Anda di halaman 1dari 4

Nama : Sahda Diva Ariella

NIM : 04010321024
Kelas : BKI B1

HADITS TENTANG POTENSI MANUSIA


1. Hadits dan Terjemahan

َ ‫س َأ ْف‬
:‫ض ( ُل؟ قَ((ا َل‬ ُّ ‫ َأ‬:‫سلَّ َم‬
ِ ‫ي النَّا‬ َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ ُ ‫ قِي َل لِ َر‬:‫ قَا َل‬،‫عَنْ َع ْب ِد هَّللا ِ ْب ِن َع ْم ٍرو‬
َ ِ ‫سو ِل هَّللا‬
ِ ‫ فَ َم((ا َم ْخ ُم((و ُم ا ْلقَ ْل‬،ُ‫ نَ ْع ِرفُ(ه‬،‫ان‬
‫ب؟‬ َ ِّ‫ق الل‬
ِ (‫س‬ َ :‫ قَالُوا‬، »‫ان‬
ُ ‫صدُو‬ ِ ‫س‬َ ِّ‫ُوق الل‬
ِ ‫صد‬ ِ ‫وم ا ْلقَ ْل‬
َ ،‫ب‬ ِ ‫« ُك ُّل َم ْخ ُم‬
1
َ ‫ َواَل َح‬،‫ َواَل ِغ َّل‬،‫ َواَل بَ ْغ َي‬،‫ اَل ِإ ْث َم فِي ِه‬،‫ « ُه َو التَّقِ ُّي النَّقِ ُّي‬:‫قَا َل‬
‫سدَ» رواه ابن ماجة‬

Artinya:
Dari 'Abdullah bin 'Amr, dia berkata: "Rasulullah SAW. pernah ditanya: “Manuia manakah
yang paling utama?” Beliau menjawab: "Setiap yang bersih hatinya dan benar lisannya”.
Para sahabat berkata: “Kalau orang yang benar lidahnya telah kami ketahui, bagaimana
dengan orang yang bersih hatinya?”. Beliau bersabda: ,”Yaitu orang yang bertakwa dan
bersih, hatinya, yang tidak ada dosa, kezhaliman, kedengkian serta hasad baginya”. (HR.
Ibnu Majah).2

2. Penjelasan Hadits
Hadits diatas menjelaskan bahwa manusia yang paling utama ialah manusia yang bersih
hatinya dan benar ucapannya atau selalu berkata jujur. Bersih yang dimaksud disini ialah
tidak adanya dosa, rasa dengki juga durhaka kepada Allah SWT maupun kepada sesama
manusia. Salah satu potensi dalam diri manusia, yaitu hati. Hati merupakan alat yang
digunakan dalam proses perenungan dan berpikir untuk memahami segala sesuatu dan
menjawab setiap pertanyaan yang muncul (terutama mengenai metafisik), di mana proses

1
Abdullah Muhammad bin Yazid bin Majah ar-Rabi‟i Al-Qazwini, Sunan Ibnu Majah, Juz I, (ttp: Baitul Afkar ad-
Dauliyyah, 1420H), hlm. 299
2
Abu Abdullah Muhammad bin Yazid Ibnu Majah, Terjemah Sunan Ibnu Majah Jilid IV, Abdullah Shonhaji
(Semarang: Asy Syifa', 1993), hlm. 938
tersebut membuatnya semakin yakin dan semakin dekat dengan Allah.3 Hati merupakan
bagian dari manusia yang berfungsi sebagai pemandu, pengontrol, pengendali struktur
manusia yang lain sehingga membentuk karakter dan mempengaruhi akal manusia untuk
selalu senantiasa mengingat akan kekuasaan Tuhannya.4 Jika hati berfungsi secara normal
maka karakter manusia akan baik dan sesuai dengan fitrah asalnya. Begitu juga ketika
berbicara, jika hati bersih, maka manusia dapat mengontrol ucapannya agar tidak berkata
dusta. Hati manusia akan bersih jika ia mampu menjauhkan diri dari segala hal-hal yang
dilarang dalam agama Islam. Sebaliknya, hati manusia sering mengalami sakit, itu
dikarenakan manusia jauh dari petunjuk dan tuntunan ajaran agama Islam, sehingga ia tidak
memiliki pegangan untuk mengendalikan segala perbuatannya. Dua sifat yang selalu ada
dalam diri setiap manusia; yaitu sifat baik (Al-Khair) dan sifat buruk (Al-Syarr), dapat
menentukan sehat dan sakitnya hati seorang manusia.5
Menurut Muhammad Al-Bani dalam Bukunya Agar Hati Tak Mati Berkali-Kali ia
mengatakan bahwa: “pendidikan hati (qalb) ialah merupakan upaya pembersihan hati dari
segala dosa, kemaksitan serta pelatihan hati agar selalu condong kepada kebaikan,
pembersihan yang dilakukan dengan cara-cara tertentu dan metode-metode yang sudah
ditetapkan.”6

3
Burga, Muhammad Alqadri, "Hakikat Manusia Sebagai Makhluk Pedagogik”, Al-Musannif : Jurnal Pendidikan
Islam dan Keguruan, Vol 1 No. 1, 2019, hlm. 19-31.
4
Rochim, “Konsep Pendidikan Jasmani, Akal Dan Hati Dalam Perspektif Hamka”, Jurnal Tarbiyatuna Vol 2 No.
2, 2017, hlm. 60.
5
Mahjuddin, Pendidikan Hati Kajian Tasawuf Amali Cet.2, (Jakarta: Kalam Mulia, 2001), hlm. 61-63
6
Muhammad. Al-bani, Agar Hati Tak Mati Berkali-kali, (Solo: Era Intermedia, 2003), hlm. 52
HADIST TENTANG FITRAH MANUSIA
1. Hadist dan Terjemahan

‫ « َم((ا ِمنْ َم ْولُ((و ٍد‬:‫س(لَّ َم‬ َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي( ِه َو‬ َ ‫ قَا َل النَّبِ ُّي‬:‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ يَقُو ُل‬ ِ ‫عَنْ َأبِي ه َُر ْي َرةَ َر‬
َ ‫( َأ ْو يُ َم ِّج‬،‫ص( َرانِ ِه‬
ُ‫ َك َم((ا تُ ْنت ُ(َج البَ ِهي َم( ة‬،‫س(انِ ِه‬ ِّ َ‫ فَ(َأبَ َواهُ يُ َه ِّودَانِ( ِه َأ ْو يُن‬،‫(ر ِة‬
َ (‫ِإاَّل يُولَ( ُد َعلَى الفِ ْط‬
ِ ‫ ثُ َّم يَقُ((و ُل َأبُ((و ه َُر ْي( َرةَ َر‬،»‫س(ونَ فِي َه((ا ِمنْ َج( ْدعَا َء‬
(:ُ‫ض( َي هَّللا ُ َع ْن(ه‬ ُّ ‫ َه ْل ت ُِح‬،‫بَ ِهي َمةً( َج ْم َعا َء‬
7
‫] اآليَةَ رواه البخاري‬30 :‫اس َعلَ ْي َها} [الروم‬ َ َّ‫{فِ ْط َرةَ هَّللا ِ الَّتِي فَطَ َر الن‬
Artinya:
“Dari Abu Hurairah RA, sesungguhnya dia berkata, “Rasulullah saw bersabda:
“Tidak ada seorang anak yang terlahir melainkan ia dilahirkan dalam keadaan fitrah,
maka kedua orang tuanya-lah yang membuatnya menjadi Yahudi, Nasrani, maupun
Majusi, sebagaimana binatang ternak melahirkan binatang ternak yang tanpa cacat.
Apakah kalian merasa bahwa pada binatang ternak itu akan ada yang terpotong
telinganya (misalnya)?” Kemudian Abu Hurairah berkata: “(Tetaplah atas) fitrah
Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.” (Q.S Ar-Rum: 30) (HR.
Bukhari)8

2. Penjelasan
Hadits diatas memberikan suatu gambaran bahwa setiap manusia dilahirkan
dalam keadaan fitrah. Hal ini berarti secara fisik, manusia dilahirkan dalam keadaan
sama-sama lemah, namun bukan berarti tak berdaya seperti pandangannya jabariyah9,
karena setiap manusia memiliki potensi yang berupa kecenderungan-kecenderungan
tertentu yang menyangkut daya nalar, mental, maupun psikis yang berbeda-beda jenis
dan tingkatannya. Menurut Ibn Athiyah, fitrah sebagai keadaan atau kondisi penciptaan
yang terdapat dalam diri manusia yang menjadikannya berpotensi melalui fitrah itu,
mampu membedakan ciptaan-ciptaan Allah SWT serta mengenal Tuhan, syari’at,

7
Abu Abdullah Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim ibn al-Mughirah ibn Bardazba Al-Bukhari Al-Jaafi,
Shahih Bukhari juz 2, (Beirut: Dar Touq Al-Najat, 1433 H), hlm 94.
8
Imam An-Nawawi, Al-Minhaj Syarh Shahih muslim ibn Al-Hajjaj Jilid XI, Terj. Fathoni Muhammad dan Futuhal
Arifin, (Jakarta: Darus Sunah, 2011), hlm 885.
9
Harun Nasution, Teologi Islam, (Jakarta: UI-Press, 1998), hlm. 31-34.
dan beriman kepada-Nya. Akan tetapi fitrah yang terdapat dalam diri manusia itu
nantinya akan berkembang dipengaruhi oleh kondisi lingkungannya.10 Jika kondisi
lingkungannya berpengaruh baik, maka fitrah akan berkembang dengan baik sesuai
fitrahnya, akan tetapi jika kondisi lingkungannya tidak berpengaruh baik, maka fitrah
tidak akan berkembang dengan baik sesuai fitrahnya.

Dalam perspektif pendidikan Islam, fitrah manusia menyangkut kekuatan-kekuatan


manusia. Kekuatan tersebut meliputi kekuatan hidup (upaya mempertahankan dan
melestarikan hidupnya), kekuatan rasional (akal), dan kekuatan spiritual (agama).
Ketiga kekuatan ini bersifat secara dinamis dan terkait secara integral, karena perpaduan
ketiga kekuatan ini merupakan satu kesatuan yang utuh. Menurut H. M. Arifin, aspek-
aspek fitrah merupakan komponen dasar yang bersifat dinamis, responsif terhadap
pengaruh lingkungan sekitar, termasuk pengaruh pendidikan. Adapun Komponen-
komponen dasar fitrah manusia meliputi, yakni bakat, insting atau garizah, nafsu,
karakter atau watak tabiat manusia, hereditas atau keturunan, intuisi.11
Dengan demikian, para ulama maupun para mufassir, hampir semuanya
menguatkan pendapat yang menyatakan adanya fitrah yang telah dibawa manusia sejak
lahir. Eksistensi fitrah ini akan terus mengalami perkembangan hingga dewasa.
Sehingga, jika ada orang yang berbuat keburukan, bisa dikatakan manusia tersebut telah
melenceng dari fitrahnya, mengingkari fitrahnya. Hal ini terjadi karena berbagai
sebab, yang di antaranya bisadijumpai di berbagai ayat al-Qur’an. Manusia menjadi
baik atau buruknya adalah akibat faktor pendidikan dan lingkungan, bukan kepada
tabiat aslinya. Menurut Abd al-Rahman al-Bani yang dikutip an-Nahlawi menyatakan
tugas pendidikan islam adalah menjaga dan memelihara fitrah manusia, kemudian
mengembangkan dan mempersiapkan semua potensi yang dimiliki, dengan
mengarahkan fitrah dan potensi yang ada dan menuju kebaikan dan kesempurnaan,12
serta memberikan ajaran ilmu Al-Qur’an sebagai solusi untuk menyelamatkan dan
mengembangkan fitrah tersebut, agar manusia bisa menjadi manusia yang seutuhnya.

10
Abdul Haq ibn Atiyah Al-Andalusi, Al-Muharrar Al-Wajiz, (ttp: Dar ibn Hazm, 1423 H), hlm. 1476.
11
H. M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2014), hlm. 50-51.
12
Mualimin, Konsep Fitrah Manusia dan Implikasinya dalam Pendidikan Islam, (Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan
Islam, Vol 8, No. 2, 2017), hlm. 249.

Anda mungkin juga menyukai