Anda di halaman 1dari 15

PANDUAN PENANGGULANGAN

HIV AIDS
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Hingga saat ini HIV masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat utama di
Indonesia. Sejak pertama kali ditemukan (1987) sampai dengan tahun 2011, kasus HIV
teridentifikasi tersebar di 368 (73,9%) dari 498 kabupaten/kota di seluruh (33) provinsi di
Indonesia. Provinsi pertama kali ditemukannya adanya kasus HIV adalah Provinsi Bali (1987),
sedangkan yang terakhir melaporkan adanya kasus HIV (2011) adalah Provinsi Sulawesi Barat.

Human Immunodeficiency Virus (HIV) disebabkan oleh virus yang disebut HIV, yaitu
sejenis virus yang ada di dalam darah manusia yang dapat melemahkan daya tahan tubuh,
sehingga pengidapnya mudah terserang infeksi lain, seperti tuberkulosis, sariawan dan diare
yang berkepanjangan.

Human Immunodeficiency Virus menyerang salah satu jenis dari sel-sel darah putih yang
berfungsi menangkal infeksi. Sel darah putih tersebut termasuk limfosit yang disebut “sel T-4”
atau “sel CD-4”. Karena sel T4 terdapat pada cairan-cairan tubuh, maka HIV dapat ditemukan
dalam cairan-cairan tubuh, seperti darah, air mani, cairan vagina, dan air susu ibu. Disamping itu,
HIV juga dapat ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit di dalam air mata, air liur, cairan
otak, dan keringat. Namun sampai sekarang belum ada bukti-bukti bahwa HIV dapat ditularkan
melalui cairan-cairan tersebut. Seseorang mengidap HIV hanya dapat diketahui apabila
dilakukan pemeriksaan darah di layanan konseling dan tes HIV, yang meliputi KTS = Konseling
dan Tes HIV secara Sukarela dan KTIP = Konseling dan Tes HIV yang diprakarsai Petugas
Kesehatan.

Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) adalah sekumpulan gejala penyakit


akibat menurunnya kekebalan tubuh manusia oleh HIV. Orang-orang yang memiliki perilaku
risiko tinggi untuk terinfeksi HIV adalah perempuan dan laki-laki yang memiliki perilaku seks
berisiko, seperti berganti-ganti pasangan dalam melakukan hubungan seksual tanpa pelindung
dan berhubungan seks dengan orang yang tidak dikenal, serta penyalahgunaan narkotika dengan
suntikan, yang menggunakan jarum suntik secara bersama (bergantian).
2. Masalah

Berdasarkan data terbaru penularan infeksi HIV terbanyak di Indonesia, pertama adalah
melalui hubungan seksual dengan orang yang telah terinfeksi tanpa menggunakan kondom,
kedua adalah melalui penggunaan alat suntik yang tercemar darah yang mengandung HIV, yang
dimungkinkan antara lain karena penggunaan alat suntik secara bersama di antara para pengguna
NAPZA suntik, dan ketiga adalah ditularkan dari ibu pengidap HIV kepada anak, baik selama
kehamilan, persalinan atau selama menyusui. Cara penularan lain adalah melalui transfusi darah
yang mengandung virus, alat tusuk dan peralatan lainnya (tato, danlain-lain) yang berpotensi
menularkan HIV dan adanya infek menular seksual seperti sifilis.
TINJAUAN PUSTAKA

Human Immunodeficiency Virus tidak ditularkan apabila hidup serumah dengan


penderita/pengidap HIV, berjabatan tangan atau bersentuhan dengan penderita, penderita bersin
atau batuk, kontak dengan peralatan makan/minum yang dipakai bersama pengidap HIV,
pakaian, handuk dan sapu tangan yang dipakai bersama, menggunakan toilet bersama,
berpelukan atau berciuman pipi, gigitan nyamuk/serangga, berenang bersama di kolam renang
dan hubungan social lainnya. Dengan demikian penderita HIV-AIDS tidak perlu dikucilkan.
Perlu diketahui bahwa sering terjadi stigmatisasi dan diskriminasi terhadap para pengidap HIV,
sehingga sering kali mereka dikucilkan dan akibatnya menghambat mereka dalam mengakses
layanan kesehatan.

Saat ini telah tersedia obat untuk mengendalikan infeksi HIV tersebut, meskipun obat-
obat yang ada di dunia ini belum dapat membunuh virus, namun sudah cukup efektif untuk
menekan perkembangbiakan virus secara maksimal hingga ke titik yang tidak terdeteksi, namun
efektifitas obat tersebut akan menurun manakala pengobatan dimulai pada tahap penyakit yang
telah lanjut.

Dengan tersedianya obat-obat tersebut serta metode pencegahan yang telah terbukti
cukup efektif dalam menekan laju penularan, maka dengan mengintegrasikan upaya promotif,
preventif, kuratif, dan rehabilitatif melalui kerja sama lintas program dan lintas sektor, Perguruan
Tinggi, organisasi profesi, LSM, swasta, dan organisasi/instansi terkait lainnya ditambah dengan
dukungan dari masyarakat, dimungkinkan untuk mengendalikan infeksi HIV seperti halnya di
Thailand dan beberapa negara lainnya dan telah berhasil menekan laju infeksi.

Hingga saat ini HIV-AIDS masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat
utama di Indonesia. Sejak pertama kali ditemukan (1987) sampai dengan tahun 2011, kasus HIV-
AIDS tersebar di 368 (73,9%) dari 498 kabupaten/kota di seluruh (33) provinsi di Indonesia.
Provinsi pertama kali ditemukan adanya kasus HIV-AIDS adalah Provinsi Bali (1987),
sedangkan yang terakhir melaporkan adanya kasus HIV (2011) adalah Provinsi Sulawesi Barat.

Sampai dengan tahun 2005 jumlah kasus HIV yang dilaporkan sebanyak 859 kasus, tahun
2006 (7.195 kasus), tahun 2007 (6.048 kasus), tahun 2008 (10.362 kasus), tahun 2009 (9.793
kasus), tahun 2010 (21.591 kasus), tahun 2011 (21.031 kasus). Jumlah kumulatif kasus HIV yang
dilaporkan sampai dengan tahun 2011 sebanyak 76.879 kasus. Jumlah kasus HIV tertinggi yaitu
di DKI Jakarta (19.899 kasus), diikuti Jawa Timur (9.950 kasus), Papua (7.085 kasus), Jawa
Barat (5.741 kasus), dan Sumatera Utara (5.027 kasus).

Sampai dengan tahun 2004 jumlah kasus AIDS yang dilaporkan sebanyak 2.682 kasus,
tahun 2005 (2.639 kasus), tahun 2006 (2.873 kasus), tahun 2007 (2.947 kasus), tahun 2008
(4.969 kasus), tahun 2009 (3.863 kasus), tahun 2010 (5.744 kasus), dan tahun 2011 (4.162).
Jumlah kumulatif kasus AIDS dari tahun 1987 sampai dengan tahun 2011 sebanyak 29.879
kasus.

Persentase kumulatif kasus AIDS tertinggi pada kelompok umur 20-29 tahun (46,8%),
kemudian diikuti kelompok umur 30-39 tahun (30,3%), 40-49 tahun (9,4%), 15-19 tahun (3,8%),
dan 50-59 tahun (2,8%). Persentase kasus AIDS pada laki-laki sebanyak 70,8% dan perempuan
28,2%. Jumlah kasus AIDS tertinggi adalah pada wiraswasta (3.481 kasus), dikuti ibu rumah
tangga (2.998 kasus), tenaga non-profesional (karyawan) (2.882 kasus), petani/peternak/nelayan
(1.051 kasus), buruh kasar (1.002), anak sekolah/mahasiswa (885 kasus), dan penjaja seks (702).

Jumlah kasus AIDS tertingi di Provinsi DKI Jakarta (5.117), diikuti Jawa Timur (4.598),
Papua (4.449), Jawa Barat (3.939), dan Bali (2.428 kasus). Angka kematian (CFR) menurun dari
40% pada tahun 1987 menjadi 2,4% pada tahun 2011.

Sampai dengan bulan Desember 2011, sudah tersedia layanan HIV-AIDS di Indonesia :

a. Sebanyak 500 layanan Konseling dan Tes HIV Sukarela (KTS), termasuk Konseling dan
Tes HIV yang diprakarsai oleh Petugas Kesehatan (KTIP).
b. Sebanyak 303 layanan PDP (Perawatan, Dukungan dan Pengobatan) yang aktif
melakukan pengobatan ARV, terdiri dari 235 RS Rujukan PDP (induk) dan 68 satelit.
c. Sebanyak 74 layanan PTRM (Program Terapi Rumatan Metadon).
d. Sebanyak 194 Layanan Jarum Suntik Steril (LJJS) di Puskesmas
e. Sebanyak 643 layanan IMS (Infeksi Menular Seksual)
f. Sebanyak 90 layanan PPIA (Pencegahan Penularan dari Ibu ke Anak)
g. Sebanyak 223 layanan (kolaborasi) TB-HIV.
Selain itu, sampai dengan bulan Desember 2011, jumlah Lapas/Rutan/Bapas yang
melaksanakan kegiatan pengendalian HIV-AIDS dan IMS :

a. Sebanyak 148 Lapas/Rutan/Bapas melaksanakan Kegiatan KIE (Komunkasi, Informasi


dan Edukasi).
b. Sebanyak 20 Lapas/Rutan/Bapas melaksanakan kegiatan penjangkauan
c. Sebanyak 78 Lapas/Rutan/Bapas memiliki Kelompok Dampingan Sebaya (KDS)
d. Sebanyak 45 Lapas/Rutan/Bapas melaksanakan kegiatan Konseling dan Tes HIV
e. Sebanyak 148 Lapas/Rutan/Bapas melaksanakan kegiatan koordinasi.
f. Sebanyak 9 Lapas/Rutan/Bapas melaksanakan layanan PTRM
g. Sebanyak 127 Lapas/Rutan/Bapas melaksanakan kegiatan rujukan HIV-AIDS.

Sesuai dengan tujuan pengendalian HIV-AIDS di Indonesia, yaitu menurunkan angka


kesakitan, kematian dan diskriminasi serta meningkatkan kualitas ODHA, maka diperlukan
upaya pengendalian serta layanan HIV-AIDS dan IMS yang komprehensif di seluruh
kabupaten/kota tertular di Indonesia.

Pengendalian komprehensif meliputi upaya promotif, preventif kuratif, dan rehabilitatif


dengan melibatkan sektor seluruh terkait, civil society organization termasuk swasta dan
masyakat (kader. LSM, kelompok dampingan sebaya, ODHA, keluarga, PKK, tokoh adat, tokoh
agama dan tokoh masyarakat serta wadah yang ada di masyarakat)

Layanan komprehensif merupakan layanan “satu atap” mencakup semua bentuk layanan
HIV-AIDS dan IMS, seperti kegiatan KIE pengetahuan komprehensif, promosi penggunaan
kondom, pengendalian faktor risiko, layanan Konseling dan Tes HIV (KTS dan KTIP),
Perawatan, Dukungan, dan Pengobatan (PDP), Pencegahan Penularan dari Ibu ke Anak (PPIA),
Pengurangan Dampak Buruk NAPZA (LJJS, PTRM, PTRB), layanan IMS, Pencegahan
penularan melalui darah donor darah dan produk darah lainnya, kegiatan monev dan surveilan
epidemiologi Puskesmas Rujukan dan Rumah Sakit Rujukan perlu didukung oleh ketersedian
pemeriksanan laboratorium disamping adanya pusat rujukan di kabupaten/kota (Labkesda)
terutama untuk pemerikasaan CD4 dan pusat rujukan laboratorium di provinsi (BLK/fasilitas
kesehatan lainnya), terutama untuk pemeriksaan viral load.
Pencegahan, Pengobatan, Dukungan dan Perawatan ODHA

Program penanggulangan AIDS di Indonesia mempunyai 4 pilar, yang semuanya menuju


pada paradigma Zero new infection, Zero AIDS-related death dan Zero Discrimination.

Empat pilar tersebut adalah:

1. Pencegahan (prevention); yang meliputi pencegahan penularan HIV melalui transmisi


seksual dan alat suntik, pencegahan di lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan,
pencegahan HIV dari ibu ke bayi (Prevention Mother to Child Transmission, PMTCT),
pencegahan di kalangan pelanggan penjaja seks, dan lain-lain.

2. Perawatan, dukungan dan pengobatan (PDP); yang meliputi penguatan dan


pengembangan layanan kesehatan, pencegahan dan pengobatan infeksi oportunistik,
pengobatan antiretroviral dan dukungan serta pendidikan dan pelatihan bagi ODHA.
Program PDP terutama ditujukan untuk menurunkan angka kesakitan dan rawat inap,
angka kematian yang berhubungan dengan AIDS, dan meningkatkan kualitas hidup orang
terinfeksi HIV (berbagai stadium). Pencapaian tujuan tersebut dapat dilakukan antara lain
dengan pemberian terapi antiretroviral (ARV).

3. Mitigasi dampak berupa dukungan psikososio-ekonomi.

4. Penciptaan lingkungan yang kondusif (creating enabling environment) yang meliputi


program peningkatan lingkungan yang kondusif adalah dengan penguatan kelembagaan
dan manajemen, manajemen program serta penyelarasan kebijakan dan lain-lain.

Kegiatan pencegahan meliputi upaya pencegahan baik melalui jalur hubungan seksual,
jarum suntik yang dipakai bersama oleh pengguna narkoba suntikan serta upaya pencegahan
penularan dari ibu hamil HIV positif ke bayinya. Sedangkan upaya pencegahan penularan di
kalangan layanan kesehatan dilaksanakan dengan mengamalkankewaspadaan universal.
Upaya pencegahan harus terkait dalam perawatan, yang meliputi :

a. Penyuluhan
Berbagai upaya penyuluhan dengan komuniksasi, informasi danedukasi diharapkan dapat
menyadarkan masyarakat tentangpentingnya memahami cara penularan serta melindungi
diri dan keluarga dari penularan HIV/AIDS. Ini berarti menumbuhkan gaya hidup sehat
serta meninggalkan perilaku berisiko. Selain itu masyarakat juga perlu menyadari
pentingnya mengetahui status HIV terutama bagi mereka yang pernah melakukan
perilaku berisiko atau berisiko tertular dari pasangan. Upaya penyuluhan ini perlu
dilaksanakan pada tingkat keluarga, sekolah dan masyarakat.

b. Promosi kondom dan perilaku seksual yang lebih aman;


Guna mencegah Infeksi Menular Seksual. Infeksi menular seksual dapat meningkatkan
risiko HIV secara nyata karena itu upaya pencegahan infeksi menular seksual amat
penting dilakukan. Penggunaan kondom di lokalisasi yang diharapkan dapat mencapai 50
% sampai saat ini belum tercapai. Begitu pula diagnosis dan terapi infeksi menular
seksual perlu dipertajam sehingga penyakit ini dapat dikurang seminimal mungkin di
masyarakat

c. Pengurangan dampak buruk bagi para PENASUN, seperti pertukaran alat suntuk steril,
terapi rumatan metadon oral

d. Penerapan kewaspadaan universal


e. Profilaksis pasca pajanan
f. Pencegahan penularan dari ibu ke anak (PMTCT)
g. Dengan semakin banyaknya orang perempuan yang dalam rentang usia subur terinfeksi
HIV maka angka kekerapan HIV di kalangan ibu hamil akan meningkat. Kesempatan
untuk mencegah penularan pada bayi yang dikandung harus dimanfaatkan dengan baik
dengan melaksanakan program PMTCT.

h. Layanan Transfusi Darah yang Aman


Layanan transfusi darah di Indonesia belum mencukupi. Di seluruh Indonesia baru
terdapat sekitar 185 layanan transfusi darah padahal kita memiliki sekitar 440 kabupaten
dan kota. Dengan demikian lebih separuh kabupaten kota di Indonesia belum mempunyai
layanan transfusi darah. Upaya untuk mencegah penularan HIV melalui jalur transfusi
darah ini telah dimulai sejak tahun 1992 dengan melakukan skrining darah yang akan
ditransfusikan. Namun kebutuhan darah mendadak di daerah yang belum mempunyai
layanan transfusi darah dapat berisiko penularan HIV karena transfusi darah tidak
dilaksanakan secara darurat dan tidak disertai skrinning HIV.
VCT

Konseling dalam VCT adalah kegiatan konseling yang menyediakan dukungan


psikologis, informasi dan pengetahuan HIV/AIDS, mencegah penularan HIV, mempromosikan
perubahan prilaku yang bertanggung jawab, pengobatan ARV dan memastikan berbagai
pemecahan masalah terkait HIV AIDS

Prinsip VCT :

a. Sukarela dalam melaksanakan testing HIV


b. Saling mempercayai dan terjaminnya konfidensialitas
c. Mempertahankan hubungan relasi konselor-klien yang efektif
d. Testing merupakan salah satu komponen VCT

Model Layanan VCT

a. Mobile VCT (penjangkauan dan keliling)


b. Statis VCT (klinik VCT tetap)

Sasaran VCT adalah masyarakat yang membutuhkan pemahaman diri akan status HIV
agar agar dapat mencegah dirinya dari penularan infeksi penyakit yang lain dan penularan
kepada orang lain. Masyarakat yang datang ke klinik VCT disebut klien. Tanggung jawab klien
dalam konseling adalah bersama mendiskusikan hal-hal yang terkait dengan informasi akurat dan
lengkap tentang HIV/AIDS, prilaku berisiko, testing HIV dan pertimbangan yang terkait dengan
hasil negatif atau positif.

ART

A. Saat Memulai Terapi ART


Untuk memulai terapi antiretroviral perlu dilakukan pemeriksaan jumlah CD4 (bila
tersedia) dan penentuan stadium klinis infeksi HIV-nya. Hal tersebut adalah untuk menentukan
apakah penderita sudah memenuhi syarat terapi antiretroviral atau belum.

Berikut ini adalah rekomendasi cara memulai terapi ARV pada ODHA dewasa.
a. Tidak tersedia pemeriksaan CD4
Dalam hal tidak tersedia pemeriksaan CD4, maka penentuan mulai terapi ARV adalah
didasarkan pada penilaian kliniks.
b. Tersedia pemeriksaan CD4
Rekomendasi :
# Mulai terapi ARV pada semua pasien dengan jumlah CD4 <350 sel/mm3 tanpa
memandang stadium klinisny
# Terapi ARV dianjurkan pada semua pasien dengan TB aktif, ibu hamil dan koinfeksi
Hepatitis B tanpa memandang jumlah CD4

Prinsip dalam pemberian ARV adalah


1. Panduan obat ARV harus menggunakan 3 jenis obat yang terserap dan berada dalam dosis
terapeutik. Prinsip tersebut untuk menjamin efektivitas penggunaan obat.
2. Membantu pasien agar patuh minum obat antara lain dengan mendekatkan akses
pelayanan ARV
3. Menjaga kesinambungan ketersediaan obat ARV dengan menerapkan manajemen logistik
yang baik.

Anjuran Pemilihan Obat ARV Lini Pertama


Paduan yang ditetapkan oleh pemerintah untuk lini pertama adalah:
2 NRTI + 1 NNRTI

AZT + 3TC + NVP (Zidovudine + ATAU


Lamivudine +
Nevirapine)
AZT + 3TC + EFV (Zidovudine + ATAU
Lamivudine +
Efavirenz)
TDF + 3TC (atau FTC) (Tenofovir + ATAU
+ NVP Lamivudine (atau
Emtricitabine) +
Nevirapine)
TDF + 3TC (atau FTC) + EFV (Tenofovir + Lamivudine (atau
Emtricitabine) + Efavirenz)

PMTCT
Untuk mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu ke anak, dilaksanakan program pencegahan
secara komprehensif meliputi empat prong, yaitu:
a. Prong 1:Pencegahan penularan HIV pada perempuan usia reproduksi;
b. Prong 2:Pencegahan kehamilan yang tidak direncanakan pada perempuan HIV positif;
c. Prong 3:Pencegahan penularan HIV dari ibu hamil HIVpositif ke bayi yang
dikandungnya
d. Prong 4:Pemberian dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu HIV positif
beserta anak dan keluarganya

Faktor yang Meningkatkan Risiko Penularan HIV dari Ibu ke Anak


 Ibu baru terinfeksi HIV
 Ibu menderita infeksi virus, bakteri, parasit (seperti malaria)
 Ibu menderita infeksi menular seksual (IMS), terutama sifilis.
 Ibu menderita kekurangan gizi (akibat tak langsung)
 Bayi yang lahir prematur dan memiliki berat badan lahir rendah
 Pemberian ASI dalam periode yang lama
 Pemberian makanan campuran (mixed feeding)
 Bayi/anak memiliki luka di mulut
 Jenis persalinan (persalinan per vaginam)
 Ibu mengalami pecah ketuban lebih dari 4 jam sebelum persalinan
 Terdapat tindakan medis yang dapat meningkatkan kontak antara darah ibu atau cairan
tubuh ibu
 Ibu memilki masalah pada payudara, seperti mastitis, abses, luka di puting
payudara.dengan bayi(seperti penggunaan elektrode pada kepala janin, penggunaan
vakum atau forseps, dan episiotomi).

Waktu dan Risiko Penularan HIV dari Ibu ke Anak


 Selama Kehamilan 5 – 10%
 Ketika Persalinan 10 – 20%
 Penularan Melalui ASI 5 – 15%
 Keseluruhan Risiko Penularan 20 – 45%
PENUTUP

Kesimpulan

Jumlah penderita HIV-AIDS meningkat seiring dengan perkembangan globalisasi. Saat


ini telah tersedia obat untuk mengendalikan infeksi HIV tersebut, meskipun obat- obat yang ada
di dunia ini belum dapat membunuh virus, namun efektifitas obat tersebut akan menurun
manakala pengobatan dimulai pada tahap penyakit yang telah lanjut.

Keefektifan ARV sangat bergantung pada tingkat kepatuhan pasien. Oleh karena itu
diperlukan kerjasama antara pasien, keluarga serta pihak yang berwenang untuk menjamin
kepatuhan pasien berobat.

Anda mungkin juga menyukai