Anda di halaman 1dari 33

BAB II

LANDASAN TEORI

II.1 Siklus Tenaga Uap dan Energi Listrik


Energi listrik dan siklus tenaga uap adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan.
Sebagai contoh, energi listrik dihasilkan dari suatu pembangkit dengan memanfaatkan
siklus tenaga uap yang merupakan siklus termodinamika sebagai konsep dasarnya.
Dengan memanfaatkan hukum-hukum termodinamika yang ada, sebuah pembangkit
listrik dapat dianalisis dalam proses pengubahan energi dari suatu bentuk ke bentuk
energi lainnya, termasuk menjadi energi listrik. Adapun bentuk energi lainnya tersebut
dapat juga berupa energi mekanik maupun energi panas.
II.1.1 Siklus Tenaga Uap
Hukum kekekalan energi mengatakan bahwa sebuah bentuk energi tidak dapat
diciptakan, ataupun dimusnahkan, tetapi hanya dapat dikonversikan kebentuk energi
lainnya . Berdasarkan hukum kekekalan energi tersebut, ilmu termodinamika dalam
hal ini siklus tenaga uap memainkan perannya dalam mengubah atau mengkonversi
energi panas kebentuk energi lainnya.
Siklus Tenaga Uap atau umumnya dikenal dengan Siklus Rankine adalah salah
satu siklus tertutup termodinamika yang digunakan untuk mengkonversikan energi
panas/kalor menjadi energi kerja dalam bentuk fluida kerja yang digunakan, dimana
fasa dalam fluida kerja ini dapat berubah-ubah selama siklus berlangsung yaitu dari
wujud cair menjadi uap dan begitupun sebaliknya. Berikut ini bentuk sederhana dari
aplikasi Siklus Tenaga Uap (Siklus Rankine), ditampilkan pada Gambar II.1.

II-1
II-2

Gambar II.1 Sistem Pembangkit Tenaga Uap


Sumber : Ambarita, 2010
Sistem pembangkit tenaga uap mempunyai 4 bagian sistem utama, diantaranya
yaitu siklus tenaga uap, sistem pembakaran, sistem pendinginan dan sistem konversi
energi listrik. Sistem pembakaran adalah semua komponen yang digunakan untuk
memasukkan energi dalam bentuk panas ke dalam Siklus Tenaga Uap sampai
pembuangannya ke udara lingkungan, sementara sistem pendingin digunakan untuk
mendinginkan sisa uap yang keluar dari turbin, dan sistem konversi energi adalah alat
yang digunakan untuk mengubah putaran yang dihasilkan oleh turbin menjadi energi
listrik. Sistem ini menggunakan generator. Siklus tenaga uap akan dijelaskan pada
bagian berikut
Pada Gambar II.1 terlihat bahwa sistem pembangkir tenaga uap terdiri dari 4
komponen utama , yaitu pompa, boiler, turbin dan kondensor. Rangkaian keempat
komponen utama ini ditampilkan pada Gambar 2. Siklus yang ditampilkan pada
gambar ini adalah siklus tertutup. Fluida kerja yang umum digunakan pada STU adalah
air.
II-3

II.1.1.1 Proses Siklus Tenaga Uap


Ketika air keluar dari kondensor, air akan dipompakan oleh pompa sampai
tekanannya sama dengan tekanan boiler. Kemudian air bertekanan ini akan dipanaskan
di dalam boiler hingga berubah wujudnya menjadi uap. Akibat perubahan wujud ini,
akan terbentuk uap bertekanan yang dapat ditembakkan ke sudu-sudu turbin, sehingga
membuat turbin berputar. Putaran turbin inilah yang akan disebut sebagai energi dalam
bentuk kerja atau energi mekanik. Setelah melewati turbin, tekanan dan temperatur uap
akan turun. Kemudian uap ini akan dikondensasikan di dalam kondensor. Proses ini
akan melepaskan sebagian energi dalam bentuk panas ke luar dari siklus. Setelah
melalui kondensor, uap akan berubah menjadi air dan kembali masuk ke dalam pompa,
dan siklus akan berulang. Dari penjelasan ini dapat dilihat bahwa fluida kerja
mengalami perubahan fasa dari cair ke uap dan kembali cair.

Gambar II.2 Diagram P-h dan T-s Siklus Rankine


Sumber : Ambarita, 2010
Proses termodinamika yang dialami fluida pada STU dapat digambarkan dengan
menggunakan diagram T-s dan diagram P-h. Fluida yang umum digunakan pada STU
adalah air, maka pada gambar berikut digram yang ditampilkan adalah untuk air. Secara
ideal proses ini dapat dibagi atas, 4 proses, yaitu:
a) Proses 1-2 : Proses Kompresi isentropik oleh pompa.
b) Proses 2-3 : Pemanasan fluida kerja secara isobaric pada boiler.
c) Proses 3-4 : Ekspansi isentropic pada Turbin.
d) Proses 4-1 : Perpindahan panas dari fluida ke lingkungan secara isobarik.
II-4

II.1.2 Energi Listrik


Energi listrik adalah energi utama yang dibutuhkan bagi peralatan listrik yang
tersimpan dalam arus listrik (A) dan tegangan listrik (V) dengan ketentuan kebutuhan
konsumsi daya listrik (W) untuk menggerakkan motor, lampu penerangan, peralatan
pemanas, peralatan pendingin atau menggerakkan kembali suatu peralatan mekanik
untuk menghasilkan bentuk energi yang lain.
II.2 Proses Pengolahan Semen
Pada proses produksi pembuatan semen di PT Holcim Indonesia, Tbk (Cilacap
Plant ) digunakan proses kering. Keuntungan dari proses kering ini bila dibandingkan
dengan proses basah adalah penggunaan bahan bakar yang lebih sedikit dan energi
yang dikonsumsi lebih kecil. Proses yang kini banyak dipakai adalah proses kering
karena efisiensi bahan bakarnya lebih tinggi (Duda, 1984). Adapun jenis bahan baku
yang dibutuhkan pada pembuatan semen yang dapat dilihat pada Tabel II.1 berikut ini:
Tabel II.1 Jenis Bahan Baku dan Perbandingan Berat

Jenis-Jenis Bahan Baku Perbandingan Berat (%)


Batu kapur 80-85
Tanah Liat 6-10
Silika 6-10
Pasir Besi 1
Gypsum 3-5
(Lafarge Holcim, 2015)

Tahapan proses dalam pembuatan semen di PT Holcim Indonesia,Tbk


(Cilacap Plant) dibagi menjadi tiga proses yaitu:
A. Persiapan dan Pengadaan Bahan Baku
a) Penambangan, penghancuran dan penyimpanan bahan baku
Bahan baku hasil penambangan diangkut dengan menggunakan dump truck
dan kemudian dicurahkan ke dalam hopper. Fungsi dari Hopper ini adalah sebagai alat
penampungan awal untuk masukan ke dalam crushing. Crusher yang digunakan untuk
menghancurkan batu kapur terdiri dari dua bagian yang pertama disebut vibrator, yang
II-5

berfungsi untuk mengayak atau menyaring batu kapur sehingga batu kapur yang lebih
kecil akan jatuh menuju belt conveyor, batu kapur yang tertinggal akan secara langsung
ke bagian yang kedua yaituu alat penghancur yang dinamakan hammer. Setelah
mengalami penghancuran bahan baku akan jatuh menuju belt conveyor.
Setelah mengalami penghancuran bahan baku akan dikirim menuju tempat
penyimpanan yaitu stock pile dengan menggunakan belt conveyor. Tempat
penyimpanan terdiri dari dua bagian utama yaitu stock pile dan bin.
b) Penggilingan dan pengeringan bahan baku
Alat utama yang digunakan dalam proses penggilingan dan pengeringan bahan
baku adalah vertical roller mill. Media pengeringannya adalah udara panas yang
berasal dari cooler dan pre-heater. Bahan baku masuk ke dalam vertical roller mill
(raw mill) pada bagian tengah (tempat penggilingan) sementara itu udara panas masuk
ke dalam bagian bawahnya. Material yang sudah tergiling halus akan terbawa udara
panas keluar raw mill melalui bagian atas alat tersebut. Vertical roller mill memiliki
bagian yang dinamakan classifier yang berfungsi untuk mengendalikan ukuran partikel
yang boleh keluar dari raw mill, partikel dengan ukuran besar akan dikembalikan
kedalam raw mill untuk mengalami penghalusan selanjutnya sampai ukurannya
mencapai ukuran yang diharapkan.
Semetara itu partikel yang ukurannya telah memenuhi kebutuhan akan terbawa
udara panas menuju cyclone. Cyclone berfungsi untuk memisahkan antara partikel
yang cukup halus dan partikel yang terlalu halus (debu) partikel yang cukup halus akan
turun kebagian bawah cyclone dan dikirim ke blending silo untuk mengalami
pengadukan dan homogenisasi. Partikel yang terlalu halus (debu) akan terbawa udara
panas menuju electrostatic precipitator. Alat ini berfungsi untuk menangkap debu-
debu tersebut sehingga tidak lepas ke udara. Effisensi alat ini adalah 95-98 %. Debu-
debu yang tertangkap, di kumpulkan di dalam dust bin, sementara itu udara akan keluar
keluar melalui stack.
II-6

B. Proses Pembentukan Semen


a) Pencampuran dan Homogenasi
Alat utama yang digunakan untuk mencampur dan menghomogenkan bahan
baku adalah blending silo, dengan media pengaduk adalah udara. Bahan baku
masuk dari bagian atas blending silo, oleh karena itu alat transportasi yang
digunakan untuk mengirim bahan baku hasil penggilingan blending silo adalah
bucket elevator, dan keluar dari bagian bawah blending silo dilakukan pada
beberapa titik dengan jarak tertentu, dan diatur dengan menggunakan valve yang
sudah diatur waktu bukaannya. Proses pengeluarannya dari beberapa titik
dilakukan untuk menambah kehomogenan bahan baku. Blending silo dilengkapi
dengan alat pendeteksi ketinggian (level indicator), sehingga jika blending silo
sudah penuh, maka pemasukan bahan baku terhenti secara otomatis.
b) Pemanasan awal
Alat utama yang digunakan untuk proses pemanasan awal bahan baku adalah
suspension pre-heater, sedangkan alat bantunya adalah kiln feed bin. Setelah
mengalami homegenisasi di blending silo, material terlebih dahulu ditampung di
dalam kiln feed bin, bin ini merupakan tempat umpan yang akan masuk ke dalam
pre-heater. Suspension pre-heater merupakan suatu susunan empat buah cyclone
dan satu buah calsiner yang tersusun menjadi satu string. Suspension pre-heater
yang digunakan terdiri dari dua bagian yaitu: in-line calsiner (ILC) dan separate
line calsiner (SLC). Jadi pre-heater yang digunakan adalah suspension pre-heater
dengan dua string dan masing–masing string terdiri dari empat tahap pemanasan
dan satu kalsinasi. Masing–masing string mempunyai inlet sendiri–sendiri, dan
material yang masuk melalui ILC akan mengalami calsinasi, karena setelah sampai
calsiner ILC material tersebut ditransfer ke SLC, sedangkan material yang masuk
melalui SLC hanya akan mengalami satu kali kalsinasi, karena setelah sampai ke
kalsiner SLC material akan langsung masuk ke dalam rotary kiln.
c) Pembakaran
Alat utama yang digunakan adalah tanur putar atau rotary kiln. Rotary kiln
adalah alat berbentuk silinder memanjang horizontal yang diletakkan dengan
II-7

kemiringan tertentu. Dari ujung tempat material masuk (in-let), sedangkan di ujung
lain adalah tempat terjadinya pembakaran bahan bakar (burning zone). Jadi
material akan mengalami pembakaran dari temperatur yang rendah menuju
temperatur yang lebih tinggi. Didalam tanur putar terjadi proses kalsinasi (Hingga
100 %), sintering, dan clinkering. Temperatur material yang masuk ke dalam tanur
putar adalah 800 – 900 oC sedangkan temperatur clinker yang keluar dari tanur
putar adalah 1.300 – 1.450 oC.
d) Pendinginan clinker
Alat utama yang digunakan untuk proses pendinginan clinker adalah cooler.
Cooler ini dilengkapi dengan alat penggerak material, sekaligus sebagai saluran
udara pendingin yang disebut grate dan alat pemecah clinker (Clinker Breaker).
Setelah proses pembentukan clinker selesai dilakukan di dalam tanur putar, clinker
tersebut terlebih dahulu didinginkan di dalam cooler sebelum disimpan di dalam
clinker silo. Cooler yang digunakan terdiri dari sembilan compartemen yang
menggunakan uadara luar sebagai pendingin. Udara yang keluar dari cooler
dimanfaatkan sebagai media pemanas pada vertical roller mill , sebagai pemasok
udara panas pada pre-heater, dan sebagian lain dibuang ke udara bebas. Klinker
akan terus bergerak menuju compartemen yang kesembilan dengan bantuan grade
secara reciprocating. Pada ujung kompartemen terdapat clinker breaker yang
berguna untuk mengurangi ukuran klinker yang terlalu besar. Selanjutnya clinker
dikirim menuju tempat penampungan clinker (clinker silo) dengan menggunakan
alat transportasi yaitu deep drawn pan conveyor.
e) Penggilingan akhir
Setelah Klinker melewati proses pendinginan selanjutnya klinker akan
ditampung di clinker silo di clinker silo ini material akan dibagi menjadi dua
bagian, klinker akan didistribusikan secara langsung dan akan melewati proses
berikutnya yaitu ke penggilingan akhir. Di penggilingan akhir ini terjadi
penggilingan antara klinker dengan gypum, alat utama untuk penggilingan ini yaitu
ball mill (Purnomo, 2007).
II-8

C. Pengantongan Semen
Pengantongan semen dimulai dari cement silo. Sebagian semen akan dipasarkan
secara curah melalui junction box lalu ditampung dalam bin dan dialirkan melalui load
spout. Sedangkan untuk semen dalam kemasan kantong, semen dari bin dibawa oleh
air slide menuju bucket elevator yang mengangkut semen ke feed bin setelah diayak
menggunakan screener. Dari feed bin kemudian semen masuk ke packing machine
yang dilengkapi dengan spout tube. Alat ini berfungsi untuk menyuntikkan semen ke
kantong semen. Pemasukan semen ke dalam kantong semen dapat diatur dengan berat
kantong 40 kg dan 50 kg.
II.3 Pemanfaatan Limbah Panas Industri
Limbah panas dari sebuah industri adalah panas yang dihasilkan dalam suatu
proses dengan cara pembakaran bahan bakar atau reaksi kimia. Biasanya panas hasil
proses tersebut dibuang ke lingkungan walaupun masih bisa untuk dimanfaatkan
kembali untuk tujuan penghematan energi dan pengurangan biaya ekonomi.
Panas limbah dari industri mengacu pada energi yang dihasilkan dalam proses
industri tanpa dimanfaatkan kembali secara praktis. Banyak proses industri yang
meembutuhkan energi panas dalam jumlah yang besar, namun sebagian besar habis
untuk dibuang ke lingkungan, baik itu ke atmosfir maupun air. Namun hal tersebut
dilakukan oleh industri bukan tanpa alasan, karena untuk menjaga performa peralatan
dan menghindari terjadinya panas berlebih (Overheat) dari peralatan tersebut, tapi
tentunya jika kita melihat dari sisi ekonomi , hal itu akan merugikan industri karena
terdapat pemborosan energi. Maka dari itu pemulihan limbah panas merupakan
peluang yang besar untuk mengurangi konsumsi industri.
Pemanfaatan limbah panas mengacu pada pemulihan panas yang dihasilkan
sebagai produk sampingan dari suatu proses untuk menyediakan energi tambahan yang
dibutuhkan proses lain. Limbah panas yang diambil dan digunakan kembali merupakan
pengganti yang bebas emisi dari bahan bakar atau listrik. Berikut beberapa opsi dari
pemulihan panas yang secara umum dapat diklasifikasikan menjadi tiga strategi
diantaranya yaitu.
II-9

a. Didaur ulang kembali pada proses produksi


b. Dimanfaatkan pada proses lain
c. Digunakan untuk menghasilkan listrik pada sistem Waste Heat Recovery Power
Generation
Dengan dilakukannya opsi pemanfaatan limbah panas ini maka akan membuat
sistem energi yang berkelanjutan, mengurangi penggunaan energi dan mengurangi
dampak negatif terhadap lingkungan.
II.4 Pemanfaatan Limbah Panas di Industri semen
Industri semen merupakan salah satu konsumen energi terbesar, konsumsi
panas industri semen biasanya sekitar 3-3.5 GJ/t clinker dan konsumsi listriknya
berkisar sekitar 100 kWh/t semen [Apergi,2012]. Panas untuk proses industri tersebut
biasanya dihasilkan dari bahan bakar fosil dan sebagian berasal dari bahan bakar
alternatif seperti sekam padi.
Listrik yang digunakan untuk industri tersebut juga sebagian besar dihasilkan
di pembangkit listrik, yang diantaranya juga menggunakan bahan bakar fosil sebagai
bahan bakarnya, oleh karena itu konsumsi energi dari pabrik semen menciptakan
langsung dan tidak langsung emisi CO2. Ini merupakan faktor yang sangat penting yang
harus dipertimbangkan dalam pemasangan sistem WHR (Waste Heat Recovery)
sebagai persyaratan untuk industri dalam mengurangi emisi gas rumah kaca yang selalu
meningkat tiap tahunnya.
Dalam pabrik semen, limbah panas dapat diambil dari satu atau dua sumber:
1. Gas buang pendingin klinker (Air Quenching Cooler)
2. Gas buang setelah menara Preheater (Suspension Preheater)
II-10

Gambar II.3 Limbah panas di Industri Semen


Sumber : Apergi, 2012
II.4.1 Gas buang dari proses pendingin klinker (Air Quenching Cooler)
Pendinginan Klinker seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, berfungsi untuk
mendinginkan klinker atau bahan setengah jadi dalam pembuatan semen, setelah
terjadi proses pembakaran (burning process) sampai suhu 1.400°C, maka tahap
berikutnya yaitu dilakukan proses pendinginan material sampai suhu dibawah 150°C.
Pendinginan klinker mempengaruhi struktur komposisi mineral grindability dan
kualitas semen yang dihasilkan (Setiyana, 2007).
Tipe Cooler yang digunakan adalah CFG (Control Flow Gate) Cooler. Clinker
didinginkan dari suhu sekitar 1.290°C menjadi sekitar 150°C dengan menggunakan
15 Cooler fan. Clinker Cooler dengan 16 grate yang dilengkapi dengan 15 cooling
fan yang dihembuskan dari bawah grate plate menembus tumpukan material klinker
dengan arah aliran melintang (Cross Flow) hingga menghasilkan udara pembakaran
panas (hot combustion air) yang berkisar pada suhu 1.000 oC hingga 280 oC. Udara
panas yang dihasilkan ini akan digunakan sebagai udara pemulihan (recuperation)
yang berfungsi sebagai pemanas untuk proses pembakaran stokiometrik bahan bakar
pada Proses Kiln dan Pre-calciner.
II-11

Gambar II.4 Skema Proses Air Quenching Cooler


(Sumber : Holcim, 2009)
Udara rekuperasi yang dihasilkan dibagi menjadi 2 jenis udara yaitu udara
sekunder dan udara tersier, dimana udara sekunder digunakan untuk Proses Kiln
sedangkan udara tersier digunakan untuk Proses Pre-Calciner. Namun udara
rekuperasi ini masih memiliki udara yang berlebih (excess air) yang akan ditiup
keluar menuju udara ambient yang melewati sistem dedusting. Udara yang dihasilkan
ini dinamakan Waste Air Gas.
Waste Air Gas ini masih memiliki temperatur yang cukup tinggi yaitu berkisar
pada suhu 250 oC s.d 290 oC, sehingga memilki potensi yang besar untuk dapat
dimanfaatkan sebagai udara pembakaran pada sistem Waste Heat Recovery Power
Generation (WHRPG).
II.4.2 Gas buang dari proses pemanasan awal (Suspension Preheater)
Udara gas buang dari proses Suspension Preheater berasal dari sebuah alat
bernama Cyclone Separator. Alat ini berfungsi untuk memisahkan material kiln feed
dari udara panas, dimana kiln feed akan masuk ke bagian atas samping cyclone,
sedangkan udara atau gas panas dialirakan dari bagian bawah cyclone. Didalam
Cyclone Separator memiliki alat tambahan berupa blower dan fan yang berfungsi
sebagai pengatur aliran gas didalam Cyclone.
II-12

Kiln feed masuk ke dalam cyclone dengan arah tangensial sehingga terjadi
gerakan spiral yang disebabkan oleh gaya sentrifugal, gaya gravitasi, dan gaya angkat
gas dalam cyclone. Partikel-partikel kiln feed terlempar menuju dinding pada bagian
cyclone, hingga mencapai lapisan kerucut bawah cyclone. Gaya sentrifugal dan gaya
gravitasi lebih dominan untuk material kiln feed yang kasar, sedangkan untuk material
kiln feed yang halus berlaku gaya angkat gas sehingga material akan terangkat oleh gas
panas menuju pipa vortex atau ouput gas.

Gambar II.5 Aliran Material pada Cyclone Separator Suspension Preheater


(Sumber : Maarup, 2013)
Gas keluran yang dihasilkan Cyclone Separator pada proses Suspension
Preheater masih memiliki suhu yang cukup tinggi untuk dimanfaatkan lebih lanjut yaitu
sekitar 388 oC hingga 440 oC. Pada kondisi eksistingnya gas yang dihasilkan akan
digunakan untuk proses pengeringan pada proses Raw Mill , Coal Mill dan sebagian di
bypass menuju Conditioning Tower.
II-13

II.5 Waste Heat Recovery Recovery Power Generator (WHRPG) di Industri


Semen
Waste Heat Recovery System untuk semen industri biasanya dikenal dengan
Waste Heat Recovery Power Generator (WHRPG) merupakan sebuah sistem yang
dapat memanfaatkan limbah gas panas untuk menghasilkan uap yang digunakan
sebagai penggerak turbin uap. Komponen–komponen WHRPG memiliki prinsip kerja
yang sama dengan boiler pada umumnya, namun pada WHRPG fluida panas yang
digunakan untuk memanaskan air adalah gas buang dari Preheater dan Cooler yang
memiliki temperatur lebih dari sekitar 250 oC [Apergi,2012].
Gas buang dari Preheater dan Cooler ini akan melewati sejumlah tabung paralel
yang berisi air, setelah itu air akan diuapkan dalam tabung dan dikumpulkan dalam
drum uap. Karena suhu gas buang biasanya berada pada kisaran suhu yang sedang, dan
untuk menghemat ruang maka boiler yang digunakan berjenis Compact Boiler dengan
pipa yang bersirip dengan tujuan untuk meningkatkan area perpindahan panas efektif
pada sisi gas buang.
Tekanan dan laju produksi uap yang dihasilkan tergantung pada suhu gas buang
yang tersedia, karena tekanan uap yang murni terhadap cairannya merupakan fungsi
dari suhu fluida (gas buang) yang menguapkannya. Namun jika suhu gas buang yang
memanaskan boiler tidak mencukupi untuk menghasilkan jumlah uap proses yang
diperlukan , maka diperlukan pembakaran tambahan yang membakar bahan bakar
dalam boiler
II.5.1 Jenis-jenis Sistem WHRPG
Sistem yang digunakan WHRPG untuk memanfaatkan limbah panas merupakan
siklus Rankine, dimana sistem ini mempunyai beberapa tipe utama diantaranya
a. Siklus Rankine Konvensional (Water-Steam Circuit)
Siklus ini merupakan sistem yang paling umum digunakan untuk pembangkit
listrik dari limbah panas di Industri. Dimana gas buang digunakan untuk
menghasilkan uap dalam boiler, kemudian uap digunakan untuk memutarkan turbin
uap. Berikut ini gambar dari diagram siklus rankine konvensional:
II-14

Gambar II.6 Diagram Siklus Rankine Konvensional


Sumber : Sathiyamoorthy dan Biglary, 2016
Siklus ini menggunakan air sebagai fluida kerjanya, dimana air akan dipompa
terlebih dahulu dengan tekanan yang tinggi sebelum memasuki boiler. Setelah itu air
bertekanan akan diuapkan oleh gas buang di dalam boiler dan diperluas ke suhu dan
tekanan yang lebih rendah dalam turbin, sehingga menghasilkan tenaga mekanis
yang dapar menggerakan generator listrik. Kemudian uap dengan tekanan rendah
dibuang ke kondensor pada kondisi vakum, di mana panas akan dihilangkan dengan
kondensasi uap dan uap akan kembali menjadi cairan. Lalu kondensat dari kondensor
dikembalikan ke pompa dan siklus akan berlanjut.
b. Siklus Rankine Organik
Secara keseluruhan dari siklus ini memiliki kesamaan dengan siklus rankine
konvensional, namun yang membedakan adalah fluida kerja yang digunakan, dimana
siklus ini menggunakan cairan organik yang memiliki suhu didih yang rendah atau
fase cair-uap yang rendah (lebih rendah dibanding perubahan fase uap-air).
c. Siklus Rankine Kalina
Siklus Rankine sekarang ini telah dikembangkan dengan menggunakan fluida
campuran dari amonia dan air sebagai fluida pengganti air untuk meningkatkan
efisiensi keseluruhan sistem.
II-15

Tabel II.2 Perbedaan beberapa sistem pada teknologi Waste Heat Recovery
Power Generator
No. Thermal Temperature Typical Sources of Waste Heat
Conversion Range
1 Steam Rankine Cycle Medium, high Exhaust from gas turbines, reciprocating engines,
furnaces and cement kiln
2 Kalina Cycle Low, medium Gas turbine exhaust, boiler exhaust, cement kilns
3 Organic Rankine Low, medium Gas turbine exhaust, boiler exhaust, heated water,
Cycle cement kilns
4 Thermoelectric Medium-high Not yet demonstrated in industrial applications
Generation
5 Piezoelectric Low Not yet demonstrated in industrial applications
generation
6 Thermal Photovoltaic Medium-high Not yet demonstrated in industrial applications
Sumber: Sathiyamoorthy dan Biglary, 2016
II.5.2 Koneksi Sistem WHRPG dengan Proses Produksi Semen
Sistem WHRPG mempunyai persyaratan utama untuk dapat diterapkan dalam
proses produksi semen. Kesulitan yang didapat memanfaatkan gas buang secara efektif
dari dua sumber panas yang berbeda yaitu pada proses Air Quenching Cooler dan
Suspension Preheater untuk dapat dimanfaatkan dalam satu sistem tunggal, ini
disebabkan oleh perbedaan dalam suhu awal dan akhir dari dua sumber gas panas. Oleh
karena itu sistem bukan hanya bergantung pada efisiensi termal sistem, tetapi dapat
memanfaatkan jumlah panas maksimum dari dua sumber panas yang berbeda ini. Oleh
karena itu, sistem WHRPG ini setidaknya memiliki dua buah boiler yang dipasang
secara paralel, karena gas buang dan udara panas tidak dapat bercampur.
1. Koneksi AQC-Boiler
Karena suhu gas buang dari proses pendinginan klinker ini cukup rendah yaitu
sekitar 250 oC, maka pemanfaatan akan dilakukan secara maksimal , dimana udara akan
didinginkan hingga suhu sekitar 110 oC oleh AQC Boiler, dimana udara keluaran yang
telah digunakan akan masuk ke sistem penyaringan debu (dedusting system)
II-16

2. Koneksi SP-Boiler
Suhu rata-rata gas buang dari Suspension Preheater yang berkisar pada suhu 360
o
C akan masuk ke SP-Boiler, dimana gas buang panas akan didinginkan hingga suhu
tidak kurang dari 200 0C. Dimana gas buang panas tersebut akan memasuki proses Raw
Mill untuk menyediakan sumber panas untuk proses pengeringan. SP Boiler sebanding
dengan gas yang di bypass menuju Conditioning Tower.
II.5.3 Faktor-faktor dalam Penerapan Sistem WHRPG
Terdapat beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi seberapa besar daya yang
dapat diambil dari gas buang hasil dari proses Preheater dan Air Quenching Cooler,
diantaranya yaitu sebagai berikut.
1. Proses, konsumsi panas, suhu dan laju udara dan gas baung yang dihasilkan
2. Persyaratan pengeringan bahan baku dan batubara yang menentukan minimum
suhu keluaran gas buang yang dihasilkan SP-Boiler
3. Tipe dari raw mill dan coal mill, semakin rendah lajunya (contoh pada ball mill),
maka dibutuhkan suhu gas yang lebih tinggi pada outlet penukar panas Preheater
dalam mengeringkan material, semakin sedikit panas yang dapat digunakan untuk
membangkitkan listrik.
4. Tipe dedusting sytem yang digunakan pada sisi Cooler. Jika ESP digunakan maka
suhu gas tinggi harus dipertahankan untuk menjaga konduktivitas debu dibanding
filter dedusting yang menyebabkan makin sedikit panas yang dapat dihasilkan.
II.5.4 WHRPG Water-Steam Circuit Kawasaki Plant System
Sistem water-steam circuit ini menggunakan teknologi yang telah dipatenkan
oleh Kawasaki Plant systems and Sinoma EC. Kawasaki Plant systems untuk
pembangkit listrik telah dipasang di lebih dari 32 pabrik semen (kebanyakan dari
Jepang dan China). Prinsip dari metode ini adalah menggunakan media kerja panas
untuk menghasilkan uap jenuh baik di Preheater maupun di Cooler. Listrik yang
dibangkitkan secara umum dapat mencakup sekitar 35%-40% dari konsumsi listrik di
pabrik semen (Apergi, 2012). Berikut ini bagan alir dasar dari Sistem WHRPG Water-
Steam Circuit Kawasaki Plant.
II-17

Gambar II.7 Bagan Alir WHRPG Water-Steam Circuit Kawasaki Plant


Sumber: Apergi, 2012
Berdasarkan Gambar II.7 yang membuat Kawasaki Plant system design unik
adalah pemasangan flash tank, dimana flash tank berfungsi untuk menurunkan tekanan
kondensat secara cepat. Hal tersebut menyebabkan penurunan temperatur secara instan
akibat dikeluarkannya kondensat ke area bertekanan rendah. Sebagai akibat dari
penurunan temperatur ini akan terjadi pelepasan energi panas oleh kondensat
membentuk uap air yang biasa disebut flash steam. Sebagian lagi mengalami
kondensasi dan membentuk kondensat. Fenomena ini menjadi dasar penggunaan Flash
Tank yang menjadi salah satu komponen penting pada sistem kerja WHRPG.
II.5.5 Elemen-elemen pada Boiler WHRPG
1. Ekonomiser
Ekonomiser merupakan elemen pipa-pipa penerima air umpan atau air
kondensat yang berasal dari elemen pemanas feed water heater. Air umpan atau air
kondensat ini masuk ke dalam Ekonomiser dengan cara dipompakan oleh feed water
pump dan kemudian dipanaskan. Temperatur air umpan yang keluar Ekonomiser tidak
akan sampai ke temperatur saturasinya. Hal ini bertujuan untuk menghindari terjadinya
steaming dan water hammering.
II-18

Fungsi dari Ekonomiser adalah untuk memperingan proses penguapan pada


Evaporator. Air umpan yang masuk ke dalam Evaporator sudah pada temperatur yang
tinggi sehingga Evaporator yang akan menguapkan air umpan hanya membutuhkan
sedikit panas untuk proses penguapan tersebut. Dampaknya, panas atau energi yang
dibutuhkan untuk proses penguapan menjadi lebih hemat. Selain itu Ekonomiser juga
dapat menjaga Evaporator agar tidak mudah rusak karena perbedaan temperatur yang
terlalu tinggi antara fasa cair dan fasa uap.
2. Evaporator
Evaporator pada WHRPG berfungsi menguapkan air dan menghasilkan uap
jenuh, yang nantinya uap jenuh ini akan dipanaskan kembali oleh Superheater dan akan
menghasilkan uap superheat yang akan digunakan untuk memutar turbin uap. Pipa
Evaporator pada WHRPG tersusun dari steam drum (drum bagian atas) hingga ke
drum bagian bawah dan akan dilewati oleh gas buang panas. Air umpan disuplai dari
Ekonomiser ke steam drum (drum bagian atas) dan disirkulasikan dari drum bagian
atas ke drum bagian bawah, kemudian dari drum bagian bawah kembali ke drum bagian
atas oleh proses konveksi di dalam pipa. Air umpan menguap dan mendidih pada
temperature konstan, yang disebut dengan temperature saturasi, yang sifatnya berbeda
untuk setiap tekanan.
3. Superheater
Superheater merupakan suatu komponen yang berfungsi pemanas uap lanjut
yang merubah saturated vapor menjadi superheated vapor, hal ini agar kondisi uap
masuk turbin dalam kondisi kering untuk mencegah pengembunan yang dapat
menyebabkan kerusakan pada turbin akibat water hammer.
II.5.6 Susunan Pipa Komponen WHRPG
WHRPG menyerap panas dari gas buang yang memiliki suhu yang sedang, hal
ini mengakibatkan WHRPG memerlukan luas permukaan yang besar untuk
menghasilkan dan memanaskan uap. Oleh karena itu, tidak mungkin untuk merancang
WHRPG dengan menggunakan pipa yang polos. Saat ini, pipa yang bersirip
merupakan solusi terbaik untuk desain termal WHRPG.
II-19

Penentuan susunan pipa pada komponen WHRPG baik pada Ekonomiser,


Evaporator, atau Superheater adalah dasar dari perancangan komponen WHRPG,
Pemilihan pengaturan susunan pipa dibagi menjadi beberapa klasifikasi
susunan (Rayaprolu, 2009).
1. Susunan In-line dan Staggered
Pada Gambar II.8 ditunjukkan susunan pipa in-line dan staggered. Susunan
staggered merupakan susunan dengan efektivitas perpindahan panas lebih baik
dibandingkan susunan in-line dan membuat susunan pipa lebih teratur, tetapi resiko
erosi pipa terhadap abu gas buang lebih tinggi. Susunan pipa staggered hanya untuk
bahan bakar natural gas dan minyak hasil sulingan sehingga terbentuk gas hasil
pembakaran yang bersih. Susunan pipa in-line hanya untuk bahan bakar batubara
dan minyak berat.

Gambar II.8 Susunan Pipa Inline (Se-arah) dan Staggered (Menyilang)


(Sumber: Kumar, 2009)
2. Susunan Horizontal dan Vertikal
Karena tidak ada belokan gas pada WHRPG, maka susunan pipa pada WHRPG
hanya dapat disusun secara Horizontal atau Vertikal. Susunan-susunan ini
mempunyai kelebihan dan keterbatasannya masing-masing.
II-20

Gambar II.9 Susunan pipa Horizontal dan Vertikal WHRPG


(Sumber: Kumar, 2009)

II.5.7 Jenis Sirip untuk komponen WHRPG


Pipa bersirip digunakan ketika koefisien perpindahan panas dari kedua fluida
memiliki perbedaan yang sangat jauh. Penggunaan pipa dengan sirip dimaksudkan agar
panas dari gas dapat dimanfaatkan dengan baik dan mencegah terjadinya penurunan
kerja dari pipa. Gambar II.9 menunjukkan beberapa tipe dari pipa bersirip (Rayaprolu,
2009).

Gambar II.10 Tipe-tipe sirip pada pipa fin and tube [helical fin (kiri) – plate fin
(tengah) – longitudinal fin (kanan) ]
(Sumber: Rayaprolu, 2009)

1. Helical fin
Tipe ini merupakan tipe yang paling banyak digunakan. Diameter pipa yang
sering digunakan adalah 31,8 38,1 44,5 dan 50,8 mm.
II-21

2. Plate or rectangular fin


Tipe ini memiliki bentuk persegi dengan sambungan las ke pipa. Tipe ini
memiliki tebal 3 mm dengan jarak antar sirip 13 dan 25,4 mm (0,5 atau 1 inci).
Kecepatan gas dibatasi yakni hingga 15 m/s untuk gas bersih (tidak terbentuk
abu gas buang). Tipe ini digunakan pada lingkungan nonkorosif sehingga pada
aplikasi batubara tidak cocok digunakan karena sangat rentan terhadap abu gas
buang.
3. Longitudinal fin
Tipe ini digunakan untuk menghemat luasan permukaan dan selalu
diaplikasikan pada susunan pipa staggered. Timbulnya kerak dan erosi mungkin
terjadi pada boiler dengan bahan bakar batubara
II.6 Tahap Perancangan
Pada perancangan kali ini perhitungan termal yang digunakan untuk perancangan
WHRPG ini menggunakan referensi disertasi ”Thermal Design and Optimization of
Heat Recovery Steam Generators and Waste Heat Boilers, A.R. Navaie”, yang di
dalam proses perancanganya atau tahapan perancanganya adalah sebagai berikut:
II.6.1 Perancanaan Pipa

Untuk merancang pipa–pipa pada sub sistem WHRPG (Ekonomiser,


Evaporator dan Superheater) pada WHRPG dimensi pipa yang digunakan harus
diasumsikan terlebih dahulu, dimana nilai yang harus diasumsikan adalah diameter luar
(OD) , diameter dalam (ID) serta ketebalan pipa. Penentuan nilai – nilai tersebut
berdasarkan tabel pada lampiran, dimana terdapat syarat dalam penentuan nilai tersebut
yaitu pressure drop dimana ketentuan untuk pressure drop pada sisi duct (gas buang)
harus ≤ 2 psi (0,138 bar) dan sisi pipa (air umpan) harus ≤ 10 psi (0,689 bar) (Kern,
1950). Jika belum mencapai ketentuan maka penentuan dimensi pipa yang telah
ditentukan sebelumnya harus diulang kembali sampai tercapai ketentuan tersebut.
II-22

II.6.2 Perhitungan Laju Penyerapan Panas


Q = Uact Ao LMTD .......................................................................................... (II.1)
Keterangan:
Q = laju panas yang diserap oleh pipa, [W]
Ao = luas perpindahan panas luar total, [m2]
U = desain koefisien perpindahan panas menyeluruh, [W/m2.K]
LMTD = logarithmic mean temperature differrence [oC]

Pada persamaan diatas perbedaan temperatur (∆T) pada perancangan kali ini
sama dengan nilai LMTD ( Log Mean Temperature Different [oC] ), dimana LMTD
tersebut dapat dihitung dengan persamaan (II.2).
2 ∆𝑡 − ∆𝑡1
LMTD = ln ∆𝑡 .................................................................................(II.2)
2 /∆𝑡1

Dengan: ∆t2 = T1 – t2
∆t1 = T2 – t1
II.6.3 Menghitung Kesetimbangan Energi
𝑄𝑤 = 𝑀𝑤 𝐶𝑝𝑐 (𝑇𝑐1 − 𝑇𝑐2 ).........................................................................(II.3)
𝑇
𝑄𝑔 = 𝑀𝑔 ∫𝑇 1 𝐶𝑝 ℎ (𝑡) 𝑑𝑡 ...........................................................................(II.4)
2

𝑄𝑤 = 𝑄𝑔 .......................................................................................(II.5)
Keterangan:
𝑄̇𝑤 = energi panas yang dilepas air [ Watt ] Cpgb = panas spesifik air [ W/m2.K]
𝑄̇𝑔 = energi panas yang dilepas gas buang T1 = temperatur gas buang masuk

[ Watt ] [oC]

Mw = laju alir massa air [ kg/s ] T2 = temperatur gas buang keluar

Mg = laju alir massa gas buang [ kg/s ] [oC]

Cpw = panas spesifik gas buang [W/m2.K] t1 = temperatur air masuk [oC]
t2 = temperatur air keluar [oC]
II-23

II.6.4 Menghitung Bilangan Reynold


A. Bilangan Reynold Dalam Pipa
Nilai bilangan Reynold dalam pipa dapat dicari dengan menggunakan
persamaan II.6.
𝑅𝑒𝑤 = 𝜌𝑤 𝜈𝑤 𝑑𝑖/𝜇 w ........................................................................ (II.6)
Keterangan:
ρw = densitas air pada temperatur rata-rata (Kg/m3)
νw = kecepatan air (m/s)
𝑑𝑖 = diameter dalam pipa (ID), [m]
𝜇 w = viskositas air pada temperatur rata – rata, [Pa.s]
B. Bilangan Reynold Luar Pipa
Nilai bilangan Reynold luar pipa dapat dicari dengan menggunakan
persamaan II.7.
𝑅𝑒𝑤 = 𝜌𝑔𝑏 𝜈𝑔𝑏 𝑑𝑖/𝜇gb .................................................................... (II.7)
Keterangan:
ρgb = densitas gas buang pada temperatur rata-rata (Kg/m3)
νgb = kecepatan gas buang (m/s)
𝑑𝑜 = diameter luar pipa (OD), [m]
𝜇 gb = viskositas gas buang pada temperatur rata – rata, [Pa.s]
II.6.5 Menghitung Bilangan Prandtl
Nilai bilangan Prandtl dalam pipa dan luar pipa dapat dicari dengan
menggunakan persamaan II.8 dan II.9.
A. Bilangan Prandtl Dalam Pipa
𝑃𝑟𝑤 = 𝐶𝑝𝑤 µ𝑤 /𝐾𝑤 ................................................................................ (II.8)
Keterangan:
Cpw = panas spesifik air pada temperatur rata-rata (KJ/Kg.K)
𝜇w = viskositas air pada temperatur rata – rata, [Pa.s]
Kw = konduktifitas air pada temperatur rata-rata [W/ m2.K]
II-24

B. Bilangan Prandtl Luar Pipa


𝑃𝑟𝑔𝑏 = 𝐶𝑝𝑔𝑏 µ𝑔𝑏 /𝐾𝑔𝑏 ........................................................................... (II.9)
Keterangan:
Cpgb = panas spesifik gas buang pada temperatur rata-rata (KJ/Kg.K)
𝜇 gb = viskositas gas buang pada temperatur rata – rata, [Pa.s]
Kgb = konduktifitas gas buang pada temperatur rata-rata [W/ m2.K]

II.6.6 Menghitung Koefisien Perpindahan Panas Dalam Pipa (hi)


Koefisien perpindahan panas dalam pipa dapat dihitung menggunakan
persamaan (II.10).
ℎ𝑖 = 0,024 𝑅𝑒 0,8 𝑃𝑟 0,4 𝐾⁄𝑑𝑖 .............................................................. (II.10)
Keterangan:
Re = bilangan Reynold pipa dalam Kgb = konduktifitas gas buang pada
𝑃𝑟gb = bilangan Prandtl pipa dalam temperatur rata-rata [W/m.K]
di = diameter dalam pipa (ID) [m]
II.6.7 Menghitung Koefisien Perpindahan Panas Luar Pipa (ho)
Perpindahan panas yang terjadi pada luar pipa terdiri dari 2 perpindahan panas
yakni secara konveksi dan secara radiasi. Untuk dapat mengetahui nilai dari koefisien
perpindahan panas luar pipa secara konveksi, maka dapat dilakukan perhitungan
dengan menggunakan persamaan (II.11 -II.18)

A. Menghitung koefisien perpindahan panas konveksi luar pipa (hc)


𝑑𝑜+2 ℎ𝑓 1,7 𝑇𝑏 + 273,15 0,25 𝐾 0,67
hc = C1 C3 C5 ( ) ( 𝑇𝑠 +273,15 ) G 𝐶𝑝 (µ 𝐶𝑝) ............... (II.11)
𝑑𝑜

Keterangan :
II-25

C1 = koefisien 1 G = kecepatan massa gas buang [Kg/s.m2]


C3 = koefisien 3 Cp = panas spesifik gas buang pada
C5 = koefisien 5 temperatur rata-rata (KJ/Kg.K)
hf = tinggi sirip [m] µgb = viskositas gas buang pada temperatur
Tb = suhu rata rata keluaran rata – rata, [Pa.s]
fluida [˚C] Kgb = konduktifitas gas buang pada
Ts = suhu rata-rata sirip [˚C] temperatur rata-rata [W/m.K]

Dimana :
C1 = 0,25 𝑅𝑒 −0,35 ……………………………………………...……….. (II.12)
C3 = 0,35 + 0,65 𝑒 −0,25 ℎ𝑓/𝑠𝑓 …………………………………………… (II.13)
2
C5 = 0,7 + (0,7 – 0,8 𝑒 −0,15 𝑁𝑟 ) 𝑒 −2 𝑠𝐿/𝑠𝑇 …………………...………… (II.14)
Dimana:
hf = tinggi sirip [m]
sf = jarak antar pipa [m]
Nr = jumlah bundle
ST = transverse pitch [m]
SL = longitudinal pitch [m]
Untuk menghitung kecepatan massa gas buang dapat dihitung dengan
persamaan II.15.
𝐺 = 𝑀𝑔 /𝐴𝑛 ………………………………………….………………(II.15)
Dimana :
An = luas penampang aliran bebas [m2]
= Ad-(Ac Lf Nt )
Ad = luas penampang pada duct [m2]
= wd hd
Ac = luas pipa bersirip yang terproyeksi di luas penampang per satuan
panjang pipa [m2/m]
= do + 2 h f t f n f
II-26

Keterangan:
wd = lebar duct [m]
hd = tinggi duct [m]
hf = tinggi fin [m]
tf = tebal fin [m]
nf = jumlah fin per meter [fin/m]
G = Kecepatan massa [kg/s. m2]
Wg = Laju alir massa [kg/s]
B. Menghitung koefisien perpindahan panas radiasi luar pipa (hr)
𝟎,𝟓 𝑨𝒃 𝟎,𝟕𝟓
𝒉𝒓 = 𝟕𝟕, 𝟖𝟐 ÷ 𝜸𝒓 (𝑷𝒑 𝑳𝒃 ) ( ) …………………...…………….. (II.16)
𝑨𝒐

Keterangan:
γr = faktor radiasi [W/hr m2 ˚C] Ab = luas permukaan luar bare
Pp = tekanan parsial dari CO2 dan tube [m2]
H2O [bar] Ao = luas permukaan luar [m2]
Lb = panjang rata-rata radiasi [m]
Dimana nilai γr didapatkan dari grafik faktor radiasi terhadap temperatur yang
terdapat pada gambar II.10.

Gambar II.11 Faktor Radiasi Gas Buang


Sumber: Navaie, 2017
II-27

Dimana Panjang rata-rata radiasi dapat dihitung menggunakan


persamaan II.17
Lb = fL do …………………………….. …………… ……………...........(II.17)
Keterangan :
fL = faktor koreksi dari panjang radiasi rata-rata [W/hr m2 ˚C]
do = diameter luar pipa (OD) [m]
Nilai fL didapat dari Gambar II.11.

Gambar II.12 Faktor Koreksi dari panjang radiasi rata-rata.


Sumber: Navaie, 2017

C. Menghitung Koefisien Perpindahan Panas Luar Pipa (ho)


Koefisien perpindahan panas luar pipa dapat dihitung menggunakan persamaan
(II.18).
ℎ𝑜 = ℎ𝑐 + ℎ𝑟 ...................................................................................... (II.18)
Keterangan:
hc = koefisien perpindahan panas luar pipa secara konveksi [W/ m 2.K]
hr = koefisien perpindahan panas luar pipa secara radiasi [W/ m 2.K]
II-28

II.6.8 Menghitung Efisiensi Sirip


Untuk menghitung nilai efisiensi sirip dapat menggunakan persamaan (II.19).
Ef = X (0,7 + 0,3 X) ............................................................................ (II.19)
Dimana X didapat dari persamaan (II.20).
tanh 𝑚𝑏
X= .......................................................................................... (II.20)
𝑚𝑏

Untuk menghitung nilai X, nilai m dan b harus diketahui dicari terlebih dahulu
menggunakan persamaan (II.21) dan (II.22).
0,5
2ℎ𝑜
m= ( ⁄𝑘 𝑡 ) .............................................................................. (II.21)
𝑓 𝑓

b = hf + (tf /2) ...................................................................................... (II.22)


Dimana:
Tb = suhu rata rata keluaran fluida [˚C] ,
𝑇1 + 𝑇2
= 2
.................................................................................... (II.23)

Ts = suhu rata-rata sirip [˚C]


𝑡1 + 𝑡 2 𝑡1 + 𝑡2
=( ) + 0,3 (𝑇𝑏 − ) ................................................. (II.24)
2 2

Keterangan:
T1 = temperatur masuk gas buang [˚C] ho = koefisien perpindahan panas luar pipa
T2 = temperatur masuk gas buang [˚C] [W/ m2.K]
t1 = temperatur masuk air [˚C] kf = konduktivitas termal sirip [W/ m2.K]
t2 = temperatur masuk air [˚C] tf = Tebal sirip [m]
ws = lebar gerigi sirip (untuk sirip gerigi) [m]
II.6.9 Menghitung Koefisien Perpindahan Panas Keseluruhan Hasil
Rancangan (U)
𝑈𝑎𝑐𝑡𝑢𝑎𝑙 = 1⁄ 1 𝐴𝑜 𝑡 𝐴 1 𝐴
.......... (II.25)
[( + 𝑅𝑓𝑜 ) + 𝑘𝑤 𝐴 𝑜 + (ℎ + 𝑅𝑓𝑖 ) 𝐴𝑜 ]
ℎ 𝐸 𝑜 𝑓 𝐴𝑓𝑜 +𝐴𝑝𝑜 𝑤 𝑤 𝑖 𝑖

Keterangan:
Urequired = koefisien Perpindahan Panas Ai = Luas total permukaan dalam [m2]
Keseluruhan [W/ m2.K] Afo = Luas permukaan sirip[m2]
Apo = Luas primer permukaan luar [m2]
II-29

ho = koefisien Perpindahan Panas Luar Aw = Luas permukaan dinding [m2]


Pipa [W/ m2.K] Ef =Efisiensi sirip
hi = koefisien Perpindahan Panas Dalam tw = tebal pipa [m]
Pipa [W/ m2.K] kw = konduktivitas termal pipa [W/ m2.K]
Rfo = fouling resistance luar pipa
[m2.K/W]
Rfi = fouling resistance dalam pipa
[m2.K/W]
Ao = Luas total permukaan luar [m2]

II.6.10 Menghitung Penurunan Tekanan


A. Penurunan Tekanan Sisi Luar (Duct)
Penurunan Tekanan Sisi Luar (Duct) dapat dihitung menggunakan persamaan
(2.25).
∆𝑃 = 0,02 (𝑓 + 𝑎)𝐺 2 𝑁𝑟 /𝜌𝑏 .............................................................. (II.26)
Dimana nilai dari f didapatkan dari persamaan,
1
𝑑𝑓
𝑓 = 𝐶2 𝐶4 𝐶6 ( ⁄𝑑 ) ........................................................................ (II.27)
𝑜

Lalu untuk menentukan nilai dari 𝐶2 , 𝐶4 dan 𝐶6 dapat didapatkan dengan


persamaan (II.28) sampai dengan persamaan (II.30).
𝐶2 = 0,07 + 8 𝑅𝑒 −0,45 ........................................................................ (II.28)
0,2

(−0,7( 𝑓⁄𝑠𝑓 ) )
𝑆𝑇
𝐶4 = 0,11 (0,05 ⁄𝑑 ) .............................................. (II.29)
𝑜
𝑆
2 (−2 𝐿⁄𝑆 )
𝐶6 = 1,1 + (1,8 − 2,1 𝑒 (−0,15𝑁𝑟 )) (𝑒 𝑇 )− (0,7 −
𝑆
2 (−0,6 𝐿⁄𝑆 )
0,8 𝑒 (−0,15𝑁𝑟 )) (𝑒 𝑇 ) ............................................................ (II.30)

Untuk menghitung faktor a dan β, dapat menggunakan persamaan II.33 dan II.34
2
𝐴𝑛
β2 = ( ⁄𝐴 ) ..................................................................................... (II.31)
𝑑
II-30

2
1+𝛽 2 1 1
a = ( 4𝑁 ) 𝜌𝑏 (𝜌 − 𝜌 ) ..................................................................... (II.32)
𝑟 2 1

Keterangan:
f = friction factor fanning ρ2 = densitas gas buang masuk (Kg/m3)
a = akselerasi penurunan tekanan df = diameter luar sirip [m]
G = kecepatan massa gas buang (Kg/s.m2) do = diameter luar pipa [m]
Nr = jumlah bundle ST = transverse pitch [m]
ρb = rata-rata densitas flue gas pada suhu SL = longitudinal pitch [m]
paling tinggi (Kg/m3) Sf = jarak antar pipa [m]
ρ1 = densitas gas buang masuk (Kg/m3) hf = tinggi sirip [m]

B. Penurunan Tekanan Sisi Dalam (Pipa)


Penurunan Tekanan Sisi Luar (Duct) dapat dihitung menggunakan persamaan
(2.25).
𝐿 𝜌𝜈 2
∆𝑃𝑖 = 𝑓𝑓 ( 𝑑𝑠𝑡𝑟 + 𝐾𝑇 ) ( ) ................................................................ (II.33)
𝑖 2

Nilai ff dapat dicari dengan menggunakan gambar Moody’s friction factor pada gambar
II.12

Gambar II.13 Diagram Moody’s Friction Factor


Sumber: Navaie, 2017
II-31

Gambar II.11 memiliki korelasi dengan persamaan II.36


1⁄
𝑘 100 3
𝑓𝑓 = 0,001375 [1 + 21,544 (𝑑𝑠 + ) ]...................................... (II.34)
𝑖 𝑅𝑒

Untuk nilai Koefisiensi Resistansi Total dapat dihitung dengan menggunakan


persamaan II.37
𝐾𝑇 = 𝐾𝐵 + 𝐾𝑒𝑛 + 𝐾𝑒𝑥 ......................................................................... (II.35)
Dimana ,
K en = 0,5 ; K ex = 1
Persamaan II.38 digunakan untuk menghitung Total Koefisien bengkokan (bends)
𝑅𝐵
𝐾𝐵 = (𝑛𝐵 − 1) (0,25𝜋𝑓𝑇 𝑑𝑖
+ 0,5 𝐾1 ) + 𝐾1 ..................................... (II.36)

Koefisien gesek (fT) dan Koefisien resistansi untuk bengkokan 900 (K1) masing-
masing di ilustrasikan pada tabel II.2 dan II.3
Tabel II.3 Koefisien Gesek (fT)
Tube diameter Tube diameter
fT fT
(mm) (mm)
15 0,027 65,8 0,018
20 0,025 100 0,017
25 0,023 125 0,016
32 0,022 150 0,015
40 0,021 200; 250 0,013
50 0,019 300 ; 400 0,012

Sumber: Navaie, 2017


Tabel II.4 Koefisien Resistansi untuk bengkokan 900 (K1)

RB/di K1 RB/di K1
1 20 fT 8 24 fT
1,5 14 fT 10 30 fT
2 12 fT 12 34 fT
3 12 fT 14 38 fT
4 14 fT 16 42 fT
6 17 fT 20 50 fT

Sumber: Navaie, 2017


II-32

Keterangan:
ff = Faktor gesek
Lstr = Panjang pipa lurus [m]
di = Diameter dalam [m]
KT = Total Koefisien Resistansi Keseluruhan
ρw = Densitas air [kg/m3]
νw = Kecepatan air [m/s]
II.6.11 Menghitung Nilai Proporsi Overdesign
Untuk melihat tercapainya nilai perpindahan panas yang dibutuhkan dari desain
yang telah dirancang, maka perlu dihitung nilai Proporsi Overdesign yang dihitung
menggunakan persamaan (II.36)
𝑈𝑎𝑐𝑡𝑢𝑎𝑙 −𝑈𝑟𝑒𝑞𝑢𝑖𝑟𝑒𝑑
Proporsi Overdesign = x 100% ……………………........(II.37)
𝑈𝑎𝑐𝑡𝑢𝑎𝑙

Dimana:
Urequired = koefisien perpindahan panas menyeluruh hasil rancangan (W/m 2.k)
Uactual = koefisien perpindahan panas menyeluruh actual (W/m2.k)
II.6.12 Menghitung Ketebalan Minimum Pipa (tmin)

Ketebalan minimum pipa harus dihitung untuk menjaga pipa agar dalam batas
amannya jika dioperasikan pada tekanan kerjanya. Hal ini merupakan salah satu syarat
perancangan komponen WHRPG dari sisi mekanik. Ketebalan minimum pipa dapat
dihitung menggunakan persamaan (II.38) (Kitto & Stultz, 2005).
𝑃.𝑂𝐷
tmin = 2.𝑆+𝑃 + 0,005 . OD ................................................................................ (II.38)

Keterangan:

tmin = Ketebalan minimum pipa, [m]

P = Tekanan kerja fluida, [bar]

S = Allowable stress, [bar]

OD = Diameter luar pipa, [m]


II-33

Allowable stress didapatkan dari tabel II.2 berdasarkan material pipa yang
digunakan dan temperatur kerja dari pipa tersebut.

Tabel II.5 Allowable Stress


Allowable Stresses* for ksi and Price/lb for Several Seamless
For Metal Temperatures Not Exceeding, oF
U.S
700 750 800 850 900 950 1000 1050 1100 1150 1200
Material $/lb
SA-210C 16,6 14,8 12 7,8 5 3 1,5 - - - - 0,563
SA-209 T1A 15 14,8 14,4 14 13,6 8,2 4,8 - - - - 0,638
SA-213 T2 15 14,8 14,4 14 13,7 9,2 5,9 - - - - 0,7045
SA-213 T12 14,8 14,6 14,3 14 13,6 11,3 7,2 4,5 2,8 1,8 1,1 0,6109
SA-213 T11 15 14,8 14,4 14 13,6 9,3 6,3 4,2 2,8 1,9 1,2 0,6109
SA-213 T22 15 15 15 14,4 13,6 10,8 8 5,7 3,8 2,4 1,4 0,9043
SA-213 T91 20 19,4 19,4 17,8 16,7 15,5 14,3 12,9 10,3 7 4,3 1,78
SA-213
15,9 15,6 15,6 14,9 14,7 14,4 13,8 12,2 9,8 7,7 6,1 3,3617
TP304H

Sumber: Babcock & Wilcox, 2005

Anda mungkin juga menyukai