Anda di halaman 1dari 13

CERPEN

SIAPA SURUH SEKOLAH DI HARI MINGGU?


NAMA saya Rahing, usia delapan tahun lebih. Saya baru saja membunuh kakak saya. Lehernya saya
potong pakai parang milik gerombolan. Saya ditangkap tentara. Tentara banyak sekali
pertanyaannya, saya jadi pusing. Saya bilang mau pulang. Tentara bilang tidak boleh. Saya jadi
sedih dan takut. Besok hari Minggu, Guru Semmang akan cubit saya kalau tidak masuk sekolah.
Sekolah kami sekarang, pindah ke dalam hutan. Saya bilang, saya mau cerita tetapi sesudah itu, saya
pulang. Tentara setuju. Saya bilang lagi, saya mau cerita tetapi jangan bilang sama Guru Semmang.
Dan jangan kasih tahu ayah kalau saya di sini, tentara janji. Saya takut Guru Semmang cubit saya.
Saya takut Ayah lihat saya, dia mau bunuh saya.

DIA sering dipukul ayahnya menggunakan warangka parang. Bermacam-macam persoalan menjadi
penyebabnya. Yang paling sering, karena Rahing dekat dengan Semmang—lelaki yang ayahnya benci
secara ideologi bahkan secara personal. Yang Rahing alami sungguh tidak serumit yang di kepala
ayahnya. Dia dipukul, memang itu menyakitkan—dia sudah terbiasa—tetapi ada kenyataan lain yang
membuat tangisannya seolah tangisan penghabisan pada suatu malam: ayahnya melarang dia pergi ke
sekolah saat hari Minggu.

“Itu sekolah gerombolan.”

“Guru Semmang ajar kami mengaji, kami belajar menyanyi bahasa Arab, saya suka. Guru Semmang
bilang dia pejuang, tidak boleh bilang gerombolan.”

“Kau nanti ditangkap tentara!”

“Guru Semmang bilang jangan takut.”

“Kau nanti ditembak!”

“Guru Semmang bilang jangan takut.”

“Kau keras kepala sekali, sama kayak Semmang, kalian sama saja.”

AYAH pernah bilang saya akan ditembak kalau tentara tangkap saya. Ayah pasti sudah berdosa
karena bohong, karena tentara tidak tembak saya. Tentara bilang akan kasih permen, kalau mau cerita
kenapa saya memotong leher kakak saya. Saya juga nanti dilepas dan dibiarkan pulang ke hutan. Saya
jadi senang karena besok hari Minggu dan saya akan diberi hadiah oleh Guru Semmang karena saya
sudah hafal doa sebelum tidur.

Saya suka permen, kata Ayah, tentara punya banyak permen. Jadi harus berteman sama tentara. Saya
sama warga dan Guru Semmang dan temannya, pernah rusak jembatan. Waktu itu sudah malam. Kata
Guru Semmang, kalau jembatan rusak, tentara tidak bisa ganggu kami sekolah dan mengaji. Saya jadi
senang. Besoknya tentara datang ke kampung kami cari laki-laki yang sudah besar. Ayah juga
dipanggil, jadi saya ikut. Kami disuruh perbaiki jembatan yang rusak. Tentara itu kasih saya permen
karena saya bantu angkat tanah. Kata Ayah, lihat mobil besar milik tentara itu, semua isinya adalah
permen. Saya tambah rajin angkat tanah.

DI posko tentara, Rahing duduk sambil menjilati permen gula aren di kedua tangannya. Ia
mengenakan kemeja putih kecoklatan, peci hitam bulukan, sarung yang kedodoran dan kaki penuh
lumpur. Dia bersama seorang tentara yang terus bertanya banyak hal.

Posko sementara telah dibangun Tentara Jawa—istilah warga saat menyebut tentara nasional yang
dikirim untuk Operasi Tumpas di Sulawesi. Hal itu disebabkan semakin banyaknya sekolah yang
dipaksa libur di hari Jumat dan buka pada hari Minggu oleh gerombolan. Salah satunya, di sebuah
kampung kecil di pelosok Kabupaten Wajo, kampung Rahing. Awalnya tentara datang menawarkan
rasa aman, kemudian satu per satu warga ditangkap karena dituduh mata-mata gerombolan. Pada
mulanya semacam itu, kemudian ternak warga mereka beli dengan harga murah, padi dipanen
sebelum waktunya, hasil kebun mereka petik paksa. Semua tentara lakukan ketika gerombolan
semakin sering keluar hutan untuk mengambil persediaan makanan dari orang-orang kampung. Warga
menjadi telur yang semula berada di ujung tanduk sapi lalu menyelamatkan diri ke ujung tanduk
kerbau.

Rahing masih menjilati permennya, sementara pertanyaan demi pertanyaan masih terus ditujukan
untuknya. Tentu tidak semua ia jawab.

“Kenapa kau gorok leher kakakmu?”

“Dia jahat.”

“Disuruh siapa?”

“Guru Semmang.”
“Apa katanya?”

“Nanti saya dicubit, kata Guru Semmang tidak boleh cerita.”

“Kalau tidak cerita, nanti kau tidak kami pulangkan, ayahmu kami panggil di sini. Benar, kan,
Komandan?” tentara itu memandang, menuntut pengiyaan dari seorang tentara lain yang berdiri
sambil melipat lengan di depan dada.

TENTARA itu bilang saya tidak boleh pulang. Sudah malam, nanti Ayah tahu saya di sini. Saya
sebenarnya mau cerita lagi, tetapi saya ingat waktu Guru Semmang larang saya cerita kalau ada yang
tanya. Tetapi, saya mau pulang, jadi saya cerita saja karena mungkin tentara tidak akan kasih tahu
Guru Semmang.

Jadi, kata Guru Semmang, kakak saya teman tentara. Karena kakak saya, Ibu dibunuh. Saya jadi
sangat benci sama kakak saya. Saat Guru Semmang kasih saya parangnya, saya langsung potong
lehernya seperti cara Ayah potong leher ayam kalau mau lebaran. Saya jadi rindu Ibu. Kalau lebaran,
Ibu bikin ayam goreng. Saya senang karena kakak saya mati. Karena kata Guru Semmang, Ibu pasti
senang juga di surga. Karena orang yang bikin dia mati sudah saya bunuh. Saya dapat pahala kalau
bikin orangtua senang. Tetapi, Ayah tidak senang, dia mau bunuh saya juga, jadi saya lari ke hutan
ikut sama Guru Semmang. Saya benci Ayah, dia tidak senang kalau Ibu senang. Dia juga tidak tahu
bikin ayam goreng.

RAHING membenci ayahnya seperti benci yang dia miliki ketika melihat leher kakak laki-lakinya
memasrahkan diri pada parang yang diberikan Semmang. Saat itu, menjelang perayaan kemerdekaan,
hari Minggu pada bulan Agustus 1961—Rahing baru sampai di sekolah ketika tiba-tiba Semmang
menyuruh anak-anak lainnya menyalin bacaan yang ada di papan tulis.

“Saya ada tugas dulu sama Rahing,” kata Semmang sambil menggamit Rahing untuk mengikuti
langkahnya yang buru-buru.

Rahing belum selesai dengan rasa penasaran di kepalanya ketika ia tiba di hutan kecil di belakang
sekolahnya. Sekolah yang hanya punya satu ruangan dengan dinding anyaman batang nipah serta atap
rumbia. Beberapa anggota gerombolan memberi hormat menyambut kedatangan Semmang. Seorang
pemuda awal dua puluh tahunan terduduk dengan kaki terikat memanjang ke depan serta tangan yang
diikatkan pada batang cokelat di belakangnya. Mata pemuda itu ditutup dengan kain berwarna hitam
dan mulutnya tampak dijejali dedaunan kering. Rahing mengenal pemuda itu, dia Walinono,
kakaknya.
Yang terjadi selanjutnya kurang lebih seperti yang Rahing sampaikan kepada tentara: Semmang mulai
bercerita mengenai Walinono yang pengkhianat dan harus terima balasan.

“Kau siap bikin ibumu senang, Rahing?”Semmang bertanya dengan pertanyaan yang membuat
Rahing bergeming—ia terus memandangi kakaknya seperti memandang sebuah titik kecil di ufuk. Ia
masih diam dan tidak menolak ketika gagang parang dijejalkan oleh Semmang ke tangannya.

“Kau bisa bikin ibumu senang, dapat pahala bikin orangtua senang.”

Rahing maju beberapa langkah dan beberapa saat setelahnya terdengar suara orokan yang begitu keras
disusul darah yang mengalir.

“Kau bantu, cepat!”

Seorang anggota gerombolan mengambil parang dari Rahing—dan memutuskan leher Walinono yang
tidak bergerak lagi.

“Bagaimana perasaanmu, Nak Rahing, senang?” Semmang menepuk-nepuk pundak Rahing yang
masih diam dengan tatapan kosong.

Rahing baru tersenyum ketika Semmang mengatakan: “Ah, pasti ibumu senang sekali, Rahing!”

Malam baru saja tiba ketika Rahing berjalan pulang menyusuri jalan kecil yang sudah sepi. Jalan
penghubung hutan dan perkampungan; menghubungkan rumah dan sekolahnya. Ia tampak girang dan
sesekali berlari kecil sambil menggigit sepotong tebu di tangan kirinya, yang diberikan Semmang
sebagai hadiah. Di tangan kanannya ia menenteng sebuah karung goni yang berisi kepala Walinono.

“Kau bawa kepala kakakmu, kasih lihat ke ayahmu. Kalau dia senang, berarti dia sayang ibumu.
Kalau marah, berarti dia tidak suka ibumu senang, jadi kau ikut saja ke hutan, saya lebih cocok jadi
ayahmu.”

Di kepala Rahing, masih melekat jelas apa yang Semmang ucapkan ketika menyerahkan karung goni
itu. Jalan semakin sepi juga sunyi—ia masih butuh berjalan sekitar setengah jam untuk tiba di rumah.
Tebu yang sisa sepah ia lemparkan ke semak-semak di sisi jalan. Rahing lantas meletakkan karung
goninya di tanah. Sambil berlari kecil ia mulai menyepak karung itu seperti sedang menggiring bola—
dan baru berhenti ketika cahaya pelita di perkampungan mulai tampak.
“SAYA suka main bola. Kepala kakak seperti bola, jadi saya tendang saja.”

Saya sudah ngantuk. Tentara masih suruh saya cerita. Dia bilang saya tidak boleh tendang kepala
kakak, tetapi Guru Semmang bilang boleh. Saya percaya Guru Semmang.

Saya memang sudah benci Ayah, tetapi dia tidak bohong, tentara memang banyak permennya. Saya
dikasih lagi, saya disuruh cerita lagi. Saya ditanya lagi, katanya di mana kepala kakak saya. Saya
bilang tidak tahu. Ditanya lagi, bilang di hutan bagian mana Guru Semmang sembunyi, saya juga
bilang tidak tahu. Sebenarnya saya tahu.

“Tahu kau, kapan mereka akan keluar hutan atau merusak jalan sama jembatan?”

Saya menggeleng ditanya begitu. Saya jadi sedih karena lupa, saya sudah janji sama Ibu tidak akan
menggeleng atau mengangguk, kata Ibu tidak sopan.

“Kau tahu siapa yang kasih gerombolan senjata?”

Saya bilang, saya tidak tahu. Seandainya tahu, saya juga mau minta. Saya mau sekali punya senapan,
saya dulu suka main senapan tetapi dari pelepah pisang.

“Kenal sama gerombolan yang kena tembak bulan lalu?”

Saya menggeleng, saya lupa lagi, ingat Ibu lagi.

MEMANG Rahing tidak tahu siapa yang tertembak oleh tentara waktu itu. Semmang yang tahu—dan
karena itu, dia memburu Walinono yang baginya telah memasok informasi untuk tentara. Informasi
mengenai rencana-rencana merusak jalan dan jembatan oleh gerombolan memang semuanya tiba di
tentara dengan campur tangan Walinono. Ketika tiga orang gerombolan tertembak setelah keluar
hutan, itu juga berkat Walinono. Untuk informasi yang diberikan dia mendapat imbalan berbungkus-
bungkus rokok dan seragam bekas tentara. Dari tiga gerombolan yang tertembak, salah satunya adalah
adik kandung Semmang.

“Kau kenapa melakukan ini?”


Jawaban Walinono ketika tentara meragukan kesetiaannya sungguh tidak meragukan. Dia akan
bercerita mengenai ibunya yang meninggal diperkosa.

“Tidak ada cara lain membalaskan dendam Ayah selain begini, Komandan.”

Ia mengingat, malam itu ibunya pamit untuk menjual tenunannya ke Sengkang—ibu kota kabupaten.
Ibunya berangkat, berjalan kaki tengah malam dengan harapan tiba pagi hari ketika pasar mulai
dibuka, seperti biasa. Ibunya berangkat setelah melumuri tubuh dan wajahnya dengan arang; sudah
menjadi kebiasaan bagi perempuan yang ingin keluar dari kampung itu. Diri mereka dibuat sejelek
mungkin agar terhindar dari tangan tentara atau gerombolan yang ingin melecehkan.

Ibunya tidak pernah tiba di Sengkang. Mayatnya ditemukan membusuk, telanjang dan mengambang
di sungai, beberapa hari kemudian. Tidak ada yang tahu siapa pelakunya, tetapi Walinono tidak
mencurigai nama lain selain Semmang—dia adalah mantan kekasih ibunya—yang sangat sakit hati
ketika ibu Walinono memilih lelaki pilihan orangtuanya. Semmang waktu itu berjanji tidak akan
pernah menikah—dan dia membuktikannya. Dia berjanji akan pembalas pengkhianatan itu, dia telah
membuktikannya.

Wajo, 2017

Faisal Oddang, mahasiswa sastra Indonesia di Universitas Hasanuddin. Menulis novel Puya ke Puya
yang menjadi salah satu pemenang sayembara novel DKJ 2014 serta menjadi novel terbaik versi
majalah Tempo 2015. Terpilih sebagai penulis cerpen terbaik Kompas 2014 dan menerima anugerah
ASEAN Young Writers Award 2014 dari Pemerintah Thailand. Sedang menyiapkan kumpulan puisi
Perkabungan untuk Cinta dan novel Tiba Sebelum Berangkat.

Rujukan:
[1] Disalin dari karya Faisal Oddang
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Kompas” edisi Minggu 30 Juli 2017
MIMPI-MIMPI BISSU

Sahar tak sadar jika ia tengah bermimpi. Tapi seperti calon bissu1 lainnya, akhir dari mimpinya akan
menjawab pertanyaan pantas atau tidaknya Sahar menjadi seorang bissu. Walaupun di luar mimpi
Sahar belumlah jadi seorang bissu, di dalam mimpinya Sahar kemungkinan mengalami hal
sebaliknya. Saat Sahar terbangun dari mimpi panjangnya, dia melihat apa yang tak dilihat oleh ibunya
sendiri.Sahar tak sadar jika ia tengah bermimpi. Tapi seperti calon bissu1 lainnya, akhir dari
mimpinya akan menjawab pertanyaan pantas atau tidaknya Sahar menjadi seorang bissu. Walaupun di
luar mimpi Sahar belumlah jadi seorang bissu, di dalam mimpinya Sahar kemungkinan mengalami hal
sebaliknya. Saat Sahar terbangun dari mimpi panjangnya, dia melihat apa yang tak dilihat oleh ibunya
sendiri.SEBELUM menjadi bissu, beberapa bissu lainnya mengalami peristiwa dalam mimpinya
masing-masing. Sahar sendiri harus melihat Gerakan DI/TII yang datang memberangus para bissu
pada masa itu. Kejadian ketika sekelompok anggota DI/TII memaksa para bissu untuk kembali
menjadi lelaki yang sesungguhnya membuat para bissu tertekan. Jika menolak, nyawa jadi
taruhannya.Para bissu bahkan dipaksa untuk bekerja di sawah dan meninggalkan ritualnya yang
dianggap berhala. Tak jarang, Sahar melihat satu atau dua bissu harus mengorbankan nyawa demi
mempertahankan keyakinannya. Jika tak bermimpi tentang tragedi bissu itu, Sahar akan bertemu
seseorang yang mengenakan jubah putih yang menggunakan bahasa bissu, bahasa langit yang hanya
akan dikuasai oleh para bissu. Jika bukan tentang itu, Sahar akan melihat dirinya berada dalam sebuah
ritual yang sakral.

Mimpi SaharMalam itu di bola ridie2, sebuah ritual bagi seorang bissu baru hendak dimulai, suara
gendang dan seruling diikuti nyanyian sejumlah bissu kepada dewa terus dilantunkan. Sahar
memejamkan mata sembari merapalkan doa, tak terasa dirinya menitikkan air mata. Puang matoa3
memandangi sepasang potto ulaweng4 yang diletakkan di atas bosara5. Potto ulaweng itu bergerak
dengan sendirinya. Menghasilkan suara-suara kecil di tepi bosara.

”Sudah, sebentar lagi para dewa akan tiba,” pesan puang matoa beberapa saat setelah pusaka itu
kembali terdiam. Para bissu yang duduk bersila membentuk lingkaran terus melanjutkan lantunannya.
Aroma dupa tersebar ke seluruh ruangan. Setelah ritual ini berakhir, akan ada ritual lain yang ingin
dilaksanakan. Sudah tiba waktunya, puang matoa akan digantikan oleh bissu yang dianggap mampu
melanjutkan hubungan bissu dengan dewa. Dan semakin dekat pergantian itu, air mata Sahar mengalir
tak terbendung. Ada yang terkenang di ingatan Sahar. Malam itu purnama tampak sempurna, sebuah
ramalan hendak menjadi kenyataan. Ramalan tentang dirinya, jauh sebelum dia dinisbahkan menjadi
seorang bissu.
Ketika Sahar masih berusia sepuluh tahun, saat dirinya pertama kali mengunjungi pamannya di Bone.
Saat itu juga tak jauh dari rumah pamannya itu, tengah berlangsung ritual para bissu saat hendak
merayakan musim panen. Mendengar riuh suara keramaian, dia berlari keluar rumah pamannya
mengikuti suara-suara itu. Tubuhnya yang masih kecil membuatnya dengan mudah melewati
kerumunan. Menyelip melewati satu demi satu tubuh orang dewasa yang menjadi dinding untuk
Sahar.

Di kesempatan itu pulalah, pertama kalinya dia melihat seorang bissu yang menari dengan lincah dan
indah. Hingga salah seorang bissu menusuk lehernya dengan ujung keris, Sahar terkesima. Bunyi
dentuman gong membuat bissu itu semakin keras menekan keris di lehernya dan juga matanya. Suara
gendang, pui-pui seruling yang nyaring, serta simbal semakin membuat bissu itu seakan hilang
kendali. Meskipun bissu itu menekan keris, setetes darah sama sekali tak keluar dari atas kulitnya.
Melihat itu, mulut Sahar menganga seakan tak percaya. Hingga tarian bissu selesai, dia masih berdiri
mematung.

Sahar baru pulang setelah pamannya datang menjemputnya. Saat itu juga, dia melihat pamannya
berbincang dengan salah seorang bissu. Mereka tampak akrab. Alis Sahar berkerut setelah mendengar
percakapan mereka dengan bahasa yang tak dimengerti. Dilihatnya pakaian putih bissu itu dengan
serban putih melilit di kepala seperti mahkota ala raja. Saat Sahar masih memperhatikan paras bissu
yang berbicara dengan pamannya itu, bissu itu kemudian berhenti lalu menyapa Sahar, ”Kau mirip
sekali dengan puang lolo6 waktu beliau masih kecil, kulit putihmu, lesung pipimu, dan tatapanmu,
mirip sekali! Kelak kau bisa jadi bissu seperti kami.”

Begitu banyak pertanyaan di kepala Sahar waktu itu, namun dipendamnya hingga bertahun-tahun
lamanya. ”Mengapa mereka menusuk dirinya sendiri?” pertanyaan itu kemudian baru dilontarkan
pada seorang bissu di bola ridie, sembilan tahun setelah melihat ritual kejadian itu di Bone. ”Di
Soppeng, bissu tidak ditakdirkan untuk belajar maggirik7. Sudah menjadi ketentuan jika Bone
mewarisi keberanian, sedangkan Soppeng mewarisi kesejahteraan atas kehidupan.”

Tiap kali Sahar datang berkunjung, puang matoa merasakan kesenangan yang luar biasa, bahagia
melihat seorang pemuda yang bersemangat mempelajari tentang bissu. Dari mata Sahar tampak
kesungguhan yang tak biasa. Kedatangan Sahar selalu disertai dengan sejumlah pertanyaan yang
membuat puang matoa bercerita panjang lebar. Puang matoa dengan senang hati menyalakan lampu
pessepelleng8 sebelum dia memulai ceritanya yang panjang.

Diceritakanlah Sahar tentang silsilah para raja, masa lampau bissu yang hidup dalam istana, sejumlah
pusaka yang terjaga. Sahar tak lama lagi akan dilantik sebagai seorang bissu, namun sebelumnya dia
diminta untuk ikut melaksanakan ritual massapo wanua9. Namun, tiga hari sebelum ritual itu dimulai,
sebuah kabar dari Bone membuatnya bersedih. Pamannya meninggal setelah diserang penyakit yang
tak diketahui penyebabnya. Hanya Sahar yang mengetahui segala kebenaran yang menimpa
pamannya itu.
Sejak kecil hingga menjelang dewasa, Sahar kemudian rutin mengunjungi pamannya yang hidup
seorang diri di Bone. Jarak tempuh Soppeng dan Bone tak terasa jauh lagi bagi Sahar. Hubungan
mereka berdua kemudian tampak semakin dekat. Ibu Sahar, yang merupakan kakak kandung dari
pamannya, memercayakan Sahar membantu saudaranya itu yang bekerja sebagai perias pengantin di
Bone. Bahkan Sahar sempat diminta untuk menetap di Bone, namun ayah Sahar tak memberi restu.
Dia tak ingin nasib Sahar mengulang nasib pamannya. Sahar bahkan harus menerima tamparan keras
dari ayahnya saat dia mengutarakan keinginannya untuk menjadi seorang bissu. Sebulan berselang
setelah murka ayahnya meledak, tubuh ayah Sahar ditemukan kaku tak bernyawa setelah digigit ular
di kebunnya.

Mimpi Sahar II

Kejadian ganjil yang menimpa Sahar membuatnya terus merenung. Jika hatinya merasa waswas dan
gagal menemukan rasa damai, satu-satunya yang bisa dia lakukan adalah berkunjung ke bola ridie. Di
sanalah Sahar akan melepas resah dan mencoba menenangkan dirinya. Tapi kala itu, bukannya rasa
damai yang dia dapatkan, sesuatu yang tak pernah dipikirkan sebelumnya oleh Sahar. Ketika sebagian
dari dirinya pun tampak semakin nyata dan belum sepenuhnya dia kenali.

Seusai Sahar bercerita tentang ayah dan pamannya, puang matoa dengan serius menanggapi dan
memberikan pandangannya yang mungkin membantu Sahar.

”Kau harus lebih sabar. Begitulah, Nak, kau sudah ditakdirkan jadi seorang bissu.” Seperti itulah yang
Sahar dengarkan dari puang matoa saat menceritakan ayahnya. Belum lagi saat Sahar menceritakan
kisah tentang pamannya di Bone. Bahwa pamannya begitu akrab dengan para bissu yang ada di Bone,
tapi belum sempat dia menjadi seorang bissu, ajal telah menjemputnya.

Sejenak puang matoa terdiam setelah mendengar cerita tentang paman Sahar yang di Bone. Seperti
sedang berbicara dengan dirinya sendiri, puang matoa lalu menjelaskan sesuatu yang sulit diterima
oleh Sahar. Puang matoa bercerita jikalau masalah yang menimpa paman Sahar itu akibat dari
gagalnya menjalani ritual menjadi bissu.

”Bagaimana Puang Matoa bisa tahu kejadian itu?” Sahar sendiri tak menyangka jika ritual bissu itu
punya risiko yang tinggi.

”Jika tidak berhasil, hanya ada dua pilihan. Pertama dia akan meninggal, yang kedua dia akan gila.
Beruntung dia tak meninggal seketika.”

”Apa harus seperti itu, Puang?”


Di mimpi yang lain, pamannya pernah datang sembari memintanya untuk mengurungkan niat menjadi
seorang bissu. ”Jika kau tak lagi suci, ritual itu hanya akan membuat menderita seperti aku,” pesan
pamannya. ”Apa yang kita lakukan saat kau menemaniku waktu itu tidak akan membuatmu berhasil
melewatinya.” Sahar terus terbayang dengan peristiwa malam itu dengan pamannya. Saat mereka
tindih-menindih dan membiarkan nafsu menjadi raja.

Lamunan itu hilang setelah puang matoa kembali bertanya, ”Pamanmu di Bone gila setelah gagal
melewati ritual. Apakah kau ingin ikut gila seperti pamanmu itu?”

Sahar menjawab dalam hati. Puang Matoa… aku sudah mendapati mimpi ini berkali-kali. Pertanyaan
pamanku juga telah menghantuiku sejak lama. Jika harus mengulang nasib pamanku itu, aku yakin
dewa punya rencana lain yang lebih baik. Aku menyesal membiarkan tubuhku ditindih oleh pamanku
sendiri. Dan gagal menahan diri kala itu. Tapi dewa telah memanggilku untuk berada di tempat ini,
atau mungkin hendak menghukum kami berdua. Aku dan pamanku.

Puang matoa masih menunggu jawaban Sahar, tapi dia masih membisu, lalu menangis tanpa
menitikkan air mata.

Saat pagi tiba, ibu Sahar mengetuk pintu kamar anaknya yang dari luar terdengar berisik. Lantaran tak
ada jawaban, dia masuk lalu melihat anaknya itu tertawa melihat bantalnya lalu menunjuk bantalnya
yang basah karena air mata, Sahar berteriak-teriak sambil melompat-lompat di atas kasur, ”Darah…
darah… darah….” Lalu tak lama setelah itu, dia menangis terisak. Saat itu ibu Sahar terkenang
almarhum adiknya yang semestinya tak perlu dia pertemukan dengan anak semata wayangnya, Sahar.
Malam nanti Sahar akan kembali bermimpi menjadi bissu. (*)

Catatan:

1. Bissu: pendeta Bugis kuno yang menjadi perantara untuk berkomunikasi dengan dewa

2. Bola ridie: rumah pusaka para bissu di Soppeng

3. Puang matoa: pimpinan bissu

4. Potto ulaweng: gelang emas, salah satu pusaka di Bola Ridie


5. Bosara: wadah yang digunakan suku Bugis untuk menyimpan kue atau persembahan

6. Puang lolo: sebutan untuk wakil dari pimpinan bissu

7. Maggirik: salah satu kekuatan kebal para bissu

8. Pessepelleng: lampu bissu yang terbuat dari kemiri dan kapas

9. Massapo wanua: ritual tolak bala di Soppeng

WAWAN KURNIAWAN

Menulis puisi, cerpen, esai, novel, dan menerjemahkan. Buku puisinya Persinggahan Perangai Sepi
(2013) dan Sajak Penghuni Surga (2017). Aku Mengeong (2021) adalah kumpulan cerpen pertamanya
yang diterbitkan Indonesia Tera.
PUISI

Dalam Diriku
Sapardi Djoko Damono

Because the sky is blue


It makes me cry
(The Beatles)

Dalam diriku mengalir sungai panjang,


Darah namanya;
Dalam diriku menggenang telaga darah,
Sukma namanya;
Dalam diriku meriak gelombang sukma,
Hidup namanya!
Dan karena hidup itu indah,
Aku menangis sepuas-puasnya.

1980
Sumber: Hujan Bulan Juni (1994

Ketemu Juga Akhirnya


D. Zawawi Imron

Janjiku Janjimu |
Ketemu Juga Akhirnya

Kucari sosok tubuhmu


Pada bias sukma di langit
Meski langit tak mungkin secantik kenangan.

Nyatanya kau termangu di tikung sungai


Merenungi percakapan daging dan tulang.

Anda mungkin juga menyukai