Anda di halaman 1dari 18

Accelerat ing t he world's research.

Anomali Perkembangan Akuntansi


Eko Yulianto

Related papers Download a PDF Pack of t he best relat ed papers 

PERT EMUAN PERTAMA PENDAHULUAN


Ahmad Hadiyat ullah

Laba Akunt ansi dalam Mult iparadigma (New)[1]


BIMO SAT RIYO

Bahan Ajar Teori Akunt ansi


Ahmad Jumirin
Anomali Perkembangan Akuntansi
Eko Yulianto1

Abstrak

Paper ini menganalisis perkembangan akuntansi dan prospek pengembangan teori akuntansi pada masa
yang akan datang. Secara khusus, paper ini berupaya memberikan penjelasan mengenai ketiadaan teori
tunggal akuntansi yang berterima umum (generally accepted accounting theory). Penulis menggunakan
perspektif Kuhn mengenai The Structure of Scientific Revolution sebagai kerangka dasar analisis. Studi
akuntansi dengan perspektif ini telah banyak dilakukan sebelumnya, namun dalam paper ini penulis
secara khusus membahas perdebatan terkait penerapan dua yang dominan sampai saat ini, yaitu
historical costs dan current value accounting, dan peran regulasi dalam mengatasi permasalahan ini.
Melalui paper ini, penulis berpendapat bahwa akuntansi masih berada dalam fase krisis. Untuk keluar
dari krisis, akuntansi perlu dilihat dari perspektif yang sama sekali berbeda dan hal ini dapat dilakukan
melalui redefinisi akuntansi itu sendiri.

Kata kunci

perkembangan teori akuntansi, perspektif Kuhn

1
Mahasiswa Program Doktor FE UGM
Anomali Perkembangan Akuntansi

1. Pendahuluan
Permasalahan ketiadaan teori tunggal akutansi sudah disadari oleh para praktisi dan akademisi sejak
lama. Pada tahun 1977, misalnya, Asosiasi Akuntansi Amerika (AAA), melalui Statement on Accounting
Theory and Theory Acceptance (SATTA), telah menyimpulkan bahwa teori akuntansi untuk pelaporan
eksternal tidak ada. AAA bahkan menyatakan bahwa yang terjadi sekarang bukanlah pengembangan
teori, melainkan pengembangbiakan paradigma yang memberikan tuntunan sangat yang terbatas pada
pembuat kebijakan (Chua, 1986). Hal senada juga dilontarkan oleh Watts dan Zimmerman (1979), yang
menyatakan bahwa para cendekiawan akuntansi justru lebih banyak berperan dalam memberikan
pasokan (supply) sebagai ujud pe aafa (excuses) atas berbagai kelompok yang bersaing dalam
mempengaruhi standar akuntansi demi kepentingan mereka.

Paper ini akan mendiskusikan perkembangan akuntansi khususnya menyangkut berbagai alasan yang
dapat menjelaskan ketiadaan teori tunggal akuntansi tersebut. Topik ini penting untuk dibahas
setidaknya dengan dua alasan. Pertama, ulasan mendalam mengenai berbagai kejadian dan alasan yang
melatarbelakangi kegagalan lahirnya teori akuntansi tunggal akan menambah pemahaman kita tentang
akuntansi sebagai sebuah displin. Kedua, pemahaman itu selanjutnya akan menjadi batu pijakan kita
dalam memproyeksi perkembangan akuntansi pada masa yang akan datang, utamanya terkait
kemungkinan pengembangan akuntansi sebagai ilmu sosial yang berdiri sendiri.

Pembahasan paper ini berangkat dari upaya Cushing (1989) dalam menginterpretasikan perkembangan
akuntansi dari perspektif revolusi sains (Kuhn, 1970). Meski sama-sama membahas perkembangan
akuntansi, perbedaan utama paper ini dengan uraian gagasan Cushing terletak pada definisi paradigma
utama dalam akuntansi. Di samping itu, paper ini lebih jauh akan mendiskusikan peranan regulasi dalam
mendamaikan perbedaan paradigma akuntansi.

Cushing menyatakan bahwa buku The Structure of Scientific Revolution (Kuhn, 1970) telah memberikan
kontribusi dalam menelaah perkembangan sains, termasuk akuntansi. Gagasan Kuhn mengenai revolusi
sains dinilai sangat membantu dalam memahami berbagai kecenderungan masa lalu dan masa depan
dalam disiplin akuntansi. Penggunaan perspektif Kuhn dalam studi akuntansi pertama kali dilakukan
pada tahun 1966 oleh Chambers, yang menyatakan bahwa perkembangan pemikiran akuntansi memiliki
kesamaan dengan perkembangan astonomi pra-Copernicus. Cushing juga menyebutkan bahwa Sterling
(1966, 1967, 1970) dan Wells (1976) berupaya menggunakan perspektif Kuhn dalam literatur akuntansi.
Sterling juga berpendapat mengenai kemiripan perkembangan akuntansi dengan ide-ide Kuhn.
Sementara itu, Wells (1976) melakukan telaahan lebih mendalam atas perspektif Kuhn dalam disiplin
akuntansi dengan menyatakan bahwa paradigma yang disepakati dalam akuntansi berubah selama
periode 1940 sampai dengan 1970.

2
Dalam paper ini, penggunaan perspektif Kuhn merupakan sebuah upaya untuk melihat secara kritis
perkembangan akuntansi, yang secara faktual diwarnai dengan berbagai konflik karena perbedaan
berbagai kepentingan praktis. Telaah kritis ini sangat bermanfaat untuk mengungkap berbagai asumsi
yang mendasari pilihan-pilihan berbagai pihak yang terlibat dalam praktik akuntansi. Dalam perspektif
ini, analisis kualitatif berbasis pendekatan interpretif (interpretive) akan dijadikan sebagai landasan
utama dalam mendiskusikan berbagai isu yang diajukan dalam paper ini. Penelitian dengan pendekatan
interpretif ini dimaksudkan untuk melihat akuntansi dari sudut pandang yang berbeda (Chua, 1986).

Setelah bagian Pendahuluan ini, pembahasan paper ini selanjutnya akan dibagi ke dalam empat bagian.
Bagian pertama akan mengulas singkat gagasan Kuhn mengenai revolusi sains, yang diikuti dengan
elaborasi sejarah perkembangan akuntansi. Berdasarkan paparan sejarah akuntansi, paper ini kemudian
akan memberikan analisis dengan perspektif Kuhn, yang ditutup dengan simpulan dan implikasi dari
pembahasan paper ini.

2. Revolusi Sains dalam Akuntansi

2.1 Gagasan Kuhn tentang Revolusi Sains

Kuhn (1970) menyatakan bahwa berbagai sains menemukan bentuknya seperti yang kita kenal sekarang
setelah melalui proses yang cukup panjang. Secara kronologis, Kuhn membedakan perkembangan
sebuah sains dalam tiga fase utama. Fase
pertama, yang hanya ada sekali saja, adalah Tahapan Perkembangan Sains menurut Thomas Kuhn

fase pre-paradigm, sebuah tahapan ketika


Fase 1:
tidak ada konsensus terhadap suatu teori
Pre-paradigm
tertentu, meskipun penelitian-penelitian
dilakukan secara saintifik. Fase ini ditandai
dengan munculnya beberapa teori yang tidak Paradigm
consensus
lengkap dan tidak cocok satu sama lain
(incompatible). Bila beberapa kelompok
ilmuwan pada masa pre-paradigm ini akhirnya Fase 2:
Normal
lebih condong ke salah satu kerangka konsep Science
tertentu dan konsensus terhadap metode, Dominant Anomalies and
paradigm crises
terminologi, dan jenis penelitian telah dicapai
secara luas, maka perkembangan sains dapat
dikatakan telah memasuki fase kedua, normal New paradigm Old paradigm fail
emerge
science. Pada fase normal science, banyak teka-
teki dalam paradigma yang dominan sudah Fase 3:
memperoleh jawaban. Sepanjang ada Revolutionary
konsensus dalam disiplin ilmu tersebut, fase ini science

akan terus berlanjut.


Sumber: Kuhn (1970)

3
Seiring dengan perjalanan waktu, perkembangan normal science barangkali menunjukkan beberapa
keanehan, atau anomali-anomali, yaitu fakta-fakta yang sulit dijelaskan dalam konteks paradigma yang
ada. Dalam beberapa kasus, anomali-anomali ini biasanya bisa dipecahkan, namun dalam kasus lain
anomali tersebut bisa terakumulasi pada suatu titik tertentu yang menyulitkan normal science dan
memunculkan kelemahan-kelemahan dari paradigma yang lama. Kuhn menamai fenomena ini sebagai
sebuah krisis. Krisis-krisis yang terjadi seringkali bisa dipecahkan dalam konteks normal science. Akan
tetapi, setelah beberapa upaya yang dilakukan dalam normal science dalam paradigma tertentu gagal,
sains kemudian akan masuk pada fase ketiga, revolutionary science, yaitu sebuah fase ketika asumsi-
asumsi yang mendasari sebuah bidang ilmu diuji kembali dan sebuah paradigma baru hadir sebagai
alternatif terhadap paradigma sebelumnya. Setelah paradigma baru menjadi dominan, para ilmuwan
kembali ke fase normal science, memecahkan berbagai persoalan dalam paradigma yang baru. Sebuah
sains barangkali akan mengikuti siklus ini secara berulang, meskipun Kuhn menyatakan bahwa sebaiknya
sains tidak terlalu sering atau mudah berubah.

2.2 Penerapan Teori Revolusi Sains untuk Akuntansi

Pertanyaannya sekarang adalah, apakah teori revolusi sains Kuhn ini dapat diterapkan untuk akuntansi?
Untuk menjawab pertanyaan ini, Cushing (1989) menekankan perlunya pendefinisian kembali apa itu
aku ta si , setidaknya sebagai landasan diskusi selanjutnya. Karena revolusi dalam pandangan Kuhn
lebih ditekankan pada perubahan fundamental sifat sebuah disiplin, definisi luas yang tidak akan
membatasi pemikiran mengenai kemungkinan evolusi akuntansi pada masa yang akan datang sangatlah
penting. Oleh karena itu, menurut Cushing, akuntansi dapat didefinisikan sebagai sarana untuk
memahami kinerja ekonomis dari individu-individu atau kelompok-kelompok yang bertanggung jawab
dalam mengggunakan sumber daya ekonomi untuk tujuan pengendalian atas aktivitas penggunaan
sumber daya tersebut. Jika definisi ini diterima, maka akuntansi dapat disejajarkan dengan sains lain
yang menekankan aktivitas ilmiah sebagai sebuah proses untuk memahami realitas dan mengendalikan
beberapa elemen terkait realitas tersebut. Dalam kaitan ini, Larry Laudan (1981: 153, dalam Cushing,
1989: 10) menegaskan bahwa:

There is no fundamental differences in kind between scientific and other forms of intellectual inquiry.
All seen to make sense of the world and of our experience. All theories, scientific and otherwise, are
subject alike to empirical and conceptual constraints...The quest for a specifically scientific form of
knowledge, or for a demarcation criterion between science and non-science, has been unqualified
failure.

2.3 Paradigma Akuntansi

Argumen pokok Kuhn mengenai perkembangan sains terletak pada paradigma yang menjadi landasan
sains tersebut. Kuhn mendefinisikan paradigma adalah apa yang disepakati diantara komunitas
keilmuan, dan yang dimaksud dengan komunitas keilmuan tersebut terdiri dari para praktisi pada bidang
keilmuan khusus. Dalam akuntansi, komunitas ini bisa meliputi praktisi, peneliti, dan berbagai lembaga
penyusun standar dan regulasi di bidang akuntansi.

4
Secara garis besar, Kuhn menjelaskan bahwa sebuah paradigma, atau juga disebut sebagai disciplinary
matrix, memiliki empat karakteristik (1970:182-7), yaitu (1) generalisasi simbolis, yang diekspresikan dan
digunakan tanpa pertanyaan dari anggota kelompok keilmuan, seperti berbentuk persamaan, (2)
komitmen bersama pada kepercayaan fundamental tentang subjek dalam disiplin, (3) nilai-nilai yang
disepakati bersama untuk menilai teori, prediksi dan lain-lain, dan (4) contoh-contoh dari penyelesaian
masalah yang ditemui para siswa dalam disiplin tersebut se agai sara a u tuk learning-by-e a ple
yang membantu praktik disiplin ilmu tersebut.
Berdasarkan penjelasan tersebut, disclipinary matrix yang relevan untuk akuntansi dapat digambarkan
sebagai berikut. (1) Generalisasi simbolis dimaksud meliputi gagasan dan formulasi yang disepakati
misalnya persamaan double-entry, penyajian laba, klasifikasi aset dan kalkulasi modal kerja, tingkat
pengembalian, dan rasio utang/modal. (2) Komitmen bersama meliputi prinsip realisasi dan
penandingan, gagasan keberlangsungan usaha, dan basis biaya (cost) penilaian aset. (3) Nilai-nilai
meliputi konservatisme, konsistensi, materialitas dan lain sebagainya. (4) Terakhir, contoh-contoh dapat
ditemukan dalam berbagai macam buku teks akademik beserta ujian-ujian yang dilakukan, yang
menunjukkan aspek prediktabilitas dari disiplin akuntansi (Wells, 1976).
Dari keempat karakteristik tersebut, apa yang menjadi paradigma dalam akuntansi? Terkait pertanyaan
ini, para akademisi dan praktisi ternyata memiliki pandangan yang berbeda. Cushing (1989) telah
mengidentifikasi bahwa paradigma akuntansi yang didefinisikan para peneliti antara lain berupa
pengumuman-pengumunan atau regulasi yang dikeluarkan oleh lembaga profesi akuntansi dan SEC
(Flamholtz, 1976) dan penilaian (valuation) (Butterwoth dan Falk, 1986). Sementara, Cushing sendiri
menganggap bahwa yang menjadi paradigma akuntansi adalah metode debit-kredit dan persamaan
aku ta si assets = lia ilities + et orth .
Untuk keperluan analisis dalam paper ini, penulis menganggap bahwa yang merupakan paradigma
utama dalam akuntansi adalah pengukuran (measurement), dan dua basis pengukuran akuntansi yang
selama ini dominan dan saling dipertentangkan adalah biaya historis (historical costs) dan nilai terkini
(current value). Di satu pihak, konsep biaya historis lebih menekankan pada pelaporan aset dan utang
berdasarkan nilai pada saat perolehan karena dianggap lebih dapat diandalkan (reliable). Di lain pihak,
konsep akuntansi berbasis nilai terkini lebih mengutamakan aspek relevansi sehingga nilai aset dan
utang yang dilaporkan dalam neraca harus mencerminkan nilai pada saat pelaporan (current value).

5
3. Perkembangan Akuntansi: Perspektif Historis2

3.1 Awal Perkembangan Akuntansi

Dalam bukunya, Financial Accounting Theory, Scott (2012) secara ringkas menguraikan bahwa sejarah
akuntansi dimulai ketika sistem pembukuan ganda diciptakan oleh Luca Paciolo pada tahun 1494. Saat
itu, selain menjelaskan pencatatan ganda (debit-kredit), yang mencatat akun-akun yang memiliki
dimensi fisik atau legal (kas, persediaan, harga pokok persediaan), Paciolo juga sudah mengembangkan
konsep abstrak mengenai pendapatan (income) dan modal (capital) untuk mengatasi permasalahan
pencatatan terkait perbedaan antara harga jual dengan harga pokok barang yang dijual.

Pada awal abad ke-18, konsep perusahaan dengan modal bersama (joint stock company) mulai
dikembangkan di Inggris dengan dilandasi konsep keberadaan permanen, kewajiban terbatas pemegang
saham, dan peralihan kepemilikan. Konsep peralihan kepemilikan ini kemudian menjadi cikal bakal
perkembangan pasar modal atau tempat jual beli saham. Dari sini kemudian mulai muncul tuntutan
mengenai pemenuhan kebutuhan investor akan informasi keuangan perusahaan yang akan
memperjualbelikan sahamnya di pasar modal.

Pada tahun 1844, Undang-undang Perusahaan (Companies Act), yang mengatur perlunya perusahaan
menerbitkan necara yang sudah diaudit, lahir di Inggris. Namun demikian, pada tahun berikutnya aturan
ini tidak berlaku karena penyediaan informasi tersebut dilakukan berdasarkan kesepakatan antara
perusahaan dan pemegang saham, sehingga perusahaan tidak lagi merasa wajib memenuhi ketentuan
tersebut. Setelah itu, penyediaan informasi tersebut bersifat sukarela, meski akhirnya praktik ini tidak
dapat berjalan baik karena ketiadaan prinsip akuntansi yang disepakati.

Pada abad ke-20 perkembangan akuntansi beralih ke Amerika Serikat (AS). Awalnya, ekonomi Amerika
Serikat hanya memerlukan fungsi-fungsi akuntansi sederhana, dan profesi akuntansi bisa dikatakan tidak
ada. Pada saat itu, kebanyakan bisnis berjalan dengan kepemilikan tunggal. Laporan akuntansi lebih
ditekankan pada kemampuan melunasi utang (solvency) dan likuditias, terbatas untuk keperluan intern
dan pemeriksaan oleh bank dan pemberi pinjaman lainnya. Pelaporan keuangan dan audit laporan
keuangan masih dilakukan berdasarkan prinsip kesukarelaan. Lalu, dari tahun 1900 sampai 1929 banyak
perusahaan tumbuh menjadi besar dan pertumbuhan ini menciptakan sebuah permintaan yang lebih
besar terhadap pengungkapan (disclosures) dan perubahan orientasi pelaporan dari solvency menjadi
kemampuan menghasilkan laba (profitability). Ketika jumlah orang yang berinvestasi di pasar modal
semakin meningkat, harga-harga saham mulai meningkat. Antara tahun 1925 dan 1926 harga saham
mengalami fluktuasi sangat tajam, yang diikuti oleh kenderungan kenaikan pada tahun 1927. Situasi bull
market tersebut semakin menarik banyak orang untuk berinvestasi hingga terjadi pertumbuhan pasar
modal seacara fantastis pada tahun 1928, dan mencapai puncaknya pada bulan September 1929.

2
Uraian bagian ini lebih menekankan perkembangan akuntansi yang terjadi di Amerika Serikat. Setelah kelahirannya di Italia,
akuntansi berkembang di berbagai negara, termasuk di Italia sendiri, akan tetapi hal itu tidak menjadi fokus pembahasan dalam
bagian ini. Penekanan ini lebih didasarkan pada fakta bahwa hasil pemikiran dan praktik akuntansi yang dikembangkan di
Amerika Serikat memiliki pengaruh yang cukup besar di dunia, khususnya di Indonesia. Oleh karena itu, penulis menganggap
bahwa sejarah perkembangan tersebut bisa merepresentasikan pemikiran dan praktik akuntansi di Indonesia, sehingga sangat
relevan untuk dibahas di sini.

6
Namun, setelah itu, harga saham mulai turun sehingga banyak investor menjual sahamnya dan
penjualan itu mencapai puncaknya sebulan kemudian. Tepatnya tanggal 24 Oktober 1929, yang
dianggap sebagai Black Thursday, pasar modal New York jatuh (collapse). Sejak saat itu, Amerika Serikat
memasuki era yang dikenal sebagai Depresi Besar (Great Depression).

3.2 Penguatan Konsep Biaya Historis dan Upaya Perumusan Teori Akuntansi

Scott (2012) menyatakan bahwa salah satu penyebab kejatuhan pasar modal tersebut adalah terlalu
seringnya penilaian aset. Pelajaran utama yang diperoleh para akuntan dari buah Depresi Besar tahun
1930 adalah nilai-nilai yang membumbung tinggi. Dari sini kemudian muncul upaya untuk memperkuat
akuntansi berbasis biaya historis. Basis ini dijelaskan secara gamblang dalam monograf karya Paton dan
Littleton (1940) yang berjudul An Introduction to Corporate Accounting Standards. Dokumen ini secara
elegan dan persuasif menyajikan akuntansi biaya historis berdasarkan konsep keberlangsungan hidup
perusahaan (going concern). Konsep ini menjustifikasi atribut-atribut penting dari akuntansi biaya
historis seperti menunggu pengakuan pendapatan sampai bukti objektif realisasinya tersedia,
penggunaan akrual untuk menandingkan keuntungan dan kerugian yang belum terealisasi pada neraca
sampai saat penandingan dengan pendapatan tiba. Sebagai hasilnya, laporan laba rugi menunjukkan
proyeksi dari kekuatan perusahaan dalam menghasilkan laba. Lalu, laporan laba rugi menggantikan
peran neraca sebagai fokus dalam pelaporan keuangan.

Pada era 1950-an sampai dengan 1970-an, penelitian untuk pengembangan akuntansi mulai banyak
dilakukan. Wells (1976) menyatakan bahwa penelitian-penelitian akuntansi pada era tersebut dapat
dibagi ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama terkait dengan pencarian asumsi-asumsi yang
mendasari akuntansi. Karya-karya yang mewakili upaya ini termasuk The Structure of Accounting Theory
(Littleton, 1953), The Basic Postulates of Accounting (Moonitz, 1961), A Statement of Basic Accounting
Theory (American Accounting Association, 1966) dan The Foundations of Accounting Measurement (Ijiri,
1967). Namun demikian, karya-karya ini tidak mampu mengarahkan pada ide-ide dasar mengenai
asumsi akuntansi yang disepakati secara umum. Menurut Wells, pemikiran-pemikiran tersebut hanya
berperan dalam menyoroti kelemahan konsep dan praktik yang berlaku. Oleh karena itu, tidak
mengherankan apabila kemudian muncul pengakuan dan upaya dari AICPA untuk merumuskan tujuan-
tujuan (objectives) pelaporan keuangan. Untuk itu, pada tahun 1971, AICPA kemudian membentuk
Trueblood Committee untuk tugas tersebut (Wolk, et al., 2008).

Sementara itu, kelompok penelitian kedua berkaitan dengan pencarian prinsip dan konstruksi teori pada
umumnya. Para akademisi atau ilmuwan yang masuk dalam kelompok ini, menurut Wells, meliputi
Chambers (1955, 1963), Mattessich (1957), Devine (1960), Vatter (1963) dan Sterling (1970). Kajian
mereka terutama menyangkut aspek filosofis yang melandasi akuntansi. Namun demikian, upaya dari
sisi ini pun juga tidak membuahkan hasil karena perumusan konstruksi teoretis untuk akuntansi tidak
tercapai, sampai akhirnya Asosiasi Akuntansi Amerika (AAA), melalui Statement on Accounting Theory
and Theory Acceptance (SATTA), menyatakan mengenai ketiadaan teori akuntansi untuk pelaporan
keuangan eksternal (Chua, 1986).

7
3.3 Regulasi Akuntansi dan Penerapan Fair Value Accounting

Di samping pencarian asumsi dan basis teoretis yang mendasari praktik akuntansi, pembuatan regulasi
oleh pemerintah dan lembaga profesional merupakan faktor penting yang juga ikut menentukan arah
perkembangan akuntansi. Segara umum, tujuan berbagai regulasi yang dibuat oleh pemerintah dan
lembaga profesional dimaksud dapat dibagi dalam dua kelompok. Kelompok pertama adalah regulasi
yang dibuat merespon berbagai krisis yang disebabkan oleh penyimpangan praktik akuntansi, dan
kelompok kedua terkait regulasi untuk menjamin keseragaman praktik akuntansi atau lebih dikenal
sebagai penyusunan standar akuntansi.

3.3.1 Regulasi Pascakrisis Keuangan

Dalam kaitan ini, setidaknya ada dua contoh mengenai pembuatan regulasi, khususnya di AS, sebagai
respon pemerintah atas krisis keuangan yang berdampak luas. Contoh pertama adalah tanggapan
pemerintah Amerika Serikat (AS) ketika mengalami Depresi Besar pada tahun 1930 sebagai konsekuensi
dari krisis pasar modal yang terjadi setahun sebelumnya. Sebelum krisis, praktik akuntansi di AS berjalan
tanpa aturan, termasuk dalam hal pelaporan dan pemeriksaan keuangan. Segera setelah krisis tersebut,
pemerintah AS membentuk Securities Exhange Commission (SEC) melalui Securities Act (undang-undang
pasar modal) pada tahun 1934. Tugas utama dari peraturan dan lembaga ini adalah untuk melindungi
investor dengan sebuah struktur pengungkapan laporan keuangan yang baku. Undang-undang ini
mengatur tentang serangkaian ujian tertentu untuk saham-saham yang akan diperdagangkan di lebih
dari satu negara bagian. Sebagai bagian dari mandate tersebut, SEC memiliki tanggung jawab untuk
memastikan bahwa investor diberi informasi yang cukup. pengujian terhadap semacam badan
pengawas pasar modal.

Contoh kedua yaitu upaya pemerintah dan lembaga penyusun standar di AS dalam menghadapi kasus
yang menimpa Enron Corp dan WoldCom pada awal tahun 2000-an. Kedua perusahaan tersebut
akhirnya bangkrut menyusul terbongkarnya praktik manipulasi akuntansi yang mereka lakukan (lihat
Scott, 2012: 7-9). Setelah deregulasi pasar gas alam tahun 1980-an, saham Enron mengalami kenaikan
sangat dramatis karena berhasil melakukan eskpansi bisnis dan melaporkan kinerja keuangan yang
sangat bagus. Namun demikian, perbaikan kinerja keuangan tersebut ternyata bersumber dari berbagai
rekayasa akuntansi yang bertujuan untuk tidak melaporkan utang-utang yang dimiliki dan melaporkan
laba yang lebih tinggi. Semua itu dilakukannya dengan membentuk entitas bertujuan khusus (specific
purposes entities, SPEs) yang akan menjadi perantara atas semua praktik patgulipat yang dilakukan oleh
manajemen Enron Corp. Praktik manipulasi juga dilakukan oleh perusahaan di bidang Internet,
WorldCom, yang juga berupaya melaporkan labanya lebih tinggi dengan cara mengkapitalisasi biaya
pemeliharaan jaringan dan biaya lain yang seharusnya dilaporkan sebagai biaya pada saat terjadinya
biaya-biaya tersebut. Hal lain yang menyebabkan laporan laba yang begitu tinggi saat itu adalah dengan
mengurangi penyisihan piutang ragu-ragu (doubtful account). Ketika praktik manipulasi kedua
perusahaan tersebut terbongkar, kepercayaan para investor jatuh dan hal ini selanjutnya memicu
kejatuhan kedua perusahaan tersebut pada akhir tahun 2002.

8
Menyusul kedua kasus tersebut, pemerintah AS memperketat peraturan dengan mengeluarkan undang-
undang baru yang terkenal dengan nama Sarbane-Oxley Act pada tahun 2002. Undang-undang ini
dimaksudkan untuk memulihkan kepercayaan investor dengan mengurangi kemungkinan terulangnya
peristiwa serupa. Hal ini dilakukan dengan mendorong perlunya perbaikan pengelolaan perusahaan
(corporate governance) dan memperkuat fungsi audit. Salah satu saran praktis undang-undang ini
adalah dibentuknya Badan Pengawas Perusahaan Akuntan Publik atau Public Accounting Company
Oversight Board. Badan ini berwenang menyusun standar audit dan menginspeksi dan menertibkan
pada auditor dari perusahaan public. Undang-undang ini juga membatasi beberapa jasa nonaudit yang
ditawarkan oleh perusahaan-perusahaan auditing kepada klien mereka. Lebih lanjut, para auditor juga
diminta untuk melapor kepada komite audit sebagai wakil dewan direksi, bukan kepada manajemen.
Komite audit harus terdiri dari direktur dari perusahaan lain yang independen.

Terkait dengan akuntansi, Sarbanes-Oxley Act juga e i ta perusahaa u tuk e asukka se ua


pe yesuaia aku ta si ya g aterial da e gu gkapka se ua pi ja a di luar era a da
hubungan-hu u ga lai de ga e titas ya g tidak diko solidasi ke dala lapora keua ga .
Kemudian, direktur eksekutif (chief executive officers) dan direktur keuangan (chief financial officers)
harus menjamin bahwa laporan keuangan perusahaan menyajikan secara benar hasil operasi dan posisi
keuangan perusahaan. Kedua direktur ini beserta auditor independen harus memastikan bahwa
pengendalian internal yang baik atas pelaporan keuangan, beserta kekurangan dan perbaikannya,
dilaporkan secara terbuka.

3.3.2 Penyusunan Standar Akuntansi

Bentuk lain regulasi dalam akuntansi berbentuk standar akuntansi yang disusun oleh lembaga yang
memiliki kewenangan untuk penyusunan standar. Menurut Wolk, et al. (2008), upaya pertama untuk
menyusun serangkaian panduan untuk praktik akuntansi di Amerika Serikat terjadi pada tahun 1930
menyusul jatuhnya pasar modal pada tahun sebelumnya. Saat itu, American Institute of Certified Public
Accounting (AICPA), yang sebelumnya bernama Americal Institute of Accountant, bersama dengan
Komite Daftar Saham (Committee of Stock List) New York Stock Exchange (NYSE) mengembangkan lima
prinsip akuntansi yang harus diikuti oleh perusahaan yang terdaftar pada pasar modal tersebut.
Dokumen ini dipandang sebagai prinsip akuntansi berterima umum (generally accepted accounting
principles – GAAP) formal pertama dalam sejarah akuntansi di AS. Pada tahun 1936, AICPA membentuk
Special Committee on Development of Accounting Principles, yang segera diganti dengan Commitee on
Accounting Procedures (CAP), yang sampai tahun 1957 menghasilkan berbagai pernyataan prinsip
akuntansi yang dipublikasikan dalam 51 Accounting Research Bulletin (ARB).

Seiring dengan perbaikan ekonomi dan tumbuhnya perusahaan, sekitar tahun 1950-an, peran laporan
keuangan dipandang semakin penting. Namun demikian, berbagai permasalahan terkait pelaporan,
khususnya terkait keseragaman dan keterbandingan, mulai menjadi permasalahan. Saat itu mulai
muncul ketidakpuasan SEC mengenai kegagalan CAP dalam membuat rekomendasi-rekomendasi positif
untuk permasalahan-permasalahan yang dihadapi ketika itu. Situasi ini akhirnya mengarah pada konflik
di antara kedua lembaga tersebut, dan salah satu konflik yang terkenal terkait dengan all-inclusive
income statement dan current operating performance. Persoalan lain yang mulai mengemuka para era

9
itu adalah keprihatinan profesi atas ketidakmampuan akuntansi dalam menghadapi perubahan level
harga.

Berbagai ketidakpuasan profesi terhadap CAP akhirnya berujung pada reorganisasi AICPA dan
pembentukan Accounting Principles Board (APB) dan Accounting Research Division (ARD) dalam AICPA
pada tahun 1959. APB dibentuk atas inisiatif Presiden AICPA, Alvin R. Jennings, untuk memulai era baru
dalam pengembangan prinsip akuntansi dengan menggunakan pendekatan deduktif – berkebalikan
dengan pendekatan CAP yang cenderung induktif. APB memiliki tugas untuk mengeluarkan pernyataan,
yang dikenal sebagai APB Opinion, atas hasil penelitian ARD yang dipublikasikan dalam Accounting
Research Studies (ARS). Sampai dengan tahun 1970, APB telah mengeluarkan 17 APB Opinion,
sedangkan ARD telah mempublikasikan 10 ARS. Dalam mengeluarkan opini, APB tidak harus menyetujui
hasil penelitian ARD. Sebagai contoh, ARS 1 (The Basic Postulates of Accounting) dan ARS 3 (A Tentative
Set of Broad Accounting Principles for Business Enterprises) ditolak oleh APB, melalui APB Statement 1,
karena secara radikal berbeda dengan prinsip akuntansi umum yang berlaku saat itu. Sebagai gantinya,
ARD melakukan penelitian kembali dan menghasilkan ARS 7 (Inventory of Generally Accepted Accounting
Principles for Business Enterprises) yang kemudian disetujui oleh APB dengan mengeluarkan APB
Statement 4 tentang Basic Concepts and Accounting Principles Underlying Financial Statements of
Business Enterprises. Sayangnya, pernyataan ini tidak memiliki kekuatan otoritatif karena tidak bisa
memaksa siapapun untuk mengikutinya, karena hanya berupa statement, bukan opinion. Oleh karena
itu, APB dianggap gagal menghasilkan postulat dasar dan prinsip akuntansi yang luas, setidaknya bersifat
mengikat dan komprehensif.

Dalam perjalanannya, APB dan ARD tidak jarang memperoleh kritikan. Kritik pertama diarahkan pada
ARS 3, yang memiliki perbedaan radikal dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum ketika itu.
Ketidaksetujuan profesi terhadap APB juga terjadi ketika terbit APB Opinion 2 terkait investment tax
credit. Karena tidak setuju dengan pilihan APB yang menerapkan metode deferral untuk investment tax
credit ini, banyak perusahaan akuntansi akhirnya meminta klien mereka untuk tidak mengikuti aturan
ini. Peristiwa lain yang menunjukkan ketidakberdayaan APB adalah kesulitannya dalam merumuskan
standar akuntansi yang definitif untuk penggabungan usaha, dan hal ini akhirnya mendorong AICPA
untuk mengakhiri keberadaan APB dengan membentuk dua kelompok studi khusus: The Study Group on
Establishment of Accounting Principles atau dikenal sebagai Wheat Committee (dipimpin oleh Francis M.
Wheat) dan The Study Group on the Objectives of Financial Statement atau Trueblood Committee
(dipimpin Robert M. Trueblood). Kelompok pertama memberikan rekomendasi perlunya dibentuk
Financial Accounting Standard Board (FASB), yang akhirnya berdiri pada 1 Juli 1973. Sedangkan
kelompok kedua menghasilkan rumusan tujuan pelaporan keuangan.

Dalam melaksanakan tugasnya, FASB cukup produktif bila dibandingkan dengan pendahulunya. Sampai
dengan Juni 2007, FASB telah mengeluarkan 159 Statement of Financial Accounting Standards dan
berbagai interpretasi dan buletin teknis. Sebagai tambahan, pada antara 1978 dan 1985 FASB telah
mengeluarkan enam Statements of Financial Accounting Concepts (SFAC) dan SFAC ketujuh pada tahun
2000. Pernyataan-pernyataan ini kemudian menjadi rerangka konseptual (conceptual framework) yang
menjadi dasar bagi penilaian standar dan praktik akuntansi sampai hari ini.

10
Selain penyusunan standar akuntansi berterima umum seperti yang dilakukan oleh FASB, muncul pula
penyusunan standar akuntansi yang akan diberlakukan secara internasional sejak tahun 1970-an. Upaya
ini ditandai dengan pendirian International Accounting Standard Committee (IASC) pada bulan Juni 1973
yang disponsori oleh lembaga-lembaga akuntansi dari Austalia, Kanada, Jerman, Perancis, Irlandia,
Belanda, Meksiko Jepang, Inggris dan Amerika Serikat. Pada tanggal 1 April 2001, International
Accounting Standard Board (IASB) didirikan untuk menggantikan IASC (Rosenberg, 2012). IASB bertugas
untuk menyusun standar pelaporan keuangan internasional yang dikenal dengan IFRS (International
Financial Reporting Standards) dan mendorong penerapan IAS. Sampai saat ini, IASB telah membuat
sembilan IFRS dan 41 IAS (IFRS Foundation, 2012).

Berbeda dengan standar akuntansi buatan FASB, IAS dan IFRS dikembangkan sebagai respon terhadap
semakin menyatunya pasar keuangan global. Penyusunan standar internasional tersebut tidak lagi
ditujukan untuk menyelesaikan masalah fundamental terkait perlakuan akutansi dan pelaporan
keuangan melainkan untuk memenuhi kepentingan praktis investor global akan keseragaman praktik
akuntansi dan keterbandingan laporan keuangan. Bagi investor, penyeragaman tersebut bermanfaat
dalam menyediakan informasi yang relevan bagi keputusan investasi di pasar global.

4. Analisis Perkembangan Akuntansi dari Perspektif Revolusi Sains


Dengan melihat sejarah perkembangan akuntansi seperti telah dijelaskan di atas, pertanyaan pertama
mungkin muncul dalam kaitan revolusi sains Kuhn adalah di mana posisi akuntansi sekarang? Apakah
sudah memasuki fase normal science, berada dalam periode krisis, atau sedang berada dalam masa
revolusi yang akan melahirkan era normal science yang baru?

Kuhn (1970) menjelaskan bahwa fase pertama perkembangan sains dimulai dari fase pre-paradigm. Jika
kita bertolak dari pemahaman paradigma utama akuntansi, yaitu pengukuran (measurement), maka
perkembangan akuntansi pada fase ini terjadi terjadi pada era sebelum tahun 1930-an, di mana konsep-
konsep akuntansi masih berada dalam tahap embrio dan belum mewujud dalam sebuah paradigma yang
dominan. Dengan demikian, dari sisi waktu fase pre-paradigm sudah dimulai jauh sebelum Paciolo
menemukan teknik pencatatan pada tahun 1494 dan berakhir setelah terjadi Depresi Besar pada tahun
1930-an.3 Yang terjadi dalam kurun waktu itu adalah pencarian bentuk dan konsensus-konsensus terkait
pelaporan informasi keuangan dan hal ini ditandai dengan ketiadaan praktik pencatatan dan bentuk
pelaporan keuangan menjadi ciri utama era ini. Apa yang terjadi selama kurun waktu tersebut paralel
dengan pengertian Kuhn (1970:4) berikut ini.
…the earl developmental stages of most sciences have been characterized by continual
competition between a number of distinct views of nature, each partially derived from,
and all roughly compatible with, the dictates of scientific observation and method. What
differentiated these various schools was not one or another failure of method— they
were all s ie tifi —but what we shall come to call their incommensurable ways of
seeing the world and of practicing science in it.

3
Paper ini mendasarkan analisis pada sejarah perkembangan akuntansi yang terjadi di Amerika Serikat, seperti
telah dinyatakan sebelumnya.

11
Pada masa-masa itu, upaya untuk membuat suatu konsensus mulai dilakukan untuk mengatasi berbagai
variasi prakti akuntansi. Terbitnya Companies Act di Inggris tahun 1844, misalnya, menjadi contoh
pertama mengenai upaya itu, meskipun akhirnya gagal karena para pengusaha lebih memilih
kesukarelaan dalam hal pelaporan. Praktik akuntansi yang praktis tanpa konsensus itu kemudian
berlanjut sampai dengan awal tahun 1900-an sampai akhirnya terjadi krisis pasar modal pada tahun
1929 yang berujung pada era Depresi Besar di Amerika Serikat. Dari perspektif akuntansi, bencana ini
terjadi karena ketiadaan pegangan dalam menilai aset yang dilaporkan perusahaan. Banyak perusahaan
melakukan penilaian aset terlalu tinggi sehingga akhirnya memicu krisis pasar modal ketika itu.

Kejadian itu bisa dikatakan sebagai tonggak bagi perkembangan akuntansi dengan basis pengukuran
biaya historis. Basis pengukuran itu akhirnya dipilih sebagai jalan keluar atas permasalahan seringnya
penilaian kembali aset-aset oleh perusahaan. Kesepakatan ini dapat dikatakan sebagai konsensus yang
menandai era baru akuntansi yang diterima oleh komunitas akuntansi. Ketika ini terjadi, fase
perkembangan akuntansi mulai beralih pada fase normal science.

Di samping munculnya konsensus, fase normal science juga ditandai dengan adanya berbagai penelitian
yang dilakukan untuk memperkuat praktik. Kuhn (1970: 10) menyatakan bahwa
or al s ie e ea s resear h fir l ased upo o e or ore past s ie tifi
achievements, achievements that some particular scientific community acknowledges
for a time as supplying the foundation for its further practice.

Wells (1976) sebelumnya telah menyatakan mengenai berbagai penelitian yang telah dilakukan pada era
1950-an sampai 1970-an oleh berbagai ilmuwan mulai dari Littleton (1953) sampai Sterling (1970).
Penelitian-penelitian tersebut dilakukan sebagai upaya untuk memperkuat konstruksi akuntansi, mulai
dari pencarian asumsi-asumsi yang mendasari praktik akuntansi sampai dengan prinsip dan teori
akuntansi.

Dari uraian sejarah akuntansi di atas terlihat bahwa fase normal ini tampaknya tidak berlangsung lama.
Sejak tahun 1970-an, paradigma akuntansi berbasis biaya historis mulai memperoleh kritik ketika tidak
mampu menjelaskan perubahan harga yang terjadi, dan ketidakmampuan ini merupakan awal dari
periode krisis dalam akuntansi (Wells, 1976). Dalam terminologi Kuhn, kejadian semacam ini bisa
diartikan sebagai sebuah anomali. Kuhn (1970:82-83) menyatakan bahwa
When .. an anomaly comes to seem more than just another puzzle of normal science, the
transition to crisis and to extraordinary science has begun. The anomaly itself now
comes to be more generally recognized as such by the profession. More and more
attention is devoted to it ore a d ore of the field s ost e i e t e . If it still
continues to resist, as it usually does not, many of them may come to view its resolution
as the subje t atter of their dis ipli e….But with continuing resistance, more and more
of the attacks upon it will have involved some minor or not so minor articulation of the
paradigm, no two of them quite alike, each partially successful, but none sufficiently so
to be accepted as paradigm by the group. Through this proliferation of divergent
articulations (more and more frequently they will come to be described as ad hoc
adjustments), the rules of normal science become increasingly blurred. Though there still

12
is a paradigm, few practitioners prove to be entirely agreed about what it is. Even
formerly standard solutions of solved problems are called in question.

Sejak saat itu, berbagai penelitian dilakukan sebagai langkah untuk memberi jawaban atas
ketidakmampuan konsep biaya historis sekaligus memunculkan konsep-konsep alternatif yang
dipandang dapat mengatasi persoalan yang dihadapi. Wells (1976: 478) mengindentifikasi munculnya
school of thought yang mewakili konsep-konsep alternatif biaya historis, yaitu Price-Level Adjusted
Accounting, Replacement Cost Accounting, Deprival Value Accounting dan Net Realizable Value
Accounting. Munculnya berbagai konsep tandingan dalam mengatasi masalah pengukuran menunjukkan
keraguan praktisi dan akademisi terhadap kemampuan konsep biaya historis yang pada awalnya
diperlakukan sebagai sebuah konsensus dalam akuntansi. Namun demikian, meski diragukan, konsep
biaya historis masih dipraktikkan sampai sekarang. Sebagai sebuah paradigma, biaya historis dipandang
masih memiliki keunggulan.

Sampai saat ini, keberlakuan konsep biaya historis memperoleh tantangan yang cukup berat, terutama
sejak IASB mendorong diberlakukannya IFRS yang memiliki basis pengukuran fair value. Dari perspektif
Kuhn, penulis berpendapat bahwa pemberlakuan IFRS ini tidak dapat dikatakan sebagai jawaban atas
krisis dalam akuntansi, melainkan justru semakin memperdalam krisis. Alasan utamanya adalah karena
penerapan fair value ternyata juga tidak mampu menghilangkan permasalahan akuntansi terkait
pengukuran. Terlepas dari fakta mengenai adopsi IFRS oleh lebih dari 100 negara di dunia, kritik
terhadap fair value atau current value accounting tetap ada, seperti halnya yang terjadi pada akuntansi
berbasis biaya historis.
Contoh paling nyata mengenai pertentangan tersebut adalah penerbitan IAS 39 tentang pengakuan dan
pengukuran instrument keuangan (Financial Instruments: Recognition and Measurement). Standar yang
berlaku efektif tanggal 1 Januari 2001 tersebut mengusulkan penerapan akuntansi fair value untuk jenis-
jenis instrumen keuangan yang utama. Standar ini ditujukan untuk lembaga-lembanga keuangan,
khususnya industri perbankan. Pada November 2001, Bank Sentral Eropa telah melontarkan kritik atas
penerapan standar ini karena dinilai justru akan membawa dampak buruk bagi pertumbuhan ekonomi.
Akuntansi fair value juga dianggap bertentangan dengan prinsip transparansi dan keterbandingan
laporan keuangan perbankan serta mendorong industri perbankan untuk meninggalkan akuntansi
konservatif yang lebih mengutamakan prinsip kehati-hatian. Terkait berbagai kritik ini, IASB tetap
bersikukuh untuk menerapkan IAS 39 dengan melakukan penyesuaian-penyesuaian, misalnya pelaporan
keuntungan dan kerugian yang belum terealisasi (unrealized gains and losses) pada laporan laba
komprehensif (Scott, 2012).
Meski berbagai modifikasi dilakukan untuk mengatasi kelemahan fair value, kritik terhadap konsep ini
tetap berlanjut. Para pendukung historical costs menyatakan bahwa prinsip ini lebih bermanfaat bagi
investor. Argumennya adalah bahwa kinerja masa lalu adalah peramal yang terbaik dari kinerja masa
lalu. Di bawah historical costs, laporan keuangan utamanya adalah statement of earnings. Neraca
merupakan laporan biaya-biaya aset yang menunggu ditemukan (matched) dengan pendapatan yang
belum terealisasi dan modal yang diperlukan untuk memperoleh aset tersebut. Sementara pendukung
current value menyatakan bahwa history tidak berulang sendiri secara tepat. Perusahaan berjalan di
dalam lingkungan yang selalu berubah. Konsekuensinya, current values atas aset dan kewajiban

13
memberikan indikasi paling berguna terkait masa depan perusahaan. Argumen ini didasarkan pada
Samuelson (1965, dalam Scott, 2012) yang menunjukkan bahwa ketika pasar berjalan baik, harga pasar
berfluktuasi secara acak. Jika demikian, maka current price adalah predictor terbaik untuk future price.

Pada titik ini, jelas kiranya bahwa fase evolusi sains yang dialami oleh akuntansi saat ini adalah fase krisis
yang ditandai dengan berbagai konflik atau anomali. Fase krisis ini belum mampu membawa akuntansi
bergerak pada fase berikutnya karena sampai detik ini konsensus baru mengenai pengukuran belum
muncul. Adopsi IFRS, menurut penulis, tidak dapat dianggap sebagai sebuah konsensus yang mengarah
pada munculnya paradigm baru akuntansi, melainkan hanyalah pilihan akuntansi yang memiliki tujuan
selain mengatasi kelemahan biaya historis. IFRS diterapkan karena alasan praktis terkait kepentingan
investasi global yang mengutamakan pemenuhan kebutuhan informasi para investor. Scott (2012)
bahkan menyatakan keraguannya akan masa depan current value accounting karena penerapannya juga
akan dapat memicu masalah bila asumsi-asumsi penerapannya tidak terpenuhi. Alasan ini setidaknya
menjelaskan bahwa akuntansi sampai saat ini belum dapat dikatakan keluar dari fase krisis. Kuhn
(1970:85) menyatakan bahwa
The transition from a paradigm in crisis to a new one from which a new tradition of
normal science can emerge is far from a cumulative process, one achieved by an
articulation or extension of the old paradigm. Rather it is a reconstruction of the field
from new fundamentals, a re o stru tio that ha ges so e of the field s ost
elementary theoretical generalizations as well as many of its paradigm methods and
applications. During the transition period there will be a large but never complete
overlap between the problems that can be solved by the old and by the new paradigm.
But there will also be a decisive difference in the modes of solution. When the transition
is complete, the profession will have changed its view of the field, its methods, and its
goals.

Untuk dapat bergerak dari krisis, yang berarti munculnya normal science yang baru, diperlukan prasyarat
bila paradigm baru yang muncul bukan merupakan perpanjangan atau modifikasi dari paradigm lama.
Menggunakan istilah Kuhn, penerapan current value accounting tidak dapat dikatakan sebagai
paradigma baru karena pandangan profesi mengenai keterbatasan pengukuran masih dominan dalam
praktik akuntansi.

Selanjutnya, aspek lain yang menyebabkan akuntansi tidak bisa keluar dari krisis, atau kegagalan sejarah
dalam melahirkan paradigm baru, adalah intervensi yang dilakukan oleh komunitas atau pihak lain yang
memiliki otoritas, yaitu pemerintah. Dari awal perkembangan akuntansi sampai dengan saat ini, kita
telah menyaksikan bagaimana campur tangan pemerintah dan lembaga profesi justru lebih menentukan
wajah akuntansi sebagai sebuah disiplin. Idealnya, menurut Kuhn, sebuah paradigma akan dengan
sendirinya dapat membawa perkembangan sains ke dalam fase normal. Kuhn (1970:45) menyatakan
ah a paradigms could determine normal science without the intervention of discoverable rules.
Namun demikian, meskipun akhirnya intervensi tetap dilakukan sebagai bagian dari penyelesaian
perdebatan paradigma, sains bisa saja akan memasuki era revolusi. Hanya saja, revolusi tersebut tidak
dapat diklasifikasikan sebagai revolusi saintifik, seperti dinyatakan oleh Kuhn (1970:167) berikut ini.

14
If authority alone, and particularly if nonprofessional authority, were the arbiter of
paradigm debates, the outcome of those debates might still be revolution, but it would
not be scientific revolution.

Terkait intervensi dari pihak yang memiliki otoritas ini, penulis berpendapat bahwa munculnya berbagai
regulasi yang tidak dapat dilepaskan dari perkembangan akuntansi bisa dikatakan sebagai faktor utama
yang justru menghalangi perkembangan akuntansi itu sendiri. Teori-teori alternatif tidak akan muncul,
dan mewujud dalam paradigma baru, bila regulasi tetap menjadi pilihan utama dalam menyelesaikan
berbagai konflik tersebut. Jika hal ini tetap berlanjut, maka yang akan disebut sebagai teori akuntansi
tidak lain regulasi itu sendiri (Gaffikin, 2005). Lalu, dampak yang akan kita saksikan pada masa yang akan
datang adalah hilangnya minat para peneliti untuk melakukan penyelesaian konflik paradigma
akuntansi. Para peneliti akuntansi akan lebih tertarik untuk mempelajari paradigma dalam bidang ilmu
lain yang terkait akuntansi, seperti dinyatakan oleh Cushing (1989:37).
The most devastating effect of these conditions has been that many of today's leading
accounting scholars no longer display an interest in addressing the fundamental issues of
accounting, but have instead gravitated toward the more scientifically satisfying study of
paradigms in other disciplines that are related to accounting.

5. Simpulan
Dari uraian sejarah perkembangan akuntansi beserta analisis dari perspektif Kuhn di atas, penulis
menyimpulkan bahwa fase krisis dalam akuntansi tampaknya tidak akan segera berakhir dalam waktu
dekat. Bisa dikatakan, krisis yang dialami bahkan semakin dalam karena pertentangan dalam paradigm
pengukuran, yang diwakili oleh prinsip historical cost dan fair value, semakin nyata seiring dengan
penerapan standar akuntansi internasional. Berbagai kritik terhadap penerapan fair value telah dijawab
oleh IASB melalui berbagai modifikasi seperti tampak dalam penerapan IAS 39 yang telah dijelaskan di
atas. Upaya untuk mengatasi kelemahan sebuah konsep yang disepakati, seperti fair value, sebenarnya
juga dilakukan pada masa lalu ketika historical cost dirasa tidak mampu mengatasi persoalan kenaikan
harga, dengan dirumuskannya konsep-konsep alternatif. Namun demikian, berbagai upaya tersebut
sebenarnya tidak pernah berhasil menyelesaikan masalah fundamental dalam paradigm pengukuran
dalam akuntansi.
Dalam menghadapi persoalan ketidaksempurnaan paradigma pengukuran tersebut, pemerintah dan
lembaga penyusun standar telah menggunakan kekuasaan yang dimilikinya melalui berbagai peraturan
dan standar akuntansi. Dengan demikian, perkembangan akuntansi selanjutnya lebih ditentukan oleh
pembuatan dan penerapan peraturan yang harus diikuti oleh para pelaku akuntansi. Bagi penulis,
munculnya peraturan dan standar akuntansi tersebut justru bisa dikatakan sebagai faktor penghambat
perkembangan teori akuntansi. Berbagai anomali yang muncul terkait penerapan akuntansi berbasis
historical cost dan current value tidak terpecahkan melalui berbagai standar akuntansi baru, termasuk
standar akuntansi internasional yang dibuat oleh IASB dan mulai diterapkan oleh banyak negara di
dunia.
Dari persepektif Kuhn, intervensi pemerintah dan lembaga penyusun standar melalui peraturan dan
standar akuntansi justru akan semakin memperdalam krisis akuntansi dan menjauhkan upaya kita untuk

15
mencari teori akuntansi tunggal yang berterima umum. Pendapat Watts dan Zimmernan (1978)
mengenai penawaran dan permintaan dalam akuntansi rupanya masih relevan sampai sekarang, dan hal
tersebut telah menjadi penyebab utama dari kegagalan kita dalam menciptakan teori akuntansi tunggal.
Begitu juga, pandangan yang menyatakan akuntansi hanyalah sebuah teknologi yang dikembangkan
untuk membantu pemecahan masalah manusia (Suwardjono, 2005) dan dikembangkan dengan basis
falsafah utilitarian yang berorientasi pada kepentingan pragmatis, seperti dilontarkan oleh Cowan (1968)
serta Beaver dan Demski (1974), juga tidak salah. Hal terakhir ini tampak nyata ketika pembuatan
standar akuntansi ternyata tidak lepas dari proses politik yang melibatkan kompromi atas berbagai
kepentingan konstituen akuntansi, seperti tarik menarik antara IAS dan industri perbankan terkait
penerapan IAS 39. Bila demikian, harapan kita terhadap akuntansi tentu tidak akan muluk-muluk karena
berbagai penelitian akuntansi pada akhirnya hanya akan ditujukan untuk mendukung status quo.
Penelitian-penelitian kritis dan menawarkan ide dan konsep radikal tentu akan sulit mendapat tempat
dalam memberikan sumbangan pada konflik paradigma pengukuran akuntansi sepanjang kepentingan
pragmatis dan proses politik selalu mengambil alih arah perkembangan akuntansi.
Sebagai penutup, penulis berpendapat bahwa perubahan akuntansi tidak akan terjadi sepanjang kita
tidak beranjak dari tempat berdiri kita saat ini. Dengan kata lain, kita akan bisa melahirkan paradigma
baru yang bisa menandingi paradigma yang dominan saat ini, apabila kita mampu keluar dari dominasi
paradigma pengukuran. Namun demikian, penulis sendiri skeptis karena usulan ini hanya bisa dilakukan
dengan mendefinisikan kembali pengertian akuntansi dan hal ini hanya mungkin dilakukan bila
akuntansi melepaskan diri dari ilmu ekonomi yang selama ini menjadi induk dari akuntansi. Kita tahu
bahwa akuntansi yang berlaku saat ini berkembang karena konsekuensi dari sistem ekonomi kapitalis
yang mengutamakan pertumbuhan modal yang dimiliki oleh para investor. Selama ini basis sistem
ekonomi ini sebenarnya telah menjadi asumsi dasar akuntansi kita terima begitu saja. Oleh karena itu,
akuntansi tidak akan berubah sepanjang asumsi yang mendasarinya tetap sama.

16
Daftar Pustaka

Beaver, W.H. and J.S. Demski (1974) The Nature of Financial Accounting Objectives: A Summary and Synthesis,
Journal of Accounting Research, 12:170-187
Chambers, R.J. (1955) Blueprint for a Theory of Accounting, Accounting Research, Januari: 17-15
Chambers, R.J. (1963) Why Bother with Postulates?, Journal of Accounting Research, Spring: 3-15
Chua, W.F. (1986) Radical Developments in Accounting Thought, The Accounting Review. LXI(4): 601-632
Cowan, T.K. (1968) A Pragmatic Approach to Accounting Theory, The Accounting Review, 43(1):94-100
Cushing, B.E. (1989) A Kuhnian Interpretation of The Historical Evolution of Accounting, The Accounting Historian
Journal, 16(2):1-41.
Devine, C.T. (1960) Research Methodology and Accounting Theory Formation, The Accounting Review, Oktober:
387-399.
Fu ell, W. 1995 Preser i g History i A ou ti g: “eeki g Co o Grou d Bet ee Ne A d Old History,
Accounting & Finance Working Paper 95/04, School of Accounting & Finance, University of Wollongong.
Gaffikin, M. (2005) Regulation as Accounting Theory, Accounting & Finance Working Paper 05/09, School of
Accounting & Finance, University of Wollongong.
Gaffikin, M. (2006) The Critique of Accounting Theory, Accounting and Finance Working Paper Series, Faculty of
Commerce, Accounting & Finance. University of Wollongong. 06 (25).
Gaffikin, M. (2010) Being Critical in Accounting, International Review of Business Research Papers, 6(5): 33-45.
Goia, D. dan E. Pitre (1990) Multiple Paradigms on Theory Building, The Academy of Management Review, 15(4):
584-602.
IFRS Foundation dan IASB, http://www.ifrs.org/IFRSs/Pages/IFRS.aspx, diakses tanggal 5 Desember 2012
Kuhn, T. (1970) The Structure of Scientific Revolutions, The University of Chicago, 1970.
Matessich, R. (1957) Toward a General and Axiomatic Foundation of Accountancy, The Accounting Review,
Oktober: 328-356.
Rosenberg, J. The Stock Market Crash of 1929, About.com Guide, history1900s.about.com/od/1920s/a/
stockcrash1929.htm, diakses 15 November 2012.
Scott, W.R. (2012) Financial Accounting Theory, Pearson Prentice Hall. 6th Ed: 1-24.
Sterling, R.R. (1970) On Theory Construction and Verification, The Accounting Review, Juli: 444-457.
Suwardjono (2005) Teori Akuntansi: Perekayaan Pelaporan Keuangan, BPFE, Yogyakarta. Edisi Ketiga: 9
Vatter, W.J. (1963) Postulates and Principles, The Journal of Accounting Research, Autumn: 179-197.
Watts, R.L. dan J.L. Zimmerman (1978) Toward a Positive Theory of the Determination of Accounting Standards,
The Accounting Review, (Januari): 112 – 134.
Watts, R.L. dan J.L. Zimmerman (1979) The Demand for and Supply of Accounting Theories: The Market for
Excuses. The Accounting Review, (April): 273 – 305.
Watts, R.L. dan J.L. Zimmerman (1990) Positive Accounting Theory: A Ten Years Persective. The Accounting Review,
65(1): 131 – 156.
Wells, M.C. (1976) A Revolution in Accounting Thought?, The Accounting Review, 51(3): 471-482.
Wolk, H.I., J.L Dodd and J.J. Rozyki (2008) Accounting Theory: Conceptual Issues in a Political and Economy
Environment, 7th edition, Sage Publications, Inc: 151 – 182.

17

Anda mungkin juga menyukai