kasus: Objek Wisata Gua Karim, Telaga Nyadeng, dan Gua Tewet)
Abstrak
Kawasan Karst Sangkulirang Mangkalihat memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai
UNESCO Global Geopark berdasarkan keragaman dan keunikan warisan geologis yang
dimiliki. Maka dari itu, penelitian ini dilakukan untuk mengkaji daya dukung pada objek
wisata yang ada di dalam Kawasan Karst Sangkulirang Mangkalihat agar dapat diketahui
batas jumlah pengunjung yang dapat diperkenankan memasuki objek wisata. Penghitungan
daya dukung dilakukan dengan menggunakan metode Cifuentes untuk memperoleh batas
kunjungan yang dapat diterima oleh objek wisata berdasarkan kondisi fisik, ekologis, dan
manajemen. Berdasarkan hasil kajian, diperoleh batas jumlah kunjungan berdasarkan kondisi
fisik (PCC) pada Gua Bloyot 4.975 orang/hari, Telaga Nyadeng 3.000 orang/hari, dan Gua
Tewet 1.653 orang/hari. Batas jumlah kunjungan berdasarkan kondisi riil RCC yakni Gua
Bloyot 108 orang/hari, Telaga Nyadeng 65 orang/hari, dan Gua Tewet 10 orang/hari.
Kata kunci: daya dukung, geopark, kawasan karst Sangkulirang-Mangkalihat
PENDAHULUAN
Kawasan karst merupakan ekosistem yang unik karena terbentuk dari proses
kartsifikasi, yaitu proses korosi batuan secara kimia oleh air pada batuan gamping atau batuan
lain yang mudah larut hingga menghasilkan berbagai bentuk medan yang unik dan menarik
(LIPI 2017; Soedwiwahjono dan Utomo 2020). Selain memiliki bentang alam yang unik,
karst juga menyimpan kekayaan sumberdaya alam, antara lain sumberdaya air, sumberdaya
lahan, sumberdaya hayati, dan sumberdaya lanskap, baik di bawah permukaan dalam bentuk
gua dan sungai/danau bawah tanah, maupun di permukaan berupa lembah kering, danau,
bukit-bukit karst dan pantai yang berdinding tebal (Hertanto et al. 2011). Kawasan karst
memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat di sekitarnya, baik hidrologis,
ekologis, juga sosial ekonomi (Soedwiwahjono dan Utomo 2020). Karst merupakan sumber
cadangan air terbaik, pengendali hama, pengatur iklim,mendukung kegiatan pertanian di
kawasan sekitarnya, dan sebagai objek wisata. Karst dapat dikembangkan berdasarkan
sumberdaya alamnya, seperti untuk pertanian, peternakan, daya tarik wisata khusus yang
memanfaatkan bentang alam dan bentukan alam, termasuk pemanfaatan sumberdaya mineral
secara berkelanjutan, serta sebagai sumberdaya ilmu pengetahuan (Soedwiwahjono dan
Utomo 2020).
Indonesia memiliki 15,4 juta hektar karst yang tersebar di berbagai pulau di Indonesia
(Yogi 2020). Provinsi Kalimantan Timur merupakan salah satu provinsi yang memiliki
hamparan batuan karbonat atau batu gamping terluas di Indonesia. Menurut data dari pusat
pengendalian pembangunan ekoregion Kalimantan terdapat setidaknya 35.692.500 km2
ekosistem karst yang ada di Kalimantan Timur atau dengan kata lain 28% dari luas daratan di
provinsi tersebut adalah kawasan karst. Kawasan Karst Sangkulirang-Mangkalihat
merupakan salah satu kawasan karst yang berada di Provinsi Kalimantan Timur, tepatnya
berada di Kabupaten Berau dan Kutai Timur. Kawasan tersebut pertama kali dieksplorasi
pada tahun 1995 oleh tim dari negara Perancis untuk menyelidiki gambar pra-sejarah pada
cadas yang berada di dalam gua yang diketahui memiliki usia lebih dari 10.000 tahun
[Rencana Induk Pengelolaan Kawasan Karst]. Kawasan karst Sangkulirang-Mangkalihat
memiliki peninggalan-peninggalan pra sejarah, sehingga pemerintah mengusulkan kawasan
ini sebagai salah satu warisan dunia ke UNESCO. Selain menyimpan sejarah, di kawasan
tersebut hidup 120 spesies burung, 200 spesies serangga dan atropoda, 300 spesies flora dan
50 spesies ikan serta menjadi habitat utama dari satwa endemik Kalimantan, yaitu Orangutan
Kalimantan (Erwandha dan Sulton 2020). Keragaman tersebut mendorong pemerintah dan
berbagai praktisi untuk menjadikan kawasan tersebut sebagai UNESCO Global Geopark guna
menjaga kelestarian kawasan Sangkulirang-Mangkalihat.
Geopark merupakan sebuah solusi sebagai upaya untuk menjaga keragaman dan
kelestarian dengan menjadikan suatu kawasan karst yang memiliki nilai warisan geologi
untuk dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pendidikan, penelitian, pengembangan budidaya,
rekreasi dan pariwisata yang menguntungkan masyarakat sekitarnya (Prasetyo 2013). Guo
dan Chung (2016) mendefinisikan Geopark sebagai wilayah geografis tempat situs warisan
geologi yang menjadi bagian dari konsep holistik perlindungan, pendidikan dan
pembangunan berkelanjutan dalam mempromosikan ekonomi lokal melalui geowisata.
Geopark menurut definisi dari UNESCO adalah sebuah daerah dengan batasan yang sudah
ditetapkan dan memiliki kawasan permukaan yang cukup luas untuk pembangunan ekonomi
lokal (UNESCO 2014). Berdasarkan definisi-definisi tersebut, tujuan utama dari geopark
adalah pembangunan serta pengembangan ekonomi kerakyatan yang berbasis pada asas
perlindungan (konservasi) terhadap keragaman alam, meliputi keragaman geologi
(geodiversity), keragaman hayati (biodiversity), dan keragaman budaya (cultural diversity)
(Komoo 2010; UNESCO 2014; Fauzi dan Misni 2017).
Istilah geopark mulai dikenal pada tahun 2000-an, pada tahun tersebut di Eropa
didirikan European Geoparks Network (EGN), dengan tujuan melindungi warisan geologi
dan mempromosikannya kepada masyarakat untuk mendukung pembangunan ekonomi yang
berkelanjutan dari wilayah geopark terutama melalui pembangunan pariwisata geologi
(Zouros dan Valiakos 2010). Di Indonesia pembangunan geopark dimulai pada 2010 ketika
Kementerian Pariwisata menginisiasikan program pembangunan geopark. Inisiasi tersebut
menghasilkan penetapan 6 kawasan geopark, yakni Toba, Merangin, Rinjani, Gunung Sewu,
Batur dan Raja Ampat sebagai geopark nasional (Hidayat dan Nasution 2019). Pengelolaan
geopark di Indonesia dirancang untuk membantu pelestarian tanah, mendorong pengelolaan
air yang berkelanjutan, melestarikan keanekaragaman tumbuhan dan satwa, memelihara
ekosistem dan mengarah pada apresiasi nilai sejarah dan budaya (Cahyadi dan Newsome
2021). Geopark dianggap sebagai pendekatan konservasi yang inovatif untuk melindungi aset
warisan geologi sekaligus mendorong penelitian ilmiah, pendidikan publik, dan
pengembangan ekonomi lokal (Komoo 2010). Melalui pengalaman yang diperoleh
pengunjung dan masyarakat sekitar dapat memiliki kesadaran dan hubungan yang lebih
dalam dengan warisan geologis, sehingga Geopark menjadi media yang efektif untuk
membawa masyarakat luas menjadi lebih dekat dengan warisan geologis (Guo dan Chung
2016).
Untuk mendukung kawasan karst Sangkulirang-Mangkalihat sebagai Global Geopark,
perangkat upaya pengelolaan untuk memastikan kawasan tersebut tetap lestari adalah salah
satunya dengan mengetahui daya dukung kawasan untuk wisata. Pelestarian kawasan karst
yang sensitif dan rentan harus tetap menjadi hal mendasar yang perlu diperhatikan karena
akan sulit diperbaiki apabila telah mengalami perubahan atau kerusakan (Soedwiwahjono dan
Utomo 2020), oleh karena itu daya dukungnya harus ditentukan (Telbisz dan Mari 2020).
Maka dari itu, penelitian ini dilakukan untuk menghitung daya dukung pada objek wisata
yang berada di Kawasan Karst Sangkulirang-Mangkalihat agar dapat diketahui jumlah
pengunjung yang dapat diterima di tiap objek wisata.
1
PCC= A × × Rf
B
Keterangan:
PCC = Physical Carrying Capacity (orang/hari)
A = Luas areal yang digunakan untuk wisata (m2)
B = Luas areal yang dibutuhkan seorang wisatawan untuk berwisata dengan tetap
memperoleh kenyamanan (m2)
Rf = Faktor rotasi
Keterangan:
RCC = Real carrying capacity (orang/hari)
Cf = Faktor koreksi
Daya dukung efektif (Effective carrying capacity (ECC))
Daya dukung efektif adalah jumlah kunjungan maksimum dimana objek tetap lestari
pada tingkat manajemen yang tersedia. Kapasitas manajemen merupakan penjumlahan dari
semua kondisi pada kawasan perlindungan yang dapat difungsikan secara objektif dan sesuai
dengan tujuan dari pengelolaan kawasan. Kapasitas manajemen dibatasi oleh kriteria sistem
pengelolaan, jumlah staf pengelola dengan perhitungan sebagai berikut:
ECC=RCC × MC
Keterangan:
ECC = Effective Carrying Capacity (orang/hari)
RCC = Real Carrying Capacity (orang/hari)
MC = Management Capacity
MC (Management capacity) dihitung dengan pendekatan jumlah petugas pengelola
kawasan.
Rn
MC= ×100 %
Rt
Keterangan:
Rn = Sumberdaya yang aktif di lokasi (orang)
Rt = Jumlah sumberdaya tetap pengelola (orang)
Tabel 1 Daya Dukung Fisik (PCC) Objek Wisata di Merabu dan Tewet
Luas Area yang Luas Area yang
Disediakan Dibutuhkan oleh Faktor Rotasi PCC
Objek Wisata
Pengelola (A) Pengunjung
(m2) (m2) (kali) (orang/hari)
Merabu
Gua Bloyot 498 1 10 4.975
Telaga Nyadeng 600 1 5 3.000
Tewet
Gua Tewet 85 1 12 1.653
Kelerengan (Cf2)
Kelerengan menjadi faktor pembatas yang akan mempengaruhi jumlah pengunjung
dalam mengakses lokasi objek wisata. Semakin tinggi kelerengannya maka semakin terbatas
pergerakan pengunjung dalam mengakses objek wisata. Gua Bloyot, Telaga Nyadeng, dan
Gua Tewet, ketiganya berada di area yang memiliki topografi bergunung. Namun, ketiga
objek tersebut, memiliki kelerengan yang cukup landai, sehingga tidak menyulitkan
pengunjung saat berada di objek wisata. Mengacu pada klasifikasi kelas lereng SK Menteri
Pertanian No. 837/KPTS/UM/11/1980, kelas lereng landai memiliki nilai 20 (Mn) dan nilai
maksimal kelas lereng adalah 100 (Mt), sehingga diperoleh faktor koreksi kelerengan baik di
Merabu dan Tewet adalah 0,60 (Tabel 4).
KESIMPULAN
Berdasarkan kondisi dan karakteristik Kawasan Karst Sangkulirang-Mangkalihat, diperoleh
angka batas pengunjung yang dapat diterima oleh masing-masing objek wisata. Daya dukung
wisata untuk tiga objek, yakni PCC Gua Bloyot 4.975 orang/hari, Telaga Nyadeng 3.000
orang/hari, Gua Tewet 1.653 orang/hari. RCC Gua Bloyot 108 orang/hari, Telaga Nyadeng
65 orang/hari, dan Gua Tewet 10 orang/hari. Sedangkan daya dukung efektif (ECC) tidak
dapat dihitung karena jumlah petugas yang fluktuatif.
DAFTAR PUSTAKA
Atmoko T, Mardiastuti A, Iskandar E. 2017. Strategi adaptasi Bekantan (Nasalis larvatus
Wurmb 1787) dalam aktivitas harian dan pemilihan pakan di habitat terfragmentasi.
Jurnal Primatologi Indonesia. 14(1): 14-21. ISSN: 1410-5373.
Cahyadi HS, Newsome D. 2021. The post COVID-19 tourism dilemma for geoparks in
Indonesia. International Journal of Geoheritage and Parks.
https://doi.org/10.1016/j.ijgeop.2021.02.003.
Cifuentes AM. 1992. Determination of Tourist Carrying Capacity in Protected Areas.
Turrialba: CATIE.
Erwandha R, Sulton MN. 2020. Analysis of Characteristics, Functions, and Problems in Karst
Sangkulirang-Mangkalihat Region. Journal of Global Environmental Dynamics. 2(1):
19-24. ISSN: 2774-7727.
Fandeli C, Muhammad. 2009. Prinsip-prinsip Dasar Mengkonservasi Lanskap. Yogyakarta
(ID): Gadjah Mada University Press.
Hardoyo D, Muhammad F, Taruna T. 2016. Perencanaan kegiatan wisata pendidikan di
dalam kawasan Geopark Rinjani Lombok berbasis daya dukung lingkungan (studi
daerah Air Berik). Jurnal Ilmu Lingkungan. 14(2): 103-107. ISSN: 1829-8907.
Hertanto HB, Ramelan AH, Budiastuti S. 2011. The development of karst area ecoutourism
object potency in the West Pacitan regency of East Java Province. Jurnal Ekosains.
3(2): 1-25.
Purwanto S, Syaufina L, Gunawan A. 2014. Kajian potensi dan daya dukung Taman Wisata
Alam Bukit Kelam untuk strategi pengembangan ekowisata. Jurnal Pengelolaan
Sumberdaya Alam dan Lingkungan. 4(2): 119. Doi: 10.29244/jpsl.4.2.119.
Soedwiwahjono, Utomo RP. 2020. A strategy for the sustainable development of the karst
area in Wonogiri. IOP Conf. Series: Earth and Environmental Sciences. 447: 1-9 Doi:
10.1088/1755-1315/447.1.012057
Telbisz T, Mari L. 2020. The significance of karst area in European national parks and
geoparks. Open Geosience. 12: 117-132. https://doi.org/10.1515/geo-2020-0008.
Waas ED, Kaihatu S, Ayal Y. 2016. Identifikasi dan penentuan jenis tanah di Kabupaten
Seram Bagian Barat. Agros. 18(2): 170-180. ISSN 1411-0172
Yogi IBPP. 2020. Pelestarian gua-gua prasejarah di Kawasan Karst Sangkulirang
Mangkalihat (berbasis pemberdayaan masyarakat lokal). Forum Arekologi. 33(1): 65-
76.
Zacarias DA, Williams AT, Newton A. 2011. Recreation carrying capacity to support beach
management at Praia de Faro, Portugal. Applied Gegoraphy 31: 1075-1081. Doi:
10.1016/j.apgeog.2011.01.020.