Anda di halaman 1dari 25

PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT

MAKALAH
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Pancasila
yang dibimbing oleh Ibu Agusningrum, S.Pd., M.Pd

Nama Anggota Kelompok 06 :


1. Halimatuz Zahro 210910302007
2. RanggaBayuSatriya 210910302154
3. Sri Devi Januarifka Fitria 210910302014
4. Yuan Amukti Palupi 210910302149

KELAS 80
JURUSAN SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS JEMBER
2022

i
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI..........................................................................................................i

BAB I PENDAHULIAN........................................................................................1

1.1 Latar Belakang.......................................................................................1


1.2 Rumusan Masalah .................................................................................2
1.3 Tujuan dan Manfaat...............................................................................2

BAB II PEMBAHASAN........................................................................................4

2.1 Menelusuri Konsep dan Urgensi Pancasila sebagai Sistem Filsafat......4


2.2 Alasan Diperlakukannya Kajian Pancasila sebagai Sistem Filsafat......4
2.3 Menggali Sumber Historis, Sosiologis, Politis tentang Pancasila
sebagai Sistem Filsafat ...................................................................9
2.4 Membangun Argumen tentang Dinamika dan Tantangan Pancasila
sebagai Sistem Sosial .....................................................................15
2.5 Mendeskripsikan Esensi dan Urgensi Pancasila sebagai Sistem
Filsafat .........................................................................................17
2.6 Inti Sila-Sila Pancasila ...................................................................18

BAB III PENUTUP................................................................................................21

3.1 Kesimpulan ...........................................................................................21

3.2 Saran ......................................................................................................21

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................23

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pancasila sebagai sistem filsafat merupakan suatu perkembangan dari
renungan-renungan yang dihasilkan dari diskusi sidang BPUPKI sampai pada
pengesahan Pancasila oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945. Kemudian,
perenungan yang berkembang ini menggugah kesadaran para pendiri bangsa,
salah satunya adalah Soekarno ketika menggagas ide Philosophisce
Grondslag.Perenungan tersebut mengalir hingga menemukan nilai-nilai filosofis
yang menjadi identitas bangsa Indonesia.Perenungan awal dari sistem filsafat
yang dicetuskan oleh para pendiri negara adalah bahan baku yang dapat terus
merangsang pemikiran para pemikir berikutnya seperti Notonagoro, Soerjanto
Poespowardoyo, Sastrapratedja termasuk beberapa pemikir yang memusatkan
perhatian terhadap Pancasila sebagai sistem filsafat. Oleh sebab itu, berikut akan
dibahas kedudukan Pancasila sebagai sistem filsafat dengan beberapa pemikiran
para tokoh dari teori-teori filsafat.
Kita perlu memahami Pancasila secara filosofis karena mata kuliah
Pancasila pada tingkat perguruan tinggi menuntut para mahasiswa untuk berpikir
secara terbuka, kritis, sistematis, komprehensif, dan mendasar sebagaimana ciri-
ciri pemikiran filsafat.Setelah mempelajari bab ini, diharapkan mahasiswa dapat
menguasai kompetensi sebagai berikut. Bersikap inklusif, toleran dan gotong
royong dalam keragaman agama dan budaya; mengembangkan karakter
Pancasilais yang teraktualisasi dalam sikap jujur, disiplin, tanggungjawab,
peduli, santun, ramah lingkungan, gotong royong, cinta damai, responsif dan
proaktif; bertanggung jawab atas keputusan yang diambil berdasar prinsip
musyawarah; memahami dan menganalisis hakikat sila-sila Pancasila, serta
mengaktualisasikan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya sebagai paradigma
berpikir, bersikap, dan berperilaku; mengelola hasil kerja individu dan kelompok

1
menjadi suatu gagasan tentang Pancasila yang hidup dalam tata kehidupan
Indonesia.
Tujuan membuat makalah ini adalah untuk memenuhi tugas yang ibu
dosen berikan kepada kami serta untuk mengetahui bagaimana konsep dan
urgensi Pancasila sebagai sistem filsafat; untuk mengetahui bagaimana kajian
pancasila sebagai sistem filsafat; untuk mengetahui bagaimana menggali sumber
historis, sosiologis, politis, tentang pancasila sebagai sistem filsafat; untuk
mengetahui bagaimana membangun argumen tentang dinamika dan tantangan
pancasila sebagai sistem filsafat; untuk mengetahui bagaimana mendeskripsikan
esensi dan urgensi pancasila sebagai sistem filsafat; untuk mengetahui
bagaimana inti sila-sila sebagai sistem filsafat.

1.2 Rumusan Masalah


Berikut rumusalah masalah yang kami buat:
1. Bagaimana konsep dan urgensi Pancasila sebagai sistem filsafat?
2. Bagaimana kajian Pancasila sebagai sistem filsafat?
3. Bagaimana menggali sumber historis, sosiologis, politis, tentang Pancasila
sebagai sistem filsafat?
4. Bagaimana membangun argumen tentang dinamika dan tantangan Pancasila
sebagai sistem filsafat?
5. Bagaimana mendeskripsikan esensi dan urgensi Pancasila sebagai sistem
filsafat?
6. Bagaimana inti sila-sila sebagai sistem filsafat?
1.3 Tujuan dan Manfaat
 Tujuan
1. Untuk mengetahui konsep dan urgensi Pancasila sebagai sistem filsafat.
2. Untuk mengetahui kajian Pancasila sebagai sistem filsafat.
3. Untuk mengetahui bagaimana cara menggali sumber historis, sosiologis,
politis, tentang Pancasila sebagai sistem filsafat.

2
4. Untuk mengetahui bagaimana cara membangun argumen tentang
dinamika dan tantangan Pancasila sebagai sistem filsafat.
5. Untuk mengetahui bagaimana cara mendeskripsikan esensi dan urgensi
Pancasila sebagai sistem filsafat.
6. Untuk mengetahui inti sila-sila sebagai sistem filsafat?
 Manfaat
1. Sebagai cara kami untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan
Pancasila.
2. Sebagai referensi bagi semua pihak yang bernaung di bawah dunia
pendidikan mengenai ilmu Pancasila.
3. Sebagai bentuk untuk lebih memahami materi Pancasila sebagai sistem
filsafat.
4. Sebagai sumber dan bahan masukan bagi penulis lain untuk menggali
materi Pancasila sebagai sistem filsafat.

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Menelusuri Konsep dan Urgensi Pancasila sebagai Sistem Filsafat


Kita harus mengetahui pengertian filsafat berdasarkan watak dan
fungsinya sebagaimana yang dikemukakan Titus, Smith & Nolan sebagai
berikut: (1) Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap
kehidupan dan alam yang biasanya diterima secara tidak kritis (arti informal).
(2) Filsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan
sikap yang sangat dijunjung tinggi (arti formal). (3) Filsafat adalah usaha untuk
mendapatkan gambaran keseluruhan (arti komprehensif). (4) Filsafat adalah
analisa logis dari bahasa serta penjelasan tentang arti kata dan konsep (arti
analisis linguistik). (5) Filsafat adalah sekumpulan problematik yang langsung
mendapat perhatian manusia dan dicarikan jawabannya oleh ahli-ahli filsafat
(arti aktual-fundamental).
Pancasila dapat dikatakan sebagai sistem filsafat,Karena hal-hal berikut:
Yang pertama, dalam sidang BPUPKI, 1 Juni 1945, Soekarno memberi judul
pidatonya dengan nama Philosofische Grondslag daripada Indonesia Merdeka.
Noor Bakry menjelaskan bahwa Pancasila sebagai sistem filsafat merupakan
hasil perenungan yang mendalam dari para tokoh kenegaraan Indonesia. Hasil
perenungan itu semula dimaksudkan untuk merumuskan dasar negara yang akan
merdeka. Pancasila sebagai dasar negara pada permulaannya merupakan buah
pikir dari tokoh-tokoh kenegaraan sebagai suatu pola dasar yang kemudian
dibuktikan kebenarannya melalui suatu diskusi dan dialog panjang dalam sidang
BPUPKI hingga pengesahan PPK. Yang kedua, Pancasila sebagai pandangan
dunia yang artinya nilai-nilai Pancasila itu merupakan sesuatu yang telah ada
dan berkembang di dalam masyarakat indonesia, yang kemudian disepakati
sebagai dasar filsafat negara.
2.2 Alasan Diperlukannya Kajian Pancasila sebagai Sistem Filsafat

4
2.2.1 Filsafat Pancasila sebagai Genetivus Objectivus dan Genetivus
Subjectivus
Pancasila dipandang sebagai genetivus-objektivus memiliki arti
bahwa berdasarkan sistem-sistem dan cabang-cabang filsafat yang
berkembang di Barat, nilai-nilai pancasila dijadikan sebagai objek yang
dicari landasan filosofisnya. Seperti contoh, berdasarkan pendekatan
substansialistik filsafat aristoteles, Notonagoro berhasil menganalisis
nilai-nilai pada pancasila.Sedangkan Drijarkara menyoroti nilai-nilai
pada pancasila melalui pendekatan eksistensialisme religious.
Pancasila sebagai genetivus-subjectivus memiliki arti bahwa
nilai-nilai pada pancasila juga dipergunakan untuk mengkritisi beberapa
aliran filsafat yang sudah berkembang, baik untuk menemukan hal-hal
yang sesuai dengan nilai pada pancasila maupun untuk melihat nilai-nilai
yang tidak sesuai dengan pancasila.Selain itu, bukan hanya dipakai
sebagai dasar pembuatan peraturan perundang-undangan, tetapi juga
nilai-nilai pancasila harus mampu menjadi pandangan pelaksanaan
sistem politik dan dasar bagi pembangunan Indonesia. Contoh,
Sastrapratejda menyatakan bahwa pancasila merupakan dasar dari
politik, sedangkan Soerjanto menyatakan bahwa fungsi pancasila adalah
memberikan pandangan ke depan yang mengharuskan Negara Indonesia
selalu menyadari situasi kehidupan yang sedang dihadapi.
2.2.2 Landasan Ontologis Filsafat Pancasila
Tiga dimensi yang diperlukan sebagai landasan pijak filosofis
kuat oleh pandangan pancasila sebagai Genetivus Subjectivus, yaitu
landasan ontologis, landasan epistemologis, dan landasan
aksiologis.Menurut Aristoteles ontologi yaitu cabang filsafat yang
menjelaskan tentang segala hakikat yang ada secara umum sehingga
dapat dibedakan dengan disiplin beberapa ilmu yang membahas sesuatu
secara khusus.Ontologi menjelaskan hakikat paling dalam dari sesuatu

5
yang ada, yaitu unsur yang paling bersifat umum dan abstrak, bisa
disebut dengan istilah substansi.
Bakker menjelaskan ontologi sebagai ilmu yang paling universal
atau umum karena objeknya meliputi segala-galanya menurut semua
bagiannya (ekstensif) dan semua aspeknya (intensif).Pernyataan Bakker
yang mengaitkan dimensi ontologi ke dalam pancasila yaitu manusia
adalah makhluk monodualisme (makhluk individu sekaligus sosial), yang
secara umum juga berlaku juga bagi substansi infrahuman, manusia, serta
Tuhan.Menurut Bakker kelima sila dalam pancasila menunjukkan serta
menggambarkan kemandirian masing masing, tetapi juga menekankan
pada kesatuannya yang bersifat dasar serta terikat dengan relasi.
Stephen W. Littlejohn dan Karen A Foss dalam Theories of
Human Communication menekankan bahwa ontologi adalah filosofi
yang saling berhadapan dengan makhluk hidup. Ada 4 masalah dasar
yang terdapat pada asumsi ontologis ketika dihubungkan dengan masalah
sosial, yaitu pada tingkatan apa manusia dapat membuat pilihan-pilihan
nyata, apa saja perilaku manusia yang sebaiknya dipahami dalam bentuk
keadaan atau sifat, apakah pengalaman manusia semata-mata individual
atau sosial, pada tungkatan apa komunikasi sosial menjadi kontekstual.
Diberlakukannya keempat masalah ontologis tersebut ke dalam pancasila
sebagai sistem filsafat menghasilkan beberapa hal berikut.Pertama, ada
tiga arus utama yang berkembang sebagai pilihan nyata Negara
Indonesia terhadap kedudukan pancasila sebagai sistem filsafat, yaitu (1)
determinisme yang menyatakan bahwa perilaku manusia diakibatkan
oleh banyak kondisi sebelumnya sehingga manusia memang pada
dasarnya bersifat reaktif serta pasif.Pancasila sebagai sistem filsafat lahir
menjadi reaksi atas penjajahan yang telah melanggar HAM sebagaimana
amanat yang telah tertulis pada alinea I Pembukaan UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. (2) pragmatisme yang menyatakan
bahwa manusia telah merencanakan perilakunya agar mencapai tujuan

6
masa depan sehingga manusia adalah makhluk yang aktif serta dapat
mengambil keputusan yang memengaruhi nasib mereka. Sifat aktif inilah
yang akhirnya memunculkan semagat perjuangan untuk membebaskan
bangsa dari ikatan penjajah, hal ini terdapat dalam alinea II Pembukaan
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. (3) aliran berikutnya yaitu
aliran yang berada di posisi tengah (kompromis). Aliran ini menyatakan
bahwa manusia membuat plihan dalam jangkauan yang masih terbatas
atau bahwa perilaku telah ditentukan, sedangkan perilaku laindapat
dilakukan dengan bebas. Ketergantungan pada satu pihak dan kebebasan
pihak lain tercermi dalam alinea III Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Persoalan ontologis ketiga yang dikemukakan Littlejohn and
Fossterkait dengan apakah pengalaman manusia semata-mata individual
ataukah sosial?Dengan berjalannya sejarah Bangsa Indonesia memang
ada beberapa individu-individu yang menonjol, seperti para pahlawan,
tokoh-tokoh pergerakan nasional yang menyumbangkan nama-namanya
dalam sejarah perjuangan bangsa.Namun, ada beberapa pula para
pahlawan serta tokoh pergerakan nasional tersebut yang tidak
memungkinkan untuk bergerak sendiri agar mencapai kemerdekaan
Bangsa Indonesia.Salah satu contohnya adalah saat peristiwa Sepuluh
November di Surabaya..Hal itu membuktikan bahwa Bung Tomo
berhasil menggerakkan semangat rakyat melalui orasi yang
dilakukannya. Dari hal tersebut, manusia dikatakan makhluk individu
baru mempunyai arti ketika berhubungan manusia lain sehingga
sekaligus menjadi makhluk sosial.
Landasan ontologis pada pancasila memiliki arti bahwa sebuah
pemikiran filosofis atas hakikat serta raison d’etre sila-sila pada
pancasila sebagai dasar dari filosofis bangsa Indonesia.Oleh sebab itu,
pengertian terhadap hakikat sila-sila pancasila itu sangat diperlukan
sebagai bentuk atas pengakuan modus eksistensi Bangsa Indonesia.

7
2.2.3 Landasan Epistemologis Filsafat Pancasila
Epistomologi merupakan cabang filsafat pengetahuan yang
menjelaskan mengenai sifat dasar dari pengetahuan, kemungkinan,
lingkup, serta dasar umum dari pengetahuan.Istilah ini juga berhubungan
dengan pengetahuan yang bersifat sui generis, berhubungan dengan
sesuatu yang sederhana dan mendasar.
Masalah pertama untuk mengetahui bahwa ada dua pendapat
yang sama-sama berkembang dan saling berlawanan dalam wacan
epistomologi, yaitu rasionalisme dan empirisme.Kaum rasionalis
memiliki pandangan bahwa akal merupakan satu-satunya sarana serta
sumber dalam memperoleh pengetahuan sehingga pengetahuan bersifat a
priori.Sedangkan, kaum empirisme berpandangan bahwa pengalaman
inderawi merupakan sarana dan sumber pengetahuan sehingga
pengetahuan bersifat a posteriori.Pengetahuan bisa muncul sebelum
pengalaman, dalam kehidupan banga, yaitu ketika menetapkan pancasila
sebagai dasar negara untuk mengatasi perbedaan etnis, religi, dan
budaya.Pancasila diyakini mampu mengatasi keberagaman tersebut
sehingga dari hal tersebut mencerminkan tingkatan pengetahuan yang
dinamakan a priori.
Masalah kedua mengenai pada tingkatan apa pengetahuan dapat
menjadi sesuatu yang pasti berkembang menjadi dua pandangan, yaitu
pengetahuan mutlak dan pengetahuan relatif. Namun, Pancasila dapat
dikatakan sebagai pengetahuan mutlak karena sifat universal yang
terkandung dalam hakikat sila-silanya, yaitu Tuhan, manusia, kesatuan,
rakyat, serta adil yang dapat berlaku dimana saja dan bagi siapa saja.
Landasan epistemologis Pancasila artinya yaitu nilai-nilai pada
Pancasila digali dari pengalaman (empiris) bangsa Indonesia, kemudian
dikembangkan menjadi sebuah pandangan yang komprehensif tentang
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
2.2.4 Landasan Aksiologis Pancasila

8
Istilah “aksiologis” terkait dengan masalah nilai (value).Littlejohn
and Foss mengatakan bahwa aksiologi merupakan cabang filosofi yang
berhubungan dengan penelitian tentang nilai-nilai.Landasan aksiologis
Pancasila artinya nilai atau kualitas yang terkandung dalam sila-sila
Pancasila.Sila pertama mengandung kualitas monoteis, spiritual,
kekudusan, dan sakral.Sila kemanusiaan mengandung nilai martabat,
harga diri, kebebasan, dan tanggung jawab.Sila persatuan mengandung
nilai solidaritas dan kesetiakawanan.Sila keempat mengandung nilai
demokrasi, musyawarah, mufakat, dan berjiwa besar.Sila keadilan
mengandung nilai kepedulian dan gotong royong.
2.3 Menggali Sumber Historis, Sosiologis, Politis tentang Pancasila sebagai
Sistem Filsafat
2.3.1 Sumber Historis Pancasila sebagai Sistem Filsafat
Pada12 Agustus 1928, Soekarno menulis di Suluh Indonesia yang
menyebutan nasionalisme yang membuat manusia menjadi perkakasnya
Tuhan serta membuat manusia hidup dalam roh(Yudi Latif, 2011: 68).
Pembahasan sila-sila pancasila sebagai suatu sistem filsafat dapat
ditelusuri pada sejarah masyarakat Indonesia sebagai berikut:
o Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
Dari zaman purbakala sampai pintu gerbang kemerdekaan
Indonesia, Masyarakat nusantara sudah melewati ribuan tahun
pengaruh agama-agama lokal, seperti pengaruh Hindu –
Buddha(sekitar 14 abad), Islam( sekitar 7 abad), dan Kristen( sekitar
4 abad). Tuhan telah menyejarah dalam ruang publik sejarah. Hal ini
dapat dibuktikan dengan masih berlangsungnya sistem penyembahan
dari berbagai agama-agama di Indonesia. Dalam sistem religi-
politik tradisional di muka bumi, termasuk di Indonesia, agama
mempunyai peranan sentral mengenai pendefinisian institusi-
institusi sosial(Yudi-Latif, 2011: 57--59).

9
o Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
Nilai-nilai kemanusian pada masyarakat dilahirkan dari
perpanduan pengalaman bangsa dalam menyejarah bangsa sejak
dahulu sebagai bangsa maritim yang sudah menjelajah nusantara ,
bahkan dunia. Hal tersebut dapat membentuk karakter bangsa
Indonesia yang disebut dengan istilah Perikemanusiaan atau
Internasionalisme oleh Soekarno. Setelah peristiwa proklamasi
kemerdekaan kemanjuran konsepsi internasionalisme yang
berwawasan kemanusiaan yang adil dan beradab menemukan ruang
pembuktian. Dari jejak perjalanan bangsa Indonesia terlihat bahwa
bahwa sila kemanusiaan yang adil dan beradab mempunyai akar
kuat dalam historisitas kebangsaan Indonesia.
o Sila Persatuan Indonesia
Kebangsaan Indonesia merefleksikan kesatuan dalam
keragaman serta kesilaman dan kebaruan. Indonesia yaitu bangsa
majemuk paripurna yang menakjubkan, karena kemajemukan sosial,
kultural, dan teritorial dapat menyatu dalam komunitas politik
kebangsaan Indonesia. Indonesia bangsa besar yang mewadahi
warisan peradaban nusantara dan kerajan-kerajaan bahari terbesar di
bumi.
o Sila Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan
Dalam Permusyawaratan/Perwakilan
Sejarah menunjukkan bahwa kerajaan-kerajaan pra-Indonesia
yaitu kerajaan feodal yang dikuasai raja-raja autokrat. Namun, nilai-
nilai demokrasi pada taraf tertentu sudah berkembang dalam budaya
nusantara dan dipraktikkan oleh unit politik terkecil, seperti desa di
Jawa, Banjar di Bali, nagari di Sumatera dan sebagainya.. Hatta juga
mengatakan dua anasir tradisi demokrasi di Nusantara yaitu hak
untuk mengadakan protes pada peraturan raja yang tidak adil dan

10
hak menyingkir dari kekuasaan raja yang tidak disukai (Yudi-Latif,
2011: 387--388).
o Sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Masyarakat adil dan makmur merupakan impian kebahagian
yang terpahat pada ungkapan “Gemah ripah loh jinawi, tata tentrem
kerta raharja”. Demi impian masyarakat yang adil dan makmur itu
para pejuang mengorbankan dirinya guna mewujudkan cita-cita
bangsa. Sejarah mencatat bangsa Indonesia dahulu hidup adil dan
makmur, kemudian dirampas oleh kolonialisme(Yudi-
Latif,2011:493-494).
2.3.2 Sumber Sosiologi Pancasila sebagai Sistem Filsafat
Sumber sosiologis Pancasila sebagai sistem filsafat dapat
diklasifikasikan ke dalam 2 kelompok. Kelompok pertama yaitu
masyarakat awam yang memahami pancasila sebagai bentuk pandangan
hidup atau kearifan lokal yang memperlihatkan unsur-unsur filosofis
pancasila yang masih terbentuk pedoman hidup yang praktis pada
kehidupan, Way of life yang ada dalam agama, budaya dan adat istiadat
dari suku di Indonesia. Kelompok kedua, masyarakat ilmiah-akademis
yang memahami pancasila sebagai sebagai sistem filsafat dengan teori-
teori yang bersifat akademis.
Menurut Notonagoro Pancasila sebagai sistem filsafat adalah
kesatuan yang utuh tidak bisa dipisahkan atau berhubungan secara
koheran. Notonagoro menggambarkan kesatuan dan hubungan sila-sila
pancasila dalam bentuk kesatuan dan hubungan hierarkis piramidal yang
bentuk piramidanya bertingkat lima, dengan sila pancasila pertama
berada di puncak dan sila kelima sebagai alas.dan kesatuan hubungan
yang saling mengisi.
Rumusan hierarkis piramidal itu dapat digambar sebagai berikut:

11
o Sila pertama pancasila menjiwai dan meliputi sila kedua
pancasila, sila ketiga pancasila, sila keempat pancasila dan sila
kelima pancasila.
o Sila kedua pancasila dijiwai dan diliputi oleh sila pertama
pancasila, menjiwai dan meliputi sila ketiga pancasila, sila
keempat pancasila dan sila kelima pancasila.
o Sila ketiga pancasila dijiwai dan diliputi oleh sila pertama
pancasila, sila kedua pancasila, menjiwai dan meliputi sila
keempat pancasila dan sila kelima pancasila.
o Sila keempat pancasila dijiwai dan diliputi oleh sila pertama
pancasila,sila kedua pancasila,sila ketiga pancasila, menjiwai
dan meliputi, dan sila kelima pancasila.
o Sila kelima pancasila dijiwai dan diliputi , oleh sila pertama
pancasila, sila kedua pancasila, sila ketiga pancasila, sila
keempat pancasila dan sila kelima pancasila (Kaelan, 2003:
60-61).
2.3.3 Sumber Politis Pancasila sebagai Sistem Filsafat
Awalnya pancasila adalah konsensus politik, lalu berkembang
menjadi sistem filsafat.Sumber politis pancasila sebagai sistem filsafat
diklasifikasikan kedalam dua kelompok. Kelompok pertama meliputi
meliputi wacana politis tentang Pancasila sebagai sistem filsafat pada
sidang BPUPKI, sidang PPKI, dan kuliah umum Soekarno antara tahun
1958 dan 1959, mengenai pembahasan sila-sila pancasila secara filosofis.
Kelompok kedua mencakup argumen politis mengenai Pancasila sebagai
sistem filsafat yang kembali disuarakan pada masa reformasi(pidato
politik Habibie 1 Juni 2011).
Wacana politis tentang Pancasila sebagai sistem filsafat
mengemuka saat Soekarno melontarkan konsep Philosofische Grondslag,
dasar filsafat negara. Artinya, kedudukan Pancasila diletakkan sebagai

12
dasar kerohanian bagi penyelenggaraan kehidupan bernegara di
Indonesia . Pada 22 Mei 1958 di Istana Negara , Soekarno dalam kuliah
umum menegaskan tentang kedudukan Pancasila sebagai
Weltanschauung yang dapat mempersatukan bangsa Indonesia dan
menyelamatkan negara Indonesia dari disintegrasi bangsa (Soekarno,
2001:65).
Soekarno juga membahas sila-sila pancasila, sila kesatu yang
garis besarnya manusia di Indonesia percaya pada tuhan sesuai penganut
masing-masing. Apabila elemen Ketuhanan ini dibuang, berarti telah
membuang sesuatu yang mempersatukan batin segenap bangsa Indonesia
dan jika tidak dimasukkan maka akan kehilangan salah satu leitstar yang
utama dalam kehidupan bangsa.Oleh karena itu, elemen Ketuhanan perlu
dimasukkan ke dalam sila-sila Pancasila, karena menjadi bintang
penuntun atau pedoman dalam bertindak (Soekarno, 2001: 93).
Selanjutnya, Soekarno menjelaskan tentang Sila II tentang upaya
mencegah timbulnya semangat nasionalisme yang berlebihan sehingga
terjebak ke dalam chauvinisme atau rasialisme.Soekarno menegaskan
nasionalisme ala Hitler merupakan nasionalisme yang tidak
berperikemanusiaan karena didasarkan pada sikap chauvinistis
(Soekarno, 2001: 142).Pada Juli 1958 di Istana Negara, Soekarno
memberikan kuliah umum tentang Sila III.Soekarno bertitik tolak dari
berbagai pengertian tentang bangsa yang diambilnya dari berbagai
pemikiran, seperti teori Ernest Renan yang mengatakan bahwa bangsa itu
sekumpulan manusia yang memiliki keinginan bersatu hidup bersama
(Le desire d’etre ensemble). Soekarno juga menyetir pendapat Otto
Bauer yang mengatakan bahwa bangsa adalah persatuan, persamaan
watak, yang dilahirkan, karena persamaan nasib dan Soekarno
menyimpulkan bahwa bangsa hidup dalam suatu kesatuan yang kuat
dalam sebuah negara dengan tujuan untuk mempersatukan (Soekarno,
2001: 114).

13
Pada 3 September 1958 di Istana Negara, Sila IV Soekarno
memberikan kuliah umum tentang sila kerakyatan pada Soekarno
mengatakan bahwa demokrasi yang harus dijalankan adalah demokrasi
Indonesia, yang membawa keperibadian Indonesia sendiri. Demokrasi
yang dimaksud bukanlah sekadar alat teknis, melainkan suatu alam jiwa
pemikiran dan perasaan bangsa Indonesia (Soekarno, 2001: 165).Pada 21
Februari 1959 di Dalam kuliah umum seminar Pancasila di Yogyakarta,
Soekarno menguraikan tetang arti sila V sebagai berikut: Keadilan sosial
bagi bangsa Indonesia merupakan keharusan karena hal itu amanat dari
para leluhur bangsa Indonesia yang menderita pada masa penjajahan, dan
para pejuang yang telah gugur dalam memperjuangkan kemerdekaan
(Soekarno, 2011: 191).
Kelompok kedua, diwakili Habibie pada pidato 1 Juni 2011 yang
menyuarakan kembali pentingnya Pancasila bagi kehidupan bangsa
Indonesia.Setelah dilupakan pada saat sekitar satu dasawarsa pada eforia
politik di awal reformasi. Pidato Habibie dapat diuraikan sebagai berikut:
Pertama, pernyataan Habibie mengenai kedudukan Pancasila sebagai
dasar filosofis bangsa Indonesia dalam dinamika sejarah sistem politik
sejak Orde Lama sampai era reformasi. Kedua, pernyataan Habibie
mengenai faktor-faktor perubahan yang menimbulkan pergeseran nilai
dalam kehidupan bangsa Indonesia sehingga diperlukan reaktualisasi
Pancasila.
Sumber politis Pancasila sebagai sistem filsafat juga berlaku atas
kesepakatan penggunaan simbol dalam kehidupan bernegara. Garuda
Pancasila adalah salah satu simbol dalam kehidupan bernegara.Menurut
teori Semiotika Peirce, simbol yaitu bentuk tanda yang didasarkan pada
konvensi. (Berger, 2010: 247). Makna simbol ditentukan oleh suatu
persetujuan atau kesepakatan bersama, atau sudah diterima oleh umum
sebagai suatu kebenaran. Burung Garuda, diterima sebagai simbol oleh

14
bangsa Indonesia melalui proses panjang termasuk dalam konvensi. Arti
dalam lambang garuda pancasila sebagai berikut:
 Garuda Pancasila merupakan Burung Garuda yang dikenal melalui
mitologi kuno dalam sejarah bangsa Indonesia. Garuda digunakan
sebagai Lambang Negara untuk menggambarkan bahwa Indonesia
adalah bangsa yang besar dan negara yang kuat.
 Warna keemasan pada Burung Garuda melambangkan keagungan
serta kejayaan.
 Garuda mempunyai paruh, sayap, cakar, serta ekor yang
melambangkan kekuatan dan tenaga pembangunan.
 Jumlah bulu melambangkan hari jadi Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia pada 17 Agustus 1945, di antaranya: 17 helai bulu pada
masing-masing sayap,8 helai bulu pada ekor, 19 helai bulu di bawah
perisai atau pada pangkal ekor dan 45 helai bulu di leher.
 Perisai yaitu tameng yang telah lama dikenal dalam kebudayaan serta
peradaban Indonesia sebagai bagian senjata yang melambangkan
perjuangan, pertahanan, dan perlindungan diri untuk mencapai
tujuan.
 Di tengah-tengah perisai terdapat garis hitam tebal yang melukiskan
garis khatulistiwa yang menggambarkan lokasi NKRI sebagai negara
tropis yang dilintasi garis khatulistiwa.
 Warna dasar pada ruang perisai yaitu warna bendera Indonesia
"Merah-Putih", sedangkan tengah berwarna dasar hitam.
 Pada perisai terdapat lima buah ruang yang mewujudkan dasar negara
 Pancasila. Pengaturan pada lambang perisai adalah sebagai berikut:
 Rancangan awal burung garuda dibuat oleh Sultan Hamid II yang
lahir dengan nama Syarif Abdul Hamid Alkadrie.
2.4 Membangun Argumen tentang Dinamika dan Tantangan Pancasila sebagai
Sistem Filsafat

15
2.4.1 Dinamika Pancasila sebagai Sistem Filsafat
Pada era pemerintahan Soekarno, Pancasila sebagai sistem
filsafat dikenal dengan istilah “Philosofische Grondslag”.Soekarno
merencanakan berdirinya negara Indonesia merdeka dengan perenungan
filosofis gagasan tersebut.Ide tersebut dimaksudkan sebagai dasar
kerohanian bagi penyelenggaraan kehidupan bernegara.Beberapa
kalangan terutama dalam sidang BPUPKI pertama pada tanggal 1 Juni
1945 berpendapat positif tentang ide tersebut.Namun, ide tentang
Philosofische Grondslag belum diuraikan secara rinci, lebih merupakan
adagium politik untuk menarik perhatian anggota sidang, dan bersifat
teoritis.Saat itu, Soekarno lebih menekankan bahwa filsafat asli
Indonesia yang diangkat dari akulturasi budaya bangsa Indonesia
merupakan pengertian dari Pancasila.
Pada era pemerintahan Soeharto, kedudukan Pancasila sebagai
sistem filsafat berkembang ke arah yang lebih praktis atau lebih tepatnya
weltanschauung yang memiliki arti filsafat Pancasila tidak hanya
bertujuan mencari kebenaran dan kebijaksanaan, tetapi juga digunakan
sebagai pedoman hidup sehari-hari.Soeharto mengembangkan sistem
filsafat Pancasila menjadi penataran P-4 karena atas dasar tersebut.
Pada era reformasi, Pancasila sebagai sistem filsafat kurang
terdengar resonansinya.Namun, dalam wacana akademik, Pancasila
sebagai sistem filsafat bergema termasuk kritik dan renungan yang
dilontarkan oleh Habibie dalam pidato 1 Juni 2011.
2.4.2 Tantangan Pancasila sebagai Sistem Filsafat
Bentuk-bentuk tantangan terhadap Pancasila sebagai sistem
filsafat muncul sebagai berikut :
Pertama, kapitalisme, yaitu aliran yang meyakini bahwa
kebebasan individual pemilik modal untuk mengembangkan usahanya
dalam rangka meraih keuntungan sebesar-besarnya merupakan upaya
untuk menyejahterakan masyarakat.Meletakkan kebebasan individual

16
secara berlebihan sehingga dapat menimbulkan berbagai dampak negatif
merupakan salah satu bentuk tantangan kapitalisme terhadap Pancasila.
Dampak negatif nya seperti monopoli, gaya hidup konsumerisme, dan
lain-lain.
Kedua, komunisme, yaitu sebuah paham yang muncul sebagai
reaksi atas perkembangan kapitalisme sebagai produk masyarakat
liberal.Aliran yang meyakini bahwa kepemilikan modal dikuasai oleh
negara untuk kemakmuran rakyat secara merata merupakan pengertian
komunisme.Salah satu bentuk tantangan komunisme terhadap Pancasila
sebagai sistem filsafat ialah dominasi negara yang berlebihan sehingga
dapat menghilangkan peran rakyat dalam kehidupan bernegara.
2.5 Mendeskripsikan Esensi dan Urgensi Pancasila sebagai Sistem Filsafat
2.6.1 Esensi (hakikat) Pancasila sebagai Sistem Filsafat
Hakikat (esensi) Pancasila sebagai sistem filsafat terletak pada
hal-hal sebagai berikut:
Pertama, hakikat hukum ketuhanan terletak pada kepercayaan
masyarakat Indonesia tuhan adalah prinsip utama dari semua kehidupan
makhluk. Artinya setiap makhluk, termasuk warga negara, harus
memiliki di satu sisi ada otonomi (kebebasan, kemandirian), dan
sadarilah bahwa sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, yang akan
ditanya bertanggung jawab atas semua tindakan yang diambil. Artinya,
kebebasan selalu menghadapi tanggung jawab, dan tanggung jawab yang
tertinggi adalah Sang Pencipta.
Kedua, hakikat sila manusia adalah satu pribadi, yang terdiri
dari: Dibagi menjadi 3 monisme, yaitu konstitusi alam (jiwa, tubuh), sifat
alam (makhluk) pribadi, sosial), posisi alamiah (otonom dan makhluk
Tuhan) (Notonagoro).
Ketiga, esensi dari prinsip persatuan berkaitan dengan semangat
nasionalisme. Bau ekspresi bangsa adalah cinta tanah air. 3 tipe yaitu
rumah realitas, rumah formal dan rumah spiritual.

17
Keempat, esensi sila kerakyatan adalah musyawarah. Artinya,
keputusan yang dibuat didasarkan pada semangat yang bijaksana
konsensus, daripada membuktikan pendapat mayoritas tanpa peduli
pendapat minoritas.
Kelima, hakikat asas keadilan tercermin dalam tiga aspek, yaitu
keadilan Distributif, Legitimasi, dan Pertukaran. Keadilan distributif
adalah keadilan pembagian dari negara menjadi warga negara. Keadilan
hukum adalah kewajiban warga negara menentang negara atau tunduk
pada keadilan. Keadilan pertukaran keadilan adalah keadilan antar
sesama (Notonagoro in Kellan, 2013: 402).
2.5.2 Esensi Urgensi Pancasila sebagai Sistem Filsafat
Hal penting yang urgen bagi pengembangan Pancasila sebagai
sistem filsafat meliputi hal-hal sebagai berikut:
Pertama, hal yang dapat memulihkan harga diri bangsa
Indonesia sebagai bangsa yang merdeka dalam politik, yuridis, dan juga
merdeka dalam mengemukakan ide-ide pemikirannya untuk kemajuan
bangsa, baik secara materiil maupun spiritual yaitu dengan meletakkan
Pancasila sebagai sistem filsafat.
Kedua, Pancasila sebagai sistem filsafat membangun alam
pemikiran yang berakar dari nilai-nilai budaya bangsa Indonesia sendiri
sehingga mampu dalam menghadapi berbagai ideologi dunia.

Ketiga, Pancasila sebagai sistem filsafat dapat menjadi dasar


pijakan untuk menghadapi tantangan globalisasi yang dapat melunturkan
semangat kebangsaan dan melemahkan sendi-sendi perekonomian yang
berorientasi pada kesejahteraan rakyat banyak.

Keempat, Pancasila sebagai sistem filsafat dapat menjadi way of


life sekaligus way of thinking bangsa Indonesia untuk menjaga
keseimbangan dan konsistensi antara tindakan dan pemikiran.
Ketidakseimbangan antara cara bertindak dan cara berpikir sehingga

18
menimbulkan kerusakan lingkungan dan mental dari suatu bangsa
merupakan contoh bahaya yang ditimbulkan di kehidupan modern
dewasa ini.
2.6 Inti Sila-Sila Pancasila
Sebagai dasar filsafat negara mka sila-sila pancasila merupakan sistem
nilai dan hakikatya suatu kesatuan. Walaupun setiap sila terkandung nilai-nilai
yang mempunyai perbedaan satu sama lain, tetapi itu masih kesatuan yang
sistematis. Oleh karena itu dalam uraian berikut ini menjelaskan nilai-nilai yang
terkandung dalam setiap sila, namun semuanya itu tidak dapat di lepaskan
keterkaitannya dengan yang lainnya. Nilai-nilai yang terkandung di dalam setiap
sila adalah sebagai berikut:
2.6.1 Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
Sila pertama ini nilai-nilainya meliputi dan menjiwai keempat
sila yang lain. Pada sila Ketuhanan Yang Maha Esa terkadung nilai
bahwa Negara yang didirikan yaitu tujuan manusia sebagai makhluk
tuhan yang maha esa. Oleh sebab itu segala hal yang berkaitan dengan
pelaksanaan atau penyelenggaran Negara, moral penyelenggaraan
Negara,moral Negara, politik Negara, pemerintahan Negara, hukum dan
peraturan perundang-undangan Negara, kebebasan dan hak asasi warga
Negara harus di jiwai dengan nilai-nilai ketuhanan yang maha esa.
2.6.2 Sila Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab
Sila kedua secara sistematis di dasari dan di jiwai oleh sila
pertama, serta mendasari dan menjiwai ketiga sila berikutnya. Sila
kemanusian dasar fundamental dalam kehidupan kenegaraan,
kebangsaan, serta kemasyarakatan. Nilai kemanusiaan bersumber pada
dasar filosofis antropologis bahwa hakikat manusia merupakan susunan
kodrat rohani (jiwa) serta raga, sifat kodrat individu dan makhluk sosial,
kedudukan kodrat makhluk pribadi berdiri sediri serta sebagai makhluk
tuhan Yang Maha Esa.
2.6.3 Persatuan Indonesia

19
Nilai yang terkandung dalam sila ketiga tidak dapat di pisahkan
dengan keempat sila yang lainnya, karena seluruh sila merupakan
kesatuan yang bersifat sistematis. Pada sila persatuan Indonesia
terkandung nilai Negara yaitu sebagai penjelmaan sifat kodrat manusia
monodualis sebagai makhluk individu serta makhluk social. Negara yaitu
suatu persekutuan hidup bersama diantara elemen-elemen yang
membentuk Negara(suku, ras, kelompok, golongan atau kelompok
agama) dan perbedaan adalah kodrat manusia serta ciri khas elemen-
elemen yang membentuk Negara. Konsekuensinya Negara yang
beraneka ragam tetapi satu, mengikatkan diri pada kesatuan yang di
lukiskan dalam Bhinneka Tunggal Ika.
Nilai persatuan Indonesia di dasari serta di jiwai oleh sila pertama
dan sila kedua. Hal ini terkandung nilai bahwa nasionalisme Indonesia
yaitu nasionalisme religious yang bermodal ketuhanan yang maha esa,
nasionalisme yang humanistik yang menjungjung tinggi harkat serta
martabat manusia sebagai makhluk tuhan..
2.6.4 Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam
Permusyawaratan/Perwakilan
Nilai yang terkandung di dalam sila ke 4 didasari oleh sila
pertama, sila kedua, dan sila ketiga, serta mendasari juga menjiwai sila
kelima.Adapaun nilai filosofis yang terdapat di dalamnya yaitu hakikat
negara sebagai perwujudan dari sifat manusia yang merupakan makhluk
individu dan sosial.Sekelompok manusia sebagai makhluk Tuhan YME
yang bersatu serta bertujuan untuk mewujudkan harkat dan martabat
manusia di suatu wilayah negara merupakan hakikat rakyat. Negara
merupakan perwujudan sebenarnya dari dari rakyat, oleh rakyat, dan
untuk rakyat.
2.6.5 Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Nilai yang terdapat dalam sila kelima didasari serta dijiwai oleh
sila pertama, sila kedua, sila ketiga, dan sila keempa

20
BAB III
PENUTUP
3.1 Saran
Pentingnya pemahaman pancasila sebagai sistem filsafat perlu diberikan
atau diajarkan di lingkungan pendidikan kepada seluruh masyarakat Indonesia
supaya masyarakat bisa bertanggung jawab secara nasional dan mendasar
mengenai sila-sila dalam pancasila sebagai prinsip-prinsip politik.Setelah
mempelajari pancasilasebagai sistem filsafat ini, masyarakat bukan hanya
sekadar menghafal teori saja, tetapi diharapkan untuk menerapkan dalam
kehidupan sehari-hari.Dimana perilaku sehari-hari masyarakat harus sesuai apa
yang telah dipelajari dalam sistem filsafat pancasila seperti, masyarakat harus
toleransi dalam menerima latar belakang yang berbeda,masyarakat harus
bergotong-royong dalam keragaman agama dan budaya. Masyarakat juga harus
bisa mengaitkan sila yang satu dengan sila yang lainnya. Selain itu diperlukan
penjabaran yang lebih lanjut sehingga menjadi operasional dalam
penyelenggaraan negara atau menjadi kerangka evaluasi pada kegiatan-kegiatan
yang memiliki keterkaitan dengan kehidupan berbangsa dan bernegara
3.2 Kesimpulan
Sejak para pendiri negara membicarakan masalah dasar filosofis negara
dan pandangan hidup bangsa, pancasila sudah dikenal sebagai sistem filsafat.
Pancasila sebagai sistem filsafat yang di dalamnya terkandung pengertian yang
lebih akademis memerlukan perenungan lebih dalam meskipun kedua istilah
tersebut mengandung muatan filosofis. Di dunia akademis filsafat pancasila
merupakan istilah yang sudah mengemuka. Terdapat dua pendekatan yang
berkembang pada pengertian filsafat pancasila, yaitu pancasila sebagai genetivus

21
objectivus serta pancasila sebagai genetivus subjectivus. Pancasila sebagai
genetivus objectivus dan genetivus subjectivus merupakan pendekatan yang
saling melengkapi, karena yang pertama memposisikan pancasila sebagai aliran
atau objek yang dikaji oleh beberapa aliran filsafat lainnya, sedangkan yang
kedua memposisikan pancasila sebagai objek yang mengkaji beberapa aliran
filsafat lainnya. Hal yang penting dari pancasila sebagai sistem filsafat yaitu
supaya dapat diberikan tanggung jawab yang rasional serta mendasar tentang
sila-sila dalam pancasila sebagai prinsip-prinsip politik, supaya dapat dijabarkan
lebih lanjut sehingga menjadi operasional dalam penyelenggara negara, supaya
dapat membuka percakapan dengan berbagai pandangan baru dalam kehidupan
berbangsa serta bernegara, dan supaya dapat menjadi susunan evaluasi kepada
segala kegiatan yang tersangkut paut dalam kehidupan bernegara, berbangsa,
serta bermasyarakat.

22
DAFTAR PUSTAKA

Intan Ahmad. 2016. Pendidikan Pancasila.https://luk.staff.ugm.ac.id/atur/mkwu/8-


PendidikanPancasila.pdf. Diakses pada tanggal 12 Maret 2022 pukul 10.30 WIB.

Fitri Nurrunnisa, Jawad Mughofar KH, Khorru Sujjada S. 2014. Pancasila sebagai
Sistem
Filsafat.https://d1wqtxts1xzle7.cloudfront.net/37948734/Pancasila_Sebagai_Sistem_Fil
safat-with-cover-page-v2.pdf?Expires=1647578451&Signature=SyuGTHT4k6b~4-
T51DeDKnnJ4xqNk01ub5KB6bt2MX9gBH4WfI1kDFrc33s1cGuh892fWP7~NVACO
aQMOoS5BZ0hncqgDMQPnygaUBIZ0CXtHPXxAMIGfPOXqE897S44069L9WelQO
WOg6VpTyhtezNcRrUGJjaDlZG6gFY2Rc6shPXwNt0OAPPZbWAmwSrBxiyJ2YPv0
g9yNEATKAwMwT~hgw46edTMopMe3R42RBqudD7gBFvQNZeRlhEO4jdntx71zX
u8TAwLzgPpVwg602O5o6Di9tFQk5lJlP6MwKxJBRzsM5q4nwBBTKXQlq2CWPAw
9Doo44hr0pJA__&Key-Pair-Id=APKAJLOHF5GGSLRBV4ZA. Diakses pada tanggal
13 Maret 2022pukul 12.00 WIB.

23

Anda mungkin juga menyukai