LANDASAN TEORI
II-1
II-2
berfungsi untuk mengayak atau menyaring batu kapur sehingga batu kapur yang lebih
kecil akan jatuh menuju belt conveyor, batu kapur yang tertinggal akan secara langsung
ke bagian yang kedua yaituu alat penghancur yang dinamakan hammer. Setelah
mengalami penghancuran bahan baku akan jatuh menuju belt conveyor.
Setelah mengalami penghancuran bahan baku akan dikirim menuju tempat
penyimpanan yaitu stock pile dengan menggunakan belt conveyor. Tempat
penyimpanan terdiri dari dua bagian utama yaitu stock pile dan bin.
b) Penggilingan dan pengeringan bahan baku
Alat utama yang digunakan dalam proses penggilingan dan pengeringan bahan
baku adalah vertical roller mill. Media pengeringannya adalah udara panas yang
berasal dari cooler dan pre-heater. Bahan baku masuk ke dalam vertical roller mill
(raw mill) pada bagian tengah (tempat penggilingan) sementara itu udara panas masuk
ke dalam bagian bawahnya. Material yang sudah tergiling halus akan terbawa udara
panas keluar raw mill melalui bagian atas alat tersebut. Vertical roller mill memiliki
bagian yang dinamakan classifier yang berfungsi untuk mengendalikan ukuran partikel
yang boleh keluar dari raw mill, partikel dengan ukuran besar akan dikembalikan
kedalam raw mill untuk mengalami penghalusan selanjutnya sampai ukurannya
mencapai ukuran yang diharapkan.
Semetara itu partikel yang ukurannya telah memenuhi kebutuhan akan terbawa
udara panas menuju cyclone. Cyclone berfungsi untuk memisahkan antara partikel
yang cukup halus dan partikel yang terlalu halus (debu) partikel yang cukup halus akan
turun kebagian bawah cyclone dan dikirim ke blending silo untuk mengalami
pengadukan dan homogenisasi. Partikel yang terlalu halus (debu) akan terbawa udara
panas menuju electrostatic precipitator. Alat ini berfungsi untuk menangkap debu-
debu tersebut sehingga tidak lepas ke udara. Effisensi alat ini adalah 95-98 %. Debu-
debu yang tertangkap, di kumpulkan di dalam dust bin, sementara itu udara akan keluar
keluar melalui stack.
II-6
kemiringan tertentu. Dari ujung tempat material masuk (in-let), sedangkan di ujung
lain adalah tempat terjadinya pembakaran bahan bakar (burning zone). Jadi
material akan mengalami pembakaran dari temperatur yang rendah menuju
temperatur yang lebih tinggi. Didalam tanur putar terjadi proses kalsinasi (Hingga
100 %), sintering, dan clinkering. Temperatur material yang masuk ke dalam tanur
putar adalah 800 – 900 oC sedangkan temperatur clinker yang keluar dari tanur
putar adalah 1.300 – 1.450 oC.
d) Pendinginan clinker
Alat utama yang digunakan untuk proses pendinginan clinker adalah cooler.
Cooler ini dilengkapi dengan alat penggerak material, sekaligus sebagai saluran
udara pendingin yang disebut grate dan alat pemecah clinker (Clinker Breaker).
Setelah proses pembentukan clinker selesai dilakukan di dalam tanur putar, clinker
tersebut terlebih dahulu didinginkan di dalam cooler sebelum disimpan di dalam
clinker silo. Cooler yang digunakan terdiri dari sembilan compartemen yang
menggunakan uadara luar sebagai pendingin. Udara yang keluar dari cooler
dimanfaatkan sebagai media pemanas pada vertical roller mill , sebagai pemasok
udara panas pada pre-heater, dan sebagian lain dibuang ke udara bebas. Klinker
akan terus bergerak menuju compartemen yang kesembilan dengan bantuan grade
secara reciprocating. Pada ujung kompartemen terdapat clinker breaker yang
berguna untuk mengurangi ukuran klinker yang terlalu besar. Selanjutnya clinker
dikirim menuju tempat penampungan clinker (clinker silo) dengan menggunakan
alat transportasi yaitu deep drawn pan conveyor.
e) Penggilingan akhir
Setelah Klinker melewati proses pendinginan selanjutnya klinker akan
ditampung di clinker silo di clinker silo ini material akan dibagi menjadi dua
bagian, klinker akan didistribusikan secara langsung dan akan melewati proses
berikutnya yaitu ke penggilingan akhir. Di penggilingan akhir ini terjadi
penggilingan antara klinker dengan gypum, alat utama untuk penggilingan ini yaitu
ball mill (Purnomo, 2007).
II-8
C. Pengantongan Semen
Pengantongan semen dimulai dari cement silo. Sebagian semen akan dipasarkan
secara curah melalui junction box lalu ditampung dalam bin dan dialirkan melalui load
spout. Sedangkan untuk semen dalam kemasan kantong, semen dari bin dibawa oleh
air slide menuju bucket elevator yang mengangkut semen ke feed bin setelah diayak
menggunakan screener. Dari feed bin kemudian semen masuk ke packing machine
yang dilengkapi dengan spout tube. Alat ini berfungsi untuk menyuntikkan semen ke
kantong semen. Pemasukan semen ke dalam kantong semen dapat diatur dengan berat
kantong 40 kg dan 50 kg.
II.3 Pemanfaatan Limbah Panas Industri
Limbah panas dari sebuah industri adalah panas yang dihasilkan dalam suatu
proses dengan cara pembakaran bahan bakar atau reaksi kimia. Biasanya panas hasil
proses tersebut dibuang ke lingkungan walaupun masih bisa untuk dimanfaatkan
kembali untuk tujuan penghematan energi dan pengurangan biaya ekonomi.
Panas limbah dari industri mengacu pada energi yang dihasilkan dalam proses
industri tanpa dimanfaatkan kembali secara praktis. Banyak proses industri yang
meembutuhkan energi panas dalam jumlah yang besar, namun sebagian besar habis
untuk dibuang ke lingkungan, baik itu ke atmosfir maupun air. Namun hal tersebut
dilakukan oleh industri bukan tanpa alasan, karena untuk menjaga performa peralatan
dan menghindari terjadinya panas berlebih (Overheat) dari peralatan tersebut, tapi
tentunya jika kita melihat dari sisi ekonomi , hal itu akan merugikan industri karena
terdapat pemborosan energi. Maka dari itu pemulihan limbah panas merupakan
peluang yang besar untuk mengurangi konsumsi industri.
Pemanfaatan limbah panas mengacu pada pemulihan panas yang dihasilkan
sebagai produk sampingan dari suatu proses untuk menyediakan energi tambahan yang
dibutuhkan proses lain. Limbah panas yang diambil dan digunakan kembali merupakan
pengganti yang bebas emisi dari bahan bakar atau listrik. Berikut beberapa opsi dari
pemulihan panas yang secara umum dapat diklasifikasikan menjadi tiga strategi
diantaranya yaitu.
II-9
Kiln feed masuk ke dalam cyclone dengan arah tangensial sehingga terjadi
gerakan spiral yang disebabkan oleh gaya sentrifugal, gaya gravitasi, dan gaya angkat
gas dalam cyclone. Partikel-partikel kiln feed terlempar menuju dinding pada bagian
cyclone, hingga mencapai lapisan kerucut bawah cyclone. Gaya sentrifugal dan gaya
gravitasi lebih dominan untuk material kiln feed yang kasar, sedangkan untuk material
kiln feed yang halus berlaku gaya angkat gas sehingga material akan terangkat oleh gas
panas menuju pipa vortex atau ouput gas.
Tabel II.2 Perbedaan beberapa sistem pada teknologi Waste Heat Recovery
Power Generator
No. Thermal Temperature Typical Sources of Waste Heat
Conversion Range
1 Steam Rankine Cycle Medium, high Exhaust from gas turbines, reciprocating engines,
furnaces and cement kiln
2 Kalina Cycle Low, medium Gas turbine exhaust, boiler exhaust, cement kilns
3 Organic Rankine Low, medium Gas turbine exhaust, boiler exhaust, heated water,
Cycle cement kilns
4 Thermoelectric Medium-high Not yet demonstrated in industrial applications
Generation
5 Piezoelectric Low Not yet demonstrated in industrial applications
generation
6 Thermal Photovoltaic Medium-high Not yet demonstrated in industrial applications
Sumber: Sathiyamoorthy dan Biglary, 2016
II.5.2 Koneksi Sistem WHRPG dengan Proses Produksi Semen
Sistem WHRPG mempunyai persyaratan utama untuk dapat diterapkan dalam
proses produksi semen. Kesulitan yang didapat memanfaatkan gas buang secara efektif
dari dua sumber panas yang berbeda yaitu pada proses Air Quenching Cooler dan
Suspension Preheater untuk dapat dimanfaatkan dalam satu sistem tunggal, ini
disebabkan oleh perbedaan dalam suhu awal dan akhir dari dua sumber gas panas. Oleh
karena itu sistem bukan hanya bergantung pada efisiensi termal sistem, tetapi dapat
memanfaatkan jumlah panas maksimum dari dua sumber panas yang berbeda ini. Oleh
karena itu, sistem WHRPG ini setidaknya memiliki dua buah boiler yang dipasang
secara paralel, karena gas buang dan udara panas tidak dapat bercampur.
1. Koneksi AQC-Boiler
Karena suhu gas buang dari proses pendinginan klinker ini cukup rendah yaitu
sekitar 250 oC, maka pemanfaatan akan dilakukan secara maksimal , dimana udara akan
didinginkan hingga suhu sekitar 110 oC oleh AQC Boiler, dimana udara keluaran yang
telah digunakan akan masuk ke sistem penyaringan debu (dedusting system)
II-16
2. Koneksi SP-Boiler
Suhu rata-rata gas buang dari Suspension Preheater yang berkisar pada suhu 360
o
C akan masuk ke SP-Boiler, dimana gas buang panas akan didinginkan hingga suhu
tidak kurang dari 200 0C. Dimana gas buang panas tersebut akan memasuki proses Raw
Mill untuk menyediakan sumber panas untuk proses pengeringan. SP Boiler sebanding
dengan gas yang di bypass menuju Conditioning Tower.
II.5.3 Faktor-faktor dalam Penerapan Sistem WHRPG
Terdapat beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi seberapa besar daya yang
dapat diambil dari gas buang hasil dari proses Preheater dan Air Quenching Cooler,
diantaranya yaitu sebagai berikut.
1. Proses, konsumsi panas, suhu dan laju udara dan gas baung yang dihasilkan
2. Persyaratan pengeringan bahan baku dan batubara yang menentukan minimum
suhu keluaran gas buang yang dihasilkan SP-Boiler
3. Tipe dari raw mill dan coal mill, semakin rendah lajunya (contoh pada ball mill),
maka dibutuhkan suhu gas yang lebih tinggi pada outlet penukar panas Preheater
dalam mengeringkan material, semakin sedikit panas yang dapat digunakan untuk
membangkitkan listrik.
4. Tipe dedusting sytem yang digunakan pada sisi Cooler. Jika ESP digunakan maka
suhu gas tinggi harus dipertahankan untuk menjaga konduktivitas debu dibanding
filter dedusting yang menyebabkan makin sedikit panas yang dapat dihasilkan.
II.5.4 WHRPG Water-Steam Circuit Kawasaki Plant System
Sistem water-steam circuit ini menggunakan teknologi yang telah dipatenkan
oleh Kawasaki Plant systems and Sinoma EC. Kawasaki Plant systems untuk
pembangkit listrik telah dipasang di lebih dari 32 pabrik semen (kebanyakan dari
Jepang dan China). Prinsip dari metode ini adalah menggunakan media kerja panas
untuk menghasilkan uap jenuh baik di Preheater maupun di Cooler. Listrik yang
dibangkitkan secara umum dapat mencakup sekitar 35%-40% dari konsumsi listrik di
pabrik semen (Apergi, 2012). Berikut ini bagan alir dasar dari Sistem WHRPG Water-
Steam Circuit Kawasaki Plant.
II-17
Gambar II.10 Tipe-tipe sirip pada pipa fin and tube [helical fin (kiri) – plate fin
(tengah) – longitudinal fin (kanan) ]
(Sumber: Rayaprolu, 2009)
1. Helical fin
Tipe ini merupakan tipe yang paling banyak digunakan. Diameter pipa yang
sering digunakan adalah 31,8 38,1 44,5 dan 50,8 mm.
II-21
Pada persamaan diatas perbedaan temperatur (∆T) pada perancangan kali ini
sama dengan nilai LMTD ( Log Mean Temperature Different [oC] ), dimana LMTD
tersebut dapat dihitung dengan persamaan (II.2).
2 ∆𝑡 − ∆𝑡1
LMTD = ln ∆𝑡 .................................................................................(II.2)
2 /∆𝑡1
Dengan: ∆t2 = T1 – t2
∆t1 = T2 – t1
II.6.3 Menghitung Kesetimbangan Energi
𝑄𝑤 = 𝑀𝑤 𝐶𝑝𝑐 (𝑇𝑐1 − 𝑇𝑐2 ).........................................................................(II.3)
𝑇
𝑄𝑔 = 𝑀𝑔 ∫𝑇 1 𝐶𝑝 ℎ (𝑡) 𝑑𝑡 ...........................................................................(II.4)
2
𝑄𝑤 = 𝑄𝑔 .......................................................................................(II.5)
Keterangan:
𝑄̇𝑤 = energi panas yang dilepas air [ Watt ] Cpgb = panas spesifik air [ W/m2.K]
𝑄̇𝑔 = energi panas yang dilepas gas buang T1 = temperatur gas buang masuk
[ Watt ] [oC]
Cpw = panas spesifik gas buang [W/m2.K] t1 = temperatur air masuk [oC]
t2 = temperatur air keluar [oC]
II-23
Keterangan :
II-25
Dimana :
C1 = 0,25 𝑅𝑒 −0,35 ……………………………………………...……….. (II.12)
C3 = 0,35 + 0,65 𝑒 −0,25 ℎ𝑓/𝑠𝑓 …………………………………………… (II.13)
2
C5 = 0,7 + (0,7 – 0,8 𝑒 −0,15 𝑁𝑟 ) 𝑒 −2 𝑠𝐿/𝑠𝑇 …………………...………… (II.14)
Dimana:
hf = tinggi sirip [m]
sf = jarak antar pipa [m]
Nr = jumlah bundle
ST = transverse pitch [m]
SL = longitudinal pitch [m]
Untuk menghitung kecepatan massa gas buang dapat dihitung dengan
persamaan II.15.
𝐺 = 𝑀𝑔 /𝐴𝑛 ………………………………………….………………(II.15)
Dimana :
An = luas penampang aliran bebas [m2]
= Ad-(Ac Lf Nt )
Ad = luas penampang pada duct [m2]
= wd hd
Ac = luas pipa bersirip yang terproyeksi di luas penampang per satuan
panjang pipa [m2/m]
= do + 2 h f t f n f
II-26
Keterangan:
wd = lebar duct [m]
hd = tinggi duct [m]
hf = tinggi fin [m]
tf = tebal fin [m]
nf = jumlah fin per meter [fin/m]
G = Kecepatan massa [kg/s. m2]
Wg = Laju alir massa [kg/s]
B. Menghitung koefisien perpindahan panas radiasi luar pipa (hr)
𝟎,𝟓 𝑨𝒃 𝟎,𝟕𝟓
𝒉𝒓 = 𝟕𝟕, 𝟖𝟐 ÷ 𝜸𝒓 (𝑷𝒑 𝑳𝒃 ) ( ) …………………...…………….. (II.16)
𝑨𝒐
Keterangan:
γr = faktor radiasi [W/hr m2 ˚C] Ab = luas permukaan luar bare
Pp = tekanan parsial dari CO2 dan tube [m2]
H2O [bar] Ao = luas permukaan luar [m2]
Lb = panjang rata-rata radiasi [m]
Dimana nilai γr didapatkan dari grafik faktor radiasi terhadap temperatur yang
terdapat pada gambar II.10.
Untuk menghitung nilai X, nilai m dan b harus diketahui dicari terlebih dahulu
menggunakan persamaan (II.21) dan (II.22).
0,5
2ℎ𝑜
m= ( ⁄𝑘 𝑡 ) .............................................................................. (II.21)
𝑓 𝑓
Keterangan:
T1 = temperatur masuk gas buang [˚C] ho = koefisien perpindahan panas luar pipa
T2 = temperatur masuk gas buang [˚C] [W/ m2.K]
t1 = temperatur masuk air [˚C] kf = konduktivitas termal sirip [W/ m2.K]
t2 = temperatur masuk air [˚C] tf = Tebal sirip [m]
ws = lebar gerigi sirip (untuk sirip gerigi) [m]
II.6.9 Menghitung Koefisien Perpindahan Panas Keseluruhan Hasil
Rancangan (U)
𝑈𝑎𝑐𝑡𝑢𝑎𝑙 = 1⁄ 1 𝐴𝑜 𝑡 𝐴 1 𝐴
.......... (II.25)
[( + 𝑅𝑓𝑜 ) + 𝑘𝑤 𝐴 𝑜 + (ℎ + 𝑅𝑓𝑖 ) 𝐴𝑜 ]
ℎ 𝐸 𝑜 𝑓 𝐴𝑓𝑜 +𝐴𝑝𝑜 𝑤 𝑤 𝑖 𝑖
Keterangan:
Urequired = koefisien Perpindahan Panas Ai = Luas total permukaan dalam [m2]
Keseluruhan [W/ m2.K] Afo = Luas permukaan sirip[m2]
Apo = Luas primer permukaan luar [m2]
II-29
Untuk menghitung faktor a dan β, dapat menggunakan persamaan II.33 dan II.34
2
𝐴𝑛
β2 = ( ⁄𝐴 ) ..................................................................................... (II.31)
𝑑
II-30
2
1+𝛽 2 1 1
a = ( 4𝑁 ) 𝜌𝑏 (𝜌 − 𝜌 ) ..................................................................... (II.32)
𝑟 2 1
Keterangan:
f = friction factor fanning ρ2 = densitas gas buang masuk (Kg/m3)
a = akselerasi penurunan tekanan df = diameter luar sirip [m]
G = kecepatan massa gas buang (Kg/s.m2) do = diameter luar pipa [m]
Nr = jumlah bundle ST = transverse pitch [m]
ρb = rata-rata densitas flue gas pada suhu SL = longitudinal pitch [m]
paling tinggi (Kg/m3) Sf = jarak antar pipa [m]
ρ1 = densitas gas buang masuk (Kg/m3) hf = tinggi sirip [m]
Nilai ff dapat dicari dengan menggunakan gambar Moody’s friction factor pada gambar
II.12
Koefisien gesek (fT) dan Koefisien resistansi untuk bengkokan 900 (K1) masing-
masing di ilustrasikan pada tabel II.2 dan II.3
Tabel II.3 Koefisien Gesek (fT)
Tube diameter Tube diameter
fT fT
(mm) (mm)
15 0,027 65,8 0,018
20 0,025 100 0,017
25 0,023 125 0,016
32 0,022 150 0,015
40 0,021 200; 250 0,013
50 0,019 300 ; 400 0,012
RB/di K1 RB/di K1
1 20 fT 8 24 fT
1,5 14 fT 10 30 fT
2 12 fT 12 34 fT
3 12 fT 14 38 fT
4 14 fT 16 42 fT
6 17 fT 20 50 fT
Keterangan:
ff = Faktor gesek
Lstr = Panjang pipa lurus [m]
di = Diameter dalam [m]
KT = Total Koefisien Resistansi Keseluruhan
ρw = Densitas air [kg/m3]
νw = Kecepatan air [m/s]
II.6.11 Menghitung Nilai Proporsi Overdesign
Untuk melihat tercapainya nilai perpindahan panas yang dibutuhkan dari desain
yang telah dirancang, maka perlu dihitung nilai Proporsi Overdesign yang dihitung
menggunakan persamaan (II.36)
𝑈𝑎𝑐𝑡𝑢𝑎𝑙 −𝑈𝑟𝑒𝑞𝑢𝑖𝑟𝑒𝑑
Proporsi Overdesign = x 100% ……………………........(II.37)
𝑈𝑎𝑐𝑡𝑢𝑎𝑙
Dimana:
Urequired = koefisien perpindahan panas menyeluruh hasil rancangan (W/m 2.k)
Uactual = koefisien perpindahan panas menyeluruh actual (W/m2.k)
II.6.12 Menghitung Ketebalan Minimum Pipa (tmin)
Ketebalan minimum pipa harus dihitung untuk menjaga pipa agar dalam batas
amannya jika dioperasikan pada tekanan kerjanya. Hal ini merupakan salah satu syarat
perancangan komponen WHRPG dari sisi mekanik. Ketebalan minimum pipa dapat
dihitung menggunakan persamaan (II.38) (Kitto & Stultz, 2005).
𝑃.𝑂𝐷
tmin = 2.𝑆+𝑃 + 0,005 . OD ................................................................................ (II.38)
Keterangan:
Allowable stress didapatkan dari tabel II.2 berdasarkan material pipa yang
digunakan dan temperatur kerja dari pipa tersebut.