Anda di halaman 1dari 3

Bela negara 

adalah sebuah konsep yang disusun oleh perangkat perundangan dan petinggi


suatu negara tentang patriotisme seseorang, suatu kelompok atau seluruh komponen dari
suatu negara dalam kepentingan mempertahankan eksistensi negara tersebut. Secara fisik, hal
ini dapat diartikan sebagai usaha pertahanan menghadapi serangan fisik atau agresi dari pihak
yang mengancam keberadaan negara tersebut, sedangkan secara non-fisik konsep ini diartikan
sebagai upaya untuk serta berperan aktif dalam memajukan bangsa dan negara, baik melalui
pendidikan, moral, sosial maupun peningkatan kesejahteraan orang-orang yang menyusun
bangsa tersebut.

Landasan konsep bela negara adalah adanya wajib militer. Subyek dari konsep ini
adalah tentara atau perangkat pertahanan negara lainnya, baik sebagai pekerjaan Bela yang
dipilih atau sebagai akibat dari rancangan tanpa sadar (wajib militer). Beberapa negara
(misalnya Israel, Iran) dan Singapura memberlakukan wajib militer bagi warga yang memenuhi
syarat (kecuali dengan dispensasi untuk alasan tertentu seperti gangguan fisik, mental atau
keyakinan keagamaan). Sebuah bangsa dengan relawan sepenuhnya militer, biasanya tidak
memerlukan layanan dari wajib militer warganya, kecuali dihadapkan dengan krisis perekrutan
selama masa perang.

Di beberapa negara, seperti Amerika Serikat, Jerman, Spanyol dan Inggris, bela


negara dilaksanakan pelatihan militer, biasanya satu akhir pekan dalam sebulan. Mereka dapat
melakukannya sebagai individu atau sebagai anggota resimen,
misalnya Tentara Teritorial Britania Raya. Dalam beberapa kasus milisi bisa merupakan bagian
dari pasukan cadangan militer, seperti Amerika Serikat National Guard.

Di negara lain, seperti Republik China (Taiwan), Republik Korea, dan Israel, wajib untuk


beberapa tahun setelah seseorang menyelesaikan dinas nasional.

Sebuah pasukan cadangan militer berbeda dari pembentukan cadangan, kadang-kadang


disebut sebagai cadangan militer, yang merupakan kelompok atau unit personel militertidak
berkomitmen untuk pertempuran oleh komandan mereka sehingga mereka tersedia untuk
menangani situasi tak terduga, memperkuat pertahanan negara.

Hari Bela Negara atau HBN adalah hari bersejarah Indonesia yang jatuh pada tanggal 19


Desember untuk memperingati deklarasi Pemerintahan Darurat Republik Indonesia oleh
Mr. Sjafruddin Prawiranegara di Sumatera Barat pada tahun 19 Desember 1948. Keputusan ini
ditetapkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui Keppres No.28.

Senin 19 Oktober 2015, pendaftaran program Bela Negara baru akan dibuka. Sebanyak 4.500
kader pembina Bela Negara di 45 kabupaten/kota seluruh Indonesia akan dibentuk dan hampir
setengah dari jumlah penduduk Indonesia, 100 juta jiwa dengan usia di bawah 50 tahun
ditargetkan ikut program tersebut.

Masyarakat sipil yang ikut dalam program tersebut akan dilatih selama sebulan. Dikatakan
bahwa pelatihan difokuskan pada revolusi mental dari materi bela negara yang diberikan,
meliputi: pemahaman empat pilar negara, sistem pertahanan semesta dan pengenalan alutsista
TNI, dan ditambah lima nilai cinta tanah air, sadar bangsa, rela berkorban, dan pancasila
sebagai dasar negara. Pelatihan fisik tidak terlalu dibebankan, melainkan baris berbaris saja.
Usai mendapat latihan, mereka akan mendapat sebuah kartu anggota Bela Negara. Lucunya,
kartu itu tidak mempunyai nilai khusus bagi warga yang pernah mengikuti pelatihan Bela
Negara.
Pemerintah menilai program ini hanya sebagai upaya pembentukan kader bela negara dan
gagasan pemerintah untuk mempersiapkan rakyat menghadapi dua bentuk ancaman, yakni
ancaman militer dan nirmiliter, didasarkan Pasal 27 UUD 1945 dan UU Pertahanan Nomor 3
Tahun 2002. Pun demikian, pro kontra pasti tetap akan muncul dari berbagai kalangan.

Revolusi mental berikut kesiapan dalam pelaksanaan terkait bela negara jelas menjadi alasan
didukungnya program tersebut. Mengingat kondisi pemerintah sendiri ‘dihuni’ oleh banyak
kepentingan yang belum tentu menginginkan Indonesia tetap berdiri kokoh, dikhawatirkan
akan menjadi celah ancaman tersendiri. Bahkan program ini dianggap sebagai pengalihan isu
nasional lain yang sedang terjadi di Indonesia, seperti pelemahan kekuatan KPK oleh DPR, atau
bahkan hanya untuk memutar kas negara saja.

Masalah kesiapan juga harus diperhatikan. Sarana pelatihan yang dimiliki Badiklat (Badan
Pendidikan dan Pelatihan) Kemenhan, harus dipastikan mampu menampung 833 ribu orang
perbulan jika ditargetkan 100 juta orang dalam 10 tahun. Sosialisai juga seharusnya dilakukan
secara massive, mengingat program tersebut untuk seluruh warga Indonesia di bawah usia 50
tahun, yang boleh jadi masih berpikiran negatif terhadap program tersebut, terutama mengenai
konsep bela negara yang bukan berarti wajib militer. Jangan sampai, program yang akan mulai
dijalankan dalam beberapa bulan lagi tersebut, tidak memiliki infrastruktur yang sesuai
sehingga program terkesan dilaksanakan dengan seadanya atau bahkan seolah-olah diada-
adakan saja, dan tentu jangan sampai masyarakatnya sendiri tidak mengeti apa yang harus
mereka ikuti, lakukan dan apa yang dapat mereka peroleh.

Ditinjau dari sisi penyediaan fasilitas dan sosialisasi saja tentu terlihat akan berdampak luar
biasa besar pada anggaran, yang bahkan sampai saat ini pembicaraan lebih rinci mengenai
anggaran antara pemerintah dengan DPR belum dilakukan. Jelas, menjadi kontra dari sisi
lainnya.

Usulan program bela negara yang diajukan Kemenhan tersebut sedikit banyak membuat
kiranya penulis tertarik membahas pula topik mengenai wajib militer.

Luasnya wilayah Indonesia, ditambah lautan yang mengelilinginya jelas membuat Indonesia
menjadi sangat rawan terhadap serangan luar. Keamanan negara seperti yang diamanatkan
UUD 1945 memang bukan hanya urusan tentara saja, melainkan seluruh rakyat Indonesia
walaupun sebatas komponen cadangan sistem pertahanannya.

Idealnya sebuah negara memiliki 0,4%  dari jumlah penduduknya untuk alat kelengkapan
negara. Sementara jumlah personel kelengkapan negara Indonesia tidak mencapai angka 1 juta
melainkan 413 ribu personel yang terdiri dari 317 ribu personel TNI AD, 82 ribu personel TNI AL,
serta 34 ribu personel TNI AU. Tetap saja, apa wajib militer bisa dijadikan solusi terkait fakta
tersebut?
Terlihat cukup banyak negara yang menjalankan program wajib militer. Bahkan, negara
tetangga Indonesia, Singapura, juga ikut melaksanakan program wajib militer, pun Malaysia,
walaupun di sana disebut Program Latihan Khidmad Negara (PLKN) dan tidak se-“wajib militer”
yang seharusnya. Sedikit informasi bahwa program Bela Negara dalam bentuk wajib militer
sebenarnya pernah diterapkan Indonesia di era tahun 1990an. Salah satu program yang
diluncurkan oleh pemerintah pada tahun 1992 adalah alumni STPDN/IPDN angkatan pertama
yang menjalani wajib militer selama dua tahun. Para alumni STPDN/IPDN tersebut, setelah
menjalani pendidikan di kampusnya, dilanjutkan dengan pendidikan pada Sekolah Calon
Perwira (Secapa) di Bandung dan kemudian ditugaskan selama dua tahun di teritorial TNI.
Program wajib militer tersebut kemudian dihentikan pada tahun 1993 karena saat itu ada
kebijakan baru terkait wajib militer.

Program wajib militer boleh dikatakan tidak praktis. Tentara cadangan yang dilatih hanya
sekitar 30 hari, mungkin hanya sempat untuk latihan baris berbaris. Umumnya, mereka hanya
mendapat uang saku. Padahal, waktu tersebut mempengaruhi produktivitas mereka dalam
kegiatan masing-masing, yang jelas merugikan. Jumlah dana APBN untuk bidang pertahanan
hanya 0,77 % dari total seluruh APBN (data statistik). Ini hanya untuk cukup untuk membiayai
komponen utama saja bahkan dirasa masih kurang karena jumlah dana yang pantas untuk
membiayai seluruh personel ini adalah 2% total APBN. Dibanding mengadakan program wajib
militer, penguatan pertahanan melalui anggaran APBN, seperti untuk penambahan Alusista
atau evaluasi sistem keamanan yang telah ada bisa menjadi solusi.

Sikap bela negara memang sangat penting dimiliki bagi setiap warga suatu negara dan harus
ditumbuhkan berdasarkan pada identitas negara tersebut. Sikap bela negara, tidak hanya
berarti mau dan mampu mempertahankan negara. Bukan berarti pula tidak mempertahankan
negara berarti tidak memiliki sifat nasionalis. Nasionalisme tidak sesempit demikian. Program-
program yang dibuat untuk menumbuhkan sikap bela negara harus benar-benar dievaluasi dari
berbagai aspek. Tidak hanya melulu memikirkan tujuan, tapi proses dan pelaksanaan juga
penting, bahkan persiapannya lebih penting lagi. Pro dan kontra dalam program yang diajukan
memang hampir mustahil tidak bermunculan, tapi semoga saja program yang diajukan dan
dibuat pemerintah memang sudah berdasarkan pemikiran-pemikiran yang terbaik. (FI)

Anda mungkin juga menyukai