DISUSUN
OLEH:
SRI WAHYUNI
NIM: 22900057
B. Etiologi
Berdasarkan (Smelzer & Bare, 2012), penyebab dari kista
belum diketahui secara pasti, kemungkinan terbentuknya kista akibat
gangguan pembentukan hormon dihipotalamus, hipofisis atau di
indung telur sendiri (ketidakseimbangan hormon). Kista folikuler dapat
timbul akibat hipersekresi dari FSH dan LH yang gagal mengalami
involusi atau mereabsorbsi cairan. Kista granulosa lutein yang terjadi
didalam korpus luteum indung telur yang fungsional dan dapat
membesar bukan karena tumor, disebabkan oleh penimbunan darah
yang berlebihan saat fase pendarahan dari siklus menstruasi. Kista
theka-lutein biasanya bersifay bilateral dan berisi cairan bening,
berwarna seperti jerami. Penyebab lain adalah adanya pertumbuhan sel
yang tidak terkendali di ovarium, misalnya pertumbuah abnormal dari
folikel ovarium, korpus luteum, sel telur.
C. Manifestasi Klinis
Sebagian besar kista ovarium tidak menimbulkan gejala, atau
hanya sedikit nyeri yang tidak berbahaya. Tetapi adapula kista yang
berkembang menjadi besar dan menimpulkan nyeri yang tajam.
Pemastian penyakit tidak bisa dilihat dari gejala-gejala saja karena
mungkin gejalanya mirip dengan keadaan lain seperti endometriosis,
radang panggul, kehamilan ektopik (di luar rahim) atau kanker
ovarium. Meski demikian, penting untuk memperhatikan setiap gejala
atau perubahan ditubuh Anda untuk mengetahui gejala mana yang
serius. Berdasarkan (Mansjoer, 2012), gejala-gejala berikut mungkin
muncul bila anda mempunyai kista ovarium:
1. Perut terasa penuh, berat, kembung
2. Tekanan pada dubur dan kandung kemih (sulit buang air kecil)
3. Haid tidak teratur
4. Nyeri panggul yang menetap atau kambuhan yang dapat menyebar
ke punggung bawah dan paha.
5. Nyeri mendadak dibagian perut bawah
6. Nyeri pinggul ketika menstruasi
7. Menstruasi nyang datang terlambat disertai dengan nyeri
8. Menstruasi yang kadang memanjang dan memendek
9. Nyeri sanggama
10.Mual, ingin muntah, atau pengerasan payudara mirip seperti pada
saat hamil.
D. Patofisiologi
Berdasarkan Smeltzer & Bare (2012) menyatakan bahwa
fungsi ovarium yang normal tergantung pada sejumlah hormon, dan
kegagalan salah satu pembentukan hormon dapat mempengaruhi
fungsi ovarium tersebut. Ovarium tidak akan berfungsi secara normal
jika tubuh wanita tidak menghasilkan hormon hipofisa dalam jumlah
yang tepat. Fungsi ovarium yang abnormal dapat menyebabkan
penimbunan folikel yang terbentuk secara tidak sempurna didalam
ovarium. Folikel tersebut gagal mengalami pematangan, gagal
berinvolusi, gagal mereabsorbsi cairan dan gagal melepaskan sel telur,
sehingga menyebabkan folikel tersebut menjadi kista.
Setiap hari ovarium normal akan membentuk beberapa kista
kecil yang disebut folikel de graff. Pada pertengahan siklus, folikel
dominan dengan diameter lebih dari 2.8cm akan melepaskan oosit
mature. Folikel yang ruptur akan menjadi korpus luteum, yang pada
saat matang memiliki struktur 1,5-2 cm dengan kista di tenga-tengah.
Bila tidak terjadi fertilisasi pada oosit, korpus luteum akan
mengalami fibrosis dan pengerutan secara progresif. Namun bila
terjadi fertilisasi, korpus luteum mula-mula akan membesar kemudian
secara gradual akan mengecil selama kehamilan.
Kista ovari berasal dari proses ovulasi normal disebut kista
fungsional dan selalu jinak. Kista dapat berupa kista folikural dan
luteal yang kadang-kadang disebut kista theca-lutein. Kista tersebut
dapat distimulasi oleh gonadotropin, termasuik FSH dan HCG.
E. Pathway
Klien mengalami
ketakutan dalam
melakukan mobilisasi
Hambatan
mobilisasi fisik
b.d kelemahan
fisik
F. Pemeriksaan Penunjang
Berdasarkan (Winkjosastro, 2015) bahwa pemeriksaan
penunjang yang dapat dilakukan pada klien dengan kista ovarium
sebagai berikut:
1. Laparaskopi, pemeriksaan ini sangat berguna untuk mengetahui
apakah sebuah tumor berasal dari ovarium atau tidak, dan untuk
menentukan silat-sifat tumor itu.
2. Ultrasonografi, pemeriksaan ini dapat ditentukan letak dan batas
tumor apakah tumor berasal dari uterus, ovarium, atau kandung
kencing, apakah tumor kistik atau solid, dan dapatkah dibedakan
pula antara cairan dalam rongga perut yang bebas dan yang tidak.
3. Foto Rontgen, pemeriksaan ini berguna untuk menentukan adanya
hidrotoraks. Selanjutnya, pada kista dermoid kadang-kadang dapat
dilihat gigi dalam tumor. Penggunaan foto rontgen pada pictogram
intravena dan pemasukan bubur barium dalam colon disebut di
atas.
4. Pap smear, untuk mengetahui displosia seluler menunjukan
kemungkinan adaya kanker atau kista.
G. Penatalaksanaan
Berdasarkan Hamylton (2015); Bobak, Lowdermilk, & Jensen
(2004); Winkjosastro (2015) bahwa penatalaksanaan yang dapat
dilakukan pada klien dengan kista ovarium sebagai berikut:
a. Pengangkatan kista ovarium yang besar biasanya adalah melalui
tindakan bedah misal laparatomi, kistektomi atau laparatomi
salpingooforektomi. Tindakan operasi pada tumor ovarium
neoplastik yang tidak ganas ialah pengangkatan tumor dengan
mengadakan reseksi pada bagian ovarium yang mengandung
tumor. Akan tetapi jika tumornya besar atau ada komplikasi, perlu
dilakukan pengangkatan ovarium, bisanya disertai dengan
pengangkatan tuba (Salpingo-oovorektomi).
b. Kontrasepsi oral dapat digunakan untuk menekan aktivitas ovarium
dan menghilangkan kista.
c. Perawatan pasca operasi setelah pembedahan untuk mengangkat
kista ovarium adalah serupa dengan perawatan setelah pembedahan
abdomen dengan satu pengecualian penurunan tekanan intra
abdomen yang diakibatkan oleh pengangkatan kista yang besar
biasanya mengarah pada distensi abdomen yang berat. Hal ini
dapat dicegah dengan memberikan gurita abdomen sebagai
penyangga.
d. Tindakan keperawatan berikut pada pendidikan kepada klien
tentang pilihan pengobatan dan manajemen nyeri dengan analgetik
atau tindakan kenyamanan seperti kompres hangat pada abdomen
atau teknik relaksasi napas dalam, informasikan tentang perubahan
yang akan terjadi seperti tanda-tanda infeksi, perawatan insisi luka
operasi.
e. Asuhan post operatif merupakan hal yang berat karena keadaan
yang mencakup keputusan untuk melakukan operasi, seperti
hemorargi atau infeksi. Pengkajian dilakukan untuk mengetahui
tanda-tanda vital, asupan dan keluaran, rasa sakit dan insisi. Terapi
intravena, antibiotik dan analgesik biasanya diresepkan. Intervensi
mencakup tindakan pemberiaan rasa aman, perhatian terhadap
eliminasi, penurunan rasa sakit dan pemenuhan kebutuhan
emosional Ibu.
f. Efek anestesi umum. Mempengaruhi keadaan umum penderita,
karena kesadaran menurun. Selain itu juga diperlukan monitor
terhadap keseimbangan cairan dan elektrolit, suara nafas dan usaha
pernafasan, tanda-tanda infeksi saluran kemih, drainese urin dan
perdarahan. Perawat juga harus mengajarkan bagaimana aktifitas
pasien di rumah setelah pemulangan, berkendaraan mobil
dianjurkan setelah satu minggu di rumah, tetapi tidak boleh
mengendarai atau menyetir untuk 3-4 minggu, hindarkan
mengangkat benda-benda yang berat karena aktifitas ini dapat
menyebabkan kongesti darah di daerah pelvis, aktifitas seksual
sebaiknya dalam 4-6 minggu setelah operasi, kontrol untuk
evaluasi medis pasca bedah sesuai anjuran.
H. Komplikasi
Berdasarkan Winkjosastro (2015) bahwa beberapa ahli
mencurigai kista ovarium bertanggung jawab atas terjadinya kanker
ovarium pada wanita diatas 40 tahun. Mekanisme terjadinya kanker
masih belum jelas namun dianjurkan pada wanita yang berusia diatas
40 tahun untuk melakukan skrining atau deteksi dini terhadap
kemungkinan terjadinya kanker ovarium. Faktor resiko lain yang
dicurigai adalah penggunaan kontrasepsi oral terutama yang berfungsi
menekan terjadinya ovulasi. Maka dari itu bila seorang wanita usia
subur menggunakan metode konstrasepsi ini dan kemudian mengalami
keluhan pada siklus menstruasi, lebih baik segera melakukan
pemeriksaan lengkap atas kemungkinan terjadinya kanker ovarium.
PENGKAJIAN
Pasien datang ke poli Kebidanan dengan tujuan ingin melakukan USG
untuk mnegetahui penyakit yang dideritanya.
A. Indentitas Pasien
Nama : Ny.D
Umur : 32
Agama : Islam
Alamat : Darul Imarah
Pekerjaan : Guru Ngaji
Riwayat Penyakit : Kista Ovarium
Bobak, Lowdermilk, & Jensen. (2014). Buku Ajar Keperawatan Maternitas, alih
bahasa Maria A. Wijayarini, Peter I. Anugrah (Edisi 4). Jakarta: EGC.
Heardman. (2011). Diagnosa Keperawatan. Jakarta. EGC.
Hefner, Linda J. & Danny J.Schust. (2018). At a Glance Sistem Reproduksi Edisi
II. Jakarta : EMS, Erlangga Medical Series.
Johnson, Meridian Maas, & Sue Moorhead. (2010). Nursing Outcame
Clasification. Mosby. Philadelphia.
Mansjoer, Arif. (2002). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius.
McCloskey & Gloria M Bulechek. (2016). Nursing Intervention Clasification.
Mosby. USA.
Sjamjuhidayat & Wim de Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta :
EGC.
Smelzer & Bare. (2012). Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.
Williams, Rayburn F. (2015). Obstetri dan Ginekologi. Jakarta: Widya medika.
Winkjosastro, Hanifa, (2005), Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka