Anda di halaman 1dari 22

KEBIJAKAN PELAYANAN PENANGGULANGAN HIV

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH MARTAPURA

PEMERINTAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU TIMUR


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH MARTAPURA
2022
DAFTAR ISI

Halaman Judul
Sk Direktur Tentang Penetapan Pelayanan Penanggulangan HIV Daftar Isi

BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................................

BAB II PROFIL RUMAH SAKIT……………………………………………………….............

BAB III TATALAKSANA PELAYANAN..................................................................................

BAB III DOKUMEN.....................................................................................................................


BAB I
PENDAHULUAN

A. Gambaran Umum
Untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Indonesia,
Pemerintah menetapkan beberapa program nasional yang menjadi prioritas.
Program Prioritas tersebut meliputi:
- Menurunkan angka kematian ibu dan bayi serta meningkatkan angka
kesehatan ibu dan bayi
- Menurunkan angka kesakitan HIV/AIDS
- Menurunkan angka kesakitan Tuberkulosis
- Pengendalian resistensi antimikroba
- Pelayanan geriatri.
Implementasi program ini di rumah sakit dapat berjalan baik apabila
mendapat dukugan penuh dari pimpinan.direktur rumah sakit berupa
penetapan regulasi, pembentukan organisasi pengelola, penyediaan fasilitas,
sarana, dan dukungan finansial untuk mendukung pelaksanaan program.

B. Sasaran Penurunan Angka Kesakitan HIV/AIDS


Dalam waktu yang singkat, virus Human Immunodeficiency Virus
(HIV) telah mengubah keadaan sosial, moral, ekonomi dan kesehatan dunia.
Saat ini HV/AIDS merupakan masalah kesehatan terbesar yang dihadapi oleh
komunitas global.

Saat ini pemerintah telah mengeluarkan kebijakan dengan melakukan


peningkatan fungsi pelayanan kesehatan bagi orang hidup dengan HIV/AIDS
(ODHA). Kebijakan ini menekankan kemudahan akses orang hidup dengan
HIV/AIDS (ODHA) untuk mendapatkan layanan pencegahan, pengobatan,
dukungan dan perawatan, sehingga diharapkan lebih banyak orang hidup
dengan HIV/AIDS (ODHA) yang memperoleh pelayanan yang berkualitas.

Rumah sakit dalam melaksanakan penanggulangan HIV/AIDS sesuai


dengan pelayanan bagi rujukan dengan orang hidup dengan HIV/AIDS
(ODHA) dan satelitnya dengan langkah-langkah pelaksanaan sebagai berikut:
- Meningkatkan fungsi pelayanan Voluntary Counseling and Testing
(VCT)
- Meningkatkan fungsi pelayanan Prevention Mother to Child
Transmision (PMTCT)
- Meningkatkan fungsi pelayanan Antiretroviral Therapy (ART) atau
bekerja sama dengan RS yang ditunjuk
- Meningkatkan fungsi pelayanan infeksi oportunistik (IO)
- Meningkatkan fungsi pelayanan pada ODHA dengan faktor risiko
Injection Drug Use (IDU)
- Meningkatkan fungsi pelayanan penunjang yang meliputi:
pelayanan gizi, laboratorium, dan radiologi, pencatatan dan pelaporan.

C. Tujuan
1. Tujuan umum :
Terselenggaranya pelayanan penanggulangan HIV yang bermutu di
Rumah Sakit Umum Daerah Martapura
2. Tujuan Khusus :
a) Sebagai pedoman dalam pelaksanaan pelayanan penanggulangan
HIV di Rumah Sakit Umum Daerah Martapura
b) Untuk mengadakan dan pengawasan dan kontrol mutu terhadap
pelaksanaan pelayanan penanggulangan HIV di Rumah Sakit
Umum Daerah Martapura.

D. Ruang lingkup pelayanan penanggulangan HIV


Ruang lingkup pelayanan penanggulangan HIV meliputi:

1. Tes/Pemeriksaan dan Konseling HIV (TKHIV)


Suatu layanan untuk mengetahui adanya infeksi HIV di tubuh seseorang.
Ada 2 jenis pendekatan dalam TKHIV, yaitu:
a. Konseling dan Tes HIV atas inisiatif pemberi layanan kesehatan
yang disingkat dengan KTIP (PITC/Provider-Initiated Testing and
Counselling): Yang dilakukan apabila pasien yang sedang dirawat
inap/rawat jalan berulang dan melihat ada gejala gejala infeksi
opportunistic.
b. Konseling dan tes HIV secara sukarela yang disingkat dengan KTS
(VCT/Voluntary Counselling and Testing)

2. Perawatan, Dukungan, dan Pengobatan (PDP/CST/Care, Support &


Treatment)
Suatu layanan sebagai tindak lanjut terhadap hasil tes HIV yang
menyatakan hasil positif HIV baik berupa pemberian pengobatan anti
retroviral (ART/Antiretroviral Therapy), pemberian dukungan, maupun
pengobatan lain apabila ditemukan adanya infeksi oportunis maupun
komorbid melalui kerjasama dengan bidang pelayanan lainnya.

3. Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA)


Layanan ini mencakup pelayanan Ante Natal Care (ANC) dan
melakukan tes HIV bagi ibu hamil.

E. Batasan Operasional
1. Human Immunodeficiency Virus yang selanjutnya disingkat HIV adalah
Virus yang menyebabkan Acquired Immuno Deficiency Syndrome
(AIDS).
2. Acquired Immuno Deficiency Syndrome yang selanjutnya disingkat
AIDS adalah suatu kumpulan gejala berkurangnya kemampuan
pertahanan diri yang disebabkan oleh masuknya virus HIV dalam tubuh
seseorang.
3. Orang Dengan HIV dan AIDS yang selanjutnya disingkat ODHA adalah
orang yang telah terinfeksi virus HIV.
4. Konseling dan Tes HIV Sukarela yang selanjutnya disingkat KTS adalah
proses konseling sukarela dan tes HIV atas inisiatif individu yang
bersangkutan.
5. Konseling dan Tes HIV atas Inisiatif Pemberi Pelayanan Kesehatan yang
selanjutnya disingkat KTIP adalah tes HIV dan konseling yang dilakukan
kepada seseorang untuk kepentingan kesehatan dan pengobatan
berdasarkan inisiatif dari pemberi pelayanan kesehatan.
6. Konseling adalah komunikasi informasi untuk membantu klien/pasien
agar dapat mengambil keputusan yang tepat untuk dirinya dan bertindak
sesuai keputusan yang dipilihnya.
7. Yang dimaksud berisiko adalah kelompok populasi kunci (PS, penasun,
LSL, waria) dan kelompok khusus: pasien hepatitis, ibu hamil, pasangan
serodiskordan, pasien TB, pasien Infeksi Menular Seksual (IMS), dan
Warga Binaan Permasyarakatan (WBP).
8. PDP merupakan singkatan dari pelayanan, dukungan dan pengobatan
(Care Support and Treatment), adalah suatu layanan terpadu dan
berkesnambungan untuk memeberikan dukungan baik aspek manajerial,
medis, psikologis maupun sosial untuk mengurangi atau menyelesaikan
permasalahan yang dihadapi ODHA selama perawatan dan pengobatan.
9. Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA) adalan pelayanan
yang mencakup pelayanan Ante Natal Care (ANC) dan melakukan tes
HIV bagi ibu hamil, Pelaksanakan layanan PPIA dengan menitikberatkan
pada upaya promotif dan preventif.

F. Landasan Hukum
1. Undang – undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran ;
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor 125,
Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4437) ;
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan ;
4. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang
Rumah Sakit ;
5. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2014 tentang
tenaga Kesehatan ;
6. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2014 tentang
keperawatan ;
7. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2005 tentang
Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara
RI Nomor 4502);
8. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 012 tahun 2012
Tentang Akreditasi Rumah Sakit ;
9. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 56 tahun 2014 Tentang
Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit ;
10. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 69 tahun 2014 Tentang
Kewajiban Rumah Sakit dan Kewajiban Pasien ;
11. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 36 Tahun 2012 tentang Rahasia
Kedokteran (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 915)
;
12. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 21 Tahun 2013 tentang
Penanggulangan HIV dan AIDS (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2013 Nomor 654) ;
13. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 51 Tahun 2013 tentang Pedoman
Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2013 Nomor 978) ;
14. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 21 Tahun 2013 tentang
Penanggulangan HIV dan AIDS (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2013 Nomor 654) ;
15. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 74 Tahun 2014 tentang Pedoman
Konseling dan Tes HIV (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 1713) ;
16. Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Paten
oleh Pemerintah terhadap Obat Antiviral dan Antiretroviral (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 173) ;
17. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 87 Tahun 2014 tentang Pedoman
Pengobatan Antiretroviral ;
18. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.02.02/Menkes/482/2014
tentang Rumah Sakit Rujukan Bagi Orang Dengan HIV AIDS ;
19. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.
01.07/MENKES/90/2019 tentang Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran Tata laksana HIV
20. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1333/Menkes/SK/XII/1999 tentang Standar Pelayanan Minimal RS ;
21. Keputusan Menteri dalam Negeri No I Tahun 2002 tentang pedoman
susunan organisasi dan tata kerja RSUD ;
22. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
131/Menkes/SK/II/2004 tentang Sistem Kesehatan Nasional, diatur
Upaya Kesehatan Perorangan dan Upaya Kesehatan Masyarakat ;
BAB II
PROFIL RUMAH SAKIT
BAB II
TATA LAKSANA PELAYANAN

Pelayanan penanggulangan HIV di RSUD Sekayu melayani:


1. tes/pemeriksaan dan konseling HIV (TKHIV) dengan 2 jenis pendekatan
yaitu KTIP (PITC/Provider-Initiated Testing and Counselling) dan KTS
(VCT/Voluntary Counselling and Testing).
2. Perawatan, Dukungan, dan Pengobatan (PDP/CST{Care, Support &
Treatment}).
3. Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA)
Dalam melaksanakan tugas sehari-hari selalu berhubungan dengan:
 Klinik di instalasi rawat jalan
 Instalasi rawat inap
 Instalasi gawat darurat
 Instalasi farmasi
 Instalasi laboratorium

4.1. Alur Pasien Dalam Pelayanan Penanggulangan HIV


A. Tes/Pemeriksaan dan Konseling HIV (TKHIV)
Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 74 Tahun 2014
tentang Pedoman Konseling dan Tes HIV, KTHIV merupakan pintu
masuk utama pada layanan pencegahan, perawatan, dukungan dan
pengobatan. Dalam kebijakan dan strategi nasional telah dicanangkan
konsep akses universal untuk mengetahui status HIV, akses terhadap
layanan pencegahan, perawatan, dukungan dan pengobatan HIV dengan
visi getting to zero, yaitu zero new HIV infection, zero discrimination
dan zero AIDS related death.
Konseling dan tes HIV harus mengikuti prinsip yang telah disepakati
secara global yaitu 5 komponen dasar yang disebut 5C (informed
consent; confidentiality; counseling; correct test results; connections to
care, treatment and prevention services). Prinsip 5C tersebut harus
diterapkan pada semua model layanan Konseling dan Tes HIV.
1. Informed Consent, adalah persetujuan akan suatu tindakan
pemeriksaan laboratorium HIV yang diberikan oleh pasien/klien
atau wali/pengampu setelah mendapatkan dan memahami
penjelasan yang diberikan secara lengkap oleh petugas kesehatan
tentang tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasien/klien
tersebut.
2. Confidentiality, adalah Semua isi informasi atau konseling antara
klien dan petugas pemeriksa atau konselor dan hasil tes
laboratoriumnya tidak akan diungkapkan kepada pihak lain tanpa
persetujuan pasien/klien. Konfidensialitas dapat dibagikan kepada
pemberi layanan kesehatan yang akan menangani pasien untuk
kepentingan layanan kesehatan sesuai indikasi penyakit pasien.
3. Counselling, yaitu proses dialog antara konselor dengan klien
bertujuan untuk memberikan informasi yang jelas dan dapat
dimengerti klien atau pasien. Konselor memberikan informasi,
waktu, perhatian dan keahliannya, untuk membantu klien
mempelajari keadaan dirinya, mengenali dan melakukan
pemecahan masalah terhadap keterbatasan yang diberikan
lingkungan. Layanan konseling HIV harus dilengkapi dengan
informasi HIV dan AIDS, konseling pra- Konseling dan Tes
pasca-tes yang berkualitas baik.
4. Correct test results. Hasil tes harus akurat. Layanan tes HIV harus
mengikuti standar pemeriksaan HIV nasional yang berlaku. Hasil
tes harus dikomunikasikan sesegera mungkin kepada pasien/klien
secara pribadi oleh tenaga kesehatan yang memeriksa.
5. Connections to, care, treatment and prevention services.
Pasien/klien harus dihubungkan atau dirujuk ke layanan
pencegahan, perawatan, dukungan dan pengobatan HIV yang
didukung dengan sistem rujukan yang baik dan terpantau.

Penyelenggaraan KT HIV adalah suatu layanan untuk mengetahui


adanya infeksi HIV di tubuh seseorang. Layanan ini dapat
diselenggarakan di fasilitas pelayanan kesehatan. KT HIV didahului
dengan dialog antara klien/pasien dan konselor/petugas kesehatan
dengan tujuan memberikan informasi tentang HIV dan AIDS dan
meningkatkan kemampuan pengambilan keputusan berkaitan dengan tes
HIV.
Layanan KTHIV untuk menegakkan diagnosis HIV, dilakukan
melalui 2 (dua) pendekatan, yaitu:
1. Konseling dan tes HIV secara sukarela (KTS/VCT {Voluntary
Counselling and Testing}). VCT merupakan proses konseling
sukarela dan tes HIV atas inisiatif individu yang bersangkutan.
2. konseling dan Tes HIV atas inisiatif pemberi layanan kesehatan
dan (KTIP
/PITC{Provider-Initiated Testing and Counselling}). PITC
merupakan tes HIV dan konseling yang dilakukan kepada seseorang
untuk kepentingan kesehatan dan pengobatan berdasarkan inisiatif
dari pemberi pelayanan kesehatan.

Pasien Rawat Jalan /


Rawat Inap (Terutama
pasien TB, ibu hamil,
populasi kunci)

Beri dukungan
Informasi Pentingnya Perawatan
Tentukan stadium Klinis
Skrining TB
Pemeriksaan CD4
Penyiapan pengobatan ARV
Pesan pencegahan positif
Anjuran tes pasangan
Beri nomor register nasional
Konsultasi ke bagian lain bila diperlukan
B. Tes diagnosis
Pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 21 Tahun 2013 tentang
Penanggulangan HIV dan AIDS ditambahkan dan ditegaskan pula
indikasi tes HIV, yaitu:
1. Setiap orang dewasa, anak, dan remaja dengan kondisi medis yang
diduga terjadi infeksi HIV terutama dengan riwayat tuberkulosis dan
IMS
2. Asuhan antenatal pada ibu hamil dan ibu bersalin
3. Laki-laki dewasa yang meminta sirkumsisi sebagai tindakan
pencegahan HIV.

Diagnosis HIV dapat ditegakkan dengan menggunakan 2 metode


pemeriksaan, yaitu pemeriksaan serologis dan virologis.
a. Metode pemeriksaan serologis
Antibodi dan antigen dapat dideteksi melalui pemeriksaan
serologis.
Adapun metode pemeriksaan serologis yang sering digunakan adalah
1) rapid immunochromatography test (tes cepat)
2) EIA (enzyme immunoassay)
Secara umum tujuan pemeriksaan tes cepat dan EIA adalah sama,
yaitu mendeteksi antibodi saja (generasi pertama) atau antigen
dan antibodi (generasi ketiga dan keempat). Metode western blot
sudah tidak digunakan sebagai standar konfirmasi diagnosis HIV
lagi di Indonesia. DI RSUD Sekayu pemeriksaan yang dilakukan
menggunakan pemeriksaan serolohis dengan rapid
immunochromatography test (tes cepat).
b. Metode pemeriksaan virologis
Pemeriksaan virologis dilakukan dengan pemeriksaan DNA HIV dan
RNA HIV. Saat ini pemeriksaan DNA HIV secara kualitatif di
Indonesia lebih banyak digunakan untuk diagnosis HIV pada bayi.
Pada daerah yang tidak memiliki sarana pemeriksaan DNA HIV,
untuk menegakkan diagnosis dapat menggunakan pemeriksaan RNA
HIV yang bersifat kuantitatif atau merujuk ke tempat yang
mempunyai sarana pemeriksaan DNA HIV dengan menggunakan
tetes darah kering (dried blood spot [DBS]).

Pemeriksaan virologis digunakan untuk mendiagnosis HIV pada :


1) bayi berusia dibawah 18 bulan.
2) infeksi HIV primer.
3) kasus terminal dengan hasil pemeriksaan antibodi negatif namun
gejala klinis sangat mendukung ke arah AIDS.
4) konfirmasi hasil inkonklusif atau konfirmasi untuk
dua hasil laboratorium yang berbeda.
Hasil pemeriksaan HIV dikatakan positif apabila:
1) tiga hasil pemeriksaan serologis dengan tiga metode atau
reagen berbeda menunjukan hasil reaktif.
2) pemeriksaan virologis kuantitatif atau kualitatif terdeteksi
HIV.

Strategi pemeriksaan yang digunakan diasumsikan mempunyai


sensitivitas minimal 99% (batas bawah IK 95%) dan spesifisitas minimal
98% (batas bawah IK 95%), sehingga menghasilkan nilai duga positif
sebesar 99% atau lebih. Strategi pemeriksaan yang dilakukan di
laboratorium atau di komunitas harus memberikan hasil yang sama.
Strategi ini dapat diaplikasikan pada semua format tes serologis. Semua
personel yang terlibat, baik tenaga laboratorium maupun pekerja
kesehatan yang telah dilatih, dalam melakukan tes, termasuk
pengambilan spesimen, prosedur pemeriksaan, pelaporan status HIV
harus berpedoman pada strategi tes ini. Kombinasi tes cepat atau
kombinasi tes cepat dan EIA dapat memberikan hasil yang lebih baik
dibandingkan dengan kombinasi EIA/western blot. Dibawah ini
merupakan alur pemeriksaan HIV di Indonesia untuk orang dewasa.
C. Perawatan, Dukungan, dan Pengobatan (PDP/CST {Care, Support
& Treatment})
Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 74 Tahun 2014
tentang Pedoman Konseling dan Tes HIV , semua pasien yang terinfeksi
HIV harus dirujuk ke layanan pencegahan, perawatan, dukungan dan
pengobatan. Di RSUD Sekayu, ruang dan tim yang melayani KTHIV dan
PDP tergabung menjadi satu. Pasien yang terinfeksi HIV akan dirujuk
oleh dokter VCT ke dokter CST.
Sesudah dinyatakan HIV positif, dilakukan pemeriksaan CD4 dan
deteksi penyakit penyerta serta infeksi oportunistik. Pemeriksaan CD4
digunakan untuk menilai derajat imunodefisiensi dan menentukan
perlunya pemberian profilaksis. Selain itu juga akan dilakukan penentuan
definisi kasus HIV berdasarkan stadium WHO. Selanjutnya ODHA akan
mendapatkan paket layanan perawatan dukungan pengobatan. Alur
pelayanan pasca diagnosis HIV dapat dilihat pada bagan di bawah ini.

16
Setelah diagnosis HIV dinyatakan positif, pasien diberikan
konseling pasca- diagnosis untuk meningkatkan pengetahuannya
mengenai HIV termasuk pencegahan, pengobatan dan pelayanan, yang
tentunya akan memengaruhi transmisi HIV dan status kesehatan pasien.
Isi dari konseling terapi ini termasuk: kepatuhan minum obat,
potensi/kemungkinan risiko efek samping atau efek yang tidak
diharapkan, atau terjadinya sindrom inflamasi rekonstitusi imun (immune
reconstitution inflammatory syndrome/IRIS) setelah memulai terapi
ARV, komplikasi yang berhubungan dengan ARV jangka panjang,
interaksi dengan obat lain, monitoring keadaan klinis, dan monitoring
pemeriksaan laboratorium secara berkala termasuk pemeriksaan jumlah
CD4. Setelah dilakukan konseling terapi, pasien diminta membuat
persetujuan tertulis/informed consent untuk memulai terapi ARV jangka
panjang.
ARV diindikasikan pada semua ODHA berapapun jumlah CD4-nya.
Pada orang dewasa, kombinasi dosis tetap sekali sehari TDF+3TC(atau
FTC)+EFV lebih jarang menimbulkan efek samping berat, menunjukkan
respons terapi dan virologis yang lebih baik dibandingkan dengan
NNRTI sekali atau dua kali sehari atau paduan yang mengandung
protease inhibitor (PI). Kombinasi ini juga digunakan pada remasa. Jika
TDF+3TC(atau FTC)+EFV dikontraindikasikan atau tidak tersedia,
pilihannya adalah AZT+3TC+EFV / AZT+3TC+NVP / TDF+3TC(atau
FTC)+NVP. Untuk anak terinfeksi HIV berusia 3-10 tahun paduan
terapi ARV lini pertama pada anak berusia 3-10 tahun
AZT+3TC+EFV.
Setelah ARV diberikan, pemantauan terhadap efek samping ARV
perlu dilakukan, bahkan jika perlu dilakukan substitusi ARV. Pendekatan
gejala dilakukan untuk mengarahkan pemeriksaan laboratorium yang
akan dilakukan untuk pemantauan toksisitas dan keamanan ARV.
Pemantauan efek samping ARV dengan pendekatan gejala perlu diteliti
lebih lanjut untuk mendapatkan keluaran pengobatan yang optimal,

17
terutama pemeriksaan kreatinin pada pemakaian TDF.
Selain itu, pemantauan respons terapi melalui pemantauan viral load
dan CD4 serta penentuan kegagalan terapi ARV melalui kriteria
virologis, imunologis, dan klinis juga perlu dilakukan.
Selain pemberian ARV, pengobatan dan profilaksis infeksi
oportunistik juga merupakan hal yang harus diperhatikan. Skrining TB
harus dilakukan pada semua pasien HIV.

D. Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA)


Pencegahan penularan infeksi HIV dari ibu ke anak (PPIA)
didefinisikan sebagai intervensi pencegahan infeksi HIV dari ibu kepada
bayi.
a. Pencegahan primer infeksi HIV pada wanita usia reproduksi
b. Pencegahan kehamilan yang tidak diinginkan pada wanita terinfeksi
HIV
c. Pencegahan transmisi vertikal HIV dari ibu kepada bayi
d. Penyediaan terapi, perawatan dan dukungan yang baik bagi ibu
dengan HIV, serta anak dan keluarganya

Pintu masuk layanan PPIA adalah tes HIV pada ibu hamil.
Bersamaan dengan pemeriksaan rutin lainnya pada layanan antenatal
terpadu, tes HIV, hepatitis B, dan sifilis merupakan standar yang harus
dilakukan pada kunjungan ke fasyankes.
Apabila ibu diketahui terinfeksi HIV, upaya pencegahan selanjutnya
bertujuan agar bayi yang dilahirkan terbebas dari HIV, serta ibu dan bayi
tetap hidup dan sehat. Upaya ini terdiri dari pemberian terapi ARV pada
ibu hamil, persalinan yang aman, pemberian terapi ARV profilaksis pada
bayi dan pemberian nutrisi yang aman pada bayi.

4.2. Sistem Rujukan


Dalam merujuk pasien/klien lakukanlah pemberian informasi tentang

18
pihak yang dapat dihubungi dan alamatnya, waktu dan cara
menghubunginya. Petugas dalam jejaring rujukan sebaiknya saling
berkomunikasi secara rutin termasuk bila ada perubahan petugas sehingga
rujukan dapat berjalan secara lancar dan berkesinambungan.
Rujukan dapat berupa rujukan internal dan eksternal:
1. Internal: rujukan kepada layanan lain yang ada pada fasilitas
layanan kesehatan yang sama.
2. Eksternal: rujukan kepada berbagai sumber daya yang ada di
wilayah tempat tinggal klien, baik yang dimiliki oleh pemerintah
ataupun masyarakat.

Layanan KTHIV harus terhubung dalam jejaring Layanan


Komprehensif Berkesinambungan dengan sistem rujukan dan jejaring kerja
yang akan menghasilkan perbaikan akses dan retensi dalam pengobatan.
Jejaring kerja yang mampu menjamin kesinambungan layanan meliputi
sistem rujukan pasien dan keluarganya dari satu layanan ke layanan lainnya
secara timbal balik, baik di dalam maupun di luar sistem layanan, di dalam
satu tingkat layanan atau antar tingkat layanan (layanan yang berbeda
strata), secara horisontal maupun vertikal. Dalam hal tersebut maka perlu
dibentuk jejaring kerjasama atas dasar saling menghormati dan menghargai.
Contoh kesinambungan internal antar unit layanan di dalam RSUD
Martapura antara lain adalah rujukan antar layanan PDP di rawat jalan,
layanan laboratorium, farmasi, poli TB serta klinik obstetri.
Dalam melaksanakan rujukan, perlu dipertimbangkan segi jarak,
waktu, biaya, dan efisiensi. RSUD Martapura sendiri menerima rujukan
dari berbagai puskesmas yang berada di wilayah kabupaten OKU Timur.
Selain itu, RSUD Martapura juga merujuk pasien ke fasilitas pelayanan
kesehatan yang lebih tinggi yaitu ke RSUP Dr. Mohammad Hoesin
Palembang. Dengan demikian, diharapkan jaringan kerjasama yang terjalin
dapat memberikan layanan yang lebih baik kepada klien.

4.3. Pencatatan dan Pelaporan

19
Komponen penting dalam pelaksanaan dan tatakelola KTHIV adalah
monitoring dan evaluasi, untuk memastikan bahwa sumber daya yang ada
termanfaatkan dengan efektif, layanan yang tersedia dimanfaatkan dan
terjangkau secara optimal oleh masyarakat, kegiatan sesuai dengan pedoman
nasional dan target cakupannya tercapai.
Salah satu komponen penting dari monitoring dan evaluasi adalah
pencatatan dan pelaporan, dengan maksud mendapatkan data untuk diolah,
dianalisis, diinterpretasi, disajikan dan disebarluaskan untuk dimanfaatkan.
Data yang dikumpulkan harus valid (akurat, lengkap dan tepat waktu)
sehingga memudahkan dalam pengolahan dan analisis. Petugas Fasyankes
sangat berperan dalam pencatatan data secara akurat dan lengkap tersebut.

Data yang perlu dicatat:


1. Data identitas;
2. Alasan tes HIV dan asal rujukan kalau ada;
3. Tanggal pemberian informasi HIV;
4. Informasi tentang tes HIV sebelumnya bila ada;
5. Penyakit terkait HIV yang muncul: TB, diare, kandidiasis oral,
dermatitis, LGV, PCP, herpes, toksoplasmosis, wasting syndrome,
IMS, dan lainnya;
6. Tanggal kesediaan menjalani tes HIV;
7. Tanggal dan tempat tes HIV;
8. Tanggal pembukaan hasil tes HIV, dan reaksi emosional yang
muncul;
9. Hasil tes HIV, nama reagen ke 1, 2 dan ke 3;
10. Tindak lanjut: rujukan ke PDP, konseling, dan rujukan lainnya;
11. Penggalian faktor risiko oleh tenaga kesehatan/konselor (melalui
rujukan);
12. Nama petugas.

Laporan layanan KTHIV membantu Kementerian Kesehatan dalam


melakukan monitoring dan evaluasi terhadap layanan KTHIV yang ada.

20
Selain itu data yang dilaporkan juga dapat dijadikan bahan perencanaan
berbasis data dalam merencanakan program penanggulangan HIV di masa
yang akan datang. Pelaporan layanan KTHIV dimulai dari laporan bulanan
dari layanan KTHIV kepada dinas kesehatan di kabupaten Musi Banyuasin.
Perangkat lunak aplikasi pelaporan telah dikembangkan oleh
Kementerian Kesehatan yaitu SIHA yang merupakan sistem informasi
manajemen yang digunakan untuk m e l a k u k a n manajemen data
program pengendalian HIV-AIDS dan IMS. SIHA adalah suatu perangkat
lunak aplikasi sistem informasi HIV dan AIDS & IMS yang mampu
menangkap data yang berasal dari UPK, dengan memanfaatkan perangkat
server Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kementerian Kesehatan.

Manfaat aplikasi SIHA terutama adalah :


a. Untuk mendukung manajemen data program pengendalian HIVAIDS
dan IMS pada tingkat layanan, kabupaten/kota, provinsi dan tingkat
nasional.
b. Untuk meningkatkan kualitas informasi yang meliputi validitas,
akurasi dan ketepatan waktu.
c. Untuk meningkatkan efisiensi program dengan cara memproses dan
menganalisis data dalam jumlah besar dengan cepat.

21
BAB IV
DOKUMEN

1. Pedoman Pelayanan Penanggulangan HIV


2. Panduan Pelayanan Penanggulangan HIV
3. SPO
4. SK Tim Pelayanan Penanggulangan HIV

22

Anda mungkin juga menyukai