Anda di halaman 1dari 46

ANALISIS NUMERIK KARAKTERISTIK RESPON DINAMIS

MATERIAL TERMOELEKTRIK TIPE SP 1848 27145 PADA


PERBEDAAN LAJU PEMANASAN

Diajukan Sebagai Syarat Menyelesaikan Program Studi Strata 1

Pada Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik

Universitas Muhammadiyah Surakarta

Disusun Oleh:

Deva Cahyo Baskoro


NIM D200180111

PROGRAM STUDI TEKNIK MESIN FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

2022
ANALISIS NUMERIK KARAKTERISTIK RESPON DINAMIS
MATERIAL TERMOELEKTRIK TIPE SP 1848 27145 PADA
PERBEDAAN LAJU PEMANASAN

Deva Cahyo Baskoro, Tri Widodo Besar Riyadi

Fakultas Teknik, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Jl. A. Yani Tromol Pos 1


Pabelan Kartasura Surakarta, Jawa Tengah 57102, Indonesia

d200180111@student.ums.ac.id

Modul thermoelectric (TEM) merupakan alat yang mengubah perbedaan suhu


menjadi energi listrik melalui efek seebeck, namun material modul thermoelectric
yang digunakan pada kondisi panas yang tidak stabil atau mengalami siklus
pemanasan akan mempengaruhi kinerja listrik yang dihasilkan. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk menganalisa pengaruh laju pemanasan terhadap
kinerja tegangan, het flux, temperature, dan thermal stress yang dihasilkan modul
thermoelectric. Penelitian dilakukan menggunakan software ANSYS Thermal-
Electric dan Steady State Thermal dengan modul thermoelectric jenis SP 1848
27145 SA. pada sistem pencekam digunakan penambahan fixed support.
Pemanasan dilakukan dengan mendefinisikan temperature panas pada sisi atas dan
temperature dingin pada sisi bawah dengan variasi laju pemanasan untuk setiap
modul thermoelectric sehingga menghasilkan perbedaan suhu sampai sekitar 155-
160 °C selama 300 detik. Dari input yang diberikan kemudian didapatkan hasil
pada solusi dengan output total heat flux, tegangan, thermal stress, dan temperatur.
Hasil penelitian menunjukkan semakin rendah laju pemanasan menyebabkan
kenaikan kinerja dari modul thermoelectric, namun kinerja modul thermoelectric
mengalami penurunan akibat adanya efek thermal yang dialami modul
thermoelectric. Hal ini dapat dikaitkan dengan semakin rendah laju pemanasan
menyebabkan material thermoelectric mendapat beban yang semakin besar.
Kinerja keluaran modul thermoelectric dipengaruhi oleh nilai hambatan material,
namun nilai material properti thermoelectric tidak dipengaruhi oleh laju
pemanasan dan jumlah siklus.

Kata kunci: Modul thermoelectric, laju pemanasan, heat flux, performa


thermoelectric

1
NUMERICAL ANALYSIS OF THE DYNAMIC RESPONSE
CHARACTERISTICS OF THE THERMOELECTRIC TYPE SP 1848
27145 MATERIALS TO DIFFERENCES IN HEATING RATE,

Deva Cahyo Baskoro, Tri Widodo Besar Riyadi

Faculty of Engineering, Universitas Muhammadiyah Surakarta, St. A. Yani


Tromol Pos 1 Pabelan Kartasura Surakarta, Jawa Tengah 57102, Indonesia

d200180111@student.ums.ac.id

The thermoelectric module (TEM) is a device that uses the Seebeck effect to convert
temperature differences into electrical energy. However, the material of the TEM
will have an impact on the electrical performance produced when utilized in
unstable heat settings or during a heating cycle. This simulation study set out to
examine how the heating rate affected the thermoelectric module's output in terms
of voltage, heat flux, temperature, and thermal stress using the ANSYS Thermal-
Electric and Steady State Thermal software. The use of fixed support in addition to
the grasping system. Each thermoelectric module is heated by specifying the hot
temperature on the top side and the cold temperature on the bottom side while
varying the heating rate, resulting in a temperature difference of up to
approximately 155–160 °C for 300 seconds. The findings from the input were a
total output heat flux, voltage, thermal stress, and temperature solution. The results
showed that the performance of the thermoelectric module increased as the heating
rate was reduced, but that performance declines as a result of the thermoelectric
module's thermal effect. This is explained by the fact that the thermoelectric
material is under more load due to the slower heating rate. The material's
resistance value has an impact on the thermoelectric module's output performance,
while the heating rate and cycle count have no impact on the thermoelectric
property value of the material.

Keywords: thermoelectric module, heating rate, heat flux, thermoelectric


performance

2
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Termoelektrik adalah perangkat elektronik berbasis semikonduktor yang
mengubah perbedaan suhu antara sisi panas dan dingin elemen termoelektrik
menjadi tegangan listrik. Ini terdiri dari beberapa elemen kecil yang terdiri dari
semikonduktor tipe-p (positif) dan tipe-n (negatif) yang disusun seri paralel dan
komponen termoelektrik yang paling banyak digunakan, dengan kisaran suhu
hingga 250 derajat Celcius. Aplikasi termoelektrik telah banyak digunakan di
berbagai bidang, termasuk pesawat terbang, kendaraan komersial, dan pembangkit
listrik domestik , bidang industri, bidang medis, bidang mikroelektronika, bidang
energi alternatif seperti pemanfaatan energi panas matahari dan energi panas bumi
hingga saat ini (Jouhara et al. 2021)(Hsu et al. 2011).

Pengaplikasian thermoelectric yang sudah digunakan secara luas di berbagai


bidang sendiri tidak lain karena thermoelectric memiliki beberapa keunggulan yang
diantaranya adalah(Champier 2017):

- Konversi energi langsung, tidak seperti banyak mesin panas yang mula-mula
mengubah energi panas menjadi energi mekanik dan kemudian mengubah energi
mekanik menjadi listrik menggunakan alternator.
- Tidak ada bagian yang bergerak dan tidak ada cairan yang berfungsi di dalam
modul thermoelectric.
- Thermoelectric dapat digunakan untuk pembangkit mikro di ruang yang sangat
terbatas.
- Pengoperasian thermoelectric tanpa suara.
- Thermoelectric dapat digunakan di sistem kerja dimanapun sehingga
thermoelectric sesuai untuk sistem yang tertanam.

Karena keunggulan ini thermoelectric memiliki lebih sedikit perawatan dan


mudah untuk dikontrol sehingga menjadikan thermoelectric menjadi solusi yang
lebih baik dari sistem konversi lainnya, namun pada kasus penggunaan
thermoelectric yang mengalami siklus pemanasan, para peneliti menemukan
kelemahan penurunan kinerja dari thermoelectric. Penelitian tentang pengaruh laju
pemanasan dengan dilakukan siklus pemanasan berulang pada modul

3
thermoelectric baru diteliti oleh R. Merrienne (Merienne et al. 2019) pada tahun
dan S.Harish pada tahun 2021 (Harish et al. 2021)kedua peneliti meneliti tentang
pengaruh laju pemanasan dengan siklus pemanasan berulang terhadap kinerja
modul thermoelectric dimana semakin cepat laju pemanasan akan semakin cepat
laju pemanasan maka akan lebih cepat thermoelectric mengalami penurunan kinerja
namun untuk pengaruh laju pemanasan terhadap kinerja tegangan, arus, daya,
hambatan internal dan efisiensi sebelumnya tidak ada yang menyelidiki. Oleh
karena itu maka perlu dilakukan penelitian lebih mendalam bagaimana pengaruh
laju pemanasan pada siklus pemanasan berulang terutama pada modul
thermoelectric tipe SP 1848 27145 SA yang banyak dijual secara komersial di Asia
khususnya Indonesia, sehingga penggunaan modul thermoelectric tersebut dalam
pengaplikasian dapat diprediksi masa berlakunya sehingga sesuai dengan
kebutuhan.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan kajian literatur tentang laju pemanasan dan siklus pemanasan


pada modul thermoelectric, maka terdapat masalah pada yang perlu dikaji pada
penelitian ini yaitu:

- Bagaimana memprediksi pengaruh laju pemanasan terhadap kinerja


keluaran modul thermoelectric tipe SP 1848 27145 SA?
- Apakah penelitian tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan
metode simulasi komputer?
- Faktor apa saja yang mempengaruhi kinerja modul thermoelectric pada
kondisi laju pemanasan yang berbeda?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan pada penelitian ini adalah:

1. Mengetahui pengaruh variasi laju pemanasan terhadap keluaran listrik modul


thermoelectric tipe SP 1848 27145 SA menggunakan paket software ANSYS.

4
2. Mengetahui pengaruh variasi laju pemanasan terhadap distribusi temperature,
heat flux, thermal stress, dan keluaran tegangan listrik yang dihasilkan oleh
thermoelectric generator dengan.

1.4 Batasan Penelitian

Batasan masalah pada penelitian ini adalah:

1. Pemodelan thermoelectric dengan solidworks 3D, sedangkan proses simulasi


dilakukan dengan software ANSYS

2. Simulasi merupakan pembebanan terbuka pada modul thermoelectric.


3. Memberikan panas pada model thermoelectric dengan variasi laju pemanasan
sesuai dengan hasil yang diukur dari eksperimen.
4. Data validasi diambil dari jurnal Effect of Thermal Cycling With Various
Heating Rates on the Performance of Thermoelectric Modules

1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh laju pemanasan dan


analisa finite element pada kinerja modul thermoelectric tipe SP 1848 27145 SA,
sehingga penggunaan thermoelectric dalam pengaplikasian tersebut dapat
diprediksi masa berlakunya sehingga sesuai dengan kebutuhan.

5
2.1 LANDASAN TEORI
2.2 Tinjauan Pustaka
Penelitian analisis kinerja siklus pemanasan thermoelectric telah dilakukan
oleh beberapa peneliti, Riyadi dkk. (Riyadi et al. 2022) yang telah
mempublikasikan sebuah artikel berjudul “Effect of Thermal Cycling With Various
Heating Rates on the Performance of Thermoelectric Modules”. Penelitian
dilakukan pada thermoelectric generator tipe SP 1848 27145 SA dengan laju
pemanasan 3.917 °C/s, 2.673 °C/s, 1.643 °C/s, dan 0.905 °C/s selama 300 detik
pada 100 siklus pemanasan. Hasil penelitian dan analisa yang dilakukan
menunjukkan semakin rendah laju pemanasan maka durasi siklus semakin panjang.
Hal ini ditunjukkan bahwa semakin tinggi laju pemanasan maka jumlah durasi
siklus semakin rendah. Pada laju pemanasan 3.917 °C/s selama 2000 detik, modul
thermoelectric dapat melakukan 6 kali siklus sedangkan pada laju pemanasan 0.905
°C/s selama 2000 detik, modul thermoelectric hanya dapat melakukan 4.5 kali
siklus. Selain itu pada modul thermoelectric tipe SP 1848 27145 SA dengan laju
pemanasan berbeda yaitu TEM A (3.917 °C/s), TEM B (2.673 °C/s), TEM C (1.643
°C/s), dan TEM D (0.905 °C/s), menunjukkan bahwa kenaikan laju pemanasan akan
menghasilkan penurunan kinerja luaran berupa tegangan terbuka, tegangan
tertutup, arus, dan daya. Penurunan kinerja modul thermoelectric tersebut
disebabkan karena adanya kenaikan hambatan dengan bertambahnya laju
pemanasan yang dilakukan. Kenaikan hambatan tersebut juga berefek penurunan
figure of merit dan efisiensi, dimana semakin hambatan maka akan menghasilkan
figure of merit dan efisiensi yang rendah sehingga semakin rendah nilai figure of
merit dan efisiensi maka akan menghasilkan keluaran kinerja modul thermoelectric
yang rendah.

6
2.3 Prinsip Kerja Thermoelectric

Pengoperasian thermoelectric ditentukan oleh perbedaan suhu diantara kedua


sisi panas dan sisi dingin thermoelectric. Pada Gambar 2. 1 dijelaskan teori yang
menjelaskan kinerja thermoelectric. Pada gambar tersebut dijelaskan bahwa jika
sisi panas logam bismuth telluride dipanaskan dan sisi dinginnya didinginkan, maka
elektron yang mengelilingi atom logam bismuth telluride pada sisi panas akan
memiliki lebih banyak energi daripada elektron yang berada di sisi dingin. Hal ini
berarti elektron pada sisi panas akan memiliki banyak energi kinetik dibandingkan
sisi dingin (Jouhara et al. 2021). Elektron pada sisi panas akan lebih cepat bergerak
ke sisi dingin daripada elektron pada sisi dingin yang bergerak ke sisi panas,
sehingga ujung sisi dingin thermoelectric menjadi bermuatan negatif dan ujung sisi
panas bermuatan positif (Jouhara et al. 2021)

Thermoelectric Generator (TEG)


(Seebeck Effect)

Cold Side
- +
p-type
n-type

- +
Charge Carriers
Electrons – - +

Holes +
+ -
Heat Source
Resistive Load

I
Electron Flow

Gambar 2. 1 Prinsip kerja thermoelectric

7
2.4 Koefisien Seebeck

Koefisien Seebeck bertanggung jawab untuk memungkinkan arus bergerak


saat ada gradien suhu atau perbedaan suhu. Hubungan antara diferensial teoritis
yang dibuat dan suhu gradien yang diterapkan dapat dilihat pada persamaan 1:

∆𝑉
α = − , (1)
∆𝑇

2.5 Tegangan Terbuka


Tegangan terbuka thermoelectric VOC tanpa adanya arus yang mengalir atau
tanpa pembebanan dari luar dapat dicari dengan persamaan 2:

𝑉𝑂𝐶 = α ∆T𝑇𝐸𝐺 = α (𝑇ℎ − 𝑇𝑐 ), (2)

Dimana Th dan Tc merupakan suhu sisi panas dan sisi dingin thermoelectric,
sedangkan koefisien seebeck α sama dengan selisih koefisien seebeck dari kedua
material semikonduktor pada thermoelectric.

2.5. Heat Flux Thermoelectric


Heat flux thermoelectric merupakan laju kalor per satuan luas yang terjadi
selama pembebanan dilakukan (Catrawedarma, Juarsa, and Handoyo 2015) yang
dirumuskan sebagai berikut :

𝑞 = 𝜌. 𝐴. 𝑐. ∆T (3)

Dimana c merupakan kalor jenis spesifik material thermoelectric, A


merupakan luas penampang thermoelectric, 𝜌 merupakan masa jenis material
thermoelectric, ∆T merupakan selisih suhu antara sisi panas dan sisi dingin.

8
2.6. Tegangan termal (thermal stress)
Tegangan termal adalah tegangan yang terjadi karena perubahan temperatur
pada material. Tegangan ini dapat menyebabkan terjadinya fraktur atau deformasi
plastis tergantung variabel lain dari pemanasan, termasuk jenis dan sifat material.
Di antara faktor yang mempengaruhi terjadi tegangan termal yaitu perbedaan
temperatur, koefisien muai panjang dan kejutan termal (thermal shock). Tegangan
termal sangat dipengaruhi oleh koefisien muai panjang (thermal expansion
coefficient). Secara umum, semakin besar perubahan temperatur, maka semakin
tinggi tingkat tegangan yang terjadi. (Riyadi et al. 2021)

𝑇𝑑
𝐸𝑒𝑓𝑐 ∫𝑇𝑟
(𝛼) 𝑑𝑇
σc = 1 + 4( 𝐸𝑒𝑓𝑐/𝐸𝑒𝑓𝑠)(𝑡𝑐/𝑡𝑠) (4)

Dimana Eefc merupakan nilai regangan dari lapisan luar thermoelectric, 𝛼


merupakan nilai ekspansi thermal thermoelectric, tc dan ts adalah tebal lapisan
material thermoelectric.

9
3. METODE PENELITIAN

3.1 Flowchart metode penelitian

Metode penelitian dilakukan dengan metode simulasi menggunakan


software ANSYS. Kegiatan penelitian dimulai dengan pemodelan modul
thermoelectric yaitu dengan menggambar 3D bagian-bagian modul thermoelectric
sesuai dengan specimen yang digunakan oleh peneliti. Kemudian input geometri
dan parameter yang diperlukan oleh sistem dan cara kerja dari thermoelectric. Pada
sub bab penelitian ini akan membahas bagaimana simulasi dilakukan serta
menerangkan langkah-langkah dalam penelitian.

Mulai

Pemodelan part modu TE

Input Property, Geometri, Step, Load,


Temperatur, dan Mesh

Running Program

NO
Simulasi
Completed?

YES

Studi Konvergensi

NO
Konvergen

YES

10
1

Pemodelan part modu TE

Input Property, Geometri, Step, Load,


Temperatur, dan Mesh

NO
Validasi
Error <5%?

YES

Output: thermal distribution, heat


fllux, thermal stress

Analisis data thermal & electric


distribution

Selesai

Gambar 3.1. Diagram alir penelitian simulasi

3.2 Pemodelan part modul TE


Pada gambar 3.3 menunjukkan model benda yang digunakan untuk modul
TE dari material Bismuth. Model berbentuk persegi dengan dimensi bismuth,
tembaga, dan ceramic pada bagian bawah dan lapisan pada bagian atas dengan
tebal 1 mm dan 1 mm. Model material thermoelectric dianggap memiliki bonding
sempurna pada interface, sehingga pada saat proses running dilakukan bisa
memperoleh hasil yang lebih akurat. Model menggunakan jenis axisymmetric

11
planar pada bidang sumbu XY. Model dibuat demikian untuk memungkinkan
substrate dan lapisan menekuk karena beban termal selama proses simulasi. Untuk
menyederhanakan analisa, model menggunakan karakteristik isotropik dan
termoelastik. Model ini menggunakan prinsip tegangan biaksial dan temperatur
yang seragam ketika proses maupun saat pendinginan. Analisa elemen hingga atau
finite element analysis (FEA) tegangan termal pada lapisan setelah proses deposisi
ini menggunakan aplikasi ANSYS R20.1.

3.3 Kondisi batas (Boundary conditions)


Pada gambar 3.2 menunjukkan kondisi batas model. Simulasi pada penelitian
menggunakan dua metode, yang pertama perpindahan kalor, kemudian yang kedua
simulasi simulasi statik. Pada saat akan melakukan simulasi, model thermoelectric
dijepit dengan menambahkan fixed support sehingga pada saat pembebanan static
dilakukan akan terlihat deformasi yang diakibatkan oleh beban thermal yang
diberikan. Beban termal yang diterapkan pada proses deposisi sebesar 155-160⁰C,
ketika pendinginan menggunakan temperatur ruangan pada 25 ⁰C. Untuk
mendapatkan nilai deformasi yang mendekati dengan benda sesungguhnya maka
dibuat simulasi perpindahan kalor untuk mengetahui beban termal secara
menyeluruh pada model secara alami. Pada kondisi batas konveksi tersebut hanya
digunakan untuk menemukan beban termal yang sesungguhnya dari simulasi
perpindahan kalor. Adapun nilai konveksi udara dihitung menggunakan Natural
Convection Heat Transfer Coefficient Estimation Calculations, dengan luas area,
panjang bidang dan kondisi deposisi sesuai dengan kondisi ketika disimulasikan,
didapatkan nilai 5 x 10-6 W/mm2.K menggunakan default dari program ANSYS.

12
Fixed Support Penjepit

Heat Source

Fixed Support Penjepit


Gambar 3.2 Kondisi batas model thermoelectric

3.4 Analisis Thermal-Electric


Analisis panas yang dihasilkan oleh modul thermoelectric menggunakan
ANSYS Steady-State Thermal sedangkan ANSYS Thermal-Electric digunakan
untuk mengetahui jumlah tegangan (voltage) yang dihasilkan pada 1 kopel
thermoelectric. Gambar 3. 2 menunjukkan model benda yang digunakan untuk
menganalisis sifat elektrik sedangkan gambar 3. 3 menunjukkan model benda yang
digunakan untuk mengetahui sifat thermal pada modul thermoelectric. Model
material thermoelectric dianggap memiliki bonding sempurna pada interface,
sehingga pada saat proses running dilakukan bisa memperoleh hasil yang lebih
akurat.

3.5 Material Properti


Data material properti diambil dari paper Zulkifli tahun 2017 (Zulkifli et al.
2017) dan Najaraj tahun 2019 (. Tabel 3.1 menunjukkan data sifat material
thermoelectric. berikut nilai property dari referensi yang diambil.

13
Tabel 3.1 Data sifat thermal dan elektrik property material thermoelectric

Al2O3 n-type p-type


Material Definition and Geometri Al Cu
Ceramic BiTe BiTe

0.18-0.38 9.8-14.9 13.8-25.0


Electrical Resistivity, ρ (μΩ m) 0.25 1 x 1018
(300-600K) (300-500K) (300-500K)
37.2-17.2 368-382 1.78-3.5 1.22-5.24
Thermal Conductivity, λ (W/mK) 200
(293-600K) (293-600K) (300-500K) (300-500K)
Seebeck Coefficient, α (10-6/K) - - - 16.8 16.8

14
Gambar 3. 3 Skema 3D isometric dan 2D solid model Kopel Thermoelectric

Gambar 3. 4 Skema 3D isometric dan 2D solid model Thermoelectric

3.6 Perhitungan Numerik dan Grafik Properti Thermoelectric


Pada perhitungan numerik dilakukan sesuai formula pada jurnal Ding Luo
tahun 2021 (Luo et al. 2021). Berikut rumus perhitungan thermal conductivity (λ),
Seebeck coefficient (α), dan Electric resistivity (σ) sebagai fungsi dari temperatur
(T).

λn (T)= (-3.0595 T4) + (4.5678 T3) - (2.5162 T2) + (0.6107 T) - 53:9863

αn (T) = (1.8027 T4) - (3.2363 T3) + (0.2154 T2) - (62.9744 T) + 6616.5678

σn (T) = (-3,088 T4) + (4,5653 T3) - (2,5854 T2) + (0,6558 T) – 60,588

Hasil perhitungan thermal conductivity (λ), Seebeck coefficient (α), dan Electric
resistivity (σ) sebagai fungsi dari temperatur (T) dinyatakan pada gambar 3.4 (a, b,
c).

15
Thermal conductivity (W/m.K)
2

1,8

1,6

1,4

1,2
20 60 100 140 180
Temperature (°C)

(a)

0,022
Seebeck Coefficient (V/K)

0,021

0,02

0,019

0,018

0,017

0,016
20 40 60 80 100 120 140 160 180
Temperature (°C)
(b)
1,8
Electric Resistivity (S /m)

1,5

1,2

0,9

0,6
20 60 100 140 180
Temperature (°C)
(c)

Gambar 3.4 Thermal conductivity (λ), Seebeck coefficient (α), dan Electric
resistivity dengan fungsi waktu (temperature dependence)

16
3.7 Data laju pemanasan hasil eksperimen
Pada gambar 3.5 menunjukkan laju pemaasan yang diambil dari data hasil
eksperimen Riyadi dkk(Riyadi et al. 2021). Dengan menggunakan empat buah
modul termoelektrik, masing-masing yaitu TEM A 362.520 Watt (3.917 °C/s),
TEM B 161.160 Watt (2.673 °C/s), TEM C 79.600 Watt (1.643 °C/s), dan TEM
D 44.880 Watt (0.905 °C/s).

Gambar 3.5. Laju pemanasan dari data hasil penelitian Riyadi dkk.

17
4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Konvergensi Mesh

Tujuan konvergensi mesh adalah untuk mendapatkan data yang sesuai dengan
data jurnal yang akan dibandingkan. Hasil studi konvergensi menuunjukkan bahwa
pada ukuran mesh 0.3, tegangan listrik sudah konvergen. Dengan demikian maka
semua simulasi selanjutnya menggunakan ukuran mesh 0.3.

37,22
Tegangan Listrik (mV)

37,2

37,18

37,16
0,2 0,3 0,4 0,5 0,6
Mesh (mm)

Gambar 4.1 Variasi ukuran mesh terhadap keluaran tegangan listrik pada modul
thermoelectric

4.2 Validasi Hasil Simulasi Terhadap Hasil Eksperimen

Tabel 4.1 menunjukkan perbandingan hasil simulasi terhadap data hasil


eksperimen untuk mengetahui perbedaan tegangan output dan error selama simulasi
dilakukan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai tegangan yang dihasilkan dari
simulasi berbanding lurus dengan data hasil eksperimen. Selisih antara tegangan
listrik hasil simulasi dan hasil eksperimen menunjukkan bahwa semakin rendah laju
pemanasan maka error yang dihasilkan cenderung semakin besar. Nilai voltage
terbesar hasil simulasi dan eksperimen sama-sama diperoleh pada modul TEM D.
Penyimpangan terbesar terjadi pada TEM D pada nilai 2%. Dengan demikian maka

18
hasil simulasi dinyatakan valid karena penyimpangan masih di bawah 5% (Fauzia
2013).

Tabel 4.1 Validasi hasil Simulasi dengan hasil Ekperimen pada keluaran daya
yang dihasilkan modul Thermoelectric

Laju Pemanasan Tegangan Simulasi Tegangan Eksperimen Error


Modul
(°C/s) (mV) (mV) (%)
A 3.917 37.06 37.26 0.5368
B 2.673 37.3 37.72 1.1135
C 1.643 38.4 38.82 1.0819
D 0.905 39.024 40.02 2.4888

Gambar 4.2 menunjukkan nilai tegangan listrik pada suhu tertinggi tiap
modul thermoelectric. Semakin tinggi laju pemanasan maka semakin rendah nilai
tegangan listrik yang dihasilkan. Diketahui bahwa pada laju pemanasan 0.905 °C
diperoleh tegangan listrik tertinggi sebesar 39.024 mV kemudian berangsur turun
dan mencapai tegangan listrik terendah sebesar 37.26 mV pada laju pemanasan
3.917 °C.

40
Tegangan Listrik mV

39

38

37

36
TEM D (0.905 °C/s) TEM C (1.643 °C/s) TEM B (2.673 °C/s) TEM A (3.917 °C/s)

(a)

19
41

Tegangan Listrik (mV) 40

39

38

37

36
TEM D (0.905 °C/s) TEM C (1.643 °C/s) TEM B (2.673 °C/s) TEM A (3.917 °C/s)

(b)

Gambar 4.2 Nilai tegangan listrik simulasi (a) dan eksperimen (b) pada tiap modul
thermoelectric

4.3 Distribusi Tegangan Listrik, Temperatur, Heat Flux, dan Thermal


Stress dengan Variasi Laju Pemanasan

4.3.1 Distribusi Tegangan Listrik


Nilai tegangan yang diperoleh adalah nilai yang diambil pada 1 kopel
thermoelectric (sepasang bismuth positif dan negative yang dihubungkan dengan
tembaga) dengan mesh 0.3 mm pada kondisi suhu tertinggi. Gambar 4.3 (a–d)
menunjukkan nilai distribusi tegangan 1 kopel thermoelectric pada suhu tertinggi
dengan variasi laju pemanasan. Semua variasi laju pemanasan menghasilkan pola
distribusi tegangan yang serupa dimana semikonduktor tipe-n mempunyai nilai
tegangan rendah (warna biru) sedangkan semikonduktor tipe-p mempunyai nilai
tegangan tertinggi (warna merah). Perbedaan nilai tegangan pada kedua kaki
semikonduktor inilah yang menyebabkan terjadinya beda potensial yang
menghasilkan aliran arus listrik.
Tabel 4.2 menunjukkan data nilai tegangan 1 kopel thermoelectric dengan
variasi laju pemanasan yang diambil pada suhu tertinggi. Semakin rendah laju
pemanasan maka nilai selisih suhu sisi panas dan dingin semakin tinggi. Semakin
tinggi selisih suhu sisi panas dan sisi dingin maka akan menghasilkan tegangan

20
yang semakin tinggi dan berlaku untuk semua laju pemanasan. Hal ini berarti bahwa
semakin rendah laju pemanasan akan menghasilkan tegangan yang semakin tinggi.

a)

b)

c)

21
d)

Gambar 4.3. Distribusi tegangan listrik 1 kopel thermoelectric pada suhu tertinggi

Tabel 4.2 Nilai tegangan 1 kopel thermoelectric pada suhu tertinggi

Laju Tegangan
Modul ΔT
Pemanasan Suhu tertinggi Listrik
(°C/s) (°C) (°C) (mV)
A 3.917 159 119.25 37.013
B 2.673 158.25 121.75 37.3
C 1.643 156.5 123 38.399
D 0.905 155.25 126 39.024

Gambar 4.4 menunjukkan kurva tegangan yang dihasilkan oleh


thermoelectric dari hasil simulasi dan hasil eksperimen. Hasil penelitian baik
simulasi maupun eksperimen menunjukkan bahwa semakin rendah laju pemanasan
maka semakin lama waktu yang diperlukan untuk mencapai suhu tertinggi yang
telah ditentukan. Diketahui pada tabel 4.3 bahwa TEM A mencapai puncak siklus
dalam 31 detik, TEM B 46 detik, TEM C 77 detik, dan TEM D 141 detik.

Tabel 4.3 menunjukkan nilai perbandingan antara hasil simulasi dan eksperimen
dengan variasi laju pemanasan. Hasil perbandingan menunjukkan bahwa laju
pemanasan eksperimen lebih tinggi dibandingkan dengan simulasi. Semakin tinggi
laju pemanasan, selisih laju pemanasan antara eksperimen dan simulasi semakin
besar. Hasil ini kemungkinan dapat disebabkan oleh pemodelan elemen hingga
yang dipengaruhi oleh ukuran mesh yang digunakan. (McKnight 2010)(Geppert et
al. 2015)

22
40
TEM A : 3.917 °C/s

TEM B : 2.673 °C/s


Tegangan Listrik (mV)
30
TEM C : 1.643 °C/s

TEM D : 0.905 °C/s


20

10

0
0 50 100 150 200 250 300
Waktu (s)

Gambar 4.4 profil tegangan yang dihasilkan oleh thermoelectric

Tabel 4.3 Perbandingan nilai tegangan 1 kopel thermoelectric pada suhu tertinggi

Laju Pemanasan Suhu tertinggi Simulasi Eksperimen waktu


Modul
(°C/s) (°C) (mV) (mV) (s)
A 3.917 159 37.013 37.170909 31
B 2.673 158.25 37.3 37.354848 46
C 1.643 156.5 38.399 38.438545 77
D 0.905 155.25 39.024 39.290454 141

40
Tegangan Listrik (mV)

30

20
Simulasi
Eksperimen
10

0
0 15 30 45
Waktu (s)

(a)

23
40

Tegangan Listrik (mV)


30

20
Simulasi
Eksperimen
10

0
0 15 30 45 60
Waktu (s)

(b)

40
Tegangan Listrik (mV)

30

20
Simulasi
Eksperimen
10

0
0 20 40 60 80
Waktu (s)

(c)

40
Tegangan Listrik (mV)

30

20
Simulasi
Eksperimen
10

0
0 40 80 120 160
Waktu (s)

(d)

Gambar 4.5. Perbandingan laju pemanasan hasil simulasi dan eksperimen

24
Dari teori thermoelectric dimana semakin tinggi ΔT maka semakin tinggi
tegangan yang dihasilkan. Namun demikian perlu diketahui apakah laju pemanasan
akan mempengaruhi tegangan yang dihasilkan. Gambar 4.6 menampilkan tegangan
pada saat ΔT seragam dengan nilai selisih antara suhu panas dengan suhu dingin
yaitu 110 °C. Semakin rendah nilai laju pemanasan maka semakin tinggi tegangan
listrik yang dihasilkan dan memiliki hasil relatif sama pada kondisi ΔT yang
seragam. Namun demikian terdapat sedikit efek dari laju pemanasan, dimana
semakin rendah laju pemanasan akan memberikin sedikit kenaikan tegangan, Tabel
4.4 menunjukkan data nilai tegangan 1 kopel thermoelectric pada ΔT yang seragam.
Diketahui pada modul TEM A sebesar 34.152mV, TEM B sebesar 34.288 mV,
TEM C sebesar 34.336 mV, TEM D sebesar 34.354 mV. Nilai tegangan terbesar
didapat pada modul TEM D sebesar 34.354 mV pada waktu 120 detik.

(a)

(b)

25
(c)

(d)

Gambar 4.6. Distribusi tegangan 1 kopel thermoelectric pada ΔT yang seragam

Tabel 4.4. Nilai tegangan 1 kopel thermoelectric pada ΔT yang seragam

Laju Pemanasan ΔT Tegangan Listrik


Modul
(°C/s) (°C) (mV)
A 3.917 110 34.152
B 2.673 110 34.288
C 1.643 110 34.336
D 0.905 110 34.354

4.3.2 Distribusi Temperatur Terhadap Laju Pemanasan


Gambar 4.7 menunjukkan distribusi temperatur dari sisi panas menuju sisi
dingin modul thermoelectric terhadap variasi laju pemanasan (3.917 °C/s, 2.673
°C/s, 1.643 °C/s, dan 0.905 °C/s) pada kondisi suhu tertinggi, dimana semua variasi
laju pemanasan menunjukkan suhu tertinggi yang berkisar antara 155-160 °C. Dari

26
hasil simulasi diketahui bahwa distribusi temperatur hanya berpengaruh pada arah
vertikal (searah laju heat flux panas) sedangkan arah horizontal (memanjang)
menghasilkan kontur yang sama untuk setiap kopel. Oleh karena itu maka tampilan
gambar hanya diberikan untuk 1 kopel saja. Data nilai temperatur sisi panas dan sisi
dingin TEG dengan variasi laju pemanasan terdapat pada tabel 4.5. Hasil penelitian
menunjukkan semakin rendah laju pemanasan maka suhu sisi panas semakin rendah
begitu juga suhu sisi dingin semakin rendah. Hal ini dapat dikaitkan dengan sifat
konduktivitas panas dari modul termoelektrik dimana makin lama pemanasan akan
menghasil panas yang lebih merata.

(a)

(b)

27
(c)

(d)

Gambar 4.7 Distribusi temperature terhadap laju pemanasan pada modul


thermoelectric tipe SP 1848 27145 SA pada kondisi suhu tertinggi

Tabel 4.5 Distribusi temperature terhadap laju pemanasan pada modul


thermoelectric tipe SP 1848 27145 SA pada kondisi suhu tertinggi

Laju Pemanasan T Hot T Cold Delta T


Modul
(°C/s) (°C) (°C) (°C)
A 3.917 159 39,75 119.25
B 2.673 158.25 38 120.25
C 1.643 156.5 33,5 123
D 0.905 155.25 29,25 126

28
Gambar 4.8 menunjukkan distribusi temperature pada kondisi setelah
mengalami pendinginan terhadap variasi laju pemanasan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa variasi laju pemanasan menghasilkan nilai temperature
maksimum pada sisi panas thermoelectric dan temperatur minimum pada sisi dingin
thermoelectric yang berbeda. Karena pada input simulasi di setiap time analysis
modul TEM berbeda-beda yang merupakan data hasil eksperimen sehingga harus
dimasukkan ke input temperature sesuai data eksprimen. Tabel 4.6 menunjukkan
nilai temperature yang diperoleh setelah pendinginan. Didapatkan nilai temperatur
tertinggi sebesar 40.25 °C pada waktu 396 detik di TEM D sedangkan nilai terendah
sebesar 27.5 °C pada waktu 340 detik di TEM A.

(a)

(b)

29
(c)

d)

Gambar 4.8 Distribusi temperature terhadap laju pemanasan pada modul


thermoelectric tipe SP 1848 27145 SA pada kondisi setelah pendinginan

Tabel 4.6 Nilai temperature terhadap laju pemanasan pada modul thermoelectric
tipe SP 1848 27145 SA pada kondisi setelah pendinginan

Laju Pemanasan Waktu Akhir T Hot T Cold


Modul
(°C/s) (s) (°C) (°C)
A 3.917 340 32.5 28
B 2.673 352 27.5 26.75
C 1.643 380 30.5 28.25
D 0.905 396 40.25 29.75

30
4.3.3 Distribusi Heat Flux Terhadap Laju Pemanasan
Heat Flux adalah jumlah panas yang mengalir per satuan luas melalui
perpindahan suhu yang bersifat konstan berdasarkan satuan waktu. Nilai heat flux
didapat dari hasil simulasi yang merupakan turunan dari hasil input temperature
pada modul thermoelectric. Gambar 4.9 menunjukkan hasil keluaran heat flux pada
modul thermoelectric dengan variasi laju pemanasan pada kondisi temperatur
tertinggi. Semakin rendah laju pemanasan maka semakin rendah nilai heat flux yang
mengalir pada modul thermoelectric. Tabel 4.7 menunjukkan data nilai heat flux
terhadap laju pemanasan pada suhu tertinggi, dimana nilai heat flux tertinggi
diperoleh pada modul thermoelectric A sebesar 0.36379 W/mm2 dan nilai heat flux
terendah pada modul thermoelectric D sebesar 0.3443 W/mm2.

(a)

(b)

31
(c)

(d)

Gambar 4.9. Distribusi heatflux terhadap laju pemanasan pada modul


thermoelectric tipe SP 1848 27145 SA pada kondisi suhu tertinggi

Tabel 4.7 Nilai heatflux terhadap laju pemanasan pada modul thermoelectric tipe
SP 1848 27145 SA pada kondisi suhu tertinggi

Laju Pemanasan Suhu Tertinggi Mesh Heat Flux


Modul
(°C/s) (°C) (mm) (W/mm2)
A 3.917 159 0.3 0.36379
B 2.673 158.25 0.3 0.358794
C 1.643 156.5 0.3 0.356809
D 0.905 155.25 0.3 0.3443

32
Perbedaan laju pemanasan sangat mempengaruhi heat flux pada tiap bagian
dari modul TEG. Gambar 4.10 menunjukkan perbedaan heat flux pada bagian-
bagian 2 kaki, bagian bonding, bagian pelat copper, dan bagian keramik. Semakin
rendah laju pemanasan maka nilai heat flux yang terjadi pada bagian thermoelectric
cenderung semakin turun. Tabel 4.8 menunjukkan data nilai heat flux yang terjadi
pada bagian thermoelectric. Nilai heat flux terbesar terjadi pada bagian joining BiSn
pada bismuth positive dengan tembaga bagian bawah. Pada TEM A didapatkan
nilai sebesar 0.14789 W/mm2 yang kemudian turun hingga nilai 0.13996 W/mm2
pada TEM D.

(a)

(b)

33
(c)

(d)
Gambar 4.10. Distribusi Heat Flux pada bagian Kopel thermoelectric

Tabel 4.7 Data nilai heat flux yang terjadi pada bagian thermoelectric

Laju
Heat Flux (W/mm2)
Modul Pemanasan Mesh
(°C/s) (mm) BiSn Ceramic Tembaga
A 3.917 0.3 0.14789 0.082921 0.13422
B 2.673 0.3 0.11017 0.070345 0.083712
C 1.643 0.3 0.14114 0.068272 0.12809
D 0.905 0.3 0.13996 0.067705 0.12073

34
4.3.4 Thermal Stress Yang Terjadi Pada Thermoelectric
Thermal stress adalah tegangan pada material karena perubahan suhu dan
dapat menyebabkan deformasi pada material. Tegangan thermal yang terjadi pada
thermoelectric diakibatkan adanya perbedaan suhu saat mengalir menuju material
yang berbeda. Pada penelitian ini tegangan thermal diambil pada 1 kali siklus atau
300 detik proses running. Gambar 4.10 menunjukkan tegangan thermal yang terjadi
pada thermoelectric. Semakin rendah laju pemanasan maka semakin besar nilai
tegangan thermal pada thermoelectric. Tabel 4.8 menunjukkan data nilai tegangan
thermal pada modul thermoelectric. Tegangan thermal terbesar diperoleh pada
modul TEM D sebesar 94.179 MPa dan nilai terkecil pada TEM A sebesar 28.955
Mpa. Mayoritas tegangan thermal terjadi pada joining antara tembaga dengan
bismuth. Hal ini menunjukkan bahwa adanya tegangan thermal dapat menyebabkan
terjadinya micro-crack pada lapisan joining (Riyadi et al. 2022).

(a)

35
(b)

(c)

(d)

Gambar 4.10 Thermal Stress pada modul thermoelectric

36
Tabel 4.8 Nilai Thermal Stress pada modul thermoelectric

Laju Pemanasan Mesh Thermal Stress (MPa)


Modul
°C/s (mm) max min
A 3.917 0.3 28.955 11.10-5
B 2.673 0.3 44.54 17.10-5
C 1.643 0.3 54.533 21.10-5
D 0.905 0.3 94.179 36.10-5

4.4 Pengaruh Mesh Terhadap Tegangan Listrik Yang Dihasilkan


Thermoelectric

Pada penelitian ini dilakukan variasi mesh untuk mengetahui adanya


perbedaan tegangan yang dihasilkan modul thermoelectric. Mesh dimulai dari
ukuran 0.6 mm hingga 0.2 mm dengan selisih setiap mesh 0.1 mm. Kemudian
dipilih untuk tes pengujian pada modul thermoelectric D dikarenakan memiliki
nilai tegangan paling tinggi, maka dari itu tujuan dari penelitian untuk mengetahui
tingkat perbedaan nilai tegangan yang dihasilkan thermoelectric dengan mesh
yang berbeda.

Gambar 4.11 menunjukkan pengaruh mesh terhadap output tegangan


listrik pada modul thermoelectric. Semakin kecil mesh yang digunakan maka
semakin kecil nilai tegangan listrik yang dihasilkan. Tabel 4.9 menunjukkan data
nilai tegangan listrik terhadap pengaruh mesh. Nilai tegangan listrik tertinggi
diperoleh pada mesh 0.6 mm dan 0.5 mm sebesar 39.067 mV sedangkan nilai
terendah diperoleh pada mesh 0.2 sebesar 39.013 mV. Tabel 4.10 menunjukkan
data pengaruh mesh 0.3 mm terhadap variasi laju pemanasan. Semakin rendah laju
pemanasan maka semakin tinggi nilai tegangan listrik yang dihasilkan oleh modul
thermoelectric dengan ukuran mesh yang sama. Diketahui dari tabel 4.10 nilai
tegangan listrik terbesar diperoleh pada TEM D dengan laju pemanasan 0.905 °C/s
memiliki nilai tegangan listrik sebesar 39.024 mV sedangkan nilai tegangan listrik
terendah diperoleh pada TEM A dengan laju pemanasan 3.917 °C/s sebesar 37.013
mV

37
a. 0.2

b. 0.3

c. 0.4

38
d. 0.5

e. 0.6

Gambar 4.11 Pengaruh mesh terhadap output tegangan pada modul


thermoelectric

Tabel 4.9 Pengaruh mesh terhadap output tegangan pada modul


thermoelectric

Laju Pemanasan Mesh Tegangan Listrik


Modul
(°C/s) (mm) (mV)
D 0.905 0.2 39.013
D 0.905 0.3 39.024
D 0.905 0.4 39.048
D 0.905 0.5 39.067
D 0.905 0.6 39.067

39
Tabel 4.10 Pengaruh mesh 0.3 mm terhadap variasi laju pemanasan

Modul Laju Pemanasan Suhu Tertinggi Mesh Tegangan Listrik


(°C/s) °C (mm) (mV)
A 3.917 159 0.3 37.013
B 2.673 158.25 0.3 37.3
C 1.643 156.5 0.3 38.399
D 0.905 155.25 0.3 39.024

40
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan

Penelitian simulasi dengan software ANSYS ini telah berhasil mengetahui


pengaruh laju pemansan terhadap tegangan listrik yang dihasil oleh modul TEG
yang mendapatkan variasi laju pemanasan. Dari analisa dan pembahasan diperoleh
kesimpulan sebagai berikut:

1. Dari hasil simulasi diketahui bahwa semakin rendah laju pemanasan


dari 3.917 °C/s ke 0.905 °C/s maka nilai tegangan listrik modul
thermoelectric semakin tinggi. Nilai tegangan listrik yang dihasilkan
melalui metode simulasi dapat dikatakan sama dengan hasil dari
eksperimen, dengan error 2%.
2. Hasil simulasi telah menunjukkan pengaruh laju pemanasan terhadap
distribusi panas, heat flux dan tegangan thermal.
• Semakin rendah laju pemanasan maka suhu maksimum pada sisi
panas thermoelectric semakin rendah. Pada TEM A suhu
maksimum didapatkan sebesar 159 °C kemudian turun hingga
155.25 °C pada TEM D.
• Semakin rendah laju pemanasan membuat nilai heat flux semakin
rendah sehingga nilai laju pemanasan berbanding lurus dengan nilai
heat flux yang dihasilkan. Pada bagian joining BiSn merupakan
bagian yang mengalami distribusi heat flux terbesar dengan nilai
0.14789 W/mm2 pada TEM A dan 0.12073 W/mm2 pada TEM D.
• Semakin rendah laju pemanasan maka nilai thermal stress semakin
tinggi yang dikarenakan waktu siklus yang semakin lama sehingga
membuat modul thermoelectric mengalami pembebanan thermal
lebih tinggi.

41
• Semakin rendah laju pemanasan maka semakin tinggi keluaran
tegangan yang dihasilkan. Hal ini dibuktikan dengan modul
thermoelectric D memiliki nilai tegangan tertinggi sebesar 39.024
mV dengan laju pemanasan 0.905 °C/s.

5.2 Saran
1. Penelitian selanjutnya perlu menggunakan spesifikasi computer yang
lebih tinggi agar hasil yang diperoleh semakin akurat dan waktu proses
running menjadi lebih cepat.
2. Penelitian selanjutnya perlu dilakukan untuk mengetahui deformasi
akibat thermal stress pada modul thermoelectric dengan siklus berulang
dengan menggunakan metode elemen hingga (FEM).
3. Penelitian selanjutnya perlu memastikan data material dengan tepat agar
hasil proses simulasi menjadi akurat dengan kondisi real di lapangan.

42
DAFTAR PUSTAKA

Catrawedarma, I G N Bagus, Mulya Juarsa, and Ismu Handoyo. 2015. “Vertikal


Untuk Kasus Bilateral Heating Berdasarkan Perubahan Temperatur Awal
Plat Reaktor Nuklir Terjadi Saat Kasus Boiling Heat Transfer Dalam Celah
Sempit Seperti , c Ritical Heat Flux ( CHF ), Pressure Pada Celah Sempit
Rektangular Vertikal Pemanasan D.” 1(2): 50–59.

Champier, Daniel. 2017. “Thermoelectric Generators: A Review of Applications.”


Energy Conversion and Management 140: 167–81.

Fauzia, Rivta. 2013. “Penggunaan Metode Simulasi Dalam Meningkatkan Prestasi


Belajar Siswa Ranah Psikomotor Universitas.” Repository.Upi.Edu: 57–77.

Geppert, B. et al. 2015. “Finite-Element Simulations of a Thermoelectric


Generator and Their Experimental Validation.” Energy Harvesting and
Systems 2(1–2).

Harish, S. et al. 2021. “Performance of Bismuth Telluride Modules under Thermal


Cycling in an Automotive Exhaust Thermoelectric Generator.” Energy
Conversion and Management 232(September 2020): 113900.
https://doi.org/10.1016/j.enconman.2021.113900.

Hsu, Cheng Ting et al. 2011. “An Effective Seebeck Coefficient Obtained by
Experimental Results of a Thermoelectric Generator Module.” Applied
Energy 88(12): 5173–79. http://dx.doi.org/10.1016/j.apenergy.2011.07.033.

Jouhara, Hussam et al. 2021. “Thermoelectric Generator (TEG) Technologies and


Applications.” International Journal of Thermofluids 9.

Luo, Ding, Yuying Yan, Ruochen Wang, and Weiqi Zhou. 2021. “Numerical
Investigation on the Dynamic Response Characteristics of a Thermoelectric
Generator Module under Transient Temperature Excitations.” Renewable
Energy 170: 811–23. https://doi.org/10.1016/j.renene.2021.02.026.

McKnight, P T. 2010. “Finite Element Analysis of Thermoelectric Systems with


Applications in Self Assembly and Haptics.”

43
Merienne, R., J. Lynn, E. McSweeney, and S. M. O’Shaughnessy. 2019. “Thermal
Cycling of Thermoelectric Generators: The Effect of Heating Rate.” Applied
Energy 237(November 2018): 671–81.

Riyadi, Tri Widodo Besar et al. 2021. “Analysis of Mechanical and Thermal
Stresses Due to TiN Coating of Fe Substrate by Physical Vapor Deposition.”
Forces in Mechanics 4: 100042.
https://doi.org/10.1016/j.finmec.2021.100042.

———. 2022. “Effect of Thermal Cycling with Various Heating Rates on the
Performance of Thermoelectric Modules.” International Journal of Thermal
Sciences 178(March): 107601.
https://doi.org/10.1016/j.ijthermalsci.2022.107601.

Zulkifli, Muhammad Nubli, Izzudin Ilias, Amir Abas, and Wan Mansor Wan
Muhamad. 2017. “Finite Element Analysis of Thermoelectric Generator with
Aluminum Plate for Waste Heat Recovery Application.” International
Journal on Advanced Science, Engineering and Information Technology
7(4): 1328–33.

44

Anda mungkin juga menyukai