Kesultanan
Pembangunan Perdagangan
Berhasil membangun jalan Berhasil menjalin hubungan
penghubung Alun-Alun perdagangan dengan bangsa-
Keraton Pakungwati dan bangsa lain seperti Cina,
Pelabuhan Muara Jati sebagai Arab, India, Campa, dan
penopang perekonomian. Malaka.
Masa Kehancuran
Kehancuran Kesultanan Cirebon dimulai ketika Pangeran Abdul
Karim menjadi sultan bergelar Panembahan Ratu II,
menggantikan kakeknya yang merupakan cicit Sunan Gunung
Jati, Sultan Mas Zainul Arifin yang meninggal pada 1649. Ia
sendiri adalah menantu dari Susuhunan Amangkurat I dari
Kesultanan Mataram yang sangat menginginkan wilayah
Cirebon. Mengetahui hal itu, VOC langsung mengambil
kesempatan dengan adu domba para adipati Mataram dengan
Sang Sunan yang menghasilkan kerja sama Mataram dan VOC.
Masa Kehancuran
Lalu, Sunan Amangkurat I membuat undangan dan mengirimkannya kepada Panembahan
Ratu II dan dua putranya antara 1650-1662. Sesampainya di Mataram dan setelah upacara
penghormatan itu selesai, mereka langsung dijadikan tahanan politik. Mengetahui hal itu,
Sultan Ageng Tirtayasa langsung menjadikan Cirebon sebagai wilayah proktetorat
Kesultanan Banten dan mengangkat putra ketiga Sultan Karim, Pangeran Wangsakerta
sebagai wali sultan. Sampai akhirnya antara 1662-1677, Panembahan Ratu II wafat dan
dimakamkan di Girilaya, Yogyakarta. Saat itu juga Sultan Ageng Tirtayasa melalui tangan
Raden Tronojoyo menyerang Mataram dan berhasil membebaskan 2 putra Sultan Karim.
Setelah itu mereka diberi 3 kekuasaan di Cirebon. Pangeran Wangsakerta di Panembahan
Cirebon, Pangeran Martawijaya di Kesultanan Kanoman, dan Pangeran Kartawijaya di
Kesultanan Kasepuhan. Meski sudah pecah, VOC tetap saja punya campur tangan di sana.
Dan pada akhirnya tahun 1906, pemerintah Belanda resmi menghapus pemerintahan
Kesultanan Cirebon dan diganti dengan Gemeente Cheirebon yang sampai masa
kemerdekaan Indonesia diteruskan oleh Kota dan Kabupaten Cirebon.
Peninggalan