Anda di halaman 1dari 41

MODUL

Aplikasi Diferensial Dalam Kasus Kimia


Dosen Pengampu :
Riri Aisyah, M.Pd dan Dr. Nurhayati, M.Si

Disusun Oleh :
Asti Rama W (1212080019)
Davia Risniawati (1212080024)
Ghifar Al Farabi F (1212080039)

PRODI PENDIDIKAN KIMIA

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG

2022
APLIKASI DIFERENSIAL DALAM KASUS KIMIA

BAB 1
Penentuan Volume Titran Titik Ekivalen yang Lebih
Presisi

Capaian Pembelajaran:
1. Mampu memahami prinsip dari Titrasi
2. Mampu memahami proses titrasi
3. Mampu mengetahui cara menentukan titik ekivalen
4. Mampu memahami perhitungan dalam titrasi

Titrasi adalah salah satu teknik dalam analisis kimia kuantitatif yang
digunakan untuk menentuan konsentrasi suatu larutan tertentu, dimana
penentuannya dengan menggunakan suatu larutan standar yang sudah
diketahui konsentrasinya secara tepat.

1.1 Penentuan volume titran titik ekivalen yang lebih presisi

Pengukuran volume dalam titrasi memegang peranan yang sangat


penting sehingga ada kalanya sampai saat ini banyak orang yang menyebut
titrasi dengan analisis volumetri. Titran ditambahkan sedikit sedikit demi
sedikit pada analit sampai diperoleh keadaan dimana titran bereaksi secara
equivalen dengan analit, artinya semua titran habis bereaksi dengan analit
keadaan ini disebut sebagai titik equivalen.

Titik equivalen dapat ditentukan dengan berbagai macam cara,


cara yang umum adalah dengan menggunakan indicator. Indikator akan
berubah warna dengan adanya penambahan sedikit mungkin titran, dengan
cara ini maka kita dapat langsung menghentikan proses titrasi. Keadaan
dimana titrasi dihentikan dengan adanya berubahan warna indicator
disebut sebagai titik akhit titrasi. Titrasi yang bagus memiliki titik
equivalen yang berdekatan dengan titik akhir titrasi dan kalau bisa sama.
Perhitungan titrasi didasarkan pada rumus:

V.N titran = V.N analit


Keterangan :
V = volume
N = normalitas

Tidak semua zat bisa ditentukan dengan cara titrasi akan tetapi kita
harus memperhatikan syarat-syarat titrasi untuk mengetahui zat apa saja
yang dapat ditentukan dengan metode titrasi untuk berbagai jenis titrasi
yang ada. Mengenal berbagai macam peralatan yang dipergunakan dalam
titrasipun sangat berguna agar kita mahir melakukan teknik titrasi

Kesetaraan kimia teoretis antar reagen dapat diketahui dari


perhitungan persamaan reaksinya. Hasil titrasi yang akurat bisa tercapai
ketika jumlah larutan analit telah bereaksi secara stoikiometris adalah
dinyatakan ekivalen. Pada saat itulah disebut sebagai titik ekivalen. .
Jumlah mol titran yang digunakan bisa diketahui dari volume yang
digunakan untuk mencapai titik ekivalen dikali dengan konsentrasi larutan
titran.

𝑚𝑜𝑙𝑡𝑖𝑡𝑟𝑎𝑛 = 𝑉𝑒𝑞 𝑥 𝐶𝑡𝑖𝑡𝑟𝑎𝑛

Dengan 𝑉𝑒𝑞 = Volume titran saat titik ekivalen tercapai

Titrasi yang ideal adalah titrasi yang akurat, yaitu jika titik akhir
titrasi persis sama atau sangat mendekati (berimpit) titik ekivalen teoretis.
Perbedaan antara titik akhir titrasi dengan titik ekivalen dinyatakan dengan
kesalahan titrasi, suatu kesalahan (error) dalam pengukuran. Oleh karena
itu, untuk melakukan titrasi perlu pengulangan analisis 3 kali atau lebih
untuk meminimalisasi terjadinya kesalahan titrasi tersebut. Pemilihan
indikator juga harus memperhatikan aspek kesesuaian reaksi kimia antar
reagen agar kesalahan dalam analisis dapat dihindari.

Dalam suatu analisis kuantitatif seperti halnya titrasi pasti


diperlukan perhitungan yang tepat dan presisi karena suatu analisis
kuantitatif selalu berkaitan dengan angka.

Latihan Soal :

Standarisasi HCl dilakukan dengan menggunakan baku primer


Natrium karbonat. Sebanyak 354,2 mg Natrium karbonat dilarutkan dalam
air dan dititrasi dengan larutan HCl (larutan yang akan distandarisasi)
menggunakan indikator Metil orange. Titik akhir titrasi yaitu saat reaksi
membutuhkan volume HCl sebesar 30,23 mL. Hitunglah berapa normalitas
HCl?

Penyelesaian :

Reaksi standarisasi HCl dengan Natrium karbonat menggunakan metil


orange adalah:

𝑁𝑎2 𝐶𝑂3 + 2 𝐻𝐶𝑙 → 2𝑁𝑎𝐶𝑙 + 𝐻2 𝑂 + 𝐶𝑂2

Dari reaksi tersebut diketahui bahwa tiap mol Natrium karbonat bereaksi
dengan 2 mol HCl (setara dengan 2 gram ekivalen ion H+ ) sehingga
valensinya adalah 2. Sebagaimana diketahui pada titik ekivalen:

𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘 𝐻𝐶𝑙 = 𝑚𝑔𝑟𝑒𝑘 𝑁𝑎2 𝐶𝑂3

𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝐻𝐶𝑙 (𝑚𝐿)𝑥 𝑁 𝐻𝐶𝑙 = 𝑚𝑚𝑜𝑙 𝑁𝑎2 𝐶𝑂3 𝑥 𝑣𝑎𝑙𝑒𝑛𝑠𝑖

𝑚𝑔 𝑁𝑎𝑡𝑟𝑖𝑢𝑚 𝑘𝑎𝑟𝑏𝑜𝑛𝑎𝑡
𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝐻𝐶𝑙 (𝑚𝐿) = 𝑥 𝑣𝑎𝑙𝑒𝑛𝑠𝑖
𝐵𝑀 𝑁𝑎𝑡𝑟𝑖𝑢𝑚 𝑘𝑎𝑟𝑏𝑜𝑛𝑎𝑡
Sehingga :

𝑚𝑔 𝑁𝑎𝑡𝑟𝑖𝑢𝑚 𝑘𝑎𝑟𝑏𝑜𝑛𝑎𝑡 𝑥 𝑣𝑎𝑙𝑒𝑛𝑠𝑖 354,2 𝑥 2


𝑁𝐻𝐶𝑙 = →
𝐵𝑀 𝑁𝑎𝑡𝑟𝑖𝑢𝑚 𝑘𝑎𝑟𝑏𝑜𝑛𝑎𝑡 𝑥 𝑚𝐿 𝐻𝐶𝑙 106 𝑥 30,23
= 0,2211 𝑁

Rangkuman

Penentuan Volume Titran Titik Ekivalen yang Lebih Presisi

• Titrasi adalah salah satu teknik dala analisis kimia kuantitatif


yang digunakan untuk menentuan konsentrasi suatu larutan
tertentu, dimana enentuannya dengan menggunakan suatu
larutan standar ang sdah diketahui konsentrasinya secara
tepat.
• Titik equivalen dapat ditentukan dengan berbagai macam
cara, cara yang umum adalah dengan menggunakan
indicator.
• Titrasi yang ideal adalah titrasi yang akurat, yaitu jika titik
akhir titrasi persis sama atau sangat mendekati (berimpit)
titik ekivalen teoretis.
• Tidak semua zat bisa ditentukan dengan cara titrasi akan
tetapi kita harus memperhatikan syarat-syarat titrasi untuk
mengetahui zat apa saja yang dapat ditentukan dengan
metode titrasi untuk berbagai jenis titrasi yang ada

Penentuan Koefisien Virial Gas


• Persamaan Van Der Waals berhasil mendefenisikan
hubungan antara tekanan dan volume gas pada tekanan yang
cukup tinggi namun tidak pada gas dengan tekanan yang
tinggi. Kemudian Kammerlingh Onnes mengembangkan
persamaan untuk memahami perilaku gas nyata pada tekanan
tinggi yang disebut dengan persaman virial,
• Karena persamaan virial dalam bentuk deret tak terhingga
tidak praktis dalam perhitungan, maka biasanya persamaan
virial hanya diperpendek sampai 2 atau 3 suku.
• Dengan demikian, koefisien virial yang dipakai hanya B
(koefiefisien virial kedua) dan C (koefisien virial ketiga).
• Persamaan virial bentuk pendek dalam volume biasanya
lebih akurat daripada bentuk tekanan.
• Data eksperimen B dan C untuk berbagai macam senyawa
telah banyak di dokumentasikan. Beberapa peneliti juga telah
mengusulkan persamaan untuk mengkorelasikan koefisien
virial dengan parameter-parameter lain.
APLIKASI DIFERENSIAL DALAM KASUS KIMIA

BAB 2
Penentuan Koefisien Virial Gas

Capaian Pembelajaran:
1. Mampu memahami konsep dari koefisien virial
2. Mampu mendefinisikan hubungan tekanan dan volume pada persamaan
van der waals
3. Mampu memahami perhitungan dalam konsep virial gas

Persamaan Virial adalah persamaan yang digunakan untuk menghitng


kelakukan gas nyata pada suhu tinggi dimana Van Der Waals. Persamaan
virial dapat digunakan memeragakan persamaan keadaan gas nyata dapat
sama dengan gas sempurna sewaktu P, semua sifat-sifatnya tidak perlu
sama dengan sifat-sifat gas sempurna.

2.1 Penentuan Koefisien Virial Gas


Persamaan Van Der Waals berhasil mendefenisikan hubungan
antara tekanan dan volume gas pada tekanan yang cukup tinggi
namun tidak pada gas dengan tekanan yang tinggi. Kemudian
Kammerlingh Onnes mengembangkan persamaan untuk memahami
perilaku gas nyata pada tekanan tinggi yang disebut dengan
persaman virial, bentuk umumnya adalah :

𝐵 𝐶 𝑉
𝑃𝑉 = 𝑅𝑇 (1 + + 2 + 3 +⋯)
𝑉 𝑉 𝑉
Dimana B, C, D dan seterusnya adalah koefisien virial kedua,
ketiga dan seterusnya. Koefisien tersebut memiliki nila yang
berubah terhadap suhu dan tergantung dari jenis gas yang diamati.

Untuk gas-gas Van Der Waals, Koefisien virial bisa


diapatkan melalui perbadingan persamaan ditas dengan persaman
virial dapat ditulis dalam bentuk :

𝑃𝑉 𝐵 𝐶
Z = = 1 + + 2
𝑅𝑇 𝑉 𝑉

Persamaan Van Der Waalss dapat dituliskan dalam bentuk :

𝑃𝑉 1 𝛼
𝑍= = −
𝑅𝑇 11 − 𝑏/𝑉 2! 𝑅𝑇𝑉

Kedua persamaan Z di atas fungsi dari Volume. Untuk suku


suku yang tinggi, harga dari 1/V semakin kecil sehingga pada
kondisi tertentu dapat diabaikan.

Pada keadaan dengan tekanan rendah, volume gas sangat


besar sehingga suku b/V sehingga suku pada ruas kanan Persamaan
Van Der Waals 1/(1-b/V) dapat diselesaikan dengan menggunakan
deret :

1
= 1 + 𝑥 + 𝑥2 + 𝑥3 + ⋯
1−𝑥

Dengan demikian persamaan virial Z dapat dtuliskan dalam bentuk :


𝑏 𝑏 2 𝑎
𝑍 = 1 + + ( ) + ⋯−
𝑉 𝑉 𝑅𝑇𝑉

𝛼 1 𝑏 2
𝑍 = 1 + (𝑏 − ) ( )+ ( ) +⋯
𝑅𝑇 𝑉 𝑉

Dimana :

𝛼
𝐵 = (𝑏 − )
𝑅𝑇

dan

𝐶 = 𝑏2

Karena persamaan virial dalam bentuk deret tak terhingga


tidak praktis dalam perhitungan, maka biasanya persamaan virial
hanya diperpendek sampai 2 atau 3 suku. Dengan demilian,
koefisien virial yang dipakai hanya B (koefiefisien virial kedua) dan
C (koefisien virial ketiga). Persamaan virial bentuk pendek dalam
volume biasanya lebih akurat daripada bentuk tekanan. Data
eksperimen B dan C untuk berbagai macam senyawa telah banyak
di dokumentasikan. Beberapa peneliti jga telah mengusulkan
persamaan untuk mengkorelasikan koefisien virial dengan
parameter-parameter lain. Salah sau yaag ppaling terkenal diusulkan
oleh Pitzer dkk :

𝑅𝑇𝑐
𝐵=( ) (𝐵 (0) + (1)𝐵
(1)
)
𝑃𝑐

0,422
𝐵 (0) = 0,083 −
𝑇𝑟1,6

0,172
𝐵 (1) = 0,139 −
𝑇𝑟4,2

Latihan Soal :

Diketahui koefisien virial untuk uap isopropanol pada 200° C :

B = -288 cm³ C = -26.000 cm⁶ mol⁻²

Hitung Z dan V dari uap isopropanol pada 200° C dan 10 bar dengan
menggunakan persamaan :

a) Persamaan keadaan gas ideal


b) Persamaan keadaan virial dengan 2 suku
c) Persamaan keadaan virial dengan 3 suku

Penyelesaian :

Diketahui : T = 200°C = 473,15 K

R = 83,14 cm³ bar 𝑚𝑜𝑙 −1 𝐾 −1

a) Persamaan gas ideal


Z=1

𝑅𝑇 (83,14) (473,15)
𝑉= = = 3.934 𝑐𝑚3 𝑚𝑜𝑙 −1
𝑃 10
b) Persamaan virial 2 suku
𝑃𝑉 𝐵𝑃
𝑍= =1+
𝑅𝑇 𝑅𝑇

𝑅𝑇 (83,14) (473,15)
𝑉= +𝐵 = − 388
𝑃 10
= 3.546 𝑐𝑚3 𝑚𝑜𝑙 −1

𝑃𝑉 (10) (3.546)
𝑍 = = = 0,9014
𝑅𝑇 (83,14)(437,15)

c) Persamaan virial 3 suku

𝑃𝑉 𝐵 𝑉
𝑍= =1+ + 2
𝑅𝑇 𝑉 𝑉
𝑅𝑇 𝐵 𝐶
𝑉= (1 + + 2 )
𝑃 𝑉 𝑉

Persamaan diselesaikan secara literatif.

𝑅𝑇 𝐵 𝐶
𝑉1 = (1 + + 2 )
𝑃 𝑉𝑖−1 𝑉𝑖−1

Literasi 1 :

𝑅𝑇 𝐵 𝐶
𝑉1 = = (1 + + 2 )
𝑃 𝑉0 𝑉0

Sebagai tebakan awal digunakan 𝑉0 = 𝑉𝑔𝑎𝑠 𝑖𝑑𝑒𝑎𝑙 = 3.934

388 26.000
𝑉1 = 3.934 (1 − − ) = 3.539
3.934 3.9342

Literasi 2 :

𝑅𝑇 𝐵 𝐶
𝑉1 = (1 + + 2)
𝑃 𝑉2 𝑉1

388 26.000
𝑉2 = 3.934 (1 − − ) = 3.495
3.539 3.5392
Literasi diteruskan sampai selisih antara 𝑉 = 𝑉𝑖 − 𝑉𝑖−1
sangat kecil, atau :
𝑉𝑖 − 𝑉𝑖−1
| | ≤ 10−4
𝑉𝑖

Setelah literasi ke-5 diperoleh hasil :


𝑉 = 3.488 𝑐𝑚3 𝑚𝑜𝑙 −1
𝑍 = 0,8866

Untuk cmpuran gas, maka niai keisien virial untuk campuran


dihitung dengan menggunakan mixing rule :

𝐵 = ∑. ∑ 𝑦𝑖 𝑦𝑗 𝐵𝑖𝑗
𝑖 𝑗

Untuk campuran 2 komponen :


𝐵 = 𝑦1 𝑦1 𝐵11 + 𝑦1 𝑦2 𝐵12 + 𝑦2 𝑦1 𝐵21 + 𝑦2 𝑦2 𝐵22
B₁₂ dan B₂₁ disebut cross- virial coefficient
Cross-virial coefficient, yang dapat diperoleh dengan
combining rule :
𝐵𝑖𝑗 = (1 − 𝑐𝑖𝑗 )√𝐵𝑖 𝐵𝑗
𝑐𝑖𝑗 disebut interaction parameter, yang dapat dihubungkan
dengan potensial ionisasi :
0,5 𝐼𝑖
𝑐𝑖𝑗 = 0,17 (𝐼𝑖 − 𝐼𝑗 ) ln ( )
𝐼𝑗
Di dalam banyak hal, 𝑐𝑖𝑗 dapat diperlakukan sebagai
adjustable parameter.
Untuk campuran 2 komponen :
𝑐11 = 𝑐22= … = 0
𝑐12 = 𝑐21
𝐵11 = (1 − 𝑐11 ) √𝐵1 𝐵1 = 𝐵1

𝐵22 = (1 − 𝑐22 ) √𝐵2 𝐵2 = 𝐵2

𝐵12 = (1 − 𝑐12 ) √𝐵1 𝐵2

𝐵21 = (1 − 𝑐21 ) √𝐵2 𝐵1


𝐵12 = 𝐵21
𝐵 = 𝑦1 𝑦1 𝐵11 + 𝑦1 𝑦2 𝐵12 + 𝑦2 𝑦1 𝐵21 + 𝑦2 𝑦2 𝐵22
𝐵 = 𝑦12 𝐵11 + 2 𝑦1 𝑦2 𝐵12 + 𝑦22 𝐵22

Untuk campuran multi-komponen :


𝐵 = 𝑦12 𝐵1 + 𝑦22 𝐵2 + ⋯
+2 ( 𝑦1 𝑦2 𝐵12 + 𝑦1 𝑦3 𝐵12 + ⋯ + 𝑦2 𝑦3 𝐵23 + ⋯ )

Contoh Soal :
Koefisien virial kedua dari 3 senyawa yang berada dalam
campuran pada temperature 321K adalah :
𝑐𝑚3
propana (1) -340 𝑚𝑜𝑙
𝑐𝑚3
butana (2) -635 𝑚𝑜𝑙
𝑐𝑚3
metilbromida (3) -451 𝑚𝑜𝑙

Hitung compressibility factor campuran gas yang terdiri


dari 40% propana, 30% butana, dan 30% metilbromida pada
emperatyr 321K dan tekkanan 3 bar dengan menggunakan
persamaan virial bentuk pendek (2 suku).
Penyelesaian :
−𝐵12 = (1 − 𝑐12 ) √(−𝐵1 )(−𝐵2 )

= (1 − 0) √(340)(635) = 464,7

−𝐵13 = (1 − 𝑐13 ) √(−𝐵1 )(−𝐵3 )

= (1 − 1,909) √(340)(451) = 356

−𝐵12 = (1 − 𝑐23 ) √(−𝐵2 )(−𝐵3 )

= (1 − 𝑐23 ) √(635)(451) = 459

𝐵 = 𝑦12 𝐵1 + 𝑦22 𝐵2 + 𝑦32 𝐵3


+2 ( 𝑦1 𝑦2 𝐵12 + 𝑦1 𝑦3 𝐵12 + 𝑦2 𝑦3 𝐵23 )
= (0,4)2 (−340) + (0,3)2 (−635) + (0,3)2 (−451)
+2{(0,4)(0,3)(−464,7) + (0,4)(0,3)(−356)
+ (0,3)(0,3)(−459)}
= - 431,7
𝑃𝑉 𝐵
𝑍= =1+
𝑅𝑇 𝑉
𝑃𝑉 2 = 𝑅𝑇𝑉 + 𝐵𝑅𝑇
𝑃𝑉 2 − 𝑅𝑇𝑉 − 𝐵𝑅𝑇 = 0 → Persamaan kuadrat
𝑅𝑇 ± √(−𝑅𝑇)2 + 4𝐵𝑃𝑅𝑇
𝑉1,2 =
2𝑃
𝑐𝑚3
𝑉 = 8441,5
𝑚𝑜𝑙
𝑃𝑉 (3)(8441,5)
𝑍= = = 0,9489
𝑅𝑇 (83,145)(321)
APLIKASI DIFERENSIAL DALAM KASUS KIMIA

BAB 3
Analisis Kurva P-V Gas Nyata

Capaian Pembelajaran:
1. Mampu memahami hubungan Tekanan dan Volume gas nyata
2. Mampu memahami grafik hubungan Tekanan dan Vilume gas Nyata
3. Mampu mengetahui persamaan dan perhitungan kurva P-V pada gas
nyata

Persamaan gas ideal secara empiris diperoleh dari pengamatan


Boyle, Gay Lussac, dan lainnya yang terbukti hanya berlaku untuk
keadaan gas pada temperatur tinggi dan tekanan rendah.

3.1 Analisis kurva P –V gas nyata

Dalam percobaan penyelidikan yang lebih menyeluruh


ditemukan untuk memeriksa hubungan P-V gas, pada faktanya sifat-
sifat pada gas nyata menyimpang dari sifat gas ideal yang
disebabkan oleh terjadinya gaya tarik-menarik antar molekul
(terutama pada tekanan tinggi) serta volume dari molekulnya yang
tidak bisa diabaikan.

Untuk menggambarkan penyimpangan secara jelas, dapat


dinyatakan dengan perbandingan volum molarnya (volum untuk 1
𝑅𝑇
mol gas), V , terhadap volum molar gas ideal 𝑉̅ = 𝑃 Perbandingan
ini disebut faktor kompresibilitas, biasa dilambangkan dengan Z,
yang dinyatakan sebagai berikut.

𝑉̅ 𝑃𝑉̅
𝑍≡ =
𝑉̅ 𝑖𝑑 𝑅𝑇

Grafik Faktor kompresi gas

Untuk gas ideal, nilai Z = 1 dan tidak bergantung pada


temperatur serta tekanan. Sedangkan untuk gas nyata nilai Z tidak
selamanya sama dengan 1, ia merupakan fungsi temperatur dan
tekanan, Z = Z(T,P). Bagi gas ideal harga Z=1; tetapi untuk gas nyata
bergerak dari 0,6 – 2,2.
Grafik aturan nilai Z terhadap P untuk beberapa gas pada temperature
0°C

Kondisi dimana PV pada gas nyata mendekati nilai PV pada


gas ideal sang terbatas, yaitu ketika kondisi P mendekati nol yang
disebut titik Boyle. Pada faktanya banyak sekali gas yang
menyimpang dari gas ideal, seperti pada gas poliatomik yang nilai
penyimpangannya semakin rumit dengan munculnya penyimpangan
positif dan negatif.

Pada persamaan keadaan untuk gas ideal, dituliskan sebagai


berikut :

𝑃𝑉 = 𝑛𝑅𝑇

𝑃𝑖𝑑𝑒𝑎𝑙 𝑉𝑖𝑑𝑒𝑎𝑙 = 𝑛𝑅𝑇

Sedangkan persamaan pada gas yang tidak ideal atau biasa disebut
gas nyata, dirumuskan sebagai berikut :

𝑛2 𝑎
(𝑃𝑚𝑒𝑎𝑛𝑠 + ) (𝑉𝑚𝑒𝑎𝑛𝑠 − 𝑛𝑏) = 𝑛𝑅𝑇
𝑉2

• Konstanta a dan b disebut konstanta Van Der Waals


Berbagai persamaan keadaan yang mirip dengan persamaan van der
Waals telah dikembangkan dan diterapkan pada berbagai jenis gas.

Contoh soal :

Hitunglah tekanan suatu sistem gas yang terdiri dari 1 mol gas CO2
dalam volume 0,5 L pada 50°C.

a. Dengan menggunakan persamaan gas ideal!


b. Dengan menggunakan persamaan Van der Waals!

Jawab:

a. 𝑃𝑉 = 𝑛𝑅𝑇
𝑛𝑅𝑇 1 𝑚𝑜𝑙. 0,08205 𝐿. 𝑎𝑡𝑚 𝑚𝑜𝑙 −1 𝐾 −1 . 323𝐾
𝑃= =
𝑉 0,5 𝐿
= 53 𝑎𝑡𝑚
𝑎𝑛2
b. (𝑃 + ) (𝑉 − 𝑛𝑏) = 𝑛𝑅𝑇
𝑉2

𝑛𝑅𝑇 𝑎𝑛2
𝑃= −
𝑉 − 𝑛𝑏 𝑉 2
1 𝑚𝑜𝑙. 0.08205 𝐿. 𝑎𝑡𝑚. 𝑚𝑜𝑙 −1 𝐾 −1 . 323𝐾
𝑃=
0.5𝐿 − 1 𝑚𝑜𝑙 . 4,28. 10−2 𝐿. 𝑚𝑜𝑙 −1
3,59𝑎𝑡𝑚. 𝐿2 . 𝑚𝑜𝑙 −2 . 1 𝑚𝑜𝑙 2
− = 43,6 𝑎𝑡𝑚
(0,5𝐿)2
Berdasarkan percobaan tekanan dari 1 mol gas CO2 dalam
wadah bervolume 5 L adalah 41,2 atm. Dari kedua hasil
perhitungan dan membandingkannya dengan hasil percobaan
dapat disimpulkan bahwa harga yang didapat dari
perhitungan menggunakan persamaan van der Waals lebih
mendekati hasil percobaan dibandingkan dengan persamaan
gas ideal.
APLIKASI DIFERENSIAL DALAM KASUS KIMIA

BAB 4
Penentuan Konstanta Kritis

Capaian Pembelajaran:
1. Mampu memahami nilai konstanta kritis pada persamaan gas Van Der
Waals
2. Mampu menurunkan nilai konstanta kritis dengan konsep turunan
3. Mampu mamahami perhitungan dalam menentukan nilai konstanta kritis

Persamaan van der Waals (atau persamaan keadaan van der Waals;
dinamai dari Johannes Diderik van der Waals) merupakan
suatu persamaan keadaan yang didasarkan pada alasan yang dapat diterima
bahwa gas nyata tidak mengikuti hukum gas ideal.

4.1 Konstanta Kritis Persamaan Gas Van Der Waals

Persamaan Van der Waals dirumuskan sebagai berikut :

𝑎
𝑃+ (𝑉̅ − 𝑏) = 𝑅𝑇
𝑉2

Persamaan tersebut bisa disusun ulang dengan menggunakan sifat


distribusi, lalu hasilnya dikalikan dengan 𝑉̅ 2 /𝑃 hingga didapatkan
persamaan Van der Waals dalam bentuk yang lain :

𝑅𝑇 2 𝑎 𝑎𝑏
𝑉̅ 3 − (𝑏 + ) 𝑉̅ + 𝑉̅ − =0
𝑃 𝑃 𝑃

Pada persamaan ini, Volum berpangkat tiga yang menunjukkan


bahwa untuk P dan T terdapat 3 volum. Pada ketiga volum tersebut
maka terdapat kesetimbangan antara fasa cair dan uap yang semakin
menyempit seiring menaiknya temperatur, hingga pada akhirnya
menapai temperatur dan tekanan kritis yang berarti bahwa T dan P
di mana gasnya tidak mungkin dikondensasi. Volume pada keadaan
ini disebut volume kritis (Vc)

Grafik isotherm Van der Waals

Nilai konstanta kritis dapat diperoleh dengan menggunakan sifat


turunan pertama dan kedua dari persamaan van der Waals yang
dinyatakan dalam keadaan kritis, yaitu :

𝑅𝑇𝑐 𝑎
𝑃𝑐 = − 2
𝑉̅𝑐 − 𝑏 𝑉̅𝑐

Pada Titik belok berlaku

𝜕𝑃 𝜕 2𝑃
( )𝑇𝑐 = 0 𝑑𝑎𝑛 ( 2 ) 𝑇𝑐 = 0
𝜕𝑉 𝜕𝑉

Saat persamaan virial diturunkan terhadap volum akan diperoleh :

𝜕𝑃𝑐 𝑅𝑇𝑐 2𝑎
( ) = − + 3=0
̅
𝜕𝑉𝑐 𝑇𝑐 ̅
(𝑉𝑐 − 𝑏) 2 𝑉̅
𝜕 2 𝑃𝑐 2𝑅𝑇𝑐 6𝑎
( 2) = − + 4=0
𝜕𝑉̅𝑐 𝑇𝑐 ̅
(𝑉𝑐 − 𝑏) 3 𝑉̅

Nilai nilai tetapan Van der Waals dinyatakan dalam besaran-


besaran kritis :

2
𝑎 = 3𝑉̅𝑐 𝑃𝑐

1
𝑏 = 𝑉̅𝑐
3

Setelah dievaluasi nilai-nilai tekanan dan volume pada keadaan


krisis, diperoleh hasil :

3𝑅𝑇𝑐
𝑃𝑐 =
𝑅𝑉̅𝑐

3𝑅𝑇
𝑉̅𝑐 =
8𝑃𝑐

8𝑃𝑐 𝑉̅𝑐
𝑅=
3𝑇𝑐

Hubungan persamaan ini membuktikan bahwa faktor penyempitan


kritis Zc, dimana

𝑃𝑐 𝑉𝑐 3
𝑍𝑐 = = 8 untuk semua gas.
𝑅𝑇𝑐

Adapun beberaa nilai tetapan konstanta kritis untuk beberapa gas


seperti table di bawah :
Latihan Soal

1. Konstanta gas Van der Waals Benzena a dan B sebesar 18,00


atm.L2/mol2 dan 0,115L/mol secara berurutan. Hitunglah
konstanta kritis pada Benzena tersebut.
2. Diketahui mol gas metana sebanyak 10 mol pada tekanan 100 atm
dan suhu 0°C , dan harga Z adalah 0,783. Hitunglah volume pada
kondisi ini!

Kunci jawaban

1. Dik =
a = 18,00 atm.L2/mol2
b = 0,115 L/mol
Dit = Pc, Tc dan Vc Benzena?
Jawab :
• Vc =3xb
= 3 (0,115 L/mol) = 0,345 L/mol
• Pc = a/3Vc2
= 18,00 atm.L2/mol2/3(0,345 L/mol)2 = 50,14
atm
• Tc = 8a/27Rb
= 8.18,00 atm.L2/mol2/27(0.082 L.atm.K-
1
.mol-1)(0,115 L/mol)
= 565,16 K
2. Dik =
Mol metana = 10 mol
P = 100 atm
T = 0°C
Z = 0,783
Dit = V?
Jawab :
𝑍𝑛𝑅𝑇
𝑉=
𝑃
𝑉
0,783 × 10 𝑚𝑜𝑙 × 0,082 𝐿. 𝑎𝑡𝑚. 𝑚𝑜𝑙 −1 𝐾 −1 × 273 𝐾
=
100 𝑎𝑡𝑚
= 1,754 𝐿

Rangkuman

1. Perilaku gas yang sebenarnya (gas nyata) tidaklah sesuai


dengan yang telah dibahas, ia menyimpang dari keadaan
ideal, karena adanya gaya tarik-menarik antarmolekul
(terutama pada tekanan tinggi) dan volum molekul-
molekulnya tidak dapat diabaikan begitu saja. Untuk
menggambarkan penyimpangan secara jelas, dapat
dinyatakan dengan perbandingan volum molarnyqa,
𝑅𝑇
terhadap volum molar gas idealnya ̅̅̅̅̅
𝑉𝑖𝑑 = 𝑃 Perbandingan

ini disebut faktor kompresibilitas, biasa dilambangkan


dengan Z, yang dinyatakan sebagai berikut :
𝑉̅ 𝑃𝑉̅
𝑍≡ =
𝑉̅ 𝑖𝑑 𝑅𝑇
2. Kesetimbangan antara fasa cair dan uap yang semakin
menyempit seiring menaiknya temperatur, hingga pada
akhirnya menapai temperatur dan tekanan kritis yang berarti
bahwa T dan P di mana gasnya tidak mungkin
dikondensasi. Volume pada keadaan ini disebut volume
kritis (Vc). Nilai konstanta kritis dapat diperoleh dengan
menggunakan sifat turunan pertama dan kedua dari
persamaan van der Waals hingga membuktikan bahwa
faktor penyempitan kritis Zc, dimana

𝑃𝑐 𝑉𝑐 3
𝑍𝑐 = = 8 untuk semua gas.
𝑅𝑇𝑐
APLIKASI DIFERENSIAL DALAM KASUS KIMIA

BAB 5
Penyelesaian Kasus Termodinamika

Capaian Pembelajaran:
1. Mampu memahami konsep termodinamika
2. Mampu menyebutkan jenis-jenis proses termodinamika
3. Mampu mengetahui semua proses potensial termodinamis
4. Mampu menyelesaikan perhitungan dan persamaan termodinamika

Termodinamika merupakan ilmu yang mempelajari hubungan antara


usaha dan kalor. Dalam proses termodinamika kita kenal Kalor (Q), Kerja
(W), Sistem, dan Lingkungan.

5.1 Penyelesaian Kasus Termodinamika


Operasi yang menyebabkan keadaan sistem berubah Ada
beberapa jenis proses termodinamika:

- Proses Isotermis , dT = 0, tidak ada perubahan temperatur sistem

- Proses Adiabatik, dq = 0, tidak ada pertukaran panas antara sistem


dengan lingkungan

- Proses Isobaris , dP = 0, tekanan sistem konstan

- Proses Isokoris, dV = 0, tidak ada perubahan volume sistem

- Proses Siklis, dU = 0, dH = 0, Sistem melakukan beberapa proses


yang berbeda tetapi akhirnya kembali pada keadaan semula
Pada hakikatnya, dalam Termodinamika hanya dibahas 8 (delapan)
besaran fisis, yaitu:

energi bebas Gibbs (G), tekanan (p), entalpi (H), entropi (S), energi
dalam (U), volume (V),

energi bebas Helmholtz (F), dan temperatur (T).

Potensial Termodinamis

Potensial termodinamis ada empat, yaitu: dG (perubahan energi


bebas Gibbs), dH (perubahan

entalpi), dU (perubahan energi dalam), dan dF (perubahan energi


bebas Helmholtz)

a. Perubahan energi bebas Gibbs

dG = dp - dT (1)

Dengan menggunakan analisis satuan, diperoleh G adalah energi


bebas dengan satuan joule = Nm, sehingga dp juga harus bersatuan
joule. Tekanan (p) sendiri satuannya pascal (N / m2), sehingga untuk
menjadi N m harus dikalikan dengan m3 yang tidak lain adalah
satuan volume (V). Untuk dT satuannya Kelvin (K), sehingga agar
menjadi N m harus dikalikan dengan joule / Kelvin (J / K) yang tidak
lain adalah satuan entropi (S). Dengan analisis satuan ini, persamaan
(1) dapat ditulis menjadi:
b. Perubahan entalpi

Dengan analisis satuan, diperoleh bahwa dH dengan satuan N m,


maka dS harus dikalikan dengan temperatur (T) dan dp harus
dikalikan dengan volume (V). Dengan demikian, persamaan (3)
dapat ditulis sebagai persamaan:

Persamaan inilah yang mendeskripsikan konsep potensial


termodinamis II

c. energi dalam (U)

Dengan analisis satuan, diperoleh bahwa dU dengan satuan N m,


maka dS harus dikalikan

dengan temperatur (T) dan dV harus dikalikan dengan


tekanan (p). Dengan demikian persamaan dapat ditulis sebagai
persamaa
Persamaan inilah yang mendeskripsikan konsep potensial
termodinamis III

d. Perubahan energi bebas Helmholtz

Dengan analisis satuan, diperoleh bahwa dF dengan satuan N m,


maka dV harus dikalikan

dengan tekanan (p) dan dT harus dikalikan dengan entropi (S).


Dengan demikian persamaan

(7) dapat ditulis sebagai persamaan

persamaan inilah yang mendeskripsikan konsep potensial


termodinamis IV

Kalor dan kerja

Kalor, q, adalah energi yang dipindahkan melalui batas-batas sistem,


sebagai akibat langsung dari perbedaan temperatur yang terdapat
antara sistem dan lingkungan. Menurut perjanjian, q adalah positif
jika kalor masuk sistem, dan negatif jika kalor keluar sistem. Jadi, q
bukan sifat sistem dan juga bukan fungsi keadaan, sehingga dq
bukanmerupakan suatu diferensial eksak (disini ditunjukkan dengan
q) Kerja, w, adalah setiap energi yang bukan kalor, yang
dipertukarkan antara sistem dan lingkungan. Kerja ini dapat berupa
kerja mekanik, kerja listrik, kerja ekspansi, kerja permukaan, kerja
magnetik, dan sebagainya. Seperti hlanya dengan q maka w dihitung
positif jika sistem menerima kerja (lingkungan melakukan kerja
terhadap sistem) dan negative jika sistem melakukan kerja terhadap
lingkungan. Jadi, w bukan fungsi keadaan dan dw bukan diferensial
eksak (disini ditunjukkan dengan w).δ Suatu bentuk kerja dalam
ilmu kimia adalah kerja ekspansi (juga disebut kerja volum) yaitu
kerja yang berkaitan dengan perubahan volume sistem , secara
matematik kerja ini dinyatakan sebagai:

Pada persamaan di atas V1 dan V2 berturut-turut ialah volume awal


dan volume akhir sistem. Bagi proses yang berlangsung reversibel
P1 dapat disamakan dengan tekanan sistem, P, dalam hal ini

untuk gas ideal sehingga persamaan di atas menjadi

Contoh Soal :

1. Tentukan waktu yang dibutuhkan untuk mendinginkan benda


padat awalnya di 80 derajat celcius untuk 8 derajat celcius ini
ditempatkan dalam lemari es dengan udara interior dipertahankan
pada 5 derajat c. Jika koefisien a = 0,002 m2/s dan bidang kotak
antara padat dan udara dingin di dalam lemari es adalah A=0,2 m2
Penyelesaian :

Diketahui : T = 80 derajat C, dan 5 derajat C

a = 0,002 m2/s

A = 0,2 m2

Ditanya : Tentukan waktu yang dibutuhkan untuk mendinginkan


benda padat?

Jawab :
Maka akan didapatkan :
APLIKASI DIFERENSIAL DALAM KASUS KIMIA

BAB 6
Penurunan Hukum Laju Reaksi Melalui Mekanisme

Capaian Pembelajaran:
1. Mampu memahami konsep penurunan hukum laju reaksi
2. Mampu memahami konsep laju dalam orde 1 dan orde 2
3. Mampu mengetahui dan memahami aplikasi diferensial dalam
penurunan hukum laju

Laju didefinisikan sebagai perubahan yang terjadi selama interval


waktu tertentu. Jadi pengertian laju selalu dikaitkan dengan waktu,
seperti laju sebuah mobil yang berjalan adalah perubahan posisi
mobil selama perioda waktu tertentu, karena itu satuan laju mobil
adalah km/jam.

6.1 Penurunan Hukum Laju Reaksi Melalui Mekanisme


laju reaksi kimia didefinisikan sebagai perubahan
konsentrasi reaktan atau produk reaksi per satuan waktu, sehingga
satuan laju reaksi biasanya dinyatakan sebagai molaritas per detik
atau M/detik.

Perubahan laju dengan waktu, dengan hukum laju dapat dihitung laju
reaksi dari tetapan laju dan konsentrasi reaksi. Hukum laju juga
dapat diubah menjadi persamaan laju yang menunjukkan perubahan
konsentrasi dengan waktu selama reaksi, yaitu bila orde reaksi telah
diketahui atau dimisalkan.
Orde reaksi

Bentuk umum hukum laju atau persamaan laju reaksi adalah :

dimana eksponen m dan n adalah orde reaksi. Untuk reaksi antara


ion NH4+ dengan NO2- , laju reaksi adalah orde satu terhadap NH4+
dan juga terhadap NO2- , sehingga keseluruhan orde reaksi adalah
2. Eksponen pada hukum laju menunjukkan bagaimana laju
dipengaruhi oleh konsentrasi masing-masing reaktan., bila
konsentrasi [NH4+ ] dilipat gandakan 2x, 3x dst. maka laju menjadi
lebih cepat 2x, 3x dst.

Orde reaksi tidak harus merupakan bilangan bulat dan tidak harus
sesuai dengan stokiometri reaksi, seperti pada contoh berikut :

Reaksi orde satu

Reaksi orde satu adalah bilamana laju reaksi tergantung pada


konsentrasi reaktan tunggal pangkat satu. Untuk reaksi A → Produk,
hukum laju orde satu adalah :
Bentuk hukum laju yang menyatakan bagaimana laju tergantung
pada konsentrasi, disebut hukum laju diferensial. Dengan
mengintegralkan persamaan laju ini dapat diperoleh hubungan
konsentrasi reaktan dengan waktu :

Bentuk hukum laju ini disebut hukum laju terintegrasi. Persamaan


[6] dapat digunakan untuk bermacam unit satuan konsentrasi, selama
unit satuan konsentrasi [A]t dan [A]0 adalah sama. Persamaan [6]
dapat juga digunakan untuk membuktikan apakah suatu reaksi
merupakan reaksi orde satu dan untuk menentukan tetapan laju
reaksi :

Untuk reaksi orde satu, grafik ln [A]t terhadap waktu akan


memberikan garis lurus dengan kemiringan grafik merupakan –k dan
potongan sumbu y merupakan ln [A]0.

Reaksi orde dua


Reaksi orde dua adalah reaksi yang lajunya tergantung pada
konsentrasi reaktan pangkat dua, atau tergantung pada konsentrasi
dua reaktan yang berbeda, masing-masing berpangkat satu. Secara
sederhana reaksi orde dua dapat dituliskan sebagai :

Persamaan [7] juga memiliki bentuk persamaan garis lurus (y = mx


+ b). Bila reaksi merupakan reaksi orde dua, maka plot 1/[A]t
terhadap t menghasilkan garis lurus dengan kemiringan yang sama
dengan nilai k dan potongan sumbu y merupakan nilai 1/[A]0.

Latihan Soal dan Jawaban :

1. Konversi metil isonitril (CH3NC) menjadi asetonitril (CH3CN)


berlangsung menurut reaksi orde satu, sehingga persamaan lajunya
dapat ditulis sebagai :
Untuk reaksi dalam fase gas dapat digunakan tekanan sebagai unit
konsentrasi, karena sesuai dengan hukum gas ideal, tekanan gas
sebanding langsung dengan jumlah mol per satuan volum. Gambar
1.3(a) menunjukkan berubahnya tekanan parsial metil isonitril
dengan waktu pada 198,9o C, sedangkan gambar 1.3(b)
menunjukkan plot ln p terhadap waktu, yang menghasilkan garis
lurus dengan kemiringan – 5,1 x 10-5 detik1 , sehingga nilai tetapan
laju, k = 5,1 x 10-5 detik-1.

2. Data berikut diperoleh dari reaksi dekomposisi nitrogen dioksida


dalam fase gas pada 300o C,

Tentukan orde reaksi menggunakan hukum laju terintegrasi.


Jawab : Karena reaksi dapat merupakan reaksi orde satu maupun orde dua,
maka dibuat grafik ln [NO2] dan 1/[NO2] terhadap waktu :

Gambar 1.4 menunjukkan bahwa hanya plot 1/[NO2] terhadap waktu


adalah linier, sehingga reaksi dekomposisi NO2 adalah mengikuti hukum
laju orde dua, laju = k [NO2] 2 dengan nilai k = 0,543 M-1detik-1
Evaluasi Kegiatan Belajar

1. Adakah manfaat yang dapat Saudara peroleh setelah mempelajari


modul ini ?
2. Adakah kendala yang saudara alami ketika mempelajari modul ini ?
3. Bagaimana upaya Saudara dalam mengatasi kendala Ketika mempelajari
modul ini ?
4. Apa pendapat/saran saudara terhadap modul ini?

B. Umpan Balik
Mahasiswa dapat mengevaluasi kembali jawaban atas pertanyaan-
pertanyaan di atas, kemudian refleksikan diri jawaban Saudara tersebut
dengan menuliskan beberapa masukan yang dapat dijadikan bahan untuk
penyempurnaan modul ini.

C. Tindak Lanjut
Setelah Saudara memperoleh pengetahuan, keterampilan dan sikap dari
mempelajari modul ini, tugas Saudara selanjutnya adalah
melaksanakandan mengembangkan pengetahuan, keterampilan dan sikap
saudaratersebut dalam pelaksanaan tugas Saudara sebagai mahasiswa dan
calon pendidik.
Daftar Pustaka

Barrow, G.M. 1996. Physical Chemistry. Sixth Edition. New York:


McGraw-Hill Internasional.

Chang, R., 1981. Physical Chemistry with Apllication to Biological


Systems. New York: Macmillan Publishing Co., Inc.

Dahlan, Ahmad. Persamaan Virial Pada Gas Nyata Bertekanan Tinggi.


https://ahmaddahlan.net/persamaan-virial-pada-gas-nyata-
bertekanan-tinggi

Ijang Rohman, Sri Mulyani. 2004. Kimia Fisika I, Jurusan Kimia.


Bandung: FPMIPA Universitas Pendidikan
Indonesia.

Mundriyastutik, Yayuk. Maulida Iffana Dani. Retnowai, Eko. 2021.


Analisis Volumetri (Titrimetri). Penerbit MU Press

Yumpu. Equations of State.


https://www.yumpu.com/id/document/view/29505842/chapter-1-
equations-of-state

Anda mungkin juga menyukai