Anda di halaman 1dari 9

Daya Dukung untuk Pengembangan Wisata Geopark Sangkulirang Mangkalihat (Studi

kasus: Objek Wisata Gua Karim, Telaga Nyadeng, dan Gua Tewet)

Abstrak
Kawasan Karst Sangkulirang Mangkalihat memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai
UNESCO Global Geopark berdasarkan keragaman dan keunikan warisan geologis yang
dimiliki. Maka dari itu, penelitian ini dilakukan untuk mengkaji daya dukung pada objek
wisata yang ada di dalam Kawasan Karst Sangkulirang Mangkalihat agar dapat diketahui
batas jumlah pengunjung yang dapat diperkenankan memasuki objek wisata. Penghitungan
daya dukung dilakukan dengan menggunakan metode Cifuentes untuk memperoleh batas
kunjungan yang dapat diterima oleh objek wisata berdasarkan kondisi fisik, ekologis, dan
manajemen. Berdasarkan hasil kajian, diperoleh batas jumlah kunjungan berdasarkan kondisi
fisik (PCC) pada Gua Bloyot 4.975 orang/hari, Telaga Nyadeng 3.000 orang/hari, dan Gua
Tewet 1.653 orang/hari. Batas jumlah kunjungan berdasarkan kondisi riil RCC yakni Gua
Bloyot 108 orang/hari, Telaga Nyadeng 65 orang/hari, dan Gua Tewet 10 orang/hari.
Kata kunci: daya dukung, geopark, kawasan karst Sangkulirang-Mangkalihat

PENDAHULUAN
Kawasan karst merupakan ekosistem yang unik karena terbentuk dari proses
kartsifikasi, yaitu proses korosi batuan secara kimia oleh air pada batuan gamping atau batuan
lain yang mudah larut hingga menghasilkan berbagai bentuk medan yang unik dan menarik
(LIPI 2017; Soedwiwahjono dan Utomo 2020). Selain memiliki bentang alam yang unik,
karst juga menyimpan kekayaan sumberdaya alam, antara lain sumberdaya air, sumberdaya
lahan, sumberdaya hayati, dan sumberdaya lanskap, baik di bawah permukaan dalam bentuk
gua dan sungai/danau bawah tanah, maupun di permukaan berupa lembah kering, danau,
bukit-bukit karst dan pantai yang berdinding tebal (Hertanto et al. 2011). Kawasan karst
memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat di sekitarnya, baik hidrologis,
ekologis, juga sosial ekonomi (Soedwiwahjono dan Utomo 2020). Karst merupakan sumber
cadangan air terbaik, pengendali hama, pengatur iklim,mendukung kegiatan pertanian di
kawasan sekitarnya, dan sebagai objek wisata. Karst dapat dikembangkan berdasarkan
sumberdaya alamnya, seperti untuk pertanian, peternakan, daya tarik wisata khusus yang
memanfaatkan bentang alam dan bentukan alam, termasuk pemanfaatan sumberdaya mineral
secara berkelanjutan, serta sebagai sumberdaya ilmu pengetahuan (Soedwiwahjono dan
Utomo 2020).
Indonesia memiliki 15,4 juta hektar karst yang tersebar di berbagai pulau di Indonesia
(Yogi 2020). Provinsi Kalimantan Timur merupakan salah satu provinsi yang memiliki
hamparan batuan karbonat atau batu gamping terluas di Indonesia. Menurut data dari pusat
pengendalian pembangunan ekoregion Kalimantan terdapat setidaknya 35.692.500 km2
ekosistem karst yang ada di Kalimantan Timur atau dengan kata lain 28% dari luas daratan di
provinsi tersebut adalah kawasan karst. Kawasan Karst Sangkulirang-Mangkalihat
merupakan salah satu kawasan karst yang berada di Provinsi Kalimantan Timur, tepatnya
berada di Kabupaten Berau dan Kutai Timur. Kawasan tersebut pertama kali dieksplorasi
pada tahun 1995 oleh tim dari negara Perancis untuk menyelidiki gambar pra-sejarah pada
cadas yang berada di dalam gua yang diketahui memiliki usia lebih dari 10.000 tahun
[Rencana Induk Pengelolaan Kawasan Karst]. Kawasan karst Sangkulirang-Mangkalihat
memiliki peninggalan-peninggalan pra sejarah, sehingga pemerintah mengusulkan kawasan
ini sebagai salah satu warisan dunia ke UNESCO. Selain menyimpan sejarah, di kawasan
tersebut hidup 120 spesies burung, 200 spesies serangga dan atropoda, 300 spesies flora dan
50 spesies ikan serta menjadi habitat utama dari satwa endemik Kalimantan, yaitu Orangutan
Kalimantan (Erwandha dan Sulton 2020). Keragaman tersebut mendorong pemerintah dan
berbagai praktisi untuk menjadikan kawasan tersebut sebagai UNESCO Global Geopark guna
menjaga kelestarian kawasan Sangkulirang-Mangkalihat.
Geopark merupakan sebuah solusi sebagai upaya untuk menjaga keragaman dan
kelestarian dengan menjadikan suatu kawasan karst yang memiliki nilai warisan geologi
untuk dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pendidikan, penelitian, pengembangan budidaya,
rekreasi dan pariwisata yang menguntungkan masyarakat sekitarnya (Prasetyo 2013). Guo
dan Chung (2016) mendefinisikan Geopark sebagai wilayah geografis tempat situs warisan
geologi yang menjadi bagian dari konsep holistik perlindungan, pendidikan dan
pembangunan berkelanjutan dalam mempromosikan ekonomi lokal melalui geowisata.
Geopark menurut definisi dari UNESCO adalah sebuah daerah dengan batasan yang sudah
ditetapkan dan memiliki kawasan permukaan yang cukup luas untuk pembangunan ekonomi
lokal (UNESCO 2014). Berdasarkan definisi-definisi tersebut, tujuan utama dari geopark
adalah pembangunan serta pengembangan ekonomi kerakyatan yang berbasis pada asas
perlindungan (konservasi) terhadap keragaman alam, meliputi keragaman geologi
(geodiversity), keragaman hayati (biodiversity), dan keragaman budaya (cultural diversity)
(Komoo 2010; UNESCO 2014; Fauzi dan Misni 2017).
Istilah geopark mulai dikenal pada tahun 2000-an, pada tahun tersebut di Eropa
didirikan European Geoparks Network (EGN), dengan tujuan melindungi warisan geologi
dan mempromosikannya kepada masyarakat untuk mendukung pembangunan ekonomi yang
berkelanjutan dari wilayah geopark terutama melalui pembangunan pariwisata geologi
(Zouros dan Valiakos 2010). Di Indonesia pembangunan geopark dimulai pada 2010 ketika
Kementerian Pariwisata menginisiasikan program pembangunan geopark. Inisiasi tersebut
menghasilkan penetapan 6 kawasan geopark, yakni Toba, Merangin, Rinjani, Gunung Sewu,
Batur dan Raja Ampat sebagai geopark nasional (Hidayat dan Nasution 2019). Pengelolaan
geopark di Indonesia dirancang untuk membantu pelestarian tanah, mendorong pengelolaan
air yang berkelanjutan, melestarikan keanekaragaman tumbuhan dan satwa, memelihara
ekosistem dan mengarah pada apresiasi nilai sejarah dan budaya (Cahyadi dan Newsome
2021). Geopark dianggap sebagai pendekatan konservasi yang inovatif untuk melindungi aset
warisan geologi sekaligus mendorong penelitian ilmiah, pendidikan publik, dan
pengembangan ekonomi lokal (Komoo 2010). Melalui pengalaman yang diperoleh
pengunjung dan masyarakat sekitar dapat memiliki kesadaran dan hubungan yang lebih
dalam dengan warisan geologis, sehingga Geopark menjadi media yang efektif untuk
membawa masyarakat luas menjadi lebih dekat dengan warisan geologis (Guo dan Chung
2016).
Untuk mendukung kawasan karst Sangkulirang-Mangkalihat sebagai Global Geopark,
perangkat upaya pengelolaan untuk memastikan kawasan tersebut tetap lestari adalah salah
satunya dengan mengetahui daya dukung kawasan untuk wisata. Pelestarian kawasan karst
yang sensitif dan rentan harus tetap menjadi hal mendasar yang perlu diperhatikan karena
akan sulit diperbaiki apabila telah mengalami perubahan atau kerusakan (Soedwiwahjono dan
Utomo 2020), oleh karena itu daya dukungnya harus ditentukan (Telbisz dan Mari 2020).
Maka dari itu, penelitian ini dilakukan untuk menghitung daya dukung pada objek wisata
yang berada di Kawasan Karst Sangkulirang-Mangkalihat agar dapat diketahui jumlah
pengunjung yang dapat diterima di tiap objek wisata.

LOKASI DAN WAKTU PENGAMBILAN DATA


Pengambilan data dilakukan di Kawasan Merabu dengan objek Gua Bloyot dan Telaga
Nyadeng dan di Kawasan Tewet dengan objek Gua Karim. Adapun waktu pengambilan data
dilaksanakan pada bulan April-Mei 2021.
METODE PENELITIAN
Perhitungan yang digunakan yakni berdasarkan rumus Cifuentes (1992) dengan
modifikasi Fandeli dan Muhammad (2009) dan Zacarias et al (2011), yang terdiri dari tiga
level daya dukung, antara lain daya dukung fisik (Physical Carrying Capacity/PCC), daya
dukung riil (Real Carrying Capacity/ RCC), dan daya dukung efektif (Effective Carrying
Capacity/ ECC).
Daya dukung fisik (Physical carrying capacity (PCC))
Daya dukung fisik adalah jumlah maksimum pengunjung yang secara fisik tercukupi
oleh ruang yang disediakan dalam satu hari dengan mempertibangkan kenyamanan
wisatawan. Untuk menghitung PCC digunakan persamaan sebagai berikut:

1
PCC= A × × Rf
B

Keterangan:
PCC = Physical Carrying Capacity (orang/hari)
A = Luas areal yang digunakan untuk wisata (m2)
B = Luas areal yang dibutuhkan seorang wisatawan untuk berwisata dengan tetap
memperoleh kenyamanan (m2)
Rf = Faktor rotasi

Daya dukung riil (Real carrying capacity (RCC))

Daya dukung riil adalah jumlah pengunjung maksimum yang diperkenankan


berkunjung ke objek dengan mempertimbangkan faktor pembatas atau faktor koreksi (Cf)
biofisik dari karakteristik objek wisata. RCC dihitung dengan persamaan sebagai berikut:

RCC=PCC ×Cf 1 × Cf 2 ×… . ×Cf n

Keterangan:
RCC = Real carrying capacity (orang/hari)
Cf = Faktor koreksi
Daya dukung efektif (Effective carrying capacity (ECC))
Daya dukung efektif adalah jumlah kunjungan maksimum dimana objek tetap lestari
pada tingkat manajemen yang tersedia. Kapasitas manajemen merupakan penjumlahan dari
semua kondisi pada kawasan perlindungan yang dapat difungsikan secara objektif dan sesuai
dengan tujuan dari pengelolaan kawasan. Kapasitas manajemen dibatasi oleh kriteria sistem
pengelolaan, jumlah staf pengelola dengan perhitungan sebagai berikut:
ECC=RCC × MC
Keterangan:
ECC = Effective Carrying Capacity (orang/hari)
RCC = Real Carrying Capacity (orang/hari)
MC = Management Capacity
MC (Management capacity) dihitung dengan pendekatan jumlah petugas pengelola
kawasan.

Rn
MC= ×100 %
Rt

Keterangan:
Rn = Sumberdaya yang aktif di lokasi (orang)
Rt = Jumlah sumberdaya tetap pengelola (orang)

HASIL DAN PEMBAHASAN


Daya Dukung Fisik (PCC)
Kawasan Karst Merabu
Gua Bloyot
Gua Bloyot terletak di Desa Merabu, Kecamatan Kelay, Kabupaten Berau dengan titik
koordinat 1° 28.354'N 117° 17.372'E. Berdasarkan observasi lapangan, Gua Bloyot memiliki
luas 497,5 m2 yang dapat dimasuki oleh pengunjung. Waktu operasional wisata di kawasan
tersebut dimulai pada pukul 07.00-17.00 waktu setempat. Waktu yang biasa dihabiskan oleh
pengunjung di dalam Gua Bloyot adalah 30 menit hingga 1 jam, untuk melihat ornamen gua.
Berdasarkan informasi tersebut maka diperoleh jumlah pengunjung yang dapat ditampung
secara fisik yaitu 4.975 orang/hari (Tabel 1).
Telaga Nyadeng
Masih berada di dalam desa yang sama, Telaga Nyadeng terletak di Desa Merabu
dengan titik koordinat 1° 31.322'N 117° 18.471'E. Telaga ini memiliki area daratan seluas
600 m2 yang dapat digunakan untuk aktivitas duduk-duduk atau rekreasi. Pengunjung biasa
melakukan aktivitas di Telaga Nyadeng selama 1 hingga 2 jam. Dengan ruang dan waktu
yang tersedia tersebut, jumlah pengunjung yang dapat ditampung secara fisik adalah 3.000
orang/hari.
Gua Tewet
Gua Tewet terletak di Desa Tepian Langsat, Kecamatan Bengalon, Kabupaten Kutai
Timur dengan titik koordinat 1° 1.487'N 117° 15.410'E. Gua Tewet memiliki luas ruangan
137,76 m2 (www.kutaitimurkab.go.id). Untuk mencapai Gua tewet pengunjung harus
melakukan trekking yang membutuhkan waktu 60-120 menit, sedangkan untuk menikmati
objek wisata pengunjung menghabiskan waktu 30 – 60 menit. Untuk memasuki Gua Tewet
pengunjung harus melakukan climbing karena entrance atau mulut gua tepat di pinggir
tebing. Maka dari itu, pengunjung yang mengunjungi Gua Tewet diharuskan memiliki
kemampuan khusus. Di Gua Tewet pada umumnya pengunjung sekedar mengamati gambar
cadas dan mendokumentasikannya, serta menikmati pemandangan alam dari sekitar mulut
gua.

Tabel 1 Daya Dukung Fisik (PCC) Objek Wisata di Merabu dan Tewet
Luas Area yang Luas Area yang
Disediakan Dibutuhkan oleh Faktor Rotasi PCC
Objek Wisata
Pengelola (A) Pengunjung
(m2) (m2) (kali) (orang/hari)
Merabu
Gua Bloyot 498 1 10 4.975
Telaga Nyadeng 600 1 5 3.000
Tewet
Gua Tewet 85 1 12 1.653

Daya Dukung Riil (RCC)


Curah Hujan (Cf1)
Berdasarkan data curah hujan yang diperoleh dari BMKG melalui data stasiun Berau,
curah hujan untuk Kabupaten Berau dan sekitarnya selama lima tahun terakhir adalah terjadi
2 bulan kering dan 52 bulan basah, sehingga diperoleh indeks curah hujan 0,038 (Mn). Nilai
tertinggi klasifikasi iklim Schmidt-Ferguson adalah 7 (Mt), maka diperoleh faktor koreksi
curah hujan untuk Merabu dan Tewet adalah 0,98 (Tabel 4).

Tabel 2 Curah Hujan Kab. Berau Tahun 2016-2020


Tahun JAN FEB MA APR MEI JUN JUL AGU SEP OKT NOV DES
R S T
2016 358, 254, 230,5 119 212, 128, 186,7 137,3 412,8 473 221, 279,
3 7 1 2 9 7
2017 142, 286, 315,9 230, 100, 126, 144,4 215,7 102,7 195 282, 135,
6 2 5 1 5 6 9
2018 302, 221, 230,5 282, 157, 75,5 261,3 75,6 48,7 156, 193, 229,
4 5 3 1 6 8 8
2019 209 62,3 142,7 135, 182, 96,2 220,7 49,5 134,4 84,5 155, 254,
2 9 4 4
2020 378, 327, 201 194, 239, 135, 203 164,4 74,9 218, 166, 175,
9 4 8 6 4 8 8 4
Bulan basah : CH > 100 mm/bulan
Bulan kering : CH < 60 mm/bulan
Sumber: BMKG 2021

Kelerengan (Cf2)
Kelerengan menjadi faktor pembatas yang akan mempengaruhi jumlah pengunjung
dalam mengakses lokasi objek wisata. Semakin tinggi kelerengannya maka semakin terbatas
pergerakan pengunjung dalam mengakses objek wisata. Gua Bloyot, Telaga Nyadeng, dan
Gua Tewet, ketiganya berada di area yang memiliki topografi bergunung. Namun, ketiga
objek tersebut, memiliki kelerengan yang cukup landai, sehingga tidak menyulitkan
pengunjung saat berada di objek wisata. Mengacu pada klasifikasi kelas lereng SK Menteri
Pertanian No. 837/KPTS/UM/11/1980, kelas lereng landai memiliki nilai 20 (Mn) dan nilai
maksimal kelas lereng adalah 100 (Mt), sehingga diperoleh faktor koreksi kelerengan baik di
Merabu dan Tewet adalah 0,60 (Tabel 4).

Erosivitas Tanah (Cf3)


Gua Bloyot, Telaga Nyadeng, dan Gua Tewet memiliki komposisi tanah Eutrudepts.
Tanah tersebut termasuk pada klasifikasi jenis tanah kambisol. Jenis tanah yang masuk dalam
grup eutrudepts ini merupakan tanah yang berkembang dari batu gamping dan seringkali
ditemukan di kawasan karst. Penyebarannya pada landform karst dengan relief agak datar
sampai berbukit (Waas et al 2016). Jenis tanah kambisol masuk ke dalam klasifikasi jenis
tanah podsolik yang memiliki kepekaan terhadap erosi. Mengacu pada klasifikasi jenis tanah
SK Menteri Pertanian No. 837/KPTS/UM/11/1980 jenis tanah tersebut memiliki nilai 60
(Mn), sedangkan nilai maksimal jenis tanah adalah 75. Maka diperoleh faktor koreksi
erosivitas tanah di kedua lokasi adalah 0,20 (Tabel 4).

Potensi lanskap (Cf4)


Menurut Fandeli dan Muhammad (2009), faktor lanskap penting untuk menjadi salah
satu faktor koreksi penentuan daya dukung kawasan, karena berkaitan dengan ruang fisik
yang tersedia. Dalam pengembangan suatu kawasan wisata alam yang melebihi daya dukung
akan menyebabkan terganggunya unsur-unsur lanskap pada kawasan tersebut. Indeks potensi
lanskap dengan menggunakan pedoman dari Bureau of Land Management dalam Fandeli dan
Muhammad (2009), yaitu sebesar 0,22 untuk kawasan merabu dan 0,10 untuk kawasan
Tewet.

Tabel 3 Skor unsur potensi lanskap Merabu dan Tewet


Rerata Skor
Unsur Lanskap
Merabu Tewet
Bentuk Lahan 5 5
Vegetasi 4 5
Warna 4 5
Pemandangan 4 4
Kekhasan 4 5
Modifikasi 1 1
Nilai Skoring Lokasi (Mn) 21 24
Nilai Skoring Maksimal (Mt) 27 27
Cf4 (1-Mn/Mt) 0,22 0,10

Keberadaan satwa (Cf5)


Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus) dan Bekantan (Nasalis larvatus) merupakan
dua jenis satwa endemik Kalimantan dan menjadi satwa yang dilindungi. Berdasarkan daftar
merah atau red list IUCN, bekantan memiliki status endangered (EN), sedangkan orangutan
Kalimantan berstatus critically endangered (CR). Maka dari itu, kehadiran manusia perlu
diwaspadai agar tidak mengganggu keberadaan kedua satwa tersebut di habitatnya.
Berdasarkan observasi lapangan dan informasi yang diperoleh dari petugas setempat,
orangutan Kalimantan seringkali dijumpai di Merabu dan Tewet, sedangkan bekantan hanya
dijumpai di Tewet.
Musim kawin atau waktu reproduksi satwa menjadi faktor pembatas kegiatan wisata
pengunjung. Pada musim kawin, satwa akan menjadi lebih sensitif, sehingga kehadiran
manusia dikhawatirkan akan mengganggu satwa tersebut. Musim kawin orangutan
Kalimantan dalam satu tahun terjadi dua kali, yaitu pada bulan Maret dan Oktober. Musim
kawin Bekantan diperkirakan terjadi pada bulan Januari, Juni, Agustus, dan November
(Atmoko et al. 2017)

Tabel 4 RCC Objek Wisata Merabu dan Tewet


Objek Wisata Faktor Koreksi RCC
Cf1 Cf2 Cf3 Cf4 Cf5
Merabu
Gua Bloyot 0,98 0,60 0,20 0,22 0,83 108
Telaga Nyadeng 0,98 0,60 0,20 0,22 0,83 65
Tewet
Gua Tewet 0,98 0,60 0,20 0,10 0,50 10

Table 4 di atas menunjukkan hasil bahwa daya dukung dengan mempertimbangkan


biofisik area objek wisata dapat menampung pengunjung sebanyak 108 orang/hari di Gua
Bloyot, 65 orang/hari di Telaga Nyadeng, dan 10 orang/hari di Gua Tewet. Karakteristik
biofisik, seperti curah hujan, kelerengan, dan erosivitas tanah di Merabu dan Tewet sama,
namun memiliki potensi lanskap dan gangguan terhadap satwa yang berbeda. Semakin kecil
nilai faktor koreksi, maka menunjukkan
Daya Dukung Efektif (ECC)
Daya dukung efektif (ECC) merupakan jumlah kunjungan maksimal dengan
memastikan obyek tetap lestari sesuai dengan kapasitas pengelola yang ada (Hardoyo et al.
2016). Kapasitas manajemen yang digunakan adalah dengan pendekatan jumlah personil
yang tersedia (Purwanto et al 2014; Hardoyo et al. 2016).
Gua Bloyot dan Telaga Nyadeng sudah memiliki perangkat pengelolaan yang khusus
mengelola wisata. Pengelola inti yang secara langsung mengatur pengelolaan wisata di Desa
Merabu ada sebanyak 3 orang. Pengelola tersebut dibantu atau bekerjasama dengan
masyarakat setempat untuk menyediakan jasa, seperti guide dan menyewakan perahu atau
ketinting yang sebanyak 43 orang, baik untuk Gua Bloyot maupun Telaga Nyadeng. Untuk
Gua Tewet belum ada perangkat pengelola yang secara khusus mengelola wisata di kawasan
tersebut. Hingga saat ini yang terlibat dalam kegiatan wisata adalah tujuh orang juru pelihara
yang ditugaskan untuk merawat situs-situs cagar budaya di Tewet dan sekitarnya. Jumlah
petugas bersifat fluktuatif, petugas atau guide dapat bertambah pada saat pengunjung ramai.
Berdasakan jumlah petugas yang fluktuatif tersebut, menurut Hardoyo et al (2016)
perhitungan daya dukung efektif tidak dapat dilakukan.

KESIMPULAN
Berdasarkan kondisi dan karakteristik Kawasan Karst Sangkulirang-Mangkalihat, diperoleh
angka batas pengunjung yang dapat diterima oleh masing-masing objek wisata. Daya dukung
wisata untuk tiga objek, yakni PCC Gua Bloyot 4.975 orang/hari, Telaga Nyadeng 3.000
orang/hari, Gua Tewet 1.653 orang/hari. RCC Gua Bloyot 108 orang/hari, Telaga Nyadeng
65 orang/hari, dan Gua Tewet 10 orang/hari. Sedangkan daya dukung efektif (ECC) tidak
dapat dihitung karena jumlah petugas yang fluktuatif.
DAFTAR PUSTAKA
Atmoko T, Mardiastuti A, Iskandar E. 2017. Strategi adaptasi Bekantan (Nasalis larvatus
Wurmb 1787) dalam aktivitas harian dan pemilihan pakan di habitat terfragmentasi.
Jurnal Primatologi Indonesia. 14(1): 14-21. ISSN: 1410-5373.
Cahyadi HS, Newsome D. 2021. The post COVID-19 tourism dilemma for geoparks in
Indonesia. International Journal of Geoheritage and Parks.
https://doi.org/10.1016/j.ijgeop.2021.02.003.
Cifuentes AM. 1992. Determination of Tourist Carrying Capacity in Protected Areas.
Turrialba: CATIE.
Erwandha R, Sulton MN. 2020. Analysis of Characteristics, Functions, and Problems in Karst
Sangkulirang-Mangkalihat Region. Journal of Global Environmental Dynamics. 2(1):
19-24. ISSN: 2774-7727.
Fandeli C, Muhammad. 2009. Prinsip-prinsip Dasar Mengkonservasi Lanskap. Yogyakarta
(ID): Gadjah Mada University Press.
Hardoyo D, Muhammad F, Taruna T. 2016. Perencanaan kegiatan wisata pendidikan di
dalam kawasan Geopark Rinjani Lombok berbasis daya dukung lingkungan (studi
daerah Air Berik). Jurnal Ilmu Lingkungan. 14(2): 103-107. ISSN: 1829-8907.
Hertanto HB, Ramelan AH, Budiastuti S. 2011. The development of karst area ecoutourism
object potency in the West Pacitan regency of East Java Province. Jurnal Ekosains.
3(2): 1-25.
Purwanto S, Syaufina L, Gunawan A. 2014. Kajian potensi dan daya dukung Taman Wisata
Alam Bukit Kelam untuk strategi pengembangan ekowisata. Jurnal Pengelolaan
Sumberdaya Alam dan Lingkungan. 4(2): 119. Doi: 10.29244/jpsl.4.2.119.
Soedwiwahjono, Utomo RP. 2020. A strategy for the sustainable development of the karst
area in Wonogiri. IOP Conf. Series: Earth and Environmental Sciences. 447: 1-9 Doi:
10.1088/1755-1315/447.1.012057
Telbisz T, Mari L. 2020. The significance of karst area in European national parks and
geoparks. Open Geosience. 12: 117-132. https://doi.org/10.1515/geo-2020-0008.
Waas ED, Kaihatu S, Ayal Y. 2016. Identifikasi dan penentuan jenis tanah di Kabupaten
Seram Bagian Barat. Agros. 18(2): 170-180. ISSN 1411-0172
Yogi IBPP. 2020. Pelestarian gua-gua prasejarah di Kawasan Karst Sangkulirang
Mangkalihat (berbasis pemberdayaan masyarakat lokal). Forum Arekologi. 33(1): 65-
76.
Zacarias DA, Williams AT, Newton A. 2011. Recreation carrying capacity to support beach
management at Praia de Faro, Portugal. Applied Gegoraphy 31: 1075-1081. Doi:
10.1016/j.apgeog.2011.01.020.

Anda mungkin juga menyukai