Kegiatan membaca yang dilakukan dengan sungguh – sungguh untuk memahami isi
bacaan.
Fakta adalah peristiwa yang merupakan kenyataan dan sesuatu yang benar – benar terjadi
Opini adalah pendapat atau tanggapan redaksi digunakan untuk menguatkan pandangan
atau sikap terhadap suatu peristiwa dan masalah yang di bahas
3. Menyampaikan argumentasi
• Argumen tidak dapat mengulang pendapat yang pernah disampaikan pihak lain lain
4. Menyampaikan saran
Agenda politik terbesar sepanjang sejarah sudah didepan mata. Agenda yang dimaksud
ialah pemilu dan pilkada yang digelar serentak pada 2024. Menyerentakkan pemilu dan pilkada
pada tahun yang sama diharapkan akan menghasilkan pemerintahan yang stabil.
Jadwal pemilu dan pilkada diputuskan bersama oleh DPR, pemerintah dan
penyelenggara pemilu pada 21 Januari 2022. Disepakati, pemunggutan suara pemilu digelar
pada 14 Februari 2024 dan pilkada dihelat pada 27 November 2024.
Argumentasi yang disampaikan KPU terkesan masuk akal. Tujuan memajukan waktu
penyelenggaraan pilkada ialah untuk mencapai keserentakan dengan pelantikan kepala daerah
pada Desember 2024. Pemunggutan suara pilkada pada November 2024 dinilai terlalu dekat
dengan pelantikan pada Desember. Padahal, setelah pemunggutan suara selalu ada potensi
pemunggutan dan perhitungan suara ulang hasil sengketa di Mahkamah konstitusi.
Usulan KPU yang terkesan masuk akal menimbulkan pertanyaan, apakah pada saat KPU
mengusulkan pilkada digelar 27 November 2024 tidak mempertimbangkan semua hal yang kini
disampaikan?
Terus terang, usulan KPU itu hanya memperlihatkan sikap inkonsistensi. Amatlah
berbahaya mempertaruhkan keberhasilan agenda besar bangsa ini pada penyelenggara pemilu
yang tidak konsisten. Elok nian bila saat ini KPU fokus melakasanakan tahapan pemilu yang
sedang berjalan daripada mewancanakan hal yang malah menimbulkan persoalan baru.
Persoalan baru yang muncul dengan memajukan jadwal pilkada pada Septemer 2024
ialah mesti merevisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Pilkada digelar
pada November 2024 merupakan perintah undang-undang yang mesti konsisten dijalankan
oleh KPU. Perintah itu tertuang dalam Pasal 201 ayat (8) UU No 10/2016 yang menyebutkan
pemunggutan suara serentak nasional dalam pemilihan gubernur dan wakil gurbernur, bupati
dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota diseluruh wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia dilaksanakan pada November 2024.
Pilkada 27 November 2024 itu digelar hanya satu bulan setelah pelantikan kepemimpinan
nasional hasil Pemilu 2024. Bisa dipahami bila ada yang mempersoalkan apakah pilkada
digelar dalam kondisi politik yang stabil? Apakah pelaksanaan pilkada saat itu masih terkena
imbas oleh kontestasi politik yang sangat ketat pada saat pemilu digelar?
Ada kekhawatiran kepemimpinan nasional yang dilantik pada 20 Oktober 2024 belum
sepenuhnya mampu mengendalikan situasi politik menjadi kondusif.
Jika pilkada digelar pada September 2024, diperkirakan stabilitas politik masih cenderung
stabil karena presiden, wakil presiden, dan kabinet belum berganti.
Pilihan ada di tangan DPR, pemerintah, dan penyelenggara pemilu, apakah masih kukuh
mempertahankan pilkada digelar 27 November 2024 atau dimajukan dua bulan ke September
2024? Setiap pilihan pastilah ada konsekuensinya, memilih merevisi UU Pilkada atau pilkada
digelar di tengah kondisi politik yang kurang stabil.
A. Struktur Teks Editorial
1. Pernyataan pendapat/Tesis
Agenda politik terbesar sepanjang sejarah sudah didepan mata. Agenda yang dimaksud
ialah pemilu dan pilkada yang digelar serentak pada 2024. Menyerentakkan pemilu dan
pilkada pada tahun yang sama diharapkan akan menghasilkan pemerintahan yang
stabil.
Jadwal pemilu dan pilkada diputuskan bersama oleh DPR, pemerintah dan
penyelenggara pemilu pada 21 Januari 2022. Disepakati, pemunggutan suara pemilu
digelar pada 14 Februari 2024 dan pilkada dihelat pada 27 November 2024.
2. Argumetasi
Argumentasi yang disampaikan KPU terkesan masuk akal. Tujuan memajukan waktu
penyelenggaraan pilkada ialah untuk mencapai keserentakan dengan pelantikan kepala
daerah pada Desember 2024. Pemunggutan suara pilkada pada November 2024 dinilai
terlalu dekat dengan pelantikan pada Desember. Padahal, setelah pemunggutan suara
selalu ada potensi pemunggutan dan perhitungan suara ulang hasil sengketa di
Mahkamah konstitusi.
Usulan KPU yang terkesan masuk akal menimbulkan pertanyaan, apakah pada saat
KPU mengusulkan pilkada digelar 27 November 2024 tidak mempertimbangkan semua
hal yang kini disampaikan?
Terus terang, usulan KPU itu hanya memperlihatkan sikap inkonsistensi. Amatlah
berbahaya mempertaruhkan keberhasilan agenda besar bangsa ini pada penyelenggara
pemilu yang tidak konsisten. Elok nian bila saat ini KPU fokus melakasanakan tahapan
pemilu yang sedang berjalan daripada mewancanakan hal yang malah menimbulkan
persoalan baru.
Persoalan baru yang muncul dengan memajukan jadwal pilkada pada Septemer 2024
ialah mesti merevisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Pilkada
digelar pada November 2024 merupakan perintah undang-undang yang mesti konsisten
dijalankan oleh KPU.
Perintah itu tertuang dalam Pasal 201 ayat (8) UU No 10/2016 yang menyebutkan
pemunggutan suara serentak nasional dalam pemilihan gubernur dan wakil gurbernur,
bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota diseluruh wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada November 2024.
3. Penyataan Ulang Pendapat
Sekalipun ada kesan inkonsistensi dengan usulan memajukan jadwal pilkada ke
September 2024, ada baiknya tetap dipertimbangkan secara saksama dengan kepala
dingin terkait untung ruginya.
Pilkada 27 November 2024 itu digelar hanya satu bulan setelah pelantikan
kepemimpinan nasional hasil Pemilu 2024. Bisa dipahami bila ada yang mempersoalkan
apakah pilkada digelar dalam kondisi politik yang stabil? Apakah pelaksanaan pilkada
saat itu masih terkena imbas oleh kontestasi politik yang sangat ketat pada saat pemilu
digelar?
Ada kekhawatiran kepemimpinan nasional yang dilantik pada 20 Oktober 2024 belum
sepenuhnya mampu mengendalikan situasi politik menjadi kondusif.
Jika pilkada digelar pada September 2024, diperkirakan stabilitas politik masih
cenderung stabil karena presiden, wakil presiden, dan kabinet belum berganti.
Pilihan ada di tangan DPR, pemerintah, dan penyelenggara pemilu, apakah masih
kukuh mempertahankan pilkada digelar 27 November 2024 atau dimajukan dua bulan
ke September 2024? Setiap pilihan pastilah ada konsekuensinya, memilih merevisi UU
Pilkada atau pilkada digelar di tengah kondisi politik yang kurang stabil.