Anda di halaman 1dari 41

PEDOMAN

PELAYANAN HIV-
AIDS

RUMAH SAKIT MEDIKA INSANI


BUKIT KEMUNING LAMPUNG UTARA
TAHUN 2021/2022
PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT MEDIKA
INSANI BUKIT KEMUNING
NOMOR : 004/ I /HIV/RSMI/ X/2022
TENTANG

PEMBERLAKUAN PEDOMAN
PELAYANAN HIV-AIDS

DIREKTUR RUMAH SAKIT MEDIKA INSANI

Menimbang a. bahwa dalam upaya untuk melindungi karyawan, keluarga dan masyarakat

serta adanya kebutuhan untuk memaksimalkan cakupan dan kualitas


program dan layanan HIV-AIDS yang komprehensif maka program
Penanggulangan HIV-AIDS menjadi perhatian utama jajaran pimpinan
Rumah Sakit

bahwa deteksi dini infeksi HIV sangat penting menentukan prognosis


b. perjalanan infeksi HIV dan mengurangi risiko penularan
Bahwa untuk maksud sebagaimana butir a dan b diatas, maka perlu disusun
c. Pedoman Pelayanan HIV-AIDS yang memudahkan petugas kesehatan

menjalankan tugas penanganan klinis HIV sehubungan dengan deteksi dini,


perawatan, pengobatan dan pencegahan HIV-AIDS.

Mengingat : 1. Undang-undang No. 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular;


2. Keputusan Menteri Kesehatan No. 1285/Menkes/SK/X/2002 tentang

Pedoman Penanggulangan HIV-AIDS dan Penyakit Menular Seksual;

3. Undang-undang No. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit;

4. Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 241/Menkes/SK/IV/X/2006 tentang


Standar Pelayanan Laboratorium Kesehatan Pemeriksaan HIV dan Infeksi
Oportunistik;

5. Keputusan Menteri Kesehatan No. 1278/Menkes/SK/XII/2009 tentang


Pedoman Pelaksanaan Kolaborasi Pengendalian Penyakit TB dan HIV;
6. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 21 tahun 2013 tentang Penanggula
Ngan
HIV dan AIDS;
7. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 74 tahun 2014 tentang Pedoman

Pelaksanaan Konseling dan Tes HIV;


8. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 87 tahun 2014 tentang Pedoman

Pengobatan Antiretroviral;
9. Surat Keputusan Kepala Dinas Kesehatan No.

/ /SK/VI/2016 tentang Ijin Tetap Penyelenggaraan Sarana Kesehatan


MEMUTUSKAN

Menetapkan:
KESATU : Pemberlakuan Pedoman Pelayanan HIV-AIDS Rumah
Sakit Medika Insani
KEDUA : Pedoman Pelayanan HIV-AIDS Rumah
Sakit Medika Insani secara terinci sebagaimana
tercantum dalam keputusan ini.
KETIGA : Surat keputusan ini berlaku selama 3 tahun dan
akan dilakukan evaluasi minimal 1 tahun sekali
KEEMPAT : Apabila hasil evaluasi mensyaratkan adanya
perubahan, maka akan dilakukan perubahan dan
perbaikan sebagaimana mestinya.

Di tetapkan di :
Bukit Kemuning pada
Tanggal 4 Januari 2022
Direktur Rumah Sakit Medika Insani

dr. Lolin Rara Masela, MARS


Tembusan Yth:

1. Tim HIV-AIDS
2. Manajer Pelayanan Medis
3. Manajer Penunjang Medis
4. Manajer Pelayanan Umum
5. Ketua Komite Mutu dan Keselamatan Pasien
6. Kepala Instalasi di Rumah Sakit Candimas Medical Center
7. Arsip
Lampiran Peraturan Direktur Rumah Sakit
Medika Insani

Nomor : 004/ I /HIV/RSMi/ X/2022

Tentang : Pedoman Pelayanan HIV/AIDS

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT, atas segala rahmat yang telah di
karuniakan kepada kita sehingga kita dapat menyelesaikan Buku Pedoman
Pelayanan HIV-AIDS di Rumah Sakit Medika Insani. Buku ini merupakan
acuan dalam pelaksanaan kegiatan pelayanan pada pasien yang akan
menjalani tes HIV, konseling HIV, dan pengobatan HIV-AIDS di Rumah
Sakit Candimas Medical Center . Buku pedoman ini diharapkan dapat
meningkatkan mutu pelayanan di Klinik VCT.
Penyusun menyampaikan terima kasih atas bantuan semua pihak dalam
menyelesaikan Buku Pedoman Pelayanan HIV-AIDS. Kami sangat
menyadari banyak terdapat kekurangan dalam buku ini. Kekurangan ini
secara berkesinambungan terus diperbaiki sesuai dengan tuntunan dalam
pengembangan Rumah Sakit Medika Insani.
DAFTAR ISI

BAB I.PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang ............................................... 1


B. Tujuan Pedoman .............................. 2
C. Ruang Lingkup Pelayananan ............. 2
D. Batasan Operasional ............................ 3
E. Landasan Hukum ............................. 3
BAB II. STANDAR KETENAGAAN .................... 4

A. Kualifikasi Sumber Daya Manusia ............. 4


B. Distribusi Ketenagaan .............................. 4
C. Pengaturan Jaga ........................................ 4
BAB III. STANDAR FASILITAS ............................5

A. Denah Ruang ............................................ 5


B. Standar Fasilitas .......................................5
BAB IV. TATA LAKSANA PELAYANAN ........................ 7
BAB V. LOGISTIK ............................................................ 12
BAB VI. KESELAMATAN PASIEN ............................ 13
BAB VII. KESELAMATAN KERJA ...............................15
BAB VIII. PENGENDALIAN MUTU .............................. 18
BAB IX. PENUTUP ............................................................. 20
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Kajian eksternal pengendalian HIV-AIDS sektor kesehatan yang
dilaksanakan pada tahun 2011 menunjukkan kemajuan program dengan
bertambahnya jumlah layanan tes HIV dan layanan perawatan,
dukungan dan pengobatan HIV-AIDS, yang telah terdapat di lebih dari
300 kabupaten/ kota di seluruh provinsi dan secara aktif melaporkan
kegiatannya. Namun dari hasil kajian ini juga menunjukkan bahwa tes
HIV masih terlambat dilakukan, sehingga kebanyakan ODHA yang
diketahui statusnya dan masuk dalam perawatan sudah dalam stadium
AIDS.
Diperkirakan terdapat sebanyak 591.823 orang dengan HIV-AIDS
(ODHA) pada tahun 2012, sementara itu sampai dengan bulan Maret
2014 yang ditemukan dan dilaporkan baru sebanyak 134.053 orang.
Namun demikian, jumlah orang yang dites HIV dan penemuan kasus
HIV dan AIDS menunjukkan kecenderungan terjadi peningkatan. Pada
tahun 2010 sebanyak
300.000 orang dites HIV dan tahun 2013 sebanyak 1.080.000 orang.
Kementerian Kesehatan terus berupaya meningkatkan jumlah layanan
Konseling dan Tes HIV (TKHIV) untuk meningkatkan cakupan tes
HIV, sehingga semakin banyak orang yang mengetahui status HIV nya
dan dapat segera mendapatkan akses layanan lebih lanjut yang
dibutuhkan.
Tes HIV sebagai satu-satunya “pintu masuk” untuk akses layanan
pencegahan, pengobatan, perawatan dan dukungan harus terus
ditingkatkan baik jumlah maupun kualitasnya. Perluasan jangkauan
layanan TKHIV akan menimbulkan normalisasi HIV di masyarakat. Tes
HIV akan menjadi seperti tes untuk penyakit lainnya. Peningkatan
cakupan tes HIV dilakukan dengan menawarkan tes HIV kepada ibu
hamil, pasien IMS, pasien TB dan Hepatitis B atau C dan pasangan
ODHA, serta melakukan tes ulang HIV 6 bulan sekali pada populasi
kunci (pengguna napza suntik, pekerja seks, laki-laki yang berhubungan
seks dengan laki-laki serta pasangan seksualnya dan waria).
Peningkatan cakupan tes dilanjutkan dengan penyediaan akses pada
layanan selanjutnya yang dibutuhkan, dimana salah satunya adalah
terapi ARV. Terapi ARV selain berfungsi sebagai pengobatan, juga
berfungsi sebagai pencegahan (treatment as prevention). Setiap RS
Rujukan ARV di tingkat provinsi dan kabupaten/kota harus dapat
menjamin akses layanan bagi ODHA yang membutuhkan termasuk
pengobatan ARV, sementara fasilitas pelayanan kesehatan primer dapat
melakukan deteksi dini HIV dan secara bertahap juga bisa memulai
inisiasi terapi ARV. Konseling dan Tes HIV telah mulai dilaksanakan
di Indonesia sejak tahun 2004, yaitu dengan pendekatan konseling dan
tes HIV atas inisiatif klien atau yang dikenal dengan Konseling dan Tes
HIV Sukarela (KTS). Hingga saat ini pendekatan tersebut masih
dilakukan bagi klien yang ingin mengetahui status HIV nya. Sejak tahun
2010 mulai dikembangankan Konseling dan Tes HIV dengan
pendekatan Konseling dan Tes HIV atas Inisiatif Pemberi Layanan
Kesehatan (TIPK). Kedua pendekatan konseling dan tes HIV ini
bertujuan untuk mencapai universal akses, dengan menghilangkan
stigma dan diskriminasi, serta mengurangi missed opportunities
pencegahan penularan infeksi HIV.
B. TUJUAN PEDOMAN
1. Tujuan Umum
Pedoman ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam pelayanan
Konseling dan Tes HIV dalam rangka penegakkan diagnosis HIV-
AIDS untuk mencegah sedini mungkin terjadinya penularan atau
peningkatan kejadian infeksi HIV dan pengobatan lebih dini.
2. Tujuan Khusus
a. Sebagai pedoman penatalaksanaan pelayanan konseling dan
testing HIV-AIDS
b. Menjaga mutu layanan melalui penyediaan sumberdaya dan
manajemen yang sesuai.
c. Memberi perlindungan dan konfidensialitas dalam
pelayanan konseling dan testing HIV-AIDS

C. RUANG LINGKUP PELAYANAN


1. Voluntary Counseling and Testing (VCT)
VCT merupakan salah satu strategi kesehatan masyarakat dan
sebagai pintu masuk ke seluruh layanan kesehatan HIV-AIDS
berkelanjutan. Pelayanan VCT berkualitas bukan hanya membuat
orang mempunyai akses terhadap pelayanan namun juga efektif
dalam pencegahan terhadap HIV. Layanan VCT dapat digunakan
untuk mengubah perilaku berisiko dan memberikan informasi
tentang pencegahan HIV-AIDS. Untuk mengurangi stigma dan
diskriminassi dari petugas kesehatan, Rumah Sakit Candimas
Medical Center mengadakan sosialisasi dan training tentang
pelayanan HIV-AIDS kepada petugas kesehatan di rumah sakit.

2. Care, Support and Treatment (CST)


Layanan perawatan yang tersedia meliputi konseling dan tes
HIV untuk tujuan skrining dan diagnostik. Terapi antiretroviral
(ARV) merupakan komitmen jangka panjang dan kepatuhan terapi
adalah hal yang paling penting dalam menekan replikasi HIV dan
menghindari terjadinya resistensi. Pasien dianjurkan untuk
melakukan konseling ARV. Konseling ini yang terpenting adalah
faktor adheren atau kepatuhan untuk minum obat. Isi dari konseling
ini tentang minum obat tepat waktu, tepat dosis dan tepat
penggunaan obat. Pasien diajarkan membuat pengingat untuk
minum obat misalnya alarm di telepon seluler. Pasien yang terbuka
kepada keluarga tentang statusnya, maka keluarga yang menjadi
Pendamping Minum Obat (PMO) untuk mendukung kepatuhan
minum obat.
3. Infeksi Oportunistik (IO) & Infeksi Menular Seksual (IMS)
Pelayanan IO dan IMS dilakukan oleh spesialis ataupun dokter
umum. Pasien yang membutuhkan terapi ARV akan dirujuk ke
fasilitas kesehatan yang ditunjuk oleh Kementerian Kesehatan RI
untuk pelayanan ARV. Pasien selain mendapatkan pengobatan juga
akan mendapatkan dukungan gizi, pelayanan laboratorium dan
radiologi.
Pemilihan obat untuk IMS harus sesuai dengan pedoman
penatalaksanaan IMS yang diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan
RI tentang kriteria yang digunakan dalam pemilihan obat untuk
IMS yaitu angka kesembuhan yang tinggi, harga murah, toksisitas
dan toleransi yang masih dapat diterima, diberikan dosis tunggal,
cara pemberian peroral
dan tidak merupakan kontra indikasi pada ibu hamil atau ibu
menyusui.
4. Prevention of Mother to Child HI V Tr ansmission (PMTCT)
Pelayanan PMTCT merupakan salah satu pelayanan
tersedia untuk klien yang berusia produktif, mempunyai istri
atau suami. Pelayanan PMTCT menjadi fokus dari Klinik
Kebidanan dan Kandungan dan Klinik Anak.
5. Pelayanan pada ODHA dengan Faktor Risiko I njection Drug
Use (IDU)
RSU Wiradadi Husada bekerja sama dengan Badan
Narkotika Nasional (BNN) Kabupaten Banyumas dalam
menangani kasus penyalahgunaan NAPZA. Pasien dengan
NAPZA yang menjalani program konseling dengan dokter
umum yang telah menjalani pelatihan dari BNN akan diperiksa
status HIV-nya. Pasien ODHA dengan faktor risiko IDU akan
dilaporkan kepada BNN untuk ditangani sesuai dengan regulasi
BNN.

D. BATASAN OPERASIONAL
1. Pelyanan VCT meliputi :
a. Penerimaan klien
b. Konseling pra testing HIV-AIDS
c. Konseling pra testing HIV-AIDS dalam keadaan khusus
2. Informed consent
3. Testing HIV dalam VCT

E. LANDASAN HUKUM
1. Undang-undang No. 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit
Menular
2. Keputusan Menteri Kesehatan No.
1285/Menkes/SK/X/200 tentang Pedoman Penanggulangan
HIV-AIDS dan Penyakit Menular Seksual.
3. Undang-undang No. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit
4. Keputusan Menteri Kesehatan No.
1278/Menkes/SK/XII/2009 tentang Pedoman Pelaksanaan
Kolaborasi Pengendalian Penyakit TB dan HIV
5. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 21 tahun 2013 tentang
Penanggulangan HIV dan AIDS
6. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 74 tahun 2014
tentang Pedoman Pelaksanaan Konseling dan Tes HIV
7. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 87 tahun 2014
tentang Pedoman Pengobatan Antiretroviral
BAB II
STANDAR KETENAGAAN

A. KUALIFIKASI SUMBER DAYA MANUSIA


Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan salah satu komponen yang
paling penting untuk mendukung dan memberikan pelayanan HIV-AIDS yang
berkesinambungan. Pengetahuan dan sikap SDM dalam hal ini adalah petugas
kesehatan akan mempengaruhi keefektifan pen yediaan pelayanan HIV- AIDS.
Pelayanan HIV-AIDS membutuhkan tenaga kesehatan yang berdedikasi dan
mempunyai ketrampilan yang memadai.
Adapun petugas pelayanan HIV-AIDS terdiri dari:

1. Kepala Klinik VCT


2. Konselor
3. Dokter Spesialis
4. Dokter Umum
5. Perawat
6. Petugas Laboratorium
7. Farmasis
8. Petugas Administrasi
9. Tenaga lain: Humas dan petugas Kamar Jenazah

B. DISTRIBUSI KETENAGAAN
Distribusi ketenagaan pelayanan HIV-AIDS di Rumah Sakit Medika
Insani adalah sebagai berikut:
1. Kepala klinik VCT: -
2. Konselor: 2 orang
3. Dokter spesialis: 1 orang
4. Dokter umum: 1 orang
5. Perawat: 1 orang
6. Bidan: 1 orang
7. Petugas laboratorium: 1 orang
8. Farmasi: 1 orang
9. Petugas Administrasi: 1 orang
10. Instalasi Bedah Sentral: 1 Orang
11. Humas: 1 Orang
12. Kamar Jenazah: 1 Orang

C. PENGATURAN JAGA
Pelayanan Klinik VCT
Petugas laboratorium berada di Instalasi Laboratorium dan akan dihubungi
oleh petugas jaga di Klinik VCT, apabila ada klien yang melakukan

pemeriksaan HIV.
BAB III STANDAR FASILITAS

A. DENAH RUANG
Denah ruang pelayanan VCT terlampir pada Pedoman Pelayanan HIV-
AIDS ini.

B. STANDAR FASILITAS
1. Sarana
a. Papan petunjuk
Papan petunjuk dipasang yang jelas untuk memudahkan akses
klien ke klinik VCT.
Juga di depan ruang klinik VCT bertuliskan Pelayanan VCT/
Klinik VCT

b. Ruang Tunggu
Ruang tunggu berada di depan ruang konseling. Di ruang tunggu
tersedia:

1) Materi KIE: poster, leaflet, brosur yang berisi


tentang HIV-AIDS, IMS, KB, ANC, TB, Hepatitis,
Penyalah gunaan Napza, Perilaku sehat, Nutrisi dan
seks yang aman
2) Informasi konseling dan testing
3) Kotak saran
4) Tempat sampah, tissue, air minum
5) Televisi
6) Komputer
7) Meja dan kursi
8) Kalender
2. Jam pelayanan HIV-AIDS
Jam pelayanan konseling dan testing terintregasi dalam jam
pelayanan kesehatan lainnya, bisa dilakukan pada pagi hari atau
sore hari sehingga dapat mempermudah akses klien yang bekerja
atau sekolah. Karena keterbatasan sumber daya maka konseling dan
testing tidak dapat dilaksanakan setiap hari. Klinik VCT membuka
pelayanan.
3. Ruang Konseling
Ruang konseling disediakan senyaman mungkin dan terjaga
kerahasiaannya serta terpisah dari ruang tunggu dan ruang
pengambilan sampel darah. Ruang konseling terdapat dua pintu
yaitu pintu masuk dan pintu keluar klien sehingga klien yangselesai
konseling dan klien berikutnya yang akan konseling tidaksaling
bertemu. Ruang Konseling dilengkapi:

a. 1 meja dan 3 kursi (tempat duduk bagi klien maupun konselor)


b. Buku catatan perjanjian klien dan catatan harian, forrmulir
informed consent, catatan medis klien, formulir pre dan pasca
testing, buku rujukan, formulir rujukan, kalender dan ATK
c. Kondom dan alat peraga penis, alat peraga reproduksi wanita
d. Buku resep gizi seimbang
e. Tisu
f. Air minum

g. Lemari arsip/ lemari dokumen yang dapat dikunci


4. Ruang Pengambilan Sampel Darah
Pelayanan laboratorium pasien HIV-AIDS dilakukan di ruang
terpisah dengan ruang tunggu dan konseling. Pengambilan darah
dilakukan langsung di laboratorium.

5. Ruang Petugas Nonkesehatan


Berisi:

a. Meja dan kursi


b. Tempat pemeriksaan fisik
c. Stetoskop dan tensimeter
d. Blangko resep
e. Alat timbangan badan
f. KIE HIV-AIDS

6. Prasarana
a. Aliran Listrik
Diperlukan untuk penerangan yang cukup baik, untuk
membaca, menulis serta untuk pendingin ruangan
b. Air
Diperlukan air mengalir untuk menjaga kebersihan ruangan dan
mencuci tangan serta membersihkan alat-alat
c. Sambungan Telepon
Diperlukan terutama untuk komunikasi dengan layanan lain
yang terkait

d. Pembuangan Limbah Padat dan Limbah Cair


Mengacu kepada pedoman kewaspadaan transmisi di
pelayanan kesehatan tentang pengolahan limbah.
BAB IV

TATA LAKSANA PELAYANAN

A. KONSELING PRETESTING
1. Penerimaan Klien

a. Informasikan kepada klien tentang pelayanan tanpa


nama, sehingga nama tidak ditanyakan

b. Pastikan klien tepat waktu dan tidak menunggu


c. Buat catatan rekam medic klien dan pastikan setiap klien
mempunyai kodenya sendiri

d. Kartu periksa konseling dan testing dengan nomor kode


dan ditulis oleh konselor. Tanggung jawab klien dalam
konselor:

1) Bersama konselor mendiskusikan hal-hal terkait


tentang HIV AIDS, perilaku beresiko, testing HIV dan
pertimbangan yang terkait dengan hasil negative atau
positif

2) Sesudah melaksanakan konseling lanjutan diharapkan


dapat melindungi diri dan keluarganya dari penyebaran
infeksi
3) Untuk klien yang dengan HIV positif memberitahu
pasangan atau keluarganya akan status dirinya dan
rencana kehidupan lebih lanjut
2. Konseling Pre-Testing

a. Periksa ulang nomor kode dalam formulir


b. Perkenalan dan arahan
c. Menciptakan kepercayaan klien pada konselor, sehingga
terjalin hubungan baik dan terbina saling memahami
d. Alasan kunjungan
e. Penilaian resiko agar klien mengetahui factor resikodan
menyiapkan diri untuk pretest

f. Memberikan pengetahuan akan implikasi terinfeksi atau tidak


terinfeksi
g. Konselor membuat keseimbangan antara pemberian
informasi, penilaian resiko dan merespon kebutuhan emosi
klien
h. Konselor VCT membuat penilaian system dukungan
i. Klien memberikan persetujuan tertulis sebelum tes HIV
dilakukan.

B. I NFORMED CONSENT
1. Semua Klien sebelum menjalani tes HIV harus Memberikan
Persetujuan Tertulis
Aspek penting dalam persetujuan tertulis adalah:

a. Klien diberi penjelasan tentang resiko dan dampak sebagai


akibat tindakan dan klien menyetujuinya
b. Klien mempunyai kemampuan mengerti/memahami dan
menyatakan persetujuannya

c. Klien tidak dalam terpaksa memberikan persetujuannya


d. Untuk klien yang tidak mampu mengambil keputusan karena
keterbatasan dalam memahami, maka konselor berlaku jujur
dan obyektif dalam menyampaikan informasi
2. Informed Consent pada Anak
Bahwa anak memiliki keterbatasan kemampuan berfikir dan
menimbang ketika dihadapkan dengan HIV-AIDS. Jika mungkin
anak didorong untuk menyertakan orang tua atau wali, namun
apabila anak tidak menghendaki, maka layanan VCT disesuaikan
dengan kemampuan anak untuk menerima dan memproses serta
memahami informasi hasil testing HIV AIDS. Dalam melakukan
testing HIV pada anak dibutuhkan persetujuan orang tua/ wali.
3. Batasan Umur untuk Persetujuan
Anak berumur dibawah 17 tahun dana tau belum menikah
orang tua/ wali yang menandatangani informed consent, jika tidak
mempunyai orang tua/ wali maka kepala institusi, kepala
puskesmas, kepala rumah sakit, kepala klinik atau siapa yang
bertanggungjawab atas diri anak harus menandatangani informed
consent. Jika anak dibawah umur 17 tahun memerlukan testing HIV
maka orangtua atau wali harus mendampingi secara penuh.
4. Persetujuan Orang Tua untuk Anak
Orang tua dapat memberikan persetujuan konseling dan testing
HIV-AIDS untuk anaknya. Namun sebelum meminta persetujuan,
konselor melakukan penilaian akan situasi anak, apakah melakukan
tes HIV lebih baik atau tidak. Jika orang tua bersikeras ingin
mengetahui status anak, maka konselor melakukankonseling dahulu
dan apakan orang tua akan menempatkan pengetahuan atan status
HIV anak untuk kebaikan atau merugikan anak. Jika konselor ragu
maka bimbinglah anak untuk didampingi tenaga ahli. Anak
senantiasa diberitahu betapa penting hadir nya seseorang yang
bermakna dalam kehidupannua untuk mengetahui kesehatan
dirinya.
C. TESTING HIV DALAM VCT
Prinsip testing HIV adalah terjaga kerahasiaannya. Testing
dimaksudkan untuk menegakkan diagnosis. Penggunaan testing cepat
(rapid testing) memungkinkan klien mendapatkan hasil testing pada
hari yang sama. Tujuan testing adalah:
1. Menegakkan diagnosis
2. Pengamanan darah donor (skrining)
3. Surveilans
4. Penelitian
Petugas laboratorium harus menjaga mutu dan konfidensialitas,
menghindari terjadinya kesalahan baik teknis (technical error),manusia
(human error) dan administratif (administrative error).
Bagi pengambil sampel darah harus memperhatikan hal-hal berikut:

1. Sebelum testing dilakukan harus didahului dengan konseling dan


informed consent

2. Hasil testing diverifikasi oleh dokter patologi klinik


3. Hasil diberikan dalam amplop tertutup
4. Dalam laporan pemeriksaan ditulis kode register
5. Jangan member tanda menyolok terhadap hasil positif atau negatif
6. Meski sampel berasal dari sarana kesehatan yang berbeda tetap
dipastikan telah

7. Mendapat konseling dan menandatangani informed consent

D. KONSELING PASCA TESTING


Kunci utama dalam menyampaikan hasil testing:
1. Periksa ulang seluruh hasil klien dalam rekam medis. Lakukan
sebelum bertemu klien
2. Sampaikan kepada klien secara tatap muka
3. Berhati-hati memanggil klien dari ruang tunggu
4. Seorang konselor tidak diperkenankan menyampaikan hasil tes
dengan cara verbal
5. maupun nonverbal di ruang tunggu
6. Hasil test harus tertulis
Tahapan penatalaksanaan konseling pasca testing

1. Penerimaan klien
a. Memanggil klien dengan kode register
b. Pastikan klien hadir tepat waktu dan usahakan tidak menunggu
c. Ingat akan semua kunci utama dalam penyampaian hasil testing
2. Pedoman penyampaian hasil negatif
a. Periksa kemungkinan terpapar dalam periode jendela
b. Gali lebih lanjut berbagai hambatan untuk seks yang aman
c. Kembali periksa reaksi emosi yang ada
d. Buat rencana tindak lanjut
3. Pedoman penyampaian hasil positif
a. Perhatikan komunikasi nonverbal saat klien memasuki ruang
konseling

b. Pastikan klien siap menerima hasil


c. Tekankan kerahasiaan
d. Lakukan penyampaian secara jelas dan langsung
e. Sediakan waktu cukup untuk menyerap informasi tentang hasil
f. Periksa apa yang diketahui klien tentang hasil
g. Dengan tenang bicarakan apa arti hasil pemeriksaan
h. Ventilasikan emosi klien
4. Konfidensialitas
Penjelasan secara rinci pada saat konseling pretes dan
persetujuan dituliskan dan dicantumkan dalam catatan medic.
Berbagi konfidensialitas adalah rahasia diperluas kepada oranglain,
terlebih dahulu dibicarakan kepada klien. Orang lain yang
dimaksud adalah anggota keluarga, orang yang dicintai, orangyang
merawat, teman yang dipercaya atau rujukan pelayanan lainnya ke
pelayanan medic dan keselamatan klien. Selain itu juga
disampaikan jika dibutuhkan untuk kepentingan hukum.

5. VCT dan etik pemberitahuan kepada pasangan


Dalam konteks HIV-AIDS, WHO mendorong pengungkapan
status HIV AIDS. Pengungkapan bersifat sukarela, menghargai
otonomi dan martabat individu yang terinfeksi, pertahankan
kerahasiaan sejauh mungkin menuju kepada hasil yang lebih
menguntungkan individu, pasangan seksual dan keluarga,
membawa keterbukaan lebih besar kepada masyarakat tentang
HIV-AIDS dan memenuhi etik sehingga memaksimalkanhubungan
baik antara mereka yang terinfeksi dan tidak.
6. Isu-isu gender
Gender adalah sama pentingnya dengan memusatkanperhatian
terhadap penggunaan kondom, dengan konsistensi tetap bertahan
menggunakan kondom merupakan bentuk perubahan perilaku.

E. PELAYANAN DUKUNGAN BERKELANJUTAN


1. Konseling Lanjutan
Salah satu layanan yang ditawarkankepada klien adalah
konseling lanjutan sebagai bagian layanan VCT apapun hasil testing
yang diterima klien. Namun karena persepsi klien berbeda- beda
terhadap hasil testing maka konseling lanjutan ini sebagai pilihan
jika dibutuhkan klien untuk menyesuaikan diri dengan status HIV.
2. Kelompok Dukungan VCT
Layanan ini dapat ditempat layanan klinik VCT dan di
masyarakat. Konselor atau kelompok ODHA akan membantu klien
baik dengan hasil positif maupun negatif untuk bergabung dalam
kelompok ini. Kelompok ini dapat diikuti oleh pasangan dan
keluarga.
3. Pelayanan Penanganan Manajemen Kasus
Tahapan dalam manajemen kasus, adalah identifikasi, penilaian
kebutuhan pengembangan rencana tidak individu, rujukan sesuai
kebutuhan dan tepat serta koordinasi tindak lanjut.
4. Perawatan dan Dukungan
Setelah diagnosis ditegakkan dengan HIV positif maka klien
dirujuk dengan pertimbangan akan kebutuhan rawatan dan
dukungan. Kesempatan ini digunakan klien dan klinisi untuk
menyusun rencana dan jadwal pertemuan konseling selanjutnya
dimana membutuhkan tindakan medic lebih lanjut, seperti terapi
profilaksis dan akses ke ART.
5. Layanan Psikiatrik
Banyak pengguna zat psikoaktif saat menerima hasil positif
testing HIV, meskipun sudah dipersiapkan terlebih dahulu, klien
dapat mengalami goncangan yang berat, seperti depresi, panik,
kecemasan yang hebat, agresif bahkan bunuh diri. Bila terjadi hal
demikian maka perlu dirujuk ke fasilitas layanan psikiatrik.
6. Konseling Kepatuhan Berobat
Dibutuhkan waktu untuk memberikan edukasi dan persiapan
guna meningkatkan kepatuha sebelum dimulai terapi ARV. Sekali
dimulai harus dilakukan monitoring terus menerus yang dinilai oleh
dokter, jumlah obat dan divalidasi dengan daftar pertanyaan kepada
pasien. Konseling ini membantu klien mencari jalan keluar dari
kesulitan yang mungkin timbul dari pemberian terapi dan
mempengaruhi kepatuhan.
7. Rujukan
Pelayanan VCT bekerja dengan membangun hubungan antara
masyarakat dan rujukan yang sesuai dengan kebutuhannya serta
memastikan rujukan dari masyarakat ke pusat VCT. Sistem rujukan dan
alur:
a. Rujukan klien dalam lingkungan sarana kesehatan.
Jika dokter mencurigai seseorang menderita HIV, maka dokter
merekomendasikan klien dirujuk ke konselor yang ada di
rumah sakit.
b. Rujukan antar sarana kesehatan
c. Rujukan klien dari sarana kesehatan ke sarana kesehatan lainnya
Rujukan ini dilakukan secara timbale balik dan berulang sesuai
dengan kebutuhan klien.

d. Rujukan klien dari sarana kesehatan lainnya ke sarana kesehatan


rujukan.
Dari sarana kesehatan lainnya kesarana kesehatan dapat
berupa rujukan medis klien, rujukan spesimen, rujukan tindakan medis
lanjut atau spesialistik.
BAB V LOGISTIK

1. Kebutuhan anggaran kegiatan pengendalian HIV-AIDS dari anggaran


Rumah Sakit Candimas Medical Center

2. Pasien dengan pengobatan ARV akan dirujuk ke fasilitas kesehatan


yang ditunjuk oleh Kementerian Kesehatan untuk pelayanan ARV

3. Kebutuhan obat-obatan & peralatan didukung sesuai dengan kemampuan


4. Peralatan dan bahan yang dibutuhkan untuk program pengendalian
HIV-AIDS dapat didukung dari Dinas Kesehatan Kabupaten
Banyumas.
BAB VI KESELAMATAN PASIEN

Kewaspadaan merupakan upaya pencegahan infeksi yang mengalami


perjalanan panjang. Mulai dari infeksi nosokomial yang menjadi ancaman
bagi petugas kesehatan dan pasien. Seperangkat prosedur dan pedoman yang
dirancang untuk mencegah terjadinya infeksi pada tenaga kesehatan dan
juga memutus rantai penularan ke pasien. Terutama untuk mencegah
penularan melalui darah dan cairan tubuh, seperti: HIV, HBV, dan pathogen
lainnya.
Prinsip Kewaspadaan Umum dijabarkan dalam 5 kegiatan pokok yaitu:

1. Cuci Tangan untuk Mencegah Infeksi Silang


Cuci tangan dilakukan:

a. Setelah menyentuh darah, cairan tubuh, sekresi dan bahan


terkontaminasi lain.

b. Segera setelah melepas sarung tangan.


c. Di antara kontak dengan pasien
d. Tidak direkomendasikan mencuci tangan saat masih memakai sarung
tangan

e. Cuci tangan 6 langkah.


f. Prosedur terpenting untuk mencegah transmisi penyebab infeksi

g. Antiseptik dan air mengalir atau handrub


2. Pemakaian Alat Pelindung Diri (APD)/ Perorangan (APP)
a. Sarung Tangan
b. Pelindung Muka
c. Masker
d. Kaca Mata/ goggle
e. Gaun/ Jubah/ Apron
f. Pelindung Kaki

3. Pengelolaan Alat Kesehatan Bekas Pakai (Dekontaminasi,


Sterilisasi, Disinfeksi)

a. Dekontaminasi: suatu proses menghilangkan mikroorganisme


patogen dan kotoran dari suatu benda sehingga aman untuk
pengelolaan alkes bekas pakai
b. Pencucian: proses secara fisik untuk menghilangkan kotoran
terutama bekas darah, cairan tubuh dan benda asing lainnya seperti
debu, kotoran yang menempel di kulit atau alat kesehatan
c. Disinfeksi: suatu proses untuk menghilangan sebagian
mikroorganisme

d. Disinfeksi Tingkat Tinggi = DTT


1) Suatu proses untuk menghilangan mikroorganisme dari alat
kesehatan kecuali beberapa endospora bakteri

2) Alternatif penanganan alkes apabila tdk tersedia


sterilisator atau tidak mungkin dilaksanakan.

3) Dapat membunuh Mikroorganisme (HBV, HIV), namun tdk


membunuh endospora dengan sempurna seperti tetanus.
e. Sterilisasi.
Suatu proses untuk menghilangkan seluruh mikroorganisme
termasuk endospora bakteri dari alat kesehatan. Cara yang paling
aman utk pengolaan alkes yang berhubungan langsung dgn darah.
4. Pengelolaan Jarum & Alat Tajam
Pengelolaan jarum dan alat tajam ditempatkan pada wadah yang
terpisah dengan limbah lain untuk mempermudah pengelolaan.

5. Pengelolaan Limbah & Sanitasi Ruangan


Pemilihan cara pengelolaan limbah dan sanitasi ruangan:

a. Limbah Cair
b. Sampah Medis
c. Sampah Rumah Tangga
d. Insinerasi
e. Penguburan
f. Disinfeksi permukaan

6. Penanganan Linen
a. Kereta dorong bersih & kotor dipisahkan
b. Tidak boleh keluar dan masuk pada jalan yang sama
c. Tidak boleh ada perendaman di ruang perawatan
d. Pisahkan dalam kantong berwarna kuning untuk linen yang
terkontaminasi dengan darah atau kontaminan lain.
BAB VII KESELAMATAN KERJA

1. Perlindungan Diri-Profilaksis Pasca Pajanan HIV (PPP)


Profilaksis Pasca Pajanan HIV merupakan adalah tindakan
pencegahan terhadap petugas kesehatan yang tertular HIV akibat
tertusuk jarum, tercemar darah dari penderita atau mayat penderita HIV.
Paparan cairan infeksius tidak saja membawa virus HIV tetapi juga
virus hepatitis (HBV atau HCV). Perlukaan perkutaneus merupakan
kecelakaan kerja tersering dan biasanya disebabkan oleh jarum yang
berlubang (hollow-bore-needle).

2. Faktor Yang Mempengaruhi


a. Jumlah dan jenis cairan yang mengenai.
b. Kedalaman tusukan/ luka.
c. Tempat perlukaan/ paparan.

3. Indikasi Pemberian PPP


a. Tertusuk/ luka superfisial yang merusak kulit oleh jarum solid yang
telah terpapar sumber dengan HIV (+) asimptomatik. Membran
mukosa terpapar oleh darah terinfeksi HIV dalam jumlah banyak,
dari sumber HIV (+) asimptomatik (tergantung dari banyak
tidaknya volume dan tetesan).
b. Membran mukosa terpapar darah yang terinfeksi HIV (+) dalam
jumlah sedikit, dari sumber dengan HIV (+) simptomatik.
c. Terpapar dengan orang HIV (+) asimptomatik lewat tusukan yang
dalam jarum berlubang yang berukuran besar.
d. Luka tusukan jarum dengan darah yang terlihat di permukaan jarum.
e. Luka tusukan jarum yang telah digunakan untuk mengambil darah
arteri atau vena pasien.
f. Luka tusuk dari jenis jarum apapun yang telah digunakan pada
sumber dengan HIV (+) yang simptomatik.
g. Membran mukosa yang terpapar oleh darah yang terinfeksi
HIV dalam jumlah yang banyak dari sumber HIV (+) yang
simptomatik.
h. Tusukan jarum dengan tipe jarum apapun dan berbagai
derajat paparan dari sumber dengan status HIV tidak
diketahui tetapi memiliki faktor resiko HIV.
i. Tusukan jarum dengan tipe jarum apapun dan berbagai derajat
paparan dari sumber yang tidak diketahui status HIV dan tidak
diketahui faktor resikonya, namun dianggap sebagai sumber HIV
(+).
j. Membran mukosa yang terpapar darah dalam jumlah berapapun
dari sumber yang tidak diketahui status HIV tetapi memiliki
faktor risiko HIV.
k. Membran mukosa yang terpapar darah dalam jumlah berapapun
dari sumber yang tidak diketahui status HIV-nya, namun sumber
tersebut dianggap sebagai sumber HIV (+).

4. Klasifikasi Katagori Paparan ( Exposure Category).


Berdasarkan paparan, kadar RNA HIVdan bahan paparan. Terdapat
4 kategori:
a. EC 1:
1. Tempat paparan adalah kulit atau mukosa yang mengalami luka.
2. Bahan paparan jumlahnya sedikit (tetesan darah atau cairan tubuh
yang berdarah.
3. Waktu paparan cepat (tidak lama).
b. EC 2: seperti EC-1, tetapi jumlah bahan paparan lebih banyak dan
waktu paparan lebih lama.
c. EC2: paparan perkutaneus, luka superficial dengan jarum kecil.
d. EC3: seperti EC2, tetapi lewat jarum besar, tertusuk dalam, keluar darah.
5. Penatalaksanaan Pasca Pajanan.
a. Keputusan pemberian ARV harus segera diambil dan ARV
diberikan < 4 jam setelah paparan.
b. Penanganan luka.
c. Beri informed consent.
d. Lakukan test HIV.
e. Pemberian ARV profilaksis.
f. Penanganan tempat paparan/ luka harus segera
g. Luka tusuk dibilas menggunakan air mengalir dan sabun/ antiseptic.
h. Pajanan mukosa mulut: ludahkan dan berkumur.
i. Pajanan mukosa mata: irigasi dg air atau cairan fisiolofis
j. Pajanan mukosa hidung: hembuskan keluar dan bersihkan dengan air
k. Jangan dihisap dengan mulut, jangan ditekan.

6. Disinfeksi
Disinfeksi luka dan daerah sekitar kulit dengan salah satu:
a. Betadine (povidone iodine 2.5%) selama 5mnt Alkohol 70% selama 3
menit. Catatan:
a. Chlorhexidine cetrimide bekerja melawan HIV tetapi bukan HBV.

b. Pelaporan terjadinya paparan berupa rincian waktu, tempat, paparan


dan konseling serta manajemen pasca paparan.

c. Evaluasi dan risiko transmisi.

d. Konseling berupa risiko transmisi, penceganan transmisi sekunder, tidak


boleh hamil dsb.

e. Pertimbangan pemakaian terapi profilaksis pasca paparan.


f. Pemantauan (follow up).

7. Pemantauan.
Tes Antibodi dilakukan pada minggu ke-6, minggu ke -12 dan
bulan ke 6. Dapat diperpanjang sampai bulan ke-12.

8. Aspek Manajemen.
a. Merupakan bagian medico legal.
b. Perlu dilakukan pencatatan dan evaluasi.
c. Evaluasi meliputi:
1) Kesalahan sistem.
2) Tidak ada pelatihan.
3) Tidak ada SOP tidak tersedia APD.
4) Ratio pekerja dan pasien yg tidak seimbang.
5) Kesalahan manusia.
6) Kesalahan dalam penggunaan dan pemilihan alat kerja.
7) Rekomendasi kepada manajemen rumah sakit
perlu diberikan setelah evaluasi dilakukan
BAB VIII PENGENDALIAN MUTU

Salah satu prinsip yang menggaris bawahi implementasi layanan VCT


adalah layanan berkualitas, guna memastikan klien mendapatkan layanan
tepat dan menarik orang untuk menggunakan layanan. Tujuan pengukuran
dari jaminan kualitas adalah menilai kinerja petugas, kepuasan pelanggan
atau klien, dan menilai ketepatan protocol konseling dan testing yang
kesemuanya bertujuan tersedianya layanan yang terjamin kualitas dan mutu.

1. Konseling dalam VCT


Pelayanan konseling dimulai dengan suasana bersahabat yang
dilayani oleh konselor terlatih. Perangkat untuk menilai kualitas layanan
termasuk mengevaluasi kinerja seluruh staff VCT, penilaian kualitas
konseling dengan menghadirkan supervisor yang menyamar sebagai
klien, melakukan pertemuan berkala dengan para konselor, mengikuti
perkembangan konseling dan HIV AIDS, kotak saran, penilaian oleh
petugas jasa, mengukur seberapa jauh konselor mengikuti aturan
protocol dan supervise suportif yang regular.
Perangkat jaminan mutu konseling dalam VCT:

a. Perangkat rekaman saat konseling dengan klien samara atau klien


sungguhan yang telah memberikan persetujuan untuk direkam.
Kegiatan ini dapat digunakan untuk melakukan pengamatan,
melakukan ikhtisar sesudah sesi berlangsung (sesi rekam) atau
pengamatan ketrampilan konselor melalui klien samara (tak
diketahui konselor) untuk mendapatkan ketepatan pengamatan.

b. Formulir kepuasan pelanggan.


Nomor dan nama klien dicatat. Formulir dimasukkan ke kotak yang
aman dan terkunci. Semua komentar dikumpulkan dan dinilai pada
pertemuan dengan seluruh petugas. Klien yang tidak dapat menulis/
mambaca dapat dibantu relawan. Petugas yang bekerja pada
institusi tidak diperkenankan membantu pengisian. Baca terlebih
dahulu petunjuk dan isi dari formulir, kemudian baru diisi. Klien
sama sekali tidak boleh dipengaruhi pendapatnya,
administrasi memastikan apakah jawaban klien sudah lengkap dan
benar sesuai petunjuk.

c. Syarat minimal layanan VCT.


Penilaian internal atau eksternal dapat menggunakan daftar
sederhana apakah pelayanan VCT memenuhi persyaratan standar
minimal yang ditentukan Kementerian Kesehatan dan WHO.

2. Testing pada VCT


Perangkat jaminan testing mutu dalam VCT:

a. Supervisi laboratorium
Untuk melakukan supervisi atas proses pemeriksaan laboratorium,
harus dilakukan oleh teknisi laboratorium senior yang mahir dan
telah dilatih penanganan pemeriksaan laboratorium HIV:
1) Pengamatan akan proses kerja sampel, sesuaikan dengan SPO
yang telah ditetapkan.

2) Periksa dan dukung proses dan kualitas pemeriksaan sampel.


3) Periksa pencatatan dan pelaporan hasil testing HIV
4) Periksa cara penyimpanan semua peralatan dan reagen
5) Pastikan jaminan kualitas pada pusat jaminan kualitas.
6) Lakukan penilaian akan peralatan kerja dalam menjalankan
fungsi pemeriksaan cukup baik, perlu perbaikan atau rusak
dan perlu penggantian.
7) Gunakan ceklis pemeriksaan
8) Nilailah kemampuan para personil dan sampaikan rekomendasi
pada para manajer

9) Pastikan adanya rujukan pasca pajanan.


BAB IX
PENUTUP

Klinik VCT merupakan pelayanan baru di Rumah Sakit Medika Insani


sehingga masih memerlukan dukungan dari semua pihak. Tim HIV-AIDS
sudah terbentuk, namun dalam melaksanakan kegiatannya masih mengalami
banyak kendala dikarenakan saat terbentuk Tim HIV- AIDS belum ada
anggota tim yang telah mendapatkan pelatihan penanganan kasus HIV-
AIDS. Sosialisasi kegiatan Tim HIV-AIDS masih perlu digalakkan baik
internal maupun eksternal rumah sakit. Tim HIV- AIDS Rumah Sakit
Medika Insani belum memberikan pelayanan terapi HIV-AIDS
menggunakan ARV dikarenakan Rumah Sakit Medika Insani bukan rumah
sakit yang ditunjuk Kementerian Kesehatan RI untuk memberikan
pelayanan ARV. Pasien yang membutuhkan terapi ARV akan dirujuk ke
rumah sakit yang bekerja sama dengan Rumah Sakit Medika Insani

Anda mungkin juga menyukai