Anda di halaman 1dari 18

BAB I

KAJIAN PUSTAKA

I. 1 Kerangka Teori

I. 1. 1 Komunikasi

Definisi dari komunikasi terus bertambah seiring berkembangnya zaman,


satu definisi menyempurnakan definisi sebelumnya, atau bahkan bertentangan
dengan definisi yang sudah ada. namun Definisi yang banyak digunakan dan
dirasa mudah untuk dimengerti adalah penjelasan dari Harold Lasswell. Lasswell
menggambarkan komunikasi menjadi beberapa bagian yang berupa pertanyaan,
yaitu “Who Says What in Which Channel to Whom With What Effect”.
Berdasarkan kalimat barusan, komunikasi diawali dari seseorang yang
menciptakan pesan itu sendiri baik sengaja maupun tidak sengaja (Who) dan
menyampaikan suatu pesan (Say What) melalui media tertentu, bisa secara
langsung maupun tidak langsung (in Which Channel) kepada seseorang atau lebih
(To Whom) dan akan menimbulkan efek tertentu (With What Effect). Komunikasi
membantu individu dalam banyak aspek, salah satunya adalah aspek sosial
dimana komunikasi membentuk konsep dalam diri kita, membentuk karakter dan
pandangan berdasarkan informasi yang disampaikan kepada kita melalui berbagai
sumber, baik komunikasi dengan orang-orang sekitar kita, atau komunikasi massa
seperti melalui tontonan, bahan bacaan, dan berbagainya, menjadi sumber kita
untuk mengetahui konsep diri sendiri. Melalui komunikasi juga kita menyatakan
eksistensi kita di dunia ini, dengan berkomunikasi orang lain akan sadar akan
keberadaan kita (Mulyana, 2010).

I. 1. 2 Komunikasi Massa

Komunikasi massa adalah salah satu bentuk komunikasi, dimana ada pesan
yang disampaikan ke khalayak banyak dan jarak yang cukup jauh, sehingga hanya
memungkinkan untuk melibatkan indra penglihatan dan pendengaran saja. Bentuk
dari komunikasi massa ini bisa berbagai macam, siaran radio, tayangan televisi
maupun film layar lebar, atau melalui media cetak seperti Koran dan majalah.
Media massa ini diperuntukan untuk menyampaikan sesuatu yang sifatnya
serentak dan cepat, namun lebih sulit untuk mendapatkan feedback dari
komunikator, dan ketepatan pesan cukup rendah karena mendapatkan cukup
banyak noise atau disebut juga gangguan dalam penyampaian pesan, seperti latar
belakang budaya, suasana saat pesan itu disampaikan, dan berbagai macam
gangguan lainnya (Mulyana, 2010).

I. 1. 3 Media Komunikasi

Pesan disampaikan dalam berbagai cara, cara tersebut bisa kita katakan
dengan media komunikasi. Media komunikasi adalah bentuk saluran bagaimana
pesan tersebut disampaikan, pemilihan media sendiri ditentukan juga dengan
tujuan dari komunikasi dilakukan, dengan tujuan memberikan pesan kepada satu
orang saja, maka media yang digunakan cenderung sederhana, seperti berbicara
secara langsung, melalui pesan singkat, surat, maupun telfon genggam. Untuk
tujuan komunikasi yang lebih luas, yaitu untuk disampaikan kepada banyak orang,
dengan latar belakang dan lokasi yang berbeda, tentunya menggunakan media
yang berbeda pula. Pola aktifitas masyarakat mempengaruhi bagaimana media
tersebut digunakan, karena penggunaan media dilandasi dengan kebutuhan dari
seseorang itu sendiri yang juga dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya. awal mula
media yang banyak digunakan adalah majalah, surat kabar, dan kemudian
berkembang menjadi media yang inkonvesional seperti internet. dalam teori ‘Uses
and gratifications’, memberikan definisi bahwa penggunaan media mencakup isi
media yang bisa berupa berita, drama, film dan lain-lain, dalam jenis media cetak
maupun elektronik, kemudian terpaan media dan situasinya, akan berbeda ketika
situasi penontonnya adalah di dalam ruangan sendirian ataupun diluar bersama
orang ramai. (Imran, 2013)

I. 1. 4 Industri Media dalam Budaya Massa & Budaya Popular

Globalisasi memberikan pengaruh besar pada aspek kebudayaan, dimana


nilai masyarakat terus berkembang dan saling bertemu antara satu kebudayaan
dengan kebudayaan lain, begitu pula dengan media massa yang membawa budaya
baik fashion, gaya hidup, hingga cara berfikir yang lebih modern. Film, sebagai
salah satu produk dari budaya massa memberikan ruang gerak pada individu.
Budaya massa sendiri tidak hanya bersifat hiburan, namun produk yang dianggap
sebagai produk massal untuk penggunaan yang meluas ke khalayak banyak,
komersial, menghibur, popular dan modern dengan audiens yang luas. Dan

2
budaya popular, yaitu budaya yang meghasilkan standard baru melalui budaya.
(Hereyah, 2011).

Kepraktisan, pragmatisme dan keinstanan yang di tawarkan Budaya


popular menyebabkan budaya popular tersebut mendapatkan perhatian
masyarakat, namun juga menciptakan pertarungan antara satu makna dengan
makna lainnya untuk mempengaruhi ideology masyarakat. budaya tersebut masuk
melalui media massa yang memiliki fungsi sebagai model perilaku, yaitu ketika
media massa menampilkan contoh perilaku atau model lainnya maka masyarakat
akan membandingkan apakah dirinya sama seperti model tersebut atau justru
sama sekali berbeda dengan model tersebut, berikutnya masyarakat akan
menyerap dan mempertimbangkan apakah perilaku dan pola pikirnya akan
berubah mengikuti model tersebut, atau masyarakat tersebut akan memilih untuk
melakukan hal yang berlawanan, bahkan memungkinkan masyarakat tersebut
untuk bersikap acuh dan tak acuh terhadap model perilaku tersebut Kemudian
media massa adalah sarana untuk mengidentifikasi tentang nilai yang ada di luar
lingkungannya maupun yang ada di lingkungannya. Berdasarkan kedua fungsi
tadi muncul fungsi yang lain seperti memunculkan identitas dari pemahamannya
mengenai diri sendiri karena memiliki perbandingan dengan apa yang ada di
media massa. Seseorang juga mampu memahami kondisinya dan posisinya secara
fisik, intelektual, moral.

Media massa juga memiliki fungsi sebagai hiburan yang bisa masuk ke
setiap lapisan masyarakat. Media massa memiliki jangkauan yang sangat luas
untuk setiap lapisan masyarakat itu memberikan peluang untuk menyebarkan
budaya populer untuk menjadi lebih global. Namun pada dasarnya Setiap individu
memiliki keinginan untuk menampilkan Siapa dirinya sebenarnya dengan adanya
budaya populer mulai banyak muncul masyarakat yang memperjuangkan
kebebasan untuk menunjukkan Siapa dirinya tanpa memikirkan aturan moral dan
lingkungan sekitarnya. (Tanudjaja, 2007)

I. 1. 5 Film

Film adalah paduan yang seimbang di antara seni sastra, seni musik,
bahkan sen komedi di dalamnya, menjadi sebuah bentuk hiburan yang menyajikan
cerita mengenai suatu peristiwa yang merupakan suatu karya dari pikiran kreatif

3
seseorang ataupun beberapa orang. Film merupakan suatu hiburan sekaligus
media komunikasi yang mampu menjangkau setiap lapisan masyarakat, dan
semakin luas ketika dunia digital ikut berkembang (Mudjiono, 2011), memberikan
akses untuk setiap orang menonton film yang diinginkan. Di dalam film, terdapat
pesan yang berbentuk tanda, lambang maupun symbol mengenai sebuah pikiran,
informasi, kepercayaan, maupun himbauan, pesan ini tersirat melalui berbagai
macam unsur yang terkandung di dalam film. Namun simbol ini hanya berhasil
bila setiap komunikan yang menonton film tersebut memiliki pemahaman yang
sama dengan simbol yang disampaikan sehingga keadaan bisa dikatakan
komunikatif. Unsur yang dimaksud di dalam film ini, adalah (Estu Miyarso,
2011);

o Visual Gerak
Yaitu simbol dan tanda yang berupa penampilan visual, baik ekspresi, tingkah
laku, perbuatan yang mengandung nilai estetika artistik dan dramatis.
o Audio

Unsur audio merupakan tanda berupa dialog dan intonasi yang memperjelas pesan
maupun informasi yang dikomunikasikan. Suara musik sebagai latar dari cerita
yang memiliki peran menciptakan suasana sesuai dengan yang diharapkan oleh
pengkaryanya.

o Jalan Cerita

Bagaimana jalan cerita berjalan adalah pesan dari keseluruhan film, maknanya
universal bagi penontonnya, maksudnya, penonton lah yang memaknai film
tersebut sesuai dengan pikiran mereka masing-masing. Melalui rangkaian visual
dan audio dari awal sampai akhir film yang dibatasi dengan durasi film, penulis
menyampaikan pesan sebab dan akibat dari awal film hingga akhir film.

o Setting

Setting adalah dimana gambar diambil dan menjadi objek visual dari setiap
adegan, membawa pesan suasana dan keadaan dari suatu lokasi yang akan
mempengaruhi bagaimana penonton menerima pesan visual gerak. Karena sebuah
setting membangun suasana yang mendukung visual gerak dan audio, serta
memperjelas jalan cerita dan pergantian scene dari sebuah film.

4
o Properti

Dalam sebuah film, properti meliputi kostum dan tatarias dari pemain film,
kemudian perlengkapan, alat maupun benda yang mendukung dramatisasi dari
sebuah scene, properti mendukung visual dari film terlihat lebih alami dan terlihat
mendukung. Selain itu, properti juga termasuk peralatan yang dibutuhkan saat
shoot, baik untuk mic, pencahayaan, maupun kamera untuk merekam.

o Efek

Setelah proses shooting, tentu saja film akan memasuki tahap editing,
meruntutkan setiap potongan rekaman menjadi alur film yang diinginkan serta
memasukan setiap audio dan kemudian efek, efek ini adalah gambar, suara,
cahaya, transisi, atau bahkan animasi yang deprogram di computer sehingga film
memiliki kesan dramatis dan mengarahkan emosi dari penontonnya kelak.

I. 1. 6 Film Sebagai Industri

Film, sebagai sebuah hiburan juga merupakan bagian dari industry kreatif,
yang memiliki pengaruh besar terhadap berkembangnya ekonomi kreatif. Film
adalah benda yang memiliki nilai ekonomi cukup tinggi jika diukur dari jumlah
peminatnya di Indonesia. bahkan ekonomi kreatif dianggap sebagai era yang baru
setelah ekonomi pertanian, industri, dan lain-lain. (Idola Perdini Putri, 2017) .

Dengan begitu besarnya peran film dalam industri kreatif dan


perekonomian, tentu ketika sebuah film dibuat, pencipta dan tim dibaliknya akan
memiliki harapan besar agar film yang dibuat menjadi terobosan besar, menarik
banyak minat penonton, dan juga memberikan keuntungan sebanyak-banyaknya.
Bentuk promosi dari film sendiri ada berbagai macam, dimulai dari poster, trailer,
meet & greet dan lain-lain. Namun selain materi promosi seperti demikian, ada
beberapa cara yang dilakukan secara implisit oleh pemain dibalik industri film, di
antaranya memunculkan kontroversi untuk mendongkrak penjualan dan
penayangan film. Dengan adanya pemberitaan kontroversi mengenai sebuah film,
baik negatif maupun positif, masyarakat akan mengetahui keberadaan dari film
tersebut, dan mulai mencari tahu, hingga pada akhirnya ikut menonton film
tersebut akibat rasa penasaran yang tumbuh. Kontroversi bisa dibentuk

5
sedemikian rupa, isu sensitif seperti misalnya SARA, LGBT, politik jika diangkat
menjadi film cenderung lebih banyak mengundang perhatian masyarakatnya.

I. 1. 7 Semiotika

Diambil dari bahasa yunani, ‘semeion’ yang artinya tanda, semiotika


adalah sesuatu yang di representasikan dari sebuah tanda, bagaimana tanda, atau
penunjuk dapat memberikan makna sesuai dengan budaya yang ada dimana tanda
tersebut muncul. Objek, atau tanda bisa berbentuk konkret, berwujud, seperti
misalnya binatang dengan warna pink dan berkaki 4 yang dirujuk dengan kata
‘babi’ dan objek yang abstrak, seperti perasaan sedih, ide cemerlang, sesuatu yang
bersifat imajiner dan tidak dapat dilihat bentuk nyatanya. Sebuah pemahaman
terhadap objek tersebut disebut konsep, bagaimana di kepala kita secara otomatis
mengenali objek dan konsep yang membentuk objek tersebut, maka semiotika
akan mengacu kepada kandungan kultural dan personal yang timbul di dalam
budaya sehingga dapat membentuk konsep tersebut. Tanda sendiri bisa kita
definisikan sebagai sesuatu yang merepresentasikan suatu objek dalam
jangakauan indra kita. Konsep dari semiotika membuat kita memperhatikan
makna dari pesan dan bagaimana pesan tersebut disampaikan melalui tanda.
Roman Jakobson mengeatakan bahwa ada kecenderungan membuat tanda-tanda
yang merepresentasujab dunia melalui simulasi, sedangkan Roland Barthes
mengatakan bahwa semiotika digunakan untuk membongkar struktur makna yang
ada di dalam sebuah pertunjukan, tontonan, maupun konsep umum. (Danesi,
2004)

Analisis semiotika secara mudah adalah menentukan relasi antara X=Y, X


dan Y sendiri bisa berupa apa saja, baik benda, warna, bahasa, perilaku, dan
sebagainya yang bisa ditangkap oleh indra kita. X dan Y adalah subjek dari
penelitian kita di dalam analisis semiotika. Analisis semiotika akan menangkap
bagaimana sebuah tanda merepresentasikan sesuatu, dan konsep dibalik
representasi tersebut berdasarkan budaya yang ada (Danesi, 2004).

Dikutip dari buku Danesi, menurut Charles Morris, metode semiotika


dibagi menjadi; (1) Sintatik yaitu hubungan antara tanda satu dengan tanda
lainnya. (2) semantik yaitu hubungan antara tanda dengan makna dasarnya. (3)
pragmatik yaitu hubungan tanda dengan penggunaannya.

6
I. 1. 8 Teori Semiotika menurut Charles Sanders Peirce

Gambar II-1

Struktur triadik Peirce (Danesi, 2004)

Gambar diatas, mengarahkan kita untuk membaca sebuah semiotika


berdasarkan 3 poin yang saling berkaitan tersebut. Diawali dengan Objek (Y),
yaitu sebuah gagasan, atau ide, baik benda, maupun pikiran yang kemudian di
tunjukan dalam bentuk tanda, disebut juga representamen (X). maka kedua hal
tersebut akan menciptakan makna, yang kemudian kita sebut dengan Interpretan.

1. Objek, Peirce membagi tanda menjadi 3, yaitu;


 Ikon: Tanda yang merepresentasikan sumber acuan melalui simulasi, tanda
ini terdapat di banyak aspek kehidupan sehari-hari manusia, baik dari ikon
vokal, dalam bentuk kata maupun kalimat, langsung menggambarkan objek
yang dimaksud, atau bahkan foto dan diagram. Ikon adalah bukti bahwa
persepsi manusia terhadap pola berulang, baik warna, bentuk, gerakan, rasa,
 Indeks: Tanda yang mengindikasi sumber acuan atau saling menghubungkan
acuan satu dengan acuan lainnya, contohnya jari yang menunjuk, atau kalimat
‘di sini’, ‘di sana’
 Simbol: Tanda yang menyandikan sumber acuan berdasarkan kesepakatan
tertentu, seperti pita merah sebagai lambang peduli HIV/AIDS.
2. Representamen, atau kita sebut juga dengan tanda, disambungkan dengan
’Ground Theory’ milk Peirce, ia membagi menjadi 3 bentuk, yaitu;
 Qualisign: kualitas yang ada pada tanda, yaitu ketika tanda tersebut berupa
suatu hal yang kemudian disampaikan dalam bentuk keras, kasar, akan

7
berbeda dengan pada saat hal tersebut disampaikan secara lemah lembut dan
halus.
 Sinsign: yaitu eksistensi sesungguhnya suatu benda atau peristiwa yang ada
pada tanda, sebagai contoh, kata ‘keruh’ pada ‘air sungai yang keruh’
menandakan bahwa ada hujan pada hulu sungai.
 Legisign: adalah norma yang terkandung dalam sebuah tanda berkaitan
dengan cara hidup individu, seperti lampu merah menunjukan merah yang
artinya pengendara harus berhenti dan menunggu (Sobur, 2013).
 Interpretan, peirce mengklasifikasikan kembali menjadi 3 bagian, yaitu;
 Rheme: tanda yang memberikan peluang untuk seseorang menafsirkan
berdasarkan beberapa pilihan, seperti mata merah bisa berarti orang tersebut
ingin menangis, marah, atau sakit mata.
 Dicent sign/dicigint: tanda yang menyatakan sesuai kenyataan, seperti tanda
tikungan tajam pada rambu berarti beberapa meter didepan aka nada tikungan
tajam.
 Argument: yaitu tanda yang langsung memberikan alasan tertentu atau
penilaian seseorang berdasarkan apa yang ia tangkap dalam suatu peristiwa.
Contohnya, seseorang mengatakan ‘gelap’ ketika semua lampu mati di malam
hari, yang artinya kondisi memang sedang gelap gulita.

I. 1. 9 Semiotika Dalam Sebuah Film

Film adalah bentuk simbol dari sebuah pengalaman, atau pikiran dari
orang-orang yang ada di balik pembuatan tersebut, seperti penulis naskah dan
sutradara. Pikiran tersebut bisa berupa pengalaman hidup yang dirasakan ataupun
imajinasi dari kepalanya sendiri. Maka film tersebut menjadi media komunikasi
bagi penulis naskah dan sutradara tersebut. Di dalam sebuah film, setiap tanda
baik melalui penampilan, visualisasi dari pemeran, dialog, audio, maupun jalan
cerita menggambarkan sesuatu baik secara umum maupun spesifik. Dengan tujuan
masyarakat dapat memahami apa maksud dari dibuatnya film ini, walaupun setiap
lapisan masyarakat memiliki latar belakang yang berbeda dan menjadikan
persepsi yang juga berbeda dalam mengerti apa yang digambarkan dari sebuah
film tersebut, namun penulis dan sutradara jelas memberikan visualisasi dari

8
pikiran mereka kedalam bentuk film dan setiap unsur yang dikandung dalam film
tersebut. Gambaran yang ada di dalam film, bisa berasal dari sebuah kebudayaan
dan fenomena yang melatarbelakangi dibuatnya film ini, fakta sosial adalah bekal
awal dari terbentuknya ide untuk membuat film.
Menurut Hall, film adalah salah satu media dalam menggambarkan
peristiwa, karena setiap adegannya akan terkonstruk dengan sendirinya di kepala
para penonton dan secara otomatis, penonton akan memberikan makna sesuai
sudut pandangnya masing-masing (Hall, 1997). Maka ilmu semiotika, membantu
kita dalam menangkap berbagai simbol dan makna tersembunyi dari sebuah film.

I. 1. 10 Tanda

Komunikasi adalah suatu proses simbolik. Maksud dari kalimat ini adalah,
lambang ataupun simbol adalah sesuatu yang digunakan untuk menunjukan
sesuatu. Lambang tersebut bisa dalam bentuk kata-kata verbal, perilaku, maupun
objek tertentu yang disepakati bersama, dan dengan kemampuan individu, bahasa
tersebut bisa terus berkembang. Lambang sendiri tidak memiliki makna, namun
individu lah yang memberikan makna terhadap suatu lambang, dalam artian bebas
diartikan seperti apa tanpa batasan yang kemudian mencapai kesepakatan.
Bagaimana suatu suku, seperti jawa atau sunda misalnya, memiliki bahasa daerah
mereka masing-masing adalah suatu bentuk bahwa suatu hal melambangkan
sesuatu sesuai kesepakatan daerahnya masing-masing dan tidak sama antar satu
sama lain. Tak hanya bahasa, namun segala hal disekitar kita merupakan simbol
dari sesuatu baik secara langsung maupun tidak langsung.

Sesuatu dianggap sebagai tanda apabila suatu hal tersebut memiliki pola
tertentu yang dapat berulang dan diprediksi, dengan kata lain disebut juga
sintagmatik. Kemudian bentuknya berbeda dengan tanda yang sudah ada, yaitu
paradigmatic. Dalam sebuah struktur bahasa, ‘apel’, ‘jeruk’, mengacu pada salah
satu jenis buah dengan menggunakan pola yang sesuai dengan ejaan bahasa
Indonesia, sedangkan ‘qwef’ tidak mengacu pada apapun karena tidak sesuai
dengan pola bahasa yang digunakan di Indonesia.

Tanda juga bisa dilihat dari pilihan makanan misalnya, di Indonesia,


restoran cepat saji seperti Mcdonald, Kentucky, atau Starbucks, menampilkan
status ekonomi menengah keatas. Sedangkan di Amerika, restoran seperti itu

9
adalah kesukaan masyarakat dengan status ekonomi menengah ke bawah. Selain
makanan, penampilan fisik juga merupakan simbol yang lebih kompleks, pakaian
rapih, kemeja, jas, celana kain merupakan simbol dari laki-laki maskulin yang
bekerja di kantor, brewok dan kumis sebagai bentuk maskulinitas. Jaket jeans,
kaos, menandakan jiwa yang muda, cenderung digunakan anak band. tempat
tinggal juga memberikan simbol tertetu, dimana tempat tinggalnya, bagaimana
bentuk rumahnya, furniture dan ornament seperti apa yang ada dirumahnya semua
melambangkan hal tertentu. (Mulyana, 2010)

I. 1. 11 Makna

Makna, merupakan sesuatu yang menggambarkan maksud maupun arti


dari sebuah symbol tertentu, simbol sendiri dapat berupa bahasa, ekspresi, tanda
universal yang disepakati secara tertulis maupun tidak tertulis oleh sekelompok
masyarakat tertentu dan masih banyak lagi, karena pada dasarnya apapun yang
ada di dunia ini memiliki makna bagi setiap orang, makna tidak selalu sama satu
sama lain. Individu memahami makna secara otomatis pada cara berfikirnya, hal
tersebut berasal dari bagaimana keadaan lingkungannya, pengalaman hidupnya,
dan persepsinya masing-masing, namun dengan adanya kesamaan budaya sebuah
kelompok masyarakat, makna yang diambil dari setiap orang dengan budaya yang
sama tidak jauh berbeda atau bahkan bisa sama persis.
Sistem dalam representasi adalah cara bagi kita untuk memproses
pemaknaan kita pada dunia, berkaitan dengan objek-objek seperti; orang, benda,
kejadian, objek abstrak.yang nantinya akan terhubung dengan peta konseptual
yang ada di kepala kita. Sistem representasi mental membuat kita
mempertukarkan makna kita secara sosial, kemudian sistem representasi bahasa
membantu kita untuk menggambarkan serta menyampaikan makna yang ada.peta
konseptual tersebut sebaiknya dupahami bersama agar pertukaran makna terjadi
dengan baik (Hall, 1997)

I. 1. 12 Homofobia

Keberadaan LGBT di dunia sudah sangat marak, beberapa Negara


menganggap LGBT sebagai hal yang normal dan legal, dan beberapa Negara lain,
Indonesia salah satunya, menolak keras konsep LGBT, selain peraturan Negara
yang mengatakan bahwa pernikahan harus dilakukan antara perempuan dan laki-

10
laki, hal ini juga dipengaruhi oleh agama mayoritas di Indonesia, Islam dan
Kristen, yang keduanya sama-sama menolak keras hubungan sesama jenis. Latar
belakang budaya tersebut menciptakan pola pikir masyarakat, yang akhirnya
memandang LGBT adalah sebuah aib dan perilaku tidak terpuji. Dengan
lingkungan yang seperti itu, keberadaan LGBT cukup dibenci, terutama pada
masyarakat yang tabu akan hal tersebut, atau masyarakat dengan kepercayaan
yang cukup kuat. (Wieringa, 2019)

Homofobia pertama muncul di tahun 1969 oleh George Weinberg, kata ini
digunakan untuk menggambarkan diskriminasi, dan rasisme yang terjadi kepada
kaum LGBT, setiap tindakan kebencian yang berasal dari kaum heteroseksual
kepada pelaku LGBT. Homofobia bisa muncul dari hati tanpa disadari oleh
seseorang, rasa benci dan jijik tanpa alasan akibat apa yang sudah dikonsumsi
sejak kecil dimana pemahaman mengenai LGBT adalah hal yang terlarang.
Kemudian mempengaruhi pada sikap seseorang saat melihat pelaki LGBT,
muncul perilaku menghakimi dan menghina pada pelaku atau bahkan organisasi
LGBT itu sendiri. (Herek, 1999) Siswa di menengah pertama atau menengah akhir
lebih tampak akan homofobia dan ketidaksukaannya pada kaum LGBT, temuan
ini dilatar belakangi dari struktur sekolah dan budaya yang tertanam (Chotim,
2019)

I. 1. 13 Budaya LGBT dan Homofobia di Indonesia

Salah satu bagian penting dari semiotika adalah budaya, keberadaan


budaya merupakan penentu bagaimana sebuah konsep akan terbentuk sehingga
tanda bisa diproses dengan konsep budaya yang ada. Budaya akan membentuk
tanda yang merepresentasikan sesuatu, atau tanda akan menjadi simbol dari
sesuatu berdasarkan budaya tertentu.

Individu memiliki kemampuan berfikir dan merencanakan sesuatu secara


sadar untuk memindahkan pengetahuan dan keahlian yang telah dipelajari kepada
generasi berikutnya. Kemudian akan terjadi perkembangan seiring pengetahuan
dan keahlian tersebut diturunkan, sehingga terbangunlah hubungan sosial dan
lingkungan yang lebih berkembang, yang membentuk sebuah kebudayaan dan
generasi ke generasi individu lahir dengan latar belakang budaya tertentu dan
dapat mengalahkan alam dalam menjamin kelangsungan hidup dan evolusinya.

11
Budaya terbentuk dari komunikasi, dan komunikasi pun terbentuk akibat budaya,
bagaimana individu berkumpul dan hidup bersama, kemudian muncul bahasa
vokal, sistem etika, sistem hubungan sosial, dan bekerjasama dalam memodifikasi
lingkungannya. (Danesi, 2004)

Budaya di Indonesia, mengenai LGBT dan Homofobia sudah ada bahkan


sejak 1824, dikutip dari majalah Historia dimanasultan Hamengkubuwono V di
keraton Surakarta, menemukan beberapa selirnya melakukan hubungan sesama
jenis (Nugraha, 2016) LGBT di Indonesia terus berkembang. Keberadaan media
sosial dan media massa terus mendongkrak keberadaan kaum LGBT, beberapa
gerakan bawah tanah, dan organisasi-organisasi sosial tertentu juga kerap
bermunculan. LGBT sendiri tidak semuanya menyembunyikan diri di Indonesia,
banyak orang terkenal, influencer, aktor ataupun artis yangblak-blakan
memunculkan diri di televisi.

Namun, walaupun keberadaan LGBT sudah muncul sejak lama,


masyarakat Indonesia memiliki latar belakang budaya, terutama dalam sisi agama
dan peraturan Negara yang melarang keberadaan LGBT. Berdasarkan data BPS
2016, umat islam mencapai 87% dari total penduduk di Indonesia, agama
terbanyak kedua adalah agama Kristen. Dimana kedua agama ini sangat melarang
keberadaan LGBT. Pemerintah Indonesia juga mengatur di dalam pasal 1 UU
no.1 tahun 1974 tentang perkawinan dimana perkawinan hanya dilakukan oleh
seorang pria dengan seorang wanita. Dengan latar belakang tersebut, dirasa cukup
membuat konsep masyarakat Indonesia untuk menjauhi, dan melarang LGBT dan
secara tidak langsung menumbuhkan sifat Homofobia di dalam konsep pemikiran
masyarakat Indonesia.

I. 1. 14 Konstruksi Homofobia dalam Media

Homofobia pada media massa di Indonesia digambarkan sebagai bahan


lawakan yang selalu berhasil dimata penontonnya, bagaimana kaum LGBT di hina
adalah hiburan bagi penonton di Indonesia. Melihat peluang ini, banyak media
menggunakan pemeran LGBT sebagai bahan ejekan. Hal ini menggambarkan
homofobia yang ada di masyarakat ketika hinaan terhadap kaum tertentu menjadi
hiburan tersendiri bagi mereka. Pemberitaan mengenai LGBT selalu negatif dan
cenderung mengarah ke justifikasi dan menyudutkan kaum Gay, tidak ada

12
pemberitaan mengenai prestasi gay sementara berita negatif terus muncul di
media.
Penolakan terhadap keberadaan LGBT di Indonesia terus muncul di media
massa, baik di sisi pemerintahan, akademisi, maupun orang awam pun selalu
menyatakan sikap penolakan terhadap LGBT, banyak ujaran kebencian dan
provokasi yang muncul di media sosial. Media massa memberikan stigma bahwa
LGBT adalah penyebab dari munculnya HIV, AIDS, dan harus dikembalikan
menjadi “normal” dalam arti menjadi heteroseksual. Sehingga kaum LGBT
banyak menutup diri dan menyembunyikan ‘kelainannya’. Meski juga banyak di
antaranya menunjukan kepada publik bahkan menjadi public figure. (Niko, 2016)

I. 1. 15 Pretty Boys

( Sumber Gambar: https://kumparan.com)

Film Pretty Boys (rilis 19 September 2019) disutradarai oleh Tompi,


dengan nama asli Dr. Teuku Adifitrian, Sp.BP-RE seorang dokter, penyanyi jazz,
pembawa acara, dan juga penulis cerita untuk beberapa film layar lebar seperti
‘Trinity, The Nekad Traveler’, dan film ‘Pretty Boys’ ini. Skenario ditulis oleh
Imam Darto, seorang pembawa acara, actor dan penulis scenario untuk film ‘Vote
for Love’ dan ‘Pretty Boys’. Pemeran utama di film ini adalah 2 pembawa acara
ternama bernama Vincent Ryan Rompies (berperan sebagai Anugerah) dan Deddy
Mahendra Desta ( berperan sebagai Rahmat). Di dalam film ini ada peran gay
yang dimainkan oleh Onadio Leonardo (sebagai Roni), Tora Sudiro, Dwi Sasono,

13
Derry Maryadi. Pemain lain sebagai tokoh pelengkap dan pendamping dari film
ini seperti Danilla Riyadi (sebagai Asti). Imam Darto, Roy Marten, dan banyak
lagi. Diproduksi oleh The Pretty Boys Pictures, sebuah production House yang
didirikan Vincent dan Desta sendiri dengan bekerja sama dengan Anami Film.

Tompi Imam Darto


(Sumber gambar: IDNTimes.com) (Sumber gambar: Infopena.com)

Cerita ini berawal dari masa kecil Anugerah dan Rahmat, bersahabat sejak
kecil, dengan Rahmat yang tumbuh tanpa orang tua, dan Anugerah yang memiliki
konflik maskulinitas dengan ayahnya, seorang pensiunan tentara. Sang ayah
sangat membenci perilaku Anugerah yang sering menjadi pembawa acara, baik
acara kecil di kampungnya ataupun menjadi artis, pertengkaran besar terjadi
menjadi pemicu sang anak untuk berangkat ke Jakarta bersama Rahmat,
sahabatnya. Di Jakarta, kehidupan tidak semulus yang diharapkan, dengan cita-
cita untuk menjadi pembawa acara, Anugerah dan Rahmat justru terjebak menjadi
staff dan juru masak disebuah restoran kecil dengan bos yang menyebalkan,
disanalah mereka bertemu Asti, yang kemudian menjadi bagian dari kisah cinta
dalam persahabatan ini.
Suatu ketika muncul kesempatan untuk tampil di televisi, sebagai
penonton bayaran, di adegan ini mulai bermunculan konflik berat yang
menyangkut maskulinitas dan homofobia, Anugerah dan Rahmat yang tidak
pernah bertemu dengan orang-orang dibalik layar kaca kini kaget melihat betapa
banyaknya gay di stasiun televisi. Kemudian mereka terlibat dalam adegan di
acara TV dimana mereka menjadi penonton bayarannya, dan kemudian diberikan
tawaran untuk menjadi co-host di acara tersebut, dengan syarat mereka harus
berdandan dan berpenampilan seperti homoseksual. Dengan manajer Roni, dan

14
host acara tersebut, Koko, yang diceritakan sebagai homoseksual asli. Sejak saat
itu, film ini banyak dibubuhi oleh dialog komedi yang sedikit menyentil kaum
Gay.
Di masyarakat, film ini cukup kontroversial. Karena membahas isu
transgender dan membahas tuntutan dunia televisi, melalui wawancara, Imam
Darto mengatakan bahwa mereka ingin mengangkat isu dibelakang layar, dimana
seseorang yang tampil didepan televisi harus mengikuti tuntutan penonton. Dan
isu transgender ini menjadi jembatan, mereka mengakui adanya fakta sosial
dimana ketika bekerja di belakang layar, menjadi transgender adalah hal yang
cukup membantu ketika tampil, mereka lebih menarik perhatian masyarakat
sehingga banyak laki-laki biasa yang akhirnya harus berpenampilan seperti
seorang transgender, walaupun terdapat gejolak di dalam hatinya tidak ingin
menjadi seperti itu. (Putsanra, 2019)

I. 2 Penelitian Terdahulu

Perbedaan Elemen Penelitian


Deskripsi
No Judul Ini Dengan Topik Penelitian
Penelitian
Penulis

1 Skripsi Penelitian ini Penelitian ini menggunakan teori


‘Homofobia mengangkat semiotika Roland Barthes,
dalam Film homofobia pada 2 sedangkan pada topik ini, peneliti
Indonesia film, ‘suka ma menggunakan teori Semiotika
(Analisis suka’(2018) dan menurut Charles Sanders Peirce.
Semiotika ‘Lovely Man’(2011)
Peneliti terdahulu menggunakan
Dalam Film adalah film yang
2 judul film, ‘suka ma
Suka Mas Suka memiliki tokoh
suka’(2018) dan ‘Lovely
dan Film utama seorang
Man’(2011) sedangkan pada
Lovely Man)’ homoseks, dan
topik ini, peneliti menggunakan 1
karya Dita Homoseksual.
judul film yaitu ‘Pretty
Rahmasari. Diikuti dengan
Boys’(2019)
Ilmu pemeran lain yang
Komunikasi tidak meyukai
Universitas LGBT, dengan

15
Islam Indonesia menggunakan teori
2018 Roland Barthes,

2 “Representasi Penelitian ini Penelitian terdahulu meneliti


Kecantikan membahas tentang tentang kecantikan pada iklan
dalam Video representasi kosmetik Ponds, sedangkan
Klip Bercahaya kecantikan pada penelitian yang dilakukan
(Analisis sebuah video klip sekarang adalah mengenai
Semiotika John iklan produk homofobia di dalam film “Pretty
Fiske dalam kecantikan, Ponds. Boys” karya Tompi.
Iklan Kosmetik Penelitian ini
Penelitian terdahulu lebih singkat
Ponds) karya menggunakan
dan padat, karena ditulis dalam
Abi Ardianda, representasi sebagai
bentuk artikel jurnal, sedangkan
Ratih Sudrajat, dasar penelitiannya,
pada penelitian ini, lebih
S.Sos., M.Si, kemudian
menjabarkan konsep dan
dan Kharisma diturunkan pada
penelitiannya secara detail karena
Nasionalita, semiotika John
berbentuk skripsi kualitatif
S.Sos., MA3 Fiske untuk
membantu
membaca tanda dan
simbol yang ada di
dalam ikan tersebut.

Fokus Penelitian

Fokus penelitian ini adalah menganalisis semiotika film ‘Pretty Boys’ karya
Tompi yang merepresentasikan gejala homofobia. Homofobia di Indonesia
merupakan perilaku yang berupa suatu tindak kekerasan baik verbal maupun non
verbal kepada pelaku LGBT, penelitian ini mendalami analisis semiotika oleh
Charles Sanders Peirce, dengan fokus mengidentifikasi perilaku homofobia yang
ada pada objek penelitian, yaitu film “Pretty Boys” karya Tompi. Perilaku
tersebut ada pada pemain film tersebut,benda yang terdapat pada setting film
tersebut, ataupun kejadian yang ada pada adegan film tersebut.

16
Penelitian ini perlu untuk diteliti, karena tidak banyak film menggambarkan
sikap homofobia secara gamblang, dan tokoh utama yang juga menjadi
homoseksual namun bukan karena pilihannya, melainkan tuntutan pekerjaan. Film
ini memberikan kesan bahwa Homofobia adalah sifat yang normal dan wajar
untuk dilakukan, sedangkan pada kenyataannya perilaku homofobia dapat
mengarah kepada bullying atau perpeloncoan yang megganggu hak hidup individu
yang lain. Film ini akan dianalisis dengan menggunakan kajian Analisis semiotika
menurut Charles Sanders Peirce.

17
18

Anda mungkin juga menyukai