0 mcg/kg )
2. Dosis epidural 50 – 100 mcg ( 1 – 2 mcg/kg)
3. Dosis spinal 5 – 20 mcg ( 0,1 – 0,4 mcg/kg)
4. Onset kerja IV dalam 30 detik, IM < 8 menit, epidural / spinal 4 – 10
menit.
5. Efek puncak IV 5 – 15 menit, IM < 15 menit, epidural/ spinal < 30 menit
6. Durasi kerja IV 30 – 60 menit, IM 1 – 2 jam, epidural / spinal 1 – 2 jam\
7. Eliminasi di hepatic
8. Dosis dikurangi pada pasien lansia, hipovolemik dan dengan
pengggunaan bersama sedatif dan narkotik lain.

Morphin:
1. Dosis analgesia : IV 2,5 – 15 mg
Anak – anak : 0,05 – 0,2 mg/kg
2. Dosis spinal 0,1 – 1,0 mg
3. Dosis epidural 0,05 – 0,2 mg
4. Onset kerja IV < 1 menit, IM 1 – 5 menit, epidural / Spinal 15 – 60
menit.
5. Efek puncak IV 2 – 20 menit , IM 30 – 60 menit, epidural / spinal 90
menit – 5 jam.
6. Durasi IV/IM 2 – 7 jam. Epidural/spinal 6 – 24 jam
7. Eliminasi di hepatic
8. Morphin menurunkan aliran darah serebral, laju metabolic serebral,
dan tekanan intracranial. Obat ini dapat menginduksi mual dan muntah
dengan mengaktifkan zona pencetus kemoreseptor. Morphin
melepaskan histamin dan dapat menyebabkan pruritus setelah
pemberian oral atau sistemik
Efek narkotik dinetralkan oleh naloxone

e. Muscle relaxan : obat pelumpuh otot nondepolarisasi


Atracurium:
1. Dosis intubasi IV 0,3 – 0,5 mg/kg
2. Dosis pemeliharaan IV 0,1 – 0,2mg/kg ( 10%-50 % dosis intubasi)
3. Eliminasi : Plasma ( Hoffman ), hepatic, renal
4. Onset kerja < 3 menit
5. Efek puncak 3 – 5 menit
6. Durasi kerja 20-35 menit
7. Efek obat diantagonis oleh obat antikolinesterase seperti neostigmin

Vecuronium:
1. Intubasi IV 0,08 – 0,1 mg/kg
2. Dosis pemeliharaan IV 0,01 – 0,05 mg/kg ( 10% - 50 % dosis intubasi)
3. Eliminasi di ginjal, hepatic
4. Onset kerja < 3 menit
5. Efek puncak 3 – 5 menit
6. Durasi kerja 25-30 menit

Rocuronium:
1. Dosis intubasi IV 0,6 – 1,2 mg/kg
2. Dosis pemeliharaan 0,06 – 0,6 mg/kg ( 10%- 50 % dosis intubasi)
3. Eliminasi di ginjal, hepatic
4. Onset kerja 45-90 detik
5. Efek puncak 1 – 3 menit
6. Durasi kerja 15 150 menit ( bergantung dosis)

2. Regional / Lokal Anestesi


Adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri atau sakit tanpa disertai hilangnya
kesadaran.
Pemberian anestetik lokal dapat dengan tekhnik:
a. Anastesi Permukaan
Yaitu pengolesan atu penyemprotan analgetik lokal di atas selaput
mukosa, seperti mata, hidung atau faring.
b. Anastesi Infiltrasi
Yaitu penyuntikan larutan analgetik lokal langsung diarahkan disekitar
tempat lesi, luka dan insisi.
c. Anastesi Blok
Penyuntikan analgetik lokal langsung ke saraf utama atau pleksus saraf.
Hal ini bervariasi dari blokade pada saraf tunggal, misal saraf oksipital dan
pleksus brachialis, anastesi spinal, anastesi epidural, dan anestesi kaudal.
Pada anestesi spinal, anestesi lokal disuntikkan ke ruang subarakhnoid.
1) Anastesi Spinal
Anestesi spinal merupakan tipe blok konduksi saraf yang luas dengan
memasukkan anestesi local dalam rung subarachnoid di tingkat lumbal
(biasanya L4 dan L5). Cara ini menghasilkan anesthesia pada
ekstermitas bawah, perinium dan abdomen bawah. Untuk prosedur
pungsi lumbal, pasien dibaringkan miring dalam posisi lutut-dada atau
dengan posisi duduk tegak dan kepala menunduk. Teknik steril
diterapkan saat melakukan pungsi lumbal dan medikasi disuntikkan
melalui jarum. Segera setelah penyuntikan, pasien dibaringkan
terlentang. Jika diinginkan tingkat blok yang secara relative tinggi,
maka kepala dan bahu pasien diletakkan lebih rendah.
Dalam beberapa menit, anestesia dan paralisis mempengaruhi
jari-jari kaki dan perineum dan kemudian secara bertahap
mempengaruhi tungkai dan abdomen. Jika anestetik mencapai toraks
bagian atas dan medulla spinalis dalam konsentrasi yang tinggi, dapat
terjadi paralisis respiratori temporer, parsial atau komplit. Paralisis
otot-otot pernapasan diatasi dengan mempertahankan respirasi
artificial sampai efek anestetik pada saraf respiratori menghilang.
Mual, muntah dan nyeri dapat terjadi selama pembedahan ketika
digunakan anestesia spinal. Sebagai aturan, reaksi ini terjadi akibat
traksi pada berbagai struktur, terutama pada struktur di dalam rongga
abdomen.
Indikasi
Anestesi spinal dapat diberikan pada tindakan yang melibatkan
tungkai bawah, panggul, dan perineum. Anestesi ini juga digunakan
pada keadaan khusus seperti bedah endoskopi, urologi, bedah rectum,
perbaikan fraktur tulang panggul, bedah obstetric, dan bedah anak.
Anestesi spinal pada anak dilakukan setelah anak ditidurkan dengan
anestesi umum

Kontraindikasi
Kontra indikasi absolut regional anestesi yaitu tidak boleh diberikan
apabila pasien menolak, infeksi pada tempat suntikan, hipovolema
berat (syok), koagulopati atau mendapat terapi antikoagulan, fasilitas
resusitasi yang minim, bakteremia, peningkatan tekanan intracranial.
Kontraindikasi relatif meliputi neuropati, spine surgery, nyeri
punggung, heparin subkutan dosis rendah, dan pasien yang tidak
stabil.

Persiapan Pasien
a. Pasien sebelumnya diberi informasi tentang tindakan ini (informed
concent) meliputi pentingnya tindakan ini dan komplikasi yang
mungkin terjadi.
b. Pemeriksaan fisik dilakukan meliputi daerah kulit tempat
penyuntikan untuk menyingkirkan adanya kontraindikasi seperti
infeksi. Perhatikan juga adanya scoliosis atau kifosis. Pemeriksaan
laboratorium yang perlu dilakukan adalah penilaian hematokrit.
Masa protrombin (PT) dan masa tromboplastin parsial (PTT)
dilakukan bila diduga terdapat gangguan pembekuan darah.

Perlengkapan
a. Tindakan anestesi spinal harus diberikan dengan persiapan
perlengkapan operasi yang lengkap untuk monitor pasien,
pemberian anestesi umum, dan tindakan resusitasi.
b. Jarum spinal dan obat anestetik spinal disiapkan. Dikenal 2 macam
jarum spinal, yaitu jenis yang ujungnya runcing seperti ujung
bamboo runcing (Quincke-Babcock atau Greene) dan jenis yang
ujungnya seperti ujung pensil (whitacre). Ujung pensil banyak
digunakan karena jarang menyebabkan nyeri kepala pasca
penyuntikan spinal. Jarum spinal memiliki permukaan yang rata
dengan stilet di dalam lumennya.
c. Obat anestetik lokal yang digunakan adalah bupivakain heavy 0,5
% ( hiperbarik).. Penyebab agens anastetik dan tingkat anesthesia
bergantung pada jumlah cairan yang disuntikkan, posisi pasien
setelah penyuntikan, dan berat jenis agens. Berat jenis obat
anestetik lokal mempengaruhi aliran obat dan perluasan daerah
teranestesi Pada anestesi spinal jika berat jenis obat lebih besar
dari berat jenis CSS (hiperbarik), maka akan terjadi perpindahan
obat ke dasar akibat gravitasi. Jika lebih kecil (hipobarik), obat
akan berpindah dari area penyuntikan ke atas. Bila sama (isobarik),
obat akan berada di tingkat yang sama di tempat penyuntikan.
Pada suhu 37oC cairan serebrospinal memiliki berat jenis 1,003-
1,008.
Bupivacain heavy ( hiperbarik )
- Onset kerja < 1 menit
- Efek puncak 15 menit
- Perhatian khusus :
a) Terjadinya efek hipotensi yang disebabkan hilangnya
tonus simpatis,
b) Injeksi bupivacaine intravaskuler menyebabkan
terjadinya kardiotoksisitas, tanda dan gejala berupa
mati rasa pada lidah, metallic taste, gelisah, tinnitus
dan tremor sampai henti jantung.
Pada toksisitas intravena , infus lipid intravena
mempercepat penurunan kandungan bupivacaine
miokardium dan mempercepat pemulihan asystole
yang diinduksi bupivacaine.
c) Blok spinal tinggi, retensi urine, nyeri kepala
d. Perlengkapan lain berupa kain kasa steril, povidon iodine, alcohol,
dan duk steril juga harus disiapkan.

Teknik Anestesi Spinal


Berikut langkah-langkah dalam melakukan anestesi spinal, antara lain:
1. Posisi pasien duduk atau miring. Posisi duduk merupakan posisi
termudah untuk tindakan punksi lumbal. Pasien duduk dengan tangan
menyilang di depan, kedua kaki lurus ke depan. Pada posisi miring
pasien tidur berbaring dengan salah satu sisi tubuh berada di meja
operasi.
2. Posisi permukaan jarum spinal ditentukan kembali, yaitu di daerah
antara vertebrata lumbalis (interlumbal).
3. Lakukan tindakan asepsis dan antisepsis kulit daerah punggung pasien.
4. Lakukan penyuntikan jarum spinal di tempat penusukan pada bidang
medial dengan sudut 10⁰-30⁰ terhadap bidang horizontal ke arah
cranial. Jarum lumbal akan menembus ligamentum supraspinosum,
ligamentum interspinosum, ligamentum flavum, lapisan duramater,
dan lapisan subaraknoid.
5. Cabut stilet lalu cairan serebrospinal akan menetes keluar.
6. Suntikkan obat anestetik local yang telah disiapkan ke dalam ruang
subaraknoid. Kadang-kadang untuk memperlama kerja obat
ditambahkan vasokonstriktor seperti adrenalin / clonidine dan untuk
memperkuat kerja obat diberikan morphin.

Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi adalah hipotensi, nyeri saat penyuntikan,
nyeri punggung, sakit kepala, retensio urine, meningitis, cedera pembuluh
darah dan saraf, serta anestesi spinal total.
Pengkajian keperawatan yang dilakukan setelah anestesia spinal, selain
memantau tekanan darah, perawat perlu mengobservasi pesien dengan
cermat dan mencatat waktu saat perjalanan sensasi kaki dan jari kembali.
Jika sensasi pada jari kaki telah kembali sepenuhnya, pasien dapat
dipertimbangkan telah pulih dari efek anestetik spinal.
2) Blok Epidural
Anestesia epidural dicapai dengan menyuntikkan anestetik local ke dalam
kanalis spinalis dalam spasium sekeliling durameter. Anestesia epidural
memblok fungsi sensori, motor dan otonomik yang mirip, tetapi tempat
injeksinya yang membedakannya dari anestesi spinal. Dosis epidural lebih
besar dibanding dosis yang diberikan selama anestesi spinal karena
anestesi epidural tidak membuat kontak langsung dengan medulla atau
radiks saraf. Keuntungan dari anestesi epidural adalah tidak adanya sakit
kepala yang kadang disebabkan oleh penyuntikan subarachnoid.
Kerugiannya adalah memiliki tantangan teknik yang lebih besar dalam
memasukkan anestetik ke dalam epidural dan bukan ke dalam spasium
subarachnoid. Jika terjadi penyuntikan subarachnoid secara tidak sengaja
selama anestesi epidural dan anestetik menjalar ke arah kepala, akan
terjadi anestesia spinal “tinggi”. Anestesia spinal tinggi dapat
menyebabkan hipotensi berat dan depresi atau henti napas. Pengobatan
untuk komplikasi ini adalah dukungan jalan napas, cairan intravena, dan
penggunaan vasopresor.

3) Blok Pleksus Brakialis


Blok pleksus brakialis menyebabkan anestesia pada lengan.

4) Anestesia Paravertebral
Anestesia paravertebral menyebabkan anestesia pada saraf yang
mempersarafi dada, dindind abdomen dan ekstremitas.

5) Blok Transakral (Kaudal)


Blok transakral menyebabkan anestesia pada perineum dan kadang
abdomen bawah.

2. Intraoperatif adalah masa dimana dilakukan pembedahan, sehingga diperlukan suatu


perhatian khusus baik petugas bedah maupun anestesi. Hal terpenting untuk petugas
anestesi adalah melakukan monitoring pada pasien, sehingga operasi dapat berjalan dengan
baik dan juga untuk mengetahui adanya tanda-tanda kegawatan yang mungkin terjadi.
Pemantauan Selama Anestesia :
a. Evaluasi ulang pada pasien sesaat setelah dilakukan induksi anestesia;
b. Waktu obat dimasukkan, dosis, dan rute pemberian obat intraoperatif;
c. Perkiraan jumlah darah yang hilang dan output urin;
d. Cairan intravena dan produk darah yang dimasukkan bila ada;
e. Catat teknik anestesi yang dilakukan
f. Monitoring tanda-tanda vital selama prosedur operasi
g. Kejadian yang tidak biasa seperti aritmia;
h. Kondisi pasien saat dikeluarkan dari ruang operasi ke ruang pulih sadar.

3. Postoperatif adalah suatu keadaan atau masa dimana telah dilakukan tindakan anestesi
maupun pembedahan. Pada umumnya setelah dilakukan pembedahan pasien diistirahatkan
di ruang pemulihan sampai pasien pulih atau sadar penuh.
Pemantauan pasca anestesia mengikuti prosedur standar, di antaranya:
a. Memperhatikan nyeri yang dirasa pasien post operatif.
b. Awasi keadaan vital penderita secara saksama, periksa tekanan darah, frekuensi nadi
dan frekuensi pernapsan dilakukan paling tidak setiap 5 menit dalam 15 menit pertama
atau hingga stabil, setelah itu dilakukan setiap 15 menit. Perbaiki defisit yang masih ada
(cairan, darah, nyeri, mual–muntah,menggigil karena hipotermia,dll)
c. Perhatikan Post Operative Nausea and Vomiting (PONV).
d. Bila keadaan umum dan tanda vital pasien normal dan stabil, maka pasien dapat
dipindahkan ke ruang perawatan. Untuk anestesi general dapat dipakai aldrete score
untuk orang dewasa, nilai score yang normal 8 -10, pasien dapat di pindahkan ke ruang
perawatan. Untuk anestesi regional, dapat dipakai bromage score dengan score ≥ 2
pasien dapat dipindahkan ke ruang perawatan.

DAFTAR PUSTAKA

https://herrysetyayudha.wordpress.com/tag/hernia/

http://reventis.blogspot.com/2012/04/v-behaviorurldefaultvmlo.html

http://warungbidan.blogspot.com/2016/03/asuhan-keperawatan-pada-klien-dengan.html

Omoigui, Sota.Buku Saku Obat-Obatan Anestesia Edisi 4.Jakarta: EGC,2016

Anda mungkin juga menyukai