PROGRAM PMTCT
RS HELSA CIPUTAT
Rumah Sakit
HELSA CIPUTAT
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas segala rahmat yang telah dikaruniakan kepada
penyusun, sehingga Buku Pedoman Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA / Prevention
of Mother-to-Child HIV Transmission / PMTCT) Rumah Sakit Helsa Ciputatini dapat selesai disusun.
Buku Pedoman PPIA di Rumah Sakit Helsa Ciputatini disusun untuk lebih memantapkan upaya
penanggulangan HIV/AIDS, keselamatan pasien, keselamatan kerja, serta meningkatkan mutu
pelayanan.
Dalam buku pedoman ini diuraikan Standar Ketenagaan, Standar Fasilitas, Tatalaksana
Pelayanan Terapi Antiretroviral (ARV), Logistik, Keselamatan Pasien, Keselamatan Kerja, dan
Pengendalian Mutu.
Tidak lupa penyusun sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya atas bantuan semua pihak
dalam menyelesaikan Buku Pedoman Pelayanan Terapi Antiretroviral (ARV) di Rumah Sakit Helsa
Ciputat.
Penyusun
PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT HELSA
CIPUTAT
NOMOR: 0192/PER/DIR/RSHCPT/I/2023
TENTANG
PEMBERLAKUAN PEDOMAN PENATALAKSANAAN
PROGRAM PMTCT
DIREKTUR RS HELSA CIPUTAT
Menimbang : a. Bahwa dalam upaya untuk melindungi karyawan, keluarga dan
masyarakat serta adanya kebutuhan untuk memaksimalkan
cakupan dan kualitas program dan layanan HIV-AIDS yang
komprehensif maka program Penanggulangan HIV-AIDS
menjadi perhatian utama jajaran pimpinan Rumah Sakit;
MEMUTUSKAN
KEDUA :
Pedoman Pelayanan PMTCT Rumah Sakit Helsa
Ciputatsecara terinci sebagaimana tercantum dalam
keputusan ini
KETIGA : Surat keputusan ini berlaku sejak tanggal 6 Januari
2022
3.1. Ruangan
Rumah Sakit Ibu dan Anak Prima Medika Ciputat tidak memiliki ruang khusus untuk pelayanan
PPIA, namun terintegrasi di pusat layanan HIV/AIDS RS Helsa Ciputat di ruang poli VCT (lihat
gambar), ruang Poliklinik Kebidanan dan Kandungan, Kamar Bersalin, dan Ruang Perawatan
Kebidanan dan Kandungan
3.3. Kriteria
Tersedia ruangan khusus pelayanan klien yang berfungsi sebagai pusat pelayanan HIV/AIDS
di RS Helsa Ciputat meliputi kegiatan konseling, penatalaksanaan, pencatatan dan pelaporan, serta
menjadi pusat jejaring internal atau eksternal pelayanan HIV/AIDS di RS Helsa Ciputat. Ruang
tersebut memenuhi persyaratan sarana dan prasarana ruangan pelayanan terapi ARV.
Pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak (PPIA) dilaksanakan melalui kegiatan kompehensif yang
meliputi empat pilar (4 prong) yaitu :
1. Pencegahan penularan HIV pada perempuan usia reproduksi (15-49 tahun)
2. Pencegahan kehamilan yang tidak direncanakan pada perempuan HIV positif
3. Pencegahan penularan HIV dari ibu hamil ke bayi yang dikandungnya
4. Dukungan psikologis, sosial, dan perawatan kesehatan selanjutnya kepada ibu yang terinfeksi
HIV dan bayi serta keluarganya
4.3. PRONG 3 : Pencegahan Penularan HIV dari Ibu Hamil dengan HIV ke Bayi yang
Dikandungnya
Kegiatan pada prong ini dilaksanakan pada setiap pasien wanita hamil HIV positif yang
memeriksakan diri pada poliklinik kebidanan dan kandungan atau datang kontrol ke poliklinik
VCT/CST atau dalam proses persalinan di ruang bersalin (VK). Strategi ini merupakan inti dari
layanan PPIA dan merupakan kegiatan layanan KIA yang komprehensif meliputi :
1. Layanan ANC terpadu termasuk penawaran dan tes HIV, merupakan jalan bagi ibu hamil untuk
mengetahui status HIV, sehingga dapat pengobatan ARV sedini mungkin, dukungan psikologis,
dan KIE tentang HIV/AIDS.
2. Diagnosis HIV. Alur pemeriksaan anti HIV dalam darah dengan menggunakan metode cepat
(rapid) atau ELISA.
3. Pemberian ARV untuk ibu hamil HIV positif. Diberikan berdasarkan Pedoman Terapi ARV.
Pemberian ARV dimulai tanpa memandang stadium klinis ataupun jumlah CD4, dan dikonsumsi
seumur hidup. Bertujuan untuk mengurangi risiko penularan dan mengoptimalkan kesehatan ibu.
4. Persalinan yang aman. Pemilihan persalinan diputuskan oleh ibu setelah mendapatkan konseling
lengkap tentang pilihan persalinan, risiko penularan, dan berdasarkan penilaian petugas
kesehatan.
Tabel 4.1. Pilihan persalinan
Dengan demikian, untuk memberikan layanan persalinan yang optimal kepada ibu hamil dengan HIV
direkomendasikan kondisi-kondisi berikut ini:
✓ Pelaksanaan persalinan, baik secara bedah sesar maupun normal, harus memperhatikan kondisi
fisik dan indikasi obstetri ibu berdasarkan penilaian dari tenaga kesehatan. Infeksi HIV bukan
merupakan indikasi untuk bedah sesar.
✓ Ibu hamil harus mendapatkan konseling sehubungan dengan keputusannya untuk menjalani
persalinan per vaginam atau pun per abdominam (bedah sesar).
✓ Tindakan menolong persalinan ibu hamil, baik secara persalinan per vaginam maupun bedah sesar
harus selalu menerapkan kewaspadaan standar, yang berlaku untuk semua jenis persalinandan
tindakan medis.
5. Tatalaksana pemberian makanan bagi bayi/anak. Dilakukan konseling tentang risiko penularan
HIV melalui ASI. Konseling dilakukan selama ANC atau sebelum persalinan. Pengambilan
keputusan di tangan ibu setelah mendapatkan konseling lengkap. Sangat dianjurkan untuk
menggunakan susu formula sebagai makanan bagi bayi, apabila syarat AFASS (affordable,
feasible, acceptable, sustainable, and safe) terpenuhi keseluruhannya. Apabila salah satu syarat
tidak terpenuhi, maka ASI diberikan secara eksklusif selama 6 bulan. Tidak dianjurkan untuk
menyusui campur (mixed feeding) artinya diberikan ASI dan PASI bergantian.
6. Mengatur kehamilan dan keluarga berencana, seperti yang telah dijelaskan pada PRONG 2.
7. Pemberian profilaksis ARV dan kotrimoksasol pada bayi/anak. ARV yang diberikan adalah
Zidovudine (AZT) dimulai pada hari pertama kehidupan sampai 6 minggu, dengan dosis 4
mg/kgBB diberikan 2 kali sehari. Setelah 6 minggu, diberikan profilaksis kotrimoksasol dengan
dosis 4-6 mg/kgBB (dosis trimeptoprim) diberikan 1 kali sehari sampai diagnosis HIV dapat
ditegakkan.
8. Pemeriksaan diagnostik HIV pada bayi yang lahir dari ibu HIV. Pemeriksaan untuk antibodi anti
HIV dengan metode cepat (rapid) hanya dapat digunakan apabila anak berumur lebih dari 18
bulan, atau dapat dilakukan lebih awal pada usia 9-12 bulan, dengan catatan bila hasil positif
maka harus diulang setelah berusia 18 bulan. Bila usia anak kurang dari 18 bulan, maka
pemeriksaan yang dilakukan adalah PCR untuk melihat HIV DNA, yang dilakukan minimal 2
kali, pertama pada usia 4-6 minggu dan 4 minggu setelah pemeriksaan pertama.
4.4. PRONG 4 : Pemberian dukungan psikologis, sosial, dan perawatan kepada ibu
dengan HIV beserta anak dan keluarganya.
Penting untuk menjamin kerahasiaan status HIV ibu untuk menghindai stigma dan diskriminasi di
masyarakat. Dukungan juga harus diberikan kepada anak dan keluarganya. Beberapa hal yang
mungkin dibutuhkan ibu dengan HIV antara lain :
✓ Pengobatan ARV jangka panjang
✓ Pengobatan gejala penyakitnya
✓ Pemeriksaan kondisi kesehatan dan pemantauan terapi ARV (termasuk CD4 dan viral load)
✓ Konseling dan dukungan kontrasepsi dan pengaturan kehamilan
✓ Informasi dan edukasi pemberian makanan bayi
✓ Pencegahan dan pengobatan infeksi oportunistik untuk diri sendiri dan bayinya.
✓ Penyuluhan kepada anggota keluarga tentang cara penularan HIV dan pencegahannya
✓ Layanan klinik dan rumah sakit yang bersahabat
✓ Kunjungan ke rumah (home visit)
✓ Dukungan teman-teman sesama HIV positif, terlebih sesama ibu dengan HIV
✓ Adanya pendamping saat sedang dirawat
✓ Dukungan dari pasangan
✓ Dukungan kegiatan peningkatan ekonomi keluarga
✓ Dukungan perawatan dan pendidikan bagi anak
Gambar 4.1. Alur proses ibu hamil menjalani kegiatan PRONG 3 dan 4 dalam PPIA
BAB V
LOGISTIK
Pengadaan logistik untuk pelayanan PPIA dilakukan dengan permintaan secara berkala kepada Dinas
Kesehatan Provinsi Banten.
Petugas laboratorium VCT mengajukan permohonan logistik laboratorium kepada Dinas Kesehatan
Kabupaten Kutai Timur.
6.1. Pengertian
Keselamatan pasien adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih
aman. Hal ini termasuk asesmen risiko, identifikasi, dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan
risiko pasien, pelaporan, dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya
serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko.
Sedangkan insiden keselamatan pasien adalah setiap kejadian atau situasi yang dapat
mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan harm (penyakit, cidera, cacat, kematian, dan lain- lain)
yang tidak seharusnya terjadi.
6.2. Tujuan
Tujuan sistem ini adalah mencegah terjadinya cidera yang disebabkan oleh kesalahan akibat
melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil. Selain itu
sistem keselamatan pasien ini mempunyai tujuan agar tercipta budaya keselamatan pasien di rumah
sakit, meningkatkan akuntabilitas rumah sakit terhadap pasien dan masyarakat, menurunnya kejadian
tidak diharapkan di rumah sakit, dan terlaksananya program-program pencegahan sehinggatidak
terjadi pengulangan kejadian tidak diharapkan.
6.4. Sasaran Keselamatan Pasien HIV/AIDS di Rumah Sakit Ibu dan Anak Prima
Medika Ciputat
1. Ketepatan identifikasi pasien
Ketetpatan identifikasi pasien adalah ketepatan penentuan identitas pasien sejak awal pasien
masuk sampai dengan pasien keluar terhadap semua pelayanan yang diterima oleh pasien. Setiap
pasien HIV/AIDS yang datang ke Rumah Sakit Ibu dan Anak Prima Medika Ciputat harus
diverifikasi identitasnya dengan menggunakan nama dan alamat, atau nama dan tanggal lahir.
2. Peningkatan komunikasi yang efektif, yaitu komunikasi lisan yang menggunakan prosedur
“SBAR”; write, read, dan repeat back (reconfirm).
3. Peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai (high alert).
Obat-obatan yang perlu diwaspadai (high alert medication) adalah obat yang seringmenyebabkan
terjadi kesalahan atau kesalahan serius dan obat yang berisiko tinggi menyebabkan dampak yang
tidak diinginkan. Untuk antiretroviral (ARV) yang waktu penggunaannya jangka panjang harus
diwaspadai juga masa/tanggal kada luarsanya.
4. Pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan
Pencegahan dan pengendalian infeksi merupakan tantangan terbesar dalam tatanan pelayanan
kesehatan. Infeksi biasa dijumpai dalam semua bentuk pelayanan kesehatan termasuk infeksi
saluran kemih, infeksi pada aliran darah, pneumonia yang sering berhubungan dengan ventilasi
mekanis. Pokok eliminasi infeksi ini maupun infeksi-infeksi lain adalah cuci tangan yang tepat.
5. Pengurangan risiko pasien jatuh.
Pengurangan pengalamam pasien yang tidak direncanakan untuk terjadinya jatuh. Suatu jehadian
jatuh yang tidak disengaja pada seseorang saat istirahat yang dapat dilihat/dirasakan, atau
kejadian jatuh yang tidak dapat dilihat karena suatu kondisi tertentu seperti stroke, pingsan, dan
lainnya. Untuk pasien HIV/AIDS yang rawat inap, dikaji pula risiko jatuhnya. Apabila termasuk
berisiko, pasien tersebut dipasang gelang kuning.
BAB VII
KESELAMATAN KERJA
Undang-Undang nomor 36 tahun 2009 pasal 164 ayat 1 menyatakan bahwa upaya kesehatan
kerja ditujukan untuk melindungi pekerja agar hidup sehat dan terbebas dari gangguan kesehatan serta
pengaruh buruk yang diakibatkan oleh pekerjaan. Rumah sakit adalah tempat kerja yang termasuk
dalam kategori seperti disebut di atas, berarti wajib menerapkan upaya keselamatan dan kesehatan
kerja. Program keselamatan dan kesehatan kerja di tim pendidikan pasien dan keluarga bertujuan
melindungi karyawan dari kemungkinan terjadinya kecelakaan di dalam dan di luar rumah sakit.
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 27 ayat (2) disebutkan bahwa “setiap warga negara
berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Dalam hal ini yang dimaksud
pekerjaan adalah pekerjaan yang bersifat manusiawi, yang memungkinkan pekerja berada dalam
kondisi sehat dan selamat, bebas dari kecelakaan dan penyakit akibat kerja, sehingga dapat hidup
layak sesuai dengan martabat manusia.
Keselamatan dan kesehatan kerja atau K3 merupakan bagian integral dari perlindungan
terhadap pekerja dalam hal ini tim penanggulangan HIV/AIDS dan perlindungan terhadap Rumah
Sakit. Pegawai adalah bagian integral dari rumah sakit. Jaminan keselamatan dan kesehatan kerja
akan meningkatkan produktivitas pegawai dan meningkatkan produktivitas rumah sakit. Undang-
Undang nomor 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja dimaksudkan untuk menjamin :
1. Agar pegawai dan setiap orang yang berada di tempat kerja selalu berada dalam keadaan sehat
dan selamat.
2. Agar faktor-faktor produksi dapat dipakai dan digunakan secara efisien.
3. Agar proses produksi dapat berjalan secara lancar tanpa hambatan.
Faktor-faktor yang menimbulkan kecelakaan dan penyakit akibat kerja dapat digolongkan pada tiga
kelompok, yaitu :
1. Kondisi dan lingkungan kerja.
2. Kesadaran dan kualitas pekerja.
3. Peranan dan kualitas manajemen.
Dalam kaitannya dengan kondisi dan lingkungan kerja, kecelakaan dan penyakit akibat kerja dapat
terjadi bila :
1. Pelatan tidak memenuhi standar kualitas atau bila sudah aus.
2. Alat-alat produksi tidak disusun secara teratur menurut tahapan proses produksi.
3. Ruang kerja terlalu sempit, ventilasi udara kurang memadai, ruangan terlalu panas atau dingin.
4. Tidak tersedia alat-alat pengaman.
5. Kurang memperhatikan persyaratan penanggulangan bahaya kebakaran, dan lain-lain.
7.1. Perlindungan Keselamatan Kerja dan Kesehatan Petugas Kesehatan
1. Petugas kesehatan yang merawat pasien HIV/AIDS harus mendapatkan pelatihan/sosialisasi
mengenai cara penularan dan penyebaran penyakit, tidakan pencegahan dan pengendalian infeksi
yang sesuai dengan protokol.
2. Petugas yang tidak terlibat secara langsung dengan pasien harus diberikan penjelasan umum
mengenai penyakit tersebut.
Pedoman pelayanan PPIA merupakan bahan rujukan bagi pimpinan rumah sakit dalam rangka
pelayanan PPIA, juga sebagai bahan rujukan akreditasi rumah sakit. Keberhasilan pelaksanaan
layanan PPIA di rumah sakit sangat bergantung pada komitmen dan kemampuan para penyelenggara
pelayanan kesehatan serta dukungan stake holder terkait untuk mencapai hasil optimal.
Pedoman pelayanan ini senantiasa akan disesuaikan dengan perkembangan ilmu dan teknologi
serta kebijakan dan peraturan terkait penanggulangan HIV/AIDS yang ada di Indonesia.