OLEH :
KHUSNUL KHOTIMAH
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum:
Untuk mengetahui gambaran umum mengenai konsep dasar penyakit hernia dan
penatalaksanaan anestesi terhadap penderita yang menjalani operasi repair hernia sesuai
standar operasional prosedur untuk mencegah terjadinya komplikasi inta operasi dan pasca
operasi.
1.3.2 Tujuan Khusus :
1. Mengetahui gambaran klinis mengenai hernia dan terjadinya hernia residif.
2. Mengetahui prosedur anestesi pada penderita dengan hernia inguinal lateralis residif
serta mampu melaksanakan pemberian tindakan anestesi dan mengidentifikasi
berbagai permasalahan yang mungkin timbul sebagai interaksi antara penyakit dengan
prosedur anestesi dan pembedahan.
2.3 Klasifikasi
Berdasarkan penyebab terjadinya hernia dapat dibedakan menjadi hernia bawaan (congenital)
dan hernia didapat. Sedangkan menurut letaknya, hernia dibedakan menjadi hernia diafragma,
umbilikalis, femoralis, inguinalis, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Salah satu jenis hernia yang paling umum terjadi adalah hernia inguinalis. Hernia inguinalis
adalah suatu penonjolan organ abdomen yang dapat berupa peritoneum parietal atau
organ viscera seperti omentum, usus besar/kecil, vesika urinaria karena adanya defek pada fasia
dan muskulo aponeurotik dinding perut terutama di regio inguinal, baik secara kongenital maupun
didapat.
Hernia inguinalis ada yang medialis dan lateralis. Hernia inguinalis lateralis yang mencapai
scrotum disebut hernia scoratis. Hernia inguinalis medialis disebut juga direk karena hernia yang
menonjol langsung melalui segitiga Hesselbach, sedangkan hernia inguinalis lateralis, penonjolan
dari perut dilateral pembuluh epigastrika inferior. Disebut indirek karena keluar melalui dua pintu
dan saluran. Pada pemeriksaan hernia lateralis, akan tampak penonjolan berbentuk lonjong
sedangkan hernia medialis, berbentuk tonjolan bulat. Hernia inguinalis terjadi ketika sebagian dari
usus keluar dari rongga perut melalui dinding bawah perut ke arah sekitar alat kelamin. Hal ini
membuat munculnya benjolan pada kantung buah zakar (skrotum), yang dapat terasa sakit atau
panas. Pada hernia inguinalis, benjolan sering kali muncul ketika penderita mengangkat sesuatu
dan akan menghilang saat dalam posisi berbaring.
Menurut sifatnya, hernia dapat disebut reponibel bila isi hernia dapat keluar masuk. Usus keluar
jika berdiri atau mengedan dan masuk lagi ketika berbaring atau didorong masuk perut, dan juga
tidak ada keluhan nyeri atau obstruksi usus. Bila isi kantong tidak dapat direposisi kembali kedalam
rongga perut disebut hernia ireponibel. Ini biasanya disebabkan oleh perlengketan isi kantong pada
peritoneum kantong hernia. Tidak ada keluhan nyeri ataupun tanda sumbatan usus.
2.7 Diagnosis
Gold Standard untuk penegakan diagnosis hernia adalah dengan anamnesis dan pemeriksaan
fisik. Gejala dan tanda klinik hernia banyak ditentukan oleh keadaan isi hernia pada hernia
reponibel keluhan satu-satunya adalah adanya benjolan dilipat paha yang muncul pada waktu
berdiri, batuk, bersin, atau mengedan, dan menghilang setelah berbaring. Keluhan nyeri jarang
dijumpai, kalau ada biasanya dirasakan di daerah epigastrium atau paraumbilikal berupa nyeri
viseral karena regangan pada mesenterium sewaktu satu segmen usus halus masuk ke dalam
kantong hernia. Nyeri yang disertai mual dan muntah baru timbul kalau terjadi inkarserasi karena
ileus ataustrangulasi karena nekrosis atau gangren.
Tanda klinik pada pemeriksaan fisik bergantung pada isi hernia pada inspeksi
saat pasien mengedan dapat dilihat hernia inguinalis lateralis muncul sebagai penonjolan di regio in
guinalis yang berjalan dari lateral atas ke medial bawah. Kantong hernia yang kosong kadang dapat
diraba pada funikulus spermatikus. Kalau kantong hernia berisi organ, maka tergantung isinya,
pada palpasi mungkin teraba usus, omentum (seperti karet) atau ovarium.
Jika hasil pemeriksaan fisik masih belum jelas, maka dokter mungkin akan meminta pasien
untuk menjalani pemindaian pada bagian perut. Jenis pemindaian yang biasa dilakukan untuk kasus
ini adalah USG, CT scan dan MRI. Selain itu, dokter mungkin akan menyarankan pasien untuk
melakukan pemeriksaan urine guna mengeliminasi penyebab nyeri pada skrotum selain hernia
inguinalis.
b. Laparoskopi.
Dalam teknik ini, dokter bedah akan membuat beberapa sayatan kecil di bagian perut.
Melalui salah satu sayatan, dokter akan memasukkan alat yang disebut laparoskop, yaitu
sebuah selang kecil yang dilengkapi kamera dan lampu kecil pada bagian ujungnya. Kamera
akan memperlihatkan kondisi di dalam perut pada sebuah monitor. Melalui panduan
kamera ini, dokter kemudian akan memasukkan alat-alat bedah khusus melalui lubang
sayatan lainnya untuk menarik hernia kembali ke tempatnya
b. Propofol:
1. Dosis sedasi 0,5 – 1,0 mg/kg. Dosis induksi 2-2,5 mg/kgBB.
2. Dosis dikurangi pada lansia, pasien hipovolemik, dan jika digunakan
bersama- sama dengan narkotik dan hipnotik sedasi.
3. Onset kerja < 40 detik
4. Efek puncak 1 menit
5. Durasi kerja 5 – 10 menit.
6. Eliminasi di hepatik
7. Propofol mengurangi aliran darah serebral, TIK, dan kecepatan
metabolic serebral, dan dapat menurunkan tekanan perfusi serebral
(CPP).
c. Ketamin:
1. Dosis sedasi/ analgesia 0,5 – 1,0 mg/kg (IV) dan 2,5 – 5,0 mg/kg (IM)
2. Dosis induksi : 1,0 – 2,5 mg/kg (IV) dan 5 – 10 mg/kg (IM)
3. Onset kerja IV < 30 detik, IM 3 – 4 menit
4. Efek puncak IV 1 menit, IM 5 – 20 menit
5. Durasi kerja IV 5 – 15 menit, IM 12 – 25 menit
6. Eliminasi di hepatik
7. Sebagai zat anestesi disosiatif, induksi dan pemeliharaan anestesi,
terutama pada pasien-pasien hipovolemik dan berisiko tinggi, serta
sebagai zat anestesi tunggal untuk prosedur bedah singkat.
Morphin:
1. Dosis analgesia : IV 2,5 – 15 mg
Anak – anak : 0,05 – 0,2 mg/kg
2. Dosis spinal 0,1 – 1,0 mg
3. Dosis epidural 0,05 – 0,2 mg
4. Onset kerja IV < 1 menit, IM 1 – 5 menit, epidural / Spinal 15 – 60
menit.
5. Efek puncak IV 2 – 20 menit , IM 30 – 60 menit, epidural / spinal 90
menit – 5 jam.
6. Durasi IV/IM 2 – 7 jam. Epidural/spinal 6 – 24 jam
7. Eliminasi di hepatic
8. Morphin menurunkan aliran darah serebral, laju metabolic serebral,
dan tekanan intracranial. Obat ini dapat menginduksi mual dan muntah
dengan mengaktifkan zona pencetus kemoreseptor. Morphin
melepaskan histamin dan dapat menyebabkan pruritus setelah
pemberian oral atau sistemik
Efek narkotik dinetralkan oleh naloxone
Vecuronium:
1. Intubasi IV 0,08 – 0,1 mg/kg
2. Dosis pemeliharaan IV 0,01 – 0,05 mg/kg ( 10% - 50 % dosis intubasi)
3. Eliminasi di ginjal, hepatic
4. Onset kerja < 3 menit
5. Efek puncak 3 – 5 menit
6. Durasi kerja 25-30 menit
Rocuronium:
1. Dosis intubasi IV 0,6 – 1,2 mg/kg
2. Dosis pemeliharaan 0,06 – 0,6 mg/kg ( 10%- 50 % dosis intubasi)
3. Eliminasi di ginjal, hepatic
4. Onset kerja 45-90 detik
5. Efek puncak 1 – 3 menit
6. Durasi kerja 15 150 menit ( bergantung dosis)
Kontraindikasi
Kontra indikasi absolut regional anestesi yaitu tidak boleh diberikan
apabila pasien menolak, infeksi pada tempat suntikan, hipovolema
berat (syok), koagulopati atau mendapat terapi antikoagulan, fasilitas
resusitasi yang minim, bakteremia, peningkatan tekanan intracranial.
Kontraindikasi relatif meliputi neuropati, spine surgery, nyeri
punggung, heparin subkutan dosis rendah, dan pasien yang tidak
stabil.
Persiapan Pasien
a. Pasien sebelumnya diberi informasi tentang tindakan ini (informed
concent) meliputi pentingnya tindakan ini dan komplikasi yang
mungkin terjadi.
b. Pemeriksaan fisik dilakukan meliputi daerah kulit tempat
penyuntikan untuk menyingkirkan adanya kontraindikasi seperti
infeksi. Perhatikan juga adanya scoliosis atau kifosis. Pemeriksaan
laboratorium yang perlu dilakukan adalah penilaian hematokrit.
Masa protrombin (PT) dan masa tromboplastin parsial (PTT)
dilakukan bila diduga terdapat gangguan pembekuan darah.
Perlengkapan
a. Tindakan anestesi spinal harus diberikan dengan persiapan
perlengkapan operasi yang lengkap untuk monitor pasien,
pemberian anestesi umum, dan tindakan resusitasi.
b. Jarum spinal dan obat anestetik spinal disiapkan. Dikenal 2 macam
jarum spinal, yaitu jenis yang ujungnya runcing seperti ujung
bamboo runcing (Quincke-Babcock atau Greene) dan jenis yang
ujungnya seperti ujung pensil (whitacre). Ujung pensil banyak
digunakan karena jarang menyebabkan nyeri kepala pasca
penyuntikan spinal. Jarum spinal memiliki permukaan yang rata
dengan stilet di dalam lumennya.
c. Obat anestetik lokal yang digunakan adalah bupivakain heavy 0,5
% ( hiperbarik).. Penyebab agens anastetik dan tingkat anesthesia
bergantung pada jumlah cairan yang disuntikkan, posisi pasien
setelah penyuntikan, dan berat jenis agens. Berat jenis obat
anestetik lokal mempengaruhi aliran obat dan perluasan daerah
teranestesi Pada anestesi spinal jika berat jenis obat lebih besar
dari berat jenis CSS (hiperbarik), maka akan terjadi perpindahan
obat ke dasar akibat gravitasi. Jika lebih kecil (hipobarik), obat
akan berpindah dari area penyuntikan ke atas. Bila sama (isobarik),
obat akan berada di tingkat yang sama di tempat penyuntikan.
Pada suhu 37oC cairan serebrospinal memiliki berat jenis 1,003-
1,008.
Bupivacain heavy ( hiperbarik )
- Onset kerja < 1 menit
- Efek puncak 15 menit
- Perhatian khusus :
a) Terjadinya efek hipotensi yang disebabkan hilangnya
tonus simpatis,
b) Injeksi bupivacaine intravaskuler menyebabkan
terjadinya kardiotoksisitas, tanda dan gejala berupa
mati rasa pada lidah, metallic taste, gelisah, tinnitus
dan tremor sampai henti jantung.
Pada toksisitas intravena , infus lipid intravena
mempercepat penurunan kandungan bupivacaine
miokardium dan mempercepat pemulihan asystole
yang diinduksi bupivacaine.
c) Blok spinal tinggi, retensi urine, nyeri kepala
d. Perlengkapan lain berupa kain kasa steril, povidon iodine, alcohol,
dan duk steril juga harus disiapkan.
Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi adalah hipotensi, nyeri saat penyuntikan,
nyeri punggung, sakit kepala, retensio urine, meningitis, cedera pembuluh
darah dan saraf, serta anestesi spinal total.
Pengkajian keperawatan yang dilakukan setelah anestesia spinal, selain
memantau tekanan darah, perawat perlu mengobservasi pesien dengan
cermat dan mencatat waktu saat perjalanan sensasi kaki dan jari kembali.
Jika sensasi pada jari kaki telah kembali sepenuhnya, pasien dapat
dipertimbangkan telah pulih dari efek anestetik spinal.
2) Blok Epidural
Anestesia epidural dicapai dengan menyuntikkan anestetik local ke dalam
kanalis spinalis dalam spasium sekeliling durameter. Anestesia epidural
memblok fungsi sensori, motor dan otonomik yang mirip, tetapi tempat
injeksinya yang membedakannya dari anestesi spinal. Dosis epidural lebih
besar dibanding dosis yang diberikan selama anestesi spinal karena
anestesi epidural tidak membuat kontak langsung dengan medulla atau
radiks saraf. Keuntungan dari anestesi epidural adalah tidak adanya sakit
kepala yang kadang disebabkan oleh penyuntikan subarachnoid.
Kerugiannya adalah memiliki tantangan teknik yang lebih besar dalam
memasukkan anestetik ke dalam epidural dan bukan ke dalam spasium
subarachnoid. Jika terjadi penyuntikan subarachnoid secara tidak sengaja
selama anestesi epidural dan anestetik menjalar ke arah kepala, akan
terjadi anestesia spinal “tinggi”. Anestesia spinal tinggi dapat
menyebabkan hipotensi berat dan depresi atau henti napas. Pengobatan
untuk komplikasi ini adalah dukungan jalan napas, cairan intravena, dan
penggunaan vasopresor.
4) Anestesia Paravertebral
Anestesia paravertebral menyebabkan anestesia pada saraf yang
mempersarafi dada, dindind abdomen dan ekstremitas.
3. Postoperatif adalah suatu keadaan atau masa dimana telah dilakukan tindakan anestesi
maupun pembedahan. Pada umumnya setelah dilakukan pembedahan pasien diistirahatkan
di ruang pemulihan sampai pasien pulih atau sadar penuh.
Pemantauan pasca anestesia mengikuti prosedur standar, di antaranya:
a. Memperhatikan nyeri yang dirasa pasien post operatif.
b. Awasi keadaan vital penderita secara saksama, periksa tekanan darah, frekuensi nadi
dan frekuensi pernapsan dilakukan paling tidak setiap 5 menit dalam 15 menit pertama
atau hingga stabil, setelah itu dilakukan setiap 15 menit. Perbaiki defisit yang masih ada
(cairan, darah, nyeri, mual–muntah,menggigil karena hipotermia,dll)
c. Perhatikan Post Operative Nausea and Vomiting (PONV).
d. Bila keadaan umum dan tanda vital pasien normal dan stabil, maka pasien dapat
dipindahkan ke ruang perawatan. Untuk anestesi general dapat dipakai aldrete score
untuk orang dewasa, nilai score yang normal 8 -10, pasien dapat di pindahkan ke ruang
perawatan. Untuk anestesi regional, dapat dipakai bromage score dengan score ≥ 2
pasien dapat dipindahkan ke ruang perawatan.
DAFTAR PUSTAKA
https://herrysetyayudha.wordpress.com/tag/hernia/
http://reventis.blogspot.com/2012/04/v-behaviorurldefaultvmlo.html
http://warungbidan.blogspot.com/2016/03/asuhan-keperawatan-pada-klien-dengan.html