Anda di halaman 1dari 16

KERANGKA ESAI

Nama : Aisyia Prasetya Effendi


NPM : 2006487446
Topik : Increase Animal Vector Disease and Increase Non-Native Species
Sub Topik : Kebutuhan pangan manusia berkontribusi dalam ledakan populasi hewan

Penyebaran Spesies Pribumi dan Penularan dari Hewan Terkait Kebutuhan Pangan
Manusia

SECTION BAGIAN KETERANGAN


Hook Kebutuhan energi pangan akan
Intro terus meningkat seiring dengan
bertambahnya populasi dunia
secara signifikan.
Meningkatnya aktivitas
pertanian ternyata juga
berdampak pada lingkungan,
mulai dari pencemaran air,
perubahan iklim, hingga
pencemaran genetika.
Background Drivers:
 Meningkatnya
kebutuhan pangan
manusia
 Meningkatnya populasi
manusia
 Kebutuhan nutrisi
meningkat
 Aktivitas agrikultur
untuk memenuhi
kebutuhan ekonomi
manusia
Pressure:
 Penggunaan pestisida
yang berlebihan
 Resistensi pada suatu
spesies
 Perubahan kondisi alam
Thesis Jumlah populasi global yang
meningkat 2 kali lipat
mendorong industri agrikultur
meningkatkan produksi
pertanian dan peternakan untuk
kebutuhan pangan manusia
Dibandingkan peternakan sapi
dan perkebunan kelapa sawit,
industri agrikultus merupakan
pendorong deforestitasi yang
besar.
Sektor agrikultur bertanggung
jawab atas 30% emisi gas
rumah kaca, erosi tanah,
penggunaan air secara
berlebihan, hilangnya polinator
yang penting dan munculnya
polusi kimia, serta dampak
lainnya.
Secara tidak tidak disadari,
pemanasan global ini akan
memungkinkan adanya ledakan
populasi yang berdampak pada
kesehatan masyarakat
Claim 1: Evidence:
Penggunaan pestisida pada -Di China, kapas BT(Bacillus
bidang agrikultur merupakan thuringienis) tahan serangg
salah satu penyebab terjadinya abanyak ditanam, populasi
ledakan populasi suatu spesies hama yang sebelumnya hanya
menimbulkan masalah kecil
telah meningkat 12x lipat sejak
Developing your arguments
1997
-Neonics merupakan insektisida
untuk melawan kutu busuk
yang tangguh, tetapi jika sudah
tidak berfungsi maka kutu
busuk akan terus berkembang
biak dan kebal. Kutu busuk dari
Cincinnati dan Michigan sangat
tangguh
Claim 2: Evidence:
Peningkatan populasi manusia -Peningkatan populasi manusia
membuat aktivitas pertanian akan menyebabkan permintaan
semakin bertambah penyediaan pangan meningkat
70%.
-US Census Bureau mencatat
kebutuhan pangan biji-bijian di
Asia akan meningkat pesar dari
344 juta toh tahun 1997
menjadi 557 juta ton tahun
2020.
Claim 3: Evidence:
pemanasan global -Ketika suhu meningkat,
menyebabkan aktivitas metabolisme serangga
pertanian meningkat meningkat sehingga mereka
akan makan lebih banyak
-serangga mengonsumsi 5-20%
tanama biji-bijian utama
Claim 4: Evidence:
Di sektor - Dampak kerusakan yang
peternakan, ternak ditimbulkan gas methane
ruminansia yang (CH4) pada lapisan ozon lebih
terdiri atas sapi, dahsyat 21 kali lipas
kerbau, kambing, dibandingkan gas CO2
dan domba
menyumbang
pemanasan global
yang paling dominan
Claim 5: Evidence:
Adanya virus covid- - Pada 20 Maret, salah satu
19 menyebabkan supermarkaet mengatakan
aktivitas dalam bahwa permintaan bahan
pemenuhan makanan diprediksi akan terus
kebutuhan pangan meningkat 20-25% selama
meningkat masa corona
- seluruh masyarakat
menimbun kebutuhan pangan
untuk dirumah
Claim 1: Evidence:
Tidak semua pestisida dapat -terdapat biopestisida yang
merugikan aman untuk lingkungan
Claim 2: Evidence:
Pemerintah dan lembaga -terdapat peraturan mengenai
lainnya sudah memperhatikan pembatasaan penggunaan
Refusing Opponent persoalan ini pestisida dalam kegiatan
Arguments pertanian
- kampanye yang berisikan
tentang ajakan untuk lebih
memperhatikan lingkungan
Claim 3: Evidence:
Aktivitas pertanian -Penyumbang gas emisi GHG
tidak selalu menjadi dunia terbesar terbesar berasal
penyebab perubahan penggunaan energi fosil
iklim sebesar 68% yang kemudian
diikuti dengan kebakaran
hutan/lahan, emisi gambut dan
limbah sebesar 14%
Claim 4: Evidence:
Terdapat invoasi - Penggunaan teknologi
untuk mengurangi Natural Methane Reducing
gas metana dari (NMR) dari dedaunan yang
aktivitas peternakan mengandung kandungan
tannin
Claim 5: Evidence:
Pangan merupakan - ketersediaan pangan yang
kebutuhan dasar lebih kecil dibandingkan
utama bagi manusia dengan tingkat kebutuhan
yang harus dipenuhi masyarakat menyebabkan
setiap saat. ketidak-stabilan ekonomi
Conclusion Alasan mengapa aktivitas
dalam mempenuhi pangan
manusia perlu diperhatikan
karena dampak yang akan
ditimbulkan dapat berimplikasi
di berbagai aspek kehidupan
manusia dan dapat
mengganggu keseimbangan
ekosistem
“ Apakah Aktivitas Untuk Memenuhi Kebutuhan Pangan Manusia Berpengaruh Terhadap
Peningkatan Spesies Invasif?”
Aisyia Prasetya Effendi
2006487446

Populasi global sudah mencapai lebih dari 7 miliar dan meningkat 78 juta orang per
tahun . Hal ini akan mewakili peningkatan populasi sebesar 33%. Apabila angka tersebut telihat
kecil, maka kita ganti menjadi 134 juta anak lahir setiap tahun, yaitu 367 ribu per hari, dan
sekitar 56 juta kematian per tahun. Pada tingkat ini, diperkirakan populasi di negara
berkembang akan mencapai 8 miliar pada tahun 2050.
Pada tahun 1798, penulis An Essay On The Principle Of Population, Thomas Malthus,
memperkirakan bahwa populasi suatu negara akan dibatasi oleh ketersediaan makanan karena
negara –negara tersebut tidak dapat mengontrol angka kelahiran. Esai tersebut telah
diperdebatkan oleh ahli biologi evolusioner, ekonomi, dan lainnya selama dua abad terakhir.
Kondisi saat ini, Lebih dari satu miliar orang diperkirakan kekurangan makanan dan lebih dari
dua kali lipat jumlah tersebut tidak menerima gizi yang memadai. Situasi ini menjadi situasi
yang mengerikan di masa depan. Faktanya, prediksi untuk peningkatan populasi berbeda secara
signifikan pada akhir abad ini karena beberapa penelitian mengasumsikan kematian massal
karena kelaparan yang meluas.
Produk ternak merupakan komoditas pertanian penting untuk ketahanan global karena
menyediakan 17% konsumsi kalori dan 33% konsumsi protein (FAOSTAT, 2014). Sektor
peternakan juga menyumbang mata pencaharian satu miliar penduduk termiskin di dunia dan
mempekerjakan hampir 1,1 miliar orang. Peningkatan permintaan produk ternak di negara
berkembang disebut sebagai revolusi peternakan. Produksi susu di seluruh dunia juga
diperkirakan akan meningkat dari 664 juta ton pada tahun 2006 menjadi 1.077 juta ton pada
tahun 2050. Begitu pula dengan daging yang akan berlipat ganda dari 258 menjadi 455 juta ton
(FAOSTAT, 2014).
Peningkatan kebutuhan pangan akan berdampak pada emisi gas rumah kaca yang akan
terus bertambah disebabkan oleh penggunaan lahan marginal, peningkatan konsumsi daging,
dan kebijakan perdagangan internasional yang akan menyebabkan penggunaan energi oleh
transportasi. Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca seperi CO2, NH4, N2O, SF6, HFC, dan
PFC terjadi akibat kegiatan manusia, seperti aktivitas bahan bakar fosil, pengembangan
industri, limbah, usaha pertanian dan perternakan, dan konversi lahan yang tidak terkendali.
Aktivitas tersebut mengakibatkan radiasi di atmosfer terperangkap sehingga dapat
meningkatkan suhu permukaan bumi secara global.
Sektor pertanian melepaskan emisi gas rumah kaca ke atmosfer dalam jumlah yang
signifikan berupa CO2, CH4, dan N2O. Pada tingkat global, sektor pertanian menyumbang
sekitar 10% dari total emisi pada tahun 2000. Sumber emisi tertinggi ini berasal dari
penggunaan pupuk, peternakan, lahan sawah, limbah ternak, dan pembakaran sisa-sisa
pertanian. Emisi dari kegiatan pembakaran biomassa dan kegiatan produksi padi sebagian besar
berkontribusi dari negara berkembang umumnya berasal dari Asia Selatan dan Asia Timur
yaitu sebesar 82% (World Resource Institue, 2012) Emisi dari pembakaran sabana di Afrika,
Amerika Latin, dan Karibia sebesar 74%. Dari negara maju, emisi dari peternakan lebih tinggi
dibandingkan dengan negara berkembang yaitu sekitar 52%.
Menurut US-EPA(2006), jumlah emisi sektor pertanian di Indonesia termasuk kecil
dibandingkan dengan negara lain seperti Amerika Serikat, China, Brasil, dan Indonesiaa. Hasil
inventori gas rumah kaca Indonesia dari UNDP Indonesia 2009 menunjukan kontribusi emisi
sektor pertanian di Indonesia yang rendah, yaitu 51,20 Mt CO2e atau sebesar 12% dari total
emisi di Indonesia.
Gambar 1. Negara penghasil emisi gas rumah kaca tertinggi yang berasal dari
pembakaran bahan bakar dan sektor industri
Sumber: IPCC (2014)

Sejak 1850, tercatat bahwa terdapat 12 tahun terpanas berdasarkan data suhu perubahan
global hasil dari kajian the Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC 2007).
Kenaikan suhu total dari tahun 1850-1899 sampai 2001-2005 mencapai 0,76°C. Permukaan air
laut rata-rata juga meningkat dengan laju rata-rata 1,80 mm/tahun pada tahun 1961-2003. Total
dari kenaikan permukaan laut pada abad ke-20 diperkirakan mencapai 0,17 m.
Pemanasan global akan terus meningkat dengan percepatan yang tinggi apabila tidak
adanya upaya menanggulangi. Pemanasan global akan menimbulkan kekeringan dan curah
hujan ekstrim yang akan menimbulkan bencana iklim yang lebih besar. Laporan United
Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs (UNOCHA) mengidentifikasi
bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang rentan terhadap bencana akibat perubahan
iklim.
Menurut Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) sektor peternakan khususnya
daging dan susu secara khusus menyumbang sekitar 10 % dari emisi gas rumah kaca. Jika
terdapat pembatasan pemanasan global hingga 1,5 °C, maka salah satu cara yang mungkin
adalah merubah pola makan. Carbon Brief menjelaskan perbandingan antara emisi gas dari
daging, produk susu, dan pola makan lainnya.

Gambar 2. Kontribusi Emisi gas metana dari Fermentasi ternak ruminansia di Indonesia pada
tahun 2013
Sumber: Sindu A. & M. Rofiq (2017)

Peternakan sapi perah merupakan salah satu aktivitas yang berpotensi menghasilkan
gas metana. Salah satu jenis sapi yang banyak diternakkan adalah sapi perah FH (Frisien
Holstein). Selain menghasilkan susu, peternakan sapi perah juga menghasilkan limbah feses
dan urine. Per hari rata-rata sapi perah FH menghasilkan sekitar 18,45 - 36,9 kg feses dari bobot
badan sapi 225 - 450 kg (Glenn 1985). Tingginya feses yang dihasilkan dapat menyebabkan
terjadinya polusi. Kandungan nutrisi feses berpengaruh terhadap produksi gas metana yang
dihasilkan. Nutrisi yang terkandung dalam feses merupakan media pertumbuhan bagi bakteri
metanogenik dalam menghasilkan gas metana. Gas metana dihasilkan dari degredasi bahan
organik pada feses secara anaerob oleh bakteri (Philippe dan Nicks, 2014). Kandungan serat
kasar yang tinggi akan meningkatkan produksi gas metana baik metana secara enterik maupun
dari kotoran ternak. Selain itu, total bahan organik yang didegreadasi berpengaruh terhadap
produksi gas metana yang dihasilkan. Tinggi setelah diinkubasi menunjukkan sedikitnya
proses degradasi yang terjadi
Konversi lahan untuk produksi daging sapi dan pakan ternak merupakan penyebab
utama deforestasi di banyak wilayah tropis, termasuk di Amazon, dimana lonjakan kebakaran
hutan dan pembukaan lahan baru ini berkaitan dengan peternakan. Menurut World Carfree
Network(2015) penebangan hutan tropis akan menyebabkan pelepasan simpnanan karbon yang
telah lama disimpan dan secara keseluruhan akan menyumbang sekitar 8% dari emisi gas
rumah kaca global
Petani juga harus menggunakan pupuk nitrogen di ladang mereka untuk merangsang
pertumbuhan tanaman untuk pasokan makanan hewan. Produksi pupuk nitrogen akan
menyebabkan pelepasan CO2 dan gas rumah kaca nitrous oxide (N2O). Apabila dengan daging
dan susu, makanan nabati memiliki jejak karbon yang jauh lebih kecil. Rata-rata emisi dari
makanan nabati 10 hingga 50 kali lebih kecil daripada emisi produk hewani Hospido et al.
(2009).
Sebenarnya, permasalahan gas rumah kaca tidak hanya disebabkan oleh daging sapi
saja, melainkan transportasi untuk melakukan pengiriman juga sangat berpengaruh. Beberapa
orang juga berpendapat bahwa konsumen dapat menghindari konsekuensi lingkungan dengan
memilih produk yang dibuat di negara asalnya, sehingga tidak harus dibawa dengan pesawat
atau kapal yang lebih ramah lingkungan daripada makanan impor.
Menurut Dr. Hannah Ritchie hanya sebagian kecil dari emisi makanan yang berasal
dari transportasi, sedangkan secara umum total emisi lebih dipengaruhi oleh jenis makanan
(berbasis hewan atau nabati). Alasan lain emisi transportasi relatif rendah adalah sebagian
besar makanan diangkut dengan kapal atau kereta api yang mungkin lebih efisien dibandingkan
dengan petani kecil yang mengemudi selama berjam-jam menggunakan truk pick-up.
Berdasarkan hasil survey (Henri de Ruiter, 2016) menyatakan bahwa setengah pakan
ternak di Inggris paling banyak dari Amerika Selatan dan Uni Eropa. Hal ini dapat diartikan,
bahwa walaupun memang tidak terdapat biaya transportasi yang dikeluarkan, tetapi ada hal
lain yang harus dipenuhi oleh para peternak lokal. Salah satunya dengan mengimpor makanan
hewan ternak tersebut yang di ternak dan dirawat sendiri. Oleh karena itu, keduanya pasti
memiliki biaya tersendiri masing-masing.
Terdapat klaim lain (FAO) dari para pendukung daging, yang mengatakan bahwa
kondisi peternakan yang tepat akan membuat pemeliharaan ternak ikut berdampak. Dampak
yang dihasilkan dapat berupa dampak yang kecil atau bahkan menguntungkan pada iklim
tersebut. Bila dilihat, kita tidak bisa menyamakan produksi di berbagai negara karena setiap
negara memiliki system produksi yang sangat berbeda. Emisi dari produksi bergantung pada
sejumlah faktor, termasuk seberapa banyak dan jenis lahan apa yang telah dikonversi ,Jenis
dan jumlah pupuk yang digunakan, pemeliharaan hewan, dan lainnya. Jenis pakan yang
berbeda akan menghasilkan jumlah metana yang berbeda pula. Pada padang rumput, fraksi
sekitar 6% kalori yang dikeluarkan sebagai metana. Lalu pada pakan berkualitas yang lebih
tinggi, fraksinya lebih dari 3%, tetapi pada pakan ini dapat menyebabkan deforestasi.
Jumlah populasi yang meningkat setiap tahunnya berdampak pada pemenuhan
kebutuhan yang harus dipenuhi. Emisi mempengaruhi pola perubahan yang terjadi secara tidak
langsung. Menurut teori Darwin, meningkatnya pola perubahan yang terjadi menyebabkan
bentuk adaptasi baru untuk spesies yang ada. Hal ini memungkinkan munculnya spesies
invasif. Peningkatan kejadian badai ekstrim merupakan hasil dari perubahan ikim yang akan
menyebabkan potensi untuk menyebarkan tanaman dan serangga invasif melalui udara atau
air. Periswita cuaca ekstrim juga akan menyebabkan peningkatan gangguan dan spesies invasif
umumnya tumbuh subur di tempat yang terganggu dengan ketersediaan cahaya yang tinggi dan
komunitas asli yang terfragmentasi (Bradely, 2009).
Spesies asing invasif (IAS) adalah hewan, tumbuhan, atau organisme lain yang
dimasukkan ke tempat di luar jangkauan alaminya, yang berdampak negatif pada
keanekaragaman hayati asli, jasa ekosistem, atau kesejahteraan manusia. IAS merupakan salah
satu penyebab terbesar hilangnya keanekaragaman hayati dan kepunahan spesies, dan juga
merupakan ancaman global terhadap ketahanan pangan dan mata pencaharian.
Penyebab terbesar penyebaran spesies invasif adalah aktivitas manusia. Terkadang
manusia dengan sengaja memindahkan hewan dan tumbuhan ke seluruh dunia. Misalnya,
untuk mengubah lingkungan, sebagai bentuk pengendalian hama, untuk berburu, sebagai
spesimen hortikultura atau untuk dipelihara sebagai hewan peliharaan. Hal tersebut dapat
menjadi kesalahan jika hewan dan tumbuhan tersebut pindah ke alam liar dan mulai
berkembang biak atau mulai berperilaku dengan cara yang tidak dapat diprediksi oleh manusia.
Manusia juga terkadang menciptakan masalah secara tidak sengaja. Salah satunya seperti
mengirimkan kargo ke negara-negara yang jauh saat liburan, dan terkadang hewan dan
tumbuhan yang menumpang.
Dampak dari spesies asing invasif (IAS) dapat diperparah oleh perubahan iklim bumi,
terutama akibat meningkatnya emisi gas rumah kaca. Peristiwa iklim ekstrim akibat perubahan
iklim, seperti angin topan, banjir, dan kekeringan dapat membawa IAS ke daerah baru dan
menurunkan ketahanan habitat terhadap invasi. Perubahan iklim juga membuka jalur
pengenalan IAS.
Tomat (S. lycopersicum) merupakan salah satu buah yang paling banyak dikonsumsi di
Afrika, baik dalam bentuk mentah maupun olahan, produksinya pun memiliki nilai sosial-
ekonomi yang signifikan, karena secara khusus memberikan tawaran kesempatan kerja
perempuan yang berkontribusi lebih dari 60%. Perkiraan produksi global tahunan di 2017
adalah sebesar 182 juta ton. Tomat juga merupakan tanaman yang paling banyak
dibudidayakan di dunia keenam, yaitu senilai US $ 87,9 miliar pada tahun 2016. Total
produksi tomat di Afrika mencapai 37,8 juta ton setiap tahunnya (FAOSTAT, 2017). Selain
itu, tomat juga menyediakan vitamin, mineral, dan amino esensial yang sangat dibutuhkan oleh
masyarakat pedesaan yang miskin. Namun, dalam beberapa tahun terakhir (CABI, 2019),
jumlah produksi tomat menurun. Penurunan produksi tomat karena banyak faktor biotik dan
abiotic diantaranya arthropoda hama, dimana penggerus daun tomat yaitu Tuta
absoluta (Meyrick), yang pada saat ini merupakan hama paling serius.

Gambar 3. Produksi tomat tahun 2010 – 2019


Sumber: www.tomatonews.com, The tomato online conference, 2020
Pertama kali dilaporkan di Afrika Utara pada tahun 2007, Tuta absoluta telah
menyebar ke timur dan selatan dan banyak negara sub-Sahara lainnya dengan kecepatan rata-
rata 800 km per tahun, sejak saat itu ia menjadi hama utama tomat dan Solananceae lainnya.
Sejak itu, hama menyerang 41 dari 54 orang negara Afrika. Selama 10 tahun terakhir, Tuta
absoluta juga telah menyebar di Timur Tengah dan Asia, termasuk India, Iran, Israel, Suriah,
dan Turki. Wilayah Asia merupakan wilayah yang sangat cocok untuk Tuta absoluta. Hama
tersebut bisa saja menyebar dengan cepat ke suluruh Asia, dan juga negara-negara yang
belum diserang harus menyiapkan rencana tanggapan segera mungkin.

Gambar 4. Negara tempat dimana Tuta Absoluta menyebar di Afrika


Sumber: Neotrop Entomol (2019)

Kemungkinan asal Tuta Absoluta dilaporkan dari Amerika Selatan, lalu menyebar ke
Spanyol pada tahun 2006, dan ke Afrika melalui Aljazair, Moroko, dan Tunisia dua tahun
kemudian, pada tahun 2008. Terdapat banyak informasi tentang Tuta absoluta yang
menunjukan bahwa inang utama adalah tomat. Keberadaan Tuta absoluta sulit dideteksi pada
periode awal investasi, sehingga mengakibatkan kerusakan parah pada anak tanaman.
Investasi Tuta absoluta mengakibatkan kerugian hasil yang signifikan dari tomat dan tanaman
lain, termasuk penurunan kualitas tanaman. Kerugian mempengaruhi pendapatan petani secara
langsung karena pengurangan hasil yang dapat dipasarkan dan secara tidak langsung melalui
biaya produksi yang lebih tinggi, sebagai konsekuensi dari peningkatan investasi dalam
pengelolaan hama.
Konsumen akan terpengaruh oleh kenaikan harga komoditas karena tingginya biaya
produksi yang dikeluarkan oleh petani, dan potensi jangka panjang efek ketika pestisida tidak
digunakan dengan benar, meskipun ini belum didokumentasikan dengan baik Dampak Tuta
Absoluta diperkirakan terjadi di Kenya dan Zambia selama survei rumah tangga yang
dilakukan pada tahun 2018 (CABI, 2019). Studi (R. Iwan, etc. 2019) tersebut menunjukkan
bahwa antara 97,9% dan 99% petani melaporkan Tuta Absoluta sebagai masalah di lading
tomat mereka masing-masing di Zambia dan Kenya. Studi lainnya menunjukkan bahawa petani
di Kenya telah hidup dengan Tuta Absoluta jauh lebih lama dibandingkan dengan petani di
Zambia. Tingkat investasi Kenya dilaporkan bahwa lebih rendah dibandingkan Zambia dengan
sebagian besar petani di Kenya (53%) melaporkan sebagian kecil dari tanaman yang akan
diserang, sementara di Zambia sekitar 50% melaporkan sebagian besar atau seluruh area
tanaman tomat mereka akan terpengaruh. Rata-rata, mayoritas petani di Zambia (57%)
menyatakan telah kehilangan sebagian besar hasil panen mereka karena Tuta Absoluta,
dibandingkan dengan 41% yang melaporkan hal ini di Kenya. Kerugian produksi musiman
rata-rata berdasarkan perkiraan petani sendiri setidaknya 114.000 ton untuk Kenya dan 10.700
untuk Zambia. Kerugian ekonomi masing-masing sebesar US $ 59,3 juta dan US $ 8,7 untuk
Kenya dan Zambia (R. Iwan, etc. 2019)
Tuta Absoluta telah diperkenalkan ke beberapa rentang eksotis, yang telah menjadi
invasif dan mengancam produksi tomat (Campos et al., 2017). Berbagai jalur terlibat di
dalamnya memfasilitasi masuknya dan penyebaran Tuta Absoluta di wilayah yang diserang.
Perdagangan pertanian tomat, buah-buahan telah dipercaya sebagai jalur utama di
mana Tuta Absoluta telah menyebar (Desneux et al ., 2010). Misalnya, perdagangan pertanian
antara Chili dan Argentina memperkenalkan Tuta Absoluta ke provinsi Mendoza (Argentina).
Serangga juga telah ditemukan peralatan pengepakan dan penyortiran, misalnya di Belanda,
telah melakukan pengiriman tomat dari Spanyol (Potting et al ., 2013). Bahan tanaman yang
berasal dari negara di mana Tuta Absoluta hadir telah dilaporkan menyebabkan infestasi non-
wilayah yang diserang.
Impor buah tomat juga merupakan salah satu jalur utama masuknya Tuta Absoluta di
berbagai negara jarak jauh. Karena serangga merupakan pengumpan internal, infestasi awal
dapat luput dari perhatian hal ini kemudian menjadi sumber infestasi pertama, yang
berkontribusi dalam risiko wabah di masa depan. Risiko besar penyebaran jarak ini adalah
penyebaran melalui cara alami (terbang).
Penggunaan pestisida merupakan metode utama yang diterapkan oleh petani untuk
mengendalikan hama di kedua negara yang diteliti. 96,,5% petani di Kenya menggunakan
metode ini dan 97,6% petani di Zambia. Namun hanya 27,2% dan 17,2% menunjukkan
perawatan pestisida yang sukses. Sekitar 6,4% petani menggunakan bahan pestisida yang
sangat berbahaya. Di Kenya, mayoritas petani menggunakan satu sampai lima semprotas
insektisida, sementara di Zambia mayoritas petani menggunakan enam sampai sepuluh
semprotan insektisida per musim.
Pengendalian kimia menjadi pilihan utama dalam jangka waktu yang lama untuk
mengelola Tuta Absoluta (guedes dan Picanço, 2012). Namun, ketergantungan awal pada
organofosfat, piretroid, Cartapm dan Abamectin telah bergeser ke serangga pengatur tumbuh.
Baru-baru ini, data dari Brazil menunjukan petani tersebut melakukan hingga 36 pemakaian
insektisida untuk mengendalikan Tuta Absoluta dalam satu kali tanam musim. Hal ini memiliki
potensi efek negatif tidak hanya pada lingkungan tetapi juga organisme yang menguntungkan.
Namun, pengendalian kimiawi terkadang tidak terlalu efektif dalam pengelolaan Tuta
Absoluta. Perilaku endofit larva mempersulit bahan kimia dalam mencapai hama. Selain itu,
hama mempunyai kemampuan untuk mengembangkan resistensi dengan cepat. Populasi
resisten tercatat di Italia, Yunani, dan Israel. Tuta Absoluta dilaporkan resisten terhadap
beberapa insektisida. Tuta Absoluta dilaporkan telah mengembangkan resistensi terhadap
Cartap, Abamectin, dan Pyrethoroids (Siqueira et al., 2000).
Istilah jejak karbon digunakan sebagai definisi jumlah karbon atau gas emisi yang
dihasilkan dari berbagai kegiatan aktivitas manusia. Semakin besar jejak karbon, maka
semakin besar pula kontribusinya terhadap perubahan iklim. Kegiatan pertanian juga memiliki
jejak karbon. Hasil riset (Swaminathan, 2012) menunjukan bahwa pertanian telah
menyumbang 13,5% dari emisi gas rumah kaca global, terutama dalam bentuk metana (CH4)
dan nitrous oksida (N2O) dari pembakaran biomassa, produksi padi, serta produksi dari pupuk
kandang. Perubahan alih fungsi lahan untuk sektor pertanian telah menghasilkan 17,4% dari
total emisi gas rumah kaca. Gas rumah kaca dengan jumlah karbon dioksida terbesar akan
meningkatkan kemampuan planet untuk menyerap dan menahan panas, Oleh karena itu akan
berkontribusi pada perubahan iklim.
Sektor pangan bukan satu-satunya industri yang menghasilkan gas rumah kaca.
Pembakaran bahan bakar fosil dalam transportasi yang khususnya kendaraan di jalan raya
merupakan salah satu faktor gas rumah kaca. Emisi dari sektor transportasi merupakan
penyumbang utama perubahan iklim, sekitar 14% emisi tahunan dan seperempat emisi
karbondioksida berasal dari pembakaran bahan bakar fosil.
Dalam skala global (IPPC, 2018), 72% emisi transportasi berasal dari kendaraan di
jalan raya, yang menyumbang 80% peningkatan gas rumah kaca tahun 1970 – 2010.
Peningkatan emisi pada sector transportasi juga berasal dari penerbangan internasional,
penerbangan domestik, serta pelayaran internasional. Emisi yang dihasilkan dari pembakaran,
berbasis minyak bumi, seperti bensin. Terkecuali kereta api, jumlah emisi dari kereta api telah
menurun.
Dilansir dari World Resource Institute, Negara yang menyumbang emisi transportasi
sebagian besar berasal dari negara berpenghasilan menengah ke atas dan negara yang
berpenghasilan tinggi. Terdapat sepuluh negara dengan emisi transportasi terbesar pada tahun
2014 adalah (1) Amerika Serikat, (2) Cina, (3) Rusia, (4) India, (5) Brasil, (6) Jepang, (7)
Kanada, (8) Jerman, (9) Meksiko, dan (10) Iran. Negara tersebut telah menyumbangkan 53%
emisi transportasi global pada tahun 2014.

Gambar 5. Persentase total emisi United State yang berasal dari sektor ekonomi pada 2018
Sumber: U.S EPA, 2016

Pada tahun 2018 (EPA emisi gas rumah kaca yang berasal dari transportasi
menyumbang sebesar 28,2 % dari total emisi gas rumah kaca AS, hal tersebut menjadikan
sector transportasi sebagai penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca AS. Dilihat dari data
keseluruhan, tahun 1990 – 2018, total emisi transportasi telah meningkat dikarenakan
permintaan perjalanan. Jarak kendaraan yang ditempuh dengan kendaraan mobil penumpang
meningkat sebesar 46,1%. Hal ini juga dikarenakan karena beberapa faktor, termasuk
pertumbuhan penduduk, pertumbuhan ekonomi, dan perluasan perkotaan. Sejak tahun 2005,
terjadi penghematan bahan bakar kendaraan. Rata-rata penghematan bahan bakar kendaraan
meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2018, laju kenaikan emisi CO2 mulai menurun.
Peningkatan populasi global dan perubahan pola makan meningkatkan permintaan akan
makanan. Penurunan hasil panen di banyak bagian dunia membuat banyak orang yang
kelaparan. Sebuah laporan tahun 2020 menemukan bahwa hampir 690 juta orang dari populasi
global kelaparan. Tantangan ketahanan akan menjadi sulit karena dunia terpaksa harus
memproduksi sekitra 70% lebih banyak pada tahun 2050 untuk memberi makan sekitar 9 miliar
orang.
Tantangan tersebut diperparah karena kerentanan ekstrim pertanian terhadap perubahan
iklim. Dampak negatif dari perubahan iklim telah dirasakan mulai dari peningkatan suhu,
variabilitas cuaca, pergeseran batas agreokosistem, invasi tanaman dan hama, serta sering
terjadinya kondisi cuaca yang ekstrim, seperti kekeringan, badai, dan gelombang panas. Hal
tersebut akan mengganggu produksi makanan, masalah kesehatan yang meningkat, bahkan
banyak dari spesies akan musnah. Di bidang pertanian, perubahan iklim akan mengurangi hasil
panen dan kualitas nutrisi sereal utama serta menurunkan produktivitas ternak.
Namun, terdapat permasalahan sebaliknya. Pertanian merupakan salah satu bagian
utama dari permasalahn iklim. Saat ini, pertanian telah menghasilkan sebesar 13,5% dari total
gas rumah kaca. Pada juli 2019, Pemerintah Inggris telah mengubah target untuk mengurangi
emisi hingga 80% pada tahun 2050 yang menjadi tujuan baru yang lebih sulit. Tujuan dari
target ini untuk “nol bersih” gas rumah kaca pada tahun 2050, yang artinya emisi dari
pertanian serta rumah, transportasi, dan industri harus dihindari. Target ini mengikutsertakan
semua orang di negara tersebut harus bertanggung jawab atas sebagian dari pengurangan
keseluruhan yang harus dipenuhi dari proses pertanian.
Pada Juli 2019, komite perubahan iklim menyarankan pemerintah Inggris untuk
menetapkan pengurangan emisi menjadi nol bersih pada 2050. Pengurangan emisi diharapkan
terjadi pada seluruh sektor, mulai dari ekonomi hingga pertanian dan kehutuanan. Sejauh ini,
Inggris telah terdapat penurunan emisi yang dilepaskan secara keseluruhan. Namun, emisi
pertanian pada tahun 2016-2017 meningkat sebesar 1% dan menyumbang 9% dari seluru
emisi di Inggris. Emisi dari pertanian berada 16% dibawah tingkat tahun 1990, namun pada
tahun 2008 tidak ada kemajuan dalam pengurangan emisi. Pada peternakan, Metana
menyumbang emisi sebesar 56% pada tahun 2017, dan hampir setengah dari total emisi
pertanian berasal dari proses pencernaan tenak.
The Greenhouse Gas Action Plan (GHGAP) adalah usaha yang dipimpin oleh industri
untuk memberikan pengurangan emisi dari pertanian di Inggris. Rencana aksi tersebut
menyatukan perwakilan organisasi utama dari seluruh industri pertanian untuk mendukung
aksi kolektif. GHGAP juga merupakan salah satu serangkaian inisiatif yang telah membantu
pertanian untuk menghasilkan lebih banyak dengan resiko dampak yang minim. Salah satu
rencana dari GHGAP memenuhi tantangan perubahan iklim tanpa mengorbankan produksi
dalam negeri.
Ditinjau dari kinerja GHGAP selama periode 2012 hingga akhir 2016, diperkirakan
bahwa terjadi penurunan CO2 setara 1Mt yang telah dicapai pada 2016. Kemajuan ini dilihat
dari dampak penyerapan GHGAP dari langkah-langkah mitigasi. Tingkat serapan yang
diambil dari Farm Practices Survey (FPS) mencakup berbagai metode mitigasi, termasuk
yang berkaitan dengan pengelolaan dan penerapan pupuk organik.
Pendekatan pemerintah pada sektor industri untuk mengurangi emisi melalui GRK
sukarela, yang dipimpin oleh sektor industri dan didukung oleh pemerintah jika sesuai,
seperti contoh membantu mengidentifikasi metode mitigasi yang paling mitigasi. Namun,
tindakan ini tidak sepenuhnya memenuhi target pengurangan emisi gas rumah kaca.
Kemungkinan diperlukannya undang-undang yang lebih tegas. GHGAP mencakup tujuan
yang terkait dengan kegiatan mitigasi dan proses untuk melaporkan hasil dari kemajuan dan
data yang akan dibagikan bila sesuai dengan kegiatan dan hasil yang dicapai.
Pemerintah Inggris telah melakukan berbagai tindakan yang bertujuan untuk
mengurangi perubahan iklim yang diantaranya dapat dimanfaatkan oleh petani, termasuk:
1. Pembayaran Feed in tariff (Feed in tariff adalah patokan harga pembelian harga
energi berdasarkan biaya produksi energi baru dan terbarukan) untuk pembangkit
listrik terbarukan; seperti pembayaran pemasangan tindakan seperti panel surya,
turbin angin, atau digester anaerobic di lahan.
2. Pembayaran insentif panas terbarukan untuk memproduksi panas terbarukan; seperti
bangunan pertanian yang dipanaskan dengan boiler biomassa dan skema tersebut juga
menyediakan pasar untuk limbah hutan dan energi baru.
3. Kenaikan pajak TPA; peningkatan biaya gerbang merupakan salah satu cara insentif
untuk mengurangi, menggunakan kembali, mendaur ulang jika memungkinkan, dan
juga hal tersebut membuat digester anaerobic layak secara finansial.
4. Kebijakan perencanaan berkelanjutan; peraturan perencanaan membuat standar
persyaratan isolasi yang tinggi dan fitur berkelanjutan lainnya di Gedung baru dan
konversi.
Dan terdapat kebijakan pemerintah lainnya yang bertujuan untuk mendorong pengelolaan
tanah berkelanjutan dan pembuatan hutan yang membantu penyerapan emisi karbon.
Secara garis besar, kegiatan manusia dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan
spesies invasif. ledakan populasi global yang meningkat 78 juta orang per tahun
menyebabkan peningkatan populasi sebesar 33% setiap tahunnya. Hal ini dapat
mempengaruhi peningkatan kebutuhan pangan yang berdampak pada emisi gas rumah kaca
yang akan terus bertambah yang disebabkan oleh penggunaan lahan marginal, peningkatan
konsumsi daging, maupun transportasi. Pada tingkat global, sektor pertanian menyumbang
sekitar 14% dari total emisi pada tahun 2000. Lalu, menurut PBB sektor perternakan
menyumbang sekitar 14,5% dari emisi gas rumah kaca.
Salah satu penyebab terjadinya penyebaran spesies invasive adalah aktivitas manusia.
Mulai dari memindahkan hewan dan tumbuhan ke tempat yang bukan asalnya hingga
aktivitas industri yang berkontribusi dalam peningkatan perubahan iklim, terutama akibat
meningkatnya emisi gas rumah kaca. Peningkatan iklim yang ekstrim dapat membuka jalur
pengenalan IAS. Salah satu contoh IAS yaitu serangga pada tomat, Tuta Absoluta, yang
berasal dari Afrika Utara dan telah menyebar dengan cepat ke seluruh Asia. Hewan yang sulit
dideteksi pada periode awal investasi ini telah mengakibatkan kerugian hasil yang signifikan
dari produksi tomat dan tanaman lain, termasuk penurunan kualitas tanaman. Kerugian yang
ditanggung oleh petani secara langsung dikarenakan pengurangan hasil produksi yang dapat
dipasarkan dan secara tidak langsung melalui biaya produksi yang lebih tinggi sebagai
konsekuensi dari pengelolaan hama.
Namun, setelah ditinjau lebih dalam lagi, sektor pangan bukan satu-satunya industri
yang menghasilkan gas rumah kaca. Emisi dari sektor transportasi merupakan penyumbang
utama perubahan iklim, yaitu sekitar 14% emisi tahunan dan seperempat emisi
karbondioksida berasal dari pembakaran bahan bakar fosil. Dalam skala global telah
dibuktikan (IPPC,2018) bahwa 72% emisi transportasi berasal dari kendaraan di jalan raya,
yang menyumbang 80% peningkatan gas rumah kaca tahun 1970 – 2010.
Salah satu opsi agar bisa mengurangi dampak dari gas rumah kaca akibat aktivitas
agrikultur dengan menggunakan climate-smart agriculture (FAO). CSA bertujuan untuk
meningkatkan produktivitas, mengurangi mitigasi jika memungkintkan, dan meningkatkan
pencapaian tahanan nasional. CSA mempunyai tiga pilar, yaitu (1) Produktivitas;
meningkatkan produktivitas pertanian dan pendapatan dari tanaman, ternak secara
berkelanjutan tanpa menimbulakan dampak negatif terhadap lingkungan, (2) Adaptasi; untuk
mengurangi keterpaparan petani terhadap risiko jangka pendek, sekaligus memperkuat
ketahanan merka dengan membangun kapasitas untuk beradaptasi dan berkembang
menghadapi guncangan jangka panjang, (3) Migitas; membantu mengurangi emisi gas rumah
kaca.
Pemerintah atau mitra yang berupaya memfasilitasi penerapan CSA dapat melakukan
berbagai tindakan untuk memberikan dasar CSA yang efektif di seluruh system pertanian,
lanskap, dan system pangan. Pendekatan CSA mencakup empat jenis tindakan utama:
1. Memperluas bukti dan alat penilaian untuk mengidentifikasi strategi pertumbuhan
pertanian untuk ketahanan pangan
2. Membangun kerangka kebijakan dan consensus untuk mendukung implementasi
dalam skala besar
3. Memperkuat lembaga nasional dan lokal untuk memungkinkan petani mengelola
risiko ilim dan mengadopsi praktik, teknologi, dan system pertanian yang sesuai
konteks
4. Meningkatkan pilihan pembiayaan untuk mendukung implementasi, menghubungkan
iklim, dan pembiayaan pertanian
Daftar Pustaka

Blandford, D., & Josling, T. (2009). Greenhouse Gas Reduction Policies and Agriculture:
Implications for Production Incentives and International Trade Disciplines. 1.

Stoddart, M. C. J., Tindall, D. B., & Greenfield, K. L. (2012). “Governments Have the
Power” Interpretations of Climate Change Responsibility and Solutions Among
Canadian Environmentalists. Organization and Environment, 25(1), 39–58.
https://doi.org/10.1177/1086026612436979

Giorgini, M., Guerrieri, E., Cascone, P., & Gontijo, L. (2019). Current Strategies and Future
Outlook for Managing the Neotropical Tomato Pest Tuta absoluta (Meyrick) in the
Mediterranean Basin. Neotropical Entomology, 48(1), 1–17.
https://doi.org/10.1007/s13744-018-0636-1

Bednar-Friedl, B., Wolkinger, B., König, M., Bachner, G., Formayer, H., Offenthaler, I., &
Leitner, M. (2015). Transport. Springer Climate, 279–300. https://doi.org/10.1007/978-
3-319-12457-5_15

Gordon, D. (2010). The Role of Transportation in Driving Climate Disruption. Carnegie


Papers, 89.

Swaminathan, M. S., & Kesavan, P. C. (2012). Agricultural Research in an Era of Climate


Change. Agricultural Research, 1(1), 3–11. https://doi.org/10.1007/s40003-011-0009-z

Methane, M. (2019). Methane reduction strategy for agriculture prepared within the
framework of the NKI project Minus Methane in agriculture. January.

Visser, D., Uys, V. M., Nieuwenhuis, R. J., & Pieterse, W. (2017). First records of the tomato
leaf miner tuta absoluta (Meyrick, 1917) (lepidoptera: Gelechiidae) in South Africa.
BioInvasions Records, 6(4), 301–305. https://doi.org/10.3391/bir.2017.6.4.01

Rwomushana, I., Beale, T., Chipabika, G., Day, R., Gonzalez-Moreno, P., Lamontagne-
Godwin, J., Makale, F., Pratt, C., & Tambo, J. (2019). Evidence Note Tomato leafminer
Impacts and coping strategies for Africa Authors. In CABI Working Paper (Vol. 12,
Issue May).

Surmaini, E., & Runtunuwu, E. (2015). Upaya sektor Pertanian dalam Menghadapi
Perubahan Iklim. Upaya Sektor Pertanian Dalam Menghadapi Perubahan Iklim, 30(1),
1–7. https://doi.org/10.21082/jp3.v30n1.2011.p1-7

Wirth, T. (2018). Globalization and infectious diseases. Biodiversity and Evolution, 3, 123–
137. https://doi.org/10.1016/B978-1-78548-277-9.50008-5

Potting RPJ, Van Der Gaag DJ, Loomans A, Van der Straten M, Anderson H, Macleod A,
Castrillón JMG, Cambra GV (2013) Tuta absoluta, tomato leaf miner moth or South
American tomato moth. Ministry of Agriculture, Nature and Food Quality, Plant
Protection Service of the Netherlands, PRA, 28 pp
Abbes, K., & Chermiti, B. (2014). Propensity of three Tunisian populations of the tomato
leafminer Tuta absoluta (Lepidoptera: Gelechiidae) for deuterotokous parthenogenetic
reproduction. African Entomology, 22(3), 538–544.
https://doi.org/10.4001/003.022.0301

Agriculture, C. (n.d.). Smar t.

Anda mungkin juga menyukai